Anda di halaman 1dari 27

TUGAS PORTOFOLIO ELEKTIF DISASTER NURSING

MAKALAH KONSEP KEPERAWATAN BENCANA

Oleh :
DENIK ANUGRAH LESTARI
NIM: 1320023

PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH SURABAYA
2015

Kata Pengantar

Dengan mengucapkan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya


kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul Konsep Keperawatan
Bencana.
Terima kasih kami sampaikan kepada:
1. Tuhan Yang Maha Esa
2. Dosen pembimbing Merina Widyastuti
3. Serta teman teman yang ikut berpartisipasi dalam proses
pembelajaran.
semoga hasil makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semua dan kami
mengharapkan adanya saran agar makalah kami dapat tercipta dengan sempurna.

Surabaya, Agustus 2015

Penulis

A. KONSEP KEPERAWATAN BENCANA


1. Defnisi Bencana
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam
dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik
oleh faktor alam dan/atau non-alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda, dan dampak psikologis (UU 24/2007).
Penanggulangan bencana adalah seluruh kegiatan yang meliputi aspek
perencanaan dan penanganan bencana

sebelum, saat dan sesudah terjadi

bencana yang mencakup pencegahan, pengurangan (mitigasi), kesiapsiagaan,


tanggap darurat dan pemulihan.
2. Jenis Bencana
Usep Solehudin (2005) mengelompokkan bencana menjadi 2 jenis yaitu:
a. Bencana alam (natural disaster) yaitu kejadian-kejadian alami seperti
kejadian-kejadian alami seperti banjir, genangan, gempa bumi, gunung
meletus, badai, kekeringan, wabah, serangga dan lainnya.
b. Bencana ulah manusia (man made disaster) yaitu kejadian-kejadian karena
perbuatan manusia seperti tabrakan pesawat udara atau kendaraan,
kebakaran, huru-hara, sabotase, ledakan, gangguan listrik, ganguan
komunikasi, gangguan transportasi dan lainnya.
Sedangkan berdasarkan cakupan wilayah, bencana terdiri dari:
a. Bencana Lokal
Bencana ini biasanya memberikan dampak pada wilayah
sekitarnya yang berdekatan.Bencana terjadi pada sebuah gedung atau
bangunan-bangunan disekitarnya.Biasanya adalah karena akibat faktor
manusia seperti kebakaran, ledakan, terorisme, kebocoran bahan kimia dan
lainnya.
b. Bencana Regional

Jenis bencana ini memberikan dampak atau pengaruh pada area


geografis yang cukup luas, dan biasanya disebabkan oleh faktor alam,
seperti badai, banjir, letusan gunung, tornado dan lainnya.
3. Fase-fase Bencana
Menurut Barbara Santamaria (1995), ada 3 fase dalam terjadinya
suatu bencana, yaitu fase preimpact, fase impact dan fase postimpact.
1. Fase preimpact merupakan warning phase, tahap awal dari bencana.
Informasi didapat dari badan satelit dan meteorologi cuaca. Seharusnya
pada fase inilah segala persiapan dilakukan baik oleh pemerintah,
lembaga, dan warga masyarakat.
2. Fase impact merupakan fase terjadinya klimaks dari bencana. Inilah saatsaat dimana manusia sekuat tenaga mencoba untuk bertahan hidup
(survive). Fase impact ini terus berlanjut hingga terjadi kerusakan dan
bantuan-bantuan darurat dilakukan.
3. Fase postimpact adalah saat dimulainya perbaikan dan penyembuhan dari
fase darurat, juga tahap dimana masyarakat mulai berusaha kembali pada
fungsi komunitas normal. Secara umum dalam fase postimpact ini para
korban akan mengalami tahap respon psikologis mulai penolakan, marah,
tawar-menawar, depresi hingga penerimaan.

B. Prinsip Dasar Manajemen Darurat


1. Prinsip Keperawatan manajemen Darurat
Prinsip pada penanganan penderita gawat darurat harus cepat dan tepat
serta

harus

dilakukan

segera

oleh

setiap

orang

yang

pertama

menemukan/mengetahui (orang awam, perawat, para medis, dokter), baik didalam


maupun diluar rumah sakit karena kejadian ini dapat terjadi setiap saat dan
menimpa siapa saja.
Kondisi

gawat

darurat

dapat

diklasifikasikan

sebagai

berikut

(Kumpulan materi mata kuliah Gadar:2005):


a. Gawat darurat
Suatu kondisi dimana dapat mengancam nyawa apabila tidak mendapatkan
pertolongan secepatnya. Contoh : gawat nafas, gawat jantung, kejang,
koma, trauma kepala dengan penurunan kesadaran
b. Gawat tidak darurat
Suatu keadaan dimana pasien berada dalam kondisi gawat tetapi tidak
memerlukan tindakan yang darurat contohnya : kanker stadium lanjut
c. Darurat tidak gawat
Pasien akibat musibah yang datang tiba-tiba tetapi tidak mengancam
nyawa atau anggota badannya contohnya : fraktur tulang tertutup.
d. d. Tidak gawat tidak darurat
Pasien poliklinik yang datang ke UGD
2. Triage Dalam Gawat Darurat

Triage adalah suatusistem seleksi pasien yang menjamin supaya tidak


ada pasien yang tidak mendapatkan perawatan medis. Tujuan triage ini adalah
agar pasien mendapatkan prioritas pelayanan sesuai dengan tingkat kegawatannya.

