Anda di halaman 1dari 8

POTENSI DAN KUALITAS BATUAN FORMASI KUJUNG SEBAGAI

BATUAN INDUK, PADA LINTASAN KALI WUNGKAL, TUBAN,


JAWA TIMURPOTENSI DAN KUALITAS BATUAN FORMASI
KUJUNG
Oleh :

Teguh Irawan
Jurusan Teknik Perminyakan, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, Jl.
SWK 104 (Lingkar Utara) Condongcatur, Yogyakarta-55283
Telp. (0274) 487816, Fax. (0274) 487816
ABSTRAK
Pencarian dan penemuan interval batuan yang mungkin berpotensi sebagai batuan induk
merupakan langkah awal eksplorasi yang penting. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian tentang
identifikasi interval batuan sedimen yang mengandung bahan organik dengan kadar tertentu, yang oleh
panas danwaktu dapat menghasilkan hidrokarbon dalam bentuk minyak atau gas secara tepat. Telitian ini
bertujuan untuk mengidentifikasi batuan induk hidrokarbon Formasi Kujung pada lintasan Kali Wungkal,
Tuban, Jawa Timur. Analisa geokimia guna mengetahui potensi dan kualitas dilakukan untuk 4 (empat)
conto batuan.
Hasil analisa potensi dan kualitas Batuan Induk, berdasarkan contoh batuan yang dianalisis,
kandungan TOC berkisar antara 0.17% sampai 0,69%, miskin sampai sedang. Rock-Eval menunjukkan
bahwa semua batulempung berpotensi miskin sebagai batuan sumber hidrokarbon (PY < 2 kg/ton). Tingkat
kematangan berdasarkan Ro (<0,6), masih belum tercapai/awal matang. Nilai HI yang relatif rendah
mencerminkan bahwa batuan ini jika mencapai kematangan akan cenderung menghasilkan gas, harga
indeks hidrogen (HI) di bawah nilai 150 umumnya berasal tipe kerogen III-IV, yang dibentuk secara
dominan oleh unsur tumbuhan darat.

Keywords : batuan induk, potensi, kualitas, , kematangan


PENDAHULUAN
Asal hidrokarbon di Cekungan Jawa Timur Utara masih merupakan masalah, beberapa penulis/
peneliti antara lain, Situmorang dan Tambunan (1985), Williams (1986), Laporan Pertamina (1990), dan
Musliki (1992). Para penulis tersebut memperkirakan bahwa Formasi Ngimbang yang berperan sebagai
batuan induk, namun masih ada kemungkinan formasi lain yang berada di atasnya seperti: Kujung, Tawun
dan Ngrayong dapat pula bertindak sebagai batuan induk. Minyak bumi yang ditemukan di cekungan ini
ternyata berbeda-beda sifat fisiknya. Sebagai contoh, minyak bumi yang ditemukan di lapangan Kawengan
berkadar API 32,90, sedangkan di lapangan Ledok, Semanggi, dan Nglobo yang lokasinya relatif tidak
jauh dari Kawengan - minyak buminya berkadar API 40. Hal ini membuka kemungkinan bahwa batuan
selain Formasi Ngimbang dapat bertindak sebagai batuan induk. Selain itu, kematangan material organik

