Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Syok bukanlah merupakan suatu diagnosis, namun merupakan
sindrom klinis yang kompleks yang mencakup sekelompok keadaan
dengan manifestasi hemodinamik yang bervariasi, namun secara garis
besar disebabkan oleh karena perfusi jaringan yang menurun. Setiap
keadaan yang mengakibatkan tidak tercukupinya kebutuhan oksigen
jaringan, baik karena suplainya yang kurang atau kebutuhannya yang
meningkat, menimbulkan tanda-tanda syok (Muhiman et al., 2004).
Syok merupakan suatu proses progresif yang ditandai dengan
tiga fase, dan tergantung pada faktor-faktor penyebab, respon dari
kompensasi seluler, dan kelainan reperfusi maupun iskemik. Pada
tahap awal kompensasi, sejumlah mekanisme fisiologis kompensasi
neurohormonal berfungsi untuk menjaga tekanan darah dan menjaga
perfusi jaringan yang mencukupi kebutuhan tubuh. Pada tahap ini,
syok mungkin dapat terjadi reversibel, bahkan tanpa intervensi
terapeutik. Namun, ketika mekanisme kompensasi gagal, syok dapat
berkembang ke tahap tidak terkompensasi hingga membutuhkan
intervensi terapeutik. Jika masuk kedalam tahap ireversibel, syok dapat
berkembang sehingga terjadi cedera jaringan, hingga tidak responsif
terhadap terapi konvensional dan dapat menyebabkan kematian
pasien (Kathula et al., 2002).
Syok terjadi pada sekitar 2% dari total jumlah pasien bayi, anakanak, maupun orang dewasa di negara maju, dan tingkat kematian
bervariasi tergantung pada etiologi dan keadaan klinis. Kebanyakan
pasien yang tidak bertahan hidup, tidak mati pada fase akut hipotensi
syok, melainkan sebagai akibat dari komplikasi terkait dan multiple
organ dysfunction syndrome (MODS). Multiple organ dysfunction
syndrome

didefinisikan

sebagai

perubahan

fungsi

organ

yang

membutuhkan perawatan secara intensif, dan terjadinya MODS pada


pasien dengan syok dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya
kematian. Upaya manajemen standar yang menekankan pengenalan

dini dan intervensi telah menunjukkan penurunan angka kematian


pada kasus syok (Turner dan Cheifetz, 2015).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana tata cara diagnosis syok pada anak?
2. Bagaimana tatalaksana syok pada anak?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami cara mendiagnosis syok pada
anak
2. Untuk mengetahui dan memahami tatalaksana syok pada anak

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Syok
Menurut Kobayashi et al (2012), syok adalah ketidakmampuan
tubuh untuk mempertahankan perfusi organ akhir secara adekuat
(Kobayashi et al., 2012). Syok adalah suatu kondisi dimana tidak
adekuatnya

aliran

darah

ke

jaringan

dan

sel-sel

tubuh

yang

mengakibatkan tidak adekuatnya oksigen dan nutrisi ke sel (AHA,


2005). Syok juga merupakan kondisi hilangnya volume darah sirkulasi
efektif. Kemudian diikuti perfusi jaringan dan organ yang tidak adekuat,
yang akibatnya terjadi gangguan metabolik seluler (Kathula et al.,
2002).
Syok merupakan suatu keadaan patofisiologik dinamik yang
mengakibatkan hipoksia jaringan dan sel, karena hipoksia pada syok
terjadi gangguan metabolisme sel, sehingga dapat timbul kerusakan
ireversibel pada jaringan organ vital. Indikator dari syok dapat berupa
peningkatan denyut jantung, tekanan nadi melemah, penurunan
capillary refill time, ekstremitas yang dingin dan berkeringat, kulit
pucat, peningkatan turgor kulit, penurunan output urin, membran
mukus yang kering, penurunan tekanan darah, dan perubahan status
mental (Kobayashi et al., 2012).
2.2 Etiologi Syok
Penyebab syok dibagi berdasarkan tipe syok yang terjadi. Syok
terbagi menjadi 5 tipe, seperti yang ditunjukkan pada tabel 1 (Turner
dan Cheifetz, 2015).

