Anda di halaman 1dari 44

WRAP UP SKENARIO 4

BLOK MEKANISME PERTAHANAN TUBUH


MENCRET BERKEPANJANGAN

Kelompok
Ketua
Sekretaris
Anggota

: B-13
: Sidqi Shakur Ahmad
: Meutia Sandia Meiviana
: Nabila Kurniati
Nadia Firdausi
Siti Rohaeni
Yongki Cappala Bakurru
Zahra Farras Sukma
Zegovine Elzunusiyah
Muhammad Tanwirul
Rizka Metya

1102014247
1102014154
1102014181
1102014186
1102014254
1102014287
1102014291
1102014292
1102013176
1102010250

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
Jalan. Letjen Suprapto, Cempaka Putih, Jakarta 10510
Telp.62.21.4244574 Fax. 62.21.4244574

SKENARIO 4
Mencret Berkepanjangan
Seorang laki-laki, 25 tahun, mengeluh diare yang hilang timbul sejak 3 bulan yang
lalu. Selain itu pasien juga mengeluh sering demam, sariawan, tidak nafsu makan,
dan berat badan menurun 10 kg dalam waktu 3 bulan terakhir. Dari riwayatnya
dikatakan pasien sering melakukan hubungan seksual secara bebas.
Pada pemeriksaan fisik pasien terlihat kaheksia, mukosa lidah kering dan terdapat
bercak-bercak putih. Pemeriksaan laboratorium darah rutin LED 50 mm/jam.
Pemeriksaan feses terdapat sel ragi. Pada pemeriksaan screening antibodi HIV
didapatkan hasil (+) kemudian dokter menganjurkan pemeriksaan konfirmasi
HIV dan hitung jumlah limfosit T CD4 dan CD8.
Dari data tersebut dokter menyimpulkan bahwa penderita ini mengalami gangguan
defisiensi imun akibat terinfeksi virus HIV. Dokter menganjurkan pasien untuk
datang ke dokter lain dengan alasan yang tidak jelas. Walaupun demikian dokter
menasehati pasien agar tabah dan sabar dalam menghadapi cobaan penyakit ini.

KATA SULIT
1. Kaheksia
2. Defisiensi Imun
3. LED
tidaknya
4. HIV
tubuh
5. CD4

: Salah satu bentuk malnutrisi yang ditandai dengan perubahan


bentuk tubuh menjadi kurus
: Efek suatu komponen sistem imun yang dapat menimbulkan
penyakit berat bahkan fatal yang secara kolektif
: Laju endap darah yang berfungsi untuk mengetahui ada
infeksi
: Virus yang menyebabkan AIDS dan menyerang kekebalan

: Salah satu bagian limfosit yang mengaktifkan sel B dan sel T.


sebagai sel T helper
6. CD8
: Bagian sel limfosit yang menginduksi sel T sitokin
7. Screening Antibodi: Pemeriksaan yang digunakan untuk mengidentifikasi
penyakit yang belum tampak
8. Sel Ragi
: Indikator infeksi jamur pada sistem pencernaan

PERYANYAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.

Mengapa diare hilang timbul sejak 3 bulan ?


Bagaimana cara penularan penyakit tersebut ?
Mengapa yang diperiksa CD4 dan CD8 ?
Faktor apa yang mempengaruhi LED tinggi pada pasien tersebut ?
Mengapa mukosa lidah pasien bercak-bercak ?
Apa penyebab kejadian tersebut ?
Mengapa timbul kaheksia pada pasien ?
Apa hubungan komunitas gay dengan Hiv ?
Mengapa terjadi difisiensi imun ?
Bagaimana seharusnya dokter mengani pasien tersebut ?
Apa yang menyebabkan pasien sering demam ?
Apa yang menyebabkan pasien sariawan ?
Bagaimana pandangan islam dalma menghadapi penyakit tersebut ?
Apa yang terjadi jika terdapat sel ragi dalam feses ?
Pemeriksaan penunjang apa saja selain screening antibodi ?
Berapa kadar normal pada pemeriksaan LED ?
Bagaimana pencegahan HIV ?
Apa kriteria khas pada penderita HIV positif ?
Bagaimana pengobatan HIV ?

JAWABAN
1. Karena HIV menyerang mukosa usus
2. - ASI
- Jarum suntik
- Donor organ
- Seks bebas
- Transfusi darah
- Bayi yang lahir dari ibu positif HIV
3. Virion virus menggunakan GP120 menempel pada CD4 kemudian GP41
masuk. Kemudian CD4 replikasi dan CD4 pecah kemudian CD4 menurun
dan sitotoksin menurun
4. Eritrosit yang mengendap meningkat maka LED ikut meningkat
5. Karena terjadi infeksi oportunistik yang disebabkan oleh jamur yang
menginfeksi mukosa lidah.
6. Virs HIV (rotavirus) yang menyerang thymus dan CD4
7. Karena pengeluaran pasien lebih banyak daripada intake
Nafsu makan berkurang
8. Karena penularan HIV terjadi melalui seks bebas pada komunitas gay
9. Virion virus menggunakan GP120 menempel pada CD4 kemudian GP41
masuk. Kemudian CD4 replikasi dan CD4 pecah kemudian CD4 menurun
dan sitotoksin menurun
10. Tidak boleh membeda-bedakan atau diskriminatif
11. Virus menyerang kemudian terjadi inflamasi lalu demam
12. Karena pasien kekurang cairan tubuh karena diare yang terus menerus
13. - Sabar menghadapi cobaan
-Tobat
-Tawakal
14. Karena terjadi infeksi oportunistik yang disebabkan oleh jamur
15. Hematologi, Urin, Feses
16. Pria dewasa = 0-15 mm/jam
Wanita dewasa
= 0-20 mm/jam
Anak-anak = 0-10 mm/jam
17. - Tidak melakukan seks bebas
- Tidak menggunakan jarum suntik bekas
- Melakukan penyuluhan
18. Laboratorium : CD4 menurun ( normal: 410-159 sel/mikrometer )
19. - Anti virus
- Asupan gizi yang baik

HIPOTESA
Virus HIV menyerang CD4 dan CD8 sehingga menyebabkan defisiensi imun.
Dengan gejala demam, diare hilang timbul,sariawan,tidak nafsu makan, dan
terdapat bercak putih pada mukosa lidah. Hal ini dapat ditularkan ASI, Jarum
suntik, Donor organ, Seks bebas, Transfusi darah, Bayi yang lahir dari ibu positif
HIV. Dalam pemeriksaan laboratorium LED meningkat, CD4 dan CD8 menurun.
Penyakit ini dapat dikontrol dengan anti virus dan asupan gizi yang baik dan dapat
dicegah tidak melakukab seks bebas, tidak menggunakan jarum bekas, melakukan
penyuluhan. Menurut pandangan islam, penderita sabar mengahadapi cobaan,
tobat, tawakal sebagai dokter tidak boleh membeda-bedakan atau diskriminatif.

SASARAN BELAJAR
LI.1. Memahami dan Menjelaskan Defisiensi Imun
1.1 Definisi
1.2 Klasifikasi
1.3 Etiologi
1.4 Mekanisme
1.5 Pemeriksaan Laboratorium
LI.2.Memahami dan Menjelaskan HIV
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
2.3 Etiologi
2.4 Klasifiasi
2.5 Patofisiologi
2.6 Patogenesis
2.7 Manifestasi Klinis
2.8 Diagnosis
2.9 Pemerisaan Laboratorium
2.10 Penatalaksanaan
2.11 Komplikasi
2.12 Pencegahan
2.13 Prognosis
LI.3.Memahami dan Menjelaskan Alogritme Pemeriksaan Skrining dan
Konfirmasi Untuk Diagnosis Infeksi HIV/AIDS
LI.4.Memahami dan Memahami Dilema Etik
4.1. Stigma
4.2. Undang-undang
LI.5. Memahami dan Menjelaskan Pandangan Islam Mengadapi Pasien HIV

LI.1.Memahami dan Menjelaskan Defisiensi Imun


1.1 Definisi

Gangguan defisiensi imun adalah gangguan yang dapat disebabkan oleh kerusakan
herediter yang mempengaruhi perkembangan sistem imun atau dapat terjadi akibat
efek sekunder dan penyakit lain (misalnya infeksi malnutrisi, penuaan, imunosupresi,
autoimunitas atau kemoterapi).
Penyakit imunodefisiensi adalah defisiensi respon imun akibat hipoaktivitas atau
penurunan jumlah sel limfoid. Defisiensi imun tersebut merupakan salah satu jenis
defisiensi jaringan limfoid yang dapat timbul pada pria maupun wanita dari berbagai
usia dan ditentukan oleh faktor genetik atau timbul sekunder oleh karena faktor lain.

1.2. Klasifikasi
1. Defisiensi Imun Non-Spesifik
a) Komplemen

Dapat berakibat meningkatnya insiden infeksi dan penyakit autoimun


(SLE), defisiensi ini secara genetik.
Kongenital
Menimbulkan infeksi berulang /penyakit kompleks imun (SLE
dan glomerulonefritis).
Fisiologik
Ditemukan pada neonatus disebabkan kadar C3, C5, dan faktor B
yang masih rendah.
Didapat
Disebabkan oleh depresi sintesis (sirosis hati dan malnutrisi
protein/kalori)
b) Interferon dan lisozim
Interferon kongenital
Menimbulkan infeksi mononukleosis fatal
Interferon dan lisozim didapat
Pada malnutrisi protein/kalori
c) Sel Natural Killer
Kongenital
Pada penderita osteopetrosis (defek osteoklas dan monosit),
kadar IgG, IgA, dan kekerapan autoantibodi meningkat.
Didapat
Akibat imunosupresi atau radiasi.
d) Defisiensi sistem fagosit
Menyebabkan infeksi berulang, kerentanan terhadap infeksi piogenik
berhubungan langsung dengan jumlah neutrofil yang menurun, resiko
meningkat apabila jumlah fagosit turun < 500/mm 3. Defek ini juga
mengenai sel PMN.
Kuantitatif
Terjadi neutropenia/granulositopenia yang disebabkan oleh
menurunnya produksi atau meningkatnya destruksi. Penurunan
produksi diakibatkan pemberian depresan (kemoterapi pada
kanker, leukimia) dan kondisi genetik (defek perkembangan sel

hematopioetik). Peningkatan destruksi merupakan fenomena


autoimun akibat pemberian obat tertentu (kuinidin, oksasilin).
Kualitatif
Mengenai fungsi fagosit seperti kemotaksis, fagositosis, dan
membunuh mikroba intrasel.
Chronic Granulomatous Disease (infeksi rekuren mikroba
gram dan +)
Defisiensi G6PD (menyebabkan anemia hemolitik)
Defisiensi Mieloperoksidase (menganggu kemampuan
membunuh benda asing)
Chediak-Higashi Syndrome (abnormalitas lisosom sehingga
tidak mampu melepas isinya, penderita meninggal pada usai
anak)
Job Syndrome (pilek berulang, abses staphylococcus, eksim
kronis, dan otitis media. Kadar IgE serum sangat tinggi dan
ditemukan eosinofilia).
Lazy Leucocyte Syndrome (merupakan kerentanan infeksi
mikroba berat. Jumlah neutrofil menurun, respon kemotaksis
dan inflamasi terganggu)
Adhesi Leukosit (defek adhesi endotel, kemotaksis dan
fagositsosis buruk, efeks sitotoksik neutrofil, sel NK, sel T
terganggu. Ditandai infeksi bakteri dan jamur rekuren dan
gangguan penyembuhan luka).

