Anda di halaman 1dari 31

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Siklus Sel
Siklus sel merupakan proses perkembangbiakan sel yang memperantarai

pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup. Setiap sel baik normal maupun
kanker mengalami siklus sel. Siklus sel memiliki dua fase utama, yakni fase S
(sintesis) dan fase M (mitosis). Fase S merupakan fase terjadinya replikasi DNA
kromosom dalam sel, sedangkan pada fase M terjadi pemisahan 2 set DNA
kromosom tersebut menjadi 2 sel (Nurse, 2000). Fase yang membatasi kedua fase
utama tersebut yang dinamakan Gap. G1 (Gap-1) terdapat sebelum fase S dan setelah
fase S dinamakan G2 (Gap-2). Pada fase G1, sel melakukan persiapan untuk sintesis
DNA yang merupakan fase awal siklus sel. Penanda fase ini adalah adanya ekspresi
dan sintesis protein sebagai persiapan memasuki fase S. Pada fase G2, sel melakukan
sintesis lebih lanjut untuk proses pembelahan pada fase M (Ruddon, 2007).
Siklus sel dikontrol oleh beberapa protein yang bertindak sebagai regulator
positif dan negatif. Kelompok cyclin, khususnya cyclin D, E, A, dan B merupakan
protein yang levelnya fluktuatif selama proses siklus sel. Cyclin bersama dengan
kelompok cyclin dependent kinase (CDK), khususnya CDK 4, 6, dan 2, bertindak
sebagai regulator positif yang memacu terjadinya siklus sel. Pada mamalia ekspresi
kinase (CDK4, CDK2, dan CDC2/CDK1) terjadi bersamaan dengan ekspresi cyclin
(D, E, A, dan B) secara berurutan seiring dengan jalannya siklus sel (G1-S-G2-M)
(Nurse, 2000). Aktivasi CDK dihambat oleh regulator negatif siklus sel, yakni CDK
inhibitor (CKI), yang terdiri dari Cip/Kip protein (meliputi p21, p27, p57) dan

Universitas Sumatera Utara

keluarga INK4 (meliputi p16, p18, p19). Selain itu, tumor suppressor protein (p53
dan pRb) juga bertindak sebagai protein regulator negatif (Foster, et al., 2001).
Checkpoint pada fase G2 terjadi ketika ada kerusakan DNA yang akan
mengaktivasi beberapa kinase termasuk ataxia telangiectasia mutated (ATM) kinase.
Hal tersebut menginisiasi dua kaskade untuk menginaktivasi Cdc2-CycB baik
dengan jalan memutuskan kompleks Cdc2-CycB maupun mengeluarkan kompleks
Cdc-CycB dari nukleus atau aktivasi p21. Checkpoint pada fase G1 akan dapat dilalui
jika ukuran sel memadai, ketersediaan nutrien mencukupi, dan adanya faktor
pertumbuhan (sinyal dari sel yang lain). Checkpoint pada fase G2 dapat dilewati jika
ukuran sel memadai, dan replikasi kromosom terselesaikan dengan sempurna.
Checkpoint pada metaphase (M) terpenuhi bila semua kromosom dapat menempel
pada gelendong (spindle) mitosis. Checkpoint ini akan menghambat progresi siklus
sel ke fase mitosis, sedangkan checkpoint pada fase M (mitosis) terjadi jika benang
spindle tidak terbentuk atau jika semua kromosom tidak dalam posisi yang benar dan
tidak menempel dengan sempurna pada spindle. Kontrol checkpoint sangat penting
untuk menjaga stabilitas genomik. Kesalahan pada checkpoint akan meloloskan sel
untuk berkembang biak meskipun terdapat kerusakan DNA atau replikasi yang tidak
lengkap atau kromosom tidak terpisah sempurna sehingga akan menghasilkan
kerusakan genetik. Hal ini kritis bagi timbulnya kanker. Oleh karena itu, proses
regulasi siklus sel mampu berperan dalam pencegahan kanker (Ruddon, 2007).

2.1.1

Apoptosis dan proliferasi


Pertumbuhan sel dalam individu diatur oleh suatu sistem keseimbangan, yaitu

apoptosis dan proliferasi. Apabila terjadi apoptosis berlebihan, maka suatu sistem

Universitas Sumatera Utara

organ akan mengalami kemunduran fungsi yang dapat menimbulkan penyakit.


Sebaliknya, apabila terjadi proliferasi berlebihan, maka akan membentuk suatu
massa tumor yang akan mengarah pada kanker (Sudiana, 2011).
Apoptosis adalah kematian sel melalui mekanisme genetik dengan
kerusakan/fragmentasi kromosom atau DNA. Apoptosis dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu apoptosis fisiologis dan apoptosis patologis. Apoptosis fisiologis
adalah kematian sel yang diprogram (programmed cell death). Proses kematian sel
erat kaitannya dengan enzim telomerase. Pada sel embrional, enzim ini mengalami
aktivasi sedangkan pada sel somatik enzim ini tidak mengalami aktivasi, kecuali sel
bersangkutan mengalami transformasi menjadi ganas. Telomer yang terletak pada
ujung kromosom merupakan faktor yang sangat penting dalam melindungi
kromosom. Pada sel normal, telomer akan memendek pada saat pembelahan diri.
Apabila ukuran telomer mencapai ukuran tertentu (level kritis) akibat pembelahan
berulang, maka sel tersebut tidak dapat melakukan pembelahan diri lagi. Selanjutnya
sel akan mengalami apoptosis secara fisiologis. Pada sel ganas, pemendekan
telomerase sampai pada level kritis tidak terjadi karena pada sel ganas terjadi aktivasi
dari enzim ribonukleoprotein (telomerase) secara terus menerus. Enzim ini sangat
berperan pada sintetis telomer DNA, sehingga berbagai elemen yang dibutuhkan
pada pembentukan telomer dapat dibentuk secara terus menerus dan ukuran telomer
pada ujung kromosom dapat dipertahankan. Oleh karena itu, sel ganas dapat bersifat
immortal (Sudiana, 2011).
Sedangkan apoptosis patologis adalah kematian sel karena adanya proses
suatu rangsangan. Proses ini dapat melalui beberapa jalur, yaitu aktivitas p53, jalur
sitotoksik, disfungsi mitokondria, dan kompleks fas dan ligan. Apoptosis dipicu oleh

Universitas Sumatera Utara

aktivitas p53 karena sel memiliki gen cacat yang dipicu oleh banyak faktor, antara
lain bahan kimia, radikal bebas, maupun virus (oncovirus). Gen yang cacat dapat
memicu aktivitas beberapa enzim seperti PKC dan CPK-K2 yang dapat memicu
aktivitas p53. P53 adalah faktor transkripsi terhadap pembentukan p21. Peningkatan
p21 akan menekan semua CDK (Cyclin Dependent Kinase) dengan cyclin, dimana
siklus pembelahan sel sangat tergantung pada ikatan kompleks antara CDK dengan
cyclin. Apabila terjadi pengikatan p21, maka semua CDK akan ditekan, baik pada
CDK-1 pada fase M maupun CDK-4 dan CDK-6 pada fase S, lalu siklus sel akan
berhenti sehingga p53 akan memicu aktivitas Bax. Protein Bax akan menekan
aktivitas Bcl-2 sehingga terjadi perubahan membran permeabilitas dari mitokondria
yang mengakibatkan pelepasan sitokrom c ke sitosol sehingga akan mengaktivasi
kaskade kaspase. Kaspase aktif ini akan mengaktifkan DNA-se yang akan menembus
membran inti dan merusak DNA, sehingga DNA akan terfragmentasi dan mengalami
apoptosis (Sudiana, 2011).
Apoptosis melalui jalur sitotoksik dipicu oleh adanya sel yang memiliki gen
cacat sehingga sel akan mengekspresikan protein asing. Protein asing yang
dihasilkan dapat bersifat imunogenik sehingga memicu pembentukan antibodi.
Antibodi akan menempel di permukaan sel killer dan akan memicu pelepasan enzim
yang disebut sebagai sitotoksin. Sitotoksin tersebut mengandung perforin dan
granzyme. Perforin dapat memperforasi membran sel yang memiliki gen cacat
sedangkan granzyme akan masuk ke dalam sel dan mengaktivasi kaspase kaspade.
Kaspase yang aktif ini akan mengaktivasi DNA-se sehingga sel mengalami
apoptosis. Apoptosis dengan jalur disfungsi mitokondria terjadi karena adanya
gangguan ekspresi protein pada mitokondria yang tidak seimbang baik ekspresi