Tabel 1. Tipe syok (Turner dan Cheifetz, 2015)

2.3 Patofisiologi Syok


Semua yang dapat memicu terjadinya syok menyebabkan
pengiriman oksigen yang tidak memadai ke organ dan jaringan. Pada
fase awal terjadi mekanisme kompensasi, hal tersebut bertujuan untuk
menjaga tekanan darah dengan meningkatkan curah jantung dan
systemic vascular resistance (SVR). Selain itu, tubuh juga berupaya
mengoptimalkan

pengiriman

oksigen

ke

jaringan

dengan

meningkatkan pengambilan oksigen dan mendistribusikan aliran darah


ke otak, jantung, dan ginjal dengan mengorbankan organ yang lainnya
seperti kulit dan saluran pencernaan. Mekanisme ini menyebabkan
keadaan awal berupa kompensasi terhadap syok, di mana tekanan
darah dipertahankan. Jika pengobatan tidak dimulai atau tidak
memadai selama periode ini, maka akan berkembang menjadi syok
yang tidak terkompensasi,

yang disertai

dengan hipotensi

dan

kerusakan jaringan yang dapat menyebabkan MODS dan berakhir


dengan kematian (Turner dan Cheifetz, 2015).
Pada fase awal syok, beberapa mekanisme fisiologis kompensasi
bertindak untuk menjaga tekanan darah dan menjaga perfusi jaringan
dan

pengiriman

oksigen.

Termasuk

efek

kardiovaskular

berupa

peningkatan denyut jantung, stroke volume, dan tonus otot polos


pembuluh darah, yang diatur melalui aktivasi sistem saraf simpatik dan
respon neurohormonal. Kompensasi pernapasan berupa eliminasi CO2
lebih besar yang merupakan respon terhadap asidosis metabolik dan
peningkatan produksi CO2 dari perfusi jaringan yang buruk. Ekskresi ion
hidrogen dan retensi bikarbonat yang meningkat oleh ginjal merupakan
upaya dalam mempertahankan pH tubuh

dalam batas

normal.

Pemeliharaan volume intravaskular difasilitasi melalui regulasi natrium


melalui renin angiotensin-aldosteron dan natriuretic factor axes,
kortisol dan sintesis/pelepasan katekolamin, dan sekresi hormon
antidiuretik. Meskipun terdapat mekanisme kompensasi, syok yang
menetap dan respon terhadap host dapat menyebabkan kerusakan sel
4

endotel pembuluh darah dan kebocoran dari cairan intravaskular ke


ruang ekstraselular interstitial. Aspek penting lain dari patofisiologi
awal syok adalah dampak terhadap curah jantung. Semua bentuk syok
mempengaruhi curah jantung melalui beberapa mekanisme, dapat
berupa

perubahan

denyut

jantung,

preload,

afterload,

dan

kontraktilitas miokard yang dapat terjadi secara terpisah maupun


gabungan (Turner dan Cheifetz, 2015).
Syok hipovolemik disebabkan karena kehilangan cairan dan
penurunan preload. Takikardia dan peningkatan SVR merupakan
kompensasi awal untuk mempertahankan curah jantung dan tekanan
darah sistemik. Jika volume yang hilang tidak segera digantikan, maka
hipotensi akan terus berkembang, kemudian diikuti oleh iskemia
jaringan dan kerusakan klinis lebih lanjut. Ketika tekanan onkotik yang
rendah sudah terbentuk sebelumnya(disebabkan oleh sindrom nefrotik,
kekurangan gizi, disfungsi hati, luka bakar akut, dll), penurunan volume
akan jauh lebih banyak dan eksaserbasi syok dapat terjadi karena
kerusakan endotel dan kebocoran kapiler yang semakin memburuk
(Turner dan Cheifetz, 2015).
Syok distributif terjadi karena keadaan vasodilatasi pembuluh
darah yang abnormal dan penurunan SVR. Sepsis, hipoksia, keracunan,
anafilaksis, cedera tulang belakang, atau disfungsi dari mitokondria
dapat menyebabkan vasodilatasi hingga terjadi syok. Pada awalnya
terjadi penurunan SVR kemudian diikuti oleh perubahan aliran darah
yang berasal dari organ-organ vital dan peningkatan kompensasi curah
jantung. Proses ini menyebabkan penurunan yang signifikan di kedua
preload dan afterload. Terapi untuk syok distributif harus mengatasi
kedua masalah ini secara bersamaan (Turner dan Cheifetz, 2015).
Syok kardiogenik dapat terjadi pada pasien dengan miokarditis,
kardiomiopati, penyakit jantung bawaan, aritmia, atau dengan riwayat
operasi jantung. Dalam hal ini, kontraktilitas miokard berperan
terhadap terjadinya syok kardiogenik, dimana terjadi perubahan
sistolik dan/atau diastolik. Fase lanjutan dari semua bentuk syok
memiliki