juga merupakan masalah, sebagai contoh: Formasi Ngimbang di cekungan ini mempunyai kisaran
kematangan mulai dari belum matang; matang bahkan sampai lewat matang. Uraian di atas menyebabkan
penulis tertarik untuk melakukan telitian ini.
PERUMUSAN MASALAH
Survei geokimia di lintasan Kali Wungkal Tuban dimaksudkan untuk meneliti kualitas dan
kuantitas potensi batuan induk berdasarkan data permukaan (Gambar 1). Adapun tujuan penelitian ini
untuk memberikan informasi tentang potensi minyak dan gas bumi berdasarkan batuan induk yang ada di
Cekungan Jawa Timur Utara. Hasil yang didapat merupakan dasar untuk tambahan data dalam melakukan
eksplorasi daerah baru dan eksploitasi lapangan produksi di waktu mendatang.
METODA PENELITIAN
Penelitian ini meliputi pengumpulan data geologi lapangan dan analisa geokimia mengenai
kandungan zat organik serta parameter-parameter kematangan. Data tersebut dikumpulkan dari lapangan
dan laboratorium, serta beberapa literatur. Untuk ini telah dikumpulkan contoh contoh singkapan batuan,
selanjutnya conto tersebut dibawa kelaboratorium untuk dianalisis secara geokimia guna mendapatkan data
geokimia. Awalnya dilakukan identifikasi kandungan karbon organik total (TOC) batuan secara acak,
selanjutnya dipilih untuk dikaji potensi batuan induk hidrokarbon (kuantitas dan kualitas). Pengambilan
conto dilakukan dengan melakukan lintasan terukur, sedangkan analisa laboratorium disajikan dalam
diagram alir (Gb. 1). Adapun lingkup kegiatan yang dilaksanakan dalam studi ini meliputi:
Pengambilan conto batuan di lapangan,
Analisis laboratorium, dan
Interpretasi potensi dan kualitas batuan induk hidrokarbon ditinjau dari geokimia.
TATAAN GEOLOGI REGIONAL
Busur Sunda yang menjadi tulang punggung Jawa Timur adalah tepi paparan aktif merupakan
sebuah konvergensi antara lempeng Eurasia dan Indo-Australia (Manor dan Barraclough, 1994). Cekungan
Jawa Timur diperkirakan merupakan sebuah cekungan busur belakang (Lehner et al., 1983 di dalam Manur
dan Barraclough, 1994), yang terletak pada tepi benua Sunda yang stabil. Daerah pantai selatan Jawa
Timur merupakan rangkaian pegunungan vulkanik yaitu sebuah cekungan busur depan dan daerah prisma
akresi luar.
Pembentukan rifting Cekungan Jawa Timur kemungkinan berhubungan dengan subduksi ke arah
baratlaut dari kerak benua di sepanjang tepi baratdaya Kalimantan selama Kapur Bawah. Zona subduksi
diperkirakan berubah sesuai dengan waktunya dan arahnya ke bagian selatan dan timur antara Kapur
Bawah dan Eosen (Hamilton, 1979). Pada keadaan sekarang, palung subduksi trench subduction sejajar
dengan zona arah timur-barat yang aktif pada Neogen.
Dua arah struktur utama Tersier yang berbeda ditemukan di cekungan ini, akibat rezim tegasan
yang mengontrolnya adalah fase retak Paleogen dan fase inversi Neogen. Sesar arah timurlaut-baratdaya
dikontrol oleh fase retak tegasan tensional Paleogen pada Eosen Tengah - Miosen Awal. Tahap pertama
regangan yang membentuk retakan rifting pada Eosen, yang diikuti tahap amblesan cekungan besarbesaran pada Oligosen. Selama fase ini, pengendapan di cekungan dikontrol oleh sesar tumbuh. Sesar arah

barat-timur berkembang pada struktur inversi cekungan Miosen Tengah. Struktur inversi ini didominasi
oleh arah tektonik linier barat timur yang dikenal dengan RMK (Rembang-Madura-Kangean) yang
ditunjukkan oleh zona gerus sinistral utama (Manur dan Barraclough, 1994).
Evaluasi terhadap penyebaran satuan litostratigrafi dan kondisi struktur geologi Cekungan Jawa
Timur Utara telah dilakukan berdasarkan hasil kompilasi dari beberapa peta geologi daerah Zona Rembang
dan Zona Kendengdengan skala 1: 100.000. Peta geologi yang dikompilasi oleh penulis meliputi: Peta
Geologi lembar Rembang, oleh Kadar dan Sudijono (1993), Peta Geologi lembar Jatirogo, oleh
Situmorang, Smith, dan van Vessem (1992), Peta Geologi lembar Tuban oleh Hartono (1973), peta Geologi
lembar Ngawi oleh Datun dan Sukandarrumidi (1992), Peta Geologi lembar Bojonegoro oleh
Pringgoprawiro dan Sukido (1992), dan Peta Geologi lembar Mojokerto oleh Noya et al. (1992).
Stratigrafi
Stratigrafi di Zona Rembang telah sering dibahas di dalam laporan geologi dari Direktorat
Geologi, PPPTMGB Lemigas, Pertamina maupun lingkungan perguruan tinggi. De Genevraye, Samuel
(1972) dan Pringgoprawiro (1983) membagi stratigrafi Cekungan Jawa Timur Utara atas dua mandala,
masing-masing Mandala Rembang mencakup daerah dalam zona tektono-fisiografi Rembang dan zona
tektonofisiografi