Universitas Sumatera Utara

berlebih maupun protein yang diekspresikan adalah protein abnormal. Terjadinya


apoptosis melalui jalur ligan dan fas terjadi karena dipicu oleh adanya sel yang
terinfeksi virus, dimana di permukaan sel terekspresi suatu protein yang disebut fas.
Fas yang terdapat pada membran sel yang terinfeksi virus akan diikat oleh ligan yang
berada di permukaan NK-cell atau CTL. Adanya ikatan antar fas-ligan akan
mengaktifkan suatu protein yang disebut Fas Associated Protein Death Domain
(FADD) yang dapat mengaktivasi kaspase kaskade. Selanjutnya, kaspase yang aktif
akan mengaktifkan DNA-se sehingga sel akan mengalami apoptosis (Sudiana, 2011).

2.2

Kanker
Kanker adalah segolongan penyakit yang ditandai dengan pembelahan sel

tidak terkendali dan kemampuan sel menyerang jaringan biologis lainnya, baik
pertumbuhan langsung di jaringan tetangganya (invasif) maupun migrasi sel ke
tempat yang lebih jauh (metastasis). Pertumbuhan yang tidak terkendali tersebut
disebabkan kerusakan DNA yang menyebabkan mutasi di gen vital yang mengontrol
pembelahan sel. Sel kanker kehilangan fungsi kontrolnya terhadap regulasi daur sel
maupun fungsi homeostasis sel pada organisme multiseluler sehingga sel tidak dapat
berproliferasi secara normal. Akibatnya, sel akan berproliferasi terus-menerus
sehingga menimbulkan pertumbuhan jaringan yang abnormal (Diandana, 2009).
Sel kanker timbul dari sel normal tubuh yang mengalami transformasi atau
perubahan menjadi ganas oleh karsinogen atau karena mutasi spontan. Transformasi
sejumlah gen yang menyebabkan gen tersebut termutasi disebut neoplasma atau
tumor. Neoplasma merupakan jaringan abnormal yang terbentuk akibat aktivitas
proliferasi yang tidak terkontrol (neoplasia). Pada tahap awal, neoplasma

Universitas Sumatera Utara

berkembang menjadi karsinoma in situ di mana sel pada jaringan tersebut masih
terlokalisasi dan mungkin memiliki kesamaaan fungsional dengan sel normal (King,
2000). Sel neoplasma mengalami perubahan morfologi, fungsi, dan siklus
pertumbuhan yang akhirnya menimbulkan disintegrasi dan hilangnya komunikasi
antarsel. Tumor diklasifikasikan sebagai benigna, yaitu kejadian neoplasma yang
bersifat jinak dan tidak menyebar ke jaringan di sekitarnya. Sebaliknya, maligna
disinonimkan sebagai tumor yang melakukan metastasis, yaitu menyebar dan
menyerang jaringan lain sehingga maligna sering disebut sebagai kanker. Kanker
sering dikenal sebagai tumor, tetapi tidak semua tumor disebut kanker (Diandana,
2009).
Sel kanker memiliki perbedaan yang sangat signifikan dengan sel normal. Sel
kanker tidak mengenal apoptosis dan akan terus hidup meski seharusnya mati
(bersifat immortal) (Sofyan, 2000). Sel kanker tidak mengenal komunikasi
ekstraseluler atau asosial yang diperlukan untuk menjalin koordinasi antarsel
sehingga dapat saling menunjang fungsi masing-masing. Dengan sifatnya yang
asosial, sel kanker bertindak semaunya sendiri tanpa peduli apa yang dibutuhkan
oleh lingkungannya. Sel kanker dapat memproduksi growth factor sendiri sehingga
tidak bergantung pada rangsangan sinyal pertumbuhan dari luar untuk melakukan
proliferasi sehingga dapat tumbuh menjadi tak terkendali. Sel kanker juga tidak
sensitif terhadap sinyal yang dapat menghentikan pertumbuhan dan pembelahan sel.
Sel kanker mampu menghindar dari sinyal antipertumbuhan yang berhubungan
dengan siklus sel (Kumar, et al., 2005).
Sel kanker mampu menyerang jaringan lain (invasif), merusak jaringan
tersebut dan tumbuh subur di atas jaringan lain (metastasis). Semakin besar

Universitas Sumatera Utara

jangkauan metastasis tumor, akan semakin sulit disembuhkan. Kanker pada stadium
metastasis merupakan penyebab 90% kematian penderita kanker (Pecorino, 2005).
Untuk mencukupi kebutuhan pangan dirinya sendiri, sel kanker mampu membentuk
pembuluh darah baru (neoangiogenesis) meski dapat mengganggu kestabilan
jaringan tempat ia tumbuh. Sinyal inisiasi pada proses neoangiogenesis diantaranya
adalah Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dan Fibroblast Growth Factor
(FGF). Selain itu, regulator yang lain adalah angiopoietin-1, angiotropin, angiogenin,
epidermal growth factor, granulocytecolony-stimulating factor, interleukin-1 (IL-1),
IL-6, IL-8, PDGF, TNF-, kolagen, cathepsin. Sel kanker memiliki kemampuan
yang tidak terbatas dalam memperbanyak dirinya sendiri (proliferasi) meski sudah
tidak dibutuhkan dan jumlahnya sudah melebihi kebutuhan yang seharusnya (Kumar,
et al., 2005).
Secara umum, penyebab kanker dapat dibagi dalam 3 kategori, yaitu
karsinogen fisik (radiasi sinar UV dan radiasi ionisasi), karsinogen kimiawi (asap
tembakau dan asbestos), dan karsinogen biologis (virus, bakteri, dan parasit) (PCC,
2013). Selain itu, kanker dapat timbul karena pola hidup yang tidak sehat. Hampir
separuh dari kanker yang terdiagnosis setiap tahun disebabkan oleh gaya hidup yang
tidak sehat. Pencetus kanker dapat berasal dari makanan yang kaya akan gula buatan,
karbohidrat olahan, pengawet, produk sampingan dari hasil penggorengan (minyak
jelantah), mengandung banyak lemak, asupan antioksidan yang kurang, dan
minuman yang mengandung bahan kimia (minuman beralkohol) (Mueller, et al.,
2010). Penyebab kanker juga bisa timbul karena kondisi kejiwaan yang tidak stabil
dan faktor keturunan. Orang tua yang mengidap kanker sangat mungkin menurunkan
pada anaknya (Magdalena, 2014).

Universitas Sumatera Utara

2.2.1

Karsinogenesis
Kanker bukan termasuk penyakit yang datang begitu saja, melainkan akibat

akumulasi atau penumpukan kerusakan-kerusakan tertentu di dalam tubuh.