dampak

negatif

terhadap

miokardium,

menyebabkan

terjadinya perubahan komponen kardiogenik ke keadaan syok. Syok


kardiogenik berawal dari efek terjadinya sepsis sehingga terjadi

depresi

miokardium,

penurunan

SVR.

dan

Setiap

syok
pasien

distributif

merupakan

menunjukkan

hasil

manifestasi

dari
yang

bervariasi, tetapi secara garis besar terjadi perubahan pada preload,


afterload, dan kontraktilitas miokard (Turner dan Cheifetz, 2015).
Syok septik merupakan kombinasi dari kondisi syok distributif,
hipovolemik, dan kardiogenik. Kejadian hipovolemia berasal dari
kehilangan cairan intravaskular yang terjadi melalui kebocoran kapiler.
Dalam syok septik, penting untuk membedakan penyebab karena
sumber

infeksi

dan

respon

inflamasi.

Dalam

keadaan

normal,

kekebalan tubuh mencegah perkembangan sepsis melalui aktivasi


reticular endothelial system (RES) bersama dengan sistem kekebalan
tubuh seluler dan humoral. Respon imun tubuh ini menghasilkan reaksi
inflamasi, termasuk hormon, sitokin, dan enzim. Jika reaksi inflamasi ini
tidak terkendali, kekacauan sistem sirkulasi mengarah ke beberapa
organ dan perubahan seluler (Turner dan Cheifetz, 2015).

Tabel 2. Kriteria Sepsis (Turner dan Cheifetz, 2015)

Systemic inflammatory response syndrome (SIRS) merupakan


proses

inflamasi

yang

disebabkan

oleh

respon

host

terhadap

rangsangan infeksi baik yang menular atau tidak. Proses inflamasi ini
dipicu ketika sistem pertahanan tubuh tidak cukup kuat untuk
6

mengenali dan melawan infeksi tersebut. Proses inflamasi diawali oleh


kejadian syok yang dapat berubah menjadi kejadian hipovolemia, gagal
jantung, acute respiratory distress syndome (ARDS), resistensi insulin,
penurunan aktivitas sitokrom P450 (penurunan sintesis steroid),
koagulopati, dan infeksi sekunder. Tumor necrosis factor (TNF) dan
mediator inflamasi lainnya meningkatkan permeabilitas pembuluh
darah, menyebabkan kebocoran kapiler dimana-mana, penurunan
tonus vaskular, dan ketidakseimbangan antara perfusi dan kebutuhan
metabolisme

jaringan.

TNF

dan

interleukin

(IL)

-1

merangsang

pelepasan mediator pro-inflamasi dan anti-inflamasi, menyebabkan


demam dan vasodilatasi. Mediator pro-inflamasi termasuk IL-6, IL-12,
interferon-, dan faktor penghambat migrasi makrofag; sitokin antiinflamasi termasuk IL-10, mengubah

growth factor-, dan IL-4.

Metabolit asam arakidonat menyebabkan terjadinya demam, takipnea,


kelainan ventilasi-perfusi, dan asidosis laktat. Nitric oxide, dilepaskan
dari endotelium atau sel inflamasi, merupakan penyebab utama
terjadinya hipotensi. Depresi miokard disebabkan secara langsung oleh
faktor miokard-depresan, TNF, dan beberapa interleukin, dan depresi
lebih lanjut oleh katekolamin yang hilang, peningkatan -endorphin,
dan produksi nitric oxide miokard (Turner dan Cheifetz, 2015).
Proses inflamasi di inisiasi oleh racun atau superantigens melalui
ikatan makrofag atau aktivasi limfosit. Endotelium pembuluh darah
merupakan

target

menyebabkan

jaringan

kerusakan

dan

lebih

sumber

lanjut.