2. Defisiensi Imun Spesifik


a. Kongential/primer (sangat jarang terjadi)
Sel B

Defisiensi sel B ditandai dengan penyakit rekuren (bakteri)


1 X-linked hypogamaglobulinemia
2 Hipogamaglobulinemia sementara
3 Common variable hypogammaglobulinemia
4 Disgamaglobulinemia
Sel T

Defisensi sel T ditandai dengan infeksi virus, jamur, dan protozoa


yang rekuren
1 Sindrom DiGeorge (aplasi timus kongenital)
2 Kandidiasis mukokutan kronik
Kombinasi sel T dan sel B
1. Severe combined immunodeficiency disease
2. Sindrom nezelof
3. Sindrom wiskott-aldrich
4. Ataksia telangiektasi
5. Defisiensi adenosin deaminase

b. Fisiologik
Kehamilan

Defisiensi imun seluler dapat ditemukan pada kehamilan.Hal ini


karena peningkatan aktivitas sel Ts atau efek supresif faktor
humoral yang dibentuk trofoblast. Wanita hamil memproduksi Ig
yang meningkat atas pengaruh estrogen
Usia tahun pertama
Sistem imun pada anak usia satu tahun pertama sampai usia 5
tahun masih belum matang.
Usia lanjut
Golongan usia lanjut sering mendapat infeksi karena terjadi atrofi
timus dengan fungsi yang menurun.
c. Defisiensi imun didapat/sekunder
Malnutrisi
Infeksi
Obat, trauma, tindakan, kateterisasi, dan bedah
Obat sitotoksik, gentamisin, amikain, tobramisin dapat
mengganggu kemotaksis neutrofil. Kloramfenikol, tetrasiklin
dapat menekan antibodi sedangkan rifampisin dapat menekan
baik imunitas humoral ataupun selular.
Penyinaran
Dosis tinggi menekan seluruh jaringan limfoid, dosis rendah
menekan aktivitas sel Ts secara selektif
Penyakit berat
Penyakit yang menyerang jaringan limfoid seperti Hodgkin,
mieloma multipel, leukemia dan limfosarkoma. Uremia dapat
menekan sistem imun dan menimbulkan defisiensi imun.Gagal
ginjal dan diabetes menimbulkan defek fagosit sekunder yang
mekanismenya belum jelas. Imunoglobulin juga dapat
menghilang melalui usus pada diare
Kehilangan Ig/leukosit
Sindrom nefrotik penurunan IgG dan IgA, IgM norml.Diare
(linfangiektasi intestinal, protein losing enteropaty) dan luka
bakar akibat kehilangan protein.
Stres
Agammaglobulinmia dengan timoma
Dengan timoma disertai dengan menghilangnya sel B total dari
sirkulasi. Eosinopenia atau aplasia sel darah merah juga dapat
menyertai
d. AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome)
Berbagai jenis virus dapat menekan fungsi system imun atau dengan
menginfeksi sel system imun. Contoh fenomena ini adalah AIDS.
1.3. Etiologi
1. Defisiensi Imun Nonspesifik
a. Defisiensi komplemen

Berhubungan dengan peningkatan insidens infeksi dan penyakit


autoimun seperti LES.
-

Defisiensi komplemen kongential


Biasanya menimbulkan infeksi yang berulang atau penyakit
kompleks imun seperti LES dan glomerulonefritis.

Defisiensi inhibitor esterase C1

Defisiensi C2 dan C4

Defisiensi C3

Defisiensi C5

Defisiensi C6, C7, dan C8

Defisiensi komplemen fisiologik


Hanya ditemukan pada neonatus yang disebabkan kadar C3, C5,
dan faktor B yang masih rendah.

Defisiensi komplemen didapat


Disebabkan oleh depresi sintesis, misalnya pada sirosis hati dan
malnutrisi protein/kalori.

Defisiensi Clq,r,s

Defisiensi C4

Defisiensi C2

Defisiensi C4

Defisiensi C5-C8

Defisiensi C9

b. Defisiensi interferon dan lisozim


-

Defisiensi interferon kongential


Dapat menimbulkan mononukleosis yang fatal.

Defisiensi interferon dan lisozim didapat


Dapat ditemukan pada malnutrisi protein/kalori.
c. Defisiensi sel NK

Defisiensi kongential
Telah ditemukan pada penderita dengan osteoporosis. Kadar IgG,
IgA dan keke-rapan autoantibodi biasanya meningkat.

Defisiensi didapat
Terjadi akibat imunosupresi atau radiasi.
d. Defisiensi sistem fagosit
Risiko infeksi meningkat bila jumlah fagosit turun sampai di bawah
500/mm3.

Defisiensi kuantitatif
Neutropenia atau granulositopenia dapat disebabkan oleh
penurunan produksi atau peningkatan destruksi. Penurunan
produksi neutrofil dapat disebabkan oleh pemberian depresan
sumsum tulang, leukimia, kondisi genetik. Peningkatan destruksi
neutrofil dapat merupakan fenomena autoimun akibat pemberian
obat tertentu (kuinidin, oksasilin).

Defisiensi kualitatif
Dapat
mengenai
fungsi
fagosit
seperti
kemotaksis,
menelan/memakan dan mem-bunuh mikroba intraselular.

Chronic Granulomatous Disease

Defisiensi Glucose-6-phosphate dehydrogenase

Defisiensi mueloperoksidase

Sindrom Chediak-Higashi

Sindrom Job

Sindrom leukosit malas (lazy leucocyte)

Defisiensi adhesi leukosit

2. Defisiensi Imun Spesifik


o Defisiensi kongential atau primer
Defisiensi sel B ditandai dengan infeksi rekuren oleh bakteri.
Defisiensi sel T ditandai dengan infeksi virus, jamur dan protozoa
yang rekuran. Defisiensi fagosit disertai ketidakmampuan untuk
memakan dan menghancurkan patogen, biasanya timbul dengan
infeksi bakteri rekuren.
-

Defisiensi imun primer sel B

X-linked hypogamaglobulinemia

Hipogamaglobulinemia sementara

Common Variable Hypogammaglobulinemia

Defisiensi Imunoglobulin yang selektif (disgamaglobulinemia)

Defisiensi imun primer sel T

Aplasi timus kongential (sindrom DiGeorge)

Kandidasis Mukokutan Kronik

Defisiensi kombinasi sel B dan sel T yang berat

Severe Combined Immunodeficiency Disease

Sindrom Nezelof

Sindrom Wiskott-Aldrich

Ataksia telangiektasi

Defisiensi adenosin deaminase

Defisiensi imun fisiologik


-

Kehamilan
Disebabkan karena terjadinya peningkatan aktivasi sel Ts atau efek supresif
faktor humoral yang dibentuk trofoblast.

Usia tahun pertama


Sistem imun pada anak usia satu tahun sampai usia 5 tahun masih belum
matang.

Usia lanjut
Hal ini disebabkan karena atrofi timus dengan fungsi yang menurun. Akibat
involusi timus, jumlah sel T naif dan kualitas respons sel T makin berkurang.

o Defisiensi didapat atau sekunder


Defisiensi tersebut mengenai fungsi fagosit dan limfosit yang dapat
terjadi akibat infeksi HIV, malnutrisi, terapi sitotoksik dan lainnya.
-

Malnutrisi

Infeksi

Obat, trauma, tindakan kateterisasi, dan bedah

Penyinaran

Penyakit berat

Kehilangan Ig/leukosit

Stres

Agamaglobulinemia dengan timoma

AIDS

HIV menekan fungsi sistem imun dengan menginfeksi sel sistem


imun. Transmisinya melalui cairan tubuh yang terinfeksi seperti
hubungan seksual, homoseksual, penggunaan jarum yang
terkontaminasi, transfusi darah atau produk darah seperti hemofili dan
bayi yang dilahirkan ibu dengan HIV.

1.4. Mekanisme

Defisit kekebalan humoral (antibodi) mengganggu pertahanan melawan


bakteri virulen, banyak bakteri seperti ini yang berkapsul dan merangsang
pembentukan nanah
Host yang mengalami gangguan fungsi antibodi mudah menderita infeksi
berulang di gusi, telinga bagian tengah, selaput otak, sinus paranasal dan
struktur bronkopulmonal
Pemeriksaan imunoglobulin serum dengan alat nefelometri, sekarang telah
banyak digunakan untuk mengukur kadar IgG, IgA, IgM dan IgD pada
serum manusia
Imunodefisiensi humoral mencolok pada beberapa penyakit keganasan:
mieloma multiple, leukemia limfositik kronik, dan perlu mendapat
perhatian bila sel tumor menginfiltrasi struktur limforetikuler

Fungsi sel T yang tidak sempurna, pada banyak penyakit, juga sebagai
defek primer atau disebabkan oleh beberapa gangguan seperti: AIDS,
sarkoidosis, penyakit Hodgkins, neoplasma non-Hodgkins dan uremia
Fungsi sel T yang gagal terjadi bila timus gagal berkembang (sindrom
DiGeorge) diperbaiki dengan transplantasi jaringan timus fetus
Perhatian yang serius terhadap setiap orang yang menderita defisiensi sel
T yang jelas adalah pd ketidakmampuanya untuk membersihkan sel-sel
asing termasuk leukosit viabel dari darah lengkap yang ditransfusikan

