PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Pengertian
Sekelompok bermacam-macam obat yang menghambat reseptor dopamine tipe 2 (D2)
sering disebut sebagai antipsikotik. Indikasi utama untuk pemakaian obat adalah terapi
skizofrenia dan gangguan psikotik lainnya. Kelas obat antipsikotik adalah termasuk
chlorpromazine, thioridazine, fluphenazine dan haloperidol. Antipsikotik digunakan secara
klinis ketika Chlorpromazine telah disintetis di Perancis. Satu obat antipsikotik baru yaitu
risperidone, telah dikenalkan di Amerika serikat. Walaupun risperidone adalah antagonis
reseptor D2 yang poten, ia memiliki ciri farmakologis tambahan yang memberikan
keuntungan terapeutik dan memperbaiki profil efek samping, dibandingkan dengan antagonis
reseptor dopamine yang tersedia sebelumnya. 1
Antipsikotik dan antagonis reseptor dopamine tidak sepenuhnya sama. Clozapine
adalah suatu antipsikotik yang efektif tetapi berbeda dengan semua obat karena memiliki
aktivitas pada reseptor D2 yang kecil. Obat-obat ini dinamakan sebagai neuroleptik dan
transkuiliser mayor. Istilah neuroleptik menekankan efek neurologis dan motorik dari
sebagian besar obat. Perkembangan senyawa baru, seperti risperidone dan remoxipine, yang
disertai dengan efek neurologis yang sedikit menyebabkan pemakaian istilah neuroleptik
menjadi tidak akurat sebagai label keseluruhan senyawa. Istilah transkuiliser mayor secara
tidak akurat menekankan bahwa efek primer dari obat adalah untuk mensedasi pasien dan
dikacaukan oleh obat yang disebut transkuiliser minor, seperti benzodiasepin.
Antispikotik atipikal terbaru, seperti klozapin, risperidon, olanzapin, dan ziprasidon,
mempunyai efek klinis yang lebih besar daripada antipsikotik kelas lain dengan efek samping
ekstrapiramidal akut yang minimal. 1,2,3
Penggunaan utama antipsikotik untuk skizofrenia, sindrom otak organik dengan
psikosis. Obat ini juga berguna untuk pasien yang mengalami ansietas berat dan
menyalahgunakan obat atau alkohol karena benzodiazepin dikontraindikasikan bagi mereka. 1
Hendaya berat dalam kemampuan daya menilai realitas (reality testing ability),
bermanifestasi dalam gejala: kesadaran diri (awareness) yang terganggu, daya nilai
menyendiri (abulia).
Hendaya berat dalam fungsi kehidupan sehari-hari, bermanisfestasi dalam gejala:
tidak mampu bekerja, menjalin hubugan sosial, dan melakukan kegiatan rutin.
Nama obat
Antipsikotik tipikal :
-
Phenothiazine
Rantai aliphatic : chlorpromazine
Rantai piperazine : perphenazine, trifluoperazine, fluphenazine
Rantai piperidine : thioridazine
- Butyrophenone : Haloperidol
- Diphenyl-butyl-piperidine : pimozide
Antipsikotik atipikal :
-
No
Benzamide : sulpiride
Dibenzodiazepin : clozapine, olanzapine, quetiapine, zotepine
Benzisoxazole : risperidon, aripiprazole
Nama obat
Sediaan
Dosis anjuran
Chlorpromazine
Tab 25-100 mg
150-600mg/h
Amp 50mg/2cc
Haloperidol
5-15 mg/h
Amp 5mg/cc
Amp 50mg/cc
Perphenazine
Tab 2-4-8 mg
12-24 mg/h
Fluphenazine
Tab 2,5-5 mg
10-15 mg/h
Vial 25 mg/cc
Trifluoperazine
Tab 1-5 mg
10-15 mg/h
Thioridazine
Tab 50-100 mg
150-300 mg/h
Sulpiride
Amp 100mg/2cc
3-6 amp/h
Tab 200 mg
300-600mg/h
Pimozide
Tab 4 mg
2-4 mg/h
Risperidone
Tab 1-2-3 mg
2-6 mg/h
Vial 25 mg/cc
Vial 50 mg/cc
10
Clozapine
Tab 25-100 mg
25-100mg/h
11
Quetiapine
Tab 25-100 mg
50-400 mg
200 mg
12
Olanzapine
Tab 5-10mg
10-20 mg/h
13
Zotepine
Tab 25-50 mg
75-100 mg/h
14
Aripiprazole
Tab 10-15 mg
10-15 mg/h
4
positif menurun tetapi ternyata tidak hanya memblok reseptor D2 di mesolimbik tetapi juga
di tempat lain seperti dijalur mesokortikal, nigrostriatal, dan tuberoinfundibular.1,5,8
Apabila antipsikotik tipikal memblok reseptor D2 dijalur mesokortikal, dapat
memperberat gejala negatif dan gejala kognitif disebabkan penurunan dopamin di jalur
tersebut. Jika hal ini terjadi, maka merupakan sebuah tantangan terapi, karena blokade
reseptor dopamin di jalur ini secara teoritis akan menyebabkan memburuknya gejala negatif
dan kognitif.5,8
Blokade reseptor D2 di nigrostriatal dapat menyebabkan timbulnya gangguan dalam
mobilitas seperti pada parkinson, bila pemakaian secara kronik dapat menyebabkan gangguan
pergerakan hiperkinetik (tardive dyskinesia). Jalur nigrostriatal dopamin, sebagai bagian dari
sistem saraf ekstrapiramidal, mengontrol movements atau pergerakan.2,8
Blokade reseptor D2 di tuberoinfundibular oleh antipsikotik tipikal menyebabkan
peningkatan kadar prolaktin sehingga dapat terjadi disfungsi seksual dan peningkat berat
badan. Fungsi normal jalur dopamin tuberoinfundibular menghambat pelepasan prolaktin.