mediator

Respon

yang

biokimia

dapat

meliputi

produksi metabolit asam arakidonat, pelepasan faktor depresan


miokard, pelepasan opiat endogen, aktivasi sistem komplemen, serta
produksi dan pelepasan banyak mediator lainnya, dapat menjadi faktor
pro-inflamasi atau anti-inflamasi. Keseimbangan antara kelompok
mediator

tersebut

untuk

berpengaruh

terhadap

perkembangan

penyakit dan kesempatan untuk bertahan hidup masing-masing


individu (Turner dan Cheifetz, 2015).
2.4 Manifestasi klinis Syok
Keadaan klinis syok sebagian bergantung pada etiologi yang
mendasari, tapi jika tidak diketahui dan tidak diobati, semua bentuk

syok dapat berkembang sehingga muncul tanda-tanda klinis yang tidak


diinginkan dan terjadi perubahan patofisiologis yang pada akhirnya
dapat menyebabkan kerusakan organ yang ireversibel dan kematian.
Syok mungkin awalnya bermanifestasi hanya takikardia, dengan atau
tanpa takipnea. Perkembangannya dapat berupa output urin yang
menurun, perfusi perifer yang buruk, gangguan atau kegagalan
pernapasan, perubahan status mental, dan tekanan darah rendah.
Banyak anggapan yang salah sering terjadi, bahwa syok hanya
bermanifestasi sebagai tekanan darah yang rendah; hipotensi dapat
berupa temuan yang terlambat dan bukan merupakan kriteria untuk
diagnosis syok, karena terjadi satu kesatuan mekanisme kompensasi
yang

berusaha

untuk

menjaga

tekanan

darah.

Hipotensi

mencerminkan keadaan yang lebih lanjut dari syok dekompensata dan


dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas (Turner dan
Cheifetz, 2015).
Awalnya

syok

hipovolemik

sering

bermanifestasi

sebagai

hipotensi ortostatik dan berhubungan dengan membran mukosa


kering, turgor kulit buruk, dan penurunan output urin. Tergantung pada
tingkat dehidrasi, pasien dengan syok hipovolemik dapat ditemukan
dengan keadaan anggota ekstremitas distal dingin atau normal, dan
laju nadi mungkin normal, menurun, atau tidak ada, tergantung pada
tingkat keparahan penyakit (Turner dan Cheifetz, 2015).
Tanda-tanda

tejadinya

syok

kardiogenik

adalah

takipnea,

ekstremitas dingin, waktu pengisian kapiler yang menurun, denyut


perifer dan/atau pusat yang menurun, penurunan status mental, dan
penurunan output urin, disebabkan oleh kombinasi dari penurunan
curah jantung dan kompensasi vasokonstriksi perifer (Turner dan
Cheifetz, 2015).
Syok obstruktif sering kali bermanifestasi sebagai penurunan
cardiac output karena pembatasan

anatomis aliran darah, dan

presentasi awal dapat berkembang secara cepat menjadi suatu


serangan jantung. Syok distributif awalnya bermanifestasi sebagai
vasodilatasi pembuluh darah perifer dan terjadi peningkatan curah
jantung, namun tidak adekuat (Turner dan Cheifetz, 2015).

Terlepas

dari

etiologi,

syok

tidak

terkompensasi,

dengan

hipotensi, SVR yang tinggi, penurunan curah jantung, kegagalan


pernapasan, penurunan status mental, dan oliguria, terjadi di akhir
perkembangan penyakit (Turner dan Cheifetz, 2015).

Tabel 3. Kriteria MODS (Turner dan Cheifetz, 2015)

Sepsis didefinisikan sebagai SIRS disertai dengan kecurigaan


atau terbukti adanya proses infeksi. Kejadian klinis sepsis dimulai
ketika terjadinya infeksi sistemik (misalnya, bakteremia, penyakit
riketsia,

fungemia,

viremia)

atau

lokal

(misalnya,

meningitis,

pneumonia, pielonefritis) yang berlangsung sejak kejadian awal sepsis


hingga sepsis berat (kehadiran sepsis dikombinasikan dengan disfungsi
organ). Kerusakan lebih lanjut mengarah ke syok septik (sepsis berat
disertai hipoperfusi atau hipotensi yang menetap meskipun telah
diberikan resusitasi cairan yang adekuat atau agen vasoaktif), MODS,
9

