EPISTAKSIS
Oleh :
Hadi Oktafiano
Aghnia Jolanda Putri
Jasmine Nabilah
1010313077
1010313088
1110312045
Pembimbing :
dr. Rossy Rosalinda, Sp.THT-KL
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji dan syukur Alhamdulillah kehadirat Allah swt yang telah
melimpahkan ilmu, akal, pikiran dan waktu sehingga penulis dapat menyelesaikan referat
yang berjudul Epistaksis. Laporan kasus ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat
dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Rossy Rosalinda, Sp.THT-KL selaku
pembimbing dan semua pihak yang telah membantu dalam penulisan laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, dengan kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
berbagai pihak demi kesempurnaan laporan ini. Akhir kata, semoga laporan ini bermanfaat
bagi kita semua.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
BAB I
BAB II
BAB III
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
TINJAUAN PUSTAKA
2.2. Epistaksis
13
2.2.1 Definisi
13
2.2.2 Epidemiologi
13
2.2.3 Klasifikasi
14
2.2.4 Etiologi
14
17
2.2.6 Penatalaksanaan
19
2.2.7 Komplikasi
24
2.2.8 Prognosis
25
Ilustrasi Kasus
DAFTAR PUSTAKA
26
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Anatomi hidung luar
12
22
23
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Perdarahan pada septum dan dinding lateral kavum nasi
BAB I
PENDAHULUAN
Epistaksis atau perdarahan hidung dilaporkan timbul pada 60% populasi umum.
Puncak kejadian dari epistaksis didapatkan berupa dua puncak (bimodal) yaitu pada usia <10
tahun dan >50 tahun. Epistaksis biasanya terjadi tiba-tiba. Perdarahan mungkin banyak dan
bisa juga sedikit. Penderita selalu ketakutan sehingga merasa perlu untuk memanggil dokter.
Epistaksis yang berat , walaupun jarang dijumpai, dapat mengancam keselamatan jiwa
pasien. Bahkan dapat berakibat fatal bila tidak segera ditolong.1,2,3
1.2 Batasan Masalah
Dalam Case Report Session ini akan dibahas mengenai Epistaksis.
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan Case Report Session ini bertujuan untuk menambah ilmu pengetahuan
serta memahami pengetahuan tentang Epistaksis.
1.4 Metode Penulisan
Penulisan Case Report Session ini menggunakan berbagai literature sebagai sumber
kepustakaan.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Hidung luar berbentuk piramid dengan puncak di bagian atas dan dasar di
bawah. Bagian-bagiannya yaitu1:
Ala nasi
Kolumela
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan kartilago yang dilapisi kulit,
jaringan ikat, dan otot-otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Bagian 1/3 atas hidung luar merupakan kerangka
tulang yang terdiri dari dua tulang hidung (os. nasal) yang bertemu di bagian tengah
dan bertumpu pada prosesus nasalis dari tulang frontalis yang juga bertumpu pada
prosesus frontalis dari tulang maksila.1,2
Bagian 2/3 bawah merupakan kerangka kartilago yang terdiri dari kartilago
lateralis atas dan bawah.(kartilago alar), kartilago lesser alar (sesamoid), dan kartilago
septum. Kartilago lateralis atas membentang dari batas bawah kerangka tulang hingga
kartilago alar di bagian bawah. Keduanya berfusi dengan batas atas kartilago septum
di bagian tengah. Masing-masing kartilago alar berbentuk U, dengan krus lateral yang
membentuk ala nasi, dan krus medial yang berjalan sepanjang kolumela. Terdapat 2-4
kartilago lesser alar yang masing-masing dihubungkan oleh perichondrium dan
periosteum, dan terletak di lateral dari kartilago alar. Kartilago septum terbentang dari
batas bawah kerangka tulang hingga ke puncak hidung (tip). Ia berfungsi sebagai
penyangga kerangka kartilago dari dorsum nasi.2
b. Hidung dalam
Konkha Inferior
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os.