Serangkaian proses berkembangnya kanker disebut karsinogenesis. Karsinogenesis
adalah suatu proses terjadinya kanker melalui mekanisme multi tahap yang
menunjukkan perubahan genetik dan menyebabkan transformasi progresif sel normal
menjadi sel malignan (ganas). Perubahan ini diawali dari mutasi somatik satu sel
tunggal yang mengakibatkan perubahan dari normal menjadi hiperplastik, displastik,
dan pada akhirnya menjadi suatu keganasan atau malignansi (memiliki kemampuan
metastasis atau menginvasi jaringan di sekitarnya). Perubahan genetik ini termasuk
perubahan seluler mendasar pada sel kanker yang dipengaruhi oleh beberapa gen
seperti tumor suppresor genes (pRb, p53, PTEN, E-cadherin) dan proto-oncogenes
(ras, c-myc, Bcl-2). Karsinogenesis dapat dibagi menjadi empat tahap utama, yaitu
tahap inisiasi, promosi, progresi, dan metastasis (Tsao, et al., 2004).
Tahap inisiasi adalah tahap pertama pada karsinogenesis dan merupakan hasil
perubahan genetik yang menuntun pada proliferasi tidak terkontrol (abnormal)
sebuah sel. Tahap inisiasi dapat terjadi melalui jalur germinal dan somatik. Namun
pada kebanyakan kasus diperoleh secara somatik akibat terjadinya kesalahan acak
saat pembelahan sel atau karena paparan dari karsinogen spesifik seperti tobako dan
radiasi. Pada tahap ini, senyawa yang berpotensi sebagai senyawa karsinogen
diaktivasi terlebih dahulu di dalam tubuh terutama di hepar menjadi senyawa
metabolitnya. Senyawa metabolit ini ada yang bersifat reaktif, mutagenik, dan
mampu berikatan dengan makromolekul di dalam tubuh seperti DNA dengan ikatan
irreversible. Sel yang mengalami inisiasi atau prakanker dapat kembali ke tingkat

Universitas Sumatera Utara

normal secara spontan, tetapi pada tingkat lebih lanjut dapat menjadi ganas
(malignan) (King, 2000).
Selanjutnya tahap promosi yang merupakan tingkat lanjutan dari tahap
inisiasi. Pada tahap ini, sel mulai mengalami hiperplastik pada inti sel. Berbeda
dengan tahap inisiasi yang dapat melewati jalur germinal dan somatik, tahap promosi
hanya diketahui terjadi melalui jalur somatik. Pada tahap promosi, sel akan
memperoleh beberapa keuntungan selektif untuk tumbuh sehingga pertumbuhannya
menjadi cepat dan berubah menjadi tumor jinak. Tahap promosi tidak melibatkan
perubahan struktural dari genom secara langsung, tetapi biasanya terjadi perubahan
ekspresi gen yang terinisiasi (Tsao, et al., 2004; King, 2000).
Pada tahap progresi, kemampuan pembelahan yang tinggi menuntun
terbentuknya koloni sel yang lebih besar melalui perubahan genetik lebih lanjut dan
munculnya keistimewaan lain seperti peningkatan mobilitas dan angiogenesis
(Kumar, 2005). Pada tahap ini, sel tumor dikatakan sebagai sel malignan. Pada fase
ini juga akan terjadi karsinoma dan metastasis melalui aktivasi onkogen dan
malfungsi dari enzim topoisomerase (Pecorino, 2005).
Tahap metastasis merupakan tahap akhir dalam karsinogenesis. Pada tahap
ini, sel kanker melakukan invasi ke jaringan lain di dalam tubuh melalui pembuluh
darah, pembuluh limpa, atau rongga tubuh. Sel malignan yang bermetastasis ini
masuk melalui basement membran menuju saluran limpoid. Sel tersebut akan
berinteraksi dengan sel limpoid yang digunakan sebagai inangnya. Selanjutnya, sel
kanker akan masuk ke jaringan lainnya membentuk tumor sekunder dengan
didukung kemampuan neoangiogenesis yang dimilikinya. Tahap metastasis dapat
berlangsung

karena

melemahnya

ikatan

antarsel

yang

disebabkan

oleh

Universitas Sumatera Utara

terdegradasinya CAMs (Cell-cell Adhesion Molecules) dan E-cadherin sebagai


molekul yang menjaga pertautan antarsel. Molekul tersebut diketahui sudah sangat
sedikit bahkan tidak ditemukan lagi pada sel kanker, sehingga proses metastasis
dapat terus terjadi (Kumar, et al., 2005).
Kanker dapat terjadi dalam berbagai jenis sel, antara lain karsinoma (pada
kelenjar epitel), glioma (pada jaringan otak), leukemia (pada sel darah putih),
sarkoma (pada jaringan lunak dan jaringan ikat seperti tulang rawan, lemak, otot,
ataupun tulang), myeloma (pada jaringan selaput saraf/neuron), hepatoma (pada sel
hati), fibroma (pada jaringan ikat fibrosa), dan limfoma (pada kelenjar getah bening)
(Anonim1, 2014).
2.2.2

Kanker payudara
Kanker payudara merupakan kanker yang menyerang jaringan epitelial

payudara, yaitu membran mukosa dan kelenjar sehingga kanker payudara tergolong
pada karsinoma. Kanker payudara merupakan kanker yang paling umum diderita
oleh wanita selain kanker serviks. Penyebab kanker payudara sangat beragam, antara
lain kerusakan pada DNA yang menyebabkan mutasi genetik. Kerusakan ini dapat
disebabkan oleh radiasi yang berlebihan. Selanjutnya karena kegagalan immune
surveillance dalam pencegahan proses malignan pada fase awal, faktor pertumbuhan
yang abnormal, dan malfungsi DNA repairs seperti BRCA1, BRCA2, dan p53
(Torosian, 2002).
Kanker payudara terjadi ketika sel pada payudara tumbuh tidak terkendali
dan dapat menginvasi jaringan tubuh yang lain baik yang dekat dengan organ
tersebut maupun bermetastasis ke jaringan tubuh yang letaknya berjauhan. Semua
tipe jaringan pada payudara dapat berkembang menjadi kanker, namun pada

Universitas Sumatera Utara

umumnya kanker muncul baik dari saluran (ducts) maupun kelenjar (glands).
Perkembangannya memerlukan waktu berbulan-bulan atau bertahun-tahun sampai
tumor tersebut cukup besar untuk dirasakan pada payudara. Deteksi dapat dilakukan
dengan mammogram yang kadang-kadang dapat mendeteksi tumor sejak dini
(Elwood, et al., 1993).
Peningkatan insidensi kanker payudara disebabkan oleh kegagalan terapi
terhadap kanker itu sendiri. Kegagalan ini diakibatkan oleh adanya multidrug
resistance (MDR) dan terjadi hingga 71% dibandingkan dengan faktor penyebab
lainnya (Mechetner, et al., 1998). Multidrug resistance atau resistensi obat ini
diakibatkan oleh adanya breast cancer resistance protein (BCRP) yang salah satunya
adalah P-glycoprotein (Pgp) (Imai, et al., 2005). Aktivasi Pgp dan peningkatan
ekspresinya dapat menurunkan efikasi dari beberapa agen kemoterapi, seperti Taxol
dan Doxorubicin (Mechetner, et al., 1998). Penekanan aktivitas Pgp dan ekspresinya
mampu meningkatkan efektivitas agen kemoterapi (Zhou, et al., 2006).
Selain itu, paparan estrogen endogen yang berlebihan juga dapat
berkontribusi sebagai penyebab kanker payudara. Sekitar 50% kasus kanker
payudara merupakan kanker yang bergantung pada estrogen dan sekitar 30% kasus
merupakan kanker yang positif mengekspresi HER-2 berlebihan. Kedua protein
tersebut selain berperan dalam metastasis, juga berperan dalam perkembangan
kanker payudara (early cancer development) (Gibbs, 2000).
Proses metastasis kanker payudara diinisiasi oleh adanya aktivasi/ekspresi
berlebih beberapa protein, seperti Estrogen Reseptor (ER) dan c-erbB-2 (HER- 2)
yang merupakan protein predisposisi kanker payudara. Aktivasi reseptor estrogen
melalui ikatan kompleks dengan estrogen akan memacu transkripsi gen yang

