BAHAN PERKULIAHAN
PEDAGOGI MATERI-SUBYEK
PENGANTAR
Kumpulan makalah ini merupakan pikiran yang dihasilkan oleh tim penelitian
Hibah Bersaing FPMIPA, yang dilaksanakan dari tahun 1994 hingga 1998
dihindari karena setiap disiplin ilmu mempunyai struktur ilmu yang perlu dihargai
dan dipahami oleh peneliti sebelum layak untuk melaksanakan penelitian.
Pedagogi materi-subyek diharapkan dapat menjadi jembatan keilmuan yang
menghubungkan aspek lapangan yang merupakan kewenangan dan aspek teori
pengajaran yang menjadi kewenangan pakar ilmu pengajaran. Dengan jembatan
ini, para pakar dapat bersikap lebih realistis dengan menghargai kendala fisik
maupun sosial-budaya tempat pbm dilaksanakannya kegiatan pbm. Pbm
berlansung bukan dalam situasi universil tanpa kendala melainkan dalam situasi
lokal dengan berbagai kendalanya, melainkan dalam situasi yang membawa
upaya proses membangun pengetahuan bersama lebih bermakna lokal daripada
universal. Walaupun produk dari proses tersebut pada ahirnya juga akan
bermakna universil, tetapi ini memerlukan waktu dan kedewasaan berfikir yang
perlu diawali dengan kemaknaan lokal.
DAFTAR ISI
1. PENDAHULUAN....................................................................................................
2. PERANAN STRUKTUR ILMU DALAM PENGAJARAN IPA.................................
2.1. PENDAHULUAN................................................................................................
2.2. PANDANGAN EPISTEMOLOGI PENGAJARAN IPA.......................................................
2.2.1. Apa yang Mendasari suatu Pengetahuan?..................................................
2.2.2. Di mana Pengetahuan itu Berada?...............................................................
2.2.3. Bagaimana Pengetahuan itu Diperoleh?......................................................
2.3. STRUKTUR ILMU DALAM PENGAJARAN IPA..............................................................
2.4. STRUKTUR KEILMUAN MENURUT ANALISIS-WACANA................................................
2.5. KASUS PENEMUAN NEUTRINO................................................................................
DAN
MENGINTERVIU............................................................................
Apendiks
I. PENDAHULUAN
dengan karakter yang lebih mengkhususkan diri pada peranan struktur materi
subyek dalam pbm.
Cukup menolong jika sebelum mengikuti mata kuliah ini, pembaca telah
memahami dasar-dasar pbm agar menunjang upaya untuk memahami pandangan
dan dasar pedagogi materi-subyek. Cara lain yang dapat ditempuh adalah Buku
Richard I. Arens (1989) yang kiranya dapat dijadikan pengetahuan pengantar
untuk memperoleh pandangan menyeluruh mengenai berbagai metoda mengajar.
Bukunya yang berjudul: Learning to Teach, dianggap penting karena merupakan
peralihan dari pandangan pembelajaran ke pandangan pengajaran; jadi mulai
memasuki area pedagogi yang selama ini kurang diperhatikan. Pengajar diberi
peranan yang lebih jelas baik menurut pandagan pembelajaran maupun
pandangan pengajaran.
Untuk mendukung pemahaman anda, pada ahir kumpulan makalah ini
ditampilkan dua macam latihan, yaitu:
(1) Contoh buku teks yang telah menerapkan pedagogi materi-subyek
sebagai upaya pendahuluan untuk memahami bagaimana aspekaspek ketrampilan intelektual diidentifikasi dari teks. Pembaca
disarankan untuk menganalisis buku ini berdasarkan
pemahamannya atau mendiskusikannya. Hasil diskusi dapat
dirumuskan sebagai saran perbaikan sesuai dengan pandangan
pedagogi materi-subyek yang lebih berkembang.
(2) Proyek-mini berupa menganalisis interaksi pbm secara nyata
dilaksanakan di dalam kelas menggunakan data hasil rekaman.
Latihan ini diharapkan dapat memberikan kesempatan untuk
merefleksikan pengalaman pbm pembaca menurut padangan
analisis wacana.
Latihan pertama dimaksukan untuk mengembangkan substansi dari pedagogimateri-subyek menggunakan pengertian-pengertian dasar. Pengetahuan
substansi adalah pengetahuan mengenai bangunan atau struktur dari suatu
pengetahuan. Contohnya, tabel periodik adalah suatu pengetahuan substantif
karena merupakan bangunan yang mengorganisasikan semua unsur-unsur
menurut sifat keperiodikan dan kesamaan sifat kimianya. Pemahaman yang lebih
mendalam menunjukkan bahwa sistim tabel periodik sebenarnya dikendalikan
oleh nomor atom: Sifat fisika dan sifat kimia unsur-unsur berubah secara periodik
mengikuti nomor atomnya.
Jika diperhatikan lebih jauh, yang menjadi konten dari tabel periodik adalah atomatom dari berbagai unsur, karena merupakan unit-unit pembentuk keseluruhan
tabel. Yang menjadi substansinya adalah hukum periodik sifat periodik unsurunsur merupakan fungsi nomor atomnya, karena fungsinya untuk mengorganisasi
setiap unsur menjadi table periodik dan mengembangkannya melalui prediksi.
Sebagai contoh, peramalan unsur Germanium oleh Mendelyeff pada 1867
merupakan kemampuan prediksi dari pengetahuan substansi. Dengan semangat
yang sama, pembaca juga, jika benar-benar mencermati kriteria totalitas dan
logika internal pbm, dapat membuat ramalan mengenai pelaksanaan pbm oleh
guru tertentu jika sejumlah informasi (sebagai konten) dapat diakses. Yang
menjadi pengetahuan sintaktikal adalah penerapan berbagai aturan, hukum, dan
kenyataan-kenyataan yang perlu untuk menerapkan dan mengembangkan tabel
periodik. Walaupun tabel periodik dirumuskan oleh hukum periodik, penerapan
terhadap beberapa kasus memerlukan hukum dan aturan lain. Contohnya, teori
mengenai isotop untuk menjelaskan pembalikan posisi Kalium dan Indium yang
sebenarnya menyalahi hukum periodik.
Latihan kedua mencoba membawa analisis ke aspek yang lebih serius kepada
analisis kekeliruan dari banyak metoda mengajar menurut kenyatan lapangan
untuk kemudian dicoba menyajukan saran menurut pandangan pembaca. Jika
diperhatikan sebagai pengetahuan substansi, dasar pengorganisasian pbm
adalah logika internal, tetapi ini kiranya masih terlalu umum dibandingkan dengan
hukum periodik. Walaupun demikian, dasar tersebut sudah memadai sebagai titik
tolak metodologi penting untuk mulai membicarakan bagaimana membangun
struktur sintaktikal dari pbm. Pekerjaan membangun ini mengikuti aturan, nilai,
tradisi, kendala, dlsb., yang hanya mempunyai kemaknaan yang jelas jika
dikaitkan dengan konteks pelaksanaan sehari-hari dari pbm. Jadi pembaca
dianjurkan agar berani mencoba mengembangkan proyek tertentu yang dilakukan
secara kelompok berdasarkan deskripsi umum dari proyek mini tersebut.
Dirasakan bahwa penggunaan konsep inti dalam konteks tertentu lebih
menunjang pemahaman dibandingkan dengan definis formal tanpa konteks.
Walaupun pada awalnya penggunaan tersebut sukar karena menuntut
pengetahuan yang lebih menyeluruh dalam bentuk antar-hubungan ide inti
(pengetahuan substantif), cara penggunaan tersebut penting untuk meningkatkan
pemahaman yang memadai. Pemahaman konsep inti hanya mungkin jika
pengetahuan sintaktikal yang mengendalikannya dalam bentuk mengkonstruksi
pengetahuan dapat dilibatkan.
Dengan memusatkan perhatian pada pbm, pada totalitas dan logika internal,
banyak hal-hal yang dapat diamati secara mendalam dan menyatu menurut
konteks kesehari-harian dari pelaksanaannya. Pengamatan langsung dan diikuti
dengan upaya merefleksi kejadian-kejadian mengenai interaksi antara pengajar,
pembelajar, dan materi-subyek, dapat menghasilkan pandangan dasar bagi
pengajar untuk memahami lebih kritis bagaimana sebenarnya proses
mengkonstruksi pengetahuan itu berlangsung. Untuk menunjang pemahaman ini,
analisis wacana dapat memberikan berbagai kemudahan untuk mengungkapkan
makna keseharian dari proses mengkonstruksi tersebut menggunakan konstruk
teoretis motif yang menjadi sumber kekuatan intelektual dari berbagai tindakan.
Pedagogi materi-subyek memusatkan diri pada interaksi tersebut dengan
pandangan bahwa setiap pelaku pbm mempunya hak prerogatif yang diperlukan
untuk memelihara kelangsungan interaksi tersebut. Keberhasilan pengajar perlu
ditunjang oleh hak prerogatif mengendalikan wacana dari pbm; keberhasilan
pembelajar perlu ditunjang oleh hak prerogatif bertanya untuk mengembangkan
pemahamannya. Pembatasan hak mengendalikan dan hak bertanya diperankan
oleh motif kerja-sama yang kiranya diperlukan agar interaksi untuk membangun
pengetahuan berlangsung dengan selalu mengacu pada nilai kebenaran yang
merupakan hak prerogatif dari materi-subyek..
Kumpulan makalah ini bertujuan untuk memperkenalkan bagaimana pedagogi
materi-subyek diwujudkan dalam pbm secara alamiah. Kegiatan utama berfikir
dari kehidupan kelas membuat deskripsi yang memenuhi ktriteria keutuhan dan
kedalaman permasalahan dapat ditempuh menggunakan perekam audio (atau
(1) Dengan memahami epistemologi dari keilmuannya dan keilmuan dari disiplin lainnya yang
terkait, calon pakar dapat bersikap kritis terhadap proposisi maupun asumsi yang
diberlakukan dalam disiplin keilmuannya yang mempunyai konsekuensi praktis terhadap apa
yang diyakini dan dilakukan oleh pelaku lapangan.
(2) Klarifikasi epistemologi yang mengendalikan seseorang dalam melaksanakan tugasnya
dapat memberikan kepuasan dan selanjutnya kemudahan untuk memahami berbagai
perubahan yang selalu melanda dunia pendidikan.
(3) Pemahaman atas berbagai isu epistemologi dapat mendorong upaya bersama untuk meneliti
dasar isu tersebut. Kebanyakan dari isu ini hanya menyangkut metoda dan teknik mengajar,
bukan dasar dari pendekatannya melainkan pada apa arti belajar, memahami, dan menjadi
terdidik.
