Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Selama berabad-abad, pigmentasi pada kulit menempati posisi penting


dalam menentukan peran sosial dan kelainan pigmentasi pada kulit sering kali
menimbulkan pertanyaan bagi para ahli. Variasi pada pigmentasi kulit
merupakan karakteristik manusia yang paling jelas.
Terdapat hubungan antara kadar pigmen kulit dengan asal dan tempat
tinggal seseorang. Individu yang tinggal di dataran rendah dan terekspos radiasi
ultraviolet yang lebih tinggi memiliki kadar pigmen yang lebih tinggi. Hal ini
bermanfaat untuk melindungi kulit dari kerusakan kulit yang diinduksi oleh sinar
radiasi ultra violet. Populasi manusia yang bertempat tinggal di daerah dengan
kadar radiasi ultraviolet yang durasi dan intensitasnya terbatas beradaptasi
dengan memiliki pigmentasi yang lebih sedikit, sehingga dapat memfasilitasi
produksi vitamin D yang diinduksi oleh sinar ultraviolet.1
Terdapat beberapa jenis pigmen yang dipresentasikan di kulit yakni
pigmen melanin, oksihemoglobin dan hemoglobin terdeoksigenasi. Pigmen
melanin pada epidermis memberikan warna kecokelatan, sedangkan pada bagian
dermis memberikan warna kebiruan. Pigmen oksihemoglobin akan memberikan
warna merah dan hemoglobin terdeoksigenasi akan memberikan warna kebiruan.
Dari pigmen-pigmen tersebut, pigmen melanin memegang peranan paling
penting dalam penentuan warna kulit, sehingga kelainan pada proses biosintesis
melanin dapat menyebabkan terjadinya kelainan pada warna kulit.2

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Warna kulit manusia dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya pigmen


yang terdapat pada kulit dan aliran darah pada kulit. Warna kulit bergantung pada
adanya presentasi chromosphores. Melanin, yang disintesis dari melanosit
merupakan pigment yang memiliki peran paling besar.
Tabel 1. Pigmen yang terdapat pada kulit2

Melanosit terdapat pada lapisan basal epidermis. Melanosit dan keratinosit


bergabung membentuk epidermal melanin unit. Sintesis melanin dipengaruhi oleh
warna kulit dimana pada individu dengan kulit berwarna gelap melanosit akan
memproduksi melanosom yang lebih banyak, lebih besar dan tidak dipecah secepat
pada ras Kaukasia. Selain itu, sintesis melanin juga dipengaruhi oleh sinar radiasi
ultraviolet (UV). Sinar UV akan menstimulasi melanogenesis.2

Gambar 1. Sintesis melanin2

2.1. Vitiligo
Vitiligo adalah penyakit akibat proses depigmentasi pada kulit,
disebabkan faktor genetik dan non genetik yang berinteraksi dengan
kehilangan atau ketahanan fungsi melanosit dari epidermis. 3 Tipe vitiligo
dapat dibedakan berdasarkan penyebaran lesi penyakit tersebut. Satu atau
lebih lesi yang sifatnya kuasidermatomal (unilateral dan asimetris)
merupakan karakteristik dari vitiligo segmental. Vitiligo nonsegmental
(generalisata) memiliki ciri lesi yang multipel dengan penyebaran yang
simetris. Perjalanan penyakit vitiligo sering kali tidak dapat diprediksi
namun sering kali bersifat progresif.4

2.1.1 Epidemiologi
3

Vitiligo merupakan suatu kelainan pigmentasi yang


paling sering ditemukan, dengan prevalensi sebesar 0.5% dari
populasi manusia di dunia. Pada hampir dari separuh jumlah
pasien dengan vitiligo, lesi pertama kali muncul sebelum usia
20 tahun. Prevalensi laki-laki dan perempuan umumnya
sama, namun umumnya pasien perempuan lebih banyak
mengunjungi dokter daripada laki-laki. Kelainan ini dapat
terjadi pada semua umur, penelitian yang dilakukan di
Belanda menunjukkan 25% kasus muncul sebelum usia 10
tahun, 50% sebelum usia 20 tahun, dan 95% sebelum usia 40
tahun. Kasus pasien dengan vitiligo yang memiliki riwayat
keluarga penderita vitiligo berkisar antara 6.25%-38%. Tidak
terdapat perbedaan prevalensi berdasarkan ras ataupun jenis
kulit.4,5
Vitiligo