Universitas Sumatera Utara

mengatur proliferasi sel. Estrogen dapat memacu ekspresi protein yang berperan
dalam siklus sel seperti cyclin D1, CDK4, cyclin E, dan CDK2. Selain itu, aktivasi
reseptor estrogen mampu mengaktivasi beberapa onkoprotein yang berperan dalam
sinyal pertumbuhan, misalnya Ras, Myc, dan cycD1 (Foster, et al., 2001). Aktivasi
protein ini mengakibatkan adanya pertumbuhan yang berlebihan melalui aktivasi
onkoprotein yang lain seperti P13K, AKT, Raf, ERK, dan MAP kinase (Hahn, et al.,
2002). Di lain pihak, kompleks estrogen dengan reseptornya juga akan memacu
transkripsi beberapa gen tumor suppressor, seperti BRCA1, BRCA2, dan p53.
Namun, pada penderita kanker payudara (yang umumnya telah lewat masa
menopause), gen tersebut telah mengalami perubahan (transformed) akibat dari
hiperproliferasi sel payudara selama perkembangannya sehingga tidak berperan
sebagaimana mestinya (Adelmann, et al., 2000, Clarke, 2001; Ingvarsson, et al.,
2002).
Beberapa jenis sel kanker payudara yang dapat dikultur adalah MCF-7, Ia270, BT-20, BT-474, BT-549, Colo-824, HBL-100, MA-CLS-2, MDA-MB-231,
MDA-MB-435S, MDA-MB-436, MB-MDA-468, MX-1, SK-BR-3, ZR-75-1, dan
T47D (Pao, et al., 1985; Anonim2, 2014). Banyaknya jenis sel kanker payudara ini
akan memberikan hasil yang berbeda pada setiap selnya. Perbedaan hasil ini akan
memberikan peluang baru untuk menyelidiki perkembangan yang terjadi pada
resistensi obat pada pasien dengan tumor payudara yang memiliki p53 termutasi
(Schafer, et al., 2000).
2.2.2.1 Sel T47D
Sel T47D merupakan sel kanker yang mengekspresikan reseptor estrogen
atau yang biasa disebut ER positif serta mengekspresikan p53 yang telah termutasi

Universitas Sumatera Utara

sehingga resisten terhadap mekanisme apoptosis (Ruddon, 2007; Junedi, et al.,


2010). Pada sel ini, p53 mengalami missense mutation pada residu 194 (dalam zincbinding domain L2) sehingga p53 kehilangan fungsinya. Jika p53 tidak dapat
mengikat response element pada DNA, maka akan mengurangi atau menghilangkan
kemampuannya dalam meregulasi siklus sel dan memacu apoptosis. Sel ini dapat
kehilangan estrogen reseptor (ER) apabila kekurangan estrogen pada jangka waktu
lama selama percobaan in vitro. Oleh karena itu, sel ini digunakan pada model untuk
penelitian resistensi obat pada pasien dengan tumor payudara yang memiliki p53
termutasi (Abcam, 2007).
Sel T47D sering digunakan dalam penelitian kanker secara in vitro karena
mudah penanganannya, memiliki kemampuan replikasi yang tidak terbatas atau cepat
pertumbuhannya, memiliki homogenitas yang tinggi dan mudah diganti sel baru yang
telah dibekukan jika terjadi kontaminasi (Abcam, 2007). Sel T47D memiliki
mekanisme antiapoptosis dan karsinogenesis lebih kuat daripada sel MCF-7.
Beberapa protein yang terlibat dalam stimulasi pertumbuhan sel ini termasuk
caspase-3 subunit p12, protein nuklir Hcc-1, G1/S-specific cyclin-D3, cathepsin B,
protein CDV3 homolog, N (G), N(G)-dimethylarginine dimethylaminohydrolase 2,
dan prohibitin (Aka, et al., 2012).
2.2.3

Sel Vero
Sel Vero ATCC CCL-81 merupakan sel epitel non kanker (sel normal). Sel

ini berasal dari organ ginjal monyet hijau asal Afrika. Sel Vero merupakan sel
monolayer berbentuk poligonal dan pipih, immortal, non tumorigenic fibroblastic
cell. Sel ini melekat erat pada substrat yang berbahan polistirena dengan membentuk
ikatan kovalen. Pengujian sel Vero dilakukan untuk mempelajari pertumbuhan sel,

Universitas Sumatera Utara

diferensiasi sel, sitotoksisitas, dan transformasi sel yang diinduksi oleh berbagai
senyawa kimia (Goncalves, et al., 2006).
2.2.4

P-glycoprotein
P-glycoprotein (Pgp) merupakan protein ABC-transporter pada manusia yang

termasuk dalam subfamili MDR/TAP (Allen, et al., 2002). Pgp dikenal dalam
beberapa sebutan, yaitu ABCD1, ATP-binding cassette sub-family B member 1,
MDR1, dan PGY1 (Choi, et al., 2005). ABCD1 atau Pgp termasuk dalam ATPdependent efflux pump yang memiliki substrat spesifik, antara lain: obat (colchicine
dan tacrolimus), agen kemoterapi (etoposide, adriamycin, dan vinblastine), lipid,
steroid, xenobiotik, peptide, bilirubin, cardiac glycoside (digoxin), glucocorticoids
(dexamethasone), dan agen terapi HIV tipe 1 (inhibitor protease dan nonnucleoside
reverse transcriptase) (Kitagawa, 2006). Di dalam tubuh, Pgp dapat ditemukan pada
sel usus, hati, tubula ginjal dan capillary endothelial (Deng, et al., 2001).
P-glycoprotein adalah sebuah glikoprotein transmembran yang memiliki 10 15 kDa N-terminal glycosylation dengan bobot 170-kDa dikode oleh gen MDR1
(Kitagawa, 2006). Gen ini dicirikan dengan pompa efflux obat dan anggota dari
keluarga ATP-binding transport (Choi, et al., 2005). Dalam sistem organ, Pgp
berpengaruh terhadap absorbsi, distribusi, dan eliminasi obat (Matheny, et al., 2001).
Kemampuan Pgp sebagai efflux pump berguna dalam detoksifikasi senyawa-senyawa
yang masuk ke dalam sel. Senyawa yang termasuk substrat dari Pgp akan diikat dan
dikeluarkan dari dalam sel. Aktivitas Pgp sangat bergantung pada aktivasi Pgp oleh
ATP melalui pembentukkan kompleks Pgp-ATP (Conseil, et al., 1998). Hidrolisis
ATP oleh ATPase memberikan energi aktivasi pada Pgp (Choi, et al., 2005).
Aktivasi Pgp akan menurunkan intake agen kemoterapi sehingga menurunkan efikasi

Universitas Sumatera Utara

agen tersebut terhadap sel kanker. Pada kondisi ekspresi berlebihan, Pgp dapat
menyebabkan resistensi obat terutama agen kemoterapi pada jenis kanker payudara
seperti doksorubisin (Mechetner, et al., 1998). Pgp akan mengikat doksorubisin
sebagai salah satu substratnya untuk dikeluarkan dari dalam sel (Wong, et al., 2006).
Pgp atau ABCD1 pertama kali diujikan sebagai multidrug resistance dan terbukti
sebagai penyebab resistensi obat kemoterapi (Juliano, et al., 1976). Mekanisme
pemompaan oleh Pgp dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Pgp memompa senyawa-senyawa (2a, 2b, 2c) yang termasuk substratnya
untuk dikeluarkan dari dalam sel. Ekspresi berlebih dari Pgp ini dapat menyebabkan
resistensi obat pada terapi kanker payudara (Matheny, et al., 2001).