IPA adalah pekerjaan priaktikum dengan petuntuk (hands-on), untuk menemukan dunia
sekitar menggunakan kelima indra. Inisiatif dikendalikan oleh murid; mereka
mengemukakan pertanyaan dan saya mendorong mereka untuk bekerja independen.
Saya menjaga diri agar tidak memberikan petunjuk atau informasi untuk menolong
keingin-tahuan mereka. Saya tidak kuatir apakah murid menggunakan bahasa deskriptif
atau non-ilmiah (Guru B).
IPA adalah kreasi pikiran manusia; kebenaran dibentuk didalam pikiran pengamat. Saya
berasumsi bahwa murid mempunyai pengetahuan yang cukup luas dan saya menolong
mereka menggunakan dan menghubungkan apa yang mereka telah ketahui dengan
masalah yang baru. saya menantang mereka untuk menolak, membentuk kembali, atau
mengembangkan pikiran dan mempertimbangkan mengapa mereka berprilaku
demikian. saya mendorong mereka untuk menggunakan bahasa ilmiah sewaktu
menjelaskan sesuatu (Guru C).
Orientasi keilmuan dan orientasi mengajar ketiga guru diatas menunjukkan bahwa
disamping menyangkut aspek sintaktikal yang berhubungan dengan sumber data,
tugas mengajar juga perlu melibatkan pandangan murid. Ketiga guru diatas dapat
dilihat sebagai mewakili pandangan epistemologi yang beragam menurut (menurut
Bennet dan Carre, 1994):
Berbeda dengan pandangan guru A, yang lebih sejalan dengan epistemologi keilmuan
IPA, Guru B, dan C yang melihat bahwa murid juga mempunyai wewenang untuk
membentuk pengetahuannya. Namum, guru B tetapi melihat bahwa pengamatan tetap
merupakan bagian utama dari pembelajaran IPA. Guru C nampaknya lebih mendekati
pandangan epistemologi dengan pandangan kewacanaan.
2.
3.
Posisi dari IPA terhadap isu ini adalah posisi empirisi, seperti yang diperlihatkan oleh
ketiga Guru diatas. Tetapi secara epistemologi, ilmu dapat tidak dibentuk hanya oleh
pengamatan, melainkan juga oleh pikiran kreatif. Khususnya, untuk proses belajarmengajar isu diatas dapat dirinci menjadi:
(6) Apa kontribusi pengamatan dan aktivitas mental terhadap upaya untuk memperoleh
pengetahuan?
(7) Sejauh mana pengetahuan itu ditermukan, bukan diciptakan?
Dari pandangan wacana keilmuan, yang melihat bahwa pengembangan ilmu
ditentukan bukan hanya oleh pengamatan, berarti apa yang dilakukan oleh pengajar,
murid, dan buku teks adalah pelaku-pelaku.
C. Struktur Ilmu dalam Pengajaran IPA
Bab ini mencoba mengukuhkan peranan struktur ilmu dalam tugas eksplanasi
pedagogi untuk menolong pemahaman yang lebih mendasar dari tugas mengajar.
Struktur keilmuan memberikan kejelasan posisi dari materi-subyek dilihat sebagai
hasil prumusan kurikulum dan hubungannya dengan keinginan bahwa pelajaran
sekolah lanjutan harus merupakan wakil setia dari disiplin keilmuan. Yaitu, mata
pelajaran sekolah merupakan pengantar yang absah kepada disiplin ilmu menurut
nama yang disandangnya: biologi yang diajarkan disekolah harus sesuai dengan
biologi yang diketahui oleh pelaku ilmuan. Ini dapat diwujudkan jika konsep kunci dan
operasi intelektual yang digunakan oleh peneliti dapat diidentifikasi dan diungkapkan
lebih eksplisit (Gardner, 1975).
Selama ini, pengajaran IPA sebahagian besar adalah kumpulan kesimpulan berupa
sifat-sifat, formula, hukum-hukum, persamaan reaksi, deskripsi proses, dsb.
Ketrampilan intelektual yang membawahi kesimpulan-kesimpulan tersebut jarang
ditekankan, bahkan mengalami distorsi, atau terabaikan. Konsep IPA diperkenalkan
seolah-olah sudah merupakan kenyataan yang lazim tanpa perlu meragukan bahwa
konsep tersebut mungkin tidak sejalan dengan kehidupan sehari-hari. Contohnya,
tanpa memperhatikan ketrampilan intelektual yang mendasarinya, hukum Newton
dipandang sebagai suatu prinsip yang lazim; padahal ini berlawanan dengan
kenyataan bahwa setiap benda yang bergerak selalu memerlukan gaya agar tetap
bergerak seperti yang dikemukan oleh Aristotles. Konsep gesekan dan hambatan
udara dalam kehidupan sehari-hari merupakan kenyataan yang selalu menyertai
setiap benda yang bergerak. Apakah mungkin membuktikan hukum Newton tanpa
asumsi-asumsi non-empirik?
Kesulitan diatas hanya mungkin diatasi dengan menyertakan pembicaraan struktur
ilmu yang sebenarnya merupakan asas pembenaran terhadap kesimpulan-kesimpulan
IPA. Diantaranya pengungkapan bahwa hukum Newton bukanlah suatu hukum
empirik, melainkan hukum hasil penalaran deduktif.
D. Struktur Keilmuan Menurut Analisis-wacana
Ilustrasi pandangan pengajar yang cenderung dikendalikan oleh pengetahuan
praktisnya seperti yang ditampilkan sebelumnya cukup memadai untuk menurunkan
struktur pengetahuan. Disamping orientasi personal, di dalam kelas struktur
pengetahuan tersebut juga berorientasi sosial. Tetapi, lebih penting adalah bahwa
10
dasar konstruksi pengetahuan dari tugas mengajar dapat dibuat lebih eksplisit
berdasarkan analisis wacana.
Implikasi dari pandangan diatas adalah bahwa tugas mengkonstruksi pengetahuan
berlangsung dengan wacana sebagai media interaksi dan selanjutnya juga
merupakan media penting untuk menghasilkan data. Peranan analisis wacana dengan
demikian adalah untuk membuat pembedaan antara struktur sintagmatik (struktur
permukaan wacana) dan struktur paradigmatik (struktur dalam yang ditentukan oleh
materi-subyek). Struktur ilmu dengan demikian lebih berhubungan dengan struktur
paradigmatik. Struktur sintagmatik berhubungan dengan organisasi sekuensial
sedangkan struktur paradigmatik berhubungan dengan organisasi dari materi-subyek
dari wacana. Disini, istilah materi-subyek perlu dilihat sebagai struktur yang terdiri
tidak hanya konten, tetapi juga substantif, dan sintaktis. Aspek kontent, yang karena
kedudukannya sebagai komponen dari aspek substantif dalam analisis dapat diwakili
oleh aspek substantif.
Cukup penting untuk melibatkan pandangan Shulman (1987) dalam pembicaraan
mengenai struktur materi-subyek yang melihatnya sebagai terdiri atas aspek konten,
aspek substansi, dan aspek sintaktikal. Aspek sintaktikal kiranya dapat sejajar
dengan aspek epistemologi dari keilmuan dengan membatasi pembicaraan tidak lagi
dihubungkan dengan tugas mengembangkan ilmu, tetapi dengan tugas
merekonstruksi pengetahuan kedalam bentuk yang lebih sederhana. Aspek sintaktikal
dalam hal ini berhubungan dengan upaya menjaga agar, dalam konteks pedagogi,
konstruksi konten menjadi struktur substansi tetap mengikuti dasar pengembangan
(hukum, aturan, teori, dlsb) dan dasar validasi (metodologi) dari materi-subyek.
11
Gambar 1.1 menampilkan struktur ilmu menurut dimensi sintaktikal dan dimensi
substantif menurut tahapan pengembangan ilmu seperti yang ditunjukkan oleh label
italik tebal dalam tanda kurung. Pemetaan ini perlu mengambil pandangan wacana,
karena aspek sintaktikal sebenarnya dikendalikan oleh motif penulis buku teks; jadi
sebenarnya merupakan teritori analisis-wacana. Pengoperasian ketrampilan
intelektual dengan demikian dapat dikembangkan berdasarkan tindakan wacana
(aspek sintaktikal) yang diterapkan terhadap unsur-unsur dalam aspek substantif.
12
Gambar 1.1
Hubungan Antara Aspek Sintaktikal dan Aspek Substantif
(Menurut Gardner, 1976)
Struktur
Pengetahuan
Aspek Sintaktikal
Aspek Substantif
Mendefinisikan:
Konsep Teoretis:
Struktur Logika:
matematik (Intraduction).
atau pernyataan
Menguji:
Definisi Operasional:
13
(Transduction).
observasi.
Memroduksi:
Model Teoretis:
(Production).
Dalam bentuk formal, hubungan kedua aspek ini diperankan oleh operasi logika; jadi
merupakan fasilitas untuk mewujudkan fungsi sintaktikal terhadap elemen- elemen
didalam dimensi subsatantif. Operasi tersebut sifatnya spesifik menurut disiplin
keilmuan. Sebagai contoh, kebiasaan Mendefinisikan suatu Konsep Teoretis dalam
pendidikan cenderung kurang formal, karena artikulasi konsep berkembang menurut
pemahaman. Tetapi, dalam sains fungsi tersebut bersifat formal karena merupakan
dasar untuk merumuskan model teoretis atau matematik. Sifat spesifik ini merupakan
salah satu dasar penting untuk merumuskan tradisi wacana suatu disiplin keilmuan
(Matthiesen, 1993).
E. Kasus Penemuan Neutrino
Dari disiplin fisika mengenai antar hubungan aspek sintaktikal dan aspek substantif,
sejarah penemuan neutrino oleh Wolfgang Pauli pada tahun 1931(Gardner, 1975)
merupakan ilustrasi yang memadai untuk memperlihatkan hubungan aspek sintaktikal
14
dan aspek substantif. Penemuan tersebut dimulai dari pengamatan peluruhan In116
berdasarkan reaksi:
49
In116 --------->
50
Sn116
-1
eo
Gambar 1.2.
Persamaan Reaksi Peluruhan Logam Radio Aktif
Yang menjadi pengetahuan substantif dari proses penemuan neutrino adalah reaksi
peluruhan
In116 menjadi
49
50
pengetahuan konten adalah setiap partikel yang terdapat dalam reaksi tersebut.
