Anda di halaman 1dari 137

PEDAGOGI MATERI-SUBYEK:

DASAR-DASAR PENGEMBANGAN PBM

BAHAN PERKULIAHAN
PEDAGOGI MATERI-SUBYEK

Dr. Nelson Siregar

Sekolah Pasca Sarjana


IKIP Bandung

PENGANTAR

Kumpulan makalah ini merupakan pikiran yang dihasilkan oleh tim penelitian
Hibah Bersaing FPMIPA, yang dilaksanakan dari tahun 1994 hingga 1998

mengenai penerapan pedagogi materi-subyek dalam penulisan buku-teks MIPA.


Ada pandangan bahwa hubungan antara buku-teks sebagai perwujudan dari
materi subyek dan pbm kiranya cukup erat dilihat posisinya sebagai pelaku acuan
bagi pengajar dan pembelajar. Materi-subyek dipandang sebagai acuan karena
secara implisit merupakan sumber bagi pengembangan epistemologi pengajaran
IPA dan wujud dari transformasi disiplin keilmuan yang khas diperuntukkan bagi
pengajaran.
Kasus monumental yang mendukung pandangan ini adalah penemuan Tabel
Periodik oleh Mendeleyef tahun 1864 ketika menjabat sebagai profesor kimia
umum. Tabel tersebut adalah hasil upaya untuk menyederhanakan cara mengajar
berbagai sifat unsur (dan senyawa) yang begitu beragam ke dalam suatu sistim
dengan menggunakan kartu-kartu yang kemudian ternyata menampilkan suatu
pola jika diurutkan berdasarkan kenaikan berat atom. Upaya tersebut merupakan
transformasi pengetahuan disiplin keilmuannya menjadi materi-subyek
menggunakan pedagogi untuk menyederhanakan pengetahuan sintaktikalnya.
Jadi secara epistemologi, asal usul dari pengajaran yang seharusnya diturunkan
dari disiplin keilmuannya telah diletakkan yang kiranya masih merupakan
pandangan yang kurang mendapat perhatian dari pakar pendidikan.
Sebagai wawasan keilmuan, kumpulan makalah ini dapat menjadi dasar untuk
memberdayakan guru menghadapi pakar luar yang menerapkan dasar
epistemologi yang kurang mengenal logika internal dari pbm. Pendekatan yang
lazim digunakan adalah pandangan sepihak disiplin tertentu karena pbm dilihat
sebagai lahan publik yang tidak memerlukan pengetahuan substantif tertentu.
Posisi guru adalah pelaksana tanpa kewenangan keilmuan. Keadaan ini perlu

dihindari karena setiap disiplin ilmu mempunyai struktur ilmu yang perlu dihargai
dan dipahami oleh peneliti sebelum layak untuk melaksanakan penelitian.
Pedagogi materi-subyek diharapkan dapat menjadi jembatan keilmuan yang
menghubungkan aspek lapangan yang merupakan kewenangan dan aspek teori
pengajaran yang menjadi kewenangan pakar ilmu pengajaran. Dengan jembatan
ini, para pakar dapat bersikap lebih realistis dengan menghargai kendala fisik
maupun sosial-budaya tempat pbm dilaksanakannya kegiatan pbm. Pbm
berlansung bukan dalam situasi universil tanpa kendala melainkan dalam situasi
lokal dengan berbagai kendalanya, melainkan dalam situasi yang membawa
upaya proses membangun pengetahuan bersama lebih bermakna lokal daripada
universal. Walaupun produk dari proses tersebut pada ahirnya juga akan
bermakna universil, tetapi ini memerlukan waktu dan kedewasaan berfikir yang
perlu diawali dengan kemaknaan lokal.

Pertanyaan mengenai, siapakah masyarakat otoritas dari pengembangan ilmu


pengajaran dengan demikian dapat dijawab: mereka adalah masyarakat guru
lapangan dan pakar pendidikan yang menghargari epistemologi ilmu pengajaran.
Berarti, kontribusi pakar luar secara epistemologi kurang menentukan, karena
lebih mengarah pada konten, yang kemudian oleh pakar pengajaran
menggunakan pengetahuan sintaktikalnya dibangun menjadi pengetahuan
substantif. Walaupun yang membentuk masyarakat ini adalah guru dan pakar
pendidikan, hubungan kerja adalah hubungan ketergantungan yang saling
menguntungkan karena wewenang keilmuan yang dimiliki merupakan keutuhan
epistemologi dari ilmu pengajaran.
Untuk menunjang hubungan tersebut, masyarakat diatas tersebut perlu
mempunyai pandangan epistemologi yang mapan mengenai fenomena pbm yang
walaupun dapat dilihat dari berbagai aspek namun hakekatnya tetap sama yaitu
fenomena wacana. Nampaknya, keinginan ini masih jauh dari kenyataan, karena
salah satu hambatannya adalah bahwa pakar pbm belum mempunyai pandangan
epistemologi seperti yang disyaratkan sebagai suatu disiplin keilmuan. Dasar
metodologi yang digunakan berasal dari disiplin keilmuan lain yang tidak
mengenal secara dekat problematika pbm. Epistemologi yang mendasari pbm
kiranya harus ditemukan sendiri oleh masyarakat guru dan pakar pbm, dan
melihat pbm sebagai aspek lapangan dari ilmu pengajaran, ini perlu dilihat
sebagai kewenangan para guru.
Perkuliahan Pedagogi Materi-Subyek merupakan langkah awal dari
pembentukan masyarakat dimaksud dengan memberikan wawasan keilmuan dari
ilmu pengajaran kepada guru-guru yang mempersiapkan diri sebagai guru
peneliti. Langkah awal ini diperlukan agar masyarakat tersebut dapat

berkembang secara adil dengan masing-masing komponen mempunyai kontribusi


yang seimbang untuk memajukan disiplin ilmu pengajaran.

Bandung 4 Februari 1999


Penulis

DAFTAR ISI

1. PENDAHULUAN....................................................................................................
2. PERANAN STRUKTUR ILMU DALAM PENGAJARAN IPA.................................
2.1. PENDAHULUAN................................................................................................
2.2. PANDANGAN EPISTEMOLOGI PENGAJARAN IPA.......................................................
2.2.1. Apa yang Mendasari suatu Pengetahuan?..................................................
2.2.2. Di mana Pengetahuan itu Berada?...............................................................
2.2.3. Bagaimana Pengetahuan itu Diperoleh?......................................................
2.3. STRUKTUR ILMU DALAM PENGAJARAN IPA..............................................................
2.4. STRUKTUR KEILMUAN MENURUT ANALISIS-WACANA................................................
2.5. KASUS PENEMUAN NEUTRINO................................................................................

3. Totalitas dan Logika Internal Proses Belajar Mengajar .............................3-1

3.1. Totalitas Proses Belajar Mengajar ..............................................................3-1


3.1.1. Interaksi Sosial ..................................................................................3-1
3.2.2. Interaksi Kognitif ................................................................................3-3
3.2. Logika Internal PBM ....................................................................................3-3
3.2.1. Pengetahuan Dasar untuk Mengajar .................................................3-3
3.2.2. Pengetahuan Konten Pedagogi .........................................................3-5
3.3. Eksplanasi Ilmiah dan Eksplanasi Pedagogi ................................................35

4 PBM SEBAGAI WACANA KELAS .................................................................4-1

4.1. Wacana Kelas .............................................................................................4-1


4.1.2. Pelaksanaan Analisis ........................................................................4-1
4.1.2. Realisasi Motif ...................................................................................4-1
4.2. Model Representasi Mengajar ....................................................................4-2
4.2.1. Model Argumentasi Toulmin ..............................................................4-2
4.2.2. Pembentukan Model Representasi Mengajar ....................................4-3
4.2.3. Peranan Ketrampilan Intelaktual .......................................................4-4

5. STRUKTUR PBM MENURUT PEDAGOGI MATERI SUBYEK.............................


5.1. TAHAPAN PENGEMBANGAN PBM............................................................................
5.2. DEFINISI PBM.........................................................................................................
5.2.1. Pandangan Penelitian Standar.....................................................................
5.2.2. Pandangan Analisis Wacana........................................................................
5.2.3. Pandangan Pedagogi Materi Subyek...........................................................
5.3. ANTAR-HUBUNGAN KOMPONEN PBM......................................................................
5.3.1. Komponen Pengajar.....................................................................................
5.3.2. Komponen Pembelajar.................................................................................
5.3.3. Komponen Materi-Subyek............................................................................
5.4. EKSPLANASI ILMIAH VS EKSPLANASI PEDAGOGI......................................................
5.5. LOGIKA INTERNAL..................................................................................................
5.5.1. Model Representasi Mengajar......................................................................
5.5.2. Rumusan Logika Internal PBM.....................................................................
5.6. PENGENALAN DALAM MASALAH PBM.....................................................................

5.6.1. Pemetaan Permasalahan.............................................................................


5.6.2. Pertanyaan Penelitian...................................................................................
5.6.3. Penentuan Area Penelitian...........................................................................
5.7. PENGALIHAN ANALISIS KE DALAM ASPEK METODOLOGI............................................
5.7.1. Pengembangan Desain................................................................................
5.7.2. Implementasi.................................................................................................
5.8. BAGAIMANA MENGEMBANGKAN PBM......................................................................
5.8.1. Repertoire Mengajar.....................................................................................
5.8.2. Peranan Pengajaran terhadap Pembelajaran..............................................
6. INTERAKSI KELAS DALAM PBM.........................................................................
6.1. PENDAHULUAN.......................................................................................................
6.2. PENELITIAN INTERAKSI KELAS................................................................................
6.3. METODA FANSELOW ..............................................................................................
6.4. PEDAGOGI MATERI-SUBYEK: MODEL TRIALOGUE....................................................
6.4.1. Unit Data.......................................................................................................
6.4.2. Mejaga Validitas............................................................................................
6.4.3. Pelaksanaan.................................................................................................
6.4.3.1. Perekaman Wacana-kelas.....................................................................
6.4.3.2. Memelihara Keakraban..........................................................................
6.4.3.3. Transkripsi..............................................................................................
6.5. MENGAMATI

DAN

MENGINTERVIU............................................................................

6.6. PERANAN MODEL TEORETIS DALAM ANALISIS-WACANA...........................................


6.6.1. Instrumen Interaksi Kelas.............................................................................
6.6.2. Dimensi dari Analisis.....................................................................................
6.6.3. Prosedur Mencacah......................................................................................

6.6.4. Rekaman PBM..............................................................................................


6.6.5. Rekaman Interviu..........................................................................................
6.7. ANALISIS DATA.......................................................................................................
6.7.1. Catatan Lapangan........................................................................................
6.7.2. Menurunkan Profil Kegiatan Belajar-mengajar.............................................
6.7.2.1. Prosedur Analisis....................................................................................
6.7.3. Analisis Transkripsi........................................................................................
6.7.3.1. Penyiapan Teks Dasar dari Transkripsi.................................................
6.7.3.2. Format Analisis: Struktur-Makro.............................................................
6.8. PENGETAHUAN SINTATKTIKAL DALAM PENDIDIKAN IPA............................................
6.8.1. Struktur Global..............................................................................................
6.9. ANALISIS ASPEK SINTAKTIKAL PENELITIAN...............................................................
6.10. KETERBATASAN ANALISIS......................................................................................

Apendiks

Ilustrasi Analisis Artikel Penelitian


Bahan Analisis Teks
Bahan Analisis Transkripsi PBM

I. PENDAHULUAN

Mengapa Pedagogi Materi Subyek, bukan teori mengajar? Pertanyaan ini


diekukkakan untuk mencoba membedakan perkuliahan ini dari perkuliahan lain
yang merujuk pada teori mengajar tertentu. Karena, mata-kuliah ini merupakan

upaya untuk mengembangkan wawasan dari pengajar yang telah mempunyai


cukup pengalaman di lapangan. Disamping tujuannya untuk memahami dan
menghaluskan pbm, sasaran Pedagogi Materi-subyek adalah analisis
permasalahan pbm secara mikro; yaitu, masalah kewacanaan dari kesehariharian pbm. Dari tujuan ini, pendekatan analisis wacana merupakan pilihan
utama, unit analisis yang cukup halus dan berkemampuan untuk digabungkan
menjadi unit yang lebih besar sejalan dengan kompleksitas permasalahan dan
dengan tuntutan perlunya teori mengajar yang jelas struktur keilmuannya dan
khas epistemologi pengembangan dan pengujiannya.
Disayangkan bahwa selama ini perbedaan diatas kurang mendapat perhatian
akibat dari adanya anggapan yang cukup kuat dan meluas, tetapi keliru,
mengenai peranan metoda ilmiah dalam pembelajar IPA. Metoda ilmiah
ditampilkan sebagai keilmuan IPA yang diwujudkan sebagai pengajaran IPA.
Pandangan ini keliru karena PBM bukanlah fenomena mengajarkan kegiatan
ilmiah, melainkan fenomena wacana keilmuan yang berlangsung dalam
lingkungan pedagogi. Tepatnya, pbm adalah masalah substansi dan bentuk
wacananya yang dilihat sebagai hasil interaksi antara pengajar, pembelajar, dan
materi-subyek. Substansi dan bentuk wacana tersebut banyak ditentukan oleh
proses utama yang membentuk pbm, yaitu, mengkonstruksi pengetahuan secara
bersama.
Pertanyaan diatas juga mencoba menegaskan bahwa pedagogi materi-subyek
adalah wawasan mengajar untuk meletakkan pandangan teoretis yang lebih
menyeluruh agar pengajar mampu mengelola berbagai metoda mengajar sesuai
dengan tugas membangun pengetahuan tersebut. Dasar yang berlaku dalam
pedagogi materi-subyek juga berlaku dalam berbagai metoda pengajaran, tetapi

dengan karakter yang lebih mengkhususkan diri pada peranan struktur materi
subyek dalam pbm.

Mengingat guru dan pembelajar merupakan pelaku-pelaku yang lebih


mengendalikan arah pbm, maka pendalaman terhadap proses mengkonstruksi
pengetahuan perlu diarahkan pada interaksi kedua pelaku ini. Analisis wacana
dalam hal ini merupakan metoda yang semakin penting untuk mewujudkan
maksud pendalaman tersebut. Disamping dapat menjaga keutuhan interaksi,
motif yang mengendalikan pengembangan wacana dapat diungkapkan lebih rinci
dan mendalam berdasarkan situasi yang ada. Analisis wacana juga merupakan
instrumen konseptual untuk memadukan pandangan-pandangan psikologi,
pedagogi, dan logika disiplin-keilmuan yang secara terpisah memusatkan diri
pada pembelajar, pengajar, dan materi-subyek.
Masing-masing pandangan tersebut dapat dirumuskan sbb.:
(1) Pandangan psikologi yang mensyaratkan agar materi-subyek disesuaikan dengan
pengetahuan dan kemampuan pembelajar.
(2) Pandangan pedagogi yang menyarankan perlunya transformasi materi-subyek kedalam
berbagai bentuk representasi agar mudah diajarkan dan mudah dijangkau.
(3) Pandangan logika-keilmuan keilmuan yang menginginkan agar struktur ilmu dan logikakeilmuan yang diperankan oleh materi-subyek dapat mendasari setiap eksplanasi
terutama oleh pengajar.

Metoda mengajar yang kurang menghargai dasar kewacanaan pbm umumnya


berpandangan makro dan cenderung mengkonsentrasikan diri, diantaranya,
hanya pada pembelajar. Pandangan ini telah menyebabkan pengembangan PBM
salah arah yang terlihat dalam reduksi peranan pengajar sebagai fasilitator.
Reduksi ini kiranya tidak sejalan dengan hakekat pbm yang melihat bahwa fungsi

otoritas pengetahuan dari pengajar adalah sebagai pengendali wacana. Fungsi


ini dalam pbm tidak dapat dilepaskan dari pengajar sebagai salah pelaku dalam
antar-ketergantungan untuk mengkonstruksi pengetahuan.
Tugas pedagogi materi-subyek adalah mendiskripsi dan mengembangkan
pemahaman atas proses mengkonstruksi tersebut sewajar mungkin berdasarkan
interaksi antara pengajar, pembelajar dan materi-subyek. Tugas ini kiranya tidak
mudah karena memerlukan kehati-hatian ekstra agar tidak mudah terkecoh oleh
kendala rutinitas yang mengaburkan motif dari setiap tindakan. Tetapi diyakini
bahwa analisis wacana mempunyai kelebihan tertentu yang membuatnya cukup
mampu merinci interaksi tersebut menurut tindakan dan kejadian dalam pbm.
Lebih mendasar adalah bahwa interaksi ini mempunyai logika tersendiri yang
kurang banyak dipahami oleh peneliti luar kecuali pengajar. Tetapi disayangkan
bahwa pemahaman tersebut baru merupakan pengetahuan tacit (tidak mudah
diungkapkan secara verbal) karena memerlukan peristilahan dan dasar teori
tertentu.
Kehati-hatian lain muncul karena target penelitian pengajaran bukan hanya pada
aspek konten atau aspek substansi melainkan terutama pada aspek sintaktikal
dari materi-subyek. Perbedaan ini menuntut perlunya antar-hubungan dari
aspek-aspek materi-subyek dinyatakan lebih eksplisit sebagai konten, substansi,
dan sintaktikal. Seandainya konten adalah batu bata, maka substansi adalah
bangunannya sedangkan sintaktikal adalah ketrampilan mengkonstruksi
bangunan tersebut menggunakan batu bata. Tetapi, yang lebih ditampilkan dari
materi-subyek adalah aspek konten dan aspek substansi karena merupakan
produk yang lebih mudah diamati; aspek sintaktikal selalu terselubung sebagai
proses, jadi memerlukan cara tertentu untuk mengungkapannya.

Cukup menolong jika sebelum mengikuti mata kuliah ini, pembaca telah
memahami dasar-dasar pbm agar menunjang upaya untuk memahami pandangan
dan dasar pedagogi materi-subyek. Cara lain yang dapat ditempuh adalah Buku
Richard I. Arens (1989) yang kiranya dapat dijadikan pengetahuan pengantar
untuk memperoleh pandangan menyeluruh mengenai berbagai metoda mengajar.
Bukunya yang berjudul: Learning to Teach, dianggap penting karena merupakan
peralihan dari pandangan pembelajaran ke pandangan pengajaran; jadi mulai
memasuki area pedagogi yang selama ini kurang diperhatikan. Pengajar diberi
peranan yang lebih jelas baik menurut pandagan pembelajaran maupun
pandangan pengajaran.
Untuk mendukung pemahaman anda, pada ahir kumpulan makalah ini
ditampilkan dua macam latihan, yaitu:
(1) Contoh buku teks yang telah menerapkan pedagogi materi-subyek
sebagai upaya pendahuluan untuk memahami bagaimana aspekaspek ketrampilan intelektual diidentifikasi dari teks. Pembaca
disarankan untuk menganalisis buku ini berdasarkan
pemahamannya atau mendiskusikannya. Hasil diskusi dapat
dirumuskan sebagai saran perbaikan sesuai dengan pandangan
pedagogi materi-subyek yang lebih berkembang.
(2) Proyek-mini berupa menganalisis interaksi pbm secara nyata
dilaksanakan di dalam kelas menggunakan data hasil rekaman.
Latihan ini diharapkan dapat memberikan kesempatan untuk
merefleksikan pengalaman pbm pembaca menurut padangan
analisis wacana.

Latihan pertama dimaksukan untuk mengembangkan substansi dari pedagogimateri-subyek menggunakan pengertian-pengertian dasar. Pengetahuan
substansi adalah pengetahuan mengenai bangunan atau struktur dari suatu
pengetahuan. Contohnya, tabel periodik adalah suatu pengetahuan substantif
karena merupakan bangunan yang mengorganisasikan semua unsur-unsur
menurut sifat keperiodikan dan kesamaan sifat kimianya. Pemahaman yang lebih
mendalam menunjukkan bahwa sistim tabel periodik sebenarnya dikendalikan
oleh nomor atom: Sifat fisika dan sifat kimia unsur-unsur berubah secara periodik
mengikuti nomor atomnya.
Jika diperhatikan lebih jauh, yang menjadi konten dari tabel periodik adalah atomatom dari berbagai unsur, karena merupakan unit-unit pembentuk keseluruhan
tabel. Yang menjadi substansinya adalah hukum periodik sifat periodik unsurunsur merupakan fungsi nomor atomnya, karena fungsinya untuk mengorganisasi
setiap unsur menjadi table periodik dan mengembangkannya melalui prediksi.
Sebagai contoh, peramalan unsur Germanium oleh Mendelyeff pada 1867
merupakan kemampuan prediksi dari pengetahuan substansi. Dengan semangat
yang sama, pembaca juga, jika benar-benar mencermati kriteria totalitas dan
logika internal pbm, dapat membuat ramalan mengenai pelaksanaan pbm oleh
guru tertentu jika sejumlah informasi (sebagai konten) dapat diakses. Yang
menjadi pengetahuan sintaktikal adalah penerapan berbagai aturan, hukum, dan
kenyataan-kenyataan yang perlu untuk menerapkan dan mengembangkan tabel
periodik. Walaupun tabel periodik dirumuskan oleh hukum periodik, penerapan
terhadap beberapa kasus memerlukan hukum dan aturan lain. Contohnya, teori
mengenai isotop untuk menjelaskan pembalikan posisi Kalium dan Indium yang
sebenarnya menyalahi hukum periodik.

Latihan kedua mencoba membawa analisis ke aspek yang lebih serius kepada
analisis kekeliruan dari banyak metoda mengajar menurut kenyatan lapangan
untuk kemudian dicoba menyajukan saran menurut pandangan pembaca. Jika
diperhatikan sebagai pengetahuan substansi, dasar pengorganisasian pbm
adalah logika internal, tetapi ini kiranya masih terlalu umum dibandingkan dengan
hukum periodik. Walaupun demikian, dasar tersebut sudah memadai sebagai titik
tolak metodologi penting untuk mulai membicarakan bagaimana membangun
struktur sintaktikal dari pbm. Pekerjaan membangun ini mengikuti aturan, nilai,
tradisi, kendala, dlsb., yang hanya mempunyai kemaknaan yang jelas jika
dikaitkan dengan konteks pelaksanaan sehari-hari dari pbm. Jadi pembaca
dianjurkan agar berani mencoba mengembangkan proyek tertentu yang dilakukan
secara kelompok berdasarkan deskripsi umum dari proyek mini tersebut.
Dirasakan bahwa penggunaan konsep inti dalam konteks tertentu lebih
menunjang pemahaman dibandingkan dengan definis formal tanpa konteks.
Walaupun pada awalnya penggunaan tersebut sukar karena menuntut
pengetahuan yang lebih menyeluruh dalam bentuk antar-hubungan ide inti
(pengetahuan substantif), cara penggunaan tersebut penting untuk meningkatkan
pemahaman yang memadai. Pemahaman konsep inti hanya mungkin jika
pengetahuan sintaktikal yang mengendalikannya dalam bentuk mengkonstruksi
pengetahuan dapat dilibatkan.

Dengan memusatkan perhatian pada pbm, pada totalitas dan logika internal,
banyak hal-hal yang dapat diamati secara mendalam dan menyatu menurut
konteks kesehari-harian dari pelaksanaannya. Pengamatan langsung dan diikuti
dengan upaya merefleksi kejadian-kejadian mengenai interaksi antara pengajar,
pembelajar, dan materi-subyek, dapat menghasilkan pandangan dasar bagi
pengajar untuk memahami lebih kritis bagaimana sebenarnya proses
mengkonstruksi pengetahuan itu berlangsung. Untuk menunjang pemahaman ini,
analisis wacana dapat memberikan berbagai kemudahan untuk mengungkapkan
makna keseharian dari proses mengkonstruksi tersebut menggunakan konstruk
teoretis motif yang menjadi sumber kekuatan intelektual dari berbagai tindakan.
Pedagogi materi-subyek memusatkan diri pada interaksi tersebut dengan
pandangan bahwa setiap pelaku pbm mempunya hak prerogatif yang diperlukan
untuk memelihara kelangsungan interaksi tersebut. Keberhasilan pengajar perlu
ditunjang oleh hak prerogatif mengendalikan wacana dari pbm; keberhasilan
pembelajar perlu ditunjang oleh hak prerogatif bertanya untuk mengembangkan
pemahamannya. Pembatasan hak mengendalikan dan hak bertanya diperankan
oleh motif kerja-sama yang kiranya diperlukan agar interaksi untuk membangun
pengetahuan berlangsung dengan selalu mengacu pada nilai kebenaran yang
merupakan hak prerogatif dari materi-subyek..
Kumpulan makalah ini bertujuan untuk memperkenalkan bagaimana pedagogi
materi-subyek diwujudkan dalam pbm secara alamiah. Kegiatan utama berfikir
dari kehidupan kelas membuat deskripsi yang memenuhi ktriteria keutuhan dan
kedalaman permasalahan dapat ditempuh menggunakan perekam audio (atau

audio-video). Pengembangan dan pemapanan struktur tersebut dicapai melalui


interviu untuk memperoleh gambaran bagaimana realisasi motif berlangsung
dalam interaksi pbm.
Kumpulan makalah ini bermanfaat untuk mempersiapkan guru berpengalaman
menjadi guru pembimbing karena dengan wawasan pedagogi materi-subyek,
permasalahan pmb sehari-hari dapat dianalisis lebih realistik. Tujuan analisis
bukan untuk menemukan kelemanan melainkan menemukan mengapa terjadi
kesalahan tersebut untuk mendasari suatu saran yang dapat disepakati bersama.
Lebih jauh, manfaatnya adalah untuk memberdayakan guru-gur agar dapat tampil
lebih profesional. Melalui peningkatan pemahamannya mengenai seluk-beluk
mengajar, yang sebagian besar masih merupakan pengetahuan tacit, guru dapat
meningkatkan kemampuannya untuk mengembangkan pbm. Pemahaman
tersebut dapat dihimpun sebagai pengetahuan praktis mengajar dan selanjutnya
dapat digunakan sebagai dasar untuk mengembangkan saran-saran penghalusan
pelaksanaan pbm.

II. PERANAN STRUKTUR ILMU DALAM PENGAJARAN IPA


A. PENDAHULUAN
Hubungan antara dua sistim, yaitu disiplin keilmuan dan domain substantifnya, di satu
pihak, dan disiplin keilmuan dan transformasi pedagogi menjadi materi-subyek dilain
pihak, merupakan sumber kesulitan bagi pengembangan diri pengajar. Dalam batas
tertentu, hubungan ini telah berkembang menjadi padangan dualisitik dengan
konsekuensi terjadinya kancah perebutan pengaruh antara ilmuan dan pakar
pendidikan guru. Ada sementara keyakinan bahwa pendidikan sains di sekolah
menengah dan sekolah dasar merupakan tanggung jawab pakar disiplin.
Biasanya, dan khususnya di dalam pendidikan IPA, dalam kancah tersebut pakar
disiplin ilmu keluar sebagai pemenang: pelaksanaan inservice training dilaksanakan
dan dikendalikan oleh pakar disiplin, termasuk proyek-proyek pendidikan lainnya
yang sebenarnya merupakan kewenangan pakar-pakar pendidikan.
Pandangan yang lebih realistik terhadap masalah ini perlu mempertimbangkan tingkat
pengakuan terhadap kewenangan tersebut. Kelihatannya formalitas kelembagaan
tidak dengan sendirinya menjadi penentu kewenangan tersebut, tetapi nampaknya
lebih pada wacana keilmuan dari masyarakat pakar. Jika pandangan academic
freedom dapat diterapkan, legalitas pengakuan tersebut bukan pada masalah
akademik melainkan pada kekuatan dan peranan intelektual yang menjadi penggerak
dari kewewenangan tersebut. Dalam arena kewacanaan, isu teoretis dan pragmatis
kewenangan tersebut ditentukan oleh seberapa jauh masyarakat pakar mengakui dan

menghargai peranan dan kekuatan intelektual tersebut. Sayangnya, dalam arena


tersebut pakar pendidikan kurang mampu mengangkat wibawa disiplin keilmuannya
karena kurang mantap dan jelas menampilkan karakter tertentu dari epistemologi
keilmuannya (Siregar, 1998).
Para calon pakar pendidikan IPA, karenanya, perlu mendalami logika internal yang
merupakan kekuatan intelektualnya dengan jalan terlebih dahulu menguasai dasar
epistemologi pengajaran IPA. Penguasaan ini memungkinkan calon pakar lebih
berwibawa dalam menghadap upaya-upaya pakar luar yang walaupun maksudnya
baik tetapi dalam jangka panjang sebenarnya berdampak merongrong wibawa disiplin
keilmuannya. Dengan pandangan epistemologi yang memadai, pendidik maupun
calon pendidik dengan mudah membedakan hubungan disiplin suatu keilmuan
dengan domain substantifnya dari hubungan disiplin tersebut dengan materi-subyek
yang merupakan domain substansi dari pedidikan IPA.
Bab ini memperkenalkan epistemologi pendidikan MIPA dengan terlebih dahulu
menampilkan berbagai pandangan epistemologi yang dianut oleh baik oleh guru
maupun pakar disiplin MIPA. Sejalan dengan sifat dasar IPA, tidak mengherankan
mengapa terdapat ketegangan antara pandangan reduksionis yang diwakili oleh
psikololgi pembelajaran dan pandangan mikronaturalistik (diwakili oleh analisis
wacana). Ketegangan muncul karena psikologi pembelajaran yang mengklaim dirinya
sebagai pendekatan ilmiah dengan mereduksi fenomena mengajar menjadi fenomena
alamiah seperti halnya fisika yang dalam pandangan naturalistik kurang menyentuh
nilai-nilai kebenaran yang lebih mendalam dari kemanusiaan. Psikologi berasumsi
bahwa masalah pbm adalah masalah prilaku karena mudah diobservasi dan diukur;
mikro-naturalistik berasumsi bahwa pbm merupakan masalah wacana sosial.
2

Tegasnya, psikologi melihat pbm sebagai masalah alamiah dengan mengeluarkan


aspek yang tidak mudah observasi seperti motif dan sikap; analisis wacana melihat
pbm sebagai upaya bersama untuk membangun pengetahuan dengan ucapan
merupakan sumber data.
B. Pandangan Epistemologi Pengajaran IPA
Perbedaan hubungan disiplin & domain substantif tersebut dan transformasi disiplin
keilmuan menjadi materi-subyek, membawa konsekuensi perlunya epistemologi
pendidikan IPA dibedakan dari epistemologi IPA itu sendiri. Pembedaan ini
memudahkan upaya pengorganisasian sejumlah disiplin ilmu lainnya menjadi suatu
bangunan substantif dari disiplin pengajaran IPA.
Perbedaan epistemologi mungkin dapat dijelaskan dalam bentuk pertanyaan :
(1) Bagaimana menentukan peranan IPA agar dalam mengendalikan transformasi keilmuan IPA
menjadi materi-subyek peranan tersebut juga menghargai peranan pengajar dan pembelajar.
(2) Bagaimana menerjemahkan peranan tersebut kedalam proses belajar-mengajar dengan
tetap menjaga kewajaran kewacanaan pbm.
Pertanyaan ini menjadi dasar untuk melibatkan pembahasan struktur ilmu dalam
pendidikan IPA yang diyakini merupakan sumber untuk merumuskan logika internal
dari pbm. Dengan demikian kekuatan intelektual sebagai dasar untuk
mengembangkan epistemologi disiplin ilmu pengajaran sebagai dasar untuk
mentransformasikan disiplin keilmuan menjadi materi-subyek. Pertanyaan kedua
mencoba mengarahkan upaya tersebut lebih dekat dengan tugas mengajar dengan
membatasi wacana keilmuan ke dalam wacana pedagogi. Caranya, adalah dengan

membatasi diri pada ketrampilan intelektual yang sebenarnya merupakan ketrampilan


untuk menggunakan hukum, aturan, teori untuk memecahkan masalah. Bukannya,
untuk mengembangkan ilmu seperti yang dilakukan oleh ilmuan.
Sebagai upaya pendahuluan hubungan tersebut perlu dipetakan ke dalam suatu
taksonomi epistermologi untuk melengkapi calon pakar dengan kekuatan intelektual
tanpa harus perlu patuh terhadap epistemologi keilmuan tertentu. Karena:

(1) Dengan memahami epistemologi dari keilmuannya dan keilmuan dari disiplin lainnya yang
terkait, calon pakar dapat bersikap kritis terhadap proposisi maupun asumsi yang
diberlakukan dalam disiplin keilmuannya yang mempunyai konsekuensi praktis terhadap apa
yang diyakini dan dilakukan oleh pelaku lapangan.
(2) Klarifikasi epistemologi yang mengendalikan seseorang dalam melaksanakan tugasnya
dapat memberikan kepuasan dan selanjutnya kemudahan untuk memahami berbagai
perubahan yang selalu melanda dunia pendidikan.
(3) Pemahaman atas berbagai isu epistemologi dapat mendorong upaya bersama untuk meneliti
dasar isu tersebut. Kebanyakan dari isu ini hanya menyangkut metoda dan teknik mengajar,
bukan dasar dari pendekatannya melainkan pada apa arti belajar, memahami, dan menjadi
terdidik.

Karena tugas mengajar adalah tugas bersama mengkonstruksi pengetahuan,


pemahaman epistemologi keilmuannya barangkali lebih sentral dari pada tugas
lainnya. Berarti, pengetahuan calon pakar pendidikan tidak perlu difokuskan pada
konten dan metoda, karena ini akan menjadi kendala untuk memahami arena wacana
4

perdebatan dari pengembangan ilmu pengajaran IPA. Pandangan epistemologi lebih


jauh dapat membekali calon pakar dengan kehati-hatian yang lebih mendasar untuk
menghadapi berbagai perdebatan yang tidak jelas dasarnya. Kalau tidak, calon dapat
terperosok pada sikap asal aman yang selalu berahir pada kompromi padahal dasar
dari materi perdebatan mungkin tidak jelas.
Cunningham dan Fitzgerald (1996) mengemukakan tiga kehatian-hatian epistemologi
dan tujuh isu utama yang diperlukan untuk membangun kekuatan intelektual untuk
menghadapi berbagai pandangan dalam membangun dasar teori dari tugas membaca
atau menulis. Menurut pandangan penulis, tugas membaca dan menulis dapat
disejajarkan dengan tugas guru yang juga menyangkut tugas bersama untuk
membangun suatu pengetahuan. Kehatian-hatian ini dapat memperluas wawasan
calon pakar yang barangkali walaupun cukup homogen tetapi kurang mengarah pada
pengembangan kekuatan intelektual seperti yang dikemukakan diatas.
1.

Apa yang Mendasari suatu Pengetahuan?

Linder (1992) mengungkapkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya pengajar fisika


cenderung merefleksikan pandangan realisme metaphysical. Pandangan ini meyakini
bahwa karakteristik utama dari kegiatan ilmliah adalah pengumpulan fakta realitas
fenomena alamiah bebas dari pikiran atau pendapat seseorang. Pewujudan
pandangan ini di dalam kelas terlihat dari kurangnya penghargaan guru terhadap
upaya bersama untuk membangun model atau teori, dan terhadap upaya peramalan
novel facts (fakta di luar yang lazim). Kontribusi seseorang dengan demikian kurang
dihargai karena ilmu fisika adalah pengetahuan formal terlepas dari pikiran seseorang
yang mempelajarinya.

Epistemologi berdasarkan materi subyek beranggapan bahwa sumber pengetahuan


tidak perlu seluruhnya mengikuti pandangan realisme, melainkan juga berdasarkan
pandangan keilmuan lain seperti deduktif-hipotetik, struktural/kontekstualis, dlsb.
Dasar dari epistemologi tersebut adalah perbedaan antara epistemologi IPA dan
epistemologi ilmu sosial.
(1) Dapatkah kita mempunyai satu pengetahuan tunggal terlepas dari Pembelajar?
(2) Apakah ada sesuatu yang kita sebut Kebenaran Tunggal?
(3) Pengujian apa yang harus disarankan agar suatu pengetahuan mempunyai nilai kebenaran?
(4) Apakah Pengetahuan itu terutama universal atau lokal?

Nampaknya dari pertanyaan-tertanyaan diatas, pandangan pengajar lebih mengarah


pada kutub positif atau pada alternatif dari pandangan IPA. Bennet dan Carre,
(1994), diantaranya, mengemukakan bahwa walaupun pandangan seorang guru
mengarah pada realisme :
IPA adalah kumpulan hukum-hukum, suatu badan pengetahuan yang akurat dan
terorganisasi. Saya menyajikan konten jelans dan mengendalikan praktikum untuk
mencegas kegiatan yang tidak bertujuan. Singkatnya, murid-murid mengumpulkan
informasi penting dan mengukuhkan sendiri apa yang telah menjadi konsep kunci. Kami
selalu menggunakan bahasa ilmiah akurat (Guru A).
Dipihak lain, juga terdapat pandangan guru yang bertentangan dengan pandangan
realisme metafisikal diatas. Orientasi pandangan ini adalah bahwa tugas mengajar
juga melibatkan pikirian murid:

IPA adalah pekerjaan priaktikum dengan petuntuk (hands-on), untuk menemukan dunia
sekitar menggunakan kelima indra. Inisiatif dikendalikan oleh murid; mereka
mengemukakan pertanyaan dan saya mendorong mereka untuk bekerja independen.
Saya menjaga diri agar tidak memberikan petunjuk atau informasi untuk menolong
keingin-tahuan mereka. Saya tidak kuatir apakah murid menggunakan bahasa deskriptif
atau non-ilmiah (Guru B).
IPA adalah kreasi pikiran manusia; kebenaran dibentuk didalam pikiran pengamat. Saya
berasumsi bahwa murid mempunyai pengetahuan yang cukup luas dan saya menolong
mereka menggunakan dan menghubungkan apa yang mereka telah ketahui dengan
masalah yang baru. saya menantang mereka untuk menolak, membentuk kembali, atau
mengembangkan pikiran dan mempertimbangkan mengapa mereka berprilaku
demikian. saya mendorong mereka untuk menggunakan bahasa ilmiah sewaktu
menjelaskan sesuatu (Guru C).
Orientasi keilmuan dan orientasi mengajar ketiga guru diatas menunjukkan bahwa
disamping menyangkut aspek sintaktikal yang berhubungan dengan sumber data,
tugas mengajar juga perlu melibatkan pandangan murid. Ketiga guru diatas dapat
dilihat sebagai mewakili pandangan epistemologi yang beragam menurut (menurut
Bennet dan Carre, 1994):

Guru A sebagai veifier.

Guru B cenderung sebagai problem-solver.

Guru C sebagai berorientasi personal dan sosial.

Berbeda dengan pandangan guru A, yang lebih sejalan dengan epistemologi keilmuan
IPA, Guru B, dan C yang melihat bahwa murid juga mempunyai wewenang untuk
membentuk pengetahuannya. Namum, guru B tetapi melihat bahwa pengamatan tetap
merupakan bagian utama dari pembelajaran IPA. Guru C nampaknya lebih mendekati
pandangan epistemologi dengan pandangan kewacanaan.
2.

Di mana Pengetahuan itu Berada?

Disamping pandangan mengenai sumber pengetahuan, epistemologi juga


mempermasalahkan keberadaan dari pengetahuan. Pertanyaan yang lebih khusus
dalam pengajaran IPA adalah:
(5) Sehubungan dengan pembelajar, di mana pengetahuan itu berada?
Pertanyaan ini muncul karena adanya pandangan sepihak bahwa berdasarkan
hubungan antara pakar disiplin dan domain substantifnya maka lokasi pengetahuan
tersebut adalah pada pakar itu sendiri. Tetapi apakah ini tidak bertentangan dengan
pandangan pada isu (4) bahwa disamping bersifat universil, kebenaran juga dapat
bersifat lokal. Jadi sehubungan dengan disiplin pengajaran, pengetahuan tersebut
dapat juga berada didalam kelas sebagai proses sosial membangun ilmu.
Guru C kiranya menjadi wakil dari pandangan keilmuan seperti yang diinginkan oleh
disiplin keilmuan, sedangkan Guru A dan Guru B lebih cenderung kepada pandangan
keilmuan. Hal ini akan lebih jelas jika diingat bahwa pengetahuan yang dikembangkan
di dalam kelas adalah materi-subyek yang sebenarnya merupakan representasi dari
ilmu yang dimiliki oleh pakar disiplin.

3.

Bagaimana Pengetahuan itu Diperoleh?

Posisi dari IPA terhadap isu ini adalah posisi empirisi, seperti yang diperlihatkan oleh
ketiga Guru diatas. Tetapi secara epistemologi, ilmu dapat tidak dibentuk hanya oleh
pengamatan, melainkan juga oleh pikiran kreatif. Khususnya, untuk proses belajarmengajar isu diatas dapat dirinci menjadi:
(6) Apa kontribusi pengamatan dan aktivitas mental terhadap upaya untuk memperoleh
pengetahuan?
(7) Sejauh mana pengetahuan itu ditermukan, bukan diciptakan?
Dari pandangan wacana keilmuan, yang melihat bahwa pengembangan ilmu
ditentukan bukan hanya oleh pengamatan, berarti apa yang dilakukan oleh pengajar,
murid, dan buku teks adalah pelaku-pelaku.
C. Struktur Ilmu dalam Pengajaran IPA
Bab ini mencoba mengukuhkan peranan struktur ilmu dalam tugas eksplanasi
pedagogi untuk menolong pemahaman yang lebih mendasar dari tugas mengajar.
Struktur keilmuan memberikan kejelasan posisi dari materi-subyek dilihat sebagai
hasil prumusan kurikulum dan hubungannya dengan keinginan bahwa pelajaran
sekolah lanjutan harus merupakan wakil setia dari disiplin keilmuan. Yaitu, mata
pelajaran sekolah merupakan pengantar yang absah kepada disiplin ilmu menurut
nama yang disandangnya: biologi yang diajarkan disekolah harus sesuai dengan
biologi yang diketahui oleh pelaku ilmuan. Ini dapat diwujudkan jika konsep kunci dan
operasi intelektual yang digunakan oleh peneliti dapat diidentifikasi dan diungkapkan
lebih eksplisit (Gardner, 1975).

Selama ini, pengajaran IPA sebahagian besar adalah kumpulan kesimpulan berupa
sifat-sifat, formula, hukum-hukum, persamaan reaksi, deskripsi proses, dsb.
Ketrampilan intelektual yang membawahi kesimpulan-kesimpulan tersebut jarang
ditekankan, bahkan mengalami distorsi, atau terabaikan. Konsep IPA diperkenalkan
seolah-olah sudah merupakan kenyataan yang lazim tanpa perlu meragukan bahwa
konsep tersebut mungkin tidak sejalan dengan kehidupan sehari-hari. Contohnya,
tanpa memperhatikan ketrampilan intelektual yang mendasarinya, hukum Newton
dipandang sebagai suatu prinsip yang lazim; padahal ini berlawanan dengan
kenyataan bahwa setiap benda yang bergerak selalu memerlukan gaya agar tetap
bergerak seperti yang dikemukan oleh Aristotles. Konsep gesekan dan hambatan
udara dalam kehidupan sehari-hari merupakan kenyataan yang selalu menyertai
setiap benda yang bergerak. Apakah mungkin membuktikan hukum Newton tanpa
asumsi-asumsi non-empirik?
Kesulitan diatas hanya mungkin diatasi dengan menyertakan pembicaraan struktur
ilmu yang sebenarnya merupakan asas pembenaran terhadap kesimpulan-kesimpulan
IPA. Diantaranya pengungkapan bahwa hukum Newton bukanlah suatu hukum
empirik, melainkan hukum hasil penalaran deduktif.
D. Struktur Keilmuan Menurut Analisis-wacana
Ilustrasi pandangan pengajar yang cenderung dikendalikan oleh pengetahuan
praktisnya seperti yang ditampilkan sebelumnya cukup memadai untuk menurunkan
struktur pengetahuan. Disamping orientasi personal, di dalam kelas struktur
pengetahuan tersebut juga berorientasi sosial. Tetapi, lebih penting adalah bahwa

10

dasar konstruksi pengetahuan dari tugas mengajar dapat dibuat lebih eksplisit
berdasarkan analisis wacana.
Implikasi dari pandangan diatas adalah bahwa tugas mengkonstruksi pengetahuan
berlangsung dengan wacana sebagai media interaksi dan selanjutnya juga
merupakan media penting untuk menghasilkan data. Peranan analisis wacana dengan
demikian adalah untuk membuat pembedaan antara struktur sintagmatik (struktur
permukaan wacana) dan struktur paradigmatik (struktur dalam yang ditentukan oleh
materi-subyek). Struktur ilmu dengan demikian lebih berhubungan dengan struktur
paradigmatik. Struktur sintagmatik berhubungan dengan organisasi sekuensial
sedangkan struktur paradigmatik berhubungan dengan organisasi dari materi-subyek
dari wacana. Disini, istilah materi-subyek perlu dilihat sebagai struktur yang terdiri
tidak hanya konten, tetapi juga substantif, dan sintaktis. Aspek kontent, yang karena
kedudukannya sebagai komponen dari aspek substantif dalam analisis dapat diwakili
oleh aspek substantif.
Cukup penting untuk melibatkan pandangan Shulman (1987) dalam pembicaraan
mengenai struktur materi-subyek yang melihatnya sebagai terdiri atas aspek konten,
aspek substansi, dan aspek sintaktikal. Aspek sintaktikal kiranya dapat sejajar
dengan aspek epistemologi dari keilmuan dengan membatasi pembicaraan tidak lagi
dihubungkan dengan tugas mengembangkan ilmu, tetapi dengan tugas
merekonstruksi pengetahuan kedalam bentuk yang lebih sederhana. Aspek sintaktikal
dalam hal ini berhubungan dengan upaya menjaga agar, dalam konteks pedagogi,
konstruksi konten menjadi struktur substansi tetap mengikuti dasar pengembangan
(hukum, aturan, teori, dlsb) dan dasar validasi (metodologi) dari materi-subyek.

11

Gambar 1.1 menampilkan struktur ilmu menurut dimensi sintaktikal dan dimensi
substantif menurut tahapan pengembangan ilmu seperti yang ditunjukkan oleh label
italik tebal dalam tanda kurung. Pemetaan ini perlu mengambil pandangan wacana,
karena aspek sintaktikal sebenarnya dikendalikan oleh motif penulis buku teks; jadi
sebenarnya merupakan teritori analisis-wacana. Pengoperasian ketrampilan
intelektual dengan demikian dapat dikembangkan berdasarkan tindakan wacana
(aspek sintaktikal) yang diterapkan terhadap unsur-unsur dalam aspek substantif.

12

Gambar 1.1
Hubungan Antara Aspek Sintaktikal dan Aspek Substantif
(Menurut Gardner, 1976)
Struktur
Pengetahuan

Aspek Sintaktikal

Aspek Substantif

Mendefinisikan:

Konsep Teoretis:

Proses menemukan konsep baru

Rujukan terhadap entitas yang

atau meminjam yang sudah ada

merupakan ide kunci

utk mengembang-kan teori baru


(Abduction)
Menghubungkan:

Struktur Logika:

Proses Menalar utk merumus-kan

Operator logika yang menghu-

pernyataan hubungan an-tar

bungkan konsep teoretis dalam

konstruk atau persamaan

bentuk persamaan matematik

matematik (Intraduction).

atau pernyataan

Menguji:

Definisi Operasional:

Proses menghubungkan konstruk

Pernyataan mengenai bagaimana

13

dengan definisi operasional

konstruk dihubungkan dengan

(Transduction).

observasi.

Memroduksi:

Model Teoretis:

Proses memrediksi teori yang

Gambaran mental atau hubungan

dapat diuji secara empirik

yang memudahkan visualisasi

biasanya melalui deduksi

untuk memapankan peristilahan

(Production).

Dalam bentuk formal, hubungan kedua aspek ini diperankan oleh operasi logika; jadi
merupakan fasilitas untuk mewujudkan fungsi sintaktikal terhadap elemen- elemen
didalam dimensi subsatantif. Operasi tersebut sifatnya spesifik menurut disiplin
keilmuan. Sebagai contoh, kebiasaan Mendefinisikan suatu Konsep Teoretis dalam
pendidikan cenderung kurang formal, karena artikulasi konsep berkembang menurut
pemahaman. Tetapi, dalam sains fungsi tersebut bersifat formal karena merupakan
dasar untuk merumuskan model teoretis atau matematik. Sifat spesifik ini merupakan
salah satu dasar penting untuk merumuskan tradisi wacana suatu disiplin keilmuan
(Matthiesen, 1993).
E. Kasus Penemuan Neutrino
Dari disiplin fisika mengenai antar hubungan aspek sintaktikal dan aspek substantif,
sejarah penemuan neutrino oleh Wolfgang Pauli pada tahun 1931(Gardner, 1975)
merupakan ilustrasi yang memadai untuk memperlihatkan hubungan aspek sintaktikal

14

dan aspek substantif. Penemuan tersebut dimulai dari pengamatan peluruhan In116
berdasarkan reaksi:

49

In116 --------->

50

Sn116

-1

eo

Gambar 1.2.
Persamaan Reaksi Peluruhan Logam Radio Aktif

Yang menjadi pengetahuan substantif dari proses penemuan neutrino adalah reaksi
peluruhan

In116 menjadi

49

Sn116 dan -1eo (Gambar 1.2.), sedangkan yang menjadi

50

pengetahuan konten adalah setiap partikel yang terdapat dalam reaksi tersebut.
Aspek sintaktikal dari penemuan ini perlu memperhatikan terlebih dahulu aspek
substansi yang terlibat. Reaksi peluruhan tersebut perlu dirujuk sebagai model
teoretis dari reaksi peluruhan 49In116 dan persoalan yang muncul. Sebagai model
dasar, pengembangan reaksi peluruhan menjadi terarah, diantaranya kemungkinan
membuat prediksi menurut aspek sintaktikal berupa hukum, aturan, heuristik, atau
intuisi.
Elektron yang dipancarkan dalam reaksi peluruhan ini ternyata mempunyai energi
kinetik lebih kecil dari biasanya, (2,95 Mev) dengan rata-rata hanya 1.30 Mev, yang
berarti sejumlah energi tertentu hilang. Wolfgang Pauli memperkirakan bahwa jika
hukum kekekalan energi diberlakukan terhadap reaksi peluruhan tersebut,
seharusnya ada partikel lain yang dipancarkan bersamaan dengan elektron (tahap

15

intraduction). Partikel ini disebutnya neutrino (yang kecil netral) yang dalam tahap
pengembangan teori disebut abduction. Pengetahuan sintaktikal yang diterapkan
disini adalah suatu prediksi keberadaan suatu konstruk teoretis neutrino yang hampir
tidak mempunyai sifat-sifat yang dapat dideteksi secara lazimnya, karena tidak
mempunyai massa diam, dan muatan (tahap transduction).
Lebih dari 20 tahun kemudian, secara empirik Reines dan Cowan tahun 1956
berspekulasi bahwa neutrino dapat berinteraksi dengan proton menghasilkan neutron
atau positron. Dengan menggunakan reaktor nuklir bertenaga tinggi, mereka dapat
menghasilkan emisi beta (yang juga melibatkan neutrino) berkecepatan tinggi dan
menemukan kejadian yang sesuai dengan spekulasi tersebut. Aspek sintaktikal yang
terlibat disini adalah menguji aspek substantif definisi operasional definisi bagaimana
konstruk teoretis neutrino dihubungkan dengan observasi (tahap production).
Reaksi peluruhan In116 menjadi Sn116 merupakan aspek substantif dari pengetahuan
reaksi inti yang dibentuk oleh pengetahuan konten 49In116, 50Sn116, dan -1eo .
Pengetahuan sintaktikal yang terlibat dalam reaksi ini adalah ditemukannya partikel
neutrino menghasilkan elektron dengan energi yang lebih kecil dari lazimnya, yaitu
lebih kecil dari 2.29 Mev, dengan energi rata-rata 1.30 Mev. Spekulasi Wolfgang Pauli
bahwa neutrino memancar bersamaan dengan elektron yang menyebabkan energi
kinetiknya berkurang merupakan hasil prediksi menggunakan reaksi peluruhan In 116
sebagai model dan hukum kekekalan masa sebagai dasar.
F. Ilustrasi Analisis Artikel Penelitian Pengajaran IPA
Untuk melihat interaksi fungsi sintaktikal dan fungsi substantif dari pengembangan
ilmu di dalam disiplin ilmu pengajaran IPA, dalam apendikss ditampilkan ilustrasi

16

analisis artikel. Dalam penemuan neutrino, yang menjadi contoh dari disiplin ilmu
fisika, aspek yang dilibatkan dalam fungsi substantif cukup terbatas pada persamaan
reaksi dari peluruhan Indium. Dalam penelitian pengajaran, disamping materi-subyek,
aspek lain juga dilibatkan seperti aspek psikologi (kesulitan pembelajar dalam
membedakan konsep initi panas dan temperatur ), aspek pbm (penelitian juga
bertindak sebagai guru kelas), dan aspek praktikum (dasar keilmuan dari topik
pengajaran untuk melihat pemahaman murid), dsb.
Upaya untuk memahami artikel penelitian dapat lebih mudah jika penulis mencoba
menganalisis permasalahan yang dihadapi oleh penulis artitkel dengan
memetakannya menurut hubungan totalitas dari PBM yang dibentuk oleh interaksi
pengajar, pembelajar, dan materi-subyek. Jika tidak, pembaca dapat mengalami
kebingungan yang berkelanjutan, karena banyak hal yang sebenarnya perlu
diketahui tetapi oleh penulis hanya secara implisit diungkapkan. Antar-ketergantungan
dari ketiga komponen PBM dapat meragamkan satu topik secara mengejutkan,
karena secara wajar dapat menghasilkan kurang-lebih 54 desain penelitian. Angka
tersebut diperoleh jika diasumsikan bahwa setiap komponen melibatkan 3 konstruk
teoretis dan hubungan ketergantungan setiap komponen dapat berlangsung menurut
dua arah. Komponen pengajar dapat dikategorikan menjadi senior, madia, dan
pemula; komponen materi-subyek dapat dikategorikan menurut dimensi rumitsederhana, abstrak-konkrit, dan dinamik-statis; sedangkan komponen pembelajar
dikategorikan menjadi kelompok atas, tengah, dan bawah.
Disamping analisis, bab ini juga melibatkan kritikan terhadap artikel penelitian untuk
menajamkan pandangan pembaca. Diyakini bahwa pemahaman yang fungsional
hanya dapat mewujud jika pembaca juga telah mampu melihat kelemahan-kelemahan
17

suatu artikel. Jadi dalam bagian-bagian berikut, analisis juga dilengkapi dengan kritik
bilamana dirasakan tepat saatnya untuk dikemukakan.

III. STRUKTUR PBM MENURUT PEDAGOGI MATERI SUBYEK

A. Tahapan Pengembangan PBM


Bagian ini memperkenalkan struktur pbm hasil pemetaan permasalahan yang
mendasarinya untuk menelusuri motif yang mengawali setiap tindakan dalam pbm.
Setiap motif ini merupakan upaya untuk mentransformasi eksplanasi ilmiah menjadi
eksplanasi pedagogi yang seyogianya mengacu pada struktur ilmu agar hasil
transformasi memenuhi kritteria teachable dan accessible. Keseluruhan strutktur pbm
dengan demikian dapat dilihat sebagai suatu totalitas yang dibentuk oleh komponen
materi-subyek komponen pengajar, dan komponen pembelajar dalam suatu hubungan
ketergantungan untuk membangun pengetahuan.
Untuk berlaku lebih adil dalam merumuskan struktur pbm, berbagai pandangan pakar
disiplin yang mempunyai kaitan erat dengan komponen-komponen pbm tersebut perlu
terlebih dahulu dikemukakan sesuai dengan kronologi pengembangannya. Upaya
awal dari pengembangan ini banyak dimotivasi oleh penelitian standar yang belum
ditandai oleh yang belum mengenal kriteria totalitas dan logika internal pbm. Keadaan
ini menyebabkan awal pengembangan tersebut merupakan upaya yang terkotak-kotak
yang mudah dipahami karena disiplin ilmu yang melatari pengembangan tersebut
18

cukup dominan. Awal pengembangan ini banyak dimotori oleh pandangan sepihak
dari psikologi pembelajaran dari pekerjaan Skinner yang memusatkan diri pada
komponen pembelajar.
Pada pertengahan perkembangannya, penelitian pbm didominasi oleh pandangan
interaksi kelas yang mencoba menentukan karakteristik pengajaran yang sukses
berdasarkan tingginya frekuensi kegiatan pembelajar dibandingkan dengan kegiatan
pengajar. Pandangan ini banyak dimotivasi oleh disiplin sociolinguistik; interaksi
dideskripsikan oleh karakteristik dari fungsi ucapan seperti meninisiasi, menerima,
menolak, menjawak, dlsb. Pekerjaan Flanders merupakan acuan utama dari penelitian
ini yang dikembangkan lebih lanjut berdasarkan karakteristik dari materi-subyek ..
Pembicaraan struktur ilmu untuk mendeskripsikan pbm belum banyak dilibatkan,
kalaupun ada ini masih terbatas pada aspek konten dan aspek substansi, belum
secara utuh sebagai struktur ilmu.
Kedua pengembangan diatas ditandai oleh belum dilibatkannya materi-subyek dalam
analisis secara komponen tersendiri, melainkan pada menggiatkan pembelajar dalam
pbm. Keterbatasan ini mudah dipahami karena munculnya analisis wacana yang
memusatkan diri pada materi-subyek baru dimulai sekitar tahun 1975 sejalan dengan
munculnya komputer yang mendekati kemampuan berfikir manusia. Walaupun
pengembangan sudah melibatkan hubungan ketergantungan, jadi telah mulai
menerapkan kriteria totalitas, kriteria logika internal yang menjadi kerangka kerja
bagai pemetaan kompleksitas pbm belum mendapat peran yang memadai.
Karenanya, pekerjaan yang cukup komprehensif yang memampu mengimbangi
kompleksitas pbm belum muncul. Kekeliruan induktif: Fallacy of Complex Questions,

19

yaitu solusi dua alternatif berupa menerima atau menolak hipotesis terhadap masalah
yang kompleks dapat diterapkan pada pekerjaan dalam tahapan ini.
Pengembangan selanjutnya, dengan demikian, perlu mengkonsentrasikan diri pada
kompleksitas dari permasalahan pbm. Kompleksitas ini merupakan karakteristik dari
pengembangan sekarang ini yang oleh pandangan pedagogi materi-subyek dicoba
dengan mengidentifikasi pbm sebagai fenomena wacana. Upaya ini secara teoretis
meletakkan dasar untuk mulai memetakan permasalahan pbm untuk menghindari
pekerjaan dari kemungkinan dilanda oleh kekeliruan lain: Fallacy of Composition,
yaitu asumsi bahwa apa yang berlaku pada salah satu komponen pbm juga berlaku
untuk keseluruhan pbm. Salah satu upaya yang tengah dikembangkan sejalan
dengan kehati-hatian ini adalah pedagogi materi-subyek yang dikembankan
berdasarkan totalitas dan logika internal pbm.
Struktur pbm dikemukakan bersamaan interaksi pelaku-pelakunya dalam rangka
membangun pengetahuan berdasarkan model trialogue dari pbm. Seperti telah
disinggung dalam Pendahuluan, asumsi ini terutama berlaku atas interaksi tersebut
dengan pandangan bahwa setiap pelaku pbm mempunya hak prerogatif yang
diperlukan untuk memelihara kelangsungan interaksi tersebut dengan memberikan
hak prerogatif kepada pengajar untuk mengendalikan wacana dari pbm. Hak
prerogatif juga diberikan untuk memastikan keberhasilan pembelajar, yaitu berupa
hak untuk bertanya dalam rangka mengembangkan pemahamannya. Hak ini
diperlukan untuk menyehatkan hak mengendalikan pembelajar, karena keberhasilan
pengendalian tersebut banyak ditentukan oleh sikap kerja-sama pembelajar dalam
melaksanakan hak bertanyanya. Keseluruhannya adalah agar interaksi untuk

20

membangun pengetahuan berlangsung dengan merujuk pada nilai kebenaran yang


merupakan hak prerogatif dari materi-subyek.
Pemahaman atas permasalahan juga menempati posisi penting dalam sturktur pbm
yang sebenarnya adalah hasil pengembangan struktur pbm oleh analisis wacana.
Setiap pelaku merupakan wakil dari pandangan keilmuan: materi-subyek mewakili
disiplin ilmu murni, pembelajar mewakili disiplin psikologi, sedangkan pengajar
mewakili disiplin pedagogi. Interaksi untuk membangun pengetahuan dengan
demikian selalu dilatar-belakangi oleh disiplin keilmuan tersebut.
Pengembangan desain dengan demikian cukup dipermudah oleh analisis
permasalahan karena interaksi dapat dimanipulasi dengan jalan menjaga salah satu
dari pelaku pbm tersebut konstan, sedangkan yang lainnya dapat dibiarkan bervariasi
secara waja. Dengan demikian keseluruhan permasalahan pbm dapat dipilah menjadi
masalah-masalah yang cukup kecil yang lebih memadai untuk diteliti sesuai dengan
kendala waktu, biaya dan kerumitan masalah.
B. Definisi Pbm
Untuk memberikan suatu pandangan posisi dari pandangan penulis mengenai pbm,
perkembangan pandangan penelitian standar, analisis wacana, dan pedagogi materi
subyek perlu kiranya dikemukakan. Ketiga pandangan ini mewakili tahap-tahap
perkembangan dari pemahaman struktur pbm menurut konologinya. Perlunya
pemahaman atas perkembangan adalah untuk mendukung peranan materi-subyek
dalam pbm yang selama ini tidak muncul sebagai komponen yang secalan dengan
komponen lainnya.

21

1.

Pandangan Penelitian Standar

Sebagai upaya awal, definisi yang lebih operasional barangkali menolong sebagai ide
pembuka. Nampaknya, seperti telah disinggung diatas, Hopkins (1992), contohnya,
belum melihat peranan sentral dari komponen materi-subyek dalam PBM terlihat dari
konsentrasi pekerjaannya pada interaksi dan prilaku mengajar atau belajar.
Suatu tindakan yang diambil oleh guru atau koleganya untuk meningkatkan pengajaran,
menguji teori dalam praktek (hal.1).

Dari definisi ini, Hopkins sebenarnya kurang melihat konteks yang lebih mendasar
dari PBM yaitu mengkonstruksi pengetahuan menurut konteks kelokalannya.
Pandangannya cukup terikat pada penelitian tindakan, walaupun sudah menampilkan
langkah maju dalam melibatkan peranan teori dalam penelitian kelas. Pandangan
tradisional mengenai tugas pengembangan pbm adalah peningkatan pelaksanaannya
melalui, terutama studi kasus, disamping studi tindakan.
Tetapi secara umum pandangan totalitas dan logika internal PBM belum muncul,
terlihat dari pandangannya yang terutama adalah data empirik berupa observasi,
tetapi belum melibatkan interviu dan transkripsi sebagai sumber data.
Definisi Hopkins juga kurang menekankan fase pemetaan atau penemuan masalah
(fase eksplorasi) yang untuk sementara masih perlu mendasari penelitian kelas. Fase
ini diperlukan untuk memberikan kesempatan bagi pengajar mendokumentasi
pengetahuan praktis-mengajar. Pandangannya untuk langsung meningkatkan
(memperbaiki) pengajaran kiranya kurang menghargai pandangan PBM sebagai
budaya kelas.

22

2.

Pandangan Analisis Wacana

Dilain pihak, walaupun penelitian dapat juga melibatkan evaluasi, penelitian kelas
perlu menghindarinya karena PBM berlangsung didalam suatu budaya tertentu, yaitu,
budaya kelas. Peneliti perlu menghargai berbagai kendala yang pada batas tertentu
juga membentuk budaya sekolah. Kiranya, peneliti yang menerapkan suatu skala
penilaian sebagai dasar untuk membuat perbaikan, tanpa menghargai kendala yang
ada, merupakan tindakan yang mengabaikan totalitas permasalahan. Tugas utama
penelitian adalah mendeskripsikan PBM seakurat mungkin menurut kendala yang
sehari-hari harus dihadapi oleh pengajar dan pembelajar.
Definisi penelitian-kelas, seperti telah dikemukakan, juga perlu melibatkan peranan
materi-subyek karena kurangnya perhatian terhadap peranan ini telah menyebabkan
berbagai pendekatan terdahulu menemui jalan buntu. Peranan tersebut perlu
mendapat tempat tertentu dalam mendefinisikan penelitian-kelas.
Demikian juga topik (materi-subyek) jarang sekali dibicarakan didalam konteks interaksi
langsung muka dengan muka. Yang menjadi keperdulian sentral pakar sosiolinguist
adalah bagaimana pembicaraan yang diucapkan oleh pembicara diorganisasi dan
dipadu dalam berbagai cara, dan terdengar sesuai dengan situasi sosial (Stubbs, 1984:
44).

Sehubungan dengan pertimbangan diatas, peranan materi-subyek dalam pbm perlu


dibuat eksplisit sebagai salah satu komponen utama pembentuk PBM. Peranan ini
dinyatakan oleh proposisi-proposisi yang dikonstruksi oleh pembelajar dan pengajar
dan merupakan unsur pembentuk materi-subyek. Berbagai aspek yang membentuk

23

suatu penelitian dapat digunakan untuk mendeskripsikan berbagai masalah, tetapi


disini karena perhatian tertuju pada penelitian-standar aspek tersebut cenderung
diabaikan.
Sehubungan dengan pertimbangan diatas, dalam mendefinisikan penelitian-kelas
unsur-unsurnya perlu dipetakan terhadap penelitian-standar. Untuk maksud tersebut,
pemisahan penelitian-makro dan penelitian-mikro kiranya menolong untuk
merumuskan karakteristik penelitian-kelas. Diantaranya yang penting adalah
kenyataan bahwa penelitian-standar banyak dikembangkan oleh pakar psikologi
sosiologi pendidikan bukannya pakar pendidikan.
Pakar pendidikan merasakan bahwa pandangan pakar-luar diatas kurang memahami
secara dekat problema yang terdapat didalam kelas terutama yang dihadapi oleh
pengajar. Pada umumnya, pakar-luar tersebut berorientasi kuantitatif menggunakan
statistik (pendekatan probabilistik) sebagai dasar untuk membuat eksplanasi.
Penelitian-kelas di lain pihak umumnya dikembangkan oleh pakar ilmu sosial atau
wacana sosial dengan orientasi lebih pada PBM. Pendekatannya lebih berorientasi
kualitatif terutama analisis wacana, walaupun pendekatan ini kemudian dapat
dikuantitatifkan untuk memudahkan tugas menganalisis data.
3.

Pandangan Pedagogi Materi Subyek

Deskripsi penelitian kelas pada bagian sebelumnya meletakkan dasar bagi definisi
pendahuluan penelitian kelas; definisi yang lebih ketat dan formal sebenarnya masih
terlalu sulit karena konsep mengenai penelitian kelas itu sendiri berkembang
mengikuti pemahaman yang semakin mendalam. Diantaranya, ini menyangkut masih
belum memadainya deskripsi metodologi karena masih perlu mempertimbangkan inti

24

permasalahan PBM. Jadi, untuk sementara, definisi yang cukup memadai adalah
bahwa:
Upaya bersama dalam bentuk suatu antar-ketergantungan materi-subyek, pembelajar,
dan pengajar sehubungan dengan isu totalitas dan logika-internal dari tugas sosial
mengkonstruksi pengetahuan dari PBM.

Untuk memahami PBM, seseorang perlu melakukan observasi langsung/tak-langsung,


dan interviu untuk mendalami gejala-gejala yang muncul dari kondisi antar
ketergantungan.Observasi dan interviu perlu memelihara kondisi lingkungan alamiah
PBM dengan jalan menerapkan kehatian-hatian pandangan naturalistik yang
diantaranya dengan menghndari intervensi atau menekan dampaknya menjadi sekecil
mungkin. Agenda pengamatan seyogianya didasari oleh teori tertentu agar
pengumpulan data dapat mengacu pada sistim deskriptif tertentu. Sistim ini
merupakan pewujudan dari pandangan totalitas dalam menerapkan metodologi
penelitian kelas.
C. Antar-hubungan Komponen PBM
Keberhasilan PBM dalam meningkatkan pemahaman materi-subyek yang utuh dan
kritis berhubungan erat dengan upaya pengajar dan pembelajar untuk
mengkonstruksi kerangka-berfikir bersama. Upaya mengkonstruksi tersebut
diwujudkan melalui interaksi verbal dalam bentuk wacana antara komponenkomponen materi-subyek, pengajar, dan pembelajar. Istilah materi-subyek, pengajar,
dan pembelajar, di satu pihak, dan mengkonstruksi di lain pihak, masing-masing
adalah totalitas dan logika-internal dari PBM. Interaksi dari ketiga komponen totalitas

25

tersebut berlangsung berdasarkan hubungan ketergantungan yang saling


menguntungkan dengan melihat setiap komponen sebagai kewenangan wacana
menurut posisinya masing-masing. Kewenangan pengajar adalah sebagai pengendali
yang berkaitan dengan tugas menyelaraskan materi-subyek untuk meningkatkan
interaksi kelas. Kewenangan pembelajar adalah sebagai pemula yang berkaitan
dengan tugas memahami nilai kebenaran dari materi-subyek melalui interaksi kelas.
Kewenangan materi-subyek adalah sebagai rujukan nilai kebenaran bagi interaksi
kelas karena peranannya sebagai wakil disiplin ilmu.
Pandangan diatas nampaknya tidak sejalan dengan pandangan belajar aktif yang
yakin bahwa belajar yang melibatkan diskusi kelompok, proyek, dan pengalaman
langsung. Walaupun pandangan ini secara intuitif menarik dan diterima umum tanpa
ragu, tetapi bukannya tanpa masalah. Cukup mendasar untuk juga memperkirakan
bahwa belajar aktif juga mengandung maksud yang telah ditetapkan sebelumnya oleh
buku teks atau guru.
Barnes (1976), contohnya, menemukan bahwa walalupun pembelajar dilibatkan dalam
pembelajaran kolaboratif fan jelas menekankan keaktifan, ternyata pengajar
mempunyai wewenang penting dalam menentukan definisikan dan mengendalikan
bentuk wacana yang diperbolehkan selama pembelajaran. Strategi untuk
mencapainya termasuk pemihakan kepada jawaban pembelajar tertentu tetapi tidak
yang lain, dan mengajukan pertanyaan tertentu untuk mengarahkan pembelajar
kepada jawaban tertentu. Lebih jauh, ditemukan bahwa hanya sedikit pembelajar yang
dapat melihat prinsip yang ingin dimapankan melalui kegiatan. Lebih sering
pembelajar melakukan kegiatan tersebut hanya sebagai ritual yang harus diikuti untuk
menyenangkan guru. Gantinya berupaya untuk mengembangkan pengertian yang
26

asli, pembelajar hanya membuat perkiraan dan pendapat yang kiranya sesuai dengan
harapan pengajar.
Dari situasi diatas mungkin sukar menyimpulkan bahwa murid aktif membangun
pengetahuannya, sementara adalah guru yang mengetahui jawaban, mengemukakan
pertanyaan. Kedua peneliti tersebut nampaknya cukup tegas menyimpulkan bahwa:
Kebebasan pembelajar untuk mengemukakan pendapatnya sendiri sebagian besar
adalah ilusif; pengajar dengan tegas tetap memegang kendali atas apa yang
seharusnya dikatakan dan dilakukan, kesimpulan apa yang seharusnya dicapai,
interpretasi apa yang seharusnya diajukan atas pengalaman (hal. 807).

Jadi cukup beralasan untuk mempertimbangkan situasi yang lebih realistik mengenai
pelaksanaan pbm menurut pandangan wacana mengenai pedagogi kelas seperti
dikemukakan diatas. Kompleksitas pbm nampaknya perlu didekati dengan
mempertimbangkan subjektivitas setiap pelaku pbm, konteks sosial budayanya, dan
dasar trialogue dari interaksinya. Pendekatan sosiokultural berupa dasar trialogue ini
merupakan faktor pembeda terhadap pendekatan Piaget yang menekankan fungsi
kongnitif individual atau model pembelajaran psikologi lainnya. Dasar trialogue
tersebut juga merupakan pengoperasian dari asumsi pbm sebagai fenomena wacan
dan secara menyeluruh mewadahi subjektivitas pelaku pbm, dasar dialogikal dari
pembentukan makna sesuai dengan konteks sosio-kultural sekolah.
Berdasarkan dasar trialogue diatas, lebih jauh studi mengenai kehidupan kelas pada
ahirnya harus memperlihatkan logika-internal PBM yang membawahi interaksi
ketergantungan dari setiap pelaku pbm. Dasar trialgue tersebut dapat diungkapkan

27

berdasarkan motif atau tema pokok yang mengendalikan hubungan dialogikal


pengajar, pembelajar, dan materi-subyek.
Fungsi motif memudahkan analisis pembentukan makna menurut konteks kesehariharian dimana interkasi dialogikal berlangsung. Unit-unit tindakan yang membentuk
suatu motif adalah unit-unit wacana yang juga merupakan unit bersama setiap
komponen. Adanya unit analisis bersama ini merupakan fasilitas untuk
mengungkapkan hubungan antar-ketergantungan dari komponen-komponen dalam
PBM.
Tindakan seseorang sebenarnya merupakan hasil konstruksinya secara aktif
berdasarkan interpretasi terhadap kejadian di dalam lingkungannya. Mempelajari
tindakan seseorang perlu melibatkan perspektif yang mengendalikan (tetapi juga
dipengaruhi oleh) tindakan tersebut yang selanjutnya berkembang menjadi interaksi
sosial. Metodologi sosial yang sesuai untuk mempelajari tindakan tersebut adalah
etnografi. Seperti telah dikemukakan, etnografi digunakan untuk mempelajari interaksi
sosial tersebut dalam bentuk hubungan antar-ketergantungan secara alami
menggunakan observasi, partisipasi informal, dan percakapan sebagai metoda.
Untuk lebih memapankan pandangan diatas dengan kriteria totalitas dan logika
internal, hubungan ketergantungan komponen-komponen PBM dan konteks
sosialnya perlu dipetakan terlebih dahulu. Rumusan hubungan ketergantungan yang
dihasilkan oleh pemetaan tersebut menjadi dasar untuk selanjutnya memetakan PBM
kedalam area-area penelitian kelas.

28

Gambar 3.1
Model Trialogue PBM

Kurikulum

Presentasi
Pembelajar

Pengajar

Organisasi

Transformasi

Materi-subyek

Konteks

Hasil-Belajar

29

1.

Komponen Pengajar

Pandangan terhadap peranan guru dalam proses belajar- sangat beragam


bergantung pada latar belakang pakar. Terutama di tahun 70 hingga 80-an saat minat
dan perhatian para akhli terpaku pada teori belajar, seperti (Yinger, 1982):
(1) Studi motivasi belajar.
(2) Minat.
(3) Pertumbuhan.
(4) Kesiapan pembelajar.

Peranan guru diganti oleh paket-paket instruksional yang karenanya kurang


menghargai peranan aktif guru. Dasar teoretisnya adalah belajar aktif lebih unggul
dari pada belajar secara kelas yang umumnya didominasi guru.
Tetapi terlepas dari anggapan diatas, guru sebenarnya mempunyai peranan penting
dalam mendefinisikan dan mengendalikan bentuk wacana yang wajar selama
pembelajaran. Pengendalian tersebut diarahkan pada memberikan kemudahan pada
pemahaman yang lebih mendalam oleh pembelajar. PBM dapat diarahkan pada
pemahaman teori-teori untuk mengembangkan kemampuan membuat eksplanasi oleh
pembelajar dan menguji eksplanasi tersebut terhadap pengetahuan mereka yang
sudah ada.
Strategi yang dilakukan oleh guru untuk mewujudkan pemahaman tersebut dapat
mengambil bentuk:
(1) Mendukung interpretasi murid-murid tertentu, tetapi tidak untuk kelompok lain.
(2) Mengisyaratkan pembelajar mengenai pandangan tertentu.

30

(3) Memperkenalkan aturan tertentu untuk mengesampingkan kepincangan.


(4) Memudahkan pembelajar membuat pilihan untuk memastikan bahwa pandangan yang diinginkan
sesuai dengan kerangka waktu yang dialokasikan.

Secara ideal, pembelajar dapat mengupayakan sendiri pemahaman yang mendalam,


tetapi karena berbagai kendala yang ada di rumah maupun di sekolah sekarang ini
membuat upaya tersebut sukar. Bahkan sebagian besar pembelajar cenderung
kurang mempunyai kekuatan intelektual yang diperlukan untuk mewujudkan
pembelajaran aktif. Melalui wacana, peranan pengajar cukup penting dalam
membangun pemahaman pembelajar melalui upaya menyederhanakan proses
pemahaman teori yang prosesnya berlangsung dari abstrak ke konkrit (Varelas,
1996).
2.

Komponen Pembelajar

Pandangan etnografi terhadap proses mengkonstruksi ilmu selama pembelajaran


menginginkan agar PBM berlangsung lebih wajar. Terutama sehubungan dengan
materi-subyek, ini menyangkut (Louhglin, 1992):
(1) Apa yang telah diketahui,
(2) bagian yang sulit dan mudah, dan
(3) yang erat hubungannya dengan pengalaman.

Terhadap kepentingan siswa sendiri ini menyangkut:

31

(1) Kondisi kecemasannya,


(2) Bagian yang menarik, mendorong,
(3) Menantang hari depannya.

Sebagai kelompok belajar, pengajar perlu memperhatikan pembelajar sebagai:

(1) Individu dalam konteks perkembangannya.


(2) Rujukan yang cocok untuk memacu pembelajaran menurut kelompok prestasi.
(3) Waktu yang tepat pembelajar diberi arahan, melalui pengendalian.
(4) Saat yang tepat untuk mengurangi atau meniadakan pengendalian tersebut.

3.

Komponen Materi-Subyek

Komponen Materi-subyek berfungsi sebagai konten wacana dalam PBM. Istilah


konten disini mengambil pengertian umum, yaitu, media untuk berlangsungnya
kegiatan belajar-mengajar. Peranan sentral materi-subyek diwujudkan sebagai
komponen yang menjadi rujukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan:
(1) Pengajar merujuknya untuk mengorganisasi dan mempresentasi
pelajaran.
(2) Pembelajar merujuknya untuk memahami dan mengembangkan strategi
belajar tertentu.

32

Tugas pemetaan dengan demikian dapat diarahkan kepada deskripsi dari fungsifungsi ini.

D. Eksplanasi Ilmiah vs Eksplanasi Pedagogi


Gambaran diatas adalah mengenai komponen dari pbm yang belum mengungkapkan
antar-hubungannya secara lebih terfokus pada logika internal pbm, yaitu, tugas
membangun pengetahuan. Jika dilihat bahwa tugas utama pengajar adalah
memberikan suatu eksplanasi, maka pertanyaan yang perlu dikemukakan adalah
bagaimana bentuk eksplanasi tersebut. Dapat dipastikan bahwa bentuk tersebut tidak
memadai jika disamakan dengan bentuk yang digunakan oleh ilmuwan, karena, target
eksplanasi di dalam pbm adalah pembelajar yang status keilmuannya adalah pemula.
Dalam kegiatan belajar berikut, antar hubungan dari setiap komponen dipetakan
berdasarkan peranan sentral dari materi-subyek yang dilihat sebagai suatu hasil
transformasi ilmu yang dimiliki pakar menjadi suatu representasi tertentu yang cocok
dengan pembelajar sebagai target dari eksplanasi. Dikemukakan perlunya
pembedaan antara eksplanasi ilmiah dan eksplanasi pedagogi agar kesimpang-siuran
antara pandangan antara pakar ilmuan dan pakar pendidikan dapat dibenahi
walaupun baru pada tingkat konseptual.
Salah satu bentuk transformasi yang banyak mendasari penulisan buku teks adalah
model matematik menjadi model ikonik (metafor visual). Contohnya, transformasi
persamaan gelombang Schredinger menjadi teori orbital molekul menggunakan ikon
dumbell (halter). Fungsi pedagogi materi-subyek dari model ikonik tersebut terletak

33

pada kemampuannya untuk mengungkapkan kebenaran yang lebih dalam; jadi


penggunaannya menyangkut kemampuan eksplanasi yang lebih tinggi (Selley, 1989).
Gambar 5.2 menjelaskan hubungan antara eksplanasi ilmiah dan eksplanasi
pedagogik. Untuk pemula (mahasiswa) eksplanasi ilmiah perlu ditransformasikan
menjadi bentuk materi-subyek agar memenuhi kriteria mudah-diajarkan dan mudah
dijangkau. Mudah-diajarkan berhubungan dengan tugas manipulasi materi-subyek
agar materi-subyek sesuai dengan kondisi intelektual peserta didik. Mudah dijangkau
merujuk pada transformasi materi-subyek menurut kriteria psikologi pembelajaran.

34

Gambar 5.2.
Pemetaan Hubungan Antara
Eksplanasi Ilmiah dan Eksplanasi Pedagogi

Fungsi Sintaktikal
Fungsi Substantif
Konteks Disiplin

Pernyataan 1

Pernyataan 2

Pernyataan 3

Pernyataan 4

...........

Pernyataan n

Transfomrasi Fungsi Wacana kedalam


Model Teoretis atau Matematik

Eksplanasi

Rekan Sejawat sbg

Ilmiah

khalayak sasaran

Representasi

Materi-Subyek

Pembelajar sbg
Khalayak Sasaran

Pedagogikal

Psikologikal

TEACHABLE

ACCESSIBLE
Eksplanasi
Pedagogi
Konteks Pedagogi
Ketrampilan
35

Intelektual
Analisis
Wacana

Salah satu penerapan dari eksplanasi pedagogi adalah perlunya pengajar


menurunkan model representasi mengajar yang diperlukan dalam menyajikan materisubyek di depan kelas. Karena kendala waktu dan tuntutan untuk menolong
merekonstruksi kembali materi-subyek tersebut, pengajar dituntut untuk menemukan
suatu model representasi pengajaran. Model representasi ini dalam analisis wacana
diidentifikasi sebagai struktur makro yang dikendalikan oleh dimensi progresi dan
dimensi elaborasi (lihat Gambar 5.4.)

E. Logika Internal
Seperti halnya pada struktur ilmu, inti dari pengembangan ilmu adalah eksplanasi
ilmiah, dalam struktur pbm inti ini diperankan oleh eksplanasi pedagogi; masingmasing eksplanasi ini dapat dilihat sebagai representasi dari inti dari pekerjaan pakar
ilmuwan dan pakar pendidikan. Karnanya dapat djuga dirujuk sebagai logika internal
dari pbm yang menjadi inti dari pengembangannya: tugas besar dari pemahaman pbm
adalah pemahaman dari eksplanasi pedagogi dan selanjutnya ini dapat ditingkatkan
pada pengembangan pbm.
Dalam konteks yang lebih luas, pakar pbm perlu mempunyai pandangan tertentu
mengenai totalitas dari kehidupan kelas dan sosial-budaya sebagau lingkungan
36

kelokalan dimana makna dibentuk dan disepakati. Sebagai logika-internal, seperti


telah dikemukakan dalam bagian sebelumnya, inti dari permasalahan ini kiranya
cukup terselubung yang kurang dapat dipahami oleh pakar-luar karena
pengungkapannya hanya mungkin melalui pendekatan transdisiplin sejalan dengan
disiplin-disiplin yang diwakili oleh masing-masing komponen pbm.
Permasalahan rumusan mengenai fenomena PBM lebih jauh menyangkut
identifikasinya sebagai fenomena wacana kognitif yang tugas utamanya adalah untuk
membangun pengetahuan. Permasalahan instrumentasi menyangkut
pengorganisasian instrumen penelitian untuk meningkatkan kemampuan
menggalinya, yang disamping bersifat tidak merusak juga sensitif terhadap perubahan
antar-aksi komponen yang membentuk PBM.
Tujuan diatas diwujudkan melalui analisis fungsi eksplanasi ilmiah dan eskplanasi
pedagogi (pengembangan dari pedagogi materi-subyek) yang diperlukan untuk
membuka jalan kepada pengitegrasian tersebut. Jika hubungan ini dapat diformalkan,
pengintegrasian pengajaran pada berbagai strata (contohnya, school science,
elementry school science, dan mungkin juga teacher science, contohnya, Geddis,
1992) dapat dilakukan secara inferensial berdasarkan pedagogi materi-subyek dan
analisis wacana akademik.
1.

Model Representasi Mengajar

Pengorganisasian wacana dilakukan menggunakan unit wacana yang dalam hal ini
adalah proposisi (Van Dijk dan Kintsch, 1983), karena ikatan wacana dan materisubyek yang tidak dapat dipisahkan. Tetapi, pengertian proposisi perlu dilonggarkan
dari pengertiannya tindakan pengukuhan menjadi pengertian upaya pengukuhan

37

agar penggunaan proposisi tetap sejalan dengan tugas mengkonstruksi ilmu di dalam
kelas. Pekerjaan mengkonstruksi ini berlangsung antara pengajar dan pembelajar,
dengan pembelajar menempati posisi pemula, sedangkan pengajar sebagai otoritas
mewakili ilmuan.
Gambar 5.4 menampilkan secara komprehensif Model Representasi Mengajar
berdasarkan argumentasi Toulmin (1957), walaupun tidak secara eksplisit
memisahkan fenomena dari teori yang menjelaskan fenomena untuk mendukung
klaim. Belakangan ini pekerjaan Toulmin semakin mendapat dukungan empirik.
Chambliss (1995) menunjukkan bahwa pembaca mempunyai kemampuan mengenal
struktur argumen teks; atau, pembaca juga mampu membangun komponen bila klaim
tidak eksplisit model tersebut terutama dibentuk oleh struktur-makro dan strukturmikro suatu wacana. Interaksi aspek sintaktikal dan aspek substantif dinyatakan oleh
proposisi (P-N) dan garis penghubung proposisi. Dimensi progresi mengalurkan
proposisi menurut urutan realisasi motif. Dimensi organisasi diperankan oleh dimensi
Elaborasi yang mengatur hubungan organisasi struktur-makro atau struktur-mikro
yang dalam hal ini diwakili oleh proposisi P-N dan S-n.

Gambar 5.4
Model Representasi Mengajar

TOPIC

Elaborasi
P-I

P
r
o

S-1

38

g
r
e
s
i

P-II
S-2

S-3

S-4
P-III
P-IV

S-6

S-7

S-8

S-9
P-V
S-10

S-11

S-12

Organisasi makro-mikro yang merupakan unit analisis diturunkan berdasarkan kriteria


Frederiksen (1987) dan Kintsch & van Dijk (1987). Kriteria tersebut mensyaratkan
kejelasan antar hubungan unit-unit teks dan ketepatan struktur pengetahuan pada
berbagai tingkat. Kriteria pertama dicapai melalui pentahapan wacana menurut
dimensi progresi, sedangkan kriteria kedua melalui pengembangan materi-subyek
menurut dimensi elaborasi.
Tugas utama dalam analisis-wacana adalah mengorganisasi unit terkecil, proposisimikro (pengukuhan yang mewakili struktur permukaan teks) menjadi unit yang lebih
besar, proposisi-makro yang secara berulang-ulang dapat digabung menjadi
proposisi-makro pada berbagai tingkat abstraksi yang ahirnya menjadi proposisiglobal. Dilihat sebagai fungsi realisasi motif, keseluruhan organisasi proposisi yang
dihasilkan, disebut struktur-makro, adalah jaringan kerja tema (representasi materisubyek) yang berhubungan secara super-ordinat (hubungan keatas), subordinat
39

(hubungan kebawah) dan koordinat (hubungan mendatar). Analisis-wacana dengan


demikian menjadi dipermudah oleh dua bentuk keteraturan yang saling mengisi, yaitu,
urutan proposisi-makro hasil realisasi motif dan keteraturan materi yang dikendalikan
oleh materi-subyek.
Menurut analisis-wacana, motif direleasiasikan menurut dimensi vertikal dan
horisontal. Realisasi vertikal menyangkut tindakan-makro yang diterapkan dalam
rangka mewujudkan tujuan dari suatu wacana (dimensi progresi) dan tindakan makro
menurut organisasi tema (dimensi elaborasi). Hubungan sekuensial tindakan-makro
didalam dimensi progresi menentukan struktur wacana, sedangkan hubungan antar
tindakan makro didalam dimensi elaborasi menentukan struktur materi-subyek yang
dibentuk dalam wacana
Model Representasi Mengajar dengan demikian meletakkan dasar untuk
mengkonstruksi ilmu yang dipetakan dari hasil transkripsi kegiatan belajar-mengajar.
Pendalaman makna diperoleh dari analisis tindakan yang diterapkan terhadap materisubyek yang dapat berupa tindakan intelektual menginformasikan dan mendalami.
Segmentasi transkripsi kedalam unit-unit wacana dilakukan berdasarkan penanda
batas wacana.
2.

Rumusan Logika Internal PBM

Deskripsi Pengetahuan Konten Pedagogikal (Pedagogical Content Knowledge) yang


disarankan oleh Shulman (1987) ditempuh melalui observasi langsung pelaksanaan
mengajar oleh guru berpengalaman di dalam kelas. Tetapi sudah dapat diperkirakan
bahwa kemungkinan untuk menemukan logika-internal PBM dari pengamatan tersebut
adalah kecil karena bragamnya pelaksanaan tersebut. Walaupun keragaman ini

40

penting, tetapi logika internal yang mengendalikannya menjadi sukar dipisahkan


karena pembaurannya dengan berbagai aspek seperti yang dikemukakan dalam
bagian II.C.2 (Eksplanasi Ilmiah vs Eksplanasi Pedagogi).
Istilah logika-internal merujuk kepada sesuatu yang menjadi sumber dari gejala yang
dapat diamati pada permukaan suatu fenomena. Penggunaan istilah logika internal
dimaksud untuk mengingatkan kemungkinan peneliti terkecoh oleh gejala-gejala
permukaan karena pemunculannya beragam mengikuti situasi, kendala, dan lokalitas
dari permasalahan.
Untuk mengatasi pengecohan tersebut, logika internal PBM perlu dikaitkan dengan
dasar epistemologi dari penggabungan pedagogi umum dan materi-subyek. Dasar ini
nampaknya terlepas dari perhatian Shulman. Seperti telah dikemukakan pada Bagian
II.B.2., tanpa memusatkan perhatian pada epistemologi ini, upaya untuk menemukan
logika internal yang mengendalikan keragaman pelaksanaan mengajar menjadi sulit.
Totalitas PBM yang telah dikemukakan dalam Bagian II.D., juga perlu menjadi batasan
berfungsinya logika internal: logika internal baru dapat dirumuskan jika PBM dilihat
sebagai hubungan antar-ketergantungan dari komponen-komponen PBM. Interaksi
yang membentuk hubungan ketergantungan tersebut juga perlu dipusatkan pada
interaksi kognitif yang dapat dianggap wadah perwujudan dari logika internal. Lebih
tepat, dapat dikatakan bahwa interaksi kognitif tersebut dikendalikan oleh logikainternal.
Produk dari pengendalian tersebut mewujud sebagai Model Reperesentasi Mengajar
seperti telah ditampilkan dalam Gambar 5.4. Jika diperhatikan, pengendalian tersebut
diwujudkan melalui tindakan pengajar terhadap materi-subyek dan tindakan responsif

41

pembelajar terhadap tindakan pengajar tersebut. Tetapi karena tindakan pengajar


dapat juga tidak langsung terhadap materi-subyek, yaitu, yang berkaitan dengan
tugas sosial mengkonstruksi pengetahuan, keseluruhan tindakan yang diambil dalam
rangka mengkonstruksi ilmu perlu dibedakan sebagai tindakan wacana.
Jadi, disamping tindakan pengajar dan pembelajar diatas, tindakan wacana juga
mencakup tindakan pedagogi pengajar terhadap pembelajar untuk meningkatkan
partisipasi. Tindakan ini sejalan dengan istilah scaffolding-nya Ausubel (1968)
mengenai bagaimana menolong pembelajar membangun pengetahuan. Istilah
tersebut diambil dari konsep kerangka penopang yang digunakan oleh pekerja dalam
menegakkan suatu bangunan. Dalam PBM konsep scaffolding ini merupakan dasar
untuk merumuskan tindakan pedagogi yang dilaksanakan oleh pengajar untuk
menopang pemahaman.

F. Pengenalan dalam Masalah PBM


Berdasarkan hubungan antar ketergantungan dari proses mengkonstruksi
pengetahuan setiap permasalahan yang diangkat dalam suatu penelitian dapat
dipetakan dalam model trialogue dari PBM. Sudah dapat diperkirakan bahwa
komponen pengajar selalu mendapat peranan yang kurang penting atau bahkan tidak
dilibatkan. Kecenderungan ini muncul karena terlalu dominannya teori pembelajaran
dalam upaya mengembangkan PBM. Jadi pengembangan masalah kearah
pengajaran merupakan upaya yang perlu untuk mengimbangi kecenderungan
tersebut dan memperbaiki gambaran yang terdistorsi oleh fokus yang penekanan
terhadap komponen pembelajar.

42

Disamping pengembangan secara menormalkan hubungan antar-ketergantungan


yang saling menguntungkan seperti disinggung diatas, pengembangan yang lebih
mengarah pada penghalusan dapat menyertakan konstruk-konstruk teoretis yang
merupakan deskripsi dari setiap komponen. Contohnya, untuk komponen pembelajar,
konstruk teoretis ini adalah bertanya, menjawab, atau bingung yang dapat dilihat
peranannya dengan menjaga agar konstruk lainnya dari masing-masing komponen
secara sistematis dibuat tidak bervariasi untuk melihat peranan konstruk pembelajar
tersebut secara sendiri-sendiri atau secara bersamaan.
skripsi peningkatan yang dimaksud adalah dalam pengorganisasian kembali
permasalahan menurut komponen dan konstruknya. Peneliti berada pada posisi yang
menguntungkan karena model trialogue tersebut mempunyai kapasitas yang cukup
besar untuk mengemulasi setiap permasalahan PBM. Potensi ini terlihat dari
kemampuannya untuk mengadaptasikan satu permasalahan menjadi 27 variasi hasil
dari interaksi dari dimensi pengajar, dimensi pembelajar, dan materi-subyek. Jika arah
interaksi juga melibatkan pilihan mana yang dijadikan sebagai eksplanan atau
eksplanandum, variasi tersebut meningkat menjadi 54.
Berarti, topik-topik penelitian skripsi sangat kaya, tetapi hubungan yang satu terhadap
yang lain mengikuti suatu variasi yang sistematik. Ke-54 variasi tersebut masih dapat
diintegrasikan menjadi satu penelitian. Pengintegrasian seperti ini kurang potensil
dilakukan jika tidak didasarkan pada hubungan antar-ketergantungan dari setiap
komponen, yaitu logika internal dari permasalahan PBM.

43

Gambar 2.2
Pemetaan Masalah

Permasalahan: Pemahaman mengenai tekanan udara


Tujuan: Mendeskripsi Konstruksi Pengetahuan

Pemetaan:
Tekanan
Udara

Topik apa yang memadai?


Materi-subyek

Bgm mengungkapkannya
secara utuh?

Strategi

Rekonstruksi

Presentasi

Bgm mewujudkan topik?

Apakah

berpengalaman?
Pembelajar

Strategi

Pengajar
Apa bentuknya?

Konteks

44

Siapa yang terlibat?

Hasil Temuan

1.

Pemetaan Permasalahan

Sebagai upaya awal, pemetaan permasalahan adalah juga intelektualisasi


permasalahan dengan mencoba merumuskan hubungan antar ketergantungan dua
komponen menurut konstruk teoretis dari permasalahan. Lebih lanjut, antar-hubungan
ini masih memerlukan identifikasi salah satu dari komponennya sebagai eksplanan
yang akan dibiarkan bervariasi. Contohnya, jika hubungan-ketergantungan tersebut
adalah antara materi-subyek dan pembelajar, terdapat dua kemungkinan, jenis studi
yaitu:
1. Studi miskonsepsi, jika yang menjadi eksplanan adalah materi-subyek (dibuat bervariasi
menurut peralihan konsep dari konkrit ke abstrak dan dari sederhana ke kompleks), dan
yang dengan sendirinya pembelajar dibuat tidak bervariasi (siswa saja, atau siswa dan siswi
dengan latar belakang yang sama).
2. Studi kesulitan belajar, jika yang menjadi eksplanan adalah pembelajar yang dapat dibuat
bervariasi, sedangkan materi-subyek tidak dengan menentukan topik tertentu.
Terlihat dari contoh diatas, intelektualisasi permasalahan menyangkut penentuan
fokus (eksplanan) dan kerangka teori (miskonsepsi atau kesulitan belajar). Tetapi

45

intelektualisasi yang lebih menyeluruh adalah memperkirakan jenis penelitian


berdasarkan fokus dan kerangka teori dari permasalahan.
2.

Pertanyaan Penelitian

Hasil intelektualisasi permasalahan selanjutnya membuka jalan kepada penghalusan


permasalahan kedalam pertanyaan penelitian berdasarkan fokus yang telah
ditentukan. Mengembangkan pertanyaan tersebut dilakukan berdasarkan pandangan
yang sistematik terhadap solusi terhadap permasalahan. Jawaban yang sebenarnya
memerlukan jawaban pendukung yang dirumuskan dalam bentuk pertanyaan. Jadi
peneliti seolah-olah bekerja mundur ke dasar permasalahan untuk memantapkan
jawaban terhadap permasalahan.
Pertanyaan penelitian juga diperkirakan dari fokus permasalahan yang masih
memerlukan penajaman berdasarkan konstruk-konstruk dari setiap komponen. Jadi
pertanyaan penelitian dapat dirumuskan berdasarkan konstruk-konstruk tersebut yang
pengorganisasiannya sejalan dengan desain yang telah diperkirakan dalam analisis
pendahuluan.
3.

Penentuan Area Penelitian

Dari pemilihan komponen-komponen yang dilibatkan dalam penelitian, langkah


penting selanjutnya adalah menentukan area penelitian. Terdapat kemungkinan
bahwa studi miskonsepsi, contohnya dapat diteliti menurut area eksplanasi atau area
praktikum. Dalam area eksplanasi miskonsepsi diteliti berdasarkan tugas pemecahan
masalah oleh siswa; data yang digunakan adalah proses pemecahan masalah yang
ditermpuh (verbal atau tertulis). Dalam area praktikum, siswa dihadapkan pada

46

percobaan dan memperkirakan solusi terhadap masalah yang diperagakan oleh


praktikum tersebut.
G. Pengalihan Analisis ke dalam Aspek Metodologi
1.

Pengembangan Desain

Desain yang telah diperkirakan dalam analisis permasalahan (eksperimen, deskriptif,


komparatif) sekarang dapat dibuat lebih rinci dengan menyebutkan secara khusus
subyek penelitian, jenis informasi yang diinginkan, bagaimana memperolehnya,
bagaimana mempersiapkannya, dan bagaimana menganalisisnya. Organisasi dari
sumber informasi dan metoda untuk memperoleh dan mengolahnya membentuk
desain studi (apakah studi kasus, studi tindakan, studi eksperimen kelas, atau
evaluasi).
Pengembangan desain juga menyangkut bagaimana menjaga keabsyahan dari data
yang diperoleh dan kesimpulan yang dapat diturunkan dari hasil analisis.
Pengembangan ini diwujudkan melalui pemilihan metoda-metoda pengumpul data
yang akan dilibatkan dan bagaimana mengorganisasikannya. Contohnya bagaimana
mengorganisasikan data hasil observasi dengan hasil interviu; atau data hasil tes
dengan hasil observasi berupa transkripsi dlsb.

A. Pengembangan Masalah
Langkah-langkah yang membentuk pengembangan masalah dapat dideskripsi
sebagai berikut:
(1) Analisis Pendahuluan
47

(2) Intelektualisasi Permasalahan, contohnya fokus, kerangka teori, modus


penelitian.
(3) Pertanyaan Penelitian
(4) Penentuan fokus terhadap, contohnya, apakah pengajar, pembelajar,
atau materi subyek.
(5) Penentuan Area Penelitian
(6) Pilih dua komponen PBM yang diminati, komponen ketiga sebagai
kondisi hubungan dari kedua komponen tersebut.
(7) Tentukan Tema Penelitian
(8) Komponen mana yang berlaku sebagai yang dijelaskan, untuk
menentukan jenis penelitian.

B. Pengembangan Desain
Langkah-langkah yang membentuk pengembangan desain dapat dideskripsi sebagai
berikut:

(1) Tentukan Kerangka Kegiatan


Apakah kelompok memecahkan masalah oleh pembelajar, atau PBM
menggunakan ceramah dan demonstrasi?
(2) Tentukan Tugas informan
Mengikuti tes, mengamati, menjawab pertanyaan, melaporkan, dslb.
48

C. Pengembangan Metodologi
Langkah-langkah yang membentuk pengembangan metodologi dapat dideskripsi
sebagai berikut:

(1) Tentukan Rencana Pengumpulan Data.


Apakah didahului dengan tes, observasi, dan interviu, atau tanpa tes?
(2) Tentukan Rencana Analisis.
Bagaimana cara mengorganisasi, mengolah, dan menyimpulkan
temuan.
Jadi, sehubungan dengan dasar emulasi dari pengembangan proposal atau penelitian

2.

Implementasi

Untuk membuat analisis permasalahan lebih realistis berikut ini ditampilkan dua
ilustrasi di bidang pengajaran dan di bidang pembelajaran. Keduanya diturunkan dari
model trialogue PBM dengan pembedaan hanya pada fokus penelitian. Keadaan ini
menunjukkan peranan penting dari model trialogue tersebut dalam penelitian kelas
walaupun area penelitian yang tidak langsung berperan sebagai komponen dari
model. Jika suatu area tidak langsung merupakan komponen model, area ini dapat
diidentifikasi sebagai sub-komponen dari komponen yang sesuai.
Area lainnya dapat dipelajari berdasarkan salah satu dari ilustrasi yang diberikan
dibawah ini dengan mengidentifikasi sebagai pengajaran atau pembelajaran.
49

H. Bagaimana Mengembangkan PBM


Sejalan dengan pandagan pedagogi materi-subyek, pengembangan pbm,
sebagaimana juga disarankan oleh Shulman (1987) dimulai dengan pengamatan
kegiatan mengajar guru. Tetapi terdapat perbedaan penting dalam pendekatan
pedagogi materi-subyek, yaitu hasil observasi tidak langsung menjadi hasil temuan,
melainkan baru merupakan sumber informasi yang melalui analisis wacana perlu
diubah menjadi struktur pengajaran. Struktur ini disebut struktur makro yang sudah
mendekati repertoire mengajar, karena hasil termuan sudah diabstraksi menurut
tindakan wacana dan struktur ilmu dari wacana pbm yang diamati.
1.

Repertoire Mengajar

Gambar 5.2. menampilkan siklus penghalusan repertoire mengajar menurut


komponen-komponen PBM. Setiap komponen, yaitu kotak-kotak yang dihitamkan,
dilengkapi dengan fungsi-fungsi bagiannya. Contohnya, fungsi bagian dari Fungsi
Konstruksi Pengajar adalah menginformasikan, bertanya, dan mengarahkan. Fungsi
yang lebih bawah mewadahi fungsi yang lebih atas.
Pada tahap analitikal untuk maksud diagnostik, artikulasi penghalusan dimulai
dengan komponen yang menjadi fokus. Komponen ini menjadi konstruk yang ingin
dijelaskan oleh fungsi-fungsi bagian dari komponen lainnya. Jika fungsi bagian
menginformasikan yang menjadi fokus, maka fungsi-fungsi bagian dari Fungsi
Konstruksi Materi-Subyek dan Fungsi konstruksi Pembelajar menjadi yang
menjelaskan. Begitu seterusnya secara artikulatif, hingga Fungsi Konstruksi Pengajar
dideskripsikan seluruhnya.Pada tahap kritikal, secara utuh repertoire mengajar
dideskripsikan tidak lagi secara fungsi bagian, melainkan secara kesatuan dari Fungsi

50

Konstruksi Pengajar dengan melihat bagaimana fungsi-fungsi bagian berinteraksi


dalam bentuk wacana. Tahap ini diperlukan untuk memperkirakan hubungan antarketergantungan dari setiap komponen. Contohnya, untuk melihat bagaimana pengajar
mengolah model teoretis (fungsi substantif) dari materi-subyek menjadi model
representasi mengajar (fungsi mengarahkan) yang dapat berupa analogi, untuk
memperbaiki salah konsep pembelajar.

Gambar 5.5
Penghalusan Repertoire Mengajar

Menginformasikan
Bertanya
Mengarahkan
Membatasi

Fokus

Fungsi konstruksi
Pengajar

Konten
Substansi

Fungsi Konstruksi

Hasil Konstruksi

Materi Subyek

Bersama

Sintaktikal
Tes

51

Interviu

Fungsi Konstruk-si
Pembelajar
Bertanya

Menjawab
Bingung

Tahap Refleksi, kotak tebal paling kanan, berfungsi untuk memperkirakan seberapa
jauh repertoire mengajar telah memadai. Jika hasil perkiraan belum memadai, maka
siklus dimulai kembali dari awal, tetapi jika telah dianggap memadai, maka
keseluruhan siklus dapat diahiri.
2.

Peranan Pengajaran terhadap Pembelajaran

Komponen maupun fungsi-fungsi bagian dalam siklus kedua adalah sama dengan
siklus pertama; yang berbeda adalah fokus. Yang menjadi fokus yang dalam siklus ini
adalah Fugnsi Konstruksi Pembelajar. Sebagai komponen yang dijelaskan, Fungsi
Konstruksi Pengajar berjalan mengikuti kualitas fungsi bertanya, fungsi menjawab,
adanya tidaknya kebingungan. Contohnya, jika fungsi bertanya dan fungsi menjawab
telah berjalan dengan memadai terlihat dari kualitas substansinya, ini merupakan
indikasi bahwa upaya pengajar sudah memadai. Untuk mengukuhkan ini, informasi
dari hasil evaluasi dan interviu (dilakukan diluar PBM) dari Hasil Konstruksi dapat
digunakan.

52

Gambar 5.6
Siklus Pertama: Penghalusan Repertoire Mengajar

Menginformasikan
Bertanya
Mengarahkan
Membatasi

Fungsi konstruksi

Pengajar

Konten
Substansi

Fungsi Konstruksi

Hasil Konstruksi

Materi Subyek

Bersama

Substansi
Tes

Interviu

Fungsi Konstruk-si
Pembelajar

Bertanya
Menjawab

53

Fokus

Bingung

Tahap-tahap yang diberlakukan dalam siklus pertama juga diberlakukan dalam siklus
kedua. Pada tahap analitikal, fungsi bertanya dari pengajar diutamakan agar
pembelajar melaksanakan fungsi menjawab, dan materi dari jawaban digunakan
untuk mendeteksi kesalahan-kesalahan konsep. Pada tahap kritikal, fungsi
mengarahkan diutamakan untuk menggiatkan fungsi bertanya pembelajar untuk
mencoba memperbaiki kesalahan konsep. Pada tahap refleksi, fungsi membatasi
pengajar diaktifkan melalui penampilan pemecahan masalah untuk menggiatkan baik
fungsi bertanya maupun fungsi menjawab dari pembelajar. Fungsi membatasi
bertugas merangkai setiap konsep-konsep pembentuk kedalam suatu konsep utama
secara lebih tegas.

54

IV. INTERAKSI KELAS DALAM PBM

A. Pendahuluan
Pandangan pedagogi materi-subyek ingin membawa pengertian interaksi pbm
yang selama ini dibatasi pada kegiatan yang mudah diamati (observable) ke
lingkungan kognitif dari kegiatan bersama membangun pengetahuan. Berbeda
dengan pandangan sosiolinguistk yang membatasi diri pada interaksi verbal yang
nampak sebagai isi ucapan dan pandangan analisis wacana yang telah mencakup
struktur wacaba interaksi, pandangan pedagogi materi-subyek menambah kriteria
logika internal yang mengendalikan interaksi. Fenomena interaksi dengan
demikian adalah fenomena mentalistik yang membawa pengertian interaksi ke
pengertian engagement, atau kebersamaan antara ketiga pelaku antara ketiga
pelaku pbm. Berarti, interaksi adalah suatu partisipasi internal yang tertuama
bersifat mentalistik yang membawa kegiatan interaksi tesebut ke dalam suatu
lingkungan kognitif.
Pegertian diatas sejalan dengan pengamatan Cohen dan Hosenfeld (1981)
mengenai upaya yang dilancarkan oleh guru untuk meningkatkan interaksi
membangun pengetahuan:
... nampaknya berada dalam batas 25% hingga 82%, tergantung atas, diantaranya,
usia dan menarik tidaknya materi. Kelihatannya, rata-rata 50% siswa mengikuti
materi pelajaran, tetapi selebihnya, sebagian besar berdiam dengan hanya
mengulangi materi tersebut bagi dirinya sendiri.

Walaupun gambaran ini kurang mendukung, karena baru merupakan upaya awal,
namun dalam konteks proses mengkonstruksi pengetahuan gambaran tersebut
lebih realistis.
Cara yang lebih wajar untuk menggambarkan proses tesebut adalah dengan
memisahkan dimensi progresi dan dimensi elaborasi dari interaksi untuk lebih
memerankan peranan materi-subyek. Tugas mengendali pengajar dalam pbm
berdasakan pemisahan tersebut sejalan dengan upaya untuk memelihara
partisipasi internal dengan jalan (Long, 1983):

(1) Mencek pemahaman, pengajar ingin memastikan bahwa pembelajar


memahami temuan-temuan dalam pembicaraan.
(2) Mencek ketepatan, pengajar ingin memastikan bahwa pemahaman
yang dikembangkan sudah benar.
(3) Mencek kejelasan, pengajar ingin memastikan bahwa pertanyaan
yang diajukan sudah dipahami.
Jika interaksi hanya didasarkan pada aspek sosiolinguistik ataupun struktur
wacana, peranan logika internal menjadi tidak tampil dalam struktur ini. Proses
membangun pengetahuan oleh pelaku-pelaku pbm tidak dapat diungkapkan yang
sebenarnya merupakan titik berat dari interaksi.
Bab ini membahas interaksi kelas menurut perspektif wacana, tetapi dengan
meyertakan materi-subyek ke dalam interaksi verbal dengan melihat perannya
sebagai subyek komunikasi. Pelibatan aspek materi-subyek kedalam pandangan
wacana bukanlah sesuatu yang dipaksakan, karena secara intrinsik merupakan
bagian dari wacana dengan perannya sebagai topik dari wacana. Jadi upaya ini

bukan memasukkan sistim baru kedalam sistim linguistik, melainkan mengangkat


peranan materi-subyek sebagaimana layaknya menurut fungsi elaborasi disamping
fungsi progresi dari tugas membuat eksplanasi.
Bagian berikut dimulai dengan deskripsi bagaimana interaksi kelas berkembang
mulai dari pekerjaan Flanders dari pandangan sosiolinguistik yang kemudian
dikembangkan menjadi pandangan wacana untuk ahirnya menjadi model trialogue
dari pedagogi materi-subyek. Ketiga pandangan ini berbeda dalam tingkat
pengungkapan makna berdasarkan unit-unit yang diberlakukan dalam analisis
mulai dari unit ucapan yang dilihat sebagai prilaku verbal oleh Flanders ke unit
wacana dalam unit move dari Fanselow ke unit proposisi dari model trialogue
B. Penelitian Interaksi Kelas
Dasar Interaksi kelas diambil dari pekerjaan Flanders (1970) Verbal Interaction
Category System (VICS). Belakangan ini penelitian pengungkapan pbm
menggunakan VICS praktis berhenti karena dasar pandangannya yang terlalu
sederhana mengena wacana kelas. Sangatlah tidak memadai jika pemenggalan
dilakukan berdasarkan penggalan waktu tanpa memperhatikan unit-unit wacana
yang sebenarnya mengendalikan interkasi. Disamping, cara ini juga mengabaikan
makna yang lebih dalam dari sekedar prilaku verbal yang sebenarnya merupakan
penerapan pandangan behaviorisme dalam penelitian kelas. Karena pandangan
behaviourisme telah kehilangan kekuatan intelektualnya, VICS juga tidak
terkecuali.
Namun, jika interaksi kelas dapat secara epistemologi dihubungkan dideskripsi
juga menurut konten dari wacana, peranan VICS dapat menolong dalam
menggambarkan hubungan ketergantungan komponen-komponen PBM.
Pekerjaan yang rumit dan sulit ini telah diletakkan dalam peranan struktur ilmu
3

dalam eksplanasi pedagogi berdasarkan hubungan aspek sintaktik dan aspek


substantif keilmuan. Pewujudannya adalah melalui hubungan struktur ilmu dan
struktur wacana yang dipadukan melalui dua dimensi yang saling mempengaruhi
dalam suatu eksplanasi. Dimensi progresi mewadahi implementasi motif yang
banyak dikendalikan oleh metakognisi (pengetahuan seseorang mengenai
ketrampilannya) terhadap pengetahuan sintaktikal, sedangkan dimensi elaborasi
mewadahi pengembangan materi-subyek yang banyak dikendalikan oleh
pengetahuan substantif.
Deskripsi wacana berdasarkan motif memudahkan sistemasisasi bentuk-bentuk
wacana yang dikembangkan oleh pengajar. Contohnya, motif tersebut dapat
berbentuk keinginan untuk menyampaikan (informing), menjelaskan (eliciting), atau
mengarahkan (directing), yang keseluruhannya dapat dilakukan dalam bentuk
tanya-jawab. Yang membedakan ke-4 motif ini adalah tujuan tindakan pengajar
terhadap materi-subyek yang masih dipengaruhi oleh situasi dan keterbatasan
pemahaman pembelajar.
(1) Motif Menginformasikan (informing), terwujud dalam bentuk ucapan yang
mengukuhkan adanya suatu kebenaraan dalam bentuk proposisi,
contohnya mendeskripsikan suatu objek atau kejadian.
(2) Motif Menggali (eliciting), terwujud dalam bentuk ucapan yang
memapankan logika kebenaran dari hubungan antar-proposisi, contohnya,
membandingkan dua kebenaran.
(3) Motif Mengarahkan (directing), terwujud dalam mengalihkan proposisi
menjadi realisasi suatu tindakan, contohnya, instruksi bagaimana
membandingkan dua kebenaran.

(4) Motif Membatasi (boundary marking), diwujudkan melalui penggunaan


pembatas wacana, contohnya, baiklah, hingga disini, berikutnya, dlsb.

Peranan penting pedagogi materi-subyek adalah dalam menjaga agar guru-guru


tidak salah-merepresentasikan disiplin ilmu yang diajarkannya. Upaya Ini ditempuh
dengan mendefinisikan transformasi epistemologi lebih eksplisit menggunakan
fungsi ketrampilan intelektual. Jadi, permasalahan utama adalah bagaimana
merumuskan eksplanasi yang secara eksplisit menampilkan antar-hubungan
dimensi sintaktikal (ketrampilan intelektual) dan dimensi substantif (berupa struktur
konsep dan teori) dalam suatu representasi.
Dalam Analisis wacana akademik pengungkapan transformasi epistemologi
diwujudkan menggunakan prinsip meta-redundancy. Prinsip ini mengatur
bagaimana disiplin keilmuan yang diturunkan dari suatu disiplin yang lebih tinggi
membentuk hubungan realisasi. Tetapi, setelah ilmu tersebut memapankan
tradisinya sendiri, ilmu ini mengalami diversifikasi dengan menyerap ilmu lain
mengikuti proses meta-redundant. Sehubungan dengan penelitian kelas,
hubungan realisasi diwujudkan melalui rekonstruksi disiplin ilmu menjadi materisubyek oleh pakar, sedangkan hubungan diversifikasi melalui peranan pedagogi
materi-subyek dalam mengembangkan materi-subyek tersebut ke lingkungan
pendidikan lainnya.
C. Metoda Fanselow
Aspek sosial yang erat hubungannya terhadap kehidupan kelas adalah interaksi
antara pengajar dan pembelajar atau diantara kelompok pembelajar sendiri. Upaya
Flanders (1970) yang cukup terkenal dalam mencoba merumuskan interaksi ini
diwujudkan dalam Verbal Interaction Category System (VICS) atau Sistem Kategori
5

Interaksi Verbal. Sistem ini menggunakan skala tunggal yang terdiri atas 10
kategori untuk memetakan kejadian-kejadian interaktif dalam PBM. Ke-10 kategori
tersebut dapat dirinci lebih jauh kedalam 3 sub-kategori masing-masing
berhubungan dengan prilaku pengajar, prilaku pembelajar, dan keadaan kelas noninteraktif. Sub-kategori prilaku pengajar dibagi lebih jauh kedalam Pengaruh
Langsung dan Pengaruh Tak-langsung yang maksdunya untuk memasukkan
pandangan bahwa pengaruh tak-langsung lebih memacu pembelajar.
Metoda kuantitatif yang mendasari VICS, sayangnya, membatasi analisis pada
count and predict (hitung dan ramalkan); ini menyebabkan kualitas interaksi kurang
menampilkan makna pedagogi dari PBM. Minimnya dasar teori yang digunakan
nampaknya membatasi kemampuan VICS untuk mengungkapkan arti penting
interaksi sosial dari PBM. Arti penting VICS hanya pada peranan tak-langsung dari
prilaku pengajar; yaitu, pengajaran yang berhasil ditandai oleh frekuensi yang lebih
besar pada prilaku tak-langsung. Peranan wacana dari interaksi tersebut dalam
konteks sosial dari konstruksi pengetahuan tidak dilibatkan.
Kelemahan dasar teoretis metodologis tersebut membawa dampak bahwa VICS
praktis tidak lagi digunakan dalam penelitian-kelas dan tahun 1990-an ini.
Kelemahan yang dimaksud adalah, penentuan kategori secara a priori yang
menyukarkan pengungkapan organisasi dari wacana kelas yang diteliti (Stubbs,
1989). Keadaan diatas juga mengungkapkan kelemahan tradisi etnografi yang
kurang mementingkan peranan teori. Jadi, VICS tidak saja gagal dalam
pengembangan teori pada tingkat formal dari data lapangan, tetapi juga dalam
mengembangkan teori tertentu pada tingkat substantif, yaitu, peranan materisubyek dalam pbm.

Tetapi pertanyaan besar yang lebih mendesak adalah bagaimana mengisi


kekosongan yang ditinggalkan oleh VICS jika penelitian-kelas ingin mencoba
mengungkapkan totalitas kehidupan kelas. Jawaban terhadap pertanyaan ini
diperlukan karena dinamika kehidupan kelas terletak pada interaksi tersebut.
Secara terpisah pertanyaan ini dicoba dijawab oleh studi mengenai bagaimana
menaikkan kualitas interaksi dengan meningkatkan kualitas fungsi bertanya oleh
pembelajar. Permasalahan yang dihadapi oleh VICS sebenarnya bukan pada
masalah teoretis, karena hampir boleh dikatakan belum ada; yang ada terbatas
pada instrumen observasi. Jadi, jika saja teori tertentu dapat dikembangkan, tidak
ada halangan bagi VICS untuk dihidupkan kembali
Dengan menerapkan kriteria totalitas, yaitu, dengan memadukan interaksi sosial
ke interaksi sosial kognitif, penggunaan, maka VICS dapat dikembangkan menjadi
metodologi yang dapat mengungkapkan PBM lebih utuh. Kapasitas VICS ini
kiranya juga diantisipasi oleh Hargraves (1991) yang melihat bahwa jika VICS
dilengkapi dengan aspek kognitif yang berhubungan dengan tugas mengkonstruksi
pengetahuan, banyak ketrampilan komunkasi pengajar yang belum diungkapkan
oleh VICS menjadi terungkapkan.
Penelitian-kelas yang dikembangkan dalam makalah ini mengambil interaksi kelas
sebagai dasar, untuk kemudian direvisi agar menggambarkan kegiatan
mengkonstruksi pengetahuan. Revisi, antara lain, melibatkan sistim pengkodean
terhadap aspek tindakan wacana pengajar atau pembelajar sehubungan dengan
tugas mengkonstruksi ilmu. Informasi mengenai hubungan antar-ketergantungan
dari ketiga komponen PBM dengan demikian dapat dideskripsikan lebih sistematis.
Pikiran pengembangan diatas telah diterapkan oleh Fanselow dengan model yang
dikenal dengan nama FOCUS yang merupakan akronim dari Foci for Observing

Communication Used in Settings. Perbedaannya dari VICS adalah pengambilan


data yang tidak non-real time untuk memungkinkan unit dasar dari wacana move
dapat diterapkan. Disamping itu dimensi dari pengamatan diperluas tidak saja
pada prilaku verbal nampak dari pengajar dan pembelajar menjadi dimensi tujuan
pedagogi, medium yang digunakan, konten, penggunaan konten terhadap konten,
dan area konten. Melihat dimensi yang dilibatkan, FOCUS sebenarnya sudah
sangat maju
Sejauh kriteria totalitas yang menjadi perhatian, FOCUS kiranya sudah memadai,
tetapi kerangka untuk mewadahi pelaku-pelaku dalam pbm kiranya belum
dihadirkan. Jadi belum ada asumsi mengenai hubungan antar-ketergantungan dari
pelaku-pelaku tersebut, yang dalam model trialogue dirumuskan sebagai tugas
mengkonstruksi ilmu. Kelemahan lainnya adalah walaupun pandangan totalitas
telah dipenuhi, sebagai akibat dari ketiadaan asumsi tersebut juga berdampak
pada pandangan terhadap perlunya wacana pbm dilihat sebagai keseluruhan.
Bukannya untuk kepentingan interaksi saja, melainkan secara menyeluruh untuk
melihat antar-aksi dari unti-unit move.
D. Pedagogi Materi-Subyek: Model Trialogue
Sebagai jalan keluar, pembicaraan mengenai wacana kelas perlu dititik-beratkan
pada prosedur untuk memahami interaksi verbal kesehari-harian perlu dilihat
kaitannya dengan makna konteks sosial dari percakapan. Jika pembicaraan
tersebut beralangsung dilingkungan kelas, maka analisis yang diterapkan disebut
analisis-wacana kelas. Sumber data utama untuk analisis-wacana dapat berupa
transkripsi dari permbicaraan antara pengajar dan pembelajar didalam kelas hasil
rekaman audio yang dapat diperkaya dengan rekaman visual. Bagian-bagian yang
tidak terekam secara verbal, contohnya, ekspresi muka, gerakan badan dan

anggota badan, atau tulisan di papan tulis yang kurang mempunyai hubungan
substansi terhadap penyajian guru tidak dilibatkan dalam transkripsi.
Cakupan Istilah wacana nampaknya cukup luas mulai dari pengkodean,
kuantifikasi, hingga pada intepretasi kualitatif. Unit analisis yang digunakan juga
bervariasi mulai dari frasa hingga keseluruhan rekaman, tetapi pada umumnya,
karena tujuannya adalah penggalian makna, unit yang digunakan adalah unit
setara paragraf (skema, skrip, frema, dlsb) yang dapat dirinci menjadi elemenelemen kalimat. Alasan penggunaan unit tersebut terletak pada kemampuan untuk
mengungkapkan secara efektif proses berfikir atau proses berbicara (Minsky,
1975). Unit yang digunakan dalam studi linguistik atau analisis teks terlalu terikat
pada kalimat yang kiranya terlalu kecil untuk mengungkapkan proses tersebut.
1.

Unit Data

Sifat dari unit wacana juga cukup membingungkan, karena kondisinya yang
rekursif, yaitu, unit-unit bergabung menjadi unit yang lebih besar secara berulangulang sehingga diperoleh unit terbesar. Peleburan ini berlangsung mengikuti
aturan tertentu yang dikenal sebagai aturan-makro (lihat Gambar 6.4.)Nampaknya,
disinilah masalah utama dari proses mengkonstruksi pengetahuan yang belum
sepenuhnya diungkapkan secara memuaskan karena keengganan sementara
pakar bahasa untuk menggunakan unit yang lebih besar dari ukuran kalimat
(contohnya studi psikolinguistik dengan tradisi psikometri, Choudron, 1988).
Perlu diketahui pekerjaan mentranskripsi data verbal menjadi suatu data tertulis
yang mendekati suatu teks adalah pekerjaan yang cukup menyita waktu yang
perbandingannya kira-kira 1:5. Artinya, transkripsi yang memakan waktu satu jam
memerlukan waktu 5 jam untuk menghasilkan suatu sumber data tekstual. Ini juga
tergantung dengan pengalaman yang telah dimiliki oleh peneliti. Peneliti tidak
9

dapat bergantung sepenuhnya dengan apa yang dapat didengarnya dari rekaman;
banyak data verbal yang memerlukan latar-belakang sosial dan budaya tertentu
dan pengetahuan mengenai substansi pembicaraan dari peneliti agar proses
membuat inferensi mempunyai dasar yang memadai.
Terlepas dari kesulitan diatas, hasil transkripsi dari pembicaraan didalam kelas
merupakan data yang sangat berharga mengenai interaksi wacana yang
berlangsung. Dibandingkan dengan data observasi, yang menghasilkan data kode
atau frekuensi, transkripsi memberikan peluang yang lebih besar untuk memahami
bagaimana interaksi berlangsung dan berkembang sebagai suatu fenomena yang
dinamik. Ini menjelaskan mengapa banyak peneliti lebih menyukai data hasil
transkripsi daripada data yang diperoleh melalui prosedur tertentu yang walaupun
lebih mudah, tetapi dapat mengakibatkan tereduksinya masalah yang diteliti.
Dua bagian data dari analisis-wacana, yaitu sumber data berupa transkripsi dan
sumber data hasil analisis berupa struktur-makro, menunjuk pada dualisme yang
selalu merupakan isu didalam penelitian. Yaitu, dualisme teori lawan praktik, dan
dualisme kuantitatif lawan kualitatif, atau objektivitas lawan subjektivitas. Tetapi
seperti telah dikemukakan di bagian terdahulu, isu ini dapat diatasi dengan melihat
penelitian-kelas sebagai suatu bentuk penelitian yang mandiri dengan dasar yang
tidak memerlukan validasi dari penelitian-standar.
2.

Mejaga Validitas

Untuk melepaskan diri dari isu diatas, penggunaan metoda ganda merupakan
prosedur utama penelitian-kelas untuk menggabungkan kriteria validitas baik
internal maupun eksternal. Dasar yang diberlakukan adalah keterpaduan hasil
temuan dilihat dari hasil triangulasi. Jika temuan dari setiap metoda yang
digunakan mengarah pada suatu keterpaduan, baik pada tingkat analisis data,
10

maupun pada tingkat analisis-wacana, kondisi ini menjadi dasar untuk


menyimpulkan bahwa keabsahan hasil temuan sudah memadai.
Prinsip dari triangulasi diambil dari pekerjaan mensurvai tanah oleh para ahli
geologi, yaitu, diperlukan sekurangnya dua perspektif untuk menentukan
ketepatan gambar mengenai suatu fenomena. Didalam penelitian-kelas kedua
perspektif ini dapat berupa pandangan peneliti dan pandangan pengajar disatu
pihak dan peneliti dan pembelajar di lain pihak. Kedua perspektif ini membentuk
tiga sudut antar peneliti, pengajar, dan pembelajar, dengan catatan dasar untuk
mengungkapkan setiap perspektif adalah materi-subyek, sesuai dengan ekologi
kelas. Walaupun triangulasi tidak menjamin ketepatan, tetapi ini dapat menjaga
agar analisis dapat saling mengisi atau saling menjelaskan.
Tergantung pada minat peneliti, triangulasi dapat berlangsung berdasarkan
domain-domain: teori, metodologi, dan substansi. Jika teori yang dijadikan sebagai
dasar pandangan, maka triangulasi yang diberlakukan adalah triangulasi teoretis.
Beberapa teori digunakan untuk menjelaskan fenomena tertentu untuk
menghasilkan termuan terhadap sekelompok subyek tertentu. Dalam triangulasi
metodologi, beberapa metoda digunakan untuk menghasilkan data yang berbeda
dari teori dan subyek yang tertentu, sedangkan dalam triangulasi substantif, baik
teori maupun metodologi dibuat tidak bervariasi.
Perlu diingat bahwa populasi yang diberlakukan terhadap hasil temuan adalah
populasi proposisi, bukan subyek penelitian. Jika rangkaian proposisi hasil temuan
dipetakan kedalam suatu matriks menghasilkan keterpaduan dan berlaku untuk
lapis proposisi tertentu, maka kriteria tersebut telah dipenuhi. Kriteria fungsional
(kegunaan, felicity) kiranya tidak dapat diberlakukan, karena untuk mewujudnya

11

suatu pengaruh memerlukan waktu yang lama dan tidak dapat ditentukan terlebih
dahulu.
3.

Pelaksanaan

Sejauh ini pembicaraan mengenai analisis-wacana masih bersifat teoretis dan


abstrak karena keperluan untuk meletakkan dasar dan pandangan untuk
mengukuhkan wawasan peneliti. Tanpa wawasan tersebut, sebagaimana telah
dikemukakan pada awalnya, peneliti mudah terbawa oleh tradisi penelitian-standar,
karena sudah mengakarnya hubungan pekerjaan meneliti dan metoda ilmiah.
Terutama sehubungan dengan asumsi wacana mengenai fenomena PBM yang
dalam penelitian-standar kurang ditekankan, dalam penelitian-kelas asumsi
tersebut justru merupakan titik berat. Variasi karakteristik fenomena oleh
keragaman konteks dan lokalitas merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan
metoda-metoda yang dirancang khusus untuk mengungkapkan variasi tersebut.
Bagian ini memberikan petunjuk umum mengenai pekerjaan penelitian-kelas
menggunakan dasar analisis-wacana. Pandangan sebelumnya mengenai metoda
etnografi diwujudkan dengan konsentrasi pada aspek kognitif di dalam kelas; jadi
mengenai pemilihan kelas yang akan diteliti bukan merupakan pekerjaan yang
terlalu terbuka seperti pada banyak penelitian-kelas. Yang menjadi masalah adalah
aspek mana dari penelitian-kelas yang ingin diteliti.
Sesuai dengan model ekologi kognitif dari PBM maka aspek-aspek penelitiankelas dapat dilihat sebagai suatu matriks berdimensi dua dengan setiap dimensi
dibentuk oleh fungsi pengajar dan fungsi pembelajar. Perpotongan dari unsurunsur dari setiap dimensi berlangsung karena adanya interaksi wacana antara
komponen pengajar dan komponen pembelajar dengan komponen materi-subyek
sebagai media.
12

Tergantung pada minat peneliti, aspek yang akan diteliti dapat ditentukan dari antarhubungan sel yang diminati. Sebagai contohnya, peneliti dapat memilih satu fungsi
saja dari komponen pengajar, umpamanya pertanyaan pengajar, terhadap variasi
pembelajar yang dapat dirinci menjadi kelompok-kelompok atas, tengah, dan bawah.
Atau, dipilih salah satu aspek dari setiap komponen pengajar dan komponen
pembelajar, tetapi komponen materi-subyek dapat dibuat beragam menurut
kompleksitas dan keabstrakan topik tertentu. Rincian mengenai matriks ini diberikan
dalam bab metodologi.
a)

Perekaman Wacana-kelas

Dengan semakin canggihnya alat perekam audio atau video, ketergantungan


peneliti pada observasi dan catatan lapangan nampaknya sukar dipertahankan jika
dilihat kayanya informasi yang dapat diberikan oleh hasil rekaman. Berbeda
dengan data hasil observasi, peneliti dapat menangkap keutuhan kejadian menurut
lapis-lapis pemaknaan dari wacana. Pemaknaan ini dapat berupa identifikasi
kejadian-kejadian dengan label tertentu, diantaranya dapat memilah hasil rekaman
kedalam kegiatan informing, eliciting, dan directing secara global untuk kemudian
dirinci menjadi tindakan-tindakan verbal yang lebih nyata. Peneliti juga dapat
mengindetifikasi fokus tertentu yang perlu dikembangkan kemudian melalui
penggunaan metoda lainnya berupa wawancara atau tes tertulis.
Keuntungan utama yang diperoleh dari analisis data hasil rekaman adalah
keleluasaan peneliti untuk mengulangi analisis untuk memperoleh gambaran yang
lebih jelas, yaitu, munculnya suatu tema yang dengan baik menyarankan antarhubungan kejadian-kejadian dalam PBM. Kekuatan ini dapat dirinci menjadi:
(1) Potensi data rekaman untuk menghasilkan kelengkapan analisis, sehingga
memberikan suatu perspektif analitikal mengenai masalah yang diteliti.

13

(2) Sehubungan dengan butir diatas, sumber data hasil rekaman membebaskan peneliti
dari ketergantungannya terhadap teori-teori yang masih perlu diperkaya dengan
deskripsi pemetaan masalah.
(3) Peneliti tidak perlu tergantung pada kejadian-kejadian yang tampil cukup sering,
tetapi tidak menolong dalam menggali makna kejadian yang lebih esensil.

Walaupun demikian, rekaman sebagai sumber data perlu dipahami


keterbatasannya, agar tidak menyebabkan keyakinan peneliti yang berlebihan
terhadap fungsinya. Data yang dihasilkan dari hasil rekaman sifat utamanya
adalah data implikatif, yaitu hasil interpretasi, yang perlu dikendalikan agar tetap
memenuhi kriteria keabsahan. Keterbatasan rekaman sebagai sumber data dapat
disimpulkan dalam dua hal:
(1) Kesempatan untuk meneliti-ulang rekaman terhadap data yang dikembangkan juga
peluang bagi peneliti secara leluasa menerapkan pandangannya terhadap
pekerjaan analisis. Peneliti tidak mempunyai kesempatan untuk menguji teori yang
dikembangkan, karena kejadian yang mendukungnya mungkin belum ditemukan.
(2) Konsentrasi pada konteks tertentu kehidupan kelas yang walaupun sudah cukup
kompleks, hubungannya dengan konteks sosial yang lebih luas kadang-kadang
tidak dapat dipisahkan secara jelas. Adakalanya, pengaruh sosial yang lebih luas
tersebut lebih berpengaruh dari pada lingkungan kelas.

b)

Memelihara Keakraban

Jika diinginkan bahwa tingkat intervensi perlu dijaga sekecil mungkin, maka pilihan
terhadap perekam audio lebih memadai daripada perekam video. Penggunaan
perekam video nampaknya mengakibatkan gangguan dan kepada pembelajar
berupa terdistorsinya kewajaran interaksi. Sebagai pengamat peserta, peneliti
14

perlu membangun hubungan keakraban dengan baik pengajar maupun pembelajar


agar kewajaran interaksi tersebut dapat dicapai.
Tetapi yang lebih menentukan dalam membangun keakraban tersebut adalah
sehubungan dengan upaya untuk memperoleh informasi yang diinginkan peneliti.
Pengungkapan informasi tersebut dapat menimbulkan ancaman terselubung yang
menyebabkan keengganan pihak sekolah untuk membuka kesempatan untuk
penelitian-kelas. Dengan demikian informasi tersebut perlu lebih mengarah kepada
yang tidak bersifat mengancam kerahasian sekolah, pengajar, atau pembelajar.
Terlepas dari masalah sosial politik yang berada diluar kewenangan peneliti,
keakraban dapat dibina dengan mengarahkan informasi yang dianggap positif
tetapi belum diketahui dengan memadai. Pengungkapan informasi dianggap
meningkatkan pemahaman terhadap PBM yang dengan demikian dianggap dapat
memperkaya pengetahuan pengajar atau menjadi sumbangan yang berharga
terhadap pengembangan ilmu. Tetapi dapat terjadi bahwa informasi yang tidak
diketahui tersebut memang dianggap negatif, sehingga pengungkapannya justru
membawa kepada masalah menurunnya kredibilitas pengajar atau sekolah.
Sifat informasi yang ingin diungkapkan dengan demikian mempunyai peranan
dalam membangun keakraban peneliti. Terutama jika sekolah merupakan unit dari
suatu sistim birokrasi yang kurang mementingkan kemandirian sekolah dalam
mengembangkan diri. Tugas utama sekolah dan pengajar terutama adalah
melaksanakan kebijakan yang telah digariskan secara ketat baik oleh administrasi
sekolah maupun oleh pihak yang berwewenang. Seperti telah dikemukakan
sebelumnya ini dapat berlangsung karena kendala norma yang berlaku didalam
satu sekolah. Upaya yang lebih intensif kiranya perlu dicoba oleh peneliti, baik
jalur birokrat maupun jalur hubungan personal.

15

Menjamin kerahasian sumber data maupun hasil temuan dengan membuat


identitas sekolah, pengajar, maupun pembelajar tetap anonim kiranya merupakan
jalan yang terbaik. Anonimitas sumber data perlu dijamin oleh peneliti dengan
menyamarkan semua identitas yang ada, termasuk lokasi penelitian didalam
laporannya. Atau dengan membatasi khalayak yang nantinya mendapat akses
kepada laporan penelitian, juga akan membantu dalam memelihara keakraban
peserta peneliti dengan subyek penelitiannya.
Dengan menjaga kehadiran peneliti seminal dan seinformal mungkin dan
mengarahkan hubungan saling menguntungkan dapat membantu mengatasi
kendala normatif yang ada. Melibatkan pengajar dalam penelitian, diantaranya
dengan memberikan kesempatan kepada pengajar untuk menerapkan sebagian
dari tugas penelitian dapat mengurangi gangguan. Atau, para pengajar dilibatkan
dalam rangka meningkatkan ketrampilan meneliti agar dikemudian hari dapat
menularkan penelitian serupa ke rekan-rekan pengajar lainnya. Upaya ini perlu
dikaitkan dengan pentingnya pengetahuan-praktis pengajar didokumentasi dan
diartikulasi sebagai pengetahuan formal mengajar yang sama kedudukannya
dengan teori mengajar formal yang dikembangkan oleh perguruan tinggi.
c)

Transkripsi

Pekerjaan mentranskripsi kiranya sangat beragam menurut latar belakang peneliti,


tetapi suatu aturan perlu ditentukan oleh peneliti. Pembatasan penelitian-kelas
terhadap fungsi materi-subyek dalam mengkonstruksi bersama pengetahuan oleh
pembelajar dan pengajar. Pembatasan ini relevan, karena menjembatani
kesenjangan dalam merubah ungkapan verbal menjadi ungkapan tekstual yang
sebenarnya cukup problematik, Tidak ada suatu konvensi yang cukup umum dan
berlaku untuk semua data transkripsi.

16

Pekerjaan mentranskripsi berhubungan dengan bagaimana informasi dalam


rekaman ditampilkan dalam suatu format penulisan. Transkripsi tidak perlu terlihat
sebagai skrip atau skenario suatu pertunjukkan, melainkan sebagai suatu yang
utama untuk memelihara sifat-utama wacana dalam mengkonstruksi pengetahuan
yang sebenarnya merupakan fokus analisis. Umpamanya, suatu aturan yang dapat
menangkap kegiatan terarah dari guru sekolah dalam mendistribusikan
perhatiannya kepada kelompok anak yang berbeda kemampuan.
E. Mengamati dan Menginterviu
Metoda-ganda dalam penelitian-kelas berhubungan dengan pentingnya
penggunaan metoda yang berhubungan tetapi tidak sejenis. Keputusan mengenai
tindak-lanjut dari hasil analisis transkripsi dikembangkan dari temuan sementara
dan implikasi yang masih perlu dikukuhkan melalui pengamatan atau interviu.
Pengertian pengukuhan disini tidak ada hubungannya dengan tugas replikasi
seperti yang digariskan dalam penelitian-standar, melainkan hubungannya dengan
penggunaan metoda lain untuk maksud triangulasi.
Temuan yang bersitat implikatif bersumber dari penggunaan model teoretis atau
model kerja dalam penelitian-kelas. Sifat keutuhan dari fenomena juga menuntut
keutuhan gambaran yang diperoleh dari analisis transkripsi sesuai dengan
hubungan implikatif dari berbagai hasil temuan. Jika gambaran tersebut masih
kabur, penggaliannya dan pemantapannya dilakukan melalui interviu yang sifatnya
sudah cukup terarah kepada suatu masalah tertentu.
Jadi kegunaan observasi dan interviu tidak terlepas dari analisis pendahuluan
terhadap transkripsi; kegunaannya terutama dalam mengisi celah-celah gambaran
umum yang dapat diisi dari transkripsi. Salah satu cara yang banyak ditempuh
adalah dengan memutar kembali hasil rekaman dihadapan subyek penelitian dan
17

menanyakan hal-hal yang terlintas dalam pikiran subyek. Bahkan yang tidak
secara eksplisit termasuk dalam rekaman dapat ditentukan lebih jauh menurut
pendapat subyek penelitian. Interviu semacam ini juga dikenal sebagai think aloud
interviu, yang dasarnya adalah asumsi bahwa seseorang yang telah cukup
berpengalaman dalam mengajar pada akhirnya akan membentuk suatu repertoire
mengajar (contohnya, Bereiter dan Bird, 1985).
Repertoire mengajar atau dapat juga disebut skenario, adalah sumber
pengetahuan yang telah mencapai suatu kemapanan dalam mengajarkan topik
tertentu. Walaupun pelaksanaan mengajar guru dapat beragam menurut sekolah,
kelas dan kelompok pembelajar, wujud dari pelaksanaan tersebut sebenarnya
sudah mencapai suatu yang secara fungsional mempunyai kemiripan. Disinilah
sebenarnya apa yang disebut sebagai gambaran idiosyncratic dari logika-internal
tugas mengajar; atau hasil upaya pengajar dalam menerjemahkan berbagai aspek
mengajar kedalam suatu model individual dapat menjadi dasar untuk
mendeskripsikan pengetahuan praktis mengajar.
Jadi terlepas dari pengamatan dan hasil transkripsi, makna terdalam dari
penampilan pengajar didalam kelas sebenarnya adalah dalam rangka menemukan
repertoire mengajar tersebut. Karena pembentukan repertoire mengajar tersebut
cukup lama dan berkembang menurut pengalaman, seorang guru pemula
mempunyai repertoire mengajar yang tidak sama dengan guru berpengalaman.
Jika repertoire mengajar guru berpengalaman tersebut dapat dideskripsikan
dengan memadai, maka lamanya waktu yang harus ditempuh oleh seorang guru
pemula dapat dipersingkat.

18

F. Peranan Model Teoretis dalam Analisis-wacana


Peranan model dalam analisis transkripsi cukup menentukan karena rumitnya
data, dan karena beragamnya aspek yang saling berkaitan dalam membentuk
suatu wacana. Jadi penggunaan model tidak dapat dihindari jika peneliti tidak ingin
terkecoh oleh penampilan tindakan-tindakan yang muncul. Terutama bila ini
dikaitkan dengan tugas untuk mendeskripsikan repertoire mengajar dari guru
ataupun proses mengkonstruksi pengetahuan secara menyeluruh yang kiranya
masih merupakan suatu proses yang panjang.
Pendekatan analisis-wacana memberikan kemudahan karena aspek penting dari
konstruksi pengetahuan merupakan proses sosial yang telah banyak diteliti oleh
akhli sosio-linguistikk. Tugas yang masih cukup besar adalah mengaitkan peranan
materi-subyek dalam konstruksi sosial tersebut. Contohnya, pekerjaan dari
DAngelo sangat memudahkan cara memadukan peranan materi-subyek dalam
wacana yang diidentifikasi sebagai fungsi paradigmatik dari wacana.
Tetapi dengan adanya model yang telah ditemukan secara formal tidak berarti
bahwa pekerjaan dalam penelitian-kelas sudah tinggal menggunakan dan
memanfaatkan model tersebut. Seperti telah dikemukakan dalam kegunaan
transkripsi sebagai sumber data membawa aspek lain terhadap model forma, yaitu
dengan memberikan aspek realita dari model tersebut dalam suatu konteks
kelokalan tertentu. Sebagai contoh, model representasi wacana yang telah
ditemukan oleh Siregar (1990) mengenai pemrosesan konstruksi pengetahuan
secara sepihak oleh pengajar, bisa dikembangkan kepada interaksi timbal-balik
menggunakan model interaksi yang dikembangkan oleh pakar sosiolinguistik.

19

1.

Instrumen Interaksi Kelas

Seperti telah dikemukakan, sistem observasi interaksi kelas yang dikembangkan


oleh Flanders perlu diadaptasikan untuk juga mewadahi peranan materi-subyek.
Tetapi pada tingkat global, ini kurang diperlukan karena adanya pembatasan
observasi pada tingkat global dari PBM. Aspek khusus dari PBM yang disebabkan
oleh kekhasan materi-subyek dapat diwakilkan pada konten interaksi yang secara
tersendiri dapat dipisahkan dalam analisis transkripsi. Jadi, interaksi dapat dibatasi
pada aspek global atau profil dari suatu PBM.
Dalam bagian prosedur perekaman, pengkodean suatu observasi dimulai dengan
pengenalan kategori dari interaksi yang telah dirumuskan dalam jadwal observasi
(observation schedule). Untuk mengenal lebih dekat peristilahan yang digunakan
dalam VICS, sistimnya ditampilkan dalam Tabel 5.1 dalam dua dimensi; yaitu,
dimensi interaksi verbal peserta (dimensi pertama) yang mewadahi pengajar dan
pembelajar, dimensi elaborasi dengan jenis ucapan (dimensi kedua) terdiri atas
ucapan inisiasi (initiated talk) dan ucapan jawaban (response talk).
Rasional yang mendasari VICS adalah pandangan seberapa jauh pengajar
memberikan kebebasan pada pembelajar diperkirakan dari seberapa jauh
pembicaraan pengajar lebih berpengaruh atau sebaliknya. Seberapa jauh suatu
pengajaran bersifat menunjang pembelajar (learner supportive) ditentukan oleh
seberapa jauh pengajar menerima prilaku, perasaan, dan ide pembelajar. Jadi
rasional ini melihat bahwa situasi PBM yang bersifat menunjang pembelajar dapat
sejalan dengan hasil belajar dan sikap positif terhadap pembelajaran.

20

Tabel 5.1
Sistim Interaksi Verbal

Dimensi
Pengajar;

No
1

A. Memulai

Kategori dan Deskripsi


Menyajikan Informasi atau Pendapat, digunakan apabila pengajar
menyajikan konten, fakta atau opini. Eksplanasi, diskusi, dan pertanyaan

retorika juga termasuk.


Memberikan Arahan, digunakan apabila pengajar memberikan perintah,
arahan atau petunjuk agar pembelajar melakukan mematuhinya. Contoh:

Coba lihat halaman 14.


Mengajukan Pertanyaan Sempit, digunakan apabila jawaban pertanyaan
diperkirakan mudah dijawab oleh pembelajar. In mencakup dril tanya jawab

yang menghendaki jawaban satu atau dua kata. Contoh: Apakah itu benar?
Mengajukan Pertanyaan Luas, digunakan bilamana suatu pertanyaan agak
terbuka, menghendaki pemikiran, atau yang mengesankan sebagai suatu
pendapat atau perasaan. Contoh: Mengapa kamu pikir model gelombang

B. Menjawab

dapat menjelaskan dengan memuaskan


Menerima
a Menerima Pendapat, digunakan apabila pengajar menerima,
memantulkan, menjelaskan, atau memuji pendapat pembelajar. Juga jika
pengajar mengulangi, menyimpulkan, atau mengomentari pendapat
b

pembelajar. Contoh: Bagus, Itu jawaban yang cukup baik.


Menerima prilaku, digunakan apabila pengajar menerima dan

menggiatkan prilaku. Contoh: Hasil percobaanmu baik.


Menerima Perasaan, digunakan bilamana pengajar merefleksikan
perasaan pembelajar, atau menjawab perasaan dengan menyenangkan.

Contoh: Tidak heran kamu kecewa.


Menolak Ide, digunakan untuk apabila pengajar menolak, mengkritik,
mengabaikan, atau kurang menggiatkan ide pembelajar. Contoh: Itu

21

tidak benar.
Menolak Prilaku, digunakan apabila pengajar mengomentari atau
mengkritik untuk menekan prilaku pembelajar yang kurang diterima:

Contoh: duduk, Apa yang kamu kerjakan.


Menolak Perasaan, digunakan untuk mengabaikan pernyataan atau
perasaan pembelajar. Contoh: Apa kamu tidak malu; jangan libatkan

Pembelajar:
A. Menjawab

perasaan kamu.
Jawaban Kepada Pengajar
a Dapat Diprediksi, Biasanya mengikuti kategori 3 dan bersifat pendek:
Apakah simbol atom Carbon? Jawaban: C.
b Tidak Dapat Diprediksi, Biasanya mengikuti kategori 4, atau juga 3: Apa
yang menyebabkan bengkok tersebut? Dijawab: Sebabnya tidak hanya

B. Berbicara

Lainnya

satu. Atau: Mungkin banyak sebab.


Jawaban Kepada Pembelajar Lain, digunakan apabila seorang pembelajar

menjawab pembelajar lainnya.


Bicara Kepada Pengajar, pembelajar membuka pembicaraan kepada

10

pengajar.
Bicara Kepada Pembelajar Lain, pembelajar membuka pembicaraan kepada

11

pembelajar lainnya.
Senyap, karena adanya kegiatan membaca, atau latihan. Jika berlangsung

12

lama, dibuat catatan dipinggir tabel.


Kebingungan, terjadi keributan yang mencolok, dan kegaduhan, tidak seperti
direncanakan.

22

Cara menggunakannya dalam observasi adalah dengan melatih terlebih dahulu


peserta pengamat terutama mengenai kategori dan deskripsi butir-butir
pengamatan agar mengenal dengan baik persamaan dan perbedaan setiap
kategori berdasarkan. Kemudian 3 orang pengamat mencoba mengidentifikasi
kategori tersebut dari hasil transkripsi yang sudah dibuat kategorinya dengan
pengamat berpengalaman. Perbedaan yang muncul dapat digunakan sebagai
bahan diskusi untuk mengenal kesalahan dan ketidak-pahaman calon pengamat.
Tetapi dengan memusatkan pengamatan terutama pada aspek kelokalan setiap
dimensi, dapat diharapkan bahwa kesesuaian antar pengamat mengenai pekerjaan
mengkategori dapat diatasi dengan cepat.
Karakteristik yang menjadi objek pengamatan dari VICS adalah antar hubungan
kategori dan komposisi kategori yang dinyatakan masih-masing oleh hubungan
sekuensial dan frekuensi dari pemunculan kategori dalam transkripsi. Pengkodean
lebih baik dilakukan melalui rekaman video agar pengamat tidak mendapat
tekanan dari kendala waktu dan pekerjaan ganda, mengamati dan mencatat, yang
harus dilakukan bersamaan. Kedua karakteristik tersebut menjadi target utama
dalam merumuskan profil pengajaran.
Untuk keperluan analisis, antar hubungan setiap kategori dari VICS perlu
dipetakan dalam suatu matriks yang dengan baik sekali menampilkan kedua
karakteristik diatas. Kolom dan baris dari matriks adalah setiap kategori dari VICS.
Garis horisontal atau garis vertikal dimunculkan untuk memperlihatkan antar
hubungan atau kelompok kategori atau kategori itu sendiri agar terlihat secara
dimensional atau kategorikal. Hubungan dimensional memperlihatkan interaksi
antara pengajar dan pembelajar, sedangkan hubungan kategorikal

23

memperlihatkan hubungannya dengan kategori lainnya atau dengan dimensi


lainnya.
Hubungan dimensi dan kategori diatas diwujudkan menggunakan sistim
pengkodean yang memungkinkan perunutan pihak-pihak yang melakukan
interaksi. Dengan menampilkannya sebagai matriks, kategori yang ditempatkan
pada kolom baris menjadi dimensi yang dirujuk, sedangkan kategori yang
menempati kolom merupakan kategori yang dirujuk. Dengan demikian interaksi
dapat dibuat menjadi spesifik menggunakan konten dari interaksi tersebut yang
menjadi masukan bagi analisis pada tahap selanjutnya, yaitu transkripsi.
2.

Dimensi dari Analisis

Kategori tersebut kemudian diorganisasi ke dalam dimensi yang keragamannya


bergantung pada fokus dan maksud dari analisis interaksi. Dimensi yang umumnya
dipakai adalah individu peserta dalam interaksi tersebut yaitu pengajar dan
pembelajar dan konten atau topik walaupun cukup beragam menurut deskripsi
yang diterapkan terhadap dimensi ini. Dimensi lainnya nampaknya bersifat khusus
terhadap tujuan dari observasi, contohnya untuk keperluan observasi pengajaran
bahasa Fanselow memasukan dimensi proses kognitif dalam menggunakan media
(memperhatikan, menampilkannya, mensifatkannya, dlsb.).
Keragaman di atas berdampak kurang mendukung penggunaan instrumen
interaksi kelas yang komprehensif dan pengkodean kategorinya yang cukup
terarah. Terutama penggunaan kategori yang kurang terarah banyak menimbulkan
pertanyaan mengenai keabsyahan instrumen. Seperti banyak dilaporkan, kegiatan
lapangan nampaknya mengalami kesukaran dalam melaksanakan pengkodeannya
karena kategori yang tidak terarah tersebut.

24

3.

Prosedur Mencacah

Terdapat perbedaan tugas mencacah berdasarkan pemunculan secara alamiah


atau menurut kerangka waktu tertentu. Cara pertama banyak digunakan dalam
analisis wacana menggunakan kategori wacana menurut unit partisipasi seperti
yang dilakukan oleh Smith, dkk., !968, atau unit wacana seperti yang dilakukan
oleh Coulthard dan Sinclair (1964). Lihat lampiran untuk lebih meneliti sifatnya
masing-masing. Cara kedua tidak merujuk pada teori tertentu, interaksi ditentukan
berdasarkan frekuensi waktu, setiap 3-5 detik, interaksi yang sedang berlangsung
menurut kategori yang ada dalam instrumen.
Penulis berpendapat bahwa pengkodean cara pertama perlu dipilih untuk
mengimbangi pekerjaan menganalisis transkripsi pada tahap selanjutnya yang unit
analisisnya adalah kategori wacana. Dengan kesamaan unit analisis, penerapan
pandangan sistim-deskriptif yang dikemukakan diatas akan semakin mantap.
Cara tersebut juga mengatasi kesulitan pengkodean.
Setiap elemen dari interaksi termasuk instrumen high inference, yaitu menyangkut
interpretasi. Disamping itu, pengkodean elemen interaksi dapat bersifat ganda
menurut, contohnya, dimensi pedagogi, atau dimensi prilaku. Dalam penelitian
kelas pengkodean ganda merupakan suatu tuntutan untuk membuka jalan kepada
pendekatan metoda ganda dan sistim-deskriptif yang telah diutarakan diatas.
Terutama utama PBM, sistem pengkodean ganda perlu diberlakukan untuk setiap
komponennya. Kondisi ini dicapai dengan baik melalui penggunaan proposisi
sebagai unit analisis. Sebagai unit, proposisi ini mewadahi aspek materi-subyek,
dan tindakan wacana yang mengendalikan proposisi termasuk juga aspek materisubyek tersebut. Tindakan wacana menurut konteksnya dapat diuraikan lebih jauh

25

ke dalam tindakan pedagogi atau tindakan sintaktikal yang khas terhadap materi
subyek.
4.

Rekaman PBM

Sumber data rekaman memberikan keleluasaan bagi peneliti untuk mengamati dan
menganalisis terlepas dari kendala waktu yang mengendalikan pengamatan
langsung menurut terjadinya kejadian dan proses yang terjadi menurut ruang dan
waktu. Peneliti dapat membuat indeks terhadap rekaman untuk memudahkan
perujukan, mengidentifikasi kejadian dan menamainya untuk memudahkan
pengembangan analisis. Keleluasaan peneliti untuk memutar kembali rekaman
memberikan kesempatan untuk menemukan suatu pola tertentu suatu kejadian
atau proses. Terutama untuk analisis data verbal, pola ini menyangkut penemuan
unit-unit pada berbagai tingkat.
Disamping keuntungan diatas, sumber data hasil rekaman membatasi kesempatan
peneliti untuk melihat kejadian dan proses yang digambarkan menurut perspektif
yang berbeda dan kemudian mengujinya. Kesulitan dalam melaksanakan ini
bersumber pada keterbatasan pandangannya terhadap kejadian atau proses
tersebut jika dibandingkan dengan kesempatan mengamati langsung sebagai
peserta pengamat.
Kesulitan lain, adalah untuk memahami kejadian dan proses yang digambarkan
oleh rekaman sebenarnya memerlukan akses kepada informasi kontekstual yang
tidak terekam. Kejadian yang direkam tersebut sebenarnya berada dalam berbagai
konteks mulai dari konteks sosial masyarakat, sekolah, dan kelas. Konteks ini lebih
berperan jika sejarah kehidupan didalam kelas juga penting untuk melatari
pemahaman interpretatif terhadap organisasi lokal dari kejadian dan proses. Atau,

26

pemahaman interpretatif mengapa kejadian atau proses tersebut berlangsung


demikian, bukan seperti lainnya.
5.

Rekaman Interviu

Untuk mengurangi kelemahan diatas, pentahapan proses penelitian menurut


observasi dan transkripsi banyak menolong. Observasi sebagai upaya untuk
memetakan secara global kejadian dan proses yang diamati pada batas tertentu
dapat memberikan gambaran mengenai konteks yang diperlukan dalam analisis
transkripsi. Ini masih dilengkapi lagi oleh interviu yang juga dapat disediakan
dalam bentuk rekaman.
Jadi penggunaan interviu nampaknya merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari analisis rekaman dari proses dan kejadian utama dari permasalahan. Seperti
dikemukakan sebelumnya, peranan dari interviu adalah untuk merumuskan inti
permasalahan berdasarkan informasi yang lebih mendasar yang sebenarnya
mengendalikan apa yang diamati dan direkam dan ditampilkan sebagai
transkripsi.
Seperti telah dikemukakan, penggunaan rekaman video ataupun audio bersamaan
dengan interviu. Kesempatan ini tidak perlu dibatasi hanya untuk memapankan
temuan dalam analisis transkripsi PBM, melainkan kesempatan bagi peneliti untuk
menguji pandangan yang disarankan oleh analisis.
Terutama jika peneliti melibatkan pengujian hipotesis, ini dapat dilakukan lebih
tuntas menggunakan model argumentasi Toulmin. Dalam situasi yang formal dan
penggunaan waktu yang cukup ketat oleh tuntutan mencakup sejumlah materi
pelajaran, hal-hal yang bersifat pandangan, keyakinan, dan penalaran umumnya
tidak diungkapkan secara eksplisit. Informasi ini hanya dapat diungkapkan melalui
interviu reflektif menggunakan bantuan rekaman video.
27

Untuk maksud menganalisis interviu, peneliti dapat juga merekam interviu agar
keleluasaan yang diutarakan dapat juga diterapkan. Tetapi perekaman disini dapat
menjadi lebih rumit karena memerlukan sistim deskripsi yang terpisah dari sistim
keseluruhan proses penelitian.
G. Analisis Data
Dari keseluruhan deskripsi mengenai proses penelitian, dapat disimpulkan jenisjenis data yang telah diidentifikasi adalah catatan lapangan, profil pelaksanaan
mengajar berupa hasil observasi yang sumber datanya adalah transkripsi, dan
pandangan, keyakinan, dan strategi, dan pengetahuan pengajar yang sumber
datanya diperoleh dari interviu. Tetapi seperti telah dikemukakan, transkripsi
merupakan sumber data utama yang menentukan struktur permasalahan secara
keseluruhan; sumber data lainnya peranannya adalah sebagai latar-belakang dan
pendalaman.

28

Gambar 6.4
Organisasi Data

Lingkungan

Profil Pelaksanaan

Deskripsi Aspek

Kognitif Sekolah

PBM

Tertentu PBM

Catatan

Analisis Transkrip

Analisis Interviu

Lapangan

Rekaman Video

Reflektif

Hasil Temuan

Pada akhirnya, tugas menganalisis data dikendalikan oleh bagaimana


mengorganisasi seluruh data menjadi suatu laporan yang berpadu mulai dari
catatan
lapangan, observasi, dan interviu. Tetapi upaya ini masih dipersulit lagi bahwa
setiap sumber data ini merupakan sistim mandiri yang tanpa suatu rencana
analisis akan muncul sebagai analisis yang terpisah-pisah. Hal ini sering terjadi,
karena, sebagai contoh, penggunaan interviu sebagai bagian tertentu dari
penelitian kelas belum banyak dilibatkan. Penelitian kelas pada umumnya dimotori
oleh penggunaan observasi sebagai alat penelitian utama.
Analisis wacana sebagai skema untuk mengorganisasi dan menyelaraskan
keseluruhan sumber data (Gambar 6.4.) merupakan fasilitas yang cukup
menunjang untuk mewujudkan keinginan diatas. Hal ini juga sesuai dengan
fungsinya sebagai fasilitas untuk mewujudkan fungsi deskriptif tersebut yang
nampaknya oleh Everston dan Green (1986) juga belum dikembangkan
sepenuhnya. Penulis mengembangkan analisis wacana hingga kepada perumusan
struktur-makro yang kiranya merupakan skema pengorganisasi keseluruhan
29

analisis, terutama dalam menyatukan informasi yang diperoleh dari observasi dan
interviu.
1.

Catatan Lapangan

Sebagai informasi latar belakang, catatan lapangan berfungsi sebagai persiapan


peneliti untuk memasuki permasalahan yang sebenarnya, yaitu, observasi dan
menganalisis transkripsi. Latar belakang ini dapat dipusatkan pada peranan
konteks sosial terhadap PBM didalam kelas. Jika konteks sosial dari lingkungan
sekolah adalah lingkungan pekerja dan petani, ini berdampak cukup kuat terhadap
PBM dalam pengertian, kehidupan didalam kelas juga mencerminkan aspirasi
sosial dari lingkungan. Demikian juga dengan persepsi sosial terhadap bagaimana
seharusnya suatu PBM perlu dilaksanakan juga akan mengalami kendala oleh
persepsi ini.
Sebagai contoh, sekolah yang berada dilingkungan masyarakat kumuh mempunyai
tingkat persepsi yang kurang mendukung upaya untuk berprestasi bagi pembelajar
yang cukup berkemampuan akademik. Pembelajar ini dalam menghadapi
kelompok peer-nya akan menghadapi tekanan karena risiko akan dikeluarkan
dari peernya. Jadi kemungkinan besar pembelajar ini akan mengambil persepsi
yang lebih rendah dari aspirasinya. Hal ini akan berbeda dengan sekolah yang
berada dilingkungan elit, karena prestasi belajar merupakan cara yang selalu
dinilai jalur terbaik untuk mendapat penghargaan baik dari peernya, maupun dari
pihak pengajar. Aspirasi dan persepsi berjalan sejajar yang sejalan dengan
mekanisme PBM lazimnya.

30

2.

Menurunkan Profil Kegiatan Belajar-mengajar

Pengkodean kategori ke dalam Tabel 5.1. memperhatikan karakteristik interaksi


seperti telah dikemukakan sebelumnya. Untuk mencapai maksud ini, pengkodean
dilakukan dengan mengambil data secara berpasangan, dengan bagian kedua
dipasangkan kembali dengan data berikutnya; demikian seterusnya. Contohnya,
jika terdapat data dengan susunan sebagai berikut: 1, 1, 4, 4, 7a, 7a, 5a, 2, 2, 3,
7a, 9, 9, 5a, 1, 1, 2, 3, 3, 7b, 8, 8, 6b, dst., dipasang-pasangkan menjadi, 1-1, 1-4,
4-4, 4-7a, 7a-7a, 7a-5a, 5a-2, 2-2, 2-3, 3-7a, 7a-9, 9-9, 9-5a, 5a-1, 1-1, 1-2, 2-3, 33, 3-7b, 7b-8, 8-8, 8-6b, dst. Setiap pasangan kemudian dipetakan ke dalam tabel
dengan mencacahnya pada kotak yang sesuai.
a)

Prosedur Analisis

Tabulasi diatas menurut kotak yang dilabel A hingga U dalam Gambar6.5


memberikan profil distribusi dari interaksi, yang jika, umpamanya kotak A,
menunjukkan frekuensi tinggi dibandingkan dengan kotak lainnya, ini menunjukkan
bahwa pengajar lebih mendominasi PBM, Sebaliknya, jika kotak N, O, S, dan T,
yaitu kategori untuk pembelajar, menunjukkan frekuensi yang tinggi secara
keseluruhan, ini menunjukkan bahwa pembelajar mendapat dorongan, dan untuk
lebih aktif memberikan respons terhadap pengajar atau diantara mereka sendiri.
Secara intra-kategori (yang dirujuk
Gambar 6.5.
Urutan dan Antar Hubungan Kategori

1
2

31

10

11

12

4
5

6
7
8
9
10
11
12

sebagai pembelajar, N, O, S, dan T), dapat dilihat kategori mana yang lebih
mendominasi.
Sehubungan dengan interaksi, karakteristik ini dapat diamati menurut kolom dari
atas kebawah sesuai dengan data yang dibuat berpasangan. Dengan
mengabaikan sel diagonal, maka interaksi setiap kategori dapat dideskripsikan
secara individual atau perkelompok berdasarkan kategori yang dirujuknya menurut
lajur kolom. Deskripsi yang lebih rinci diberikan di bab 6.

32

APENDIKS

Pekerjaan menganalisis transkripsi sebetulnya dimulai dengan membuat


transkripsi dari rekaman audio atau video ke dalam bentuk data tekstual. Proses
ini jika dilakukan secara umum akan terbentur pada berbagai prosedur transkripsi
yang tersedia. Porsedur linguistik perlu dihindari karena kecenderungannya terlalu
berorientasi terhadap aspek linguistik yang diantaranya cara mentransformasikan
sistim fonetik rekaman. Diantaranya, ada ketentuan bahwa sistim fonetik dari
rekaman belum boleh langsung ditransformasikan ke dalam sistem fonologi dari
bahasa, melainkan dijaga agar tetap mengikuti semirip mungkin dengan bunyi
rekaman. Kehati-hatian ini diperlukan jika perhatian juga ditujukan pada sistim
fonetik dari kebahasaan subyek anak-anak yang mungkin masih berkembang.
Karena lingkungan penelitian adalah lingkungan akademik, kesalahan gramatikal
dan fonetik dapat diabaikan, dan seluruh pekerjaan mentranskripsi diarahkan pada
materi-subyek yang menjadi konten dari pembicaraan. Untuk masyarakat akademik
tertentu, nilai kebenaran dari materi-subyek sudah mencapai formalitas tertentu,
jadi yang menjadi perhatian adalah bagaimana materi-subyek tersebut diutarakan
oleh pelaku didalam PBM. Dengan asumsi ini, transkripsi yang dihasilkan masih
perlu dirubah ke dalam teks-dasar yang sebetulnya mirip dengan teks transkripsi
kecuali hal-hal yang berlebih-lebihan dan berulang-ulang dikeluarkan, yang implisit
dibuat menjadi eksplisit, terutama dalam sistim rujukan dalam materi-subyek, yang
bersifat elipsis dipertegas dengan menyetarakannya didalam teks.

33

b)

Penyiapan Teks Dasar dari Transkripsi

Pengalihan teks transkripsi menjadi teks dasar juga menyangkut penerapan sistim
tanda baca terhadap transkripsi untuk memantapkan arti yang diutarakan dalam
transkripsi. Termasuk dalam pengalihan ini adalah segmentasi dari transkripsi
menjadi penggalan anak-kalimat, kalimat, paragraf dan bagian-bagian diatas
paragraf. Kemungkinan bahwa teks dasar yang dihasilkan menyimpang dari teks
transkripsi tidak disangkal, tetapi ini diatasi dengan meminta pengajar atau
peinterviu untuk memeriksa teks dasar tersebut dan memperbaikinya sesuai
dengan pengetahuan dan pananganannya.
Dengan demikian, teks dasar mungkin tidak mewakili pelaksanaan yang lebih
realistis dari PBM juga tidak disangkal. Teks dasar bukan merupakan data empirik
melainkan data proposisi dari pelaksanaan PBM yang menggambarkan bukan
keadaan yang nyata betul melainkan merupakan representasi yang cukup aktual
dari pelaksanaan suatu PBM. Representasi ini dapat dikatakan idealisasi dari
pelaksanaan PBM, tetapi idealisasi disini merupakan gambaran otentik karena
deskripsi dan kelokalan kejadian dan proses fenomena yang diamati merupakan
kriteria dari pengamatan.
c)

Format Analisis: Struktur-Makro

Perwujudan dari sistim-deskriptif dalam analisis teks dasar dicapai melalui


pengkodean ganda dari teks dasar yang sejalan dengan komponen-komponen
dalam PBM. Asumsi bahwa teks dasar merupakan produk dari proses
mengkonstruksi pengetahuan, mempunyai implikasi bahwa kerangka kerjanya
adalah materi-subyek. Sesuai dengan model eksplanasi pedagogi yang
dikemukakan dalam bab 3, teks dasar ini merupakan jalinan dari dua aspek utama,
yaitu, aspek materi-subyek dan aspek pedagogi. Dari aspek materi-subyek, materi
34

teks dapat dianggap sebagai kerangka kerja dari materi subyek, selanjutnya dapat
dipilah-pilah ke dalam proposisi-mikro dan proposisi makro; sedangkan dari aspek
pedagogi, teks dasar dapat dipilah menjadi tindakan-tindakan pedagogi yang
mencoba proposisi tersebut dapat terjangkau oleh pembelajar.
Jadi, format analisis dari teks dasar perlu menampilkan kedua aspek secara
terpisah, tetapi tetap dalam hubungan yang cukup erat untuk tidak mengurangi
fungsi ketergantungan dari komponen-komponen PBM. Ketergantungan antara
aspek materi-subyek dan aspek pedagogi dirumuskan sebagai hubungan
pemanduan dan pemonitoran pembelajaran oleh pengajar yang sifatnya rekursif
terhadap upaya mengkonstruksi pengetahuan. Keseluruhan upaya ini diwujudkan
sebagai tindakan wacana pengajar terhadap materi-subyek.
Gambar 6.5 menampilkan format data untuk analisis transkripsi, dengan aspek
pedagogi ditampilkan pada sebelah kiri dari teks dasar, dan aspek mater-subyek di
sebelah kanan. Aspek pedagogi memuat semua upaya pengajar untuk membuat
materi-subyek mudah dicapai melalui penggunaan skema, gambar, analogi,
contoh-soal, eksplikasi fenomena, dlsb. Aspek materi-subyek memuat struktur
proposisi yang dapat dipisahkan berdasarkan tindakan substantif dari
pengembangan materi-subyek tersebut.
Keseluruhan analisis dapat ditampilkan dalam struktur-makro yang dapat
dipisahkan menurut unit-unitnya yang dipisahkan berdasarkan tindakan substantif
tersebut. Seperti dikemukakan, tindakan ini bersifat rekursif dengan tindakan
pedagogi yang untuk memudahkannya diperlihatkan juga dalam gambar strukturmakro disebelah kiri.

35

H. Pengetahuan Sintatktikal Dalam Pendidikan IPA


Aspek sintaktikal yang dikemukakan pada bagian atas menampilkan
pengembangan dan validasi yang dalam penelitian ilmiah secara global teridiri
atas tahapan memroduksi dan menguji yang sejalan dengan tahapan utama
pengembangan ilmu eksploratori dan konfirmatori. Secara keseluruhan tahap
ini dapat dideskripsikan dengan aspek sintaktikal dari keilmuan sebagai
berikut:
(1) Tahap Argumentasi:
(2) Mengembangkan argumen terutama memetakan dan mengembangkan model
teoretis yang mengorganisasi konten dari permasalahan. Dalam aspek sintaktikal
tahap ini terdiri atas:
(3) Mendefinisikan (Abduction), dan
(4) Menghubungkan (intraduction).
(5) Tahap Komfirmatori

Menggali data untuk menguji dan mengukuhkan model yang


dikembangkan dalam tahap eksploratori dalam bentuk melihat
kemampuan prediksi dan kemampuan replikasi. Dalam aspek sintaktikal
tahap ini terdiri atas:

Memroduksi (Transduction) , dan

Menguji (Production).

Disayangkan bahwa pandangan kebanyakan pendidik terhadap aspek lebih


terpaku pada dimensi substantif. Pandangan ini muncul karena eksplanasi
ilmiah pada umumnya ditampilkan sebagai finished product yang sebagian
besar merupakan aspek substantif berupa hukum dan model matematik

(Stinner, 1992). Keadaan ini menggambarkan kurang adilnya eksplanasi ilmiah


dalam memperlakukan aspek sintaktikal.
Dilain pihak, kalangan ilmuan juga kurang perduli terhadap fase-fase dalam
mengkonstruksi ilmu seperti yang ditampilkan pada kolom paling kiri gambar.
Konstruksi ilmu dapat dibagi dalam dua bagian: Tahap Eksplorasi dan Tahap
Argumentasi. Tahap Eksplorasi terdiri atas menguji dan memroduksi Teori Tipe I
(hukum-hukum empirik); Tahap Argumentasi terdiri atas Menghubungkan dan
Mendefinisikan untuk mengformalkan Teori Tipe I menjadi Teori Tipe II (model,
paradigma, thesis, dsb). Disini terlihat bahwa dengan menonjolkan metoda
ilmiah (Tahap Ekplorasi), bagian argumentasi dari dimensi sintaktikal kurang
terwakili.
Medawar barangkali adalah pakar yang perlu dikecualikan dari pengamatan
diatas. Pandangannya, kiranya perlu dikemukan secara tepat agar dapat
memberikan dasar yang mendukung pandangan mengenai struktur keilmuan.
Mengapa kebanyakan ilmuwan sama sekali acuh - bahkan memandang rendah
- metodologi ilmiah? ... karena apa yang sebar-luaskan sebagai metodologi
ilmiah adalah suatu representasi yang salah mengenai apa yang dilakukan oleh
ilmuwan.

Sains muncul sebagai pendekatan induktif hanya karena konvensi bagaimana


sains ditampilkan. Pengembangannya, sebenarnya berlangsung secara intuitif,
tidak diduga, imaginasi, yang kemudian diwujudkan dengan usaha yang lebih
tuntas untuk menyangkalnya.
Teori yang mendasari metoda induktif tidak dapat dipertahankan, ... hipotesis
muncul dari pekerjaan mencoba-coba ... oleh inspirasi ... tidak ada metoda
2

yang handal untuk mengembangkan hipotesis.

Keinginan pengajaran sains yang memreskipsi (prescribing) sains sebagai


metoda ilmiah kiranya kurang menghargai dasar epistemologi keilmuan sains.
Kontradiksi diatas kiranya menyukarkan perumusan pedagogi materi- subyek;
karena, jika dikaitkan dengan dasar hubungan transformasi epistemologi tahap
argumentasi merupakan tahap penting untuk mendeskripsikan ketrampilan
intelektual. Pandangan ini cukup beralasan karena pengetahuan argumentatif
tersebut lebih penting dari pada pengetahuan fakta. Ilmuan dikenal terutama
karena kemampuan intelektualnya yang mempunyai hubungan langsung
dengan teori, bukan fakta. Dengan ketrampilan ini ilmuan mempertimbangkan
apakah suatu teori salah atau benar (Brady dan Holum, 1993).
Sebagai jalan keluar, disarankan adanya suatu transisi dalam penerapan
ketrampilan intelektual. Untuk pendidikan dasar, tahap ekplorasi dapat dibuat
menjadi titik berat; kemudian sejalan dengan perkembangan intelektual
pembelajar titik berat tersebut dapat beralih secara bertahap ke tahap
argumentasi. Agak mengherankan jika keseluruhan pengajaran sains
dipusatkan pada tahap eksplorasi sebagaimana terlihat dalam peranan
praktikum di TPB yang terlalu menyita waktu. Perlu dipikirkan bagaimana
pengajaran sains dapat secara proporsional mengemban kedua tahap
ketrampilan intelektual tersebut.

Dasar Pemilihan Artitkel


Pilihan terhadap artikel: Learning the Scientific Story: A Case Study in the
Teaching and Learning of Elementary Thermodynamics (Arnold dan Millar, 1996)
didasarkan pada pertimbangan kemutakhiran dan pandangan peneliti yang
menghargai kekompleksan masalah PBM. Ini terlihat dari upaya untuk melibatkan
keseluruhan komponen PBM, yaitu, pembelajar (diwakili oleh istilah learning,
Pengajar (diwakili oleh istilah teaching, dan materi-subyek (diwakili oleh istilah
Thermodynamics). Kekompleksan ini membawa konsekuensi yang menarik
terhadap pilihan-pilihan metodologi yang diterapkan untuk menjaga agar antarhubungan tersebut tidak terdistorsi oleh metoda yang tidak cocok, dan
menghindari hasil temuannya yang tidak saling mendukung.
Artikel tersebut menarik karena mula-mula menampilkan beberapa kejanggalan
yang diakibatkan diantaranya oleh keterlibatan peneliti dalam proses penelitian
dengan peranannya sebagai pengajar dalam rangka melancarkan intervensi
mengajar. Sekilas ini janggal karena nampaknya merupakan pelanggaran
terhadap asas fine tuning dari desain eksperimen kelas yang kurang mendukung
adanya perlakuan manipulatif. Seyogianya, tugas mengajar tetap dilakukan oleh
guru-kelas yang ada agar kondisi ekologi dari prose penelitian tetap terpelihara.
Disamping itu, peneliti kiranya melibatkan diri dalam efek kontaminasi peneliti:
kesuksesan mengajar dikontaminasi oleh penampilannya yang luar biasa
dibandingkan dengan penampilan guru-kelas.
Kejanggalan diatas dapat dimengerti, karena disamping sebagai pengajar,
peneliti sebenarnya sudah cukup akrab dengan sekolah tersebut melalui kegiatan
penelitian sebelumnya sejak tahun 1986. Tetapi kejanggalan tidak selesai disini,

karena secara tegas, peneliti menampilkan laporan penelitiannya sebagai suatu


case study, bukan studi tindakan, yang kiranya kurang lazim. Kebanyakan
eksperimen kelas secara mikro dilakukan menggunakan desain studi tindakan
oleh guru kelas. Tetapi dari perspektif penelitian kelas sekarang ini,
penyimpangan ini justru merupakan dukungan terhadap tradisi studi kasus.
Karena keluwesannya, studi kasus dapat digunakan sebagai payung untuk studistudi kualitatif lainnya yang dikembangkan dari fokus permasalahan yang sama.
Fungsi ini kurang dapat diperankan oleh studi tindakan, karena kekhasan
pendekatan yang dilakukan oleh pengajar dan kurang berperannya payung dan
fokus teoretis tertentu.
Langkah maju yang cukup eksplisit ditampilkan dalam mengembangkan dasar
teoretis topik Termodinamika berdasarkan pandangan pakar dan pentingnya
peranan antar-hubungan unsur-unsur dalam suatu bentuk model teoretis untuk
menghindari miskonsepsi. Sejalan dengan langkah ini, penelitian tersebut juga
memapankan peranan eksplanasi pedagogi mendahului eksplanasi ilmiah berupa
model dari topik yang diwujudkan melalui analogi konkrit sesuai dengan
pengalaman pembelajar. Langkah maju ini merupakan kasus istimewa bagi
penelitian kelas karena memberikan dukungan moril terhadap pentingnya
Pedagogi Materi-subyek sebagai domain substansi penelitian kelas baik dari
pandangan pengajar IKIP maupun dari pandangan pengajar di lapangan.
Dukungan yang cukup mendasar terhadap penelitian kelas sekarang ini adalah
pengakuan terhadap asumsi kewacanaan dari PBM yang terlihat dari
penggunaan istilah Story sebagai dasar untuk menyampaikan suatu topik.
Penggunaan istilah ini dimaksudkan sebagai upaya mengangkat peranan antarhubungan yang kompleks dari konsep-konsep pembentuk suatu topik sesuai

dengan kerangka eksplanasi ilmiah. Istilah Story kiranya mirip sekali dengan
eksplanasi ilmiah, sedangkan penggunaan dari analogi konkrit sebenarnya
diturunkan dari model teoretis melalui transformasi pedagogi.
Secara keseluruhan, pekerjaan Arnold dan Millar ini merupakan contoh penelitian
kelas yang perlu dipahami secara mendalam, karena langkahnya dalam
pengintegrasian area-area penelitian yang benar-benar memenuhi kriteria
totalitas PBM. Tiga area penelitian Eksplanasi Pengajar, Eksplanasi Pembelajar,
dan Fungsi Praktikum dalam Pembelajar yang dikemukakan dalam diintegrasikan
oleh peneliti melampaui antisipasi penggabungan 2 area yang disarankan dalam
Bab V. Selama ini hubungan antara fungsi praktikum dan fungsi eksplanasi
pengajar masih merupakan polemik karena kuatnya dominasi pakar-pakar
pembelajaran (Hudson, 1996).
1.

Struktur Global

Dari kepentingan pemahaman penelitian kelas, keterbacaan artikel dapat


ditingkatkan jika struktur artikel diperhalus hingga menampilkan hubungan
hirarkis sub-sub topik seperti yang diinginkan oleh standar penulisan laporan
penelitian. Contohnya, Teaching Elementary Thermodynamics dan The
Thermodynamics Story dapat digabung kedalam satu topik Dasar-Teoretis yang
kiranya akan memudahkan pemahaman karena menyangkut substansi yang
sama.

Gambar 1
Organisasi Artikel

Learning the Scientific Story


6

Introduction

Theory

Evaluation of

o Teaching El. Thermo.

Learning Outcomes

o The Thermo. Story

o Immediat Post-Instr.
Interviews
o Delayed Post-test

Conduct of the Study


o Context & Res.Meth.
o The Teaching Intervension

Implications
o 3 Diff. Concepts
- Student A

- The Water Flow Analogy

- Student B

- Making the Connectins

- Student C

- Written Evidence
- Interim Interviews

o Factors Influencing Learning

- Applying the Model to


Other Contexts
- Extension of the Model

Juga, Context dan Research Methods, dan The Teaching Intervention dapat
disatukan kedalam satu topik Metodologi Penelitian. Walaupun mungkin
penggabungan tersebut menyebabkan kesan formal. Jika ini memang ingin
dihindari, barangkali alasannya dapat diungkapkan dalam pendahuluan.
Jadi secara formal struktur dari artikel hanya terdiri atas 4 bagian. Dasar Teoretis
sebagai sub-topik sebenarnya perlu dikemukakan karena merupakan karakteristik
kuat dari penelitian kelas yang membedakannya dari penelitian standar. Untuk
7

bagian Metodologi Penelitian, jika sekiranya dirasakan terlalu sempit karena


adanya perluasan konteks penelitian yang sebenarnya masih kurang lazim, istilah
Conduct of the Study atau lebih singkat The Study (Pelaksanaan Studi,
contohnya, Tutay, Jeannings, Dixon, 1955) dapat digunakan.
Dengan mengelompokkan sub-sub topik penelitian kedalam format laporan yang
lebih formalnya, pembaca dapat menyimak variasi dan titik berat yang diinginkan
oleh peneliti. Upaya ini dapat diwujudkan melalui analisis lanjutan dengan
mengarahkan perhatian pada setiap sub-bagian dan hubungannya dengan
bagian utamanya.
I.

Analisis Aspek Sintaktikal Penelitian

Dalam menampilkan analisis, pengorganisasian diatas menjadi kerangka analisis


untuk mengidentifikasi unsur-unsur penelitian. Untuk menghindari analisis
menjadi terlalu dipadati oleh informasi, indentifikasi tersebut ditempatkan sejalan
dengan lokasi dari unsur-unsur penelitian didalam teks penelitian hasil
terjemahan dan penyederhanaan. Analisis yang ditempatkan pada kolom kiri
memuat komentar dengan menyertakan jenis komponen penelitian hirarkinya.
Analisis terutama didasarkan pada bab-bab terdahulu dengan mengidentifikasi
unsur-unsur yang dilibatkan dalam teks sambil juga merujuk pada dasar teori
yang ingin dicapai oleh jurnal.
Berbeda dengan penelitian eksperimen pada umumnya yang menekankan
terutama pada hasil temuan, bukan interaksi ketergantungan pelaksanaan PBM.
Penelitian kelas yang dianalisis menekankan interaksi ketergantungan antara
komponen pengajar, pembelajar, dan materi-subyek. Ini terlihat dari upaya untuk
membuktikan seberapa jauh desain Story mampu meningkatkan pemahaman
murid. Secara garis besar ini diwujudkan melalui tahapan intervensi mengajar.
8

Walaupun intervensi mengajar yang diterapkan nampaknya tidak lazim, keadaan


ini dapat dasar untuk merekomendasi pengembangan desain eksperimen kelas
yang lebih kompleks. Karena, desain tersebut ini mempunyai nilai teoretis penting
mengenai cara menghubungkan area-area penelitian Eksplanasi Pengajar,
Fungsi Praktikum dalam Pembelajaran, dan Eksplanasi Pembelajar sebagai suatu
kegiatan siklus dari PBM.
Berikut ini ditampilkan analisis dari lapuran penelitian. Untuk menjaga keutuhan
lapuran, perubahan struktur penelitian tidak langsung diterapkan pada kolom
teks, melainkan pada kolom Analisis dan Komentar.

10

Gambar 2
ANALISIS TEKS PENELITIAN
Analisis

Teks Lapuran Penelitian

I. Pendahuluan
Sintatikal
Memperkenalkan istilah

Pendahuluan

Substansi
istilah-kunci

Story

Pembelajaran Termodinamika Dasar menyangkut tugas memahami model atau Story


yang menggunakan istilah-kunci menurut prilaku benda atau proses yang
dilambangkannya dan antar-hubungannya membentuk suatu model.

Penggunaan Story

Penggunaan istilah-kunci ini sering berbeda dengan pra-konsep siswa, karena mereka

dalam pengajaran

tidak dapat menyimpulkannya dari pengalaman seperti yang dilakukan oleh pakar. Cara
yang lebih produktif untuk mengatasi perbedaan ini adalah dengan menampilkan teori
alternatif, diantaranya Scientific Story agar murid memperoleh kemudahan yang melebihi
kegunaan dari pra-konsepsinya. Kemudahan ini menunjang kegiatan praktikum, diskusi,
dan membuat tulisan mengenai topik tertentu. Pendekatan ini dapat juga diterapkan pada
konteks lain yang masih berhubungan dengan topik termodinamika; jadi menunjukkan
potensi dari penggunaan model teoretis dari topik yang diajarkan.
II. Dasar Teori

Deskripsi Miskonsepsi

Kesulitan murid dalam memahami konsep termodinamika sudah banyak dilapurkan

(contohnya, Thiberghien, 1985). Diantaranya yang terpenting disebabkan oleh


kecenderungan murid menyamakan istilah temperatur dan panas: walaupun mereka
dapat menggunakan termometer, pembacaannya sering dikaitkan dengan besar atau
jenis bahan objek yang diukur.
A. Mengajarkan Termo

Mengajarkan Termodinamika Dasar

Sumber kesulitan

Perpindahan panas sering dikaitkan dengan sifat yang dimiliki oleh panas itu sendiri

siswa

(contohnya, kenaikan panas), atau sifat agen lain (seperti udara) yang memindahkan
panas dari satu lokasi ke lokasi lain. Murid sering kurang mampu mempertimbangkan
keutuhan sistim interaksi termal untuk mendasari penalaran mengenai aliran panas,
terutama faktor lingkungan.
Dalam memahami keseimbangan termal yaitu, proses yang menyebabkan dua objek
yang berbeda temperatur tetapi ahirnya mencapai temperatur yang sama, dengan
demikian sangat mendasar. Tetapi murid sering tidak berhasil menyimpulkan bahwa
benda-benda dalam keseimbangan termal mempunyai temperatur yang sama.
Contohnya, panci yang terbuat dari logam dirasakan lebih panas dari gagangnya.
Kebingungan ini disebabkan oleh ketidak mampuan murid dalam membedakan sifat
intensif dari temperatur yang tidak tergantung pada besarnya benda.

18

B.The Thermo Story


Menghubungkan

o Konsep formal

konsep kunci.

The Thermodynamics Story


Faktor penting dalam mengajarkan termodinamika, dengan demikian terletak pada istilahistilah panas, temperatur, dan kesetimbangan termal yang harus dipisahkan berdasarkan
model atau Story mengenai fenomena termal. Dua faktor penting dalam Story adalah
temperatur dan panas, tetapi keduanya mempunyai hubungan ketergantungan, salah
satu tidak dapat didefinisikan tanpa melibatkan lainnya. Temperatur adalah sifat benda
yang menentukan apakah aliran panas dapat berlangsung ke lingkungannya atau
sebaliknya. Panas adalah energi yang dipindahkan dari satu benda (atau sistim) ke
benda lainnya karena perbedaan temperatur.

Konsep Story:

Konsep Story mengenai keseimbangan termal menyatakan bahwa jika dua benda

o Sederhana

bertemperatur berbeda dibuat berkontak termal, panas akan secara spontan mengalir
dari temperatur tinggi ke temperatur rendah. Berarti temperatur benda dengan temperatur
tinggi akan turun, sedangkan yang rendah akan naik sampai satu saat mencapai
keseimbangan termal.
Tetapi untuk murid sekolah menengah, ini bukan cara yang cocok untuk dilakukan; yang
penting dari konsep Story adalah struktur keseluruhan dari termodinamika yang harus
diterima secara suatu keutuhan. Menyatakan tingkat kepanasan suatu benda sebagai

19

temperatur dan panas sebagai bentuk energi yang terdapat dalam benda panas, kiranya
belum cukup untuk mengungkapkan konsep termodinamika.
o Rumit

Hampir semua kejadian termal sudah tentu lebih rumit dari deskripsi diatas karena juga
menyangkut pertukaran panas dengan lingkungannya. Untuk melibatkan faktor ini, murid
perlu diperkenalkan dengan batas sistem dan unsur-unsur dari interaksi termal. Jadi,
umpamanya, suatu benda dapat dijaga bertemperatur tetap lebih tinggi dari temperatur
lingkungannya. Dalam konteks Story, keadaan ini diinterpretasi sebagai hasil dari
keseimbangan antara aliran panas yang keluar dari suatu objek ke lingkungannya.

o Rumusan:
Keseimbangan
Termal

Keadaan diatas menggambarkan jenis keseimbangan termal dinamik yang menunjukkan


panas yang diterima sama dengan panas yang dilepaskan. Tetapi ini dapat menjadi lebih
rumit oleh keadaan bahwa kecepatan pertukaran panas tidak sama karena perbedaan
dalam hantaran panas. Contohnya, jika kopi panas dituangkan kedalam cangkir,
keduanya akan mencapai keseimbangan termal lebih cepat dari keseimbangan kedua ini
dengan lingkungannya.

Perbedaan pendekatan

Walaupun studi ini mirip dengan pekerjaan Linn dan Songer (1991) karena sama

analogi dengan studi

mengenai fenomena (termal), perbedaan yang cukup penting adalah pada pelibatan

sebelumnya

analogi konkrit. Analogi ini diperlukan sebagai fasa pengenalan yang menghubungkan
pengalaman murid dengan model teoretis tersebut.
20

Dasar penggunaan

Banyak penelitian melapurkan bahwa model teoretis tersebut justru merupakan sumber

konsep yg. kompleks:

kesulitan yang memerlukan diskusi luas untuk memungkinkan murid menggunakannya

Menyederhanakan

dalam diskusi. Karena model tersebut melibatkan istilah pemanasan untuk menjelaskan
proses pemindahan panas, tetapi dengan konsekuensi pelibatan pengertian energi
internal. Benda yang melepaskan panas mengalami penurunan sedangkan benda yang
menerima panas mengalami kenaikkan temperatur.

III. Pelaksanaan Studi


A. Konteks & Met.

Konteks dan Metoda-metoda Penelitian

Penelitian
Subyek penelitian

Studi direncanakan dan dilaksanakan berdasarkan kendala berupa sumber daya terbatas

Konteks:

dan lokasi sekolah menengah yang berada pada pusat kota. Pendekatan mengajar Story

o Lokasi

diterapkan terhadap 94 murid, umur 12 - 13 dari satu angkatan, selama 6 minggu


menurut jadwal yang ada. Kemampuan murid-murid dalam penalaran verbal cukup
memprihatinkan karena berada dibawah standar nasional; kebanyakan murid berasal dari
keluarga minoritas dengan kemampuan berbahasa Inggris yang kurang memadai. Jadi,
konteks yang harus studi dihadapi studi ini sama sekali tidak istimewa.

Metoda:

Semua pengajaran dilakukan oleh peneliti pertama (MA) yang juga adalah guru di

o Karakteristik

sekolah tersebut menggunakan peralatan sederhana, seperti termometer dan gelas

21

Pengajaran
- pekerjaan
sebelumnya

laboratorium tanpa fasilitas komputer mengenai satu unit pengajaran. Jadi, terdapat
perbedaan yang cukup besar antara dan studi sekarang ini dengan pekerjaan Linn dan
Songer (1991 yang menggunakan computer dan teknologi pendidikan tertentu untuk
mendukung penerapan 4 versi kurikulum. Walaupun demikian, diasumsikan bahwa unit
pengajaran yang diterapkan oleh peneliti mempunyai konsekuensi mudah ditransfer
kedalam konteks pengajaran lain.

- Deskripsi Story
. Demonstrasi
aliran air

Pekerjaan Linn dan Songer yang hanya mengidentifikasi pengajaran untuk model
fenomena termal, tanpa rincian mengenai bagaimana memperkenalkannya kepada
murid, merupakan perbedaan penting dalam pendekatan mengajar. Untuk
memperkenalkan pendekatan Story diperlukan analogi konkrit berupa demonstrasi aliran
air di hadapan kelas. Perangkat untuk demonstrasi ini terdiri atas satu wadah gelas
dengan keran di dasarnya, dan satu pipa gelas berkeran yang ditempatkan di atasnya
untuk mengalirkan air. Murid diminta untuk memikirkan bagaimana permukaan air
didalam wadah tersebut bisa dinaikkan, diturunkan, atau dibuat konstan dengan
mengatur keran pada pipa atau keran pada wadah..
Fokus dari demonstrasi adalah faktor air yang masuk, air yang keluar, dan resultan dari
permukaan air dalam wadah. Perhatian murid diarahkan pada ketiga faktor tersebut yang

22

menentukan permukaan air: apakah akan turun, naik, atau konstan.


. Praktikum Pemanasan air

Pelajaran berikutnya melibatkan murid dalam suatu praktikum mengukur setiap interval 1
menit temperatur air dalam wadah kaleng yang dipanaskan dengan lilin. Jarak antara lilin
dan wadah kaleng diatur sedemikian agar temperatur air mula-mula naik dari 20 o dan
stabil pada sekitar 60o . Tugas murid adalah menjelaskan hasil observasi perubahan
temperatur air tersebut.

Memapankan

Tahap akhir mengajar bertugas untuk memapankan hubungan antara demonstrasi aliran air dan

hubungan substantif

praktikum pemanasan air. Kegiatan ini melibatkan penyajian secara ahir dasar ilmiah (eksplanasi)

antara Demonstrasi dan

dari pemanasan air, diskusi panjang lebar mengenai hubungan sifat khusus dari analogi aliran air

praktikum

(air masuk, air keluar, dan permukaan air) dan situasi termal (panas masuk, panas keluar, dan
temperatur konstan air). Hubungan tersebut dijelaskan sebagai level panas dalam sistim setelah
terlebih dahulu model keseimbangan dalam analogi aliran air diperkenalkan. Dengan kasus yang
lebih kompleks, yaitu, keseimbangan termal, murid-murid dibekali dengan model yang berpadu
untuk menginterpretasi gerakan (yang tidak nampak) dari panas. Dengan model ini murid mampu
memahami konsep-konsep panas, temperatur, dan keseimbangan termal secara simulatan, tidak
secara sekuensial sebagaimana terjadi dalam pendekatan konvensional. Dengan cara ini,
pengintegrasian dari pengetahuan sains kedalam satu kerangka berfikir dapat diwujudkan sejak

23

awal daripada menjadi masalah kemudian.


Pendekatan dan

Pendekatan dalam studi ini mencoba menangani himbauan perlunya hubungan yang

Desain

lebih erat antar penelitian pendidikan dan praktek mengajar. Sebagai penelitian kelas,
studi ini terbuka terhadap kritikan mengenai ketidak -mampuannya untuk mengendalikan
variabel eksternal dengan konsekuensi dapat mempengaruhi hasilnya. Lebih jauh,
penelitian kelas juga menghadapi kendala oleh terbatasnya kesempatan untuk
melakukan intervensi kurikulum. Untuk mengatasinya, desain evaluasi iluminatif (Parlett
dan Hamilton, 1976) diterapkan dengan menunjuk semua murid sebagai kelompok
eksperimen dan menggunakan hasil temuan sebelumnya yang menggunakan
pendekatan konvensional sebagai kontrol.

o Pertanyaan
Penelitian

Pertanyaan penelitian utama dalam melakukan studi adalah:


1. Apakah pendekatan berdasarkan Story, yang memperkenalkan istilah-istilah kunci
secara serentak diikuti dengan konsolidasi melalui contoh ganda, menghasilkan
pembelajaran yang lebih baik (dibandingkan dengan pengalaman menggunakan
pendekatan lain)?
2. Apakah pendekatan tersebut memudahkan pemonitoran dan evaluasi guru
terhadap kemajuan murid selama mengajarkan unit pengajaran tertentu?

24

B. Intervensi

Intervensi Pengajaran

Pengajaran
I. Analogi
o Pelaksanaan

Analogi
o Temuan

Analogi yang telah dikemukakan didemonstrasikan dan didiskusikan, dengan


menekankan kegunaannya sebagai model umum dari suatu sistim keseimbangan
dinamik. Tampaknya demonstrasi ini sangat dipahami oleh kebanyakan murid (75 dari 89
yang hadir).

2. Eksperimen

Eksperimen Pemanasan Air: Pemahaman Awal

Pemanasan Air
o Pelaksanaan

Murid-murid memanaskan air untuk memperoleh data temperatur-waktu yang selanjutnya


oTemuan

digunakan untuk mengkonstruksi suatu grafik. Grafik ini menunjukkan mula-mula suatu
kenaikan temperatur diikuti setelah beberapa menit dengan temperatur yang konstan.
Pemahaman murid terhadap hasil eksperimen diungkapkan menggunakan lembaran
kerja. Kira-kira sepertiganya berhasil mengidentifikasi dan mencatat temperatur air yang
konstan. Penjelasan umum yang dikemukakan adalah tidak-memadainya lilin; atau sifat
khusus dari eksperimen. Tetapi, tiga murid berhasil merumuskan hubungan antara
analogi tersebut dan eksperimen pemanasan secara spontan atau barangkali telah

25

mengetahui sebelumnya dengan mengatakan bahwa panas yang hilang dari kaleng-danair sama dengan panas yang dimasukkan.
. Menjaga keabsahan Eksplanasi

Karena studi sebelumnya (Arnold dan Millar, 1994) tidak ada murid yang merumuskan
hubungan ini dengan spontan, temuan diatas dapat disimpulkan sebagai hasil dari
pengajaran menggunakan analogi air. Walaupun bentuk penjelasan murid berbeda
dengan penjelasan pakar sains: hilangnya panas disebut secara eksplisit dan kualitas
panas masuk dan panas keluar dinyatakan secara implisit tetapi cukup jelas. Ide yang
menarik dari jawaban murid adalah bahwa temperatur tertinggi yang dicapai dalam
eksperimen adalah titik didihnya. Perbedaan istilah terletak pada interpretasi: bagi pakar

. Perbedaan:

titik tersebut adalah saat suatu cairan cepat berubah menjadi uap, sedangkan bagi murid,
titik ini menunjukkan temperatur tertinggi yang dapat dicapai oleh suatu cairan bila

Eksplanasi murid

dipanaskan.

dan pakar
3. Membuat Hubungan

Membuat Hubungan

o Simulasi Meng-

Suatu rekaman video mengenai demonstrasi aliran air dan eksperimen pemanasan

ingatkan Kembali
o Menggiatkan diskusi

digunakan untuk memulai pelajaran. Dengan menggunakan eksplanasi ilmiah, guru


mengembangkan arti penting peranan kedua fenomena tersebut dalam mengungkapkan
hubungan kuantitas yang dilibatkan tetapi juga mengungkapkan ketidak-terkaitan rincian

26

oTemuan

peralatan dan metoda terhadap hubungan tersebut. Murid-murid diajak untuk


mengembangkan diantara sesama mereka sifat dasar dari model secara lisan tanpa

-Murid yang

menghubungkannya dengan eksplanasi tertulis.

berhasil

Beberapa murid bersedia dan mampu membandingkan kedua sistim ini untuk kelasnya.
Bila diminta untuk melengkapi lembaran kerja mengenai tugas mengartikan eksperimen
tersebut dalam bentuk eksplanasi yang lebih lengkap dalam kata-katanya sendiri,
kebanyakan berhasil menjelaskan sifat dasar kedua sistim tersebut menggunakan istilahistilah ilmiah yang memadai.
- Murid yg kurang
berhasil
4. Bukti Tertulis

Kegagalan untuk memahami hubungan diatas terbatas pada kelompok kecil murid yang
diketahui mempunyai kesulitan dalam sains.
Bukti Tertulis: Apakah Model Dimengerti?

o Dasar pembuktian

Pekerjaan tertulis menuntut murid untuk menjelaskan keragaman dari fenomena termal
o Temuan

dalam jawaban yang lebih lengkap sesudah diskusi kelompok atau kelas. Pekerjaan ini
diteliti untuk membuktikan adanya pemahaman terhadap ide kunci dalam keseimbangan
antara yang masuk dan keluar dari suatu objek atau sistim.
Seluruhnya ada 70 murid menghasilkan jawaban tertulis yang menunjukkan bahwa
mereka mampu menerapkan analogi tersebut untuk menginterpretasi eksperimen

27

pemanasan. Jika kedua sistim tersebut betul-betul ekivalen, eksplanasi dapat


menggunakan istilah yang mirip, maka dapat diharapkan bahwa mereka dapat
melakukannya, asalkan pemetaan antara kedua sistim ini telah jelas. Dengan meyakini
analogi tersebut, murid-murid mampu mendemonstrasikan aspek logis dari masalah yang
masih dalam jangkauannya.
Hasil positif dari pengajaran yang secara eksplisit menggunakan pemetaan tersebut
menunjukkan bahwa murid-murid dapat mengenal kedua sistim tersebut sebagai suatu
model eksplanasi.
Sifat dasar lain yang mendukung jawaban tertulis tersebut adalah konsentrasi perhatian
murid terhadap prinsip yang mengendalikan prosedur penelitian. Tetapi konsentrasi ini
menyebabkan rincian mengenai peralatan dan metoda hampir tidak tampil karena
kaitannya kurang erat dengan prinsip tersebut.
5. Interviu Berjalan
o Dasar pembuktian

Interviu Berjalan: Apakah Model Dimengerti?


Untuk memastikan bahwa ide yang dikemukakan betul-betul digunakan murid-murid
dalam mengembangkan eksplanasi lisan, sejumlah kecil interviu dilakukan terhadap
mereka yang memberikan jawaban tertulis yang betul dan komprehensif. Setiap interviu
direkam dan ditranskripsikan untuk dianalisis. Pertanyaan juga diajukan mengenai
28

kejadian termal sejenis, seperti hasil dari menyalakan pemanas listrik di dalam kamar
tidur yang dingin dan menjaganya agar satbil dengan temperatur badan.
o Temuan

Terdapat 9 murid yang dapat mengembangkan analogi air dengan menggunakannya


sebagai dasar untuk menjelaskan eksperimen pemanasan menggunakan istilah ilmiah.
Enam dari ke-9 murid tersebut dapat meluaskan model tersebut untuk menginterpretasi
akibat dari menyalakan api kecil didalam kamar tidur yang dingin. Jawaban atau
keyakinan seorang siswa nampaknya sukar diinterpretasi, dan dua lainnya nampaknya
tidak mampu untuk menjelaskan eksperimen tersebut menurut cara yang memadai.
Dua jawaban salah melihat bahwa kamar tersebut menjadi panas sampai temperatur
yang dapat dicapai oleh gas, dan udara dingin di dalam kamar sama dengan temperatur
udara panas. Jawaban ini diberikan oleh seorang murid yang secara konsisten
menggunakan istilah panas dan dingin secara terpisah yang oleh diidentifikasi sebagai
linear causal reasoning.

6. Penerapan Model
o Tujuan

Penerapan Model Terhadap Konteks Lain


Walaupun sebagian besar siswa mampu menerapkan model yang telah dipelajari
terhadap eksperimen pemanasan, ini terbatas pada tujuan awal penelitian. Tujuan dari
urutan mengajar yang lebih luas adalah untuk memungkinkan murid menerapkan model

29

tersebut terhadap berbagai konteks.


o Metoda

Dua eksperimen tambahan dilakukan dalam praktikum berikutnya, satu diantaranya


adalah demonstrasi yang melibatkan penggabungan dua logam aluminium dengan
massa yang sama tetapi berbeda temperatur; murid mencatat perubahan temperatur
masing-masing logam. Eksperimen lainnya, dilakukan secara berpasangan, adalah
mencampurkan air dengan temperatur yang berbeda dan kemudian mengukur temperatur
yang dihasilkan oleh pencampuran tersebut..

o Cara mengevaluasi

Pada akhir dari eksperimen, hasilnya didiskusikan secara berkelompok, sedangkan guru

o Temuan

memberi kontribusi kepada beberapa diskusi, tetapi bukan penjelasan. Murid-murid


diminta untuk menuliskan eksplanasi mereka mengenai kedua eksperimen sebagai
pekerjaan rumah atau untuk pertemuan kelas berikutnya; jawaban yang diberikan
kemudian dianalisis.
Sekali lagi ditemukan bahwa perhatian murid terhadap sifat dasar peralatan dan rincian
prosedur ternyata minimum.
Walaupun eksplanasi tidak secara eksplisit menyebutkan perpindahan panas,
penyebaran panas ternyata disebutkan secara meluas di kedua eksperimen. Bahkan
istilah ini tidak saja lazim digunakan terhadap setiap benda didalam eksperimen, tetapi

30

juga digunakan terhadap antara pasangan balok dan udara sekitarnya.


Keadaan ini menyatakan bahwa murid berhasil membuat perbedaan antara panas dan
temperatur dan menggunakannya dengan tepat dalam membuat penjelasan. Dari 70
murid diyakini telah berhasil memahami secara mendalam model keseimbangan termal
yang diajarkan, 48 dalam konteks tugas balok menyatakan bahwa perpindahan panas
dari balok aluminium panas ke balok yang dingin berlangsung hingga dicapai
termperaturnya sama. Delapan murid juga menyatakan secara eksplisit bahwa
temperatur dari kedua balok tersebut menjadi sama dengan jumlah panas yang sama
karena masa keduanya mempunyai massa yang sama.
7. Perluasan Model
o Dasar

Perluasan Model
Setelah diselingi oleh liburan 2 minggu, pengajaran diteruskan dengan eksperimen yang
lebih menjurus yang menuntut pemahaman terhadap model keseimbangan termal, dan
diferensiasi istilah kunci panas dan temperatur. Sejumlah air panas yang sama
banyaknya ditempatkan di dalam termos dan di dalam gelas piala, temperaturnya dicatat
setiap menit selama 15 menit. Kedua perangkat data ini kemudian dipetakan kedalam
suatu diagram temperatur-waktu, dan murid-murid ditanya mengenai pemahamannya
mengenai perbedaan hasil dari kedua eksperimen.

31

Pertanyaan tersebut mencakup:


1. Jika temperatur mula-mula adalah sama, dan jumlah air didalam termos dan di
dalam gelas piala adalah sama, Apakah yang dinyatakan oleh jumlah PANAS
didalam gelas piala dan di dalam termos pada awal eksperimen?
2. Apa yang terjadi kepada TEMPERATUR di dalam setiap wadah?

o prosedur menganalisis jawaban

3. Apa yang terjadi dengan PANAS di dalam setiap wadah?


4. Mengapa air di dalam setiap wadah beperi-laku berbeda?

Murid yang menunjukkan pemahaman yang cukup memadai terhadap pertanyaan diatas,
mendapat pertanyaan lanjutan berikutnya;
5. Jika eksperimen tersebut mulai dengan menggunakan air es pad temperatur 0 o
dalam gelas piala atau termos, apa perkiraan anda mengenai temperaturnya
setelah selang satu jam, mengapa?
o Temuan
Jawaban dianalisis menurut diferensiasi murid terhadap konsep panas dan temperatur,

32

pemahamannya bahwa panas bergerak dari lokasi bertemperatur tinggi ke lokasi


bertemperatur rendah, dan bahwa lingkungan objek mungkin terlibat dalam perpindahan
tersebut. Pertanyaan 5 tersebut memberikan suatu konteks alternatif penerapan ide
panas dan temperatur untuk mencek apakah murid dapat membuat generalisasi.
Dalam menjawab pertanyaan 1, 50 murid mengenal bahwa kedua wadah pada awalnya
mempunyai jumlah panas yang sama, dengan 7 murid menyimpulkan bahwa termos
dengan temperatur tinggi dan lebih konstan menyarankan bahwa termos tersebut
mempunyai pasokan panas yang lebih banyak.
Dalam menjawab pertanyaan 2 dan 3, 63 murid mengamati bahwa temperatur air di
dalam termos konstan sedangkan yang didalam gelas piala turun dengan cepat. Mereka
mampu memberikan alasan bahwa dari gelas piala panas keluar ke dalam udara
sekitarnya sedangkan yang didalam termos tidak. Murid-murid ini sadar bahwa
perubahan didalam temperatur sejalan dengan penerimaan dan kehilangan panas.
Dalam menjelaskan pertanyaan 4, mungkin perbedaan dari kedua eksperimen
mengalihkan perhatian murid beralih ke penutup kapas menggantikan sumbat agar
memungkinkan termometer tetap berada didalam air termos. Tiga puluh enam murid
medasarkan jawabannya kepada kemampuan termos untuk menahan panas seluruhnya
33

oleh penutup kapas tersebut. Penjelasan lainnya bergantung pada terbukanya gelas
piala dan tidak diselimuti. Menyarankan bahwa interpretasi kenaikan panas, dan udara
merupakan sifat dasar dari jawaban-jawaban lainnya.
Pertanyaan 5 mengenai eksperimen menggunakan air es, dimaksudkan untuk
mengidentifikasi mereka yang dapat menerapkan prinsip yang sama terhadap situasi
yang berbalikan. Tanpa pemahaman yang memadai, murid mungkin akan meramalkan
bahwa temperatur di dalam gelas piala turun, Tetapi, ternyata 29 murid meramalkan
dengan tepat bahwa temperatur akan naik hingga sama dengan temperatur kamar.
Sekali lagi, kegiatan tersebut menunjukkan bahwa kebanyakan murid menggunakan
istilah panas dan temperatur dengan memadai, menghargai efek penerimaan panas
atau kehilangan panas, dan menyertakan peranan lingkungan dalam menentukan
temperatur objek tersebut. Murid dapat menerapkan model untuk meramalkan bahwa di
dalam gelas piala panas hilang dan didalam termos panas tetap. Walaupun sebagian
murid tidak pasti mengenai mekanisme bagaimana termos menahan panas, prinsipnya
cukup jelas bagi mereka. Ke-63 murid yang dapat menerapkan model terhadap konteks
ini ternyata sangat mirip dengan jumlah murid yakin telah memahami model
keseimbangan termal dari sejak awal.

34

J. Keterbatasan Analisis
Analisis dalam Tabel 5.1. dibatasi pada deskripsi penelitian kelas menurut
deskripsi dalam bab-bab sebelumnya. Jadi, walaupun laporan penelitian memuat
bagian Evaluasi of Learning Outcomes, ini tidak disertakan dalam analisis,
karena dasar yang belum tersedia.
Demikian analisis lengkap dari setiap bagian teks penelitian tidak dilakukan
karena bersifat mengulangi analisis yang sudah dilakukan. Tujuan analisis yang
dibatasi untuk memperkenalkan bagaimana peneliti mengkonsolidasikan
penelitiannya dengan demikian tetap dicapai sebatas analisis yang diterapkan
hanya dalam mengidentifikasi unsur-unsur penelitian baik dari aspek teori
maupun aspek metodologi.
Diakui bahwa analisis mungkin memuat kesalahan tertentu karena keterbatasan
waktu untuk melengkapi dasar dari tugas menganalisis. Setiap kritikan yang
dikemukan secara khusus akan menjadi masukan penting bagi penyempurnaan
makalah ini.

Anda mungkin juga menyukai