1.5. Pemeriksaan Laboratorium


a. Defisiensi Sel B
v Uji Tapis: Kadar IgG, IgM dan IgA, Titer isoaglutinin, Respon antibodi pada vaksin
(Tetanus, difteri, H.influenzae)
v Uji lanjutan:
Enumerasi sel-B (CD19 atau CD20), Kadar subklas IgG, Kadar IgE dan IgD, Titer antibodi
natural (Anti Streptolisin-O/ASTO, E.coli, Respons antibodi terhadap, vaksin tifoid dan
pneumokokus, Foto faring lateral untuk mencari kelenjar adenoid
v Riset: Fenotiping sel B lanjut, Biopsi kelenjar, Respons antibodi terhadap antigen khusus
misal phage antigen, Ig-survival in vivo, Kadar Ig sekretoris, Sintesis Ig in vitro, Analisis
aktivasi sel, Analisis mutasi

b. Defisiensi sel T
v Uji tapis: Hitung limfosit total dan morfologinya, Hitung sel T dan sub populasi sel T :
hitung sel T total, Th dan Ts, Uji kulit tipe lambat (CMI) : mumps, kandida, toksoid
tetanus, tuberculin, Foto sinar X dada : ukuran timus
v Uji lanjutan:
Enumerasi subset sel T (CD3, CD4, CD8), Respons proliferatif terhadap mitogen, antigen
dan sel alogeneik, HLA typing, Analisis kromosom
v Riset:
Advance flow cytometr, Analisis sitokin dan sitokin reseptor, Cytotoxic assay(sel NK dan
CTL), Enzyme assay (adenosin deaminase, fosforilase nukleoside urin/PNP), Pencitraan
timus dab fungsinya, Analisis reseptor sel T, Riset aktivasi sel T, Riset apoptosis, Biopsi,
Analisis mutase
c. Defisiensi fagosit
v Uji tapis: Hitung leukosit total dan hitung jenis, Uji NBT (Nitro blue tetrazolium),
kemiluminesensi : fungsi metabolik neutrofil, Titer IgE
v Uji lanjutan:
Reduksi dihidrorhodamin, White cell turn over, Morfologi special, Kemotaksis dan
mobilitas random, Phagocytosis assay, Bactericidal assays
v Riset:
Adhesion molecule assays (CD11b/CD18, ligan selektin), Oxidative metabolism, Enzyme
assays (mieloperoksidase, G6PD, NADPH), Analisis mutasi

d. Defisensi komplemen
v Uji tapis:Titer C3 dan C4, Aktivitas CH50
v Uji lanjutan:
Opsonin assays, Component assays, Activation assays (C3a, C4a, C4d, C5a)
v Riset:
Aktivitas jalur alternative, Penilaian fungsi(faktor kemotaktik, immune adherence)
LI.2.Memahami dan Menjelaskan HIV
2.1 Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang
sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV
menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal
infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4
sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel limfosit.
Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan
berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan
dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan
sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500.
Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada
orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun
(bahkan pada beberapa kasus bisa sampai nol).
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang
berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh
yang disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan
untuk melindungi diri dari serangan luar seperti kuman, virus, dan penyakit.
AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh ini, sehingga
akhirnya berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain.
2.2 Epidemiologi
UNAIDS dan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah membunuh lebih
dari 25 juta jiwa sejak pertama kali diakui tahun 1981, membuat AIDS sebagai
salah satu epidemik paling menghancurkan pada sejarah. Meskipun baru saja,
akses perawatan antiretrovirus bertambah baik di banyak region di dunia,
epidemik AIDS diklaim bahwa diperkirakan 2,8 juta (antara 2,4 dan 3,3 juta)
hidup di tahun 2005 dan lebih dari setengah juta (570.000) merupakan anakanak. Secara global, antara 33,4 dan 46 juta orang kini hidup dengan HIV.[5]
Pada tahun 2005, antara 3,4 dan 6,2 juta orang terinfeksi dan antara 2,4 dan
3,3 juta orang dengan AIDS meninggal dunia, peningkatan dari 2003 dan
jumlah terbesar sejak tahun 1981.
Afrika Sub-Sahara tetap merupakan wilayah terburuk yang terinfeksi,
dengan perkiraan 21,6 sampai 27,4 juta jiwa kini hidup dengan HIV. Dua juta
[1,5&-3,0 juta] dari mereka adalah anak-anak yang usianya lebih rendah dari
15 tahun. Lebih dari 64% dari semua orang yang hidup dengan HIV ada di
Afrika Sub Sahara, lebih dari tiga per empat (76%) dari semua wanita hidup
dengan HIV. Pada tahun 2005, terdapat 12.0 juta [10.6-13.6 juta] anak
yatim/piatu AIDS hidup di Afrika Sub Sahara. Asia Selatan dan Asia Tenggara
adalah terburuk kedua yang terinfeksi dengan besar 15%. 500.000 anak-anak
mati di region ini karena AIDS. Dua-tiga infeksi HIV/AIDS di Asia muncul di

India, dengawn perkiraan 5.7 juta infeksi (perkiraan 3.4 - 9.4 juta) (0.9% dari
populasi), melewati perkiraan di Afrika Selatan yang sebesar 5.5 juta (4.9-6.1
juta) (11.9% dari populasi) infeksi, membuat negara ini dengan jumlah
terbesar infeksi HIV di dunia.[97] Di 35 negara di Afrika dengan perataan
terbesar, harapan hidup normal sebesar 48.3 tahun - 6.5 tahun sedikit daripada
akan menjadi tanpa penyakit.

Meratanya HIV diantara orang dewasa per negara pada akhir tahun 2005.
2.3 Etiologi
Penyakit ini menular melalui berbagai cara, antara lain melalui cairan tubuh
seperti darah, cairan genitalia, dan ASI. Virus juga terdapat dalam saliva, air
mata, dan urin (sangat rendah). HIV tidak dilaporkan terdapat dalam air mata
dan keringat. Pria yang sudah disunat memiliki risiko HIV yang lebih kecil
dibandingkan dengan pria yang tidak disunat. Selain dari cairan tubuh, HIV
juga ditularkan melalui:
a. Ibu hamil

Secara intrauterin, intrapartum, dan postpartum (ASI).

Angka transmisi mencapai 20-50%.

Angka transmisi melalui ASI dilaporkan lebih dari sepertiga.

Laporan lain menyatakan risiko penularan melalui ASI adalah 1129%.

Sebuah studi meta-analisis prospektif yang melibatkan penelitian


pada dua kelompok ibu, yaitu kelompok ibu yang menyusui sejak
awal kelahiran bayi dan kelompok ibu yang menyusui setelah
beberapa waktu usia bayinya, melaporkan bahwa angka penularan
HIV bayi yang belum disusui adalah 14% (yang diperoleh dari
penularan melalui mekanisme kehamilan dan persalinan), dan angka
penularan HIV meningkat menjadi 29% setelah bayinya disusui.
Bayi normal dengan ibu HIV bisa memperoleh antibodi HIV dari
ibunya selama 6-15 bulan.

b. Jarum suntik

Prevalensi 5-10%.

Penularan HIV pada anak dan remaja biasanya melalui jarum suntik
karena penyalahgunaan obat.

Diantara tahanan (tersangka atau terdakwa tindak pidana) dewasa,


pengguna obat suntuk di Jakarta sebanyak 40% terinfeksi HIV, di
Bogor 25%, dan di Bali 53%.

c. Transfusi darah

Risiko penularan sebesar 90%.

Prevalensi 3-5%.

d. Hubungan seksual

Prevalensi 70-80%.

Kemungkinan tertular adalah 1 dalam 200 kali hubungan intim.

Model penularan ini adalah yang tersering di dunia. Akhir-akhir ini


dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk
menggunakan kondom, maka penularan jalur ini cenderung menurun
dan digantikan oleh penularan melalui jalur penasun (pengguna
narkoba suntik).

2.4 Klasifikasi
Menurut spesies terdapat dua jenis virus penyebab AIDS, yaitu HIV-1 dan HIV2 . HIV-1 paling banyak ditemukan di daerah barat, Eropa, Asia, dan Afrika
Tengah, Selatan, dan Timur. HIV-2 terutama ditemukan di Afrika Barat. HIV-1
maupun HIV-2 mempunyai struktur hampir sama, HIV-1 mempunyai gen VPU,
tetapi tidak mempunyai gen VPX, sedangkan HIV-2 mempunyai gen VPX tapi
tidak memiliki gen VPU.
a. HIV-1

Merupakan penyebab utama AIDS diseluruh dunia. Genom HIV mengkode


sembilan protein esensial untuk setiap aspek siklus hidup virus. Pada HIV-1
terdapat protein Vpu yang membantu pelepasan virus. Terdapat 3 tipe dari HIV1 berdasarkan alterasi pada gen amplopnya yaitu tipe M, N, dan O.
b. HIV-2
Protein Vpu pada HIV-1 digantikan dengan protein Vpx yang dapat
meningkatkan infektivitas (daya tular) dan mungkin merupakan hasil duplikasi
dari protein lain (Vpr). Walaupun sama-sama menyebabkan penyakit klinis
dengan HIV-2 tetapi kurang patogenik dibandingkan dengan HIV-1.
Terdapat juga klasifikasi menurut jumlah Limfosit T CD4
Kategori
Kategori 1
Kategori 2
Kategori 3

CD4+ T- Limfosit
>500 CD4+
200-400 CD4+
<200 CD4+

2.4 Patofisiologi
HIV tergolong ke dalam kelompok virus yang dikenal sebagai
retrovirus yang menunjukkan bahwa virus tersebut membawa materi
genetiknya dalam asam ribonukleat (RNA). Virion HIV (partikel virus yang
lengakap dibungkus oleh selubung pelindung) mengandung RNA dalam inti
berbentuk peluru dimana p24 merupakan komponen strukturan yang utama.
Setelah virus masuk, target utamanya adalah limfosit CD4 karena virus
mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Virus HIV
akanmenginjeksikan dua utas benang RNA yang identik ke dalam sel CD4+
dengan menggunakan enzim reverse transcriptase dan virus akan melakukan
pemrograman ulang materi genetic sel yang terinfeksi untuk membuat DNA.
DNA ini akan disatukan ke dalam nukleus sel sebagai provirus dan kemudian
menginfeksi permanen, sehingga orang yang terinfeksi HIV akan seumur
hidup terinfeksi HIV. Sebagian pasien memperlihatkan gejala tidak khas
seperti demam, nyeri menelan, atau batuk pada 3-6 minggu setelah terinfeksi.
Kondisi ini dikenal dengan infeksi primer.
Infeksi primer berkaitan dengan periode waktu dimana HIV pertama
kali masuk ke dalam tubuh. Pada fase awal proses infeksi (imunokompeten)
akan terjadi respon imun berupa peningkatan aktivitas imun, yaitu pada
tingkat seluler. Setelah infeksi primer, terdapat 4-11 hari masa antara infeksi
mukosa dan viremia permulaan yang dapat dideteksi selama 8-12 minggu.
Selama masa ini, virus tersebar luas keseluruh tubuh dan mencapai organ
limfoid. Pada tahap ini telah terjadi penurunan jumlah sel-T CD4. Respon
imun terhadap HIV terjadi 1 minggu sampai 3 bulan setelah infeksi, viremia
plasma menurun, dan level sel CD4 kembali meningkat namun tidak mampu
menyingkirkan infeksi secara sempurna. Masa laten klinis ini bisa
berlangsung selama 10 tahun. Selama masa ini akan terjadi replikasi virus
yang meningkat. Diperkirakan sekitar 10 milyar partikel HIV dihasilkan dan

dihancurkan setiap harinya. Waktu paruh virus dalam plasma adalah sekitar 6
jam, dan siklus hidup virus rata-rata 2,6 hari. Limfosit T- CD4 yang terinfeksi
memiliki waktu paruh1,6 hari. Karena cepatnya proliferasi virus ini dan
angka kesalahan reversetranscriptase HIV yang berikatan, diperkirakan
bahwa setiap nukleotida dari genom HIV mungkin bermutasi dalam basis
harian (Brooks, 2005).
Akhirnya pasien akan menderita gejala-gejala konstitusional dan
penyakit klinis yang nyata seperti infeksi oportunistik atau neoplasma. Level
virus yang lebih tinggi dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi
yang lebih lanjut. HIV yang dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap
infeksi yang lebih lanjut dan lebih virulindaripada yang ditemukan pada awal
infeksi (Brooks, 2005).
Infeksi oportunistik dapat terjadi karena para pengidap HIV terjadi
penurunan daya tahan tubuh sampai pada tingkat yang sangat rendah,
sehingga beberapa jenis mikroorganisme dapat menyerang bagian-bagian
tubuh tertentu. Bahkan mikroorganisme yang selama ini komensal bisa jadi
ganas dan menimbulkan penyakit(Zein, 2006)