Randublatung,

sedangkan

Mandala

Kendeng

meliputi

daerah

dalam

zona

tektonofisiografi Kendeng. Mandala Rembang, menurut Pringgoprawiro (1983), umumnya merupakan


lingkungan paparan sampai daratan dengan pengendapan batupasir kuarsa, batulempung karbonan,
batugamping pasiran, batugamping terumbu, napal pasiran, batupasir gampingan, dan batubara. Ketebalan
formasi ini mencapai 5.000 meter. Mandala ini berumur Eosen hingga Pleistosen Awal. Mandala Kendeng,
menurut Pringgoprawiro (1983), de Genevraye & Samuel (1972) terdiri dari litologi napal pasiran,
batulempung, batupasir gampingan, batulanau, batugamping pasiran dan batupasir konglomeratan. Umur
mandala ini Oligosen-Aknir sampai Pleistosen.
Stratigrafi di Cekungan Jawa Timur Utara terdiri dari : batuan dasar, Formasi Ngimbang,
Kujung, Prupuh, Tuban, Tawun, Ngrayong, Bulu, Wonocolo, Ledok, Mundu, Selorejo dan Lidah
(Pringgoprawiro, 1983).
Formasi Kujung (Oligosen Akhir)
Batuan formasi ini terdiri dari napal di bagian bawah dan lempung dengan sisipan gamping di
bagian atas. Tebal formasi ini tidak diketahui karena kontak dengan formasi di bawahnya tidak tersingkap.
Di atasnya menutup selaras Formasi Prupuh
Struktur Geologi
Pola struktur utama Jawa Timur Utara telah banyak dibahas oleh beberapa peneliti terdahulu
(Sutarso dan Padmosukismo, 1978, Soemantri et al., 1973, Suyanto et al., 1977) Pola struktur Jawa Timur
dimulai pada kala Oligosen - Miosen. Pola struktur Jawa mempunyai arah timur barat yang sesuai dengan
zona subduksi yang sekarang masih aktif di selatan. Pulau Jawa. Pola struktur merupaka thrust -fold belts.
Daerah paparan Rembang, khususnya bagian barat, umumnya berupa endapan laut dangkal dengan sesarsesar naik yang dominan (Sudiro et al., 1973; Suyanto et al., 1977; dan Kenyon, 1977). Sutarso dan
Padmosukismo (1978) membagi struktur Cekungan Jawa Timur Utara atas beberapa zona yang