Pemberian label dalam triage meliputi :


a. Merah : Untuk kasus-kasus gawat darurat
b. Kuning : Untuk kasus gawat tidak darurat atau darurat tidak gawat
c. Hijau : Untuk kasus-kasus tidak gawat tidak darurat/ringan
d. Hitam : Untuk kasus DOA (datang dalam keadaan sudah meninggal).
3. Tindakan Keperawatan Gawat Darurat Sesuai Aspek Legal
Perawat yang membantu korban dalam situasi emergensi harus
menyadari konsekuensi hukum yang dapat terjadi sebagai akibat dari tindakan
yang mereka berikan. Banyak negara-negara yang telah memberlakukan undangundang untuk melindungi personal kesehatan yang menolong korban-korban
kecelakaan. Undang-undang ini bervariasi diberbagai negara, salah satu
diantaranya memberlakukan undang-undang Good Samaritan yang berfungsi
untuk mengidentifikasikan bahasa/ istilah hukum orang-orang atau situasi yang
memberikan kekebalan tanggung jawab tertentu, banyak diantaranya ditimbulkan
oleh adanya undang-undang yang umum.
Perawatan yang dapat dipertanggungjawabkan diberikan oleh perawat
pada tempat kecelakaan biasanya dinilai sebagai perawatan yang diberikan oleh
perawatan serupa lainnya dalam kondisi-kondisi umum yang berlaku. Maka
perawatan yang diberikan tidaklah dianggap sama dengan perawatan yang
diberikan diruangan emergensi.

Perawat-perawat yang bekerja di emergensi suatu rumah sakit harus


menyadari implikasi hukum dari perawatan yang diberikan seperti memberikan
persetujuan dan tindakan-tindakan yang mungkin dilakukan dalam membantu
kondisi mencari bukti-bukti.
4. Fungsi Perawat Dalam Pelayanan Gawat Darurat
a. Melaksanakan asuhan keperawatan gawat darurat
b. Kolaborasi dalam pertolongan gawat darurat
c. Pengelolaan pelayanan perawatan di daerah bencana dan ruang gawat
darurat
5. Tindakan tindakan yang Berhubungan dengan bantuan hidup dasar dan
bantuan hidup lanjut.
Pengetahuan medis teknis yang harus diketahui adalah mengenal
ancaman kematian yang disebabkan oleh adanya gangguan jalan nafas, gangguan
fungsi pernafasan/ventilasi dan gangguan sirkulais darah dalam tubuh kita.
Dalam usaha untuk mengatasi ketiga gangguan tersebut harus dilakukan
upaya pertolongan pertama yang termasuk dalambantuan hidup dasar yang
meliputi :
a. Pengelolaan jalan nafas (airway)
b. Pengelolaan fungsi pernafasan/ventilasi (breathing management)
c. Pengelolaan gangguan fungsi sirkulasi (circulation management)
Setelah bantuan hidup dasar terpenuhi dilanjutkan pertolongan lanjutan
ataubantuan hidup lanjut yang meliputi :
a. Penggunaan obat-obatan (drugs)

b. Dilakukan pemeriksaan irama/gelombang jantung (EKG)


c. Penanganan dalam kasus fibrilasi jantung (fibrilasi)
Khusus untuk kasus-kasus kelainan jantung pengetahuan tentang ACLS
(Advanced Cardiac Life Sipport) setelah tindakan ABC dilakukan tindakan D
(differential diagnosis), untuk kasus-kasus ATLS (Advanced Trauma Life
Support) setelah ABC dilanjutkan dengan D (disability) serta E (exposure)