segmental maupun vitiligo non-segmental

memiliki ciri khas masing-masing. Vitiligo nonsegmental,


dengan prevalensi sekitar 85%-90% dari total kasus,
merupakan jenis vitiligo yang paling sering diderita oleh
pasien. Sedangkan vitiligo segmental karena sering kali
muncul pertama pada masa kanak-kanak, memiliki angka
prevalensi 30% dari kasus vitiligo yang terjadi pada anakanak. Baik vitiligo segmental maupun non-segmental dapat
memiliki manifestasi awal sebagai vitiligo fokal yang
ditandai dengan munculnya lesi hipopigmentasi yang tidak
lebih dari 15 cm2.5
2.1.2 Etiopatogenesis
Faktor-faktor pencetus vitiligo endogen:
1) Faktor

genetik,

sebanyak

18-36%

pasien

memiliki pola familial


2) Tekanan emosional berat: kehilangan orang yang
dicintai,

kehilangan

pekerjaan,

perceraian,

masalah sekolah, perpindahan sekolah atau kota.

3) Penyakit-penyakit

internal

seperti

gangguan

autoimun, misalnya tiroid, anemia pernisiosa,


diabetes mellitus, lebih banyak dialami oleh
populasi vitiligo dibandingkan dengan populasi
umum.
4) Penyakit-penyakit kulit, sebanyak 14% kasus
vitiligo dimulai dari suatu halo nevus.
Sedangkan

faktor

eksogen

berupa

trauma

fisik

mengawali 40% kasus terjadinya vitiligo. Trauma fisik


tersebut dapat berupa garukan, benturan, laserasi dan luka
bakar. Mekanisme Koebner mendasari peristiwa ini. Selain
trauma fisik, obat-obatan seperti beta adrenergic blocking
agent dan zat-zat yang bersifat melanotoksik seperti film
developer, karet, kuinon dan agen pemutih juga menjadi
faktor eksogen penyebab terjadinya vitiligo.
Terdapat beberapa teori mengenai pathogenesis vitiligo:
1. Genetik pada Vitiligo
Hampir seluruh studi genetika terfokus
pada vitiligo generalisata, telah diidentifikasi
sedikitnya 10 lokus yang berbeda. Tujuh dari 10
lokus yang dijumpai terkait dengan penyakit
autoimun lainnya. Antara lain: HLA-1 dan HLA2, PTPN22, LPP, NALP1 dan TYR yang
mengkode tirosinase merupakan enzim yang
penting dalam sintesis melanin.4
2. Hipotesis autoimun
Ditemukannya aktivias imunitas humoral
berupa antibodi anti melanosit yang mampu
membunuh melanosit secara in vitro maupun in
vivo. Sekarang aktivitas humoral ini lebih diduga
sebagai respon sekunder terhadap melanosit yang
rusak

dibandingkan

dengan

respon

primer

penyebab vitiligo generalisata.4

Gambar 2. Interaksi genetik, imunitas dan lingkungan6

3. Hipotesis neural
Hipotesis ini menunjukkan adanya mediator
neurokimia yang bersifat sitotoksik terhadap sel
pigmen dan dikeluarkan oleh ujung saraf di
dekatnya. Teori ini didukung oleh:
1) Vitiligo segmental yang terbatas secara
segmental

tidak

menyerang

dermatomal

melainkan

beberapa

dermatom

(kuasidermatomal).
2) Vitiligo segmental tidak berefek dengan obatobat vitiligo konvensiona tetapi membaik
terhadap obat-obat yang memodulasi fungsi
saraf.
3) Terjadinya

vitiligo

dilaporkan

setelah

mengalami tekanan emosional berat atau


setelah

kejadian

neurologikal,

misalnya

ensefalitis, multipel sclerosis dan jejas saraf


perifer.4
2.1.3. Manifestasi Klinis dan Diagnosis
Tempat muncul lesi pertama pada sebagian pasien
berada pada daerah yang memiliki riwayat trauma fisik
sebelumnya (Koebner phenomenon), suatu penyakit tertentu

ataupun stres emosional. Sering kali onset berhubungan


dengan kematian keluarga atau trauma fisik berat. Reaksi
sunburn dapat pula menyebabkan terjadinya vitiligo.3
Gambar 3. Fenomena Koebner5