Pada wanita postpartum, aktivitas di jalur ini menurun, sehingga memungkinkan laktasi. 2,8
Antipsikotik selain menyebabkan terjadinya blokade reseptor D2 pada keempat jalur
dopamine, juga menyebabkan terjadinya blokade reseptor kolinergik muskarinik sehingga
timbul efek samping antikolinergik berupa mulut kering, pandangan kabur, konstipasi dan
kognitif tumpul. Reseptor histamin (H1) juga terblok sehingga timbul efek samping
mengantuk dan meningkatkan berat bdan. Selain itu antipsikotik juga memblok reseptor alfa1
adrenergik sehingga dapat menimbulkan efek samping pada kardiovaskuler berupa hipotensi
ortostatic, mengantuk, pusing, dan tekanan darah menurun.2,8
INCLUDEPICTURE
"http://www.ibibiobase.com/projects/db-drd4/picture
folder/pathway.jpg"
\*
MERGEFORMATINET
APG I mempunyai peranan yang cepat dalam menurunkan gejala positif seperti
halusinasi dan waham, tetapi juga menyebabkan kekambuhan setelah penghentian pemberian
APG I. 4
Kerugian pemberian APG I: 4
1. Mudah terjadi EPS dan tardive dyskinesia
2. Memperburuk gejala negatif dan kognitif
3. Peningkatan kadar prolaktin
7
Fatmakokinetik: pada umumnya semua fenotiazin di absorpsi baik bila diberikan per oral
maupun parenteral. Penyebaran luas ke semua jaringan dengan kadar tertinggi di paru-paru,
hati, kelenjar suprarenal dan limpa. Sebgaian fenotiazin mengalami hidroksilasi dan
konjugasi, sebagian lagi diubah menjadi sulfoksid yang kemduian dieksresi bersama feses
dan urin. Setelah pemberian CPZ dosis besar, maka masih ditemukan eksresi CPZ atau
metabolitnya selama 6-12 bulan.5
Indikasi (obat ini dapat di pakai) pada: 6,7,8
-
halusinasi;
Psikosis manik-depresif;
Gangguan kepribadian
Psikosis involusional
Psikosis pada anak
Dalam dosis rendah dapat digunakan untuk mual, muntah maupun cegukan atau
gangguan non psikosis dengan gejala agitasi tegang, gelisah, cemas dan insomnia.
Dosis: 6,7,
-
Hipotensi ortostatik.
Koma.
Hipersensitif (allergik).
Skizofrenia.
Psikosis manik-depresif.
Dosis : 7
-
dosis awal
2 3 x 2,5 mg.
Efek samping : 7
-
Occulogyric crisis.
Hiperefleksi.
Kejang-kejang grandmal.
Kontra indikasi : 7
-
Depresi SSP.
Koma.
Gangguan liver.
Dyscrasia darah.
Hipersensitif.
FLUPHENAZINE
Untuk kasus-kasus akut diberikan Flupenazine HCl (anatensol) dalam bentuk tablet
dan injeksi. 4
Dosis :
- 2,5 10 mg / hari dengan dosis terbagi.
- Bila diperlukan dosis dapat dinaikkan sp 20 mg / hari.
10
Ngantuk.
Mimpi2 aneh.
hipersensitif.
PERPHENAZINE (Trifalon)
Indikasi : 7
-
Dosis : 7
-
3 x 4 - 8 mg / hari.
Efek samping : 7
-
Kontra indikasi : 7
-
hipersensitif.
Koma.
11
Depresi berat.
Gangguan liver.
Gangguan darah.
THIORIDAZINE
Indikasi : 7
-
Dosis : 7
-
Efek samping : 7
-
Kontra indikasi : 7
-
Koma.
Diskrasia darh.
Hipersensitif.
HALOPERIDOL
Haloperidol mempunyai afinitas yang kuat pada reseptor D 2, lebih lemah antagonis
reseptor kolinergik dan histamin. Kadar puncak plasma Haloperidol dalam waktu 2-6 jam
setelah pemberian oral dan dalam waktu 20 menit setelah pemberian intramuskular. Waktu
paruhnya antara 10-12 jam. Diekskresi dengan cepat melalui urine dan tinja dan berakhir
dalam 1 minggu setelah pemberian. 4
Secara farmakologi, struktur haloperidol berbeda dengan fenotiazin, tetapi
butirofenon memperlihatkan banyak sifat farmakologi fenotiazin. Pada orang normal, efek
haloperidol mirip fenotiazin piperazin. Haloperidol memperlihatkan antipsikotik yang kuat
dan efektif untuk fase mania penyakit manik deprsif dan skizofrenia. Efek fenotiazin
piperazin dan butirofenon berbeda secara kuantitatif keran butirofenon selain menghambat
efek dopamin, juga meningkatkan turn over rate nya. 6
12
Secara farmakokinetik, haloperidol cepat diserap dari saluran cerna. Kadar puncaknya
dalam plasma tercapai dalam waktu 2-6 jam sejak menelan obat, menetap sampai 72 jam dan
masih dapat ditemukan dalam plasma sampai berminggu-minggu. Obat ini ditimbun dalam
hati dan kira-kira 1% dari dosis yang diberikan diekskresi melalui empedu. Eksresi
haloperidol lambat melalui ginjal, kira-kira 40% obat dikeluarkan selama 5 hari sesudah
pemberian dosis tunggal. 6
Dosis Haloperidol dapat dimulai dari 1 atau 2 mg dengan pemberian 2 atau 3 kali per
hari, kemudian peningkatan dosis disesuaikan dengan gejala yang belum terkontrol, beberapa
kepustakaan mengatakan dosis per hari yang efektif antara 5-20 mg. Pada pasien dengan efek
samping mininal dan belum tercapai respon terapi, dosis obat dapat ditingkatkan sampai dosis
30-40 mg per hari. Setelah pemberian awal perlu dilakukan monitoring efikasi klinis, sedasi
atau efek samping lainnya yang mungkin timbul sehingga dapat dilakukan penyesuaian dosis
atau penggantian dengan antipsikotik lain. 4
Pada anak-anak atau usia lanjut dosis dapat diturunkan dan dapat dimulai dengan 0,51,5 mg per hari dengan pemberian 2 atau 3 kali perhari. 4
Haloperidol decanoate (injeksi long acting) setelah disuntikan dilepas secara lambat
ke dalam pembuluh darah, sehingga pemberiannya tiap 3-4 minggu perkali, karena waktu
paruhnya panjang. 4
Kontraindikasi pemberian Haloperidol adalah pasien dalam keadaan koma, depresi
SSP yang disebabkan alkohol atau obat lain, sindrom parkinson, usia lanjut dengan
Parkinson Like Symptomps, wanita menyusui dan sesitif terhadap Haloperidol. 2,4,6,7,8
Interaksi Haloperidol akan menghambat metabolisme antidepresan trisiklik, dapat
mengganggu efek antiparkinson dan levodopa, tekanan intra okuler bola mata dapat terjadi
apabila diberikan bersama dengan antikolinergik. Metabolisme Haloperidol meningkat bila
diberikan bersama dengan carbamazepine. 4
Efek samping yang paling sering adalah efek ekstrapirmidalis (EPS) seperti parkinson
like symptomps, akatisia, diskinesia, distonia, hyperreflexia, rigiditas, opistotonus, dan
kadang-kadanga krisi okulogirik. Efek samping yang lain adalah tardive dyskinesia pada
pemakaian haloperidol yang lama atau penghentian haloperidol tiba-tiba. Efek samping lain
yang ringan seperti sedasi dan autonomik. Pemberian haloperidol dalam waktu lama dapat
terjadi peningkatan berat badan dan penurunan fungsi kognitif. 4,6
PIMOZIDE (Orap)
Indikasi : 5
13
Dosis : 2 8 mg / hari.