2.5 Patogenesis

Awalnya terjadi perlekatan antara gp120 dan reseptor sel CD4, yang memicu
perubahan konformasi pada gp120 sehingga memungkinkan pengikatan
dengan koreseptor kemokin (biasanya CCR5 atau CXCR4). Setelah itu terjadi
penyatuan pori yang dimediasi oleh gp41 (Mandal, 2008)
Setelah berada di dalam sel CD4, salinan DNA ditranskripsi dari genom RNA
oleh enzim reverse transcriptase (RT) yang dibawa oleh virus. Ini merupakan
proses yang sangar berpotensi mengalami kesalahan. Selanjutnya DNA ini
ditranspor ke dalam nukleus dan terintegrasi secara acak di dalam genom sel
pejamu. Virus yang terintegrasi diketahui sebagai DNA provirus. Pada
aktivasi sel pejamu, RNA ditranskripsi dari cetakan DNA ini dan selanjutnya
di translasi menyebabkan produksi protein virus. Poliprotein prekursor
dipecah oleh protease virus menjadi enzim (misalnya reverse transcriptase
dan protease) dan protein struktural. Hasil pecahan ini kemudian digunakan
untuk menghasilkan partikel virus infeksius yang keluar dari permukaan sel
dan bersatu dengan membran sel pejamu. Virus infeksius baru (virion)
selanjutnya dapat menginfeksi sel yang belum terinfeksi dan mengulang

proses tersebut. Terdapat tiga grup (hampi semua infeksi adalah grup M) dan
subtipe (grup B domina di Eropa) untuk HIV-1 (Mandal, 2008).
2.6 Manifestasi Klinis
Klasifikasi HIV pada orang dewasa menurut CDC (Center for Disease
Control) berdasarkan gejala klinis dan diagnosis laboratoriumnya dibagi
menjadi empat grup:
1. Infeksi akut HIV
Keadaan ini disebut sebagai infeksi primer HIV atau sindrom serokonversi
akut. Waktu dari paparan virus sampai timbulnya keluhan antara 2-4 minggu.
Infeksi akut biasanya asimtomatis, tapi beberapa akan menunjukkan keluhan
seperti demam pada influenza. Pada masa ini, diagnosa jarang dapat
ditegakkan, salah satunya karena tes serologi standar untuk antibodi terhadap
HIV masih memberikan hasil negatif (window periode).
2. Infeksi seropositif HIV asimtomatis
Pada orang dewasa terdapat periode laten infeksi HIV yang bervariasi dan
lama untuk timbulnya penyakit yang terkait HIV/AIDS. Periode
asimtomatisnya bisa panjang mulai dari beberapa bulan hingga 10 tahun atau
lebih. Pada masa ini, biarpun penderita tidak nampak keluhan apa-apa, tetapi
bila diperiksa darahnya akan menunjukkan seropositif antibodi p24 dan gp41.
Hal ini akan sangat berbahaya dan berpotensi tinggi menularkan infeksi HIV
pada orang lain.
3. Persisten generalised lymphadenopaty/ PGL
Pada masa ini ditemukan pembesaran nodus limfe yang meliputi sedikitnya
dua tempat selain inguinal, dan tidak ada penyakit lain atau pengobatan yang
menyebabkan pembesaran nodus limfe minimal selama tiga bulan. Antibodi
yaitu p24 dan g41 biasanya terdeteksi. Beberapa penderita mengalami diare
kronis dengan penurunan berat badan, sering diketahui sebagai slim disease.
4. Gejala yang berkaitan dengan HIV/AIDs
Hampir semua orang yang terinfeksi HIV, jika tidak diterapi, akan berkembang
menimbulkan gejala-gejala yang berkaitan dengan HIV/AIDS. Progresivitas
infeksi tergantung pada karakteristik virus dan hospes. Karakter virus meliputi
HIV-1 dan HIV-2, sedangkan karakter hospes meliputi usia (<5 tahun atau >40
tahun), infeksi yang menyertai-nya, dan faktor genetik.Yang utama dari grup
ini adalah turunnya jumlah limfosit CD4+, biasanya dibawah 100/mm3.
Stadium ini kadang dikenal sebagai full blown AIDS .
Adapun kriteria gejala pada dewasa menurut WHO :
Gejala mayor:

Penurunan berat badan >10% berat badan

Diare kronis lebih dari 1 bulan

Demam lebih dari 1 bulan

Gejala minor:

Batuk-batuk selama lebih dari 1 bulan

Pruritus dermatitis menyeluruh

Infeksi umum yang rekuren (misalnya herpes zoster)

Kandidiasis orofaringeal

Infeksi herpes simplek kronis progresif atau yang meluas

Limfadenopati generalisata

Klasifikasi infeksi HIV pada anak berbeda dengan orang dewasa, klasifikasi
tersebut berdasarkan gejala dan beratnya imunosupresi yang terjadi pada anak.
Klasifikasi ini sendiri penting untuk mengetahui derajat beratnya penyakit HIV
anak. Adapun kriteria gejala menurut WHO untuk anak:
Gejala mayor:

Berat badan turun atau pertumbuhan lambat yang abnormal

Diare kronis >1 bulan

Demam >1 bulan

Gejala minor:

Limfadenopati generalisata

Kandidiasis orofaringeal

Infeksi umum yang rekuren

Batuk-batuk selama lebih dari 1 bulan

Ruam kulit yang menyeluruh

Konfirmasi Infeksi HIV pada ibunya dihitung sebagai kriteria minor.


Gejala-gejala Utama AIDS
Berbagai gejala AIDS umumnya tidak akan terjadi pada orang-orang yang
memiliki sistem kekebalan tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi tersebut akibat
infeksi oleh bakteri, virus, fungi dan parasit, yang biasanya dikendalikan oleh
unsur-unsur sistem kekebalan tubuh yang dirusak HIV. Infeksi oportunistik
umum didapati pada penderita AIDS.HIV mempengaruhi hampir semua organ
tubuh. Penderita AIDS juga berisiko lebih besar menderita kanker seperti
sarkoma Kaposi, kanker leher rahim, dan kanker sistem kekebalan yang disebut
limfoma. Biasanya penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik; seperti
demam, berkeringat (terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar,
kedinginan, merasa lemah, serta penurunan berat badan. Infeksi oportunistik
tertentu yang diderita pasien AIDS, juga tergantung pada tingkat kekerapan
terjadinya infeksi tersebut di wilayah geografis tempat hidup pasien.
A Penyakit Paru-Paru Utama

<< Foto sinar-X pneumonia pada paru-paru, disebabkan oleh Pneumocystis


jirovecii.
Pneumonia pneumocystis (PCP) jarang dijumpai pada orang sehat yang
memiliki kekebalan tubuh yang baik, tetapi umumnya dijumpai pada orang
yang terinfeksi HIV.
Penyebab penyakit ini adalah
fungi Pneumocystis jirovecii.
Sebelum adanya diagnosis,
perawatan, dan tindakan
pencegahan rutin yang efektif
di
negara-negara
Barat,
penyakit ini umumnya segera
menyebabkan kematian. Di
negara-negara berkembang,
penyakit ini masih merupakan
indikasi pertama AIDS pada
orang-orang yang belum
dites, walaupun umumnya
indikasi tersebut tidak muncul
kecuali jika jumlah CD4
kurang dari 200 per L.
Tuberkulosis
(TBC)
merupakan infeksi unik di
antara infeksi-infeksi lainnya yang terkait HIV, karena dapat ditularkan
kepada orang yang sehat (imunokompeten) melalui rute pernapasan
(respirasi). Ia dapat dengan mudah ditangani bila telah diidentifikasi, dapat
muncul pada stadium awal HIV, serta dapat dicegah melalui terapi
pengobatan. Namun demikian, resistensi TBC terhadap berbagai obat
merupakan masalah potensial pada penyakit ini.
Meskipun munculnya penyakit ini di negara-negara Barat telah berkurang
karena digunakannya terapi dengan pengamatan langsung dan metode
terbaru lainnya, namun tidaklah demikian yang terjadi di negara-negara
berkembang tempat HIV paling banyak ditemukan. Pada stadium awal
infeksi HIV (jumlah CD4 >300 sel per L), TBC muncul sebagai penyakit
paru-paru. Pada stadium lanjut infeksi HIV, ia sering muncul sebagai
penyakit sistemik yang menyerang bagian tubuh lainnya (tuberkulosis
ekstrapulmoner). Gejala-gejalanya biasanya bersifat tidak spesifik
(konstitusional) dan tidak terbatasi pada satu tempat.TBC yang menyertai
infeksi HIV sering menyerang sumsum tulang, tulang, saluran kemih dan
saluran pencernaan, hati, kelenjar getah bening (nodus limfa regional), dan
sistem syaraf pusat.[12] Dengan demikian, gejala yang muncul mungkin
lebih berkaitan dengan tempat munculnya penyakit ekstrapulmoner.
B Penyakit saluran pencernaan
Esofagitis adalah peradangan pada kerongkongan (esofagus), yaitu jalur
makanan dari mulut ke lambung. Pada individu yang terinfeksi HIV, penyakit
ini terjadi karena infeksi jamur (jamur kandidiasis) atau virus (herpes
simpleks-1 atau virus sitomegalo). Ia pun dapat disebabkan oleh
mikobakteria, meskipun kasusnya langka.

Diare kronis yang tidak dapat dijelaskan pada infeksi HIV dapat terjadi
karena berbagai penyebab; antara lain infeksi bakteri dan parasit yang umum
(seperti Salmonella, Shigella, Listeria, Kampilobakter, dan Escherichia coli),
serta infeksi oportunistik yang tidak umum dan virus (seperti
kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, Mycobacterium avium complex, dan
virus sitomegalo (CMV) yang merupakan penyebab kolitis).
Pada beberapa kasus, diare terjadi sebagai efek samping dari obat-obatan
yang digunakan untuk menangani HIV, atau efek samping dari infeksi utama
(primer) dari HIV itu sendiri. Selain itu, diare dapat juga merupakan efek
samping dari antibiotik yang digunakan untuk menangani bakteri diare
(misalnya pada Clostridium difficile). Pada stadium akhir infeksi HIV, diare
diperkirakan merupakan petunjuk terjadinya perubahan cara saluran
pencernaan menyerap nutrisi, serta mungkin merupakan komponen penting
dalam sistem pembuangan yang berhubungan dengan HIV.
C Penyakit Syaraf dan Kejiwaan.
Infeksi HIV dapat menimbulkan beragam kelainan tingkah laku karena
gangguan pada syaraf (neuropsychiatric sequelae), yang disebabkan oleh
infeksi organisma atas sistem syaraf yang telah menjadi rentan, atau sebagai
akibat langsung dari penyakit itu sendiri.
Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit bersel-satu,
yang disebut Toxoplasma gondii. Parasit ini biasanya menginfeksi otak dan
menyebabkan radang otak akut (toksoplasma ensefalitis), namun ia juga
dapat menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada mata dan paru-paru.
Meningitis kriptokokal adalah infeksi meninges (membran yang menutupi
otak dan sumsum tulang belakang) oleh jamur Cryptococcus neoformans.
Hal ini dapat menyebabkan demam, sakit kepala, lelah, mual, dan muntah.
Pasien juga mungkin mengalami sawan dan kebingungan, yang jika tidak
ditangani dapat mematikan.
Leukoensefalopati multifokal progresif adalah penyakit demielinasi, yaitu
penyakit yang menghancurkan selubung syaraf (mielin) yang menutupi
serabut sel syaraf (akson), sehingga merusak penghantaran impuls syaraf. Ia
disebabkan oleh virus JC, yang 70% populasinya terdapat di tubuh manusia
dalam kondisi laten, dan menyebabkan penyakit hanya ketika sistem
kekebalan sangat lemah, sebagaimana yang terjadi pada pasien AIDS.
Penyakit ini berkembang cepat (progresif) dan menyebar (multilokal),
sehingga biasanya menyebabkan kematian dalam waktu sebulan setelah
diagnosis.
Kompleks demensia AIDS adalah penyakit penurunan kemampuan mental
(demensia) yang terjadi karena menurunnya metabolisme sel otak
(ensefalopati metabolik) yang disebabkan oleh infeksi HIV; dan didorong
pula oleh terjadinya pengaktifan imun oleh makrofag dan mikroglia pada
otak
yang
mengalami
infeksi
HIV, sehingga
mengeluarkan
neurotoksin.Kerusakan syaraf yang spesifik, tampak dalam bentuk