dan mungkin kematian. Ini merupakan suatu kesatuan masalah klinis


yang menjadi salah satu penyebab utama kematian pada anak-anak di
seluruh dunia. Kejadian ini dapat dikurangi dan menujukkan hasil yang
lebih baik jika dapat dikenali dan diberikan pengobatan yang lebih
awal. Tanda-tanda dan gejala sepsis awal termasuk perubahan dalam
regulasi suhu (hipertermia atau hipotermia), takikardia, dan takipnea.
Pada tahap awal (fase hiperdinamik, SVR rendah, atau syok yang
hangat), terjadi peningkatan output jantung dalam upaya untuk
mempertahankan pengiriman oksigen yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan metabolik dari organ dan jaringan yang lebih besar. Jika
syok septik terus berlangsung, terjadi penurunan curah jantung oleh
karena efek berbagai mediator inflamasi, kemudian terjadi kompensasi
berupa peningkatan SVR dan berubah menjadi syok yang "dingin"
(Turner dan Cheifetz, 2015).
2.5 Diagnosis Syok
Syok

adalah

diagnosis

klinis

berdasarkan

anamnesis

dan

Pemeriksaan fisik. Dalam kasus yang diduga sebagai syok septik,


etiologi infeksi harus dicari melalui kultur spesimen yang sesuai dan
inisiasi cepat dari terapi antimikroba empiris berdasarkan usia pasien,
penyakit penyerta, lokasi, dan waktu yang diperlukan untuk kultur, dan
hasilnya sering tidak positif. Tambahan bukti untuk mengidentifikasi
etiologi infeksi sebagai penyebab SIRS termasuk temuan pemeriksaan
fisik, pencitraan radiologi, adanya sel darah putih dalam cairan tubuh
yang biasanya steril, dan ruam yang menyerupai petechiae dan
purpura. Anak-anak yang terkena dampak harus dirawat di sebuah unit
perawatan intensif atau lingkungan yang sangat dipantau lainnya
(Turner dan Cheifetz, 2015).

10

Tabel 4. Hemodinamik Pada Syok (Turner dan Cheifetz, 2015)

Kondisi hemodinamik pasien yang sedang berada dalam kondisi


syok dapat berbeda-beda, sesuai dengan tipe syok yang dialaminya.
Perbedaan status hemodinamik pasien sesuai dengan tipe syok dapat
dilihat pada tabel 4.
Pasien

yang

berada

dalam

kondisi

syok

memerlukan

pemantauan terus menerus, baik dengan bantuan noninvasif (pulse


oximetry, kapnografi, near spektroskopi infra red) dan invasif (tekanan
vena sentral, tekanan darah arteri) teknik sebagai indikasi klinis. Tanda
penurunan perfusi jaringan dapat dilihat pada tabel 5 (Turner dan
Cheifetz, 2015).

Tabel 5. Tanda Penurunan Perfusi Jaringan (Turner dan Cheifetz, 2015)

2.6 Tatalaksana Syok


Tujuan

utamanya

tatalaksana

syok

adalah

membantu

penghantaran oksigen melalui sistem sirkulasi dengan memastikan


volum plasma intravaskular efektif, kapasitas pembawa oksigen yang
optimal, tekanan darah yang adekuat. Penanganan awal dan intervensi
yang cepat sangat penting dalam tatalaksana semua bentuk syok
(gambar 1). Baseline mortalitas jauh lebih rendah anak-anak dari pada
dewasa. Penilaian awal dan pengobatan syok pada anak harus
mencakup

stabilisasi

jalan

napas,

pernapasan,

dan

sirkulasi.

Tergantung pada beratnya syok, intervensi lebih lanjut untuk saluran


nafas termasuk intubasi dan ventilasi mekanik, mungkin diperlukan
untuk mengurangi kerja pernapasan dan menurunkan kebutuhan
metabolik tubuh (Turner dan Cheifetz, 2015).
Kejadian sepsis dan hipovolemik merupakan jenis syok yang
paling banyak terjadi pada anak-anak. Oleh karena itu penanganan

11

jenis syok ini harus benar-benar dipahami. Pemasangan akses vena


atau intaosseus dan terapi cairan langsung diberikan pada tujuan awal,
kecuali

terdapat

kondisi

khusus

seperti

syok

kardiogenik

yang

mendasari terjadinya keadaan tersebut. Pemberian IV cepat 20 mL / kg


isotonic cairan harus dimulai dalam upaya untuk mengembalikan
keadaan syok. Pemberian bolus harus segera diulang dengan volume
hingga 60-80 mL/kg; pada pasien dengan gejala klinis yang berat,
pemberian dengan volume ini biasanya dibutuhkan dalam 1 jam
pertama tatalaksana awal (Turner dan Cheifetz, 2015).