Efek samping : 7
-
Kontra indikasi : 7
-
Koma.
Hipersensitif.
Depresi endogen.
Penyakit parkinson.
Obat antipsikotik tipikal biasanya menyebabkan gejala ekstrapiramidalis (Sindrom
Parkinsonisme): 2,5,9
- tremor (pada ektremitas dan lidah).
- kaku kuduk.
- hiper salivasi.
- rigiditas.
- jalan seperti robot, karena kaku otot tungkai.
- ekspresi muka monoton (muka topeng), karena kaku otot wajah.
- bicara pelo.
Bila terjadi Gangguan ekstra piramidalis (sindroma parkinsonisme), maka pemberian
obat distop dan diganti dengan obat lain atau dosis obat diturunkan. Bila obat obat pengganti
tidak tersedia atau obat tersebut sangat diperlukan, maka untuk menghilangkan sindroma
parkinsonisme diberikan obat-obat anti sindroma parkinsonisme. Obat-obat anti Sindrom
Parkinsonisme: 9
1. Triheksifenidil
Diberikan per-oral dengan dosis
3 x 2 4 mg / hari.
2. Dipenhidramin (benadryl)
Dapat diberikan per-oral atau per-enteral dengan dosis 50 100 mg / hari.
3. Sulfas atropin
dapat diberikan per-oral atau per-enteral
14
tablet 0,5 mg ; 3 x 1
injeksi 0,25 mg/amp. ; 3 x 1 amp.
4. Benzodiazepin.
Obat-obat APG I yang masih sering digunakan adalah Haloperidol, Fluphenazine,
Trifluoperazine dan Clorpromazine. Cara pemberian APG I dapat secara per oral, injeksi
short acting maupun injeksi long acting (depot). Injeksi shot acting pemberiannya secara
intramuscular (IM), biasanya digunakan untuk pasien yang agitasi atau menolak minum
obat.efek klinis cepat diperoleh setelah pemberian. 4
II.3.2 ANTIPSIKOTIK GENERASI KEDUA (APG II)
APG II sering disebut juga sebagai Serotonin Dopamin Antagosis (SDA) atau
antipsikotik atipikal. APG II mempunyai mekanisme kerja melalui interaksi anatar serotonin
dan dopamin pada ke 4 jalur dopamin di otak. Hal ini yang menyebabkan efek samping EPS
lebih rendah dan sanagat efektif untuk mengatasi gejala negatif. Perbedaan antara APG I dan
APG II adalah APG I hanya dapat memblok reseptor D 2 sedangkan APG II memblok secara
bersamaan reseptor serotonin (5HT2A) dan reseptor dopamin (D2). APG yang dikenal saat ini
adalah clozapine, risperidone, olanzapine, quetiapine, zotepine, ziprasidone, aripiprazole.
Saat ini antipsikotik ziprasidone belum tersedia di Indonesia. 2,4
Kerja obat antipsikotik generasi kedua pada dopamin pathways: 4
1. Mesokortikal Pathways
Antagonis 5HT2A tidak hanya akan menyababkan berkurangnya blokade terhadap
antagonis D2 tetapi juga menyababkan terjadinya aktivitas dopamin pathways
sehingga terjadi keseimbangan antara keseimbangan antara serotonin dan dopamin.
APG II lebih berpengaruh banyak dalam memblok reseptor 5HT2A dengan demikian
meningkatkan pelepasan dopamin dan dopamin yand dilepas menang daripada yang
dihambat di jalur mesokortikal. Hal ini menyebabkan berkurangnya gejala negatif
maka tidak terjadi lagi penurunan dopamin di jalur mesokortikal dan gejala negatif
yang ada dapat diperbaiki.
APG II dapat memperbaiki gejala negatif jauh lebih baik dibandingkan APG I karena
di jalur mesokortikal reseptor 5HT2A jumlahnya lebih banyak dari reseptor D2, dan
APG II lebih banyak berkaitan dan memblok reseptor 5HT 2A dan sedikti memblok
reseptor D2 akibatnya dopamin yang di lepas jumlahnya lebih banyak, karena itu
15
akan
menghambat
pengelepasan
prolaktin,
sedangkan
serotonin
pelepasan
prolaktin
menurun
sehingga
tidak
terjadi
hiperprolaktinemia.
4. Nigrostriatal Pathways
APG II dalam klinis praktis, memiliki empat keuntungan, yaitu: 4
1. APG II menyebabkan EPS jauh lebih kecil dibandingkan APG I, umunya pada dosis
terapi sangat jarang terjadi EPS.
2. APG II dapat mengurangi gejala negatif dari skzofrenia dan tidak memperburuk
gejala negatif seperti yang terjadi pada pemberian APG II.
3. APG II menurunkan gejalan afektif dari skizofrenia dan sering digunakan untuk
pengobatan depresi dan gangguan bipolar yang resisten.
4. APG II menurunkan gejala kognitif pada pasien skizofrenia dan penyakit Alzheimer.
Antipsikotik generasi kedua yang digunakan sebagai: 4
First line: Risperidone, Olanzapine, Quetiapine, Ziprasidone, Aripiprazole
Second line: Clozapine.