ketidaknormalan kognitif, perilaku, dan motorik, yang muncul bertahuntahun setelah infeksi HIV terjadi. Hal ini berhubungan dengan keadaan
rendahnya jumlah sel T CD4+ dan tingginya muatan virus pada plasma
darah. Angka kemunculannya (prevalensi) di negara-negara Barat adalah
sekitar 10-20%,namun di India hanya terjadi pada 1-2% pengidap infeksi
HIV.Perbedaan ini mungkin terjadi karena adanya perbedaan subtipe HIV di
India.

D Kanker dan Tumor Ganas (Maligant)


Pasien dengan infeksi HIV pada dasarnya memiliki risiko yang lebih tinggi
terhadap
terjadinya
beberapa kanker. Hal ini
karena infeksi oleh
virus DNA penyebab
mutasi genetik; yaitu
terutama virus EpsteinBarr
(EBV),
virus
herpes Sarkoma Kaposi
(KSHV), dan virus
papiloma
manusia
(HPV).
Sarkoma Kaposi adalah
tumor yang paling umum menyerang pasien yang terinfeksi HIV.
Kemunculan tumor ini pada sejumlah pemuda homoseksual tahun 1981
adalah salah satu pertanda pertama wabah AIDS. Penyakit ini disebabkan
oleh virus dari subfamili gammaherpesvirinae, yaitu virus herpes manusia-8
yang juga disebut virus herpes Sarkoma Kaposi (KSHV). Penyakit ini sering
muncul di kulit dalam bentuk bintik keungu-unguan, tetapi dapat menyerang
organ lain, terutama mulut, saluran pencernaan, dan paru-paru.
Kanker getah bening tingkat tinggi (limfoma sel B) adalah kanker yang
menyerang sel darah putih dan terkumpul dalam kelenjar getah bening,
misalnya seperti limfoma Burkitt (Burkitt's lymphoma) atau sejenisnya
(Burkitt's-like lymphoma), diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL), dan
limfoma sistem syaraf pusat primer, lebih sering muncul pada pasien yang
terinfeksi HIV. Kanker ini seringkali merupakan perkiraan kondisi
(prognosis) yang buruk. Pada beberapa kasus, limfoma adalah tanda utama
AIDS. Limfoma ini sebagian besar disebabkan oleh virus Epstein-Barr atau
virus herpes Sarkoma Kaposi.
Kanker leher rahim pada wanita yang terkena HIV dianggap tanda utama
AIDS. Kanker ini disebabkan oleh virus papiloma manusia.
Pasien yang terinfeksi HIV juga dapat terkena tumor lainnya, seperti limfoma
Hodgkin, kanker usus besar bawah (rectum), dan kanker anus. Namun
demikian, banyak tumor-tumor yang umum seperti kanker payudara dan
kanker usus besar (colon), yang tidak meningkat kejadiannya pada pasien

terinfeksi HIV. Di tempat-tempat dilakukannya terapi antiretrovirus yang


sangat aktif (HAART) dalam menangani AIDS, kemunculan berbagai kanker
yang berhubungan dengan AIDS menurun, namun pada saat yang sama
kanker kemudian menjadi penyebab kematian yang paling umum pada
pasien yang terinfeksi HIV

E Infeksi Oportunistik Lainnya


Pasien AIDS biasanya
menderita
infeksi
oportunistik dengan gejala
tidak spesifik, terutama
demam
ringan
dan
kehilangan berat badan.
Infeksi oportunistik ini
termasuk
infeksi
Mycobacterium
aviumintracellulare dan virus
sitomegalo.
Virus
sitomegalo
dapat
menyebabkan
gangguan
radang pada usus besar
(kolitis)
seperti
yang
dijelaskan di atas, dan
gangguan radang pada
retina
mata
(retinitis
sitomegalovirus),
yang
dapat
menyebabkan
kebutaan. Infeksi yang
disebabkan oleh jamur
Penicillium marneffei, atau disebut Penisiliosis, kini adalah infeksi
oportunistik ketiga yang paling umum (setelah tuberkulosis dan
kriptokokosis) pada orang yang positif HIV di daerah endemik Asia
Tenggara.
2.7 Diagnosis
1. Anamnesis
- Diare intermiten > 1 bulan
- Berat badan menurun
- Demam > 1 bulan
- Muosa lidah bercak-bercak dan putih
- Batuk TBC

- Anoreksia
- Penurunan kesadaran
2. Pemeriksaan Fisik
-

Tampak kurus

- Pucat
- Lemah
- Bercak putih pada lidah
- Terdapat benjolan di leher
- Terdapat pembesaran kelenjar getah bening
3. Pemeriksaan Penunjang
- CD4
- Pemeriksaan Ig
- LED
- Pemeriksaan Feses sel ragi
- Pemeriksaan darah rutin
- ELISA
- PCR
- WESTERN BOLT
- Viral Load Test
- Pemeriksaan air liur
- Screening Test
- Radiologi: Rontgen Paru
2.8 Pemerikasaan Laboratorium
Metode pemeriksaan laboratorium dasar untuk diagnosis infeksi HIV dibagi
dalam dua kelompok yaitu :
1) Uji Imunologi
Uji imunologi untuk menemukan respon antibody terhadap HIV-1 dan
digunakan sebagai test skrining, meliputi enzyme immunoassays atau
enzymelinked immuno-sorbent assay (ELISAs) sebaik tes serologi cepat
(rapid test). Uji Western blot atau indirect immunofluorescence assay
(IFA) digunakan untuk memperkuat hasil reaktif dari test skrining.
ELISA (deteksi antibody HIV)
ELISA dengan hasil reaktif (positif) harus diulang dengan sampel
darah yang sama, dan hasilnya dikonfirmasikan dengan Western Blot
atau IFA. Sedangkan hasil yang negatif tidak memerlukan tes
konfirmasi lanjutan.
Rapid test
Merupakan tes serologik yang cepat untuk mendeteksi IgG antibody
terhadap HIV-1. Prinsip pengujian berdasarkan aglutinasi partikel,
imunodot (dipstik), imunofiltrasi atau imunokromatografi. ELISA
tidak dapat digunakan untuk mengkonfirmasi hasil rapid tes dan
semua hasil rapid tes reaktif harus dikonfirmasi dengan Western blot
atau IFA.

Western blot
Digunakan untuk konfirmasi hasil reaktif ELISA atau hasil serologi
rapid tes sebagai hasil yang benar-benar positif. Uji Western blot
menemukan keberadaan antibodi yang melawan protein HIV-1
spesifik (struktural dan enzimatik). Hasil negative Western blot
menunjukkan bahwa hasil positif ELISA atau rapid tes dinyatakan
sebagai hasil positif palsu dan pasien tidak mempunyai antibodi HIV1. Hasil Western blot positif menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1
pada individu dengan usia lebih dari 18 bulan.
Indirect Immunofluorescence Assays (IFA)
Uji ini sederhana untuk dilakukan dan waktu yang dibutuhkan lebih
sedikit dan sedikit lebih mahal dari uji Western blot. Antibodi Ig
dilabel dengan penambahan fluorokrom dan akan berikatan pada
antibodi HIV jika berada pada sampel. Jika slide menunjukkan
fluoresen sitoplasma dianggap hasil positif (reaktif), yang
menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1.
2) Uji Virologi
Tes virologi untuk diagnosis infeksi HIV-1 meliputi kultur virus, tes
amplifikasi asam nukleat / nucleic acid amplification test (NAATs) , test
untuk menemukan asam nukleat HIV-1 seperti DNA arau RNA HIV-1 dan
test untuk komponen virus (seperti uji untuk protein kapsid virus (antigen
p24)).
Kultur HIV
HIV dapat dibiakkan dari limfosit darah tepi, titer virus lebih tinggi
dalam plasma dan sel darah tepi penderita AIDS. Pertumbuhan virus
terdeteksi dengan menguji cairan supernatan biakan setelah 7-14 hari
untuk aktivitas reverse transcriptase virus atau untuk antigen spesifik
virus.
NAAT HIV-1 (Nucleic Acid Amplification Test)
Menemukan RNA virus atau DNA proviral yang banyak dilakukan
untuk diagnosis pada anak usia kurang dari 18 bulan. Karena asam
nukleat virus mungkin berada dalam jumlah yang sangat banyak
dalam sampel.
Uji antigen p24
Protein virus p24 berada dalam bentuk terikat dengan antibodi p24
atau dalam keadaan bebas dalam aliran darah indivudu yang terinfeksi
HIV-1. Pada umumnya uji antigen p24 jarang digunakan dibanding
teknik amplifikasi RNA atau DNA HIV karena kurang sensitif.
2.9 Penatalaksanaan

HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total.
Namun, data selama 8 tahun terakhir menunjukan bukti yang amat
menyakinkan bahwa pengobatan dengan kombinasi beberapa obat anti HIV
(obat anti retroviral , disingkat obat ARV) bermanfaat menurunkan
morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV, orang dengan HIV/AIDS
menjadi lebih sehat, dapat bekerja normal dan produktif. Manfaat ARV di
capai melalui pulihnya sistem kekebalan akibat HIV dan pulihnya kerentanan
odha terhadap infeksi oportunistik.
Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu:
a). Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretrovira
(ARV),
b).Pengobatan untuk mengatasi beberapa penyakit infeksi dan kangker yang
menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkolosis ,hepatitis,
toksoplasma, sarkoma, kaposi, limfoma, kanker serviks,
c). Pengobatan suportif, yaitu: makanan yang mempunyai nilai gizi yang
lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan lain seperti
dukungan psikososial dan dukungan agama seperti juga tidur yang cukup dan
perlu menjaga kebersihan. Dengan pengobatan yanglengkap tersebut, angka
kematian dapat di tekan, harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi
oportunistik amat berkurang.
TERAPI ANTIRETROVIRAL(ARV)
Pemberian ARV telah menyebabkan kondisi kesehatan odha menjadi jauh
lebih baik.infeksi kriptosporidiasis yang sebelumnya sukar di obati, menjadi
lebih mudah di tangani. Infeksi penyakit oportunistik lain yang berat seperti
infeksi firus sitomegola dan infeksi mikobakterium atipikal, dapat di
sembuhkan. pneumonia pneumocystis carinii pada odha yang hilang timbul,
biasanya mengharuskan odha minum obat infeksi agar tidak kambuh. Namun
sekarang dengan minum obat ARV teratur, banyak ODHA yang tidak
memerlukan minum obat profilaksis terhadap pneumonia.
Terhadap penemuan kasus kanker yang terkait dengan HIV seperti sarkoma
koposi dan limfoma dikarnakan pemberian obat-obat antiretroviral tersebut.
Sarkoma koposi dapat sepontan membaik tanpa pengobatan
khusus.penekanan terhadap replikasi virus menyebabkanpenurunan produksi
sitokin dan protein virus yang dapat menstimulasi pertumbuhan sarkoma
koposi. Selain itu pulihnya kekebalan tubuh menyebabkan tubuh dapat
membentuk responsi imun yang efektif terhadap human herpesvirus 8 (HHP8) yang di hubungkan dengan kejadian sarkoma koposi.
Obat ARV terdiri dari beberapa golongan seperti nucleoside reverse
transcriptase inhibitor, nucleotide reverse transcriptase inhibitor, nonnucleoside reverse transcriptase inhibitor, dan inhibitor protease. tidak
semua ARV yang ada telah tersedia di indonesia (tabel 3). Waktu memulai
terapi ARV harus di pertimbangkan dengan seksama karena obat ARV akan
diberikan dalam jangka panjang. Obat ARV di rekomendasikan pada semua
pasien yang telah menunjukan gejala yang termasuk dalam kriteria diagnosis
AIDS, atau menunjukan gejala yang sangat berat, tanpa melihat jumlah
limfosit CD4+. Obat ini juga di rekomendasikan pada pasien asimptomatik

dengan llimfosit CD4+ kurang dari 200 sel /mm 3. Pasien asimptomatik
dengan limfosit CD4+200-350 sel/mm3 dapat di tawarkan untuk memulai
terapi. Pada pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ lebih dari 350
sel/mm3 dan viral load lebih dari 100.000 kopi/ml terapi ARV dapat di
mulai, namun dapat pula ditunda.Terapi ARV tidak di anjurkan di mulai pada
pasien dengan limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm 3 dan viral load kurang
dari 100.000 kopi/ml.
Saat ini regimen pengobatanm ARV yang dianjurkan WHO adalah kombinasi
dari 3 obat ARV. Terdapat beberapa regimen yang dapat dipergunakan (tabei
4), dengan

keungulan dan kerugiannya masing-masing.kombinasi obat antiretroviral lini


pertama yang umumnya digunakan di indonesia adalah kombinasi zidovudin
(ZDV)/lamivudin (3TC),dengan nevirapin (NVP).
Obat ARV juga di berikan pada beberapa kondisi khusus seperti pengobatan
profilaksis pada orang yang terpapar dengan cairan tubuh yang mengandung
virus HIV (post- exposure prophylaxis ) dan pencegahan penularan ibu ke
bayi.
Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dengan pemberian obat
ARV penting untuk mendapat perhatian lebih besar meningkat sudah ada
beberapa bayi di indonesia yang tertular HIV dari ibunya. Evektifitas
penularan HIV dari ibu ke bayi adalah sebesar 10-30%. Artinya dari 100 ibu
hamil yang terinfeksi HIF, ada 10sampai30 bayi yang akan tertular. Sebagian
besar penularan terjadi sewaktu proses melahirkan, dan serbagian kecil
melalui plasenta selama kehamilan dan sebagian lagi melalui air susu ibu.
Kendala yang di khawatirkan adalah biyaya untuk membeli obat
ARV.obatARV yang di anjurkan untuk PTMCT adalah zidovudin (AZT) atau
nevirapin.pemberian nevirpin dosis tunggal untuk ibu dan anak dinilai sangat
mudah untuk di terapan dan ekonomis.sebelumnya pilihan yang terbaik
adalah pemberian ARV yang di kombinasikan denganoprasi caesar, karena

dapat menekan penularan sampai 1% namun sayangnya di negara


berkembang seperti indonesia tidak mudah untuk melakukaan operasi sectio
caesaria yang murah dan aman.
Interaksi dengan obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Masalah koinfeksi tuberkulosis dengan HIV merupakan masalah yang sering
di hadapi di indonesia. Pada prinsipnya, pemberian OAT pada odha tidak
berbeda dengan passien HIF negatif. Interaksi antara OAT dan ARV,
termasuk efek hepatotoksisitasnya, harus sangat di perhatikan. Pada odha
yang telah mendapat obat ARV sewaktu diagnosis TB ditegakkan, maka obat
ARV tetap diteruskan dengan efaluasi yang lebih ketat. Pada odha yang
belum mendapat terapi ARV, waktu pemberian obat di sesuaikan dengan
kondisinya (Tabel 5)
Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleosida,
kecuali ddl yang harus di berikan selang 1 jam dengan OAT karena bersifat
sebagai buffer antasida.
Interaksi dengan OAT terutama terjadi pada ARV golongan non-nukleosida
dan inhibitor protease. Obat ARV yang di anjurkan digunakan pada odha
dengan TB pada kolom B (tabel 4) adalah evafirenz. Rifampisin dapat
menurunkan kadar nelvinafir sampai 82% dan dapat menurunkan kadar
nevirapin sampai 37%. Namun, jika evafirenza tidak memungkinkan
diberikan, Pada pemberian Bersama rifamisin dan nevirapin, dosis nevirapin
tidak perlu dinaikan.

EVALUASI PENGOBATAN

Pemantauan jumlah sel CD4 di dalam darah merupakan indikator yang dapat
di percaya untuk membantu beratnya kerusakan kekebalan tubuh akibat HIV,
dan memudahkan kita untuk mengambil keputusan memberikan pengobatan
ARV. Jika kita mendapat sarana pemeriksaan CD4, maka jumlah CD4 dapat
di perkirakan dari jumlah limfosit total yang sudah dapat dikerjakan dari
banyak laboratorium pada umumnya.
Sebelum tahun 1996, para klinisi mengobati, menentukan prognosisdan
menduga staging pasien, berdasarkan gambaran klinik pasien dan jumlah
limfosit CD4. Sekarang ini sudah ada tambahan parameter baru yaitu
hitungan virus HIV dalam darah(viral load) sehingga upaya tersebut
menjadilebih tepat.
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa dengan pemeriksaan viral
load, kita dapat memperkirakan resiko kecepatan perjalanan penyakit dan
kematian akibat HIV. Pemeriksaan vira load memudahkan untuk memantau
efektifitas obat ARV.
Sejak awal pengobatan ARV, masalah kegagalan terapi ARV lini pertama
menjadi hal yang banyak diteliti. Definisi kegagalan terapi dapat dilihat pada
tabel 6.
Obat-obat golongan protease inhibitor (PIs) seperti lopinavir/ritonavir,
atazanavir, saquinavir, fosamprenavir, dan darunavir memiliki barier genetik
yang tinggi terhadap resistensi. Obat golongan lain memiliki barier rendah.
Walu demikian, kebanyakan pasien yang mendapatkan Pis-terkait HAART
(highly active anti-retroviral therapy) yang mengalami kegagalan virologis
biasanya memiliki strain virus HIV yang masih sensitif, kecuali bila
digunakan jangka panjang. Obat golongan lain biasanya menjadi resisten
dalam waktu yang lebih singkat ketika terdapat kegagalan virologist.
Indikasi terapi untuk merubah terapi pada kasus gagal terapi adalah progresi
penyakit secara klinis dimulai setelah >6 bulan memakai ARV.
Pada WHO stadium 3: penurunan berat badan BB > 10%, diare atau demam
>1 bulan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya, oral hairly leukoplakia
terdapat infeksi bakterial yang berat atau bedridden lebih dari 50% dari
satu bulan terakhir.
Tes resistensi seharusnya dilakukan selama terapi atau dalam 4 minggu
penghentian regimen obat yang gagal. Interpretasi hasil tes resistensi
merupakan hal yang kompleks, bahkan terkadang lebih baik dikerjakan oleh
ahlinya.
2.10

Komplikasi

Kebanyakan komplikasi HIV terjadi akibat dari surpresi sel T. Karena sel T yang
diserang, kekebalan tubuh menuruh hingga dapat terjadi infeksi oportunistik.
Komplikasi-komplikasi pada pasien yang terjangkit HIV menyebabkan AIDS.
Obat anti-retroviral, yang dikenal sebagai Highly Active Anti-Retroviral Therapy

(ART), sekarang tersedia untuk menghambat replikasi dari virus HIV. Obat-obat
ini membantu untuk memperpanjang hidup, mengembalikan sistem kekebalan
pasien hingga mendekati aktivitas normal dan mengurangi kemungkinan infeksi
oportunistik. Kombinasi dari tiga atau lebih obat-obatan diberikan untuk
mengurangi kemungkinan resistensi.
Komplikasi-komplikasi
oportunistik:

umum

pada

pasien

HIV/AIDS

akibat

infeksi

Tuberkulosis (TB)
Di negara-negara miskin, TB merupakan infeksi oportunistik yang paling
umum yang terkait dengan HIV dan menjadi penyebab utama kematian di
antara orang yang hidup dengan AIDS. Jutaan orang saat ini terinfeksi HIV
dan TBC dan banyak ahli menganggap bahwa ini merupakan wabah dua
penyakit kembar.

Salmonelosis
Kontak dengan infeksi bakteri ini terjadi dari makanan atau air yang telah
terkontaminasi. Gejalanya termasuk diare berat, demam, menggigil, sakit perut
dan, kadang-kadang, muntah. Meskipun orang terkena bakteri salmonella
dapat menjadi sakit, salmonellosis jauh lebih umum ditemukan pada orang
yang HIV-positif.

Cytomegalovirus (CMV)
Virus ini adalah virus herpes yang umum ditularkan melalui cairan tubuh
seperti air liur, darah, urine, semen, dan air susu ibu. Sistem kekebalan tubuh
yang sehat dapat menonaktifkan virus sehingga virus tetap berada dalam fase
dorman (tertidur) di dalam tubuh. Jika sistem kekebalan tubuh melemah, virus
menjadi aktif kembali dan dapat menyebabkan kerusakan pada mata, saluran
pencernaan, paru-paru atau organ tubuh lainnya.

Kandidiasis
Kandidiasis adalah infeksi umum yang terkait HIV. Hal
ini menyebabkan peradangan dan timbulnya lapisan
putih tebal pada selaput lendir, lidah, mulut,
kerongkongan atau vagina. Anak-anak mungkin
memiliki gejala parah terutama di mulut atau
kerongkongan sehingga pasien merasa sakit saat makan.