Aspek sintaktikal dari penemuan ini perlu memperhatikan terlebih dahulu aspek
substansi yang terlibat. Reaksi peluruhan tersebut perlu dirujuk sebagai model
teoretis dari reaksi peluruhan 49In116 dan persoalan yang muncul. Sebagai model
dasar, pengembangan reaksi peluruhan menjadi terarah, diantaranya kemungkinan
membuat prediksi menurut aspek sintaktikal berupa hukum, aturan, heuristik, atau
intuisi.
Elektron yang dipancarkan dalam reaksi peluruhan ini ternyata mempunyai energi
kinetik lebih kecil dari biasanya, (2,95 Mev) dengan rata-rata hanya 1.30 Mev, yang
berarti sejumlah energi tertentu hilang. Wolfgang Pauli memperkirakan bahwa jika
hukum kekekalan energi diberlakukan terhadap reaksi peluruhan tersebut,
seharusnya ada partikel lain yang dipancarkan bersamaan dengan elektron (tahap
15
intraduction). Partikel ini disebutnya neutrino (yang kecil netral) yang dalam tahap
pengembangan teori disebut abduction. Pengetahuan sintaktikal yang diterapkan
disini adalah suatu prediksi keberadaan suatu konstruk teoretis neutrino yang hampir
tidak mempunyai sifat-sifat yang dapat dideteksi secara lazimnya, karena tidak
mempunyai massa diam, dan muatan (tahap transduction).
Lebih dari 20 tahun kemudian, secara empirik Reines dan Cowan tahun 1956
berspekulasi bahwa neutrino dapat berinteraksi dengan proton menghasilkan neutron
atau positron. Dengan menggunakan reaktor nuklir bertenaga tinggi, mereka dapat
menghasilkan emisi beta (yang juga melibatkan neutrino) berkecepatan tinggi dan
menemukan kejadian yang sesuai dengan spekulasi tersebut. Aspek sintaktikal yang
terlibat disini adalah menguji aspek substantif definisi operasional definisi bagaimana
konstruk teoretis neutrino dihubungkan dengan observasi (tahap production).
Reaksi peluruhan In116 menjadi Sn116 merupakan aspek substantif dari pengetahuan
reaksi inti yang dibentuk oleh pengetahuan konten 49In116, 50Sn116, dan -1eo .
Pengetahuan sintaktikal yang terlibat dalam reaksi ini adalah ditemukannya partikel
neutrino menghasilkan elektron dengan energi yang lebih kecil dari lazimnya, yaitu
lebih kecil dari 2.29 Mev, dengan energi rata-rata 1.30 Mev. Spekulasi Wolfgang Pauli
bahwa neutrino memancar bersamaan dengan elektron yang menyebabkan energi
kinetiknya berkurang merupakan hasil prediksi menggunakan reaksi peluruhan In 116
sebagai model dan hukum kekekalan masa sebagai dasar.
F. Ilustrasi Analisis Artikel Penelitian Pengajaran IPA
Untuk melihat interaksi fungsi sintaktikal dan fungsi substantif dari pengembangan
ilmu di dalam disiplin ilmu pengajaran IPA, dalam apendikss ditampilkan ilustrasi
16
analisis artikel. Dalam penemuan neutrino, yang menjadi contoh dari disiplin ilmu
fisika, aspek yang dilibatkan dalam fungsi substantif cukup terbatas pada persamaan
reaksi dari peluruhan Indium. Dalam penelitian pengajaran, disamping materi-subyek,
aspek lain juga dilibatkan seperti aspek psikologi (kesulitan pembelajar dalam
membedakan konsep initi panas dan temperatur ), aspek pbm (penelitian juga
bertindak sebagai guru kelas), dan aspek praktikum (dasar keilmuan dari topik
pengajaran untuk melihat pemahaman murid), dsb.
Upaya untuk memahami artikel penelitian dapat lebih mudah jika penulis mencoba
menganalisis permasalahan yang dihadapi oleh penulis artitkel dengan
memetakannya menurut hubungan totalitas dari PBM yang dibentuk oleh interaksi
pengajar, pembelajar, dan materi-subyek. Jika tidak, pembaca dapat mengalami
kebingungan yang berkelanjutan, karena banyak hal yang sebenarnya perlu
diketahui tetapi oleh penulis hanya secara implisit diungkapkan. Antar-ketergantungan
dari ketiga komponen PBM dapat meragamkan satu topik secara mengejutkan,
karena secara wajar dapat menghasilkan kurang-lebih 54 desain penelitian. Angka
tersebut diperoleh jika diasumsikan bahwa setiap komponen melibatkan 3 konstruk
teoretis dan hubungan ketergantungan setiap komponen dapat berlangsung menurut
dua arah. Komponen pengajar dapat dikategorikan menjadi senior, madia, dan
pemula; komponen materi-subyek dapat dikategorikan menurut dimensi rumitsederhana, abstrak-konkrit, dan dinamik-statis; sedangkan komponen pembelajar
dikategorikan menjadi kelompok atas, tengah, dan bawah.
Disamping analisis, bab ini juga melibatkan kritikan terhadap artikel penelitian untuk
menajamkan pandangan pembaca. Diyakini bahwa pemahaman yang fungsional
hanya dapat mewujud jika pembaca juga telah mampu melihat kelemahan-kelemahan
17
suatu artikel. Jadi dalam bagian-bagian berikut, analisis juga dilengkapi dengan kritik
bilamana dirasakan tepat saatnya untuk dikemukakan.
cukup dominan. Awal pengembangan ini banyak dimotori oleh pandangan sepihak
dari psikologi pembelajaran dari pekerjaan Skinner yang memusatkan diri pada
komponen pembelajar.
Pada pertengahan perkembangannya, penelitian pbm didominasi oleh pandangan
interaksi kelas yang mencoba menentukan karakteristik pengajaran yang sukses
berdasarkan tingginya frekuensi kegiatan pembelajar dibandingkan dengan kegiatan
pengajar. Pandangan ini banyak dimotivasi oleh disiplin sociolinguistik; interaksi
dideskripsikan oleh karakteristik dari fungsi ucapan seperti meninisiasi, menerima,
menolak, menjawak, dlsb. Pekerjaan Flanders merupakan acuan utama dari penelitian
ini yang dikembangkan lebih lanjut berdasarkan karakteristik dari materi-subyek ..
Pembicaraan struktur ilmu untuk mendeskripsikan pbm belum banyak dilibatkan,
kalaupun ada ini masih terbatas pada aspek konten dan aspek substansi, belum
secara utuh sebagai struktur ilmu.
Kedua pengembangan diatas ditandai oleh belum dilibatkannya materi-subyek dalam
analisis secara komponen tersendiri, melainkan pada menggiatkan pembelajar dalam
pbm. Keterbatasan ini mudah dipahami karena munculnya analisis wacana yang
memusatkan diri pada materi-subyek baru dimulai sekitar tahun 1975 sejalan dengan
munculnya komputer yang mendekati kemampuan berfikir manusia. Walaupun
pengembangan sudah melibatkan hubungan ketergantungan, jadi telah mulai
menerapkan kriteria totalitas, kriteria logika internal yang menjadi kerangka kerja
bagai pemetaan kompleksitas pbm belum mendapat peran yang memadai.
Karenanya, pekerjaan yang cukup komprehensif yang memampu mengimbangi
kompleksitas pbm belum muncul. Kekeliruan induktif: Fallacy of Complex Questions,
19
yaitu solusi dua alternatif berupa menerima atau menolak hipotesis terhadap masalah
yang kompleks dapat diterapkan pada pekerjaan dalam tahapan ini.
Pengembangan selanjutnya, dengan demikian, perlu mengkonsentrasikan diri pada
kompleksitas dari permasalahan pbm. Kompleksitas ini merupakan karakteristik dari
pengembangan sekarang ini yang oleh pandangan pedagogi materi-subyek dicoba
dengan mengidentifikasi pbm sebagai fenomena wacana. Upaya ini secara teoretis
meletakkan dasar untuk mulai memetakan permasalahan pbm untuk menghindari
pekerjaan dari kemungkinan dilanda oleh kekeliruan lain: Fallacy of Composition,
yaitu asumsi bahwa apa yang berlaku pada salah satu komponen pbm juga berlaku
untuk keseluruhan pbm. Salah satu upaya yang tengah dikembangkan sejalan
dengan kehati-hatian ini adalah pedagogi materi-subyek yang dikembankan
berdasarkan totalitas dan logika internal pbm.
Struktur pbm dikemukakan bersamaan interaksi pelaku-pelakunya dalam rangka
membangun pengetahuan berdasarkan model trialogue dari pbm. Seperti telah
disinggung dalam Pendahuluan, asumsi ini terutama berlaku atas interaksi tersebut
dengan pandangan bahwa setiap pelaku pbm mempunya hak prerogatif yang
diperlukan untuk memelihara kelangsungan interaksi tersebut dengan memberikan
hak prerogatif kepada pengajar untuk mengendalikan wacana dari pbm. Hak
prerogatif juga diberikan untuk memastikan keberhasilan pembelajar, yaitu berupa
hak untuk bertanya dalam rangka mengembangkan pemahamannya. Hak ini
diperlukan untuk menyehatkan hak mengendalikan pembelajar, karena keberhasilan
pengendalian tersebut banyak ditentukan oleh sikap kerja-sama pembelajar dalam
melaksanakan hak bertanyanya. Keseluruhannya adalah agar interaksi untuk
20
21
1.
Sebagai upaya awal, definisi yang lebih operasional barangkali menolong sebagai ide
pembuka. Nampaknya, seperti telah disinggung diatas, Hopkins (1992), contohnya,
belum melihat peranan sentral dari komponen materi-subyek dalam PBM terlihat dari
konsentrasi pekerjaannya pada interaksi dan prilaku mengajar atau belajar.
Suatu tindakan yang diambil oleh guru atau koleganya untuk meningkatkan pengajaran,
menguji teori dalam praktek (hal.1).
Dari definisi ini, Hopkins sebenarnya kurang melihat konteks yang lebih mendasar
dari PBM yaitu mengkonstruksi pengetahuan menurut konteks kelokalannya.
Pandangannya cukup terikat pada penelitian tindakan, walaupun sudah menampilkan
langkah maju dalam melibatkan peranan teori dalam penelitian kelas. Pandangan
tradisional mengenai tugas pengembangan pbm adalah peningkatan pelaksanaannya
melalui, terutama studi kasus, disamping studi tindakan.