Obat antipsikotik yang sering digunakan ada 21 jenis yaitu 15 jenis berasal dari APG I
dan 6 jenis berasal dari APG II. Keuntungan yang didapatkan dari pemakaian APG II selain
efek samping yang minimal juga dapat memperbaiki gejala negatif, kognitif dan mood
sehingga mengurangi ketidaknyamanan dan ketidakpatuhan pasien akibat pemakian obat
antipsikotik. 4
16
Pemakaian APG II dapat meningkatkan angka remisi dan menigkatkan kualitas hidup
penderita skizofrenia karena dapat mengembalikan fungsinya dalam masyarakat. Kualitas
hidup seseorang yang menurun dapat dinilai dari aspek occupational dysfunction, social
dysfunction, instrumental skills deficits, self-care, dan independent living. 4
CLOZAPINE
Merupakan APG II yang pertama dikenal, kurang menyebabkan timbulnya EPS, tidak
menyebabkan terjadinya tardice dyskinesia dan tidak terjadi peningkatan dari prolaktin.
Clozapine merupakan gold standard pada pasien yang telah resisten dengan obat antipsikotik
lainnya. Profil farmakoligiknya atipikal bila dibandingkan dengan antipsikotik lain.
Dibandingkan terhadap psikotropik yang lain, clozapine menunjukkan efek dopaminergik
rendah, tetapi dapat mempengaruhi fungsi saraf dopamin pada sistem mesolimbikmesokortikal otak, yang berhubungan dengan fungsi emosional dan mental yang lebih tinggi,
yang berbeda dari dopamin neuron di daerah nigrostriatal (darah gerak) dan
tuberoinfundibular (daerah neruendokrin). 4
Clozapine efektif untuk menggontrol gejala-gejala psikosis dan skizofrenia baik yang
positif (iritabilitias) maupun yang negatif (social disinterest dan incompetence, personal
neatness). Efek yang bermanfaat terlihat dalam waktu 2 minggu, diikuti perbaikan secara
bertahap pada minggu-minggu berikutnya. Obat ini berguna untuk pasien yang refrakter dan
terganggu berat selam pengobatan. Selain itu, karena resiko efek samping EPS yang sangat
rendah, obat ini cocok untuk pasien yang menunjukkan gejala EPS yang berat bila diberikan
antipsikosis yang lain. Namun, karena clozapin memiliki efek resiko agranulositosis yang
lebih tinggi dibandingkan antipsikosis yag lain, maka pengunaannya di batasi hanya pada
pasien yang resisten atau tidak dapat mentoleransi antipsikosis lain. Pasien yang diberi
clozapine perlu di pantau sel darah putihnya setiap minggu. 4,6,10
Secara farmakokinetik, clozapine di absorpsi secara cepat dan sempurna pada
pemberian per oral. Kadar puncak plasma tercapai pada kira-kira 1,6 jam setelah pemberian
obat. Clozapine secara ekstensif diikat protein plasma (>95%), obat ini di metabolisme
hampir sempurna sebelum dieksresi lewat urin dan tinja (30% melaui kantong empedu dan
50% melaui urine), dengan waktu paruh rata-rata 11,8 jam sehingga pemberiannya dianjurkan
2 kali dalam sehari. 6 Distribusi dari clozapine dibandingkan obat antipsikotik lainnya lebih
rendah. Umunya afinitas dari clozapine rendah pada reseptor D 2 dan tinggi pada reseptor
5HT2A sehingga cenderung rendah untuk menyebabkan terjadinya efek samping EPS. Pada
reseptor D4 afinitasnya lebig tinggi 10 kali lipat dibandingkan antipsikotik lainnya, dimana
17
reseptor D4 terdapat pada daerah korteks dan sedikit pada daerah srtiatal. Hal ini lah yang
membedakan clozapine dengan APG I. 4
Dosis : 4,7
-
Ngantuk, lesu, lemah, tidur, sakit kepala, bingung, gelisah, agitasi, delirium.
Dsb.
Intoksikasi obat.
Koma.
Kollaps sirkulasi.
Depresi SSP.
Gangguan liver.
RISPERIDONE
Risperidone merupakan obat APG II yang kedua diterima oleh FDA (Food and Drug
Administration)
sebagai
antipsikotik
setelah
clozapine.
Rumus
kimianya
adalah
benzisoxazole derivative. Absorpsi risperidone di usus tidak di pengaruhi oleh makanan dan
efek terapeutik nya terjadi dalam dosis rendah, pada dosis tinggi dapat terjadi EPS.
18
Pemakaian risperidone yang teratur dapat mencegah terjadinya kekambuhan dan menurunkan
jumlah dan lama perawatan sehingga baik digunakan dalam dosis pemeliharaan. Pemakaian
riperidone masih diizinkan dalam dosis sedang, setelah pemberian APG I dengan dosis yang
kecil
dihentikan, misalnya pada pasien usia lanjut dengan psikosis, agitasi, gangguan
Dosis : 4,7
-
Pada orang tua, gangguan liver atau ginjal dimulai dengan 0,5 mg, ditingkatkan sp 1
2 mg dengan 2 x pemberian.
Umunya perbaikan mulai terlihat dalam 8 minggu dari pengobatan awal, jika belum
terlihat respon perlu penilaian ulang.
Kadar puncak plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral.
EPS
Peningkatan prolaktin (ditandai dengan gangguan menstruasi, galaktorea, disfungsi
seksual)
Sindroma neuroleptik malignan
Peningkatan berat badan
Sedasi
Pusing
Konstipasi
Takikardi
OLANZAPINE
Merupakan
derivat
dari
clozapine
dan
dikelompokkan
dalam
golongan
Dosis : 4,7
-
QUETIAPINE
Struktur
kimia
yang
mirip
dengan
clozapine,
masuk
dalam
kelompok
ZIPRASIDONE
APG II dengan struktur kimia yang baru, obai ini belum tersedia di Indonesia.
Ziprasidone merupakan antipsikotik dengan efek antagonsis antara reseptor 5HT2A dan D2.
Berinteraksi juga denga reseptor 5HT2C, 5HT1D dan 5HT1A, afinitasnya pada reseptor ini sama
atau lebih besar dari afinitas pada reseptor D 2. Afinitas sedang pada reseptor histamin dan 1.