Cryptococcal Meningitis
Meningitis adalah peradangan pada selaput dan cairan yang mengelilingi otak
dan sumsum tulang belakang (meninges). Cryptococcal meningitis infeksi
sistem saraf pusat yang umum terkait dengan HIV. Disebabkan oleh jamur
yang ada dalam tanah dan mungkin berkaitan dengan kotoran burung atau
kelelawar.

Toxoplasmolisis
Infeksi yang berpotensi mematikan ini disebabkan oleh Toxoplasma gondii.
Penularan parasit ini disebabkan terutama oleh kucing. Parasit berada dalam
tinja kucing yang terinfeksi kemudian parasit dapat menyebar ke hewan lain.

Kriptosporidiosis
Infeksi ini disebabkan oleh parasit usus yang umum ditemukan pada hewan.
Penularan kriptosporidiosis terjadi ketika menelan makanan atau air yang
terkontaminasi. Parasit tumbuh dalam usus dan saluran empedu yang
menyebabkan diare kronis pada orang dengan AIDS.

Kanker yang biasa terjadi pada pasien HIV/AIDS:

Sarkoma Kaposi
Sarkoma Kaposi adalah suatu tumor pada dinding pembuluh darah. Meskipun
jarang terjadi pada orang yang tidak terinfeksi HIV, hal ini menjadi biasa pada
orang dengan HIV-positif. Sarkoma Kaposi biasanya muncul sebagai lesi
merah muda, merah atau ungu pada kulit dan mulut. Pada orang dengan kulit
lebih gelap, lesi mungkin terlihat hitam atau coklat gelap. Sarkoma Kaposi
juga dapat mempengaruhi organ-organ internal, termasuk saluran pencernaan
dan paru-paru.

Limfoma
Kanker jenis ini berasal dari sel-sel darah putih. Limfoma biasanya berasal
dari kelenjar getah bening. Tanda awal yang paling umum adalah rasa sakit
dan pembengkakan kelenjar getah bening ketiak, leher atau selangkangan.

Komplikasi lainnya:

Wasting Syndrome
Pengobatan agresif telah mengurangi jumlah kasus wasting syndrome, namun
masih tetap mempengaruhi banyak orang dengan AIDS. Hal ini didefinisikan
sebagai penurunan paling sedikit 10 persen dari berat badan dan sering disertai
dengan diare, kelemahan kronis dan demam.

Komlikasi Neurologis
Walaupun AIDS tidak muncul untuk menginfeksi sel-sel saraf, tetapi AIDS
bisa menyebabkan gejala neurologis seperti kebingungan, lupa, depresi,
kecemasan dan kesulitan berjalan. Salah satu komplikasi neurologis yang
paling umum adalah demensia AIDS yang kompleks, yang menyebabkan
perubahan perilaku dan fungsi mental berkurang.
2.11

Pencegahan
a. Untuk orang sehat

Abstinens (tidak melakukan hubungan seksual)

Seks aman (terlindung)

b. Untuk penderita HIV positif

Abstinens

Seks aman

Tidak mendonorkan darah atau organ

Mencegah kehamilan

Memberitahu mitra seksualnya sebelum dan sesudah diketahui


terinfeksi

c. Untuk penyalahgunaan obat-obatan

Menghentikan penggunaan suntikan bekas atau bersama-sama

Mengikuti program rehabilitasi

d. Untuk profesional kesehatan

2.12

Menggunakan sarung tangan lateks pada setiap kontak dengan cairan


tubuh

Menggunakan jarum sekali pakai

Prognosis

9 sampai 11 tahun, tergantung pada subtipe HIV, di daerah-daerah dimana


banyak tersedia, pengembangan ARV sebagai terapi efektif untuk infeksi
HIV dan AIDS mengurangi kematian tingkat dari penyakit dengan 80%, dan
meningkatkan harapan hidup untuk orang yang terinfeksi HIV baru
didiagnosis sekitar 20 tahun.
Tanpa terapi antiretroviral, kematian biasanya terjadi dalam waktu satu
tahun. Laju perkembangan penyakit klinis sangat bervariasi antara individu
dan telah terbukti dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kerentanan host dan
fungsi kekebalan tubuh
LI.3.Memahami dan Menjelaskan Alogritme Pemeriksaan Skrining dan
Konfirmasi Untuk Diagnosis Infeksi HIV/AIDS
Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui secara pasti apakah seseorang terinfeksi
HIV sangatlah penting, karena infeksi pada HIV gejala klinisnya dapat baru terlihat
setelah bertahun-tahun lamanya. Terdapat beberapa jenis pemeriksaan laboratorium
untuk memastikan diagnosis infeksi HIV. Secara garis besar dapat dibagi menjadi
pemeriksaan serologik untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dan
pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan virus HIV. Deteksi adanya virus HIV
dalam tubuh dapat dilakukan dengan isolasi dan biakan virus, deteksi antigen, dan
deteksi materi genetik dalam darah pasien.

Pemeriksaan yang lebih mudah dilaksanakan adalah pemeriksaan terhadap antibodi


HIV. Sebagai penyaring, biasanya digunakan teknik ELISA (enzyme-linked
immunosorbent assay), aglutinasi atau dot-blot immunobinding assay. Metode yang
biasanya digunakan di Indonesia adalah dengan ELISA. Hal yang perlu diperhatikan
dalam melakukan tes terhadap antibodi HIV ini yaitu adanya masa jendela (window
period). Masa jendela adalah waktu sejak tubuh terinfeksi HIV sampai mulai
timbulnya antibodi yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan. Antibodi mulai
terbentuk pada 4-8 minggu setelah infeksi. Jadi pada periode ini hasil tes HIV pada
seseorang yang sebenarnya telah terinfeksi HIV dapat memberikan hasil yang negatif.
Untuk itu jika kecurigaan akan adanya risiko terinfeksi cukup tinggi, perlu dilakukan
pemeriksaan ulangan tiga bulan kemudian.
World Health Organization (WHO) menganjurkan pemakaian salah satu dari tiga
strategi pemeriksaan antibodi terhadap HIV seperti disajikan pada tabel dan gambar di
bawah ini.

Pemeriksaan Infeksi HIV


a. Strategi I
Hanya dilakukan satu kali pemeriksaan. Bila hasil pemeriksaan reaktif, maka
dianggap sebagai kasus terinfeksi HIV dan bila hasil pemeriksaan nonreaktif
dianggaptidak terinfeksi HIV. Reagensia yang dipakai untuk pemeriksaan pada
strategi ini harus memiliki sensitivitas yang tinggi (>99%).
b. Strategi II
Menggunakan dua kali pemeriksaan jika serum pada pemeriksaan pertama
memberikan hasil reaktif. Jika pada pemeriksaan pertama hasilnya nonreaktif,
maka dilaporkan hasilnya negatif. Pemeriksaan pertama menggunakan reagensia
dengansensitivitas tertinggi dan pada pemeriksaan kedua dipakai reagensia yang
lebih spesifik serta berbeda jenis antigen atau tekniknya dari yang dipakai pada

pemeriksaan pertama. Bila hasil pemeriksaan kedua juga reaktif, maka


disimpulkan sebagai terinfeksi HIV. Namun jika hasil pemeriksaan yang kedua
adalah nonreaktif,maka pemeriksaan harus diulang dengan kedua metode. Bila
hasil tetap tidak sama,maka dilaporkan sebagai indeterminate.
c. Strategi III
Menggunakan tiga kali pemeriksaan. Bila hasil pemeriksaan pertama,
kedua,dan ketiga reaktif, maka dapat disimpulkan bahwa pasien tersebut
memang terinfeksiHIV. Bila hasil pemeriksaan tidak sama, misalnya hasil tes
pertama reaktif, tes kedua reaktif, dan tes ketiga nonreaktif, atau tes pertama
reaktif, sementara tes kedua danketiga nonreaktif, maka keadaan ini disebut
sebagai equivokal atau indeterminate bila pasien yang diperiksa memiliki
riwayat pemaparan terhadap HIV atau berisiko tinggitertular HIV. Sedangkan
bila hasil seperti yang disebut sebelumnya terjadi pada orangtanpa riwayat
pemaparan terhadap HIV atau tidak berisiko tertular HIV, maka hasil
pemeriksaan dilaporkan sebagai nonreaktif. Perlu diperhatikan juga bahwa pada
pemeriksaan ketiga dipakai reagensia yang berbeda asal antigen atau tekniknya,
sertamemiliki spesifisitas yang lebih tinggi.
Jika pemeriksaan penyaring menyatakan hasil yang reaktif, pemeriksaan
dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi untuk memastikan adanya
infeksi olehHIV, yang paling sering dipakai saat ini adalah teknik Western Blot
(WB).
Seseorang yang ingin menjalani tes HIV untuk keperluan diagnosis harus
mendapatkan konseling pra tes. Hal ini dilakukan agar ia bisa mendapat
informasi yang sejelas-jelasnya mengenai infeksi HIV/AIDS sehingga dapat
mengambilkeputusan yang terbaik untuk dirinya serta lebih siap menerima
apapun hasil tesnya nanti. Untuk keperluan survei tidak diperlukan konseling
pra tes karena orang yang dites tidak akan diberi tahu hasil tesnya.
Untuk memberi tahu hasil tes juga diperlukan konseling pasca tes, baik
hasiltes positif maupun negatif. Jika hasilnya positif akan diberikan informasi
mengenai pengobatan untuk memperpanjang masa tanpa gejala serta cara
pencegahan penularan. Jika hasilnya negatif, konseling tetap perlu dilakukan
untuk memberikan informasi bagaimana mempertahankan perilaku yang tidak
berisiko. Seseorangdinyatakan terinfeksi HIV apabila dengan pemeriksaan
laboratorium terbuktiterinfeksi HIV, baik dengan metode pemeriksaan antibodi
atau pemeriksaan untuk mendeteksi adanya virus dalam tubuh.
1) Skrining HIV
Mempunyai makna melakukan pemeriksaan HIV pada suatu populasi
tertentu, sementara uji diagnostik HIV berarti melakukan pemeriksaan HIV
pada orang-orang dengan gejala dan tanda yang konsisten dengan infeksi
HIV. CDC menyatakan bahwa infeksi HIV memenuhi seluruh kriteria untuk
dilakukan skrining, karena:
a. Infeksi HIV merupakan penyakit serius yang dapat didiagnosis
sebelum timbulnya gejala.
b. HIV dapat dideteksi dengan uji skrining yang mudah, murah,
dan noninvasif.

c. Pasien yang terinfeksi HIV memiliki harapan untuk lebih lama


hidup bila pengobatan dilakukan sedini mungkin, sebelum
timbulnya gejala.
d. Biaya yang dikeluarkan untuk skrining sebanding dengan
manfaat yang akan diperoleh serta dampak negatif yang dapat
diantisipasi. Di antara wanita hamil,skrining secara substansial
telah terbukti lebih efektif dibandingkan pemeriksaan
berdasarkan risiko untuk mendeteksi infeksi HIV dan
mencegah penularan perinatal.
CDC merekomendasikan untuk melakukan pemeriksaan HIV secara
rutin untuk setiap orang berusia 13-64 tahun yang datang ke sarana
pelayanan kesehatan meskipun tanpa gejala. Selain itu, CDC juga
merekomendasikan agar pemeriksaan HIV dimasukkan dalam pemeriksaan
rutin antenatal bagi wanita hamil. Sementara pemeriksaan wajib HIV lebih
ditekankan untuk dilakukan pada donor darah dan organ. Pemeriksaan wajib
HIV juga dapat dilakukan pada bidang perekrutan tentara atau tenaga kerja
imigran.
Panduan
nasional
Inggris
tahun
2008 tentang
pemeriksaan
HIVmerekomendasikan pemeriksaan HIV secara rutin kepada orang-orang
berikut:
Semua pasien yang datang ke sarana pelayanan kesehatan di mana
HIV,termasuk infeksi primer HIV, menjadi salah satu diagnosis
banding.