Tetapi secara umum pandangan totalitas dan logika internal PBM belum muncul,
terlihat dari pandangannya yang terutama adalah data empirik berupa observasi,
tetapi belum melibatkan interviu dan transkripsi sebagai sumber data.
Definisi Hopkins juga kurang menekankan fase pemetaan atau penemuan masalah
(fase eksplorasi) yang untuk sementara masih perlu mendasari penelitian kelas. Fase
ini diperlukan untuk memberikan kesempatan bagi pengajar mendokumentasi
pengetahuan praktis-mengajar. Pandangannya untuk langsung meningkatkan
(memperbaiki) pengajaran kiranya kurang menghargai pandangan PBM sebagai
budaya kelas.
22
2.
Dilain pihak, walaupun penelitian dapat juga melibatkan evaluasi, penelitian kelas
perlu menghindarinya karena PBM berlangsung didalam suatu budaya tertentu, yaitu,
budaya kelas. Peneliti perlu menghargai berbagai kendala yang pada batas tertentu
juga membentuk budaya sekolah. Kiranya, peneliti yang menerapkan suatu skala
penilaian sebagai dasar untuk membuat perbaikan, tanpa menghargai kendala yang
ada, merupakan tindakan yang mengabaikan totalitas permasalahan. Tugas utama
penelitian adalah mendeskripsikan PBM seakurat mungkin menurut kendala yang
sehari-hari harus dihadapi oleh pengajar dan pembelajar.
Definisi penelitian-kelas, seperti telah dikemukakan, juga perlu melibatkan peranan
materi-subyek karena kurangnya perhatian terhadap peranan ini telah menyebabkan
berbagai pendekatan terdahulu menemui jalan buntu. Peranan tersebut perlu
mendapat tempat tertentu dalam mendefinisikan penelitian-kelas.
Demikian juga topik (materi-subyek) jarang sekali dibicarakan didalam konteks interaksi
langsung muka dengan muka. Yang menjadi keperdulian sentral pakar sosiolinguist
adalah bagaimana pembicaraan yang diucapkan oleh pembicara diorganisasi dan
dipadu dalam berbagai cara, dan terdengar sesuai dengan situasi sosial (Stubbs, 1984:
44).
23
Deskripsi penelitian kelas pada bagian sebelumnya meletakkan dasar bagi definisi
pendahuluan penelitian kelas; definisi yang lebih ketat dan formal sebenarnya masih
terlalu sulit karena konsep mengenai penelitian kelas itu sendiri berkembang
mengikuti pemahaman yang semakin mendalam. Diantaranya, ini menyangkut masih
belum memadainya deskripsi metodologi karena masih perlu mempertimbangkan inti
24
permasalahan PBM. Jadi, untuk sementara, definisi yang cukup memadai adalah
bahwa:
Upaya bersama dalam bentuk suatu antar-ketergantungan materi-subyek, pembelajar,
dan pengajar sehubungan dengan isu totalitas dan logika-internal dari tugas sosial
mengkonstruksi pengetahuan dari PBM.
25
asli, pembelajar hanya membuat perkiraan dan pendapat yang kiranya sesuai dengan
harapan pengajar.
Dari situasi diatas mungkin sukar menyimpulkan bahwa murid aktif membangun
pengetahuannya, sementara adalah guru yang mengetahui jawaban, mengemukakan
pertanyaan. Kedua peneliti tersebut nampaknya cukup tegas menyimpulkan bahwa:
Kebebasan pembelajar untuk mengemukakan pendapatnya sendiri sebagian besar
adalah ilusif; pengajar dengan tegas tetap memegang kendali atas apa yang
seharusnya dikatakan dan dilakukan, kesimpulan apa yang seharusnya dicapai,
interpretasi apa yang seharusnya diajukan atas pengalaman (hal. 807).
Jadi cukup beralasan untuk mempertimbangkan situasi yang lebih realistik mengenai
pelaksanaan pbm menurut pandangan wacana mengenai pedagogi kelas seperti
dikemukakan diatas. Kompleksitas pbm nampaknya perlu didekati dengan
mempertimbangkan subjektivitas setiap pelaku pbm, konteks sosial budayanya, dan
dasar trialogue dari interaksinya. Pendekatan sosiokultural berupa dasar trialogue ini
merupakan faktor pembeda terhadap pendekatan Piaget yang menekankan fungsi
kongnitif individual atau model pembelajaran psikologi lainnya. Dasar trialogue
tersebut juga merupakan pengoperasian dari asumsi pbm sebagai fenomena wacan
dan secara menyeluruh mewadahi subjektivitas pelaku pbm, dasar dialogikal dari
pembentukan makna sesuai dengan konteks sosio-kultural sekolah.
Berdasarkan dasar trialogue diatas, lebih jauh studi mengenai kehidupan kelas pada
ahirnya harus memperlihatkan logika-internal PBM yang membawahi interaksi
ketergantungan dari setiap pelaku pbm. Dasar trialgue tersebut dapat diungkapkan
27
28
Gambar 3.1
Model Trialogue PBM
Kurikulum
Presentasi
Pembelajar
Pengajar
Organisasi
Transformasi
Materi-subyek
Konteks
Hasil-Belajar
29
1.
Komponen Pengajar
30
Komponen Pembelajar
31
3.
Komponen Materi-Subyek
32
Tugas pemetaan dengan demikian dapat diarahkan kepada deskripsi dari fungsifungsi ini.
33
34
Gambar 5.2.
Pemetaan Hubungan Antara
Eksplanasi Ilmiah dan Eksplanasi Pedagogi
Fungsi Sintaktikal
Fungsi Substantif
Konteks Disiplin
Pernyataan 1
Pernyataan 2
Pernyataan 3
Pernyataan 4
...........
Pernyataan n
Eksplanasi
Ilmiah
khalayak sasaran
Representasi
Materi-Subyek
Pembelajar sbg
Khalayak Sasaran
Pedagogikal
Psikologikal
TEACHABLE
ACCESSIBLE
Eksplanasi
Pedagogi
Konteks Pedagogi
Ketrampilan
35
Intelektual
Analisis
Wacana
E. Logika Internal
Seperti halnya pada struktur ilmu, inti dari pengembangan ilmu adalah eksplanasi
ilmiah, dalam struktur pbm inti ini diperankan oleh eksplanasi pedagogi; masingmasing eksplanasi ini dapat dilihat sebagai representasi dari inti dari pekerjaan pakar
ilmuwan dan pakar pendidikan. Karnanya dapat djuga dirujuk sebagai logika internal
dari pbm yang menjadi inti dari pengembangannya: tugas besar dari pemahaman pbm
adalah pemahaman dari eksplanasi pedagogi dan selanjutnya ini dapat ditingkatkan
pada pengembangan pbm.
Dalam konteks yang lebih luas, pakar pbm perlu mempunyai pandangan tertentu
mengenai totalitas dari kehidupan kelas dan sosial-budaya sebagau lingkungan
36
Pengorganisasian wacana dilakukan menggunakan unit wacana yang dalam hal ini
adalah proposisi (Van Dijk dan Kintsch, 1983), karena ikatan wacana dan materisubyek yang tidak dapat dipisahkan. Tetapi, pengertian proposisi perlu dilonggarkan
dari pengertiannya tindakan pengukuhan menjadi pengertian upaya pengukuhan
37
agar penggunaan proposisi tetap sejalan dengan tugas mengkonstruksi ilmu di dalam
kelas. Pekerjaan mengkonstruksi ini berlangsung antara pengajar dan pembelajar,
dengan pembelajar menempati posisi pemula, sedangkan pengajar sebagai otoritas
mewakili ilmuan.
Gambar 5.4 menampilkan secara komprehensif Model Representasi Mengajar
berdasarkan argumentasi Toulmin (1957), walaupun tidak secara eksplisit
memisahkan fenomena dari teori yang menjelaskan fenomena untuk mendukung
klaim. Belakangan ini pekerjaan Toulmin semakin mendapat dukungan empirik.
Chambliss (1995) menunjukkan bahwa pembaca mempunyai kemampuan mengenal
struktur argumen teks; atau, pembaca juga mampu membangun komponen bila klaim
tidak eksplisit model tersebut terutama dibentuk oleh struktur-makro dan strukturmikro suatu wacana. Interaksi aspek sintaktikal dan aspek substantif dinyatakan oleh
proposisi (P-N) dan garis penghubung proposisi. Dimensi progresi mengalurkan
proposisi menurut urutan realisasi motif. Dimensi organisasi diperankan oleh dimensi
Elaborasi yang mengatur hubungan organisasi struktur-makro atau struktur-mikro
yang dalam hal ini diwakili oleh proposisi P-N dan S-n.
Gambar 5.4
Model Representasi Mengajar
TOPIC
Elaborasi
P-I
P
r
o
S-1
38
g
r
e
s
i
P-II
S-2
S-3
S-4
P-III
P-IV
S-6
S-7
S-8
S-9
P-V
S-10
S-11
S-12
40
41
42
43
Gambar 2.2
Pemetaan Masalah
Pemetaan:
Tekanan
Udara
Bgm mengungkapkannya
secara utuh?
Strategi
Rekonstruksi
Presentasi
Apakah
berpengalaman?
Pembelajar
Strategi
Pengajar
Apa bentuknya?
Konteks
44
Hasil Temuan
1.
Pemetaan Permasalahan
45
Pertanyaan Penelitian
46
Pengembangan Desain
A. Pengembangan Masalah
Langkah-langkah yang membentuk pengembangan masalah dapat dideskripsi
sebagai berikut:
(1) Analisis Pendahuluan
47
B. Pengembangan Desain
Langkah-langkah yang membentuk pengembangan desain dapat dideskripsi sebagai
berikut:
C. Pengembangan Metodologi
Langkah-langkah yang membentuk pengembangan metodologi dapat dideskripsi
sebagai berikut:
2.
Implementasi
Untuk membuat analisis permasalahan lebih realistis berikut ini ditampilkan dua
ilustrasi di bidang pengajaran dan di bidang pembelajaran. Keduanya diturunkan dari
model trialogue PBM dengan pembedaan hanya pada fokus penelitian. Keadaan ini
menunjukkan peranan penting dari model trialogue tersebut dalam penelitian kelas
walaupun area penelitian yang tidak langsung berperan sebagai komponen dari
model. Jika suatu area tidak langsung merupakan komponen model, area ini dapat
diidentifikasi sebagai sub-komponen dari komponen yang sesuai.
Area lainnya dapat dipelajari berdasarkan salah satu dari ilustrasi yang diberikan
dibawah ini dengan mengidentifikasi sebagai pengajaran atau pembelajaran.