Intraselular

Substrat P-gp

Membran
sel

Sekresi obat
Ekstraselular

Gambar 2.1 Mekanisme pemompaan oleh Pgp (Matheny, et al., 2001)


Penghambatan aktivasi dan ekspresi Pgp memegang peranan penting dalam
keberhasilan terapi kanker (Zhou, et al., 2006). Penghambatan aktivitas Pgp dapat
melalui beberapa mekanisme, antara lain penghambatan substrat Pgp secara langsung
dengan berikatan pada Pgp-binding domain dan penghambatan hidrolisis ATP oleh
ATPase melalui ikatan substrat dengan ATP. Penghambatan ini dapat dilakukan
menggunakan senyawa flavonoid dan polifenol melalui dua sisi ikatan pada ATP-

Universitas Sumatera Utara

binding sites dan steroid interacting region dimana ATPase berikatan dengan Pgp
cytosolic domain (Kitagawa, 2006).
Deng, et al., (2001) melaporkan bahwa aktivasi NF-B sebagai akibat
adanya stimulus dari lingkungan berupa stress, paparan agen sitotoksik, heat shock,
iradiasi, stress genotoksik, inflamasi, paparan sitokin, dan faktor pertumbuhan dapat
meningkatkan ekspresi Pgp. NF-B yang aktif mampu berikatan dengan promoter
gen MDR1 sehingga proses ekspresi Pgp dapat berjalan. Inaktivasi NF-B mampu
menghambat ekspresi Pgp.

2.3

Penanganan Kanker
Penanganan kanker ada dua macam, yaitu pencegahan dan penghambatan

kanker.

Upaya

pencegahan

kanker

disebut

kemopreventif.

Senyawa

kemopreventif dibagi menjadi dua kategori, yaitu blocking agent dan suppressing
agent. Blocking agent mencegah karsinogen mencapai target aksinya, baik melalui
penghambatan aktivasi metabolisme maupun menghambat interaksi dengan target
makromolekul seperti DNA, RNA, atau protein. Sedangkan suppressing agent
menghambat pembentukan malignan dari sel yang telah terinisiasi pada tahap
promosi atau progresi (Surh, 1999).
Kemopreventif dibagi menjadi tiga golongan, yaitu primer, sekunder, dan
tersier. Kemopreventif primer adalah mencegah terjadinya sel kanker sejak tahap
premalignan. Usaha pencegahan saat karsinogenesis pada tahap awal malignan
adalah kemopreventif sekunder. Sedangkan kemopreventif tersier adalah usaha

Universitas Sumatera Utara

untuk meminimalkan resiko yang mungkin terjadi setelah terapi untuk malignan
primer. Upaya penyembuhan (kuratif) kanker, antara lain kemoterapi menggunakan
obat-obatan, seperti golongan siklofosfamid, methotreksat, dan 5-flurourasil. Pada
dasarnya kinerja obat-obatan tersebut sama, yaitu menghambat proliferasi sel
sehingga sel tidak jadi memperbanyak diri. Kemoterapi bisa diberikan secara tunggal
ataupun kombinasi dengan harapan bahwa sel-sel yang resisten terhadap obat
tertentu juga bisa merespon obat yang lain sehingga bisa diperoleh hasil yang lebih
baik. Dampaknya pada pasien biasanya rambut rontok, selera makan menurun, serta
rasa lemah dan letih (Sharma, 2000).
Terapi hormon digunakan untuk jenis kanker yang berkaitan dengan hormon,
misalnya kanker payudara (berkaitan dengan hormon estrogen) pada wanita dan
kanker prostat (berkaitan dengan hormon androgen) pada pria. Terapi hormon pada
dasarnya berusaha menghambat sintesis steroid sehingga sel tidak dapat membelah.
Terapi ini membawa dampak negatif bila diaplikasikan pada wanita yang masih
dalam usia subur karena dapat menghambat siklus menstruasi. Radioterapi
menggunakan sinar-X dengan dosis tertentu dapat merusak DNA dan memaksa sel
untuk berapoptosis. Efek negatif yang ditimbulkan hampir sama dengan kemoterapi
(Sharma, 2000; Wargasetia, 2005).
2.3.1

Penanganan kanker payudara


Upaya

penyembuhan

kanker

payudara

dapat

digolongkan

secara

pembedahan, kemoterapi, terapi hormon, radioterapi, dan terapi gen (Jong, 2005;
Sharma, 2000; Wargasetia, 2005).
Penentuan stadium kanker payudara sangat penting sebagai panduan
pengobatan dan menentukan prognosisnya. Tahapan kanker payudara dimulai dari

Universitas Sumatera Utara

stadium 0 (tumor in situ, sel-sel kanker berada pada tempatnya di dalam jaringan
payudara yang normal), stadium 1 (tumor dengan garis tengah kurang dari 2 cm dan
belum menyebar keluar payudara), stadium 2A (tumor dengan garis tengah 2-5 cm
dan belum menyebar ke kelenjar getah bening, ketiak, atau tumor dengan garis
tengah kurang dari 2 cm tetapi sudah menyebar ke kelenjar getah bening ketiak),
stadium 2B (tumor dengan garis tengah lebih besar dari 5 cm dan belum menyebar
ke kelenjar getah bening ketiak atau tumor dengan garis tengah 2-5 cm tetapi sudah
menyebar ke kelenjar getah bening ketiak), stadium 3A (tumor dengan garis tengah
kurang dari 5 cm dan sudah menyebar ke kelenjar getah bening ketiak disertai
perlengketan satu sama lain atau perlengketan ke struktur lainnya, atau tumor dengan
garis tengah lebih dari 5 cm dan sudah menyebar ke kelenjar getah bening ketiak),
stadium 3B (tumor telah menyusup keluar payudara, yaitu ke dalam kulit payudara
atau ke dinding dada atau telah menyebar ke kelenjar getah bening di dalam dinding
dada dan tulang dada), dan terakhir stadium 4 (tumor telah menyebar keluar daerah
payudara dan dinding dada, misalnya ke hati, tulang, atau paru-paru) (American
Cancer Society, 2014).
Kemoterapi merupakan salah satu pengobatan yang bertujuan mematikan
ataupun memperlambat pertumbuhan sel kanker. Jenis agen kemoterapi yang sering
digunakan pada kanker payudara antara lain kemoterapi neoajuvan, ajuvan, dan
paliatif (Yudissanta, dkk., 2012). Obat kemoterapi yang biasanya diberikan dalam
upaya penyembuhan kanker payudara ada dalam bentuk tunggal dan kombinasi.
Beberapa bentuk tunggal yang biasanya diberikan antara lain docetaxel (Anonim,
2011), taxol, dan doksorubisin (Mechetner, et al., 1998). Beberapa bentuk kombinasi

Universitas Sumatera Utara

yang biasanya diberikan antara lain antrasiklin-cyclophosphamide, taxanescyclophosphamide, dan antrasiklin-cyclophosphamide-taxol (Anonim3, 2014).
2.3.1.1 Doksorubisin
Doksorubisin merupakan golongan antibiotik antrasiklin sitotoksik yang
diisolasi dari Streptomyces peucetius var. caesius. Doksorubisin telah digunakan
secara luas untuk mengobati kanker payudara. Senyawa ini menunjukkan
kemampuan yang kuat dalam melawan kanker dan telah digunakan sebagai obat
kemoterapi kanker sejak akhir tahun 1960-an (Singal, et al., 1998). Struktur kimia
doksorubisin ditunjukkan pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Struktur kimia doksorubisin