Konkha Media
Konka media merupakan bagian dari tulang etmoid, dan menempel ke
10
iii.
Konkha Superior
Konka superior juga masi merupakan bagian dari tulang etmoid, dan
c. Perdarahan hidung
Kedua sistem arteri karotis eksterna dan interna mendarahi hidung, baik
septum dan dinding lateral.2 Arteri karotis interna bercabang menjadi arteri oftalmika
yang kemudian bercabang lagi menjadi arteri etmoidalis anterior dan posterior. Cabang
etmoidalis anterior dan posterior menyuplai sinus palatina mayor menyuplai sinus
frontalis dan etmoidalis serta atap hidung. Sedangkan arteri sfenopalatina dan arteri
11
palatina mayor merupakan cabang terminal dari arteri karotis eksterna yang menyuplai
darah pada konka, meatus dan septum nasalis. 1
Pada bagian depan septum, terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.
sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior, dan a. palatina mayor yang disebut
pleksus Kiesselbach (Littles area). Pleksus Kiesselbach terletak superfisial sehingga
mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis pada anak.1
Tabel 1. Perdarahan pada septum dan dinding lateral kavum nasi 2
Sistem arteri karotis
Septum
Dinding lateral
Interna
Cabang
dari
a. Cabang
dari
Eksterna
ophtalmika:
ophtalmika:
- A. etmoid anterior
- A. etmoid anterior
a.
- A. etmoid posterior
- A. etmoid posterior
A.
sfenopalatina, cabang
nasal
cabang dari a. maksilaris
posterolateral
dari
a.
a. maksilaris
Cabang
nasal
dari
12
13
d. Persarafan hidung
i.
14
bulbus olfaktorius. Saraf ini dapat membawa lapisan duramater, arachnoid dan
piamater ke rongga hidung sehingga cedera pada saraf ini dapat menimbulkan
kebocoran pada ruang cairan serebrospinal sehinga menyebabkan rinorrea cairan
serebrospinal dan meningitis.2
ii.
Persarafan sensoris
-
N. Etmoidalis anterior
Persarafan otonom
Serat-serat saraf parasimpatis mempersarafi kelenjar-kelenjar di hidung
dan mengontrol sekresi hidung. Mereka berasal dari n. petrosal superfisial mayor,
berjalan dalam saraf dari kanal pterygoid (n. vidian) dan mencapai ganglion
sfenopalatina hingga kavum nasi. Mereka juga menyuplai pembuluh darah dari
hidung dan menyebabkan vasodilatasi.2
Serat-serat saraf simpatis berasal dari korda spinalis dari 2 segmen
thoraks atas, berjalan melalui ganglion servikal superior, ke dalam n. petrosal dan
15
bergabung dengan serat saraf parasimpatis dan kemudian membentuk saraf dari
kanal pterygoid (n. vidian). Meraka mencapai kavum nasi tanpa masuk ke dalam
ganglion sfenopalatina. Mereka mengkonstriksikan pembuluh darah. Rinorrea
eksesif pada kasus rhinitis vasomotor dan alergi dapat dikontrol oleh n. vidian. 2
16
2.2 Epistaksis
2.2.1 Definisi
Epistaksis adalah perdarahan yang keluar dari lubang hidung,
rongga hidung dan nasofaring, yang merupakan gejala dari kelainan atau
penyakit lain.3,4 Kondisi ini merupakan kegawatdaruratan yang paling sering
ditemukan di bidang telinga, hidung, dan tenggorok yang harus segera ditatalaksana
karena dapat berakibat fatal.5
2.2.2 Epidemiologi
Epistaksis diperkirakan terjadi pada 7 14% populasi umum tiap tahun.