Lesi vitiligo umumnya berupa makula berdiameter 5


mm atau lebih, berwarna putih pucat seperti kapur dan
berbatas tegas. Dalam perjalanan penyakitnya, lesi semakin
lama akan semakin membesar, dapat pula terbentuk lesi baru.
Berdasarkan pola distribusinya, vitiligo dibedakan
menjadi segmental dan non-segmental (generalisata). Vitiligo
non-segmental merupakan jenis yang sering kali dijumpai,
memiliki distribusi lesi yang menyebar dan simetris. Lesi
dapat muncul dimana saja, tetapi umumnya pada daerah
peregangan dan tekanan, misalnya bagian lutut, siku,
punggung dangan dan jari-jari.
Vitiligo segmental memiliki ciri lesi yaitu satu atau
beberapa makula pada suatu daerah tertentu. Vitiligo
segmental merupakan varian yang terbatas pada satu sisi
7

segmen, dan jenis ini jarang dijumpai. Kebanyakan pasien


memiliki gambaran segmental berupa lesi tunggal yang khas,
namun ada juga yang menempati dua atau lebih segmen satu
sisi berlawanan atau mengikuti distribusi dermatomal (garis
Blaschko). Daerah yang paling sering terkena adalah wajah,
aksila, umbilikus, puting susu, sakrum dan inguinal.3,5
Tabel 2. Perbedaan vitiligo segmental dan nonsegmental5

2.1.4. Tata Laksana


Vitiligo merupakan suatu kondisi yang sangat sulit
untuk diterapi. Repigmentasi spontan dapat muncul pada 1525% kasus. Seringnya vitiligo ditemukan dalam kehidupan
sehari-hari menyebabkan banyaknya penelitian mengenai
terapi vitiligo telah dilakukan, namun penelitian tersebut
belum memberikan hasil yang memuaskan. Masalah utama
yang sering dihadapi oleh pasien vitiligo merupakan masalah
penampilan.
1. Psoralen dan UVA (PUVA)
Merupakan
pengobatan

kombinasi

psoralen sebagai photosensitizer kimiawi dengan


ultraviolet A (UVA). Pengobatan gabungan ini
bertujuan

untuk

meningkatkan

efek

terapi

keduanya. Psoralen merupakan furokumarin,


yaitu

obat

yang

bersifat

fotodinamik

dan

berkemampuan untuk menyerap energi radiasi.

Mekanisme kerja PUVA untuk menstabilkan dan


repigmentasi

masih

belum

jelas.

Dengan

mikroskop cahaya dan uji mikroskopik ultra,


terlihat PUVA memicu hipertrofik, proliferasi,
dan adanya aktivitas enzimatik melanosit pada
bagian pinggir lesi depigmentasi. Repigmentasi
merupakan hasil migrasi pigmen dari tempat
terpicunya melanosit ke daerah depigmentasi.
Terapi dengan psoralen tidak dilakukan setiap
hari untuk menghindari fototoksisitas.
Gambar 4. Prinsip terapi psoralen2

2. Narrowband UVB (Nb UVB)


Mekanisme
kerja
pengobatan

ini

berdasarkan sifat imunomodulator yang mengatur


abnormalitas lokal maupun sistemik imunitas
seluler dan humoral. Seperti PUVA, Nb UVB
juga menstimulasi melanosit yang terdapat pada
lapisan luar helai rambut.
3. Kortikosteroid
Pengobatan vitiligo dengan kortikosteroid
merupakan

pilihan

pertama

untuk

vitiligo

segmental dan sangat dianjurkan untuk lesi kecil


pada daerah wajah, juga pada anak-anak.
9

Pemakaian preparat ini menguntungkan pasien


karena murah, mudah penggunaannya dan efektif.
4. Terapi depigmentasi
Bila lesi depigmentasi telah melebihi 80%
permukaan tubuh, maka terapi yang dilakukan
adalah dengan depigmentasi sehingga membuat
kulit seluruhnya menjadi putih. Agen pemutih
yang