Doksorubisin memiliki aktivitas antineoplastik dan spesifik untuk fase S
dalam siklus sel. Mekanisme aktivitas antineoplastiknya belum diketahui dengan
pasti. Mekanisme aksi doksorubisin kemungkinan melibatkan ikatan dengan DNA
melalui interkalasi di antara pasangan basa serta menghambat sintesis DNA dan
RNA. Kemungkinan mekanisme yang lain adalah melibatkan ikatan dengan lipid
membran sel yang akan mengubah berbagai fungsi selular dan berinteraksi dengan
topoisomerase II membentuk kompleks pemotong DNA. Doksorubisin telah
digunakan pada beberapa pengobatan jenis tumor seperti kanker payudara,
esophagus, osteosarkoma, Kaposis sarkoma, sarkoma jaringan lunak, limfoma

Universitas Sumatera Utara

Hodgkin, dan non-Hodgkin baik dalam aplikasi tunggal maupun kombinasi dengan
beberapa agen antitumor lainnya (Tyagi, et al., 2004).
Efek samping yang timbul segera setelah pengobatan dengan doksorubisin
adalah mual, imunosupresi, dan aritmia yang sifatnya revesibel serta dapat dikontrol
dengan obat-obat lain. Efek samping yang paling serius dalam jangka waktu yang
lama adalah hepatotoksik (Ekowati, et al., 2013) dan cardiomyopathy yang diikuti
dengan gagal jantung (Tyagi, et al., 2004). Berdasarkan hasil penelitian restrospektif,
diketahui bahwa toksisitas kardiak akibat pemberian doksorubisin merupakan efek
samping yang bergantung pada dosis. Mekanisme yang memperantarai toksisitas
kardiak tersebut diduga disebabkan oleh terbentuknya spesies oksigen reaktif,
meningkatnya kadar anion superoksida dan pengurasan ATP yang kemudian
menyebabkan luka jaringan kardiak (Wattanapitayakul, et al., 2005). Permasalahan
yang sering timbul pada penggunaan doksorubisin dalam terapi kanker terutama
kanker payudara adalah resistensi obat yang menjadi penyebab kegagalan terapi.
Pengeluaran obat yang disebabkan oleh adanya pompa efflux Pgp menjadi salah satu
penyebab utama resistensi obat ini (Mechetner, et al., 1998).
Doksorubisin termasuk obat golongan antrasiklin yang merupakan substrat
Pgp. Doksorubisin akan dikenali oleh Pgp dan selanjutnya segera dikeluarkan dari
dalam sel sehingga menurunkan konsentrasi efektif doksorubisin dalam sel kanker.
Mekanisme pemompaan oleh Pgp sangat bergantung pada aktivasi protein tersebut
dan penekanan ekspresi Pgp. Oleh karena itu, inaktivasi Pgp dan penekanan
ekspresinya mampu mengatasi permasalahan resistensi sel kanker terhadap
doksorubisin (Mechetner, et al., 1998; Zhou, et al., 2006; Wong, et al., 2006).
2.3.1.2 Terapi kombinasi

Universitas Sumatera Utara

Terapi pengobatan kanker payudara pada umumnya menggunakan terapi


kombinasi (ko-kemoterapi) dengan obat/senyawa yang memiliki efek sinergis
terhadap sel kanker, bersifat spesifik, dan memiliki efek toksik seminimal mungkin.
Terapi kombinasi hingga saat ini dikembangkan secara empiris. Namun sampai saat
ini belum ada terapi pengobatan untuk kanker payudara yang telah metastasis. Hal
tersebut menuntut pengembangan cara pengobatan baru bagi kanker payudara.
Pemanfaatan senyawa alam yang non-toksik dengan efektivitas tinggi melawan
kanker dapat menjadi pilihan pengembangan terapi kombinasi dengan agen
kemoterapi (Tyagi, et al., 2004). Oleh karena itu, berbagai metode dapat dilakukan
untuk mengembangkan dan mengevaluasi kombinasi terapi yang tepat.

2.4

Tanaman yang Bersifat Antikanker


Salah satu upaya mengatasi penyakit kanker ini adalah mengembangkan obat

dari tumbuhan yang mengandung senyawa antikanker. Pengembangan obat kanker


dari tanaman ini dipandang memiliki beberapa keuntungan, seperti biaya yang lebih
murah, mudah didapat, dan efek samping relatif sedikit (Depkes RI, 2008). Beberapa
tumbuhan yang telah diteliti memiliki potensi sebagai antikanker dapat dilihat pada
Tabel 2.1.
2.4.1

Andaliman
Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) merupakan salah satu jenis

rempah dari tumbuhan liar yang dikenal oleh masyarakat batak, Sumatera Utara.
Andaliman termasuk tanaman rempah yang tumbuh di pegunungan kawasan Danau
Toba dan sekitarnnya. Diduga penyebaran tanaman secara umum melalui burung
yang memakan buah andaliman, kemudian melalui kotoran burung tersebut biji

Universitas Sumatera Utara

andaliman tersebar kemana-mana dan tumbuh secara liar. Di Sumatera Utara,


tanaman ini tumbuh liar pada berbagai tempat, yaitu daerah Angkola, Mandailing,
Humbang, Silindung, Dairi, dan Toba Holbung (Parhusip, 2006).

Tabel 2.1 Beberapa tumbuhan yang berpotensi sebagai antikanker


NO Tumbuhan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Keji beling
Daun
sambung
nyawa
Jintan
hitam
Buah lada
Sambang
colok

12

Biji buah
pinang

13
14

Jahe merah
Temulawak

15

Kunyit

16

Buah
andaliman

Sel Kanker
MCF-7
MDA-MB-231
PC-3
DU-145
WiDr
MCF-7
T47D

18
19
20
21

Daun
poguntano
Bawang
sabrang
Kulit
batang
tanjung
Daun
nimba

Organ

Kombinasi
dengan
Doksorubisin

Sumber

Payudara
Payudara
Prostat
Prostat
Usus besar
Payudara
Payudara

A
A
A
A
B
B
B

Paru-paru

MDA-MB-231
MDA-MB-231

Ekstrak
diklorometana
sub-fraksi
SC/D-F9
Fraksi etanol
dan fraksi
etilasetat
Ekstrak
klorofrom
Asam linoleat
Ekstrak etanol

Payudara
Payudara

D
E

MCF-7

Ekstrak etanol

Payudara

Memiliki efek
sinergis

MCF-7

Ekstrak etanol
dan
fraksi
kloroform

Payudara

Memiliki efek
sinergis

Sel paru

Sel hepar

17

Bagian yang
digunakan

MCF-7
MCF-7
T47D
T47D

Ekstrak etanol

Ekstrak
etilasetat
Ekstrak nheksan
Ekstrak
etilasetat
Ekstrak
etilasetat

Hepar

Payudara
Payudara
Payudara
Payudara

Memiliki efek
perlindungan
terhadap
kerusakan
hati
Memiliki efek
sinergis
Memiliki efek
sinergis
Memiliki efek
sinergis
Memiliki efek
sinergis

H
H
H
I
J
K
L

T47D

Fraksi air

Payudara

MDA-MB-231

Ekstrak etanol

Payudara

Keterangan:
A = Yacoob, et al., 2010
B = Nurulita, et al., 2011
C = Rahayu, et al., 2012

H
I
J

= Ekowati, et al., 2013


= Thaib, 2013
= Lestari, 2013

Universitas Sumatera Utara

D = Hasanzadeh, et al., 2011


E = Hirokawa, et al. 2006
F = Untung, et al., 2008
G = Meiyanto, et al., 2009

K
L
M
N

= Furqan, 2014
= Yanti, 2014
= Aulianshah, et al., 2014
= Arisanty, 2013

Sistematika tumbuhan andaliman menurut Sharma (1993) sebagai berikut:


Divisi

: Spermatophyta

Sub divisi

: Angiospermae

Kelas

: Dicotyledoneae

Anak kelas

: Dialypetalae

Bangsa

: Geraniales

Suku

: Rutaceae

Marga

: Zanthoxylum

Jenis

: Zanthoxylum acanthopodium DC.