Prevalensi sebenarnya tidak diketahui disebabkan kebanyakan kasus dapat sembuh
sendiri dan tidak dilaporkan. Angka kejadian epistaksis meningkat pada anak-anak
umur dibawah 10 tahun, dan dewasa di atas 50 tahun. Laki-laki lebih sering
mengalami epistaksis dibanding wanita.5 Epistaksis anterior lebih sering terjadi pada
anak-anak dan dewasa muda, sedangkan epistaksis posterior lebih sering terjadi pada
usia yang lebih tua, terutama pada laki-laki dekade 50 dengan penyakit hipertensi dan
arteriosklerosis. Epistaksis lebih sering terjadi pada musim dingin. Hal ini mungkin
disebabkan peningkatan kejadian infeksi pernafasan atas dan udara yang lebih kering
akibat pemakaian pemanas. Epistaksis juga sering terjadi pada iklim yang panas
dengan kelembaban yang rendah. Pasien yang menderita alergi, inflamasi hidung, dan
penyakit sinus lebih rentan terjadi epistaksis karena mukosanya lebih mudah kering
dan hiperemis disebabkan reaksi inflamasi.3
18
2.2.3 Klasifikasi
Epistaksis dibedakan menjadi 2 atas dasar sumber pendarahan, yaitu 1 :
Epistaksis Anterior
Kebanyakan berasal dari Pleksus Kiesselbach di septum bagian
anterior dan
Epistaksis Posterior
Dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior.
Perdarahan cenderung lebih hebat dan jarang berhenti sendiri, sehingga dapat
menyebabkan anemia, hipovolemi dan syok. Sering ditemukan pada pasien
dengan kelainan kardiovaskuler seperti hipertensi, atau arteriosklerosis.1
2.2.4 Etiologi
Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa dapat ditelusuri penyebabnya.
Namun kadang-kadang jelas disebabkan oleh trauma. 1 Perdarahan hidung diawali
dengan pecahnya pembuluh darah di selaput mukosa hidung. Sebanyak 80% kasus
perdarahan berasal dari pembuluh darah pleksus Kiesselbach.1
19
20
erosi
membran
mukosa
septum
yang
menyebabkan
perdarahan.1,2
f. Faktor lingkungan
Misalnya tinggal di daerah tinggi, tekanan udara rendah atau lingkungan
udaranya sangat kering.2
2. Sistemik
a. Kelainan darah
c. Infeksi sistemik
Epistaksis ringan sering terjadi bila seseorang berada di tempat yang cuacanya
sangat dingi atau kering. Hal serupa juga bisa disebabkan adanya zat-zat
kimia di tempat industri yang menyebabkan keringnya mukosa, juga karena
perubahan tekanan atmosfir seperti pada Caisson Disease pada penyelam.1,2
22
Riwayat pengobatan atau penyalahgunaan alkohol terperinci harus dicari. Banyak pasien
minum aspirin secara teratur untuk banyak alasan. Aspirin merupakan penghambat fungsi
trombosit dan dapat menyebabkan pemanjangan atau perdarahan. Penting mengenal
bahwa efek ini berlangsung beberapa waktu dan bahwa aspirin ditemukan sebagai
komponen dalam sangat banyak produk. Alkohol merupakan senyawa lain yang banyak
digunakan, yang mengubah fungsi pembekuan secara bermakna. 6
Aspek anamnesis yang mungkin penting dalam melokalisasi tempat perdarahan
bisa didapat dengan menanyakan6 :
1. Sewaktu anda membungkuk apakah ada darah yang keluar dari hidung?
(menggambarkan sumber perdarahan anterior)
2. Apakah darah menuruni tenggorokan anda ? (menggambarkan perdarahan dari
sisi posterior cavitas nasalis)
b. Pemeriksaan Fisik
Pertama hidung harus dibersihkan dari bekuan darah atau debris secara
memuaskan dengan alat penghisap. Kedua harus dioleskan senyawa vasokonstriktif
seperti efedrin atau kokain 5% yang akan mengerutkan mukosa hidung sehingga
memberikan evaluasi yang lebih baik dan bahkan menghentikan perdarahan sementara
waktu.6
Pemeriksaan harus dilakukan dalam cara teratur dari anterior ke posterior.
Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan concha inferior
harus diperiksa cermat. Pemeriksaan hidung tidak lengkap jika tidak dilakukan
23
2.2.6 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan epistaksis ialah memperbaiki keadaan umum, cari
sumber perdarahan, hentikan perdarahan, cari faktor penyebab untuk mencegah
berulangnya perdarahan.1
Bila pasien datang dengan epistaksis perhatikan keadaan umumnya, nadi,
pernafasan serta tekanan darahnya. Bila ada kelainan atasi terlebih dahulu, misalnya
dengan memasang infus. Jalan nafas dapat tersumbat oleh darah atau bekuan darah,
perlu dibersihkan atau dihisap.1
24
Penanganan epistaksis yang tepat akan bergantung pada suatu anamnesis yang
cermat. Hal-hal yang penting adalah sebagai berikut:
1. Riwayat perdarahan sebelumnya
2. Lokasi perdarahan
3. Apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorok (posterior) atau keluar
dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak
4. Lama perdarahan dan frekuensinya
5. Kecendrungan perdarahan
6. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
7. Hipertensi
8. Diabetes mellitus
9. Penyakit Hati
10. Penggunaan anti koagulan
11. Trauma hidung yang belum lama
12. Obat-obatan misalnya aspirin dan fenilbutazon
a. Menghentikan Perdarahan
Menghentikan perdarahan secara aktif, seperti kaustik dan pemasangan
tampon lebih baik daripada pemberian obat hemostatik sambil menunggu epistaksis
berhenti dengan sendirinya.1
Pasien sendiri dapat menghentikan perdarahan bagian depan hidungnya dengan
menjepit bagian itu dengan sebuah jari tangan dan ibu jari serta meletakkan sebuah
cawan untuk menampung tetesan darah dari hidungnya. Pasien dilarang menelan karena
25
dapat menggeser bekuan darah yang terbentuk. Menelan dapat dicegah dengan
menempatkan sebuah gabus diantara kedua barisan gigi depan (metode Trotter). 4
Jika seorang pasien datang dengan epistaksis maka pasien harus diperiksa
dalam keadaan duduk, sedangkan jika terlalu lemah dapat dibaringkan dengan
meletakkan bantal di belakang punggungnya kecuali bila sudah dalam keadaan syok.1
Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap dan untuk
membersihkan hidung dari bekuan darah. Kemudian tampon kapas yang telah
dibasahi dengan adrenalin 1/10.000 dan lidocain atau pantocain 2% dimasukkan ke
dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa nyeri
pada waktu tindakan selanjutnya . Tampon ini dibiarkan selama 3-5 menit. Dengan
cara ini dapatlah ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya di bagian anterior
atau di bagian posterior.1
i.
Perdarahan anterior
Perdarahan anterior seringkali berasal dari septum bagian depan. Apabila tidak
berhenti dengan sendirinya, perdarahan anterior terutama pada anak dapat dicoba
dihentikan dengan menekan hidung dari luar selama 10-15 menit dan seringkali berhasil. 1
Semprotan dekongestif dan aplikasi topikal gulungan kapas yang dibasahi kokain
biasanya akan cukup menimbulkan efek anestesi dan vasokonstriksi. Sekarang bekuan
darah dapat di aspirasi.7 Bila sumbernya terlihat tempat asal perdarahan dikaustik dengan
larutan Nitras Argenti 20-30% atau dengan Asam Trikolasetat 10% atau dapat juga
26
dengan elektrokauter.8 Jika pembuluh menonjol pada kedua sisi septum diusahakan agar
tidak mengkauter daerah yang sama pada kedua sisi. Sekalipun menggunakan zat
kauterisasi dengan penetrasi rendah, namun daerah yang dicakup kauterisasi harus
dibatasi. Sebaliknya, maka dengan rusaknya silia dan pembentukkan epitel gepeng diatas
jaringan parut sebagai jaringan pengganti mukosa saluran nafas normal, akan terbentuk
titik-titik akumulasi dalam aliran lapisan mucus. Dengan melambatnya atau terhentinya
aliran mukus pada daerah-daerah yang sebelumnya mengalami kauterisasi, akan
terbentuk krusta pada septum. Pasien kemudian akan mengorek hidungnya dengan
megelupaskan krusta, mencederai lapisan permukaan dan menyebabkan perdarahan baru.