Gambar 1. Algoritma Pertolongan Kelainan Hemodinamik Pada Anak (Turner


dan Cheifetz, 2015)

12

Resusitasi cairan yang cepat sebesar 60-80 mL/kg atau lebih,


berhubungan
peningkatan

dengan
insiden

meningkatanya
edema

paru.

harapan

Resusitasi

hidup
cairan

tanpa
dengan

penambahan sebesar 20 mL/kg harus ditingkatkan/diturunkan secara


perlahan

dengan

tujuan

untuk

menormalkan

nadi

(sesuai

nadi

berdasarkan usia), output urin (1 mL/kg/jam), waktu pengisian kapiler


(<2 detik), dan status mental. Resusitasi cairan sewaktu-waktu dapat
memerlukan sebanyak 200 mL/kg atau lebih besar. Harus ditekankan
bahwa temuan hipotensi merupakan respon lambat terhadap syok dan
berdampak buruk terhadap prevalensi kematian, dan normalisasi
tekanan darah saja bukan merupakan parameter akhir untuk menilai
efektivitas resusitasi. Meskipun efektivitas jenis cairan (kristaloid atau
koloid) masih diperdebatkan, resusitasi cairan (biasanya kristaloid)
pada jam pertama tidak diragukan lagi penting untuk kelangsungan
hidup pada syok septik, terlepas dari jenis cairan diberikan. Jika syok
sulit diatasi meskipun sudah di resusitasi 60-80 mL/kg, terapi
vasopresor

(norepinephrin

atau

epinephrine)

harus

diberikan

sementara sebagai cairan tambahan yang diberikan. Target dari


penanganan syok terhadap kelainan oragan yang mendasari dapat
dilihat pada tabel dibawah ini (Turner dan Cheifetz, 2015).

Tabel 6. Target terapi pada masing-masing organ (Turner dan Cheifetz, 2015)

Pada keadaan syok septik, pemberian antibiotik spektrum luas


berhubungan dengan menurunnya angka mortalitas yang disebabkan
oleh jenis syok tersebut. Pemberian antibiotik ini disesuaikan dengan

13

faktor resiko dan keadaan klinis pasien. Selain itu, karakteristik bakteri
pada suatu komunitas dan rumah sakit menjadi hal yang harus ikut
dipertimbangkan. Pada neonatus direkomendasikan untuk diberikan
ampisilin disertai cefotaksim atau gentamisin, atau keduanya. Pada
bayi dan anak-anak dengan kasus infeksi komunitas oleh karena
Neisseria meningitidis dapat diterapi secara empiris menggunakan
antibiotik golongan sefalosporin generasi ke-3 (ceftriaxone atau
cefotaxime). Jika didapatkan kejadian infeksi yang tinggi oleh karena
Streptococcus pneumonia yang resisten, pemberian vancomycin dapat
dipertimbangkan.

Jika

didapatkan

kecurigaan

terhadap

infeksi

Staphylococcus aureus resisten terhadap methicillin, maka dapat


diberikan

vancomycin

sebagai

agen

profilaksis,

namun

dipertimbangkan dengan pola resisten bakteri di daerah masingmasing. Pada pasien dengna suspek keterlibatan infeksi intraabdomen,
perlindungan terhadap bakteri anaerob harus dipertimbangkan. Pada
kasus tersebut dapat diberikan antibiotik seperti metronidazole,
klindamisin, atau piperasilin-tazobaktam. Sepsis oleh karena infeksi
nosoklomial harus diterapi dengan antibiotik paling tidak dengan
golongan sefalosporin generasi 3/4 atau penisilin disertai spektrum
gram negative yang luas (piperasilin-tazobaktam). Aminoglikosida
dapat ditambahkan dengan pertimbangan status klinis pasien (Turner
dan Cheifetz, 2015).
Pasien dengan kardiogenik syok memiliiki output jantung yang
tidak adekuat yang disebabkan depresi miokardium baik sistol maupun
diastol, biasanya disertai dengan kompensasi berupa peningkatan SVR.
Pada kasus ini pasien akan menunjukkan respon yang kurang baik
terhadap respon terapi resusitasi cairan dan dapat terjari syok yang
tidak terkompensasi jika cairan tetap diberikan. Bolus dengan dosis
minimal (5-10 mL/kg) harus diberikan pada kasus syok kardiogenik
dengan