Nama asing andaliman adalah yan-jiao (Cina), mouh laaht faa jiu (Cina Kanton),
mao la hua jiao (Cina Mandarin), indonesian lemon pepper (Inggris), indonesischer
zitronenpfeffer (Jerman), tambhul (India), sansho (Jepang), dan emmay/yerma (Tibet)
(Anonim, 2012).
Andaliman merupakan tumbuhan perdu tegak dengan tinggi 3-8 m, batang
dan cabang berwarna kemerahan, beralur, berbulu halus dan berduri. Buah andaliman
berbentuk bulat kecil, perikarpnya berwarna hijau tua sampai kemerahan dan warna
bijinya hitam, bila digigit mengeluarkan aroma wangi, dan ada rasa getir yang tajam
dan khas, serta dapat merangsang produksi air liur. Buahnya termasuk buah sejati
berdiameter 3-4 mm yang terdiri dari satu bunga dengan banyak bakal buah yang

Universitas Sumatera Utara

masing-masing bebas dan kemudian tumbuh menjadi buah tetapi berkumpul pada
satu tangkai. Daunnya merupakan daun majemuk dengan panjang 2-25 cm, anak
daun 1-6 pasang dengan tangkai yang pendek, tepi daun bergerigi, ujung daun
runcing, warna daun hijau dan permukaan atas daun lebih tua dibanding permukaan
bawah daun. Panjang bunganya 3 mm. Tumbuhan ini berkembang biak dengan biji.
Sistem akar tunggang dimana akar lembaga tumbuh terus menjadi akar pokok yang
bercabang-cabang menjadi akar-akar yang lebih kecil dan sedikit berbulu halus di
seluruh permukaannya (Parhusip, 2006).
Buah andaliman mengandung senyawa alkaloid, fenol hidrokuinon,
flavonoid, steroid/triterpenoid, tannin, glikosida, dan minyak atsiri (Parhusip, 2006).
Buah andaliman memiliki aktivitas fisiologi sebagai antioksidan dan antimikroba
(Wijaya, 2000; Soedarmadji, et al., 2004).
Secara tradisional, buah andaliman banyak digunakan sebagai bahan
aromatik, tonik, perangsang nafsu makan, obat sakit perut, serta diare. Masyarakat
India menggunakan buah andaliman untuk mengobati kelumpuhan dan berbagai
macam penyakit kulit, seperti bisul dan kusta. Buah andaliman juga digunakan
sebagai bumbu masak di Sumatera Utara, khususnya Tapanuli Utara (Suryanto, et al.,
2004; Hynniewta, et al., 2008; Sirait, dkk., 1991).
2.4.2

Pengujian sifat antikanker dari berbagai tanaman obat


Pemanfaatan senyawa alam yang non-toksik dengan efektivitas tinggi

melawan kanker dapat menjadi pilihan pengembangan terapi kombinasi dengan agen
kemoterapi (Tyagi, et al., 2004). Oleh karena itu, berbagai metode dapat dilakukan
untuk mengembangkan dan mengevaluasi kombinasi terapi yang tepat. Uji efek
kombinasi dengan kedua metode tersebut biasanya dilakukan secara in vitro. Metode

Universitas Sumatera Utara

uji in vitro dapat digunakan sebagai uji praklinik awal untuk menggambarkan
interaksi kombinasi, sehingga ketika dilakukan uji in vitro hasilnya akan lebih
efisien.

2.4.2.1 Metode pemisahan ekstraksi


Ekstrak aktif dari tanaman yang akan dilakukan penelitian terlebih dahulu
dilakukan pemisahan ekstraksi. Metode pemisahan ekstraksi dapat dilakukan dengan
beberapa cara, yaitu maserasi, perkolasi, reflux, digesti, sokletasi, infundansi, dan
dekoktasi. Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut
melalui beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan
(Depkes RI, 1986). Maserasi dapat dilakukan dengan cara memasukkan 10 bagian
simplisia dengan derajat halus yang cocok ke dalam sebuah bejana kemudian
dituangi 75 bagian cairan penyari, ditutup dan dibiarkan selama 5 hari terlindung dari
cahaya, sambil sesekali diaduk. Setelah 5 hari, sari diserkai, ampas diperas dan
dicuci dengan cairan penyari secukupnya hingga diperoleh 100 bagian. Sari
dipindahkan ke dalam bejana tertutup, dibiarkan di tempat sejuk dan terlindung dari
cahaya selama 2 hari. Lalu dienaptuangkan dan disaring (Depkes RI, 1979).
Perkolasi adalah suatu cara penarikan memakai alat yang disebut perkolator
dimana simplisia terendam dalam cairan penyari, zat-zat akan terlarut dan larutan
tersebut akan menetes secara beraturan (Syamsuni, 2006). Refluks adalah ekstraksi
dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah
pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Digesti adalah maserasi
kinetik (dengan pengadukan secara terus-menerus) pada temperatur yang lebih tinggi
dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50C.

Universitas Sumatera Utara

Sokletasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut yang selalu
baru, umumnya dilakukan dengan alat khusus (menggunakan alat soklet) sehingga
terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya
pendingin balik. Infundasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur
pemanasan air (bejana infus di atas penangas air mendidih), temperatur terukur (90
98C) selama waktu tertentu (15 20 menit). Dekoktasi adalah ekstraksi dengan
metode infus yang dilakukan selama 30 menit dengan temperatur titik didih air
(Depkes RI, 2000).
2.4.2.2 Metode pengujian aktivitas antikanker
Pengujian aktivitas antikanker dapat dilakukan dari beberapa parameter,
antara lain uji sitotoksik, indeks selektivitas, analisis isobologram, combination index
(CI), pemacuan apoptosis dan siklus sel dengan metode flow cytometry, dan
pengujian ekspresi protein dengan metode imunositokimia. Uji sitotoksik dilakukan
secara in vitro untuk menentukan potensi sitotoksik suatu senyawa, seperti obat
antikanker. Toksisitas merupakan kejadian kompleks secara in vivo yang
menimbulkan kerusakan sel akibat penggunaan obat antikanker yang bersifat
sitotoksik. Respon sel terhadap obat sitotoksik dipengaruhi oleh kerapatan sel.
Metode MTT [3-(4,5-dimetiltiazol-2-il)-2,5-difenil tetrazolium bromida] adalah
salah satu uji sitotoksisitas yang bersifat kuantitatif. Uji ini berdasarkan pengukuran
intensitas warna (kolorimetri) yang terjadi sebagai hasil metabolisme suatu substrat
oleh sel hidup menjadi produk berwarna. Reaksi warna yang terjadi dapat dilihat
pada Gambar 2.3. Pada uji ini digunakan garam MTT. Garam ini akan terlibat pada
kerja enzim dehidrogenase. MTT akan direduksi menjadi formazan oleh sistem
reduktase suksinat tetrazolium, yang termasuk dalam mitokondria dari sel hidup.