49
Repertoire Mengajar
50
Gambar 5.5
Penghalusan Repertoire Mengajar
Menginformasikan
Bertanya
Mengarahkan
Membatasi
Fokus
Fungsi konstruksi
Pengajar
Konten
Substansi
Fungsi Konstruksi
Hasil Konstruksi
Materi Subyek
Bersama
Sintaktikal
Tes
51
Interviu
Fungsi Konstruk-si
Pembelajar
Bertanya
Menjawab
Bingung
Tahap Refleksi, kotak tebal paling kanan, berfungsi untuk memperkirakan seberapa
jauh repertoire mengajar telah memadai. Jika hasil perkiraan belum memadai, maka
siklus dimulai kembali dari awal, tetapi jika telah dianggap memadai, maka
keseluruhan siklus dapat diahiri.
2.
Komponen maupun fungsi-fungsi bagian dalam siklus kedua adalah sama dengan
siklus pertama; yang berbeda adalah fokus. Yang menjadi fokus yang dalam siklus ini
adalah Fugnsi Konstruksi Pembelajar. Sebagai komponen yang dijelaskan, Fungsi
Konstruksi Pengajar berjalan mengikuti kualitas fungsi bertanya, fungsi menjawab,
adanya tidaknya kebingungan. Contohnya, jika fungsi bertanya dan fungsi menjawab
telah berjalan dengan memadai terlihat dari kualitas substansinya, ini merupakan
indikasi bahwa upaya pengajar sudah memadai. Untuk mengukuhkan ini, informasi
dari hasil evaluasi dan interviu (dilakukan diluar PBM) dari Hasil Konstruksi dapat
digunakan.
52
Gambar 5.6
Siklus Pertama: Penghalusan Repertoire Mengajar
Menginformasikan
Bertanya
Mengarahkan
Membatasi
Fungsi konstruksi
Pengajar
Konten
Substansi
Fungsi Konstruksi
Hasil Konstruksi
Materi Subyek
Bersama
Substansi
Tes
Interviu
Fungsi Konstruk-si
Pembelajar
Bertanya
Menjawab
53
Fokus
Bingung
Tahap-tahap yang diberlakukan dalam siklus pertama juga diberlakukan dalam siklus
kedua. Pada tahap analitikal, fungsi bertanya dari pengajar diutamakan agar
pembelajar melaksanakan fungsi menjawab, dan materi dari jawaban digunakan
untuk mendeteksi kesalahan-kesalahan konsep. Pada tahap kritikal, fungsi
mengarahkan diutamakan untuk menggiatkan fungsi bertanya pembelajar untuk
mencoba memperbaiki kesalahan konsep. Pada tahap refleksi, fungsi membatasi
pengajar diaktifkan melalui penampilan pemecahan masalah untuk menggiatkan baik
fungsi bertanya maupun fungsi menjawab dari pembelajar. Fungsi membatasi
bertugas merangkai setiap konsep-konsep pembentuk kedalam suatu konsep utama
secara lebih tegas.
54
A. Pendahuluan
Pandangan pedagogi materi-subyek ingin membawa pengertian interaksi pbm
yang selama ini dibatasi pada kegiatan yang mudah diamati (observable) ke
lingkungan kognitif dari kegiatan bersama membangun pengetahuan. Berbeda
dengan pandangan sosiolinguistk yang membatasi diri pada interaksi verbal yang
nampak sebagai isi ucapan dan pandangan analisis wacana yang telah mencakup
struktur wacaba interaksi, pandangan pedagogi materi-subyek menambah kriteria
logika internal yang mengendalikan interaksi. Fenomena interaksi dengan
demikian adalah fenomena mentalistik yang membawa pengertian interaksi ke
pengertian engagement, atau kebersamaan antara ketiga pelaku antara ketiga
pelaku pbm. Berarti, interaksi adalah suatu partisipasi internal yang tertuama
bersifat mentalistik yang membawa kegiatan interaksi tesebut ke dalam suatu
lingkungan kognitif.
Pegertian diatas sejalan dengan pengamatan Cohen dan Hosenfeld (1981)
mengenai upaya yang dilancarkan oleh guru untuk meningkatkan interaksi
membangun pengetahuan:
... nampaknya berada dalam batas 25% hingga 82%, tergantung atas, diantaranya,
usia dan menarik tidaknya materi. Kelihatannya, rata-rata 50% siswa mengikuti
materi pelajaran, tetapi selebihnya, sebagian besar berdiam dengan hanya
mengulangi materi tersebut bagi dirinya sendiri.
Walaupun gambaran ini kurang mendukung, karena baru merupakan upaya awal,
namun dalam konteks proses mengkonstruksi pengetahuan gambaran tersebut
lebih realistis.
Cara yang lebih wajar untuk menggambarkan proses tesebut adalah dengan
memisahkan dimensi progresi dan dimensi elaborasi dari interaksi untuk lebih
memerankan peranan materi-subyek. Tugas mengendali pengajar dalam pbm
berdasakan pemisahan tersebut sejalan dengan upaya untuk memelihara
partisipasi internal dengan jalan (Long, 1983):
Interaksi Verbal. Sistem ini menggunakan skala tunggal yang terdiri atas 10
kategori untuk memetakan kejadian-kejadian interaktif dalam PBM. Ke-10 kategori
tersebut dapat dirinci lebih jauh kedalam 3 sub-kategori masing-masing
berhubungan dengan prilaku pengajar, prilaku pembelajar, dan keadaan kelas noninteraktif. Sub-kategori prilaku pengajar dibagi lebih jauh kedalam Pengaruh
Langsung dan Pengaruh Tak-langsung yang maksdunya untuk memasukkan
pandangan bahwa pengaruh tak-langsung lebih memacu pembelajar.
Metoda kuantitatif yang mendasari VICS, sayangnya, membatasi analisis pada
count and predict (hitung dan ramalkan); ini menyebabkan kualitas interaksi kurang
menampilkan makna pedagogi dari PBM. Minimnya dasar teori yang digunakan
nampaknya membatasi kemampuan VICS untuk mengungkapkan arti penting
interaksi sosial dari PBM. Arti penting VICS hanya pada peranan tak-langsung dari
prilaku pengajar; yaitu, pengajaran yang berhasil ditandai oleh frekuensi yang lebih
besar pada prilaku tak-langsung. Peranan wacana dari interaksi tersebut dalam
konteks sosial dari konstruksi pengetahuan tidak dilibatkan.
Kelemahan dasar teoretis metodologis tersebut membawa dampak bahwa VICS
praktis tidak lagi digunakan dalam penelitian-kelas dan tahun 1990-an ini.
Kelemahan yang dimaksud adalah, penentuan kategori secara a priori yang
menyukarkan pengungkapan organisasi dari wacana kelas yang diteliti (Stubbs,
1989). Keadaan diatas juga mengungkapkan kelemahan tradisi etnografi yang
kurang mementingkan peranan teori. Jadi, VICS tidak saja gagal dalam
pengembangan teori pada tingkat formal dari data lapangan, tetapi juga dalam
mengembangkan teori tertentu pada tingkat substantif, yaitu, peranan materisubyek dalam pbm.
anggota badan, atau tulisan di papan tulis yang kurang mempunyai hubungan
substansi terhadap penyajian guru tidak dilibatkan dalam transkripsi.
Cakupan Istilah wacana nampaknya cukup luas mulai dari pengkodean,
kuantifikasi, hingga pada intepretasi kualitatif. Unit analisis yang digunakan juga
bervariasi mulai dari frasa hingga keseluruhan rekaman, tetapi pada umumnya,
karena tujuannya adalah penggalian makna, unit yang digunakan adalah unit
setara paragraf (skema, skrip, frema, dlsb) yang dapat dirinci menjadi elemenelemen kalimat. Alasan penggunaan unit tersebut terletak pada kemampuan untuk
mengungkapkan secara efektif proses berfikir atau proses berbicara (Minsky,
1975). Unit yang digunakan dalam studi linguistik atau analisis teks terlalu terikat
pada kalimat yang kiranya terlalu kecil untuk mengungkapkan proses tersebut.
1.
Unit Data
Sifat dari unit wacana juga cukup membingungkan, karena kondisinya yang
rekursif, yaitu, unit-unit bergabung menjadi unit yang lebih besar secara berulangulang sehingga diperoleh unit terbesar. Peleburan ini berlangsung mengikuti
aturan tertentu yang dikenal sebagai aturan-makro (lihat Gambar 6.4.)Nampaknya,
disinilah masalah utama dari proses mengkonstruksi pengetahuan yang belum
sepenuhnya diungkapkan secara memuaskan karena keengganan sementara
pakar bahasa untuk menggunakan unit yang lebih besar dari ukuran kalimat
(contohnya studi psikolinguistik dengan tradisi psikometri, Choudron, 1988).
Perlu diketahui pekerjaan mentranskripsi data verbal menjadi suatu data tertulis
yang mendekati suatu teks adalah pekerjaan yang cukup menyita waktu yang
perbandingannya kira-kira 1:5. Artinya, transkripsi yang memakan waktu satu jam
memerlukan waktu 5 jam untuk menghasilkan suatu sumber data tekstual. Ini juga
tergantung dengan pengalaman yang telah dimiliki oleh peneliti. Peneliti tidak
9
dapat bergantung sepenuhnya dengan apa yang dapat didengarnya dari rekaman;
banyak data verbal yang memerlukan latar-belakang sosial dan budaya tertentu
dan pengetahuan mengenai substansi pembicaraan dari peneliti agar proses
membuat inferensi mempunyai dasar yang memadai.
Terlepas dari kesulitan diatas, hasil transkripsi dari pembicaraan didalam kelas
merupakan data yang sangat berharga mengenai interaksi wacana yang
berlangsung. Dibandingkan dengan data observasi, yang menghasilkan data kode
atau frekuensi, transkripsi memberikan peluang yang lebih besar untuk memahami
bagaimana interaksi berlangsung dan berkembang sebagai suatu fenomena yang
dinamik. Ini menjelaskan mengapa banyak peneliti lebih menyukai data hasil
transkripsi daripada data yang diperoleh melalui prosedur tertentu yang walaupun
lebih mudah, tetapi dapat mengakibatkan tereduksinya masalah yang diteliti.