Menentukan lokasi perdarahan mungkin semakin sulit pada pasien dengan deviasi
septum yang nyata dan perforasi septum. 8
Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka diperlukan
pemasangan tampon anterior, dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin atau salap
antibiotika. Tampon mudah dibuat dari lembaran kasa steril bervaselin, berukuran 72 x
0,5 inchi disusun dari dasar hingga atap hidung meluas hingga keseluruh panjang rongga
hidung.1 Pemakaian vaselin atau salep pada tampon berguna agar tampon tidak melekat,
untuk menghindari berulangnya perdarahan ketika tampon dicabut .8 Suatu tampon
hidung anterior harus memenuhi seluruh rongga hidung. 1
27
Tampon dimasukkan sebanyak 2-4 buah, disusun dengan teratur dan harus
dapat menekan asal perdarahan. Tampon dipertahankan selama 2x24 jam, harus
dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung.1 Jika lokasi perdarahan telah ditemukan,
vasokonstriktor harus diberkan bersamaan dengan obat-obat topikal seperti larutan
kokain 4% atau oxymetazolin atau phenylephrine. Perdarahan yang lebih aktif perlu
diberikan anestesi topikal yang adekuat. Obat-obat intravena bisa diberikan pada
kasus yang sulit atau pada penderita yang cemas.
ii.
Perdarahan Posterior
Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau
tampon Bellocq, dibuat dari kasa dengan usuran 3x2x2 cm dengan mempunyai 3
buah benang, 2 buah pada satu sisi dan sebuah lagi pada sisi yang lainnya. Tampon
harus menutup koana(nares posterior).1
28
29
Bellocq, diletakkan pada pipi pasien.Gunanya untuk menarik tampon keluar melalui
mulut estela 2-3 hari.1
Pada epistaksis yang berat dan berulang yang tidak dapat diatasi dengan
pemasangan tampon anterior maupun posterior, dilakukan ligasi arteri. Ligasi arteri
etmoid anterior dan posterior dapat dilakukan dengan membuat sayatan didekat
kantus medialis dan kemudian mencari kedua pembuluh darah tersebut didinding
medial orbita. Ligasi arteri maksila interna yang tetap difosa pterigomaksila dapat
dilakukan melalui operasi Caldwell-Luc dan kemudian mengangkat dinding posterior
sinus maksila.1
2.2.7 Komplikasi
30
waktu pemasangan tampon Bellocq dapat terjadi laserasi palatum mole dan sudut bibir
karena benang terlalu kencang dilekatkan. 1,8
2.2.8 Prognosis
Sebanyak 90% kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri. Pada pasien
hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering kambuh dan
prognosisnya buruk.2
31
BAB III
LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien
Nama
: An. F
MR
: 922636
Jenis kelamin
: Laki-laki
Umur
: 7 tahun
Alamat
: Padang
Tanggal masuk
: 9 September 2015
II. Anamnesis
Keluhan Utama: Keluar darah dari lubang hidung kanan saat 2 jam sebelum masuk
rumah sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Keluar darah dari lubang hidung kanan saat 2 jam sebelum masuk rumah
sakit, kurang lebih sebanyak 2 sendok makan, dan berhenti setelah dipasang
tampon kassa oleh bagian Anak IGD RSUP Dr M Djamil Padang.
Riwayat bersin-bersin lebih dari lima kali jika terkena debu atau perubahan
cuaca tidak ada.
Terdapat riwayat keluar darah dari hidung sebelumnya, satu bulan lalu dan
berhenti sendiri.