digunakan

biasanya

monobenzielter

hidrokuinon.(4)
Tabel 3. Guideline terapi vitiligo2

2.2. Albinisme okulokutanea


Albinisme okulokutanea (OCA) adalah kelainan biosintesis
melanin

yang

diturunkan

dan

memiliki

karakteristik

berupa

hipopigmentasi generalisata pada rambut, kulit dan mata. OCA


merupakan kumpulan dari empat kelainan autosomal resesif yang
disebabkan oleh tidak adanya atau berkurangnya biosintesis melanin
pada melanosit yang menyebabkan terjadinya hipopigmentasi rambut,
kulit dan mata. Reduksi melanin pada mata menyebabkan berkurangnya
ketajaman penglihatan yang disebabkan oleh hipoplasia fovea. Terdapat
empat jenis albinisme okulokutanea yakni OCA1A, OCA1B, OCA2,
OCA3, dan OCA4. OCA1A merupakan tipe yang paling parah karena
sama sekali tidak ada produksi melanin sepanjang masa hidupnya,
sedangkan pada tipe lainnya yang tidak terlalu parah seperti OCA1B,

10

OCA2, OCA3 dan OCA4 masih terdapat sedikit akumulasi pigmen.


Perbedaan jenis albinisme okulokutanea disebabkan karena mutasi gen
pada tempat yang berbeda.4,7
2.2.1. Epidemiologi
Terdapat pada semua ras dengan prevalensi berbeda.
Setidaknya satu dari 17.000 orang menderita salah satu tipe
albinisme. Hal ini menunjukkan bahwa 1 dari 70 orang membawa
gen albinisme. OCA1 memiliki prevalensi sebesar 1 berbanding
40.000 pada kebanyakan populasi, namun jarang ditemukan pada
suku Afrika-Amerika. Sedangkan OCA2 merupakan tipe albinisme
yang paling sering ditemukan pada ras Afrika yang berkulit hitam.
Prevalensi total OCA2 diestimasi sebesar 1:36.000 di Amerika
Serikat, dan sekitar 1:10.000 pada suku Afrika-Amerika. Pada
sebuah penelitian yang dilakukan di daerah selatan Afrika,
prevalensi

OCA2

adalah

1:3.900.

OCA3

atau

Rufous

oculocutaneous albinism dilaporkan terjadi pada 1:8.500 orang di


Afrika, sedangkan tipe ini sangat jarang ditemukan pada suku
bangsa Caucasia dan Asia. Jenis albinisme yang baru ditemukan,
OCA4 dilaporkan sebagai penyebab 5-8% pasien yang berasal dari
Jerman dan 18% pasien albinisme di Jepang.7
2.2.2. Etiopatogenesis
OCA merupakan suatu kelainan heterogen kongenital dari
biosintesis melanin yang berada di melanosit.

OCA1 disebabkan oleh terjadinya mutasi pada gen


tyrosinase (TYR) pada kromosom 11q14.3. Gen tersebut
terdiri dari 5 ekson, dengan panjang 65 kb genom DNA
dan mengkode 529 asam amino. TYR merupakan enzim
yang

mengandung

warna

tembaga

(copper)

yang

mengkatalisis dua langkah pertama dalam pathway


biosintesis

melanin,

mengubah

tirosin

menjadi

L-

dihidroksi-fenilalanin (DOPA) dan kemudian menjadi


DOPAkuinon. Mutasi total pada gen ini menyebabkan
11

OCA1A, sedangkan mutasi yang menyebabkan gangguan


aktivitas enzim menyebabkan OCA1B sehingga pada

OCA1B masih terdapat akumulasi pigmen.


Mutasi pada gen OCA2 (dahulu gen P) menyebabkan
terjadinya OCA2. Gen tersebut terdiri dari 24 ekson
dengan panjang 34 kb dan mengkode 838 jenis asam
amino. Protein OCA2 penting untuk biogenesis normal
melanosom dan untuk memproses serta mengantar protein

melanosom seperti TYR dan TYRP1.


OCA3 disebabkan oleh mutasi pada tyrosinase-related
protein (TYRP1). TYRP1 memiliki panjang 17 kb dan
terdiri dari 8 ekson yang mengkode 536 asam amino.
TYRP1 merupakan enzim pada pathway biosintesis
melanin yang mengkatalisis oksidasi dari monomer asam
5,6-dihidroksiindol-2-karboksilik

(DHICA)

menjadi

melanin.
OCA4 disebabkan oleh mutasi pada gen membraneassociated transporter protein (MATP) yang terdiri dari 7
ekson, dengan panjang 40 kb, berada pada posisi 5p13.3.
Fungsi MATP masih belum diketahui secara pasti, namun
penelitian yang telah dilakukan terhadap ikan Medaka
mengatakan bahwa protein MATP berperanan penting
dalam pigmentasi dan berfungsi sebagai transporter di
melanosom.

Gambar 5. Pathway biosintesis melanin7

12

2.2.3. Gambaran Klinis dan Diagnosis


Gambaran hipopigmentasi pada kulit dan rambut bervariasi
dari tiap tipenya.
Tabel 4. Tipe OCA dan tingkat hipopigmentasi7
OCA Types
OCA1A

OCA1B

Degree of hypopigmentation
- Hair, eyelashes and eyebrows are white
- The skin is white and does not tan
- Irises are light blue to almost pink, and fully
transluscent
- Pigment does not develop
- Symptoms does not vary with age or race
- Visual acuity is 1/10 or less
- Photophobia is intense
- Hair and skin may develop some pigment with time
(after 1 to 3 years)

13

OCA2

Blue irises may change to green/brown


Temperature-sensitive variant manifest as having
depigmented body hairs, and pigmented hairs on
hands and feet due to lower temperatures.
Visual acuity is 2/10
This phenotype previously known as yellow albinism
The amount of cutaneous pigment may vary, newborn
nearly always have pigmented hair
Iris colors varies, the pink eyes seen in OCA1A are
usually absent
Visual acuity is usually better than OCA1, may reach
3/10
Results in Rufuous or red OCA in African individuals,
who have red hair and reddish brown skin (xanthism).
Visual anomalies are not always detectable, maybe
because the hypopigmentation is not sufficient to alter
the development.
Cannot be distinguished from OCA2 on clinical finding

OCA3

OCA4

2.2.4. Tata Laksana


Tata laksana yang dilakukan biasanya terfokus pada dua hal
yakni masalah pada penglihatan dan kulit. Masalah ketajaman
penglihatan dapat dikoreksi dengan penggunaan lensa bifokal,
fotofobia dapat dibantu dengan pemakaian kacamata berlensa
gelap, dan penanganan nistagmus dapat dilakukan dengan
pembedahan otot mata. Masalah pada kulit yang sering ditemui
pada pasien OCA adalah kulit yang tidak mengalami pigmentasi
namun mudah terbakar sinar matahari. Pemakaian tabir surya
minimal SPF 15 direkomendasikan bagi pasien.4,7
2.3. Hipopigmentasi Post-Inflamasi
Hipopigmentasi post-inflamasi merupakan salah satu jenis kelainan
hipopigmentasi yang didapat (acquired hypopigmentary disorder) yang
paling sering dijumpai. Pola distribusi dan keparahan hipopigmentasi
berhubungan dengan derajat keparahan dari infelamasi. Pada kelainan
pigmentasi post-inflamasi tertentu, beberapa individu dapat muncul
hiperpigmentasi, sedangkan pada individu lainnya terjadi hipopigmentas.
Keadaan hiperpigmentasi dan hipopigmentasi juga dapat terjadi
bersamaan. Apabila terjadi inflamasi kulit yang parah, melanosit dapat
hilang sehingga terjadi depigmentasi.8

14

2.3.1. Epidemiologi
Hipopigmentasi post-inflamasi dapat terjadi pada seluruh
jenis kulit, namun lebih sering ditemukan pada orang-orang yang
berkulit gelap. Tidak ada perbedaan antara laki-laki maupun
perempuan dalam jumlah insidensi hipopigmentasi post-inflamasi.
Tabel 5. Insiden hipopigmentasi post-inflamasi8

2.3.2. Etiopatogenesis
Terdapat berbagai inflamasi pada kulit yang dapat
menyebabkan terjadinya hipopigmentasi post-inflamasi. Beberapa
penyakit seperti pityriasis lichenoides chronica (PLC) dan lichen
striatus (LS) lebih cenderung menyebabkan hipopigmentasi
daripada hiperpigmentasi. Trauma pada kulit seperti luka bakar,
trauma akibat iritan ataupun prosedur dermatologika, seperti
peeling dengan zat kimiawi, dermabrasi, krioterapi dan terapi laser,
dapat menyebabkan terjadinya hipopigmentasi.
LS merupakan salah satu penyebab hipopigmentasi postinflamasi yang cukup sering, dengan insiden mencapai 59%.
Dermatosis akan menghilang secara spontan dalam 2 tahun dan
meninggalkan bekas hipopigmentasi, terutama pada orang-orang
yang berkulit gelap. Selain itu, masa-masa inflamasi sering kali
tidak terdeteksi dan hanya bermanifestasi sebagai hipopigmentasi.
Pada pasien yang memiliki warna kulit gelap, PLC dapat muncul
dengan tanda hipopigmentasi yang disertai pula dengan lesi papulpapul berskuama.
15

Perubahan pigmentasi juga sering terjadi setelah trauma


akibat luka bakar ataupun dingin. Pada luka bakar superfisial,
hiperpigmentasi post-inflamasi sering kali terjadi sedangkan pada
luka bakar yang dalam sering menyebabkan hipopigmentasi postinflamasi. Melanosit sangat sensitif terhadap suhu dingin dan
kerusakan yang ireversibel dapat terjadi pada suhu -4 hingga -7 OC.
Suhu dingin menyebabkan terhambatnya transfer melanin dari
melanosit

menuju

keratinosit.

Hal

tersebut

mengakibatkan

melanosit berpindah menuju lesi, sehingga muncul daerah


hipopigmentasi dengan tepi hiperpigmentasi. Perubahan pigmentasi
dapat berlangsung selama sekitar 6 bulan akibat tidak terdapatnya
melanosom pada keratinosit, yang kemungkinan disebabkan karena
berkurangnya jumlah melanosit, reduksi sintesis melanosom atau
terhambatnya perpindahan melanosom.
Hipopigmentasi juga dapat menjadi salah satu komplikasi
yang

mungkin

terjadi

setelah

dilakukaan

peeling

dengan

menggunakan zat kimia. Kemungkinan terjadinya hipopigmentasi


juga terkait dengan fototipe kulit, dengan fototipe Fitzpatrick I
memiliki

kemungkinan

hipopigmentasi.9

lebih

Penelitian

yang

tinggi

untuk

dilakukan

mengalami
oleh

Savant

melaporkan bahwa dari 65 pasien yang menjalani proses


dermabrasi, 41 pasien mengalami hipopigmentasi permanen.
Terapi dermatologi dengan menggunakan laser sering kali
menyebabkan terjadi hipopigmentasi dan lesi tersebut dapat
menjadi permanen. Lesi muncul biasanya sekitar tiga hingga enam
bulan setelah dilakukannya tindakan terapi.
Literatur yang menjelaskan mekanisme dan patogenesis
pasti dari hipopigmentasi post-inflamasi masih sangat terbatas
jumlahnya. Adanya variasi respon masing-masing individual
terhadap suatu inflamasi pada kulit ataupun terhadap trauma masih
belum dapat dijelaskan dengan pasti. Melanosit dapat memberikan
reaksi berupa peningkatan ataupun penurunan produksi melanin
jika terjadi inflamasi pada kulit ataupun trauma pada kulit.

16

2.3.3. Manifestasi Klinis dan Diagnosis


Ukuran dan bentuk dari lesi hipopigmentasi umumnya
berkorelasi

dengan

distribusi

dan

konfigurasi

dermatosis

pencetusnya. Depigmentasi sempurna dapat terjadi pada kasus AD


yang parah dan SLE, serta terlihat lebih jelas pada pasien yang
memiliki warna kulit gelap.
Gambar 6. Lesi hipopigmentasi pada kasus hipopigmentasi post-inflamasi8

(a) Lesi hipopigmentasi yang disebabkan oleh LS ; (b) lesi hipopigmentasi


yang disebabkan oleh psoriasis ; (c) lesi depigmentasi pada pasien SLE ; (d)
lesi hipopigmentasi dan depigmentas yang disebabkan oleh terapi laser untuk
melasma.
2.3.4. Tata Laksana
Langkah
mengidentifikasi

tata

laksana

etiologi.

yang
Terapi

paling

penting

terhadap

adalah

penyebab

hipopigmentasi akan memperbaiki keadaan lesi. Untuk mencegah

17

hipopigmentasi iatrogenik, dapat dilakukan terapi dermatologis dan


kosmetik.
Aplikasi topikal steroid potensi sedang sebanyak dua kali
sehari yang dikombinasikan dengan preparat berbahan dasar tar
sering kali digunakan sebagai terapi hipopigmentasi post-inflamasi.
Steroid dapat mengurangi inflamasi pada sel, sedangkan tar dapat
menginduksi melanogenesis. Selain itu, terapi topikal dengan
menggunakan

krim

pimkrolimus

juga

cukup

bermanfaat.