Dua bagian data dari analisis-wacana, yaitu sumber data berupa transkripsi dan
sumber data hasil analisis berupa struktur-makro, menunjuk pada dualisme yang
selalu merupakan isu didalam penelitian. Yaitu, dualisme teori lawan praktik, dan
dualisme kuantitatif lawan kualitatif, atau objektivitas lawan subjektivitas. Tetapi
seperti telah dikemukakan di bagian terdahulu, isu ini dapat diatasi dengan melihat
penelitian-kelas sebagai suatu bentuk penelitian yang mandiri dengan dasar yang
tidak memerlukan validasi dari penelitian-standar.
2.
Mejaga Validitas
Untuk melepaskan diri dari isu diatas, penggunaan metoda ganda merupakan
prosedur utama penelitian-kelas untuk menggabungkan kriteria validitas baik
internal maupun eksternal. Dasar yang diberlakukan adalah keterpaduan hasil
temuan dilihat dari hasil triangulasi. Jika temuan dari setiap metoda yang
digunakan mengarah pada suatu keterpaduan, baik pada tingkat analisis data,
10
11
suatu pengaruh memerlukan waktu yang lama dan tidak dapat ditentukan terlebih
dahulu.
3.
Pelaksanaan
Tergantung pada minat peneliti, aspek yang akan diteliti dapat ditentukan dari antarhubungan sel yang diminati. Sebagai contohnya, peneliti dapat memilih satu fungsi
saja dari komponen pengajar, umpamanya pertanyaan pengajar, terhadap variasi
pembelajar yang dapat dirinci menjadi kelompok-kelompok atas, tengah, dan bawah.
Atau, dipilih salah satu aspek dari setiap komponen pengajar dan komponen
pembelajar, tetapi komponen materi-subyek dapat dibuat beragam menurut
kompleksitas dan keabstrakan topik tertentu. Rincian mengenai matriks ini diberikan
dalam bab metodologi.
a)
Perekaman Wacana-kelas
13
(2) Sehubungan dengan butir diatas, sumber data hasil rekaman membebaskan peneliti
dari ketergantungannya terhadap teori-teori yang masih perlu diperkaya dengan
deskripsi pemetaan masalah.
(3) Peneliti tidak perlu tergantung pada kejadian-kejadian yang tampil cukup sering,
tetapi tidak menolong dalam menggali makna kejadian yang lebih esensil.
b)
Memelihara Keakraban
Jika diinginkan bahwa tingkat intervensi perlu dijaga sekecil mungkin, maka pilihan
terhadap perekam audio lebih memadai daripada perekam video. Penggunaan
perekam video nampaknya mengakibatkan gangguan dan kepada pembelajar
berupa terdistorsinya kewajaran interaksi. Sebagai pengamat peserta, peneliti
14
15
Transkripsi
16
menanyakan hal-hal yang terlintas dalam pikiran subyek. Bahkan yang tidak
secara eksplisit termasuk dalam rekaman dapat ditentukan lebih jauh menurut
pendapat subyek penelitian. Interviu semacam ini juga dikenal sebagai think aloud
interviu, yang dasarnya adalah asumsi bahwa seseorang yang telah cukup
berpengalaman dalam mengajar pada akhirnya akan membentuk suatu repertoire
mengajar (contohnya, Bereiter dan Bird, 1985).
Repertoire mengajar atau dapat juga disebut skenario, adalah sumber
pengetahuan yang telah mencapai suatu kemapanan dalam mengajarkan topik
tertentu. Walaupun pelaksanaan mengajar guru dapat beragam menurut sekolah,
kelas dan kelompok pembelajar, wujud dari pelaksanaan tersebut sebenarnya
sudah mencapai suatu yang secara fungsional mempunyai kemiripan. Disinilah
sebenarnya apa yang disebut sebagai gambaran idiosyncratic dari logika-internal
tugas mengajar; atau hasil upaya pengajar dalam menerjemahkan berbagai aspek
mengajar kedalam suatu model individual dapat menjadi dasar untuk
mendeskripsikan pengetahuan praktis mengajar.
Jadi terlepas dari pengamatan dan hasil transkripsi, makna terdalam dari
penampilan pengajar didalam kelas sebenarnya adalah dalam rangka menemukan
repertoire mengajar tersebut. Karena pembentukan repertoire mengajar tersebut
cukup lama dan berkembang menurut pengalaman, seorang guru pemula
mempunyai repertoire mengajar yang tidak sama dengan guru berpengalaman.
Jika repertoire mengajar guru berpengalaman tersebut dapat dideskripsikan
dengan memadai, maka lamanya waktu yang harus ditempuh oleh seorang guru
pemula dapat dipersingkat.
18
19
1.
20
Tabel 5.1
Sistim Interaksi Verbal
Dimensi
Pengajar;
No
1
A. Memulai
yang menghendaki jawaban satu atau dua kata. Contoh: Apakah itu benar?
Mengajukan Pertanyaan Luas, digunakan bilamana suatu pertanyaan agak
terbuka, menghendaki pemikiran, atau yang mengesankan sebagai suatu
pendapat atau perasaan. Contoh: Mengapa kamu pikir model gelombang
B. Menjawab
21
tidak benar.
Menolak Prilaku, digunakan apabila pengajar mengomentari atau
mengkritik untuk menekan prilaku pembelajar yang kurang diterima:
Pembelajar:
A. Menjawab
perasaan kamu.
Jawaban Kepada Pengajar
a Dapat Diprediksi, Biasanya mengikuti kategori 3 dan bersifat pendek:
Apakah simbol atom Carbon? Jawaban: C.
b Tidak Dapat Diprediksi, Biasanya mengikuti kategori 4, atau juga 3: Apa
yang menyebabkan bengkok tersebut? Dijawab: Sebabnya tidak hanya
B. Berbicara
Lainnya
10
pengajar.
Bicara Kepada Pembelajar Lain, pembelajar membuka pembicaraan kepada
11
pembelajar lainnya.
Senyap, karena adanya kegiatan membaca, atau latihan. Jika berlangsung
12
22
23
24
3.
Prosedur Mencacah
25
ke dalam tindakan pedagogi atau tindakan sintaktikal yang khas terhadap materi
subyek.
4.
Rekaman PBM
Sumber data rekaman memberikan keleluasaan bagi peneliti untuk mengamati dan
menganalisis terlepas dari kendala waktu yang mengendalikan pengamatan
langsung menurut terjadinya kejadian dan proses yang terjadi menurut ruang dan
waktu. Peneliti dapat membuat indeks terhadap rekaman untuk memudahkan
perujukan, mengidentifikasi kejadian dan menamainya untuk memudahkan
pengembangan analisis. Keleluasaan peneliti untuk memutar kembali rekaman
memberikan kesempatan untuk menemukan suatu pola tertentu suatu kejadian
atau proses. Terutama untuk analisis data verbal, pola ini menyangkut penemuan
unit-unit pada berbagai tingkat.
Disamping keuntungan diatas, sumber data hasil rekaman membatasi kesempatan
peneliti untuk melihat kejadian dan proses yang digambarkan menurut perspektif
yang berbeda dan kemudian mengujinya. Kesulitan dalam melaksanakan ini
bersumber pada keterbatasan pandangannya terhadap kejadian atau proses
tersebut jika dibandingkan dengan kesempatan mengamati langsung sebagai
peserta pengamat.
Kesulitan lain, adalah untuk memahami kejadian dan proses yang digambarkan
oleh rekaman sebenarnya memerlukan akses kepada informasi kontekstual yang
tidak terekam. Kejadian yang direkam tersebut sebenarnya berada dalam berbagai
konteks mulai dari konteks sosial masyarakat, sekolah, dan kelas. Konteks ini lebih
berperan jika sejarah kehidupan didalam kelas juga penting untuk melatari
pemahaman interpretatif terhadap organisasi lokal dari kejadian dan proses. Atau,
26
Rekaman Interviu
Untuk maksud menganalisis interviu, peneliti dapat juga merekam interviu agar
keleluasaan yang diutarakan dapat juga diterapkan. Tetapi perekaman disini dapat
menjadi lebih rumit karena memerlukan sistim deskripsi yang terpisah dari sistim
keseluruhan proses penelitian.
G. Analisis Data
Dari keseluruhan deskripsi mengenai proses penelitian, dapat disimpulkan jenisjenis data yang telah diidentifikasi adalah catatan lapangan, profil pelaksanaan
mengajar berupa hasil observasi yang sumber datanya adalah transkripsi, dan
pandangan, keyakinan, dan strategi, dan pengetahuan pengajar yang sumber
datanya diperoleh dari interviu. Tetapi seperti telah dikemukakan, transkripsi
merupakan sumber data utama yang menentukan struktur permasalahan secara
keseluruhan; sumber data lainnya peranannya adalah sebagai latar-belakang dan
pendalaman.
28
Gambar 6.4
Organisasi Data
Lingkungan
Profil Pelaksanaan
Deskripsi Aspek
Kognitif Sekolah
PBM
Tertentu PBM
Catatan
Analisis Transkrip
Analisis Interviu
Lapangan
Rekaman Video
Reflektif
Hasil Temuan
analisis, terutama dalam menyatukan informasi yang diperoleh dari observasi dan
interviu.
1.
Catatan Lapangan
30
2.
Prosedur Analisis
1
2
31
10
11
12
4
5
6
7
8
9
10
11
12
sebagai pembelajar, N, O, S, dan T), dapat dilihat kategori mana yang lebih
mendominasi.
Sehubungan dengan interaksi, karakteristik ini dapat diamati menurut kolom dari
atas kebawah sesuai dengan data yang dibuat berpasangan. Dengan
mengabaikan sel diagonal, maka interaksi setiap kategori dapat dideskripsikan
secara individual atau perkelompok berdasarkan kategori yang dirujuknya menurut
lajur kolom. Deskripsi yang lebih rinci diberikan di bab 6.
32
APENDIKS
33
b)
Pengalihan teks transkripsi menjadi teks dasar juga menyangkut penerapan sistim
tanda baca terhadap transkripsi untuk memantapkan arti yang diutarakan dalam
transkripsi. Termasuk dalam pengalihan ini adalah segmentasi dari transkripsi
menjadi penggalan anak-kalimat, kalimat, paragraf dan bagian-bagian diatas
paragraf. Kemungkinan bahwa teks dasar yang dihasilkan menyimpang dari teks
transkripsi tidak disangkal, tetapi ini diatasi dengan meminta pengajar atau
peinterviu untuk memeriksa teks dasar tersebut dan memperbaikinya sesuai
dengan pengetahuan dan pananganannya.