disesuaikan dengan pembagian tektono-fisiografi Pringgoprawiro (1983), yaitu Zona Rembang, Zona
Randublatung dan Zona Kendeng.
Tektonik dan Sedimentasi
Daerah Jawa Timur ditinjau dari teori tektonik lempeng (Katili, 1973) dari selatan ke utara dapat
dibagi menjadi 7 zona, dengan daerah penelitian termasuk dalam foreland fold - thrust pada Zona Kendeng
dan Back arc basin pada Zona Rembang dari sistem subduksi Miosen Awal - sekarang. Tektonik dan
sedimentasi Cekungan Jawa Timur Utara dipengaruhi oleh tumbukan lempeng Samudera India-Australia
dan lempeng Eurasia.
Pada jaman Kapur hingga sekarang kecepatan gerak dari lempeng India - Australia ke arah utara
selalu berubah-ubah. Pada jaman Kapur kecepatan gerak tersebut 10 cm/tahun, sedang jaman Oligosen
menurun menjadi lebih kecil dari 4 cm/tahun (Hamilton 1979). Selanjutnya pada jaman Miosen Awal
kecepatan geraknya mulai naik lagi dan sekarang mencapai 6 cm/tahun. Kecepatan gerak lempeng yang
menurun dari jaman Kapur- Oligosen, menyebabkan terjadinya gerak mundur roll back dari palung
(trench), akibat dari lempeng Samudera Hindia lebih cepat daripada gerak maju overriding plate kontinen
Eurasia (Dewey, 1980). Sebagai akibatnya di Cekungan Rembang terjadi tektonik regangan mulai EosenOligosen. Pada jaman tersebut pola sesar timurlaut-baratdaya dari jaman Kapur diremajakan dan terjadi
horst dan graben (Bransden dan Matthews, 1992). Di dalam cekungan ini diendapkan Formasi Ngimbang
dan Formasi Kujung.
Pada jaman Oligo-Miosen fase regangan berubah menjadi fase kompresif sesarsesar geser dan
pada jaman Kapur mengalami peremajaan menjadi sesar turun. Di dalam cekungan terbentuklah blok-blok
yang naik dan turun menjadi tinggian dan rendahan, sedangkan di bagian rendahan diendapkan fasies yang
lebih dalam dan diperkirakan berfungsi sebagai batuan induk di daerah itu sendiri. Pada Miosen Awal,
sebagai akibat dari gerak ke utara lempeng Samudera India yang naik, di Cekungan Rembang terjadi
tektonik kompresi yang berlangsung hingga sekarang. Sementara itu di dalam cekungan diendapkan
Formasi Tawun, Formasi Ngrayong, Kelompok Kawengan dan Kelompok Lidah.
Sebagian sesar jaman Kapur diremajakan menjadi sesar-sesar geser. Di atas blok yang saling
bergeser terjadi lipatan lipatan dengan pola struktur en echelon (Bransden dan Matthews, 1992). Pola
semacam ini dapat diamati pada antiklin Nglobo dan Semanggi (Soeparyono dan Lennox, 1989).
Sementara itu terbentuk pula struktur dengan pola timur - barat.
Sejarah Geologi
Tektonik regangan aktif mulai Eosen Tengah - Miosen Awal dianggap merupakan penyebab
struktur utama. Tahap pertama fase awal regangan ditandai oleh retakan pada Eosen yang pada kala ini
terjadi tinggian dan rendahan. Di dalam cekungan diendapkan sedimen silisiklastik serpih dan karbonat
klastik Formasi Ngimbang. Tahap kedua diikuti amblesan besar-besaran dalam cekungan pada Oligosen.
Selama fase ini diikuti oleh pengendapan batugamping dan batulempung Formasi Kujung. Selama fase
tersebut pengendapan di dalamnya dikontrol oleh struktur sesar, sedangkan pada bagian tinggian terjadi
erosi.

Pada Awal Miosen terjadi genanglaut yang menyebabkan seluruh cekungan tertutup air. Pada
bagian tinggian tumbuh batugamping terumbu Formasi Prupuh, sedangkan di bagian rendahan diendapkan
fasies yang lebih dalam. Pertumbuhan batugamping Prupuh terhenti sampai N5 ( JTR-1, BNY-l, DMW-1,
dan NGB-1) akibat genanglaut yang besar, diikuti oleh pengendapan Formasi Tawun. Di beberapa tempat
batugamping Prupuh ada yang bertahan hidup sampai N7 seperti halnya di sumur DDR 1.
Pada Miosen Tengah terjadi perubahan mendasar pola gaya (kompresi) di Cekungan Jawa Timur
Utara yang mengakibatkan inversi besar besaran. Sesar-sesar yang terbentuk pada jaman Paleogen, aktif
kembali dan menghasilkan sesar naik. Sesar-sesar ini memotong lapisan Neogen. Sebagian cekungan
tersingkap di atas muka air laut dan terjadi erosi. Di bagian yang dalam diendapkan batupasir dan
batulempung hitam Formasi Ngrayong. Pada akhir Miosen Tengah (N13) terjadi genanglaut. Sebagian
daratan Miosen Tengah tertutup pengendapan batugamping Formasi Bulu, di bagian yang dalam
diendapkan napal Formasi Wonocolo. Pada akhir Miosen Atas (NJ 8), pengendapan napal Formasi
Wonocolo masih berlangsung di sumur BNY-1. Pengendapan ini diikuti susutlaut pada akhir Miosen Atas
(N18) yang ditandai dengan ditemukannya perulangan batupasir gampingan, dan batugamping pasiran
Formasi Ledok. Kemudian pada Pliosen (Nr9-N20), kurang lebih 4-3,5 juta tahun yang lalu, terjadi fase
genanglaut lagi yang diikuti pengendapan napal masif Formasi Mundu. Pada Plio-Pleistosen terjadi
pengangkatan perlipatan dan penyesaran sebagian cekungan menjadi daratan, sedangkan bagian lainnya
yang masih merupakan laut yang menjadi tempat diendapkannya batulempung dan napal Formasi Lidah.
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
1. CONTOH BATUAN
Pada lintasan Kali Wungkal diambil 4 conto batuan, dari bagian bawah ke arah bagian atas
bagian dari Formasi Kujung yang tersingkap. Pengambilan pada litologi batulempung yang segar, conto
diambil pada kedalaman 40 sampai 50 di bawah permukaan tanah pada horison tersebut. Lokasi,
pengambilan conto dan
stratigrafi/geologi sepanjang lintasan.
2. ANALISIS TOC
Tahap awal analisis adalah menentukan kandungan karbon organik total (TOC) dengan
menggunakan alat LECO Carbon Determinator (WR-112) setelah sebelumnya tiap-tiap perconto dicuci,
dikeringkan, digerus halus, dan ditimbang seberat kurang lebih 500 mg dan dihilangkan kandungan
karbonatnya dengan menggunakan asam klorida. Secara umum telah dapat diterima bahwa perconto
dengan kandungan TOC<0.5% tidak mempunyai potensi yang cukup untuk menghasilkan minyak bumi
secara komersial, oleh karena itu ditetapkan sebagai bukan batuan sumber. Perconto dengan kandungan
TOC antara 0.5% - 1.0% mempunyai nilai yang cukup atau sedang sebagai batuan sumber, sedangkan
untuk TOC antara 1.0% - 2.0% merupakan nilai diatas rata-rata (kaya) sebagai batuan sumber Tabel 1.
Berdasarkan hasil analisis di atas ada dua contoh yang mempunyai nilai TOC cukup/ sedang, yaitu conto
SW2 dan SW3. Keduanya selanjutnya akan di analisa pirolisis.
3. EKSTRAKSI MATERIAL ORGANIK

Material organik yang dapat larut dalam larutan dichlormethana (CH 2Cl2) dan disaring secara
gravitasi. Setelah dibilas dan dikeringkan lalu ditimbang. Hasil ekstraksi conto seberat 30 gram sbb.:
4. ANALISA PIROLISIS
Analisis pirolisis dilakukan terhadap perconto yang mempunyai kandungan TOC lebih besar atau
sama dengan 0.5%. Analisis dilakukan terhadap perconto yang telah digerus halus seberat kurang lebih 100
mg dengan menggunakan alat Rock Eval-5. Tujuan analisis ini, adalah untuk mengetahui kwantitas minyak
bumi atau hidrokarbon bebas (S1), dan kwantitas kerogen (S2) yang keduanya dinyatakan dalam kg/ton dan
temperatur maksimum (Tmaks, oC) yaitu temperatur puncak pada saat S 2 pecah. Dari data ini dapat
diketahui potensi hidrokarbon (PY) yaitu penjumlahan dari S 1 + S2. Indeks Produksi Total (TPI) didapat
dari perhitungan S1/(S1+S2) dan Indeks Hidrogen (HI) dengan perhitungan S2/TOCx100 Data hasil analisis
pirolisis diinterpretasikan sebagai berikut:
S1 tidak dipakai, kecuali bila nilai S1 tinggi dihubungkan dengan nilai S2 yang rendah, dapat ditafsirkan
karena adanya hidrokarbon yang telah bermigrasi.
Nilai PY (Potential Yield, S1+S2) merupakan indikasi dari pada kwalitas batuan sumber:
Miskin : PY < 2 kg/ton
Sedang : PY = 2-5 kg/ton
Bagus : PY > 5 kg/ton
Tingkat kematangan bahan organik dapat ditentukan berdasarkan harga Tmaks:
Tmaks : 435oC belum matang
Tmaks : 435o-470oC minyak
Tmaks : 465oC gas
Indeks Produksi Total (TPI) dipakai untuk perconto batuan yang sedang, kaya atau lebih kaya, bila
dihubungkan dengan harga Tmaks, dapat diinterpretasikan sebagai berikut:
Tmaks TPI
< 435oC 0.1 belum matang
> 435oC 0.1-02 awal matang - matang
0.2 telah terkontaminasi
Dari dua conto SW2 dan SW3 diperoleh hasil sbb.:
Ternyata kedua contoh tersebut termasuk potensial miskin dan belum matang.
5. ANALISIS PANTULAN VITRINIT
Perconto yang telah dihancurkan (tidak terlalu halus) diberi larutan asam klorida (HCl) untuk
menghilangkan kandungan karbonatnya, kemudian setelah dilakukan pencucian dan netralisasi, maka
diteteskan larutan asam fluorida (HF) untuk menghilangkan kandungan silikanya. Dengan menggunakan
larutan ZnBr2, maka akan terpisahkan antara kerogen dengan yang bukan kerogen, yang mana kerogen
akan mengapung. Selanjutnya kerogen diambil dan dibilas, kemudian dicetak dalam resin dan dipoles.
Pengukuran besarnya pantulan vitrinit dilakukan dengan menggunakan mikroskop refleksi Leitz-MPV2
yang dikombinasikan dengan digital counter untuk mengukur nilai pantulan vitrinit yang ada.
Data analisis ini ditampilkan dalam diagram batang. Nilai yang diarsir dipakai untuk
menentukan kematangan dan yang tidak diarsir ditafsirkan sebagai vitrinit yang telah teroksidasi dan
mengalami daur ulang atau material yang tidak jelas identitasnya seperti bitumen padat, pseudo-vitrinit
atau semi fusinit. kadang-kadang perconto yang dianalisis tidak mengandung vitrinit atau tidak mempunyai
angka pembacaan yang cukup sebagai data kematangan yang dapat diyakini, sehingga dinyatakan sebagai

Tidak Dapat Ditentukan (TDD). Kisaran yang dihasilkan dari nilai pantulan vitrinit (Ro) adalah sebagai
berikut :
< 0.35% Ro : belum matang
< 0.60% Ro : awal matang
0.60-1.20% Ro : minyak
0.70-1.00% Ro : pik minyak
1.00-2.00% Ro : gas basah
1.35-3.20% Ro : gas kering
Ro untuk conto SW2 mempunyai harga rata-rata 0,34 (belum matang), sedangkan conto SW3 tidak
dilakukan analisa vitrinit dan analisa GC-MS.
6. ANALISIS MOLEKULAR
Analisis GC-MS dilakukan pada kedua fraksi, yaitu alifatik dan aromatik dengan menggunakan
sistim GC dari Hewlett Packard Series 6890 yang dihubungkan dengan quadrapole Mass Selective
Detector Tipe 5970. Seluruh fraksi alifatik teranalisis dengan menggunakan Selective ion monitoring
(SIM) mode untuk pendeteksian secara khusus dari ionion m/z 85, 123, 177, 183, 191, 205, 217, 218, 231,
259, 273, 384, 398 dan 412. Bila perlu perconto dianalisis secara full scan yang dimaksudkan untuk
mendapatkan massa spektranya. Fragmentogram massa 128, 142, 156, 170, 178, 184, 192, 198, 206, 212,
220, 226, 231, 234, 253, 267, 231, 245, 365 didapatkan dari fraksi aromatik. A Hewlett Packard series
900/216 data Station digunakan untuk pemrosesan dan akuisisi data. Analisis molekul distribusi biomarker
dihitung dari peak areas fragmentogram massa.
Hal yang penting untuk diketahui bahwa disebabkan oleh respons factors yang berbeda, maka
molekul parameter yang dihitung dari ionion tunggal tidak mewakili perhitungan yangbenar banyaknya
senyawa secara relatif. Bagaimanapun, nilai-nilai ini mudah untuk diukur dengan membandingkan
distribusi biomarker dari perconto yang berbeda. Parameter biomarker dipilih untuk menentukan jenis
bahan organik, kematangan termal dan lingkungan pengendapan.
Parameter yang paling baik adalah yang dipengaruhi hanya oleh salah satu dari faktor-faktor
tersebut. Sedangkan hasil analisis GC-MS conto SW2. Potensi dan Kualitas Batuan Induk, berdasarkan
conto batuan yang dianalisis, nampak bahwa kandungan TOC berkisar antara 0.17% sampai 0,69%,
separuh conto nilainya <0,5, sedangkan separuhnya lagi TOC di atas 0,5% yaitu: SW-2 dan SW-3. Hasil
pirolisis Rock-Eval menunjukkan bahwa semua batulempung berpotensi miskin sebagai batuan sumber
hidrokarbon (PY < 2 kg/ton). Nilai HI yang relatif rendah mencerminkan bahwa batuan ini jika mencapai
kematangan akan cenderung menghasilkan gas. Seluruh batuan teranalisis mengandung hidrogen dengan
jumlah yang sangat rendah seperti ditunjukkan oleh harga indeks hidrogen (HI) di bawah nilai 150.
Bahan organik dengan kandungan hidrogen rendah seperti ini umumnya dijumpai pada bahan
organik dengan tipe kerogen III-IV yang dibentuk secara dominan oleh unsur tumbuhan darat. Dari seluruh
conto batuan yang dianalisis Rock-Eval tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan migrasi hidrokarbon
yang telah terjadi. Hasil analisis biomarker terhadap fraksi saturasi menunjukkan konfigurasi kematangan
termal rendah baik senyawa sterana m/z 217 maupun hopana. Kondisi ini cukup menyulitkan di dalam