tujuan

untuk

menggantikan

defisit

cairan

dan

mempertahankan preload. Inisiasi lebih awal untuk membantu kerja


jantung seperti epinefrin atau dopamine untuk meningkatkan output
jantung merupakan hal yang sangat penting, dan dipertimbangkan
juga pemberian inodilator seperti milrinon (Turner dan Cheifetz, 2015).

14

Pada keadaan syok obstruktif, pemberian resusitasi cairan


dengan

tujuan

untuk

mempertahankan

output

jantung

masih

merupakan perdebatan. Dibandingkan dengan memulai terapi cairan,


menemukan

penyebab

dari

syok

ini

lebih

disarankan,

seperti

perikardiosintesis pada pasien dengan efusi perikardial, pleurosintesis


atau pemasangan selang dada pada pasien dengan pneumothorax,
trombectomy/trombolisis

pada

pasien

dengan

emboli

paru,

dan

memulai terapi prostaglandin pada pasien dengan ductus-dependent


cardiac lesion (Turner dan Cheifetz, 2015).
Secara garis besar penanganan syok adalah sebagai berikut:
1. Prioritas utama yang harus segera dilakukan adalah pemberian
oksigen aliran tinggi, stabilisasi jalan nafas, dan pemasangan
jalur intravena, diikuti segera dengan resusitasi cairan. Apabila
jalur intravena perifer sukar didapat, jalur intraoseus (IO) segera
dimulai.
2. Setelah jalur vaskular didapat, segera lakukan resusitasi cairan
dengan bolus kristaloid isotonik (Ringer lactate, normal saline)
sebanyak 20 mL/kg dalam waktu 5-20 menit.
3. Pemberian cairan dapat diulang untuk memperbaiki tekanan
darah dan perfusi jaringan. Pada syok septik mungkin diperlukan
cairan 60 mL/kg dalam 30-60 menit pertama.
4. Pemberian cairan hanya dibatasi bila diduga penyebab syok
adalah disfungsi jantung primer.
5. Apabila setelah pemberian 20-60 mL/kg kristaloid isotonik masih
diperlukan cairan, pertimbangkan pemberian koloid.

Darah

hanya direkomendasikan sebagai pengganti volume yang hilang


pada kasus perdarahan akut atau anemia dengan perfusi yang
tidak adekuat meskipun telah mendapat 2-3 x 20 mL/kg bolus
kristaloid.
6. Pada syok septik, bila refrakter dengan pemberian cairan,
pertimbangkan pemberian inotropik.
7. Dopamin merupakan inotropik pilihah utama pada anak, dengan
dosis

3-20

pemberian

gr/kg/menit.
dopamin,

Apabila

tambahkan

syok

epinefrin

resisten

dengan

(dosis

0,05-0,3

15

gr/kg/menit) untuk cold shock atau norepinefrin (dosis 0,05-1,5


gr/kg/menit) untuk warm shock.
8. Syok resisten katekolamin, dapat diberikan kortikosteroid dosis
stres (hidrokortison 50 mg/m2/24jam).
9. Dobutamin
didapatkan

dipergunakan
curah

apabila

jantung

yang

setelah
rendah

resusitasi
dengan

cairan

resistensi

vaskular sistemik yang meningkat, ditandai dengan ekstremitas


dingin, waktu pengisian kapiler memanjang, dan produksi urin
berkurang tetapi tekanan darah normal.
10.Pada syok septik, antibiotik harus diberikan dalam waktu 1 jam
setelah diagnosis ditegakkan, setelah sebelumnya diambil darah
untuk pemeriksaan kultur dan tes resistensi.
11.Sebagai terapi awal dapat digunakan antibiotik berspektrum luas
sampai didapatkan hasil kultur dan antibiotik yang sesuai
dengan kuman penyebab.
12.Target akhir resusitasi yang ingin dicapai merupakan petanda
perfusi jaringan dan homeostasis seluler yang adekuat, terdiri
dari: frekuensi denyut jantung normal, tidak ada perbedaan
antara nadi sentral dan perifer, waktu pengisian kapiler < 2
detik, ekstremitas hangat, status mental normal, tekanan darah
normal, produksi urin >1 mL/kg/jam, penurunan laktat serum.
13.Tekanan darah sebenarnya bukan merupakan target akhir
resusitasi,