Universitas Sumatera Utara

Formazan merupakan zat berwarna ungu yang tidak larut dalam air sehingga
dilarutkan menggunakan HCl 0,04 N dalam isopropanol atau 10% SDS dalam HCl
0,01 N. Intensitas warna ungu terbentuk dapat ditetapkan dengan spektrofotometri
dan berkorelasi langsung dengan jumlah sel yang aktif melakukan metabolisme,
sehingga berkorelasi dengan viabilitas sel. Persentase viabilitas dapat dihitung
dengan persamaan sebagai berikut (Kupcik, et al., 2001).

Gambar 2.3 Reduksi MTT menjadi formazan (Kupcsik, et al., 2011)


absorbansi sampel
% Viabilitas =

x 100 %
absorbansi kontrol

Nilai indeks selektivitas diperoleh dengan menggunakan sel yang berasal dari
ginjal monyet hijau afrika (sel Vero) menggunakan 3-(4,5-dimethylthiazol-2-yl)-2,5diphenyltetrazolium bromide (MTT). Indeks selektivitas diperoleh dari rasio IC50 sel
Vero sel dibandingkan dengan sel kanker yang diuji. Nilai lebih tinggi dari 3
menunjukkan bahwa obat atau ekstrak memiliki selektivitas yang tinggi
(Weerapreeyakul, et al., 2012). Indeks selektivitas dihitung menggunakan persamaan
di bawah ini:
IC50 sel Vero
Indeks selektivitas =
IC50 sel T47D

Universitas Sumatera Utara

Metode yang umum digunakan untuk mengevaluasi kombinasi obat adalah


isobologram dan Combination Index (CI).
CI= (D)1/(Dx)1 + (D)2/(Dx)2
Keterangan:
Dx

(D)1 dan (D)2

: konsentrasi satu senyawa tunggal yang dibutuhkan untuk


memberikan efek sebesar efek kombinasi, yaitu IC50
terhadap pertumbuhan sel kanker payudara
: besarnya konsentrasi kedua senyawa untuk memberikan
efek yang sama.

Combination Index (CI) yang diperoleh diinterpretasikan seperti pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Interpretasi nilai CI (Combination Index)
CI
Interpretasi
<0,1
sinergis sangat kuat
0,10,3
sinergis kuat
0,30,7
sinergis
0,70,9
sinergis ringan-sedang
Sumber: Reynolds, et al., (2005)

CI
0,91,1
1,11,45
1,453,3
>3,3

Interpretasi
mendekati additif
antagonis ringan-sedang
antagonis
antagonis kuat-sangat kuat

Pengujian siklus sel dan apoptosis menggunakan metode flow cytometry.


Flow cytometry adalah teknik yang digunakan untuk menghitung dan menganalisis
partikel mikroskopis yang tersuspensi dalam aliran fluida (Sayed, et al., 2009).
Prinsip dasar dari metode ini adalah berdasarkan fluoresensi. Suspensi sel atau
partikel yang hendak dianalisa disedot atau dialirkan. Aliran dikelilingi oleh fluida
yang sempit, sel akan melewati satu demi satu melalui sinar laser terfokus. Sinar
laser akan menyerang sel tersebut. Sel yang sesuai dengan cahaya laser dan panjang
gelombang yang tepat dapat dipancarkan kembali sebagai fluoresensi jika sel
mengandung zat alami fluorescent satu atau lebih fluorochrome-label antibodi
melekat pada permukaan atau struktur internal sel. Penyerapan cahaya tergantung
pada struktur internal sel dan ukuran dan bentuknya. Cahaya fluoresensi terdeteksi

Universitas Sumatera Utara

oleh serangkaian dioda. Filter optik berfungsi untuk memblokir cahaya yang tidak
diinginkan. Hasil data disimpan melalui komputer (Ulfah, 2010). Flow cytometry
dapat digunakan untuk menganalisa DNA content sel melalui pewarnaan sel dengan
pewarna propidium iodide (PI) atau 4,6-diamino-2-phenylindole (DAPI). Dengan
adanya fluorochrome yang memiliki kemampuan berinterkalasi dengan basa untai
DNA seperti propidium iodide, maka tiap sel yang memiliki jumlah set kromosom
yang berbeda akan memberikan intensitas fluoresensi yang berbeda. Semakin banyak
set kromosom maka intensitas fluoresensi akan semakin besar. Untuk pengujian
apoptosis, ditambahkan antibodi Annexin V dan propidium iodida, sedangkan
pengujian siklus sel ditambahkan antibodi propidium iodida. Lalu diukur dengan alat
flow cytometer (Hostanska, et al., 2004). Flow cytometer atau FACS (Fluorescence
Activated Cell Sorting) digunakan untuk membaca intensitas fluoresensi tiap sel
(Givan, 2001). Skema alat flow cytometer ditunjukkan oleh Gambar 2.4.
Penambahan
antibodi

Sel yang telah


disuspensikan

Pewarnaan

Sel
dihomogenkan

Laser

Sel kultur
Penetapan

Ampas

Layar monitor komputer

Gambar 2.4 Skema alat flow cytometer

Universitas Sumatera Utara

Imunositokimia merupakan suatu metode yang digunakan untuk mendeteksi


adanya ekspresi suatu protein spesifik atau antigen dalam sel dengan menggunakan
antibodi

spesifik

yang

akan

berikatan

dengan

protein

atau

antigen.

Ada dua jenis metode imunositokimia, yaitu metode langsung dan metode
tidak langsung. Pada metode langsung, antibodi yang mengikat fluoresen atau zat
warna langsung berikatan dengan antigen pada sel. Sedangkan pada metode tidak
langsung, antigen diikatkan pada antibodi primer secara langsung kemudian
ditambahkan antibodi sekunder yang mengikat enzim seperti peroksidase, alkali
fosfatase, atau glukosa oksidase. Antibodi sekunder akan berikatan dengan antibodi
primer. Selanjutnya ditambahkan substrat kromogen yang akan diubah oleh enzim
sehingga terjadi pembentukan warna (pigmen) yang akan mewarnai sel. Untuk
menjamin

antibodi

agar

dapat

mengikat

antigen,

sel

harus

difiksasi

dengan ditempelkan pada bahan pendukung padat sehingga antigen akan immobile.
Hal ini dapat dilakukan dengan cara menumbuhkan sel pada slide mikroskop,
coverslip, atau bahan pendukung plastik yang sesuai. Ada dua macam metode
fiksasi, yaitu pelarut organik dan reagen cross-linking. Pelarut organik seperti
alkohol dan aseton akan memindahkan lipid, mendehidrasi sel, dan mengendapkan
protein. Reagen cross-linking seperti paraformaldehid membentuk jembatan
intermolekuler melalui gugus amino bebas. Imunositokimia melibatkan inkubasi sel
dengan antibodi. Antibodi akan berikatan dengan antigen atau protein spesifik di
dalam sel. Antibodi yang tidak berikatan dipisahkan dengan pencucian, sedangkan
antibodi yang berikatan dideteksi secara langsung dengan antibodi primer berlabel
dan secara tidak langsung dengan antibodi sekuder berlabel enzim atau fluoresen.
Interpretasi data ekspresi protein tertentu akan ditunjukkan dengan warna coklat pada

Universitas Sumatera Utara

sitoplasma (bukan inti sel). Warna biru pada sitoplasma menunjukkan tidak adanya
ekspresi pada sel atau level ekspresi yang rendah sehingga tidak terdeteksi (Anonim,
2010). Keuntungan metode imunositokimia ini adalah hasil pemeriksaan cepat
didapat (24 jam), mudah, relatif murah, dan dapat digunakan untuk pemeriksaan
sampel dalam jumlah banyak (Abbas, et al., 2003; Stites, et al., 1997).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai