PENDAHULUAN
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Vitiligo
Vitiligo adalah penyakit akibat proses depigmentasi pada kulit,
disebabkan faktor genetik dan non genetik yang berinteraksi dengan
kehilangan atau ketahanan fungsi melanosit dari epidermis. 3 Tipe vitiligo
dapat dibedakan berdasarkan penyebaran lesi penyakit tersebut. Satu atau
lebih lesi yang sifatnya kuasidermatomal (unilateral dan asimetris)
merupakan karakteristik dari vitiligo segmental. Vitiligo nonsegmental
(generalisata) memiliki ciri lesi yang multipel dengan penyebaran yang
simetris. Perjalanan penyakit vitiligo sering kali tidak dapat diprediksi
namun sering kali bersifat progresif.4
2.1.1 Epidemiologi
3
genetik,
sebanyak
18-36%
pasien
kehilangan
pekerjaan,
perceraian,
3) Penyakit-penyakit
internal
seperti
gangguan
faktor
eksogen
berupa
trauma
fisik
dibandingkan
dengan
respon
primer
3. Hipotesis neural
Hipotesis ini menunjukkan adanya mediator
neurokimia yang bersifat sitotoksik terhadap sel
pigmen dan dikeluarkan oleh ujung saraf di
dekatnya. Teori ini didukung oleh:
1) Vitiligo segmental yang terbatas secara
segmental
tidak
menyerang
dermatomal
melainkan
beberapa
dermatom
(kuasidermatomal).
2) Vitiligo segmental tidak berefek dengan obatobat vitiligo konvensiona tetapi membaik
terhadap obat-obat yang memodulasi fungsi
saraf.
3) Terjadinya
vitiligo
dilaporkan
setelah
kejadian
neurologikal,
misalnya
kombinasi
untuk
meningkatkan
efek
terapi
obat
yang
bersifat
fotodinamik
dan
masih
belum
jelas.
Dengan
ini
pilihan
pertama
untuk
vitiligo
digunakan
biasanya
monobenzielter
hidrokuinon.(4)
Tabel 3. Guideline terapi vitiligo2
yang
diturunkan
dan
memiliki
karakteristik
berupa
10
OCA2
adalah
1:3.900.
OCA3
atau
Rufous
mengandung
warna
tembaga
(copper)
yang
melanin,
mengubah
tirosin
menjadi
L-
(DHICA)
menjadi
melanin.
OCA4 disebabkan oleh mutasi pada gen membraneassociated transporter protein (MATP) yang terdiri dari 7
ekson, dengan panjang 40 kb, berada pada posisi 5p13.3.
Fungsi MATP masih belum diketahui secara pasti, namun
penelitian yang telah dilakukan terhadap ikan Medaka
mengatakan bahwa protein MATP berperanan penting
dalam pigmentasi dan berfungsi sebagai transporter di
melanosom.
12
OCA1B
Degree of hypopigmentation
- Hair, eyelashes and eyebrows are white
- The skin is white and does not tan
- Irises are light blue to almost pink, and fully
transluscent
- Pigment does not develop
- Symptoms does not vary with age or race
- Visual acuity is 1/10 or less
- Photophobia is intense
- Hair and skin may develop some pigment with time
(after 1 to 3 years)
13
OCA2
OCA3
OCA4
14
2.3.1. Epidemiologi
Hipopigmentasi post-inflamasi dapat terjadi pada seluruh
jenis kulit, namun lebih sering ditemukan pada orang-orang yang
berkulit gelap. Tidak ada perbedaan antara laki-laki maupun
perempuan dalam jumlah insidensi hipopigmentasi post-inflamasi.
Tabel 5. Insiden hipopigmentasi post-inflamasi8
2.3.2. Etiopatogenesis
Terdapat berbagai inflamasi pada kulit yang dapat
menyebabkan terjadinya hipopigmentasi post-inflamasi. Beberapa
penyakit seperti pityriasis lichenoides chronica (PLC) dan lichen
striatus (LS) lebih cenderung menyebabkan hipopigmentasi
daripada hiperpigmentasi. Trauma pada kulit seperti luka bakar,
trauma akibat iritan ataupun prosedur dermatologika, seperti
peeling dengan zat kimiawi, dermabrasi, krioterapi dan terapi laser,
dapat menyebabkan terjadinya hipopigmentasi.
LS merupakan salah satu penyebab hipopigmentasi postinflamasi yang cukup sering, dengan insiden mencapai 59%.
Dermatosis akan menghilang secara spontan dalam 2 tahun dan
meninggalkan bekas hipopigmentasi, terutama pada orang-orang
yang berkulit gelap. Selain itu, masa-masa inflamasi sering kali
tidak terdeteksi dan hanya bermanifestasi sebagai hipopigmentasi.
Pada pasien yang memiliki warna kulit gelap, PLC dapat muncul
dengan tanda hipopigmentasi yang disertai pula dengan lesi papulpapul berskuama.
15
menuju
keratinosit.
Hal
tersebut
mengakibatkan
mungkin
terjadi
setelah
dilakukaan
peeling
dengan
kemungkinan
hipopigmentasi.9
lebih
Penelitian
yang
tinggi
untuk
dilakukan
mengalami
oleh
Savant
16
dengan
distribusi
dan
konfigurasi
dermatosis
tata
laksana
etiologi.
yang
Terapi
paling
penting
terhadap
adalah
penyebab
17
krim
pimkrolimus
juga
cukup
bermanfaat.
18
BAB III
KESIMPULAN
Perbedaan warna kulit dan rambut terjadi akibat adanya perbedaan kadar
melanin dalam kulit. Melanin merupakan suatu kompleks gabungan antara
kuinon/indole-kuinon yang diproduksi di melanosit. Melanosit merupakan sel
dendritik yang bermigrasi ke epidermis pada masa gestasi awal trimester pertama.
Produksi melanin dalam melanosit terjadi pada granula yang menyerupai lisosom
bernama melanosom.
Pada tubuh kita terdapat dua tipe melanin yaitu pheomelanin yang
memberikan warna merah/kuning dan eumelanin yang memberikan warna
cokelat/hitam. Perbedaan pigmentasi dapat muncul karena adanya variasi jumlah,
ukuran, komposisi dan distribusi dari melanosom. Secara garis besar hipopigmentasi
dapat dibagi menjadi hipomelanosis melanogenik, yang terjadi akibat berkurangnya
jumlah melanosom, serta hipomelanosis nonmelanopenik yang dapat disebabkan dari
abnormalitas vaskuler.
Walaupun kejadian kelainan pigmentasi kulit cukup banyak, namun penelitian
mengenai kelainan pigmentasi pada kulit masih sangat terbatas. Penelitian mengenai
hipopigmentasi pun masih sedikit dan masih ada mekanisme-mekanisme yang masih
perlu diteliti lebih lanjut, misalnya walaupun biosintesis melanin sudah cukup
diketahui namun cara transportasi dan degradasi melanosom dalam keratinosit belum
dapat dipaparkan dengan jelas sehingga masih dibutuhkan studi yang lebih
mendalam mengenai kelainan pigmentasi pada kulit.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Dov Hershkovitz ES. Monogenic pigmentary skin disorders: genetics and pathophysiology. Isr Med Assoc J Imaj. 2008;10(10):7137.
2. Khanna N. Illustrated Synopsis of Dermatology and Sexually Transmitted
Diseases. 4th ed.
3. Wolff K, Johnson R, Saavedra A. Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis of
Clinical Dermatology. 7th ed.
4. Monaidi SLS, Bramono K, Indtriatmi W, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. 7th ed. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 352
p.
5. Taeb A, Picardo M. Vitiligo. N Engl J Med. 2009 Jan 8;360(2):1609.
6. Ongenae K, Van Geel N, Naeyaert J-M. Evidence for an Autoimmune
Pathogenesis of Vitiligo. Pigment Cell Res. 2003 Apr 1;16(2):90100.
7. Grnskov K, Ek J, Brondum-Nielsen K. Oculocutaneous albinism. Orphanet J
Rare Dis. 2007 Nov 2;2(1):18.
8. Vachiramon V, Thadanipon K. Postinflammatory hypopigmentation. Clin Exp
Dermatol. 2011 Oct 1;36(7):70814.
9. Brody HJ. COMPLICATIONS OF CHEMICAL RESURFACING. Dermatol
Clin. 2001 Jul 1;19(3):42738.
20