tetapi

perbaikan

rasio antara

frekuensi

denyut

jantung dan tekanan darah yang disebut sebagai syok indeks,


dapat dipakai sebagai indikator adanya perbaikan perfusi.
2.7 Prognosis
Dalam syok, tingkat kematian terendah 3% pada anak-anak
sehat dan 6-9% pada anak-anak dengan penyakit kronis (dibandingkan
dengan 25-30% pada orang dewasa). Dengan pengenalan dini dan
terapi, tingkat mortalitas untuk syok anak terus membaik, tapi syok
dan MODS tetap salah satu penyebab utama kematian pada bayi dan
anak-anak. Resiko kematian melibatkan interaksi yang kompleks dari
faktor, termasuk etiologi yang mendasari, kehadiran penyakit kronis,

16

respon imun dari host, dan waktu recognition dan terapi (Turner dan
Cheifetz, 2015).

17

BAB III
KESIMPULAN
1. Syok adalah suatu kondisi dimana tidak adekuatnya aliran darah
ke jaringan dan sel-sel tubuh yang mengakibatkan tidak
adekuatnya oksigen dan nutrisi ke sel.
2. Syok terbagi menjadi 5 tipe yaitu, syok hipovolemik,
kardiogenik, distributive, septik, dan obstruktif.
3. Pada fase awal terjadi mekanisme kompensasi, hal tersebut
bertujuan untuk menjaga tekanan darah dengan meningkatkan
curah jantung, systemic vascular resistance (SVR), dan
meningkatkan pengambilan dan distribusi oksigen aliran darah
ke organ penting. Jika pengobatan tidak dimulai atau tidak
memadai selama periode ini, maka akan berkembang menjadi
syok yang tidak terkompensasi, dandapat mengakibatkan MODS
hingga kematian.
4. Keadaan klinis syok sebagian bergantung pada etiologi yang
mendasari, tapi jika tidak diketahui dan tidak diobati, semua
bentuk syok dapat berkembang sehingga muncul tanda-tanda
klinis yang tidak diinginkan dan terjadi perubahan patofisiologis
yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan organ yang
ireversibel dan kematian.
5. Syok ditegakkan berdasarkan diagnosis klinis berdasarkan
anamnesis dan Pemeriksaan fisik. Dalam kasus yang diduga
sebagai syok septik etiologi infeksi harus dicari.
6. Tujuan utamanya tatalaksana syok adalah
membantu
penghantaran oksigen melalui sistem sirkulasi dengan
memastikan volum plasma intravaskular efektif, kapasitas
pembawa oksigen yang optimal, tekanan darah yang adekuat.
7. Dengan pengenalan dini dan terapi, tingkat mortalitas untuk
syok anak terus membaik, tapi syok dan MODS tetap salah satu
penyebab utama kematian pada bayi dan anak-anak.

18

Daftar Pustaka
Muhiman, Muhardi, dkk. Anestesiologi. 2004. Jakarta: Bagian
anestesiologi dan terapi intensif FKUI.
Kobayashi L, Costantini TW, Coimbra R. 2012. Hypovolemic Shock
Resuscitation. Division of Trauma, Surgical Critical Care, and Burns,
Department of Surgery, University of California San Diego School of
Medicine: USA. 1404-1416
American Heart Association. 2005 American Heart Association
guidelines for cardiopulmonary resuscitation and emergency
cardiovascular care of pediatric and neonatal patients: Pediatric
advanced life support. Pediatrics 2006;117:E100S-28.
Kathula, Bolla, Magann. Shock and management of shock. Southern
Medical Journal. November 18, 2002
Turner DA, Cheifetz IM. Shock dalam: Kliegman RM, Stanton, Geme JS,
Schor NF. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-20. Philadelpia:
Saunders; 2015:516-528.

19

Anda mungkin juga menyukai