Dengan demikian, teks dasar mungkin tidak mewakili pelaksanaan yang lebih
realistis dari PBM juga tidak disangkal. Teks dasar bukan merupakan data empirik
melainkan data proposisi dari pelaksanaan PBM yang menggambarkan bukan
keadaan yang nyata betul melainkan merupakan representasi yang cukup aktual
dari pelaksanaan suatu PBM. Representasi ini dapat dikatakan idealisasi dari
pelaksanaan PBM, tetapi idealisasi disini merupakan gambaran otentik karena
deskripsi dan kelokalan kejadian dan proses fenomena yang diamati merupakan
kriteria dari pengamatan.
c)
teks dapat dianggap sebagai kerangka kerja dari materi subyek, selanjutnya dapat
dipilah-pilah ke dalam proposisi-mikro dan proposisi makro; sedangkan dari aspek
pedagogi, teks dasar dapat dipilah menjadi tindakan-tindakan pedagogi yang
mencoba proposisi tersebut dapat terjangkau oleh pembelajar.
Jadi, format analisis dari teks dasar perlu menampilkan kedua aspek secara
terpisah, tetapi tetap dalam hubungan yang cukup erat untuk tidak mengurangi
fungsi ketergantungan dari komponen-komponen PBM. Ketergantungan antara
aspek materi-subyek dan aspek pedagogi dirumuskan sebagai hubungan
pemanduan dan pemonitoran pembelajaran oleh pengajar yang sifatnya rekursif
terhadap upaya mengkonstruksi pengetahuan. Keseluruhan upaya ini diwujudkan
sebagai tindakan wacana pengajar terhadap materi-subyek.
Gambar 6.5 menampilkan format data untuk analisis transkripsi, dengan aspek
pedagogi ditampilkan pada sebelah kiri dari teks dasar, dan aspek mater-subyek di
sebelah kanan. Aspek pedagogi memuat semua upaya pengajar untuk membuat
materi-subyek mudah dicapai melalui penggunaan skema, gambar, analogi,
contoh-soal, eksplikasi fenomena, dlsb. Aspek materi-subyek memuat struktur
proposisi yang dapat dipisahkan berdasarkan tindakan substantif dari
pengembangan materi-subyek tersebut.
Keseluruhan analisis dapat ditampilkan dalam struktur-makro yang dapat
dipisahkan menurut unit-unitnya yang dipisahkan berdasarkan tindakan substantif
tersebut. Seperti dikemukakan, tindakan ini bersifat rekursif dengan tindakan
pedagogi yang untuk memudahkannya diperlihatkan juga dalam gambar strukturmakro disebelah kiri.
35
Menguji (Production).
dengan kerangka eksplanasi ilmiah. Istilah Story kiranya mirip sekali dengan
eksplanasi ilmiah, sedangkan penggunaan dari analogi konkrit sebenarnya
diturunkan dari model teoretis melalui transformasi pedagogi.
Secara keseluruhan, pekerjaan Arnold dan Millar ini merupakan contoh penelitian
kelas yang perlu dipahami secara mendalam, karena langkahnya dalam
pengintegrasian area-area penelitian yang benar-benar memenuhi kriteria
totalitas PBM. Tiga area penelitian Eksplanasi Pengajar, Eksplanasi Pembelajar,
dan Fungsi Praktikum dalam Pembelajar yang dikemukakan dalam diintegrasikan
oleh peneliti melampaui antisipasi penggabungan 2 area yang disarankan dalam
Bab V. Selama ini hubungan antara fungsi praktikum dan fungsi eksplanasi
pengajar masih merupakan polemik karena kuatnya dominasi pakar-pakar
pembelajaran (Hudson, 1996).
1.
Struktur Global
Gambar 1
Organisasi Artikel
Introduction
Theory
Evaluation of
Learning Outcomes
o Immediat Post-Instr.
Interviews
o Delayed Post-test
Implications
o 3 Diff. Concepts
- Student A
- Student B
- Student C
- Written Evidence
- Interim Interviews
Juga, Context dan Research Methods, dan The Teaching Intervention dapat
disatukan kedalam satu topik Metodologi Penelitian. Walaupun mungkin
penggabungan tersebut menyebabkan kesan formal. Jika ini memang ingin
dihindari, barangkali alasannya dapat diungkapkan dalam pendahuluan.
Jadi secara formal struktur dari artikel hanya terdiri atas 4 bagian. Dasar Teoretis
sebagai sub-topik sebenarnya perlu dikemukakan karena merupakan karakteristik
kuat dari penelitian kelas yang membedakannya dari penelitian standar. Untuk
7
10
Gambar 2
ANALISIS TEKS PENELITIAN
Analisis
I. Pendahuluan
Sintatikal
Memperkenalkan istilah
Pendahuluan
Substansi
istilah-kunci
Story
Penggunaan Story
Penggunaan istilah-kunci ini sering berbeda dengan pra-konsep siswa, karena mereka
dalam pengajaran
tidak dapat menyimpulkannya dari pengalaman seperti yang dilakukan oleh pakar. Cara
yang lebih produktif untuk mengatasi perbedaan ini adalah dengan menampilkan teori
alternatif, diantaranya Scientific Story agar murid memperoleh kemudahan yang melebihi
kegunaan dari pra-konsepsinya. Kemudahan ini menunjang kegiatan praktikum, diskusi,
dan membuat tulisan mengenai topik tertentu. Pendekatan ini dapat juga diterapkan pada
konteks lain yang masih berhubungan dengan topik termodinamika; jadi menunjukkan
potensi dari penggunaan model teoretis dari topik yang diajarkan.
II. Dasar Teori
Deskripsi Miskonsepsi
Sumber kesulitan
Perpindahan panas sering dikaitkan dengan sifat yang dimiliki oleh panas itu sendiri
siswa
(contohnya, kenaikan panas), atau sifat agen lain (seperti udara) yang memindahkan
panas dari satu lokasi ke lokasi lain. Murid sering kurang mampu mempertimbangkan
keutuhan sistim interaksi termal untuk mendasari penalaran mengenai aliran panas,
terutama faktor lingkungan.
Dalam memahami keseimbangan termal yaitu, proses yang menyebabkan dua objek
yang berbeda temperatur tetapi ahirnya mencapai temperatur yang sama, dengan
demikian sangat mendasar. Tetapi murid sering tidak berhasil menyimpulkan bahwa
benda-benda dalam keseimbangan termal mempunyai temperatur yang sama.
Contohnya, panci yang terbuat dari logam dirasakan lebih panas dari gagangnya.
Kebingungan ini disebabkan oleh ketidak mampuan murid dalam membedakan sifat
intensif dari temperatur yang tidak tergantung pada besarnya benda.
18
o Konsep formal
konsep kunci.
Konsep Story:
Konsep Story mengenai keseimbangan termal menyatakan bahwa jika dua benda
o Sederhana
bertemperatur berbeda dibuat berkontak termal, panas akan secara spontan mengalir
dari temperatur tinggi ke temperatur rendah. Berarti temperatur benda dengan temperatur
tinggi akan turun, sedangkan yang rendah akan naik sampai satu saat mencapai
keseimbangan termal.
Tetapi untuk murid sekolah menengah, ini bukan cara yang cocok untuk dilakukan; yang
penting dari konsep Story adalah struktur keseluruhan dari termodinamika yang harus
diterima secara suatu keutuhan. Menyatakan tingkat kepanasan suatu benda sebagai
19
temperatur dan panas sebagai bentuk energi yang terdapat dalam benda panas, kiranya
belum cukup untuk mengungkapkan konsep termodinamika.
o Rumit
Hampir semua kejadian termal sudah tentu lebih rumit dari deskripsi diatas karena juga
menyangkut pertukaran panas dengan lingkungannya. Untuk melibatkan faktor ini, murid
perlu diperkenalkan dengan batas sistem dan unsur-unsur dari interaksi termal. Jadi,
umpamanya, suatu benda dapat dijaga bertemperatur tetap lebih tinggi dari temperatur
lingkungannya. Dalam konteks Story, keadaan ini diinterpretasi sebagai hasil dari
keseimbangan antara aliran panas yang keluar dari suatu objek ke lingkungannya.
o Rumusan:
Keseimbangan
Termal
Perbedaan pendekatan
Walaupun studi ini mirip dengan pekerjaan Linn dan Songer (1991) karena sama
mengenai fenomena (termal), perbedaan yang cukup penting adalah pada pelibatan
sebelumnya
analogi konkrit. Analogi ini diperlukan sebagai fasa pengenalan yang menghubungkan
pengalaman murid dengan model teoretis tersebut.
20
Dasar penggunaan
Banyak penelitian melapurkan bahwa model teoretis tersebut justru merupakan sumber
Menyederhanakan
dalam diskusi. Karena model tersebut melibatkan istilah pemanasan untuk menjelaskan
proses pemindahan panas, tetapi dengan konsekuensi pelibatan pengertian energi
internal. Benda yang melepaskan panas mengalami penurunan sedangkan benda yang
menerima panas mengalami kenaikkan temperatur.
Penelitian
Subyek penelitian
Studi direncanakan dan dilaksanakan berdasarkan kendala berupa sumber daya terbatas
Konteks:
dan lokasi sekolah menengah yang berada pada pusat kota. Pendekatan mengajar Story
o Lokasi
Metoda:
Semua pengajaran dilakukan oleh peneliti pertama (MA) yang juga adalah guru di
o Karakteristik
21
Pengajaran
- pekerjaan
sebelumnya
laboratorium tanpa fasilitas komputer mengenai satu unit pengajaran. Jadi, terdapat
perbedaan yang cukup besar antara dan studi sekarang ini dengan pekerjaan Linn dan
Songer (1991 yang menggunakan computer dan teknologi pendidikan tertentu untuk
mendukung penerapan 4 versi kurikulum. Walaupun demikian, diasumsikan bahwa unit
pengajaran yang diterapkan oleh peneliti mempunyai konsekuensi mudah ditransfer
kedalam konteks pengajaran lain.
- Deskripsi Story
. Demonstrasi
aliran air
Pekerjaan Linn dan Songer yang hanya mengidentifikasi pengajaran untuk model
fenomena termal, tanpa rincian mengenai bagaimana memperkenalkannya kepada
murid, merupakan perbedaan penting dalam pendekatan mengajar. Untuk
memperkenalkan pendekatan Story diperlukan analogi konkrit berupa demonstrasi aliran
air di hadapan kelas. Perangkat untuk demonstrasi ini terdiri atas satu wadah gelas
dengan keran di dasarnya, dan satu pipa gelas berkeran yang ditempatkan di atasnya
untuk mengalirkan air. Murid diminta untuk memikirkan bagaimana permukaan air
didalam wadah tersebut bisa dinaikkan, diturunkan, atau dibuat konstan dengan
mengatur keran pada pipa atau keran pada wadah..
Fokus dari demonstrasi adalah faktor air yang masuk, air yang keluar, dan resultan dari
permukaan air dalam wadah. Perhatian murid diarahkan pada ketiga faktor tersebut yang
22
Pelajaran berikutnya melibatkan murid dalam suatu praktikum mengukur setiap interval 1
menit temperatur air dalam wadah kaleng yang dipanaskan dengan lilin. Jarak antara lilin
dan wadah kaleng diatur sedemikian agar temperatur air mula-mula naik dari 20 o dan
stabil pada sekitar 60o . Tugas murid adalah menjelaskan hasil observasi perubahan
temperatur air tersebut.
Memapankan
Tahap akhir mengajar bertugas untuk memapankan hubungan antara demonstrasi aliran air dan
hubungan substantif
praktikum pemanasan air. Kegiatan ini melibatkan penyajian secara ahir dasar ilmiah (eksplanasi)
dari pemanasan air, diskusi panjang lebar mengenai hubungan sifat khusus dari analogi aliran air
praktikum
(air masuk, air keluar, dan permukaan air) dan situasi termal (panas masuk, panas keluar, dan
temperatur konstan air). Hubungan tersebut dijelaskan sebagai level panas dalam sistim setelah
terlebih dahulu model keseimbangan dalam analogi aliran air diperkenalkan. Dengan kasus yang
lebih kompleks, yaitu, keseimbangan termal, murid-murid dibekali dengan model yang berpadu
untuk menginterpretasi gerakan (yang tidak nampak) dari panas. Dengan model ini murid mampu
memahami konsep-konsep panas, temperatur, dan keseimbangan termal secara simulatan, tidak
secara sekuensial sebagaimana terjadi dalam pendekatan konvensional. Dengan cara ini,
pengintegrasian dari pengetahuan sains kedalam satu kerangka berfikir dapat diwujudkan sejak
23
Pendekatan dalam studi ini mencoba menangani himbauan perlunya hubungan yang
Desain
lebih erat antar penelitian pendidikan dan praktek mengajar. Sebagai penelitian kelas,
studi ini terbuka terhadap kritikan mengenai ketidak -mampuannya untuk mengendalikan
variabel eksternal dengan konsekuensi dapat mempengaruhi hasilnya. Lebih jauh,
penelitian kelas juga menghadapi kendala oleh terbatasnya kesempatan untuk
melakukan intervensi kurikulum. Untuk mengatasinya, desain evaluasi iluminatif (Parlett
dan Hamilton, 1976) diterapkan dengan menunjuk semua murid sebagai kelompok
eksperimen dan menggunakan hasil temuan sebelumnya yang menggunakan
pendekatan konvensional sebagai kontrol.
o Pertanyaan
Penelitian
24
B. Intervensi
Intervensi Pengajaran
Pengajaran
I. Analogi
o Pelaksanaan
Analogi
o Temuan
2. Eksperimen
Pemanasan Air
o Pelaksanaan
digunakan untuk mengkonstruksi suatu grafik. Grafik ini menunjukkan mula-mula suatu
kenaikan temperatur diikuti setelah beberapa menit dengan temperatur yang konstan.
Pemahaman murid terhadap hasil eksperimen diungkapkan menggunakan lembaran
kerja. Kira-kira sepertiganya berhasil mengidentifikasi dan mencatat temperatur air yang
konstan. Penjelasan umum yang dikemukakan adalah tidak-memadainya lilin; atau sifat
khusus dari eksperimen. Tetapi, tiga murid berhasil merumuskan hubungan antara
analogi tersebut dan eksperimen pemanasan secara spontan atau barangkali telah
25
mengetahui sebelumnya dengan mengatakan bahwa panas yang hilang dari kaleng-danair sama dengan panas yang dimasukkan.
. Menjaga keabsahan Eksplanasi
Karena studi sebelumnya (Arnold dan Millar, 1994) tidak ada murid yang merumuskan
hubungan ini dengan spontan, temuan diatas dapat disimpulkan sebagai hasil dari
pengajaran menggunakan analogi air. Walaupun bentuk penjelasan murid berbeda
dengan penjelasan pakar sains: hilangnya panas disebut secara eksplisit dan kualitas
panas masuk dan panas keluar dinyatakan secara implisit tetapi cukup jelas. Ide yang
menarik dari jawaban murid adalah bahwa temperatur tertinggi yang dicapai dalam
eksperimen adalah titik didihnya. Perbedaan istilah terletak pada interpretasi: bagi pakar
. Perbedaan:
titik tersebut adalah saat suatu cairan cepat berubah menjadi uap, sedangkan bagi murid,
titik ini menunjukkan temperatur tertinggi yang dapat dicapai oleh suatu cairan bila
Eksplanasi murid
dipanaskan.
dan pakar
3. Membuat Hubungan
Membuat Hubungan
o Simulasi Meng-
Suatu rekaman video mengenai demonstrasi aliran air dan eksperimen pemanasan
ingatkan Kembali
o Menggiatkan diskusi
26
oTemuan
-Murid yang
berhasil
Beberapa murid bersedia dan mampu membandingkan kedua sistim ini untuk kelasnya.
Bila diminta untuk melengkapi lembaran kerja mengenai tugas mengartikan eksperimen
tersebut dalam bentuk eksplanasi yang lebih lengkap dalam kata-katanya sendiri,
kebanyakan berhasil menjelaskan sifat dasar kedua sistim tersebut menggunakan istilahistilah ilmiah yang memadai.
- Murid yg kurang
berhasil
4. Bukti Tertulis
Kegagalan untuk memahami hubungan diatas terbatas pada kelompok kecil murid yang
diketahui mempunyai kesulitan dalam sains.
Bukti Tertulis: Apakah Model Dimengerti?
o Dasar pembuktian
Pekerjaan tertulis menuntut murid untuk menjelaskan keragaman dari fenomena termal
o Temuan
dalam jawaban yang lebih lengkap sesudah diskusi kelompok atau kelas. Pekerjaan ini
diteliti untuk membuktikan adanya pemahaman terhadap ide kunci dalam keseimbangan
antara yang masuk dan keluar dari suatu objek atau sistim.
Seluruhnya ada 70 murid menghasilkan jawaban tertulis yang menunjukkan bahwa
mereka mampu menerapkan analogi tersebut untuk menginterpretasi eksperimen
27
kejadian termal sejenis, seperti hasil dari menyalakan pemanas listrik di dalam kamar
tidur yang dingin dan menjaganya agar satbil dengan temperatur badan.
o Temuan
6. Penerapan Model
o Tujuan
29
o Cara mengevaluasi
Pada akhir dari eksperimen, hasilnya didiskusikan secara berkelompok, sedangkan guru
o Temuan
30
Perluasan Model
Setelah diselingi oleh liburan 2 minggu, pengajaran diteruskan dengan eksperimen yang
lebih menjurus yang menuntut pemahaman terhadap model keseimbangan termal, dan
diferensiasi istilah kunci panas dan temperatur. Sejumlah air panas yang sama
banyaknya ditempatkan di dalam termos dan di dalam gelas piala, temperaturnya dicatat
setiap menit selama 15 menit. Kedua perangkat data ini kemudian dipetakan kedalam
suatu diagram temperatur-waktu, dan murid-murid ditanya mengenai pemahamannya
mengenai perbedaan hasil dari kedua eksperimen.
31
Murid yang menunjukkan pemahaman yang cukup memadai terhadap pertanyaan diatas,
mendapat pertanyaan lanjutan berikutnya;
5. Jika eksperimen tersebut mulai dengan menggunakan air es pad temperatur 0 o
dalam gelas piala atau termos, apa perkiraan anda mengenai temperaturnya
setelah selang satu jam, mengapa?
o Temuan
Jawaban dianalisis menurut diferensiasi murid terhadap konsep panas dan temperatur,
32
oleh penutup kapas tersebut. Penjelasan lainnya bergantung pada terbukanya gelas
piala dan tidak diselimuti. Menyarankan bahwa interpretasi kenaikan panas, dan udara
merupakan sifat dasar dari jawaban-jawaban lainnya.
Pertanyaan 5 mengenai eksperimen menggunakan air es, dimaksudkan untuk
mengidentifikasi mereka yang dapat menerapkan prinsip yang sama terhadap situasi
yang berbalikan. Tanpa pemahaman yang memadai, murid mungkin akan meramalkan
bahwa temperatur di dalam gelas piala turun, Tetapi, ternyata 29 murid meramalkan
dengan tepat bahwa temperatur akan naik hingga sama dengan temperatur kamar.
Sekali lagi, kegiatan tersebut menunjukkan bahwa kebanyakan murid menggunakan
istilah panas dan temperatur dengan memadai, menghargai efek penerimaan panas
atau kehilangan panas, dan menyertakan peranan lingkungan dalam menentukan
temperatur objek tersebut. Murid dapat menerapkan model untuk meramalkan bahwa di
dalam gelas piala panas hilang dan didalam termos panas tetap. Walaupun sebagian
murid tidak pasti mengenai mekanisme bagaimana termos menahan panas, prinsipnya
cukup jelas bagi mereka. Ke-63 murid yang dapat menerapkan model terhadap konteks
ini ternyata sangat mirip dengan jumlah murid yakin telah memahami model
keseimbangan termal dari sejak awal.
34
J. Keterbatasan Analisis
Analisis dalam Tabel 5.1. dibatasi pada deskripsi penelitian kelas menurut
deskripsi dalam bab-bab sebelumnya. Jadi, walaupun laporan penelitian memuat
bagian Evaluasi of Learning Outcomes, ini tidak disertakan dalam analisis,
karena dasar yang belum tersedia.
Demikian analisis lengkap dari setiap bagian teks penelitian tidak dilakukan
karena bersifat mengulangi analisis yang sudah dilakukan. Tujuan analisis yang
dibatasi untuk memperkenalkan bagaimana peneliti mengkonsolidasikan
penelitiannya dengan demikian tetap dicapai sebatas analisis yang diterapkan
hanya dalam mengidentifikasi unsur-unsur penelitian baik dari aspek teori
maupun aspek metodologi.
Diakui bahwa analisis mungkin memuat kesalahan tertentu karena keterbatasan
waktu untuk melengkapi dasar dari tugas menganalisis. Setiap kritikan yang
dikemukan secara khusus akan menjadi masukan penting bagi penyempurnaan
makalah ini.