melakukan identifikasi individu (puncakpuncak isomer) dari senyawa-senyawa tersebut karena proses
isomerisasi masih terus berlangsung. Pada ion kromatogram sterana (m/z 217), senyawa sterana terlihat
belum terbentuk dengan maksimal terutama pembentukan isomerisomer seperti __ 20S. Hal serupa juga
dijumpai pada ion kromatogram pentasiklik triterpana (m/z 191), dengan masih dijumpainya unsur-unsur
produk kematangan termal rendah seperti __ hopana, moretana, serta isomer __ 22R (Gambar 5).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Potensi hidrokarbon, hasil analisis TOC dan Rock Eval menunjukkan bahwa sedimen dari daerah
telitian Formasi Kujung Lintasan Kali Wungkal berupa batu lempung 2 conto tidak berpotensi
(SW-1 dan SW-4) dan dua conto yang lain berpotensi cukup/sedang (SW-2 dan SW-3).
Tingkat Kematangan Termal, seluruh sedimen dari Formasi Kujung yang dianalisis, tingkat
kematangan termalnya belum matang. Ro conto SW-2 = 0,34.
Tipe Bahan Organik, batuan sedimen mengandung hidrogen yang umumnya rendah mencerminkan
bahwa kerogen terkandung adalah Tipe III dengan kapasitas tertinggi sebagai penghasil gas.
Lingkungan Pengendapan Bahan Organik, kajian data GC dan GCMS memberikan gambaran bahwa,
pada umumnya bahan organik yang terkandung berasal dari lingkungan pengendapan kaya
oksigen dimana material asal tumbuhan darat cukup dominan. Lingkungan seperti ini sangat lazim
dijumpai di daerah delta yang masih berasosiasi dengan daratan.
Saran
Untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif mengenai potensi hidrokarbon Formasi Kujung
perlu dilakukan analisis dan evaluasi geokimia sedimen sedimen dari bawah permukaan,
Perlu dilakukan simulasi laboratorium untuk mendapatkan produk hidrokarbon dari batuan sumber
yang ada. Hal ini penting mengingat seluruh batuan sedimen dari daerah survei masih berada pada
tingkat kematangan termal rendah.
UCAPAN TERIMAKASIH
Semua pihak yang telah ikut membantu.
DAFTAR PUSTAKA
Kuwat Santoso, 1998. Studi Batuan Induk Hidrokarbon di Cekungan Jawa Timur Utara. Thesis Master,
ITB. Unpublished.
Manur H. dan Barraclough R. , 1994. Structural Control on Hydrocarbon Habitat in the Bawean area.
Proceedings Indonesian Petroleum Association, 23th Annual Convention, 129-144.
Mulhadiono, Pringgoprawiro, dan Asikin, 1984. Tinjauan Stratigrafi dan Tatanan Tektonik di Pulau.
Madura, Jawa Timur, Proceedings PIT IAGI MI, Bandung, 1-20.
Musliki S., 1992. Generation, Migration and Accumulation of Hydrocarbon in the North East Java Basin.
Proceedings PIT JAGI, 21" Annual Convention, Yogyakarta, 1-10.
Tissot, B.P. dan Welte, D.H., 1984. Petroleum Formation and Occurrence, Edisi Kedua, Springer-Verlag,
Berlin, 699 h.
Waples, D.W., 1985. Organic Geochemistry for Exploration Geologist. International Human Resources
Development Corp., Boston, 232 h.

Anda mungkin juga menyukai