Ziprasidone tidak bekerja pada muskarinik (M1). 4
Ziprasidone juga antipsikotik yang mempunyai mekanisme kerja yang unik karena
menghambat pengambilan kembali (reuptake) neurotransmiter serotonin dan norepineprine di
sinaps. Obat ini efektif digunakan untuk gejala negatif dan penderita yang refrakter dengan
antipsikotik. Obat ini aman diberikan pada penderita usia lanjut. 4
Absorpsi ziprasidone akan meningkat dengan adanya makan, tetapi tidak dipangruhi
oleh usia, jenis kelamin, gangguan fungsi hati atau ginjal. Konsentrasi plasma puncak dicapai
dalam waktu 2-6 jam setelah pemberian oral denga waktu paruh obat rata-rata 5-10 jam,
sehingga pemberiannya 2 kali sehari. Metabolsime ziprasidone melalui hati, sebagian besar
pada isoenzim CYP 3A4 dan sebagian kecil di CYP 1A2. Mekanisme kerja farmakologik
diperkirakan pro-serotonergik dan pro-noradregenik sehingga di prediksi dapat bekerja
sebagai antidepresan dan ansiolitik. Efikasi dari ziprasidone terjadi pada dosis 80-160
mg/hari, untuk pengobatan terhadap gejala positif, negatif, dan depresif pada pasien
skizofrenia. 4
Dosis intial yang aman diberikan tanpa dosis titrasi adalah sebesar 40 mg perhari.
Pemberiannya akan semakin efektif bila bersamaan dengan makanan. Dosis pemeliharaan
berkisar antara 40-60 mg per hari. 4
Terjadinya efek samping EPS rendah dan tidak terjadi peningkatan kadar prolaktin.
Efek samping yang dijumpai selama uji klinis adalah somnolen (14%), peningkatan berat
badan (10%), gangguan pernafasan (8%), EPS (5%), dan bercak-bercak merah di kulit (4%).
Peningkatan berat badan sangat kecil atau dapat dikatan tidak ada, karena bekerja sangat
lemah pada reseptor AH1 walaupun bekerja juga sebagai antagonis pada reseptor 5HT 2c.
Ziprasidone tidak menyebabkan gangguan jantung. 4
ARIPIPRAZOLE
22
Merupakan antipsikotik generasi baru, yang bersifat partial agonis pada reseptor D2
dan reseptor serptonin 5HT1A serta antagonis pada reseptor serotonin 5HT2A. Aripiprazole
bekerja sebagai dopamin sistem stabilizer artinya menghasilkan signal transmisi dopamin
yang
sama
pada
keadaan
hiper
atau
hipo-dopaminergik
karena
pada
keadaan
hiperdopaminergik aripiprazole afinitasnya lebih kuat dari dopamin akan mengeser secara
kompetitif neurotransmiter dopamin dan berikatan dengan reseptor dopamin. Pada keadaan
hipodopaminergik maka aripiprazole dapat menggantikan peran neurotransmiter dopamin dan
akan berikatan dengan reseptro dopamin. 4
Aripiprazole di metabolisme di hati melaui isoenzim P450 pada CYP 2D6 dan CYP
3A4, menjadi dehydro-aripiprazole. Afinitas dari hasil metabolisme ini mirip dengan
aripiprazole pada reseptor D2 dan berada di plasma sebesar 40% dari keseluruhan
aripiprazole. Waktu paruh berkisar antara 75-94 jam sehingga pemberian cukup 1 kali sehari.
Absorpsi aripiprazole mencapai konsentrasi plasma ouncak dalam waktu 3-5 jam setelah
pemberian oral. Aripiprazole sebaiknya diberikan sesudah makan, terutama pada pasien yang
mempunyai keluhan dispepsia, mual dan muntah. 4
Indikasi :
-
Skizofrenia.
Dosis :
-
10 atau 15 mg 1 x sehari.
Efek samping :
-
Sakit kepala.
Mual, muntah.
Konstipasi.
Akhatisia.
gejala dan gaduh gelisah yang sangat hebat (acute adjunctive therapy).
Antispikosis + ECT = dianjurkan tidak memberikan obat anti-psikosis pada pagi hari
sebelum ECT (Electro Convulsive Therapy) oleh karena angka mortalitas yang tinggi.
Antipsikosis + antikonvulsan = ambang konvulsi menurun, kemungkinan serangan
kejang meningkat, oleh karena itu dosis antikonvulsan harus lebih besar (doserelated). Yang paling minimal menurunkan ambang kejang adalah obat anti-psikosis
Haloperidol.
Antipsikosis + Antasida = efektivitas obat antu-psikosis menurun disebabkan
gangguan absorpsi.
Pada dasarnya semua obat anti-psikosis mempunyai efek primer (efek klinis) yang
sama pada dosis ekivalen, perbedaan terutama pada efek sekunder (efek samping ;
sedasi, otonomik, ekstrapiramidal). 5
Anti-psikosis
Chlopromazine
Thioridazine
Perphenazine
Trifluoperazine
Fluphenazine
Haloperidol
Pimozide
Clozapine
Zotepine
Sulpiride
Risperidone
Quetiapine
Olanzapine
Aripiprazole
Mg. Eq
100
100
8
5
5
2
2
25
50
200
2
100
10
10
Dosis (Mg/h)
150
- 1600
100
900
8
48
5
60
5
60
2
100
2
6
25
200
75
100
200
- 1600
2
9
50
400
10
20
10
20
24
Apabila dalam riwayat penggunaan obat anti-psikosis sebelumnya, jenis obat antipsikosis tertentu yang sudah terbukti efektif dan ditolerir dengan baik efek samping-
Pengaturan Dosis
Dalam pengaturan dosis perlu dipertimbangkan : 5
Onset efek primer (efek klinis)
: sekitar 2 4 minggu
Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2 6 jam.
Waktu paruh : 12 14 jam (pemberian obat 1-2 x perhari).
Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak dari efek samping
(dosis pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga tidak begitu mengganggu kualitas
hidup pasien.
Mulai dengan dosis awal sesuai dengan dosis anjuran, dinaikkan setiap 2-3 hari
sampai mencapai dosis efektif (mulai timbul peredaran Sindrom Psikosis)
dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan dosis optimal
dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi) diturunkan setiap 2 minggu
dosis maintenance dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun (diselingi drug
holiday 1-2 hari/minggu) tapering off (dosis diturunkan tiap 2-4 minggu) stop.
Lama Pemberian
Untuk pasien dengan serangan Sindrom Psikosis yang multi episode, terapi
pemeliharaan (maintenance) diberikan paling sedikit selama 5 tahun. Pemberian yang cukup
lama ini dapat menurunkan derajat kekambuhan 2,5 5 kali.