C. penilaian sistemik sebelum, selama ,dan setelah bencana


1. Fase pertama, mitigasi: upaya untuk memperkecil dampak dari bencana,
meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat. Ada 2 bentuk mitigasi yang lazim
dilakukan yaitu:
a. Mitigasi struktural merupakan upaya PRB dengan cara membangun
lingkungan fisik dengan menggunakan rekayasa struktur, seperti
pembangunan bangunan tahan gempa, pengendalian lingkungan dengan
pembuatan kanal banjir, drainase, dan terasering.
b. Mitigasi non-struktural adalah upaya PRB dengan cara merubah
prilaku manusia atau proses alamiah, seperti penyusunan kebijakan,
peraturan perundang-undangan, PRB, pendidikan, dan penyadaran
masyarakat, modifikasi non-struktural, perubahan perilaku masyarakat.
2. Fase kedua, kesiapsiagaan: Merencanakan bagaimana menanggapi bencana
dilakukan dalam fase ini. Hal tersebut meliputi: Merencanakan kesiapsiagaan,
penilaian kerentanan, kelembagaan, Sistem informasi, basis sumberdaya,
membangun sekolah siaga bencana, memasukkkan unsur PRB dalam kurikulum
sekolah, Sistem peringatan dini, mekanisme tanggap, pendidikan public dan
pelatihan, kesiapan logistic, membuat rencana kontijensi, kemudian diuji
coba kesiapsiagaan terhadap bencana.
3. Fase ketiga, Respon: Upaya memperkecil kerusakan yang disebabkan oleh
bencana, Pencarian dan penyelamatan korban diantaranya: Triage korban
bencana dan pemilahan korban, pemeriksaan kesehatan, dan mempersiapkan
korban untuk tindakan rujukan. Selain itu juga memfungsikan pos kesehatan
lapangan (rumah sakit lapangan), mendistribusikan logistik (obat-obatan, gizi,
air bersih, sembako), menyediakan tempat tinggal sementara dan penanganan
pos traumatic stress.
4. Fase keempat, Recovery: tindakan mengembalikan masyarakat ke kondisi normal.
Peristiwa ini menfokuskan pada perbaikan sarana dan prasarana, yaitu:
rehabilitasi dan rekonstruksi. Adapun rehabilitasi merupakan upaya untuk
membantu komunitas memperbaiki rumahnya, mengembalikan fungsi pelayanan
umum, perbaikan sarana transportasi, komunikasi, listrik, air bersih dan sanitasi,

dan pelayanan pemulihan kesehatan. Selanjutnya rekonstruksi merupakan upaya


jangka menengah dan jangka panjang seperti pembangunan kembali sarana dan
prasarana, serta pemantapan kemampuan institusi pemerintah, sehingga
terjadinya perbaikan fisik, social dan ekonomi untuk mengembalikan kehidupan
komunitas pada kondisi yang sama atau lebih baik dari sebelumnya.
D. Aspek Legal Keperawatan Bencana
Kegawatan suatu yang menimpa seseorang yang dapat menimbulkan
proses mengancam jiwa, dalam arti pertolongan tepat, cermat dan cepat bila tidak
dapat menyebabkan seseorang meninggal atau cacat ( Seri PPGD/GELS, Materi
Tekhnis Medis Standar Depkes 2003).Sedangkan kedaruratan adalah sebuah
tindakan atau aksi secara darurat yang dilakukan oleh seorang petugas yang
mempunyai keterampilan untuk memberikan pertolongan agar seseorang dapat
diselamatkan jiwanya dan terhindar dari kecacatan.
Undang undang penanggulangan bencana nomor 24 tahun 2007 dalam
Bab I Tentang ketentuan umum Pasal 1 Ayat (10),Tanggap darurat bencana
adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian
bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan yang meliputi
kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan
dasar, perlindungan pengurusan pengungsi, serta pemulihan sarana dan pra
sarana.
Undang undang Kesehatan nomor 36 tahun 2009 Pasal 32 Ayat (1) Dalam
keadaan darurat fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta
wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan
pencegahan kecacatan terlebih dahulu. Ayat (2) Dalam keadaan darurat Fasilitas
pelayanan kesehatan baik pemerintah dan swasta dilarang menolak pasien
dan/atau meminta uang muka.
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dalam Bab II
Pasal 4, setiap orang berhak atas kesehatan, dalam penjelasannya hak untuk
memperoleh kesehatan dari fasilitas pelayanan kesehatan, agar dapat mewujudkan
derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Pasal ini mengatakan setiap individu

dan masyarakat berhak atas nilai nilai kesehatan serta mendapatkan pelayanan
kesehatan yang optimal dan paripurna.
1. LANDASAN HUKUM PELAYANAN GAWAT DARURAT
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)
i)

2. ASPEK

UU NO 9 Tahun 1960 Pokok Kesehatan


UU NO 6 Tahun 1963 Tenaga Kesehatan
UU NO 29 Tahun 2004 Praktik Kedokteran
UU NO 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
UU NO 36 Tahun 2009 Kesehatan
UU NO 44 TAHUN 2009 Rumah sakit
PP NO 32 TAHUN 1996 Tenaga Kesehatan
PP NO 51 Tahun 2009 Pekerjaan Kefarmasian
Berbagai Peraturan Menteri Kesehatan

ASPEK

HUKUM

DAN

PERLINDUNGAN

HUKUM

PELAYANAN GAWAT DARURAT


Dalam Undang undang Rumah Sakit Nomor 44 tahun 2009 Bab I
Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat (1) Rumah Sakit adalah institusi pelayanan
kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat Inap,
Rawat Jalan dan Rawat Darurat. Ini membuktikan bahwa rumah sakit wajib
memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien atau penderita dengan arti
kata setiap rumah sakit wajib memiliki sarana, pra sarana dan SDM dalam
pengelolaan pelayanan gawat darurat, ini membuktikan adanya kepastian hukum
dalam pelayanan gawat darurat di rumah sakit.
Gawat darurat adalah suatu kondisi klinik yang memerlukan pelayanan
medis. Gawat
Darurat medis adalah suatu kondisi dalam pandangan penderita,
keluarga, atau siapapun yang bertanggung jawab dalam membawa penderita ke
rumah sakit memerlukan pelayanan medis segera. Penderita gawat darurat
memerlukan pelayanan yang cepat, tepat, bermutu dan terjangkau. (Etika dan
Hukum Kesehatan, Prof.Dr.Soekijo Notoatmojo 2010).
Kepmenkes RI nomor 1239/Menkes/SK/XI/2001 Tentang Registrasi dan
Praktik Keperawatan, Pasal 20, Dalam darurat yang mengancam jiwa
seseorang/pasien, perawat berwenang untuk melakukan pelayanan kesehatan