Penggunaan dua kali sehari krim pimkrolimus 1% selama 16


minggu menunjukkan perbaikan paling baik sekitar 2 minggu
setelah aplikasi.
Paparan sinar matahari atau sinar UV juga dapat membantu
repigmentasi jika masih ada melanosit yang masih berfungsi pada
area tersebut, namun paparan yang terlalu banyak dapat
menyebabkan meningkatnya kekontrasan warna kulit normal
dengan lesi hipopigmentasinya karena terbakarnya kulit disekitar
lesi hipopigmentasi.8

18

BAB III
KESIMPULAN

Perbedaan warna kulit dan rambut terjadi akibat adanya perbedaan kadar
melanin dalam kulit. Melanin merupakan suatu kompleks gabungan antara
kuinon/indole-kuinon yang diproduksi di melanosit. Melanosit merupakan sel
dendritik yang bermigrasi ke epidermis pada masa gestasi awal trimester pertama.
Produksi melanin dalam melanosit terjadi pada granula yang menyerupai lisosom
bernama melanosom.
Pada tubuh kita terdapat dua tipe melanin yaitu pheomelanin yang
memberikan warna merah/kuning dan eumelanin yang memberikan warna
cokelat/hitam. Perbedaan pigmentasi dapat muncul karena adanya variasi jumlah,
ukuran, komposisi dan distribusi dari melanosom. Secara garis besar hipopigmentasi
dapat dibagi menjadi hipomelanosis melanogenik, yang terjadi akibat berkurangnya
jumlah melanosom, serta hipomelanosis nonmelanopenik yang dapat disebabkan dari
abnormalitas vaskuler.
Walaupun kejadian kelainan pigmentasi kulit cukup banyak, namun penelitian
mengenai kelainan pigmentasi pada kulit masih sangat terbatas. Penelitian mengenai
hipopigmentasi pun masih sedikit dan masih ada mekanisme-mekanisme yang masih
perlu diteliti lebih lanjut, misalnya walaupun biosintesis melanin sudah cukup
diketahui namun cara transportasi dan degradasi melanosom dalam keratinosit belum
dapat dipaparkan dengan jelas sehingga masih dibutuhkan studi yang lebih
mendalam mengenai kelainan pigmentasi pada kulit.

19

DAFTAR PUSTAKA
1. Dov Hershkovitz ES. Monogenic pigmentary skin disorders: genetics and pathophysiology. Isr Med Assoc J Imaj. 2008;10(10):7137.
2. Khanna N. Illustrated Synopsis of Dermatology and Sexually Transmitted
Diseases. 4th ed.
3. Wolff K, Johnson R, Saavedra A. Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis of
Clinical Dermatology. 7th ed.
4. Monaidi SLS, Bramono K, Indtriatmi W, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. 7th ed. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 352
p.
5. Taeb A, Picardo M. Vitiligo. N Engl J Med. 2009 Jan 8;360(2):1609.
6. Ongenae K, Van Geel N, Naeyaert J-M. Evidence for an Autoimmune
Pathogenesis of Vitiligo. Pigment Cell Res. 2003 Apr 1;16(2):90100.
7. Grnskov K, Ek J, Brondum-Nielsen K. Oculocutaneous albinism. Orphanet J
Rare Dis. 2007 Nov 2;2(1):18.
8. Vachiramon V, Thadanipon K. Postinflammatory hypopigmentation. Clin Exp
Dermatol. 2011 Oct 1;36(7):70814.
9. Brody HJ. COMPLICATIONS OF CHEMICAL RESURFACING. Dermatol
Clin. 2001 Jul 1;19(3):42738.

20

Anda mungkin juga menyukai