Efek obat anti-psikosis secara relatif berlangsung lama, sampai beberapa hari setelah
dosis terakhir masih mempunyai efek klinis.
kekambuhan setelah obat dihentikan, biasanya satu bulan kemudian baru gejala Sindrom
Psikosis kambuh kembali.
Hal tersebut disebabkan metabolisme dan ekskresi obat sangat lambat, metabolitmetabolit masih mempunyai keaktifan anti-psikosis.
Pada umumnya pemberian obat anti-psikosis sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan
sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali. Untuk Psikosis Reaktif
25
Singkat penurunan obat secara bertahap setelah hilangnya gejala dalam kurun waktu 2
minggu 2 bulan.
Obat anti psikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat walaupun diberikan
dalam jangka waktu lama, sehingga potensi ketergantungan obat kecil sekali.
Pada penghentian yang mendadak dapat timbul gejala Cholinergic Rebound :
gangguan lambung, mual, muntah, diare, pusing, gemetar dan lain-lain. Keadaan ini akan
mereda dengan pemberian anticholinergic agent (injeksi Sulfas Atropin 0,25 mg (im), tablet
Trihexyphenidyl 3x 2 mg/h).
Oleh karena itu pada penggunaan bersama obat anti-psikosis + antiparkinson, bila
sudah tiba waktu penghentian obat, obat antipsikosis dihentikan lebih dahulu, kemudian baru
menyusul obat antiparkinson. 5
Penggunaan Parenteral
Obat anti-psikosis long acting (Fluphenazine Decanoate 25 mg/cc atau Haloperidol
Decanoas 50 mg/cc, im, setiap 2 4 minggu sangat berguna untuk pasien yang tidak mau
atau sulit teratur makan obat atau apapun yang tidak efektif terhadap medikasi oral.
Sebaiknya sebelum penggunaan parenteral diberikan secara oral lebih dahulu
beberapa minggu untuk melihat apakah terdapat efek hipersensitivitas.
Dosis mulai dengan cc setiap 2 minggu pad bulan pertama kemudian bau
ditingkatkan menjadi 1 cc setiap bulan.
Pemberian obat anti psikosis long acting hanya untuk terapi stabilisasi dan
pemeliharaan (maintenance therapy) terhadap kasus Skizofrenia. 15 25 % kasus
menunjukkan toleransi yang baik terhadap efek samping ektrapiramidal. 5
II.6 EFEK SAMPING ANTIPSIKOTIK
a. Gejala Ekstrapiramidal (Extrapyramidal syndrome)
Gejala ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu gejala atau reaksi yang
ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau panjang dari medikasi antipsikotik
golongan tipikal. Obat antipsikotik tipikal yang paling sering memberikan efek
samping gejala ekstrapiramidal yakni Haloperidol, Trifluoperazine, Perphenazine,
Fluphenazine, dan dapat pula oleh Chlorpromazine. Namun lebih sering diakibatkan
oleh obat dengan potensial tinggi yang memiliki afinitas yang kuat pada reseptor
muskarinik.1 Gejala bermanifestasikan sebagai gerakan otot skelet, spasme atau rigitas,
tetapi gejala-gejala itu diluar kendali traktus kortikospinal (piramidal).
Gejala ekstrapiramidal sering di bagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi distonia
akut, tardive diskinesia, akatisia, dan sindrom Parkinson.
Merupakan spasme atau kontraksi involunter satu atau lebih otot skelet yang
timbul beberapa menit. Kelompok otot yang paling sering terlibat adalah otot
wajah, leher, lidah atau otot ekstraokuler, bermanifestasi sebagai tortikolis,
disastria bicara, krisis okulogirik, sikap badan yang tidak biasa hingga opistotonus
(melibatkan keseluruhan otot tubuh). Hal ini akan mengganggu pasien, dapat
menimbulkan nyeri hingga mengancam kehidupan seperti distonia laring atau
diafragmatik. Reaksi distonia akut sering terjadi dalam satu atau dua hari setelah
pengobatan dimulai, tetapi dapat terjadi kapan saja. Terjadi pada kira-kira 10%
pasien, lebih lazim pada pria muda, dan lebih sering dengan neuroleptik dosis
tinggi yang berpotensi tinggi, seperti haloperidol, trifluoperazine dan flufenazine.
Akatisia
Manifestasi berupa keadaan gelisah, gugup atau suatu keinginan untuk tetap
bergerak, atau rasa gatal pada otot. Pasien dapat mengeluh karena anxietas atau
kesukaran tidur yang dapat disalah tafsirkan sebagai gejala psikotik yang
memburuk. Sebaliknya, akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala psikotik
akibat perasaan tidak nyaman yang ekstrim. Agitasi, pemacuan yang nyata, atau
manifestasi fisik lain dari akatisisa hanya dapat ditemukan pada kasus yang berat.
Sindrom Parkinson
Terdiri dari akinesia, tremor, dan bradikinesia. Akinesia meliputi wajah
topeng, jedaan dari gerakan spontan, penurunan ayunan lengan pada saat berjalan,
penurunan kedipan, dan penurunan mengunyah yang dapat menimbulkan
pengeluaran air liur. Pada bentuk yang yang lebih ringan, akinesia hanya terbukti
sebagai suatu status perilaku dengan jeda bicara, penurunan spontanitas, apati dan
kesukaran untuk memulai aktifitas normal, kesemuanya dapat dikelirukan dengan
gejala skizofrenia negatif. Tremor dapat diteukan pada saat istirahat dan dapat pula
mengenai rahang. Gaya berjalan dengan langkah yang kecil dan menyeret kaki
diakibatkan karena kekakuan otot.
Tardive diskinesia
Disebabkan oleh defisiensi kolinergik yang relatif akibat supersensitif reseptor
dopamine di puntamen kaudatus. Merupakan manifestasi gerakan otot abnormal,
involunter, menghentak, balistik, atau seperti tik yang mempengaruhi gaya
berjalan, berbicara, bernapas, dan makan pasien dan kadang mengganggu. Faktor
predisposisi dapat meliputi umur lanjut, jenis kelamin wanita, dan pengobatan
27
berdosis tinggi atau jangka panjang. Gejala hilang dengan tidur, dapat hilang
timbul dengan berjalannya waktu.
b. Sindrom Neuropleptik Maligna
Sindrom neuroleptik maligna merupakan gabungan dari hipertermia, rigiditas,
dan disregulasi autonomik yang dapat terjadi sebagai komplikasi serius dari
penggunaan obat antipsikotik. Sindrom ini pertama kali dikenal tahun 1960 setelah
observasi pasien yang diberikan obat antipsikotik potensial tinggi.