diluar kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 15, Pelayanan dalam


keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 ditujukan untuk
penyelamatan jiwa.
Permenkes Nomor RI HK.02.02.MENKES/148/2010, tentang regitrasi dn
izin praktik keperawatan Pasal 10 Ayat (1), Dalam darurat yang mengancam jiwa
seseorang/pasien, perawat berwenang untuk melakukan pelayanan kesehatan
diluar kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, Pasal 11 poin (a)
Perawat berhak Memperoleh perlindungan hukum.
Permenkes

Nomor 152/Menkes/Per/IV/2007 Tentang

Izin

dan

penyelenggaran Praktik Kedokteraan dan kedokteran Gigi, BAB III Pasal 15


Ayat (I), Dokter dan dokter Gigi dapat memberilan pelimpahan suatu tindakan
kedokteran dan tindakan kedokteran gigi , kepada perawat, bidan atau tenaga
kesehatn lainnya secara tertulis.
Tingkat pasien gawat darurat :
1. Kelompok dengan cedera ringan yang tanpa pelayanan medis tidak akan
mengancam nyawanya.
2. Kelompok dengan cedera sedang/berat yang jika diberi pertolongan akan dapat
menyelamatkan jiwanya.
3. Kelompok dengan cedera sangat berat atau parah yang walau diberi pertolongan
tidak

akan

menyelamatkan

jiwanya

Kesehatan, Prof.Dr.Soekijo Notoatmojo 2010).

Kompetensi perawat bencana meliputi :


1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Triage gawat darurat / bencana


Pelaksana penyelamatan kehidupan dasar
Pelaksana tindakan kep gadar
Pemenuhan keb klien gadar
Monitoring
Dokumentasi
Penanganan kepanikan klien dan keluarga
Penanganan sukarelawan bencana

(Etika

dan

Hukum

E. Perawatan darurat selama bencana


Biasanya pertolongan pertama pada korban bencana dilakukan tepat
setelah keadaan stabil.Setelah bencana mulai stabil, masing-masing bidang tim
survey mulai melakukan pengkajian cepat terhadap kerusakan-kerusakan, begitu
juga perawat sebagai bagian dari tim kesehatan. Perawat harus melakukan
pengkajian secara cepat untuk memutuskan tindakan pertolongan pertama.Ada
saat dimana seleksi pasien untuk penanganan segera (emergency) akan lebih
efektif. (Triase )
TRIASE :
1. Merah---paling penting, prioritas utama. keadaan yang mengancam
kehidupan sebagian besar pasien mengalami hipoksia, syok,
trauma dada, perdarahan internal, trauma kepala dengan kehilangan
kesadaran, luka bakar derajat I-II
2. Kuning --- penting, prioritas kedua. Prioritas kedua meliputi injury
dengan efek sistemik namun belum jatuh ke keadaan syok karena
dalam keadaan ini sebenarnya pasien masih dapat bertahan selama
30-60 menit. Injury tersebut antara lain fraktur tulang multipel,
fraktur terbuka, cedera medulla spinalis, laserasi, luka bakar derajat
II
3. Hijau --- prioritas ketiga. Yang termasuk kategori ini adalah fraktur
tertutup, luka bakar minor, minor laserasi, kontusio, abrasio, dan
dislokasi
4. Hitam --- meninggal. Ini adalah korban bencana yang tidak dapat
selamat dari bencana, ditemukan sudah dalam keadaan meninggal
Peran perawat
1. Bencana tentu memberikan bekas khusus bagi keadaan fisik, sosial, dan
psikologis korban.
2. Selama masa perbaikan perawat membantu masyarakat untuk kembali pada
kehidupan normal.

3. Beberapa penyakit dan kondisi fisik mungkin memerlukan jangka waktu


yang lama untuk normal kembali bahkan terdapat keadaan dimana
kecacatan terjadi

F. Asuhan Psikososial Bagi Para Korban Dan Keluarga


Stresor yang terjadi pada bencana meliputi stresor fisik, lingkungan dan
pikiran. Stresor fisik adalah cedera fisik yang diakibatkan oleh bencana dari
tingkat ringan sampai berat, dan dapat pula mengakibatkan korban meninggal.
Masyarakat yang selamat dan tinggal di pengungsian juga rentan mengalami
gangguan kesehatan fisik. Stresor lingkungan adalah rusak dan hilangnya harta
benda (rumah, sawah, ladang dll). Respon individu terkait bencana dan stressor
yang menyertainya bervariasi sesuai dengan kemampuan dalam melakukan
adaptasi dengan kondisi kehidupan yang berubah. Ansietas dan depressi
merupakan respon yang paling sering ditemukan sejalan dengan proses
kehilangan yang terjadi. Kondisi ini dapat cepat pulih, namun pada individu
tertentu dapat berakibat lebih lanjut. Untuk itu diperlukan penanganan segera agar
ketahanan mental dan pemulihan kondisi kejiwaan dapat terjadi sehingga
masyarakat dapat membangun kembali kehidupan dengan semangat baru yang
penuh harapan.
Post traumatic stress disorder(PTSD) merupakan salah satu masalah
kejiwaan yang dapat terjadi pada korban bencana. PTSD adalah gangguan ansietas
yang terjadi akibat peristiwa traumatic/bencana yang mengancam keselamatan
dan membuat individu merasa tidak berdaya. PTSD ada tiga macam yaitu PTSD
akut terjadi 1-3 bulan setelah bencana, PTSD kronik terjadi setelah tiga bulan, dan
PTSD dengan onset yang memanjang (with delayed onset).
Tanda dan gejala PTSD dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu:
a. Merasakan kembali peristiwa traumatic (reexperiencing symptom), merasakan
kejadian terjadi kembali, muncul dalam bentuk bayangan, mimpi buruk,
bertindak seakan peristiwa terulang kembali, merasa sangat menderita jika
mengingatnya dan disertai detakan jantung yang hebat dan berkeringat.
b. Menghindar (avoidance symptom), yaitu menghindar terhadap hal yang
mengingatkan terhadap peristiwa trauma. Hal ini dapat distimulus dari pikiran
sendiri

atau

lingkungan

yang

menimbulkan

perasaan

yang

tidak

menyenangkan. Tanda dan gejala yang muncul adalah usaha keras menghindari
pikiran, perasaan atau perbincangan tentang peristiwa traumatis, menghindari
orang atau tempat yang mengingatkan peristiwa traumatis, sulit mengingat
kejadian traumatis, kehilangan minat melakukan hal-hal positif, merasa jauh
dari orang lain, sulit merasakan kesenangan, tidak punya harapan dan merasa
kehidupan terputus.
c. Waspada (hyperarousal symptom), mengalami peningkatan mekanisme
fisiologik tubuh pada saat tubuh istirahat. Tanda dan gejala yang muncul
seperti sulit tidur, tidur tetapi gelisah, mudah dan lekas marah dan meledakledak, sulit berkonsentrasi, selalu awas seakan bahaya mengincar, gelisah, tidak
tenang dan mudah terpicu/waspada.
Strategi Penanggulangan Dampak Psikososial Pada Bencana
Masalah psikososial pada korban bencana dapat dikelompokkan sesuai dengan
dampak bencana yang dialami yaitu:
1. Masyarakat yang selamat disertai orang yang dicintai juga selamat dan harta
bendapun selamat.
2. Masyarakat yang selamat tetapi harta benda rusak dan hancur; atau
masyarakat yang selamat tetapi kehilangan orang yang dicintai.
3. Masyarakat yang selamat disertai dengan kehilangan orang yang dicintai dan
kehilangan harta benda
Masyarakat yang kena dampak bencana umumnya tinggal di
pengungsian, namun ada juga yang mengungsi ke rumah keluarga (yang
mempunyai sistem pendukung sosial).
Untuk itu strategi penanggulangan atau pendekatan psikososial dibagi
sebagai berikut: kegiatan di tempat pengungsian, kegiatan di tempat barak
pengganti rumah, kegiatan di rumah atau kembali ke desa.

Teknik pada keluarga dan individu


Pada saat kegiatan kelompok kecil dapat diidentifikasi anggota
kelompok yang mempunyai kebutuhan khusus misalnya yang kehilangan anggota
keluarga, rumah, harta benda, cedera, gangguan jiwa. Lakukan perawatan sesuai
dengan masalah yang dialami secara profesional yaitu oleh perawat jiwa atau
dokter jiwa. Diagnosa keperawatan yang dapat diidentifikasi adalah Ansietas,
PTSD, Harga diri rendah (situasional/kronik), Keputusasaan, Ketidakberdayaan,
Gangguan citra tubuh, Risiko perilaku kekerasan, Gangguan sensori persepsi:
halusinasi, Isolasi sosial, Risiko bunuh diri, Defisit perawatan diri. Pertimbangkan
rujukan yang diperlukan ke puskesmas, dan rumah sakit.

G. Perawatan Kelompok Rentan


Kelompok yang paling sering menanggung risiko dalam situasi darurat
adalah perempuan, anak-anak, orang lanjut usia, penyandang cacat dll.Kerentanan
tertentu mempengaruhi kemampuan orang untuk menghadapi dan bertahan hidup
dalam suatu bencana, dan mereka yang paling beririko harus diidentifikasi dalam
setiap konteks.
Berikut ini merupakan standar tandar bantuan gizi untuk kelompok
berisiko:
a. Bayi berumur kurang dari enam bulan harus diberi ASI secara
eksklusif atau dalam kasus-kasus khusus dapat diberikan susu
pengganti ASI yang tepat dalam jumlah yang memadai.
b. Anak-anak berumur 6-24 bulan mempunyai akses terhadap
makanan tambahan yang bergizi dan sarat energi.
c. Perempuan yang hamil atau menyusui mempunyai akses terhadap
gizi dan bantuan tambahan
d. Perhatian khusus diberikan untuk melindungi, meningkatkan dan
mendukung perawatan gizi bagi wanita usia subur.
e. Informasi, pendidikan dan pelatihan yang tepat tentang gizi
diberikan kepada para professional yang relevan, juru rawat, dan
lembaga-lembaga yang bergerak dalam praktek pemberian makan
bayi dan anak.
f. Akses kaum lanjut usia untuk mendapatkan makanan yang bergizi
dan dukungan gizi yang tepat dilindungi, ditingkatkan, dan
didukung.
g. Keluarga yang mempunyai anggota keluarga sakit kronis, termasuk
mereka yang menderita HIV/AIDS dan anggota keluarga yang
mempunyai kecacatan tertentu mempunyai akses terhadap
makanan bergizi yang tepat dan dukungan gizi yang memadai.
h. Terbangun system berbasis komunitas untuk menjamin perawatan
individu-individu yang rentan secara semestinya.

H. MANAJEMEN KORBAN MASSAL DI RS

Penilaian awal korban cedera kritis akibat cedera multipel merupakan


tugas yang menantang, dan tiap menit bisa berarti hidup atau mati. Sistem
Pelayanan Tanggap Darurat ditujukan untuk mencegah kematian dini (early)
karena trauma yang bisa terjadi dalam beberapa menit hingga beberapa jam sejak
cedera (kematian segera karena trauma, immediate, terjadi saat trauma. Perawatan
kritis, intensif, ditujukan untuk menghambat kematian kemudian, late, karena
trauma yang terjadi dalam beberapa hari hingga beberapa minggu setelah trauma).
Kematian dini diakibatkan gagalnya oksigenasi adekuat pada organ vital
(ventilasi tidak adekuat, gangguan oksigenisasi, gangguan sirkulasi, dan perfusi
end-organ tidak memadai), cedera SSP masif (mengakibatkan ventilasi yang
tidak adekuat dan / atau rusaknya pusat regulasi batang otak), atau keduanya.
Cedera penyebab kematian dini mempunyai pola yang dapat diprediksi
(mekanisme cedera, usia, sex, bentuk tubuh, atau kondisi lingkungan). Tujuan
penilaian awal adalah untuk menstabilkan pasien, mengidentifikasi cedera /
kelainan pengancam jiwa dan untuk memulai tindakan sesuai, serta untuk
mengatur kecepatan dan efisiensi tindakan definitif atau transfer kefasilitas
sesuai.
Bencana adalah setiap keadaan dimana jumlah pasien sakit atau cedera
melebihi kemampuan sistem gawat darurat yang tersedia dalam memberikan
perawatan adekuat secara cepat dalam usaha meminimalkan kecacadan atau
kematian (korban massal), dengan terjadinya gangguan tatanan sosial, sarana,
prasarana (Bencana kompleks bila disertai ancaman keamanan). Bencana
mungkin disebabkan oleh ulah manusia atau alam. Keberhasilan pengelolaan
bencana memerlukan perencanaan sistem pelayanan gawat darurat lokal,
regional dan nasional, pemadam kebakaran / rescue, petugas hukum dan
masyarakat.
1. Tingkat respon bencana
Akan menentukan petugas dan sarana apa yang diperlukan ditempat
kejadian :
Respons Tingkat I : Bencana terbatas yang dapat dikelola oleh petugas
sistim gawat darurat dan penyelamat lokal tanpa memerlukan bantuan dari
luar organisasi.

Respons Tingkat II : Bencana yang melebihi atau sangat membebani


petugas sistim gawat darurat dan penyelamat lokal hingga membutuhkan
pendukung sejenis serta koordinasi antar instansi. Khas dengan banyaknya
jumlah korban.
Respons Tingkat III : Bencana yang melebihi kemampuan sumber sistim
gawat darurat dan penyelamat baik lokal atau regional. Korban yang
tersebar pada banyak lokasi sering terjadi. Diperlukan koordinasi luas
antar instansi.
2. Penilaian Ditempat Dan Prioritas Triase
Bila jumlah korban serta parahnya cedera tidak melebihi kemampuan
pusat pelayanan, pasien dengan masalah mengancam jiwa dan cedera
sistem berganda ditindak lebih dulu. Bila jumlah korban serta parahnya
cedera melebihi kemampuan *) dst dibawah algoritma

3. Jalur untuk Transport Korban


Petugas keamanan bersama petugas medis menetapkan perimeter sekitar
lokasi bencana yang disebut Zona Panas. Ditentukan jalur yang dinyatakan
aman untuk memindahkan korban ke perimeter kedua atau zona dimana
berada Area Tindakan Utama. Tidak seorangpun diizinkan melewati
perimeter Zona Panas untuk mencegah salah menempatkan atau
memindahkan pasien secara tidak aman tanpa izin.

4. Keamanan.
Mengamankan penolong dan korban. Petugas keamanan mengatur semua
kegiatan dalam keadaan aman bagi petugas rescue, pemadaman api,
evakuasi, bahan berbahaya dll. Bila petugas keamanan melihat keadaan
berpotensi bahaya yang bisa membunuh penolong atau korban, ia punya
wewenang menghentikan atau merubah operasi untuk mecegah risiko
lebih lanjut.
Semua anggota Tim Tanggap Pertama dapat bekerja bersama secara cepat
dan efektif dibawah satu sistem komando yang digunakan dan dimengerti,
untuk menyelamatkan hidup, untuk meminimalkan risiko cedera serta
kerusakan.

I.

PEMULIHAN PASCA BENCANA


Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan
publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana
dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua
aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pasca bencana.
Rehabilitasi dilakukan melalui kegiatan : perbaikan lingkungan daerah
bencana, perbaikan prasarana dan sarana umum, pemberian bantuan perbaikan
rumah masyarakat, pemulihan sosial psikologis, pelayanan kesehatan, rekonsiliasi
dan resolusi konflik, pemulihan sosial ekonomi budaya, pemulihan keamanan dan
ketertiban, pemulihan fungsi pemerintahan, dan pemulihan fungsi pelayanan
publik.
A. Ruang Lingkup Pelaksanaan
1.

Perbaikan Lingkungan Daerah Bencana

Perbaikan lingkungan fisik meliputi kegiatan : perbaikan lingkungan fisik untuk


kawasan pemukiman, kawasan industri, kawasan usaha dan kawasan gedung.
Indikator yang harus dicapai pada perbaikan lingkungan adalah kondisi
lingkungan yang memenuhi persyaratan teknis, sosial, ekonomi, dan budaya serta
ekosistem
2.

Perbaikan Prasarana dan Sarana Umum

Prasarana dan sarana umum adalah jaringan infrastruktur dan fasilitas fisik yang
menunjang kegiatan kehidupan sosial dan perekonomian masyarakat. Prasarana
umum atau jaringan infrastruktur fisik disini mencakup : jaringan jalan/
perhubungan, jaringan air bersih, jaringan listrik, jaringan komunikasi, jaringan
sanitasi dan limbah, dan jaringan irigasi/ pertanian.
Sarana umum atau fasilitas sosial dan umum mencakup : fasilitas kesehatan,
fasilitas perekonomian, fasilitas pendidikan, fasilitas perkantoran pemerintah, dan
fasilitas peribadatan.

3.

Pemberian Bantuan Perbaikan Rumah Masyarakat

Yang menjadi target pemberian bantuan adalah masyarakat korban bencana yang
rumah/ lingkungannya mengalami kerusakan struktural hingga tingkat sedang
akibat bencana, dan masyarakat korban berkehendak untuk tetap tinggal di tempat
semula. Kerusakan tingkat sedang adalah kerusakan fisik bangunan sebagaimana
Pedoman Teknis (DepPU, 2006) dan/ atau kerusakan pada halaman dan/ atau
kerusakan pada utilitas, sehingga mengganggu penyelenggaraan fungsi huniannya.
Untuk bangunan rumah rusak berat atau roboh diarahkan untuk rekonstruksi.
Tidak termasuk sasaran pemberian bantuan rehabilitasi adalah rumah/ lingkungan
dalam kategori:
a. Pembangunan kembali (masuk dalam rekonstruksi)
b. Pemukiman kembali (resettlement dan relokasi)
c. Transmigrasi ke luar daerah bencana
4.

Pemulihan Sosial Psikologis

Pemulihan sosial psikologis adalah pemberian bantuan kepada masyarakat yang


terkena dampak bencana agar dapat berfungsi kembali secara normal. Sedangkan
kegiatan psikososial adalah kegiatan mengaktifkan elemen-elemen masyarakat
agar dapat kembali menjalankan fungsi sosial secara normal. Kegiatan ini dapat
dilakukan oleh siapa saja yang sudah terlatih.
Pemulihan sosial psikologis bertujuan agar masyarakat mampu melakukan tugas
sosial seperti sebelum terjadi bencana, serta tercegah dari mengalami dampak
psikologis lebih lanjut yang mengarah pada gangguan kesehatan mental.
5.

Pelayanan Kesehatan

Pemulihan pelayanan kesehatan adalah aktivitas memulihkan kembali segala


bentuk pelayanan kesehatan sehingga minimal tercapai kondisi seperti sebelum
terjadi bencana.
Pemulihan sistem pelayanan kesehatan adalah semua usaha yang dilakukan untuk
memulihkan kembali fungsi sistem pelayanan kesehatan yang meliputi : SDM
Kesehatan, sarana/prasarana kesehatan, kepercayaan masyarakat.

6.

Rekonsiliasi dan Resolusi Konflik

Kegiatan rekonsiliasi adalah merukunkan atau mendamaikan kembali pihak-pihak


yang terlibat dalam perselisihan, pertengkaran dan konflik. Sedangkan kegiatan
resolusi adalah memposisikan perbedaan pendapat, perselisihan, pertengkaran
atau konflik dan menyelesaikan masalah atas perselisihan, pertengkaran atau
konflik tersebut.
Rekonsiliasi dan resolusi ditujukan untuk membantu masyarakat di daerah
bencana untuk menurunkan eskalasi konflik sosial dan ketegangan serta
memulihkan kondisi sosial kehidupan masyarakat.
7.

Pemulihan Sosial Ekonomi Budaya

Pemulihan sosial ekonomi budaya adalah upaya untuk memfungsikan kembali


kegiatan dan/ atau lembaga sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di daerah
bencana.
Kegiatan pemulihan sosial, ekonomi, dan budaya ditujukan untuk menghidupkan
kembali kegiatan dan lembaga sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di daerah
bencana seperti sebelum terjadi bencana.
8.

Pemulihan Keamanan dan Ketertiban

Pemulihan keamanan adalah kegiatan mengembalikan kondisi keamanan dan


ketertiban masyarakat sebagaimana sebelum terjadi bencana dan menghilangkan
gangguan keamanan dan ketertiban di daerah bencana.
Pemulihan keamanan dan ketertiban ditujukan untuk membantu memulihkan
kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat di daerah bencana agar kembali
seperti kondisi sebelum terjadi bencana dan terbebas dari rasa tidak aman dan
tidak tertib.
9.

Pemulihan Fungsi Pemerintahan

Indikator yang harus dicapai pada pemulihan fungsi pemerintahan adalah :


a. Keaktifan kembali petugas pemerintahan.
b. Terselamatkan dan terjaganya dokumen-dokumen negara dan
pemerintahan.
c. Konsolidasi dan pengaturan tugas pokok dan fungsi petugas
pemerintahan.

d. Berfungsinya kembali peralatan pendukung tugas-tugas


pemerintahan.
e. Pengaturan kembali tugas-tugas instansi/lembaga yang saling
terkait.

10. Pemulihan Fungsi Pelayanan Publik


Pemulihan fungsi pelayanan publik adalah berlangsungnya kembali berbagai
pelayanan publik yang mendukung kegiatan/ kehidupan sosial dan perekonomian
wilayah yang terkena bencana.
Pemulihan fungsi pelayanan publik ini meliputi : pelayanan kesehatan, pelayanan
pendidikan, pelayanan perekonomian, pelayanan perkantoran umum/pemerintah,
dan pelayanan peribadatan.

B.

Prinsip-Prinsip Pemulihan
Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana

Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Rehabilitasi


dan Rekonstruksi Pasca Bencana, maka prinsip dasar penyelenggaraan rehabilitasi
dan rekonstruksi pasca bencana adalah
1. Merupakan tanggung jawab Pemerintah Daerah dan Pemerintah
2. Membangun menjadi lebih baik (build back better) yang terpadu dengan
konsep pengurangan risiko bencana dalam bentuk pengalokasian dana
minimal 10% dari dana rehabilitasi dan rekonstruksi
3. Mendahulukan kepentingan kelompok rentan seperti lansia, perempuan,
anak dan penyandang cacat
4. Mengoptimalkan sumberdaya daerah
5. Mengarah pada pencapaian kemandirian masyarakat, keberlanjutan program
dan kegiatan serta perwujudan tatakelola pemerintahan yang baik
6. Mengedepankan keadilan dan kesetaraan gender.

Mengacu pada arahan Presiden Republik Indonesia pada Sidang Kabinet


Paripurna 25 November 2010, maka pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi
agar dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip dasar, sebagai berikut:

1. Dilaksanakan dengan memperhatikan UU nomor 24 tahun 2007 tentang


Penanggulangan Bencana dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana
pada tahap pasca bencana
2. Dilaksanakan dengan memperhatikan Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2010
tentang Penggunaan Kawasan Hutan;
3. Dilaksanakan dengan memperhatikan Undang Undang nomor 26 tahun
2007 tentang Penataan Ruang dalam proses perencanaan tata ruang, proses
pemanfaatan ruang dan proses pengendalian pemanfaatan ruang;
4. Dilaksanakan dengan memperhatikan UU 27 tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil dalam perencanaan,
pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau
pulau kecil;
5. Dilaksanakan dengan memperhatikan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah nomor 38
tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

DAFTAR PUSTAKA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2007
TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA
Efendi, F & Makfudli. 2009. Keperawatan kesehatan komunitas: Teori dan
praktik dalam keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Turkanto.2006. Splinting & Bandaging. Kuliah Keperawatan Kritis. Surabaya:
PSIK Universitas Airlangga.

Anda mungkin juga menyukai