Semua pasien yang didiagnosis dengan infeksi menular seksual.

Semua partner seksual dari laki-laki atau wanita yang diketahui HIV
positif

Semua laki-laki dengan riwayat berhubungan seksual dengan laki-laki

Semua wanita partner seksual dari laki-laki yang berhubungan seks


dengan laki-laki

Semua pasien dengan riwayat penggunaan narkoba suntik.

Semua laki-laki dan wanita yang diketahui berasal dari negara/daerah


dengan prevalensi HIV yang tinggi (>1%).

Semua laki-laki dan wanita yang berhubungan seksual di luar atau di


dalam Inggris dengan pasangan yang diketahui berasal dari
negara/daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi.

2) Uji Konfirmasi HIV


Pemeriksaan Anti-HIV konfirmasi merupakan pemeriksaan tahap kedua
setelah uji saring. Pemeriksaan ini diperlukan ketika hasil uji saring positif
atau positif palsu (hasil uji saring menyatakan positif, namun sebenarnya
tidak terinfeksi HIV).Bila pada pemeriksaan ini menunjukkan hasil positif,
maka hampir dapat dipastikan bahwa seorang individu terinfeksi HIV.
LI.4.Memahami dan Memahami Dilema Etik
1 Stigma
Stigma adalah stempel yang menimbulkan kesan jijik, kotor, antipati dan
berbagai perasaan negatif lainnya. Dari hasil penelitian yang dilakukan di
Makassar pada tahun 2007 ditemukan bahwa stigma terhadap Orang dengan HIV/
AIDS (ODHA) :

Lingkungan masyarakat (71,4%),


Ditempat pelayanan kesehatan (35,5%)
Dilingkungan keluarga (18,5%).

4.2 Undang-undang
KODEKI
Pasal 8
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan
kepentinganmasyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan
yang menyeluruh(promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun
psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang
sebenar-benarnya.
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP PASIEN

Pasal 12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
Pasal 13
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu
memberikannya.
Kaidah Dasar Bioetik :
Prinsip Autonomy, menghormati hak-hak pasien, hak otonomi pasien.
Melahirkaninformed consent

Prinsip Beneficence, Tindakan untuk kebaikan pasien. Memilih lebih


banyak manfaatnya daripada buruknya.

Prinsip Non-maleficence, Melarang tindakan yang memperburuk kedaan


pasien.Primum non nocere atau above all do no harm.

Prinsip Justice, mementingkan fairness dan keadilan dalam bersikap


maupundalam mendistribusikan sumber daya (distributiv justice)

UUD yang Berhubungan


Pasal 6
Informasi yang diperoleh dari kegiatan konseling, tes HIV, pengobatan,
perawatandan kegiatan lainnya harus dijaga kerahasiaannya seperti yang berlaku
bagi datarekam medis. Dalam kaitannya aspek hukum kerahasiaan pasien HIV
AIDS , kodeetik administrator perekammedis dan informasi kesehatan
( PORMIKI, 2006) adalah : Selalu menyimpan dan menjaga data rekam medis
serta informasi yangterkandung di dalamnya sesuai dengan ketentuan prosedur
manajemen, ketetapan pimpinan institusi dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Selalumenjunjung tinggi doktrin kerahasiaan dan hak atas informasi
pasien yang terkaitdengan identittas individu atau sosial. Administrator informasi
kesehtan wajibmencegah terjadinya tindakan yang menyimpang dari kode etik
profesi. Perbuatan /tindakan yang bertentangan dengan kode etik adalah
menyebarluaskan informasiyangterkandung dalam laporan rekam medis HIV
AIDS yang dapat merusak citra profesirekam administrator informasi kesehatan.
Disisi lain rumah sakit sebagai institusi tempat dilaksanakannya pelayanan medis,
memiliki Kode Etik Rumah Sakit (Kodersi)dalam kaitannya manajemen informasi
kesehatan.
Pasal 9
Rumah sakit harus mengindahkan hak-hak asasi pasien
Pasal 10
Rumah sakit harus memberikan penjelasan apa yang diderita pasien dan tindakan
apa yang hendak dilakukan.Tujuan dari rahasia kedokteran dalam kasus HIV
AIDS, selain untuk kepentingan jabatan adalah untuk menghindarkan pasien dari
hal-hal yang merugikan karena terbongkarnya status kesehatan.

Pasal 11
Rumah sakit harus meminta persetujuan pasien ( informed consent ) sebelum
melakukan tindakan medik. Selain itu, kerahasiaan rekam medis diatur di dalam
UU Praktik Kedokteran No. 29 Tahun 2004 pasal 47 ayat (2) sebagaimana
disebutkan di atas. UU tersebut memang hanya menyebut dokter,dokter gigi dan
pimpinan sarana yang wajib menyimpannya sebagai rahasia, namun PP No
10tahun 1966 tentang wajib simpan rahasia kedokteran tetap mewajibkan seluruh
tenaga kesehatan dan mereka yang sedang dalam pendidikan di sarana kesehatan
untuk menjaga rahasia kedokteran.
Menurut Declaration on the Rights of thePatients yang dikeluarkan oleh WMA
memuat hak pasien terhadap kerahasiaansebagai berikut: Semua informasi yang
teridentifikasi mengenai status kesehatan pasien, kondisi medis,diagnosis,
prognosis, dan tindakan medis serta semua informasi lainyang sifatnya pribadi,
harus dijaga kerahasiaannya, bahkan setelah kematian. Perkecualian untuk kerabat
pasien mungkin mempunyai hak untuk mendapatkaninformasi yang dapat
memberitahukan mengenai resiko kesehatan mereka.
Etika menghadapi ODHA
Mengingat HIV/AIDS sering diasosiasikan dengan seks, penggunaan
narkoba dan kematian, banyak orang yang tidak peduli, tidak menerima, dan takut
terhadap penyakit ini di hampir seluruh lapisan masyarakat. Stigma sering kali
menyebabkan terjadinya diskriminasi dan akan mendorong munculnya
pelanggaran HAM bagi ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) dan keluarganya.
(Kesrepro, 2007).
Diskriminasi terjadi ketika pandangan-pandangan negatif mendorong orang
atau lembaga untuk memperlakukan seseorang secara tidak adil yang didasarkan
pada prasangka mereka akan status HIV seseorang. Contoh-contoh diskriminasi
meliputi para staf rumah sakit atau penjara yang menolak memberikan pelayanan
kesehatan kepada ODHA; atasan yang memberhentikan pegawainya berdasarkan
status atau prasangka akan status HIV mereka; atau keluarga/masyarakat yang
menolak merekayang hidup, atau dipercayai hidup, dengan HIV/AIDS. Tindakan
diskriminasi semacam itu adalah sebuah bentuk pelanggaran hak asasi manusia
(Kesrepro, 2007)
LI.5. Memahami dan Menjelaskan Pandangan Islam Mengadapi Pasien HIV
1. Tuntunan hukum Islam bagi penderita HIV/AIDS
Bagi seorang yang sudah terlanjur tertular atau mengidap virus HIV/AIDS, ajaran
Islam memberikan tuntunan umum sebagaimana dianjurkan pada mereka yang sedang
menunggu saat-saat kematian, antara lain :
a. Bertaubat
Segera bertaubat dengan bentuk taubat nasucha (tobat yang sungguh-sungguh),
dengan cara menyucikan diri dari kekhilafan, kesalahan dan dosa yang pernah
dilakukannya, baik penularannya akibat dosa-dosanya atau tertulari bukan
akibat kesalahannya, sebagaimana dianjurkan dalam ayat al-Quran :

Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada allah, hai orang-orang yang beriman
supaya kamu beruntung (Q.s. An-Nur:31)
b. Tawakkal
Terhadap pasien AIDS yang penularannya bukan karena perzinaan, misalnya
melalui jarum suntik, transfusi darah atau pun yang lainnya, hendaknya bersabar
dan bertawakkal kepada Allah dan menerimanya sebagai cobaan, musibah, ujian
atas keimanannya. Sikap demikian dianjurkan Allah dalam firman-Nya, antara
lain :
(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka
mengucapkan, Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun Mereka itulah yang
mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan
mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk (Q.s. al-Baqarah:156157)
2. Hukum terkait dengan ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS)
a
b

Jika ODHA hamil dan melahirkan, seharusnya dibantu dan ditangani oleh tim
medis/paramedis yang terlatih untuk menghindari kemungkinan penularan.
Bantu-membantu dalam kebaikan sangat dianjurkan dalam Islam.
Khitan bagi anak ODHA tetap wajib sepanjanh hal itu tidak membahayakan
dirinya dan proses khitannya seyogyanya dilakukan oleh tim medis/paramedis
yang terlatih untuk menghindari penularan.

3. Perlakuan dan akhlak terhadap ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS)


a. Majlis Majma al-Fiqh al-Islami pada tahun 1995 mengeluarkan fatwa, sesuai
dengan penjelasan para dokter ahli bahwa penularan HIV/AIDS tidak melalui
aktivitas hidup seperti berpakain, bersentuhan kulit, nafas, makan atau tidak ada
alasan menjauhkan mereka dari bersosialisasi dan bermasyarakat.
b. Masyarakat tetap wajib bergaul dan memperlakukan mereka secara manusiawi,
mereka termasuk manusia yang dimuliakan Allah.
c. ODHA yang mengalami kecelakaan, tetap wajib ditolong dan tetap mewaspadai
kemungkinan adanya penularan dengan mengenakan alat pencegahan.

DAFTAR PUSTAKA
Bratawidjaja, KG dan Iris Rengganis. 2014. Imunologi Dasar. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI.
Sudoyo, AW dkk. 2014. Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta: Interna Publishing.
Kresno, Siti Boedina. 2010. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium.
Jakarta : FKUI
Widoyono. 2011. Penyakit Tropis, edisi 2. Jakarta. Erlangga

Dewi, Alexandra I, 2008. Etika dan Hukum Kesehatan,. Yogyakarta : Pustaka Book
Publisher
Djoerban Z, Djauzi S. (2006). Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV, vol III Jakarta :
Departemen Penyakit Dalam FKUI.
Price, Sylvia Anderson. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Edisi VI, vol. 1. Huriawati Hartanto. Jakarta : EGC.
Rosyidah, F. (2011). Kritik Islam Terhadap Strategi Penangulangan HIV-AIDS
Berbasis Paradigma Sekuler-Liberal dan Solusi Islam dalam Menangani
Kompleksitas Problematika HIV-AIDS.

Anda mungkin juga menyukai