Mekanisme antipsikotik sehingga dapat menyebabkan SNM berhubungan dengan
sifat antagonism obat terhadap reseptor D-2 dopamine. Blokade pusat reseptor D-2
pada hipotalamus, jalur nigrostriatal, dan di medulla spinalis menyebabkan terjadinya
peningkatan rigiditas otot dan tremor berkaitan yang dengan jalur ekstrapiramidal.
Blockade reseptor D2 hipotalamus juga menghasilkan peningkatan titik temperatur
dan gangguan mekanisme pengaturan panas tubuh. Sementara itu efek antipsikotik di
perifer tubuh menyebabkan peningkatan pelepasan kalsium dari retikulum
sarkoplasma sehingga terjadi peningkatan kontraktilitas yang juga dapat berkontribusi
dalam terjadinya hipertermia, rigiditas, dan penghancuran sel otot.
Semua golongan antipsikotik dapat menyebabkan sindrom neuroleptik maligna
baik neuroleptik potensial rendah maupun potensial tinggi. Berdasarkan penelitian
SNM lebih sering ditemukan pada pasien yang mengkonsumsi haloperidol dan
chlorpromazine. Antipsikotik atipikal yang terbaru walaupun tidak diklasifikasikan
secara akurat sebagai golongan neuroleptik juga dapat mengakibatkan sindrom ini.
Contoh obat antipsikotik atipikal yang juga dapat menyebabkan sindrom neuroleptik
maligna (SNM) seperti olanzapine, risperidone, ziprasidone, dan quetiapine.
Faktor resiko yang berhubungan erat dengan kejadian SNM yakni penggunaan
antipsikosis dosis tinggi, waktu yang singkat dalam menaikkan dosis pengobatan,
penggunaan injeksi antipsikotik kerja lama, kondisi pasien yang mengalami dehidrasi,
kelelahan, dan agitasi. Selain itu pada pasien yang telah mengalami SNM juga
memiliki resiko tinggi untuk terjadi SNM rekurens.
Secara epidemiologi belum terdapat adanya penelitian mengenai kejadian SNM
yang berhubungan dengan suku. Namun penelitian di Cina menunjukkan terdapat
insidens 0,12% dari pasien yang menggunakan obat neuroleptik sementara di India
terdapat 0.14%. SNM dapat terjadi kapan pun dari waktu pengobatan dan resiko
kejadian meningkat pada pasien yang berusia kurang dari 40 tahun. Namun 2/3 kasus
28
terjadi pada minggu pertama setelah pemberian obat. Angka kematian sekitar 10-20%
dan umumnya resiko kematian meningkat bila pasien telah mengalami nekrosis sel-sel
otot yang menyebabkan rhabdomyolisis.
Gambaran gejala klinis SNM dapat berupa :
Disfagia
Resting tremor
Inkontinensia
Delirium yang berkelanjutan pada letargi, stupor hingga koma (level kesadaran
yang fluktuatif)
Agitasi psikomotrik
Rigiditas
Pemeriksaan
laboratorium
pada
pasien
dengan
SNM
memperlihatkan
peningkatan Kreatinin kinase (CK) akibat penghancuran dan nekrosis sel-sel otot,
peningkatan
aminotransferase
(aminotransferasi
aspartat/GOT
dan
29
d. Efek hormonal
Obat psikotik tipikal yang digunakan dalam jangka waktu yang panjang dapat
menyebabkan peningkatan produksi hormon prolaktin terutama pada wanita.
Blokade pada traktur tuberoinfundibular yang terproyeksikan ke hipotalamus
dan kelenjar hipofisis mengakibatkan berbagai efek samping neuroendokrine, yakni
peningkatan pelepasan hormone prolaktin .
Prolaktin serum yang meningkat dapat mempengaruhi fungsi seksual pada
wanita maupun pria yang dapat bermanifestasi sebagai galaktorrhea, amenorrhea dan
poembesaran payudara pada wanita, gangguan fungi ereksi dan pencapaian orgasme,
gangguan libido, impotensi, dan ginekomasti pada pria.
e. Efek samping pada sistem lainnya
Efek lain antipsikotik tipikal seperti efek antikolinergik baik sentral maupun
perifer melalui blokade reseptor muskarinik. Gejala pada efek sentral seperti
agitasi yang berat, disorientasi waktu, tempat dan orang, halusinasi, dan dilatasi
pupil. Sedangkan efek perifer antikolinergik berupa mulut dan hidung yang kering
umumnya dilaporkan pada pasien dengan pengobatan antipsikotik tipikal potensi
rendah, contohnya chlorpromazine dan mesoridazine.
Efek antikolinergik
Efek autonomik yang muncul seperti hipotensi postural dimediasi oleh blokade
adrenergik umumnya pada pengguna obat tipikal potensial rendah seperti
chlorpromazine dan thioridazine. Sehingga penggunaan obat tipikal potensial
rendah intramuscular memerlukan pemantauan tekanan darah (saat berbaring dan
berdiri) untuk mencegah pasien pingsan ataupun jatuh saat berdiri.
30
Selain itu efek yang mungkin timbul juga dapat berupa peningkatan berat badan
yang kebanyakan terdapat pada pasien yang mengkonsumsi chlorpromazine dan
thioridazine. Paling sering karena pengobatan antipsikotik atipikal. Nafsu makan
yang meningkat erat kaitannya dengan blokade reseptor alpha1- adrenergic dan
Histaminergic.
Efek hematologi dapat terjadi berupa leukopenia dengan sel darah putih 3.500
sel/mm3 merupakan masalah yang umum. Agranulositosis yang mampu
mengancam kehidupan dapat terjadi pada 1 : 10.000 pasien yang dirawat dengan
antipsikotik tipikal.
EFEK SAMPING OBAT ANTIPSIKOSIS
OBAT ANTI PSIKOSIS
EFEK
EFEK
EFEK
EFEK
EKSTRAPI
ANTIEM
SEDATIF
HIPOTENSIF
RAMIDAL
ETIK
Klorpromazin
++
++
+++
++
Promazin
++
++
++
+++
Triflupromazin
+++
+++
+++
Mepazin
++
++
+++
++
Tioridazin
++
++
Asetofenazin
++
++
Karfenazin
+++
+++
++
++
Flufenazin
+++
+++
++
Perfenazin
+++
+++
Proklorperazin
+++
+++
++
Trifluoperazin tiopropazat
+++
+++
++
A. DERIVAT FENOTIAZIN
1. Senyawa dimetilaminopropil :
2. Senyawa piperidil :
3. Senyawa piperazin :
31
B. NON-FENOTIAZIN
Klorprotiksen
++
++
+++
++
+++
+++
C. BUTYROPHENONE
Haloperidol
GAMBARAN
KLINIS
WAKTU
RESIKO
MEKANISME
MAKSIMAL
Spasme otot
Dapat diberikan
lidah, wajah,
Distonia akut
leher, punggung ;
dapat menyerupai
1-5 hari
Belum
diketahui
bangkitan ; bukan
5-60 hari
ansietas atau
Belum
diketahui
agitasi
Bradikinesia,
macam tremor,
rigiditas, macamParkinsonisme
tenangan,
motorik, bukan
berbagai pengobatan,
kuratif
histeria
KetidakAkatisia
PENGOBATAN
Antagonisme
5-30 hari
wajah topeng,
dengan
dopamin
suffling gait
Katatonik, stupor,
Sindroma
malignan
demam, tekanan
darah tidak stabil,
mioglobinemia,;
dapat fatal
Tremor perioral
Tremor perioral
(sindroma
kelinci)
(mungkin sejenis
perkinsonisme
yang dating
terlambat)
pengobatan
Berminggu-
Hentikan neuroleptik
minggu, dapat
Ada kontribusi
bertahan
antagonisme
bromokriptin dapat
beberapa hari
dengan
setelah obat
dopamin
dihentikan
efektif
Setelah
berbulanbulan atau
bertahuntahun
32
Belum
diketahui
Obat antiparkinson
sering menolong
Setelah
Diskinesia mulutwajah;
Diskinesia tardif
koreoatetosis
atau distonia
meluas
berbulanbulan atau
bertahuntahun
(memburuk
Diduga :
Sulit dicegah,
kelebihan efek
pengobatan tidak
dopamin
memuaskan
dengan
penghentian)
A. PERHATIAN KHUSUS
langsung bangun
setelah mendapat suntikan dan dibiarkan tiduran selama sekitar 5-10 menit.
Bila dibutuhkan dapat diberikan Norepinephrine bitartrate (LEVOPHED Abbot
atau RAIVAS Dexa Medica atau VASCON Fahrenheit) ampul 4 mg/4cc dalam
infus 1000 ml dextrose 5% dengan kecepatan infus 2-3cc/menit.
Obat anti-psikosis yang kuat (Haloperidol) sering menimbulkan gejalan
Ekstrapiramidal/Sindrom Parkinson.
untuk
menentukan
apakah
masih
dibutuhkan
penggunaan
obat
antiparkinson.
Secara umum dianjurkan penggunaan obat antiparkinson tidak lebih lama dari 3
bulan (risiko timbul atropine toxic syndrome). Tidak dianjurkan pemberian
antiparkinson profilaksis, oleh karena dapat mempengaruhi penyerapan/absorpsi
obat anti-psikosis sehingga kadarnya dalam plasma rendah, dan dapt menghalangi
manifestasi gejala psikopatologis yang dibutuhkan untuk penyesuaian dosis obat antipsikosis agar tercapai dosis efektif.
33
makin
memburuk).
BAB III
KESIMPULAN
Efek samping yang sering ditimbulkan pada pemakaian antipsikotik tipikal: gangguan
pergerakan seperti distonia, bradikinesia, tremor, akatisia, koreoatetosis, anhedonia, sedasi,
peningkatan
beratbadan
yang
sedang,
disregulasi
tempertur,
poikilotermia,
hiperprolaktinemia, dengan galaktorea dan amenorea pada wanita dan ginekomastia pada
pria, serta disfungsi seksual pada pria dan wanita, hipotensi postural(ortostatik), kuli terbakar,
interval QT memanjang, risiko terjadi fatal aritmia.
Efek samping yang ditimbulkan oleh pemakaian antipsikotik atipikal: peningkatan
berat badan sedang sampai berat, diabetes mellitus, hiperkolesterolemia, sedasi, gangguan
pergerakan yang sedang, hipotensi postural, hiperprolaktinemia, kejang, salivasi nocturnal,
agrabulositosis, miokarditis, lensa mata bertambah.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Amir N.Buku Ajar Psikiatri Fakultas Kedokteran Universias Indonesia. Edisi kedua.
Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia. 2013.Bab 12. Skizofrenia; p.
173-95.
35
2. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadocks synopsis of psychiatry : Behavioral
sciences/clinical psychiatry.10 th edition. Philadelphia : Lippincott Williams and
WOLTERS Kluwer business.2007.Bab 13.Schizophrenia.;p.467-97.
3. Muslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik.Edisi ketiga.
Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.Bab 3. Penggolongan
obat psikotropik; p.10-11.
4. Muslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik.Edisi ketiga.
Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.Bab 3. Obat antipsikosis;
p.14-22.
5. Stahl SM. Psychopharmacology of Antipsychotic.United Kingdon : Martin Dunitz
Ltd.1999.Bab 4.Conventional Antipsychotic: the classical neuroleptics;p.35-47.
6. Stahl SM. Psychopharmacology of Antipsychotic.United Kingdon : Martin Dunitz
Ltd.1999.Bab 5.Atypical Antipsychotic and Seotonine-Dopamine Antagonism;p.5062.
7. Stahl SM. Psychopharmacology of Antipsychotic.United Kingdon : Martin Dunitz
Ltd.1999.Bab 6. Beyond the serotonine-dopamine antagonism concept : how
individual atypical antipsychotic differ;p.63-96.
8. Ebert MH, Loosen PT, Nurcombe B. Current Diagnosis & Treatment in
PSYCHIATRY.Singapore : McGraw-Hill Book.2000.Bab III.Syndrome and their
treatments in adult psychiatric : schizophrenia and other psychotic disorders; p.260-89
9. Maramis, Willy F. dan Maramis, Albert A. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. 2. Surabaya
: Airlangga University Press, 2009.
10. Gan Sulistia, Arozal Wawaimuli. Antipsikosis. Buku Ajar Farmakologi dan Terapi.
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.p.161-5
36