32
: sakit ringan
Kesadaran
: komposmentis kooperatif
Tekanan darah
: 110/70 mmHg
Nadi
: 102x/menit
Nafas
: 30x/menit
Suhu
: 36,90C
Kepala
Kepala
: bulat, simetris
Rambut
Mata
Paru
Penilaian
Kel. Kongenital
Trauma
Radang
Kel. Metabolik
Dekstra
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Sinistra
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
33
Dinding liang
telinga
Sekret /
Serumen
Nyeri tarik
Nyeri tekan
Cukup lapang (N)
Sempit
Hiperemi
Edema
Massa
Bau
Warna
Jumlah
Jenis
Tidak ada
Tidak ada
Cukup lapang
Tidak ada
Tidak ada
Cukup lapang
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Warna
Refleks cahaya
Bulging
Retraksi
Atrofi
Jumlah perforasi
Jenis
Kuadran
Pinggir
Tanda radang
Fistel
Sikatrik
Nyeri tekan
Nyeri ketok
Rinne
Schwabach
Weber
Kesimpulan
bening
+
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
bening
+
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Membran Timpani
Utuh
Perforasi
Mastoid
2. Hidung
Pemeriksaan
Hidung luar
Penilaian
Deformitas
Kelainan kongenital
Trauma
Radang
Massa
Dextra
Tidak ada
Tidak ada
Tidak Ada
Tidak ada
Tidak ada
Sinistra
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
3. Sinus paranasal
34
Pemeriksaan
Nyeri tekan
Nyeri ketok
Dextra
Tidak ada
Tidak ada
Sinistra
Tidak ada
Tidak ada
4. Rinoskopi Anterior
Vestibulum
Kavum nasi
Sekret
Konka inferior
Konka media
Septum
Massa
Vibrise
Radang
Cukup lapang (N)
Sempit
Lapang
Lokasi
Jenis
Jumlah
Bau
Ukuran
Warna
Permukaan
Edema
Ukuran
Warna
Permukaan
Edema
Cukup lurus/deviasi
Permukaan
Warna
Spina
Krista
Abses
Perforasi
Lokasi
Bentuk
Ukuran
Permukaan
Warna
Konsistensi
Mudah digoyang
Pengaruh
vasokonstriktor
Ada
Tidak ada
Sempit
Ada
Tidak ada
Cukup lapang
Tidak Ada
Tidak Ada
Tidak Ada
Tidak Ada
Tidak Ada
Tidak Ada
Tidak Ada
Tidak Ada
Eutrofi
Eutrofi
Merah muda
Merah muda
Licin
Licin
Ada
Tidak ada
Sulit dinilai
Eutrofi
Sulit dinilai
Merah muda
Sulit dinilai
Licin
Sulit dinilai
Tidak ada
Tidak ada deviasi
Terdapat ekskoriasi
pada Pleksus
Kiesselbach
Merah muda
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Licin
Merah muda
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
35
5. Rinoskopi Posterior :
Pemeriksaan
Koana
Mukosa
Konka inferior
Adenoid
Muara tuba
eustachius
Massa
Post Nasal Drip
Penilaian
Cukup lapang (N)
Sempit
Lapang
Warna
Edem
Jaringan granulasi
Ukuran
Warna
Permukaan
Edem
Ada/tidak
Tertutup sekret
Edem mukosa
Lokasi
Ukuran
Bentuk
Permukaan
Ada/tidak
Jenis
Dekstra
Sinistra
Cukup lapang
Cukup lapang
Merah muda
Tidak ada
Tidak ada
Eutrofi
Merah muda
Licin
Tidak ada
Tidak
Tidak ada
Tidak ada
Merah muda
Tidak ada
Tidak ada
Eutrofi
Merah muda
Licin
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Dinding Faring
Tonsil
Penilaian
Simetris/tidak
Warna
Edema
Bercak/eksudat
Warna
Permukaan
Ukuran
Warna
Permukaan
Kripti
Detritus
Eksudat
Perlengketan
dengan pilar
Dekstra
Simetris
Merah muda
Tidak ada
Tidak ada
Merah muda
Licin
T1
Merah muda
Licin
Baik
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Sinistra
Simetris
Merah muda
Tidak ada
Tidak ada
Merah muda
Licin
T1
Merah muda
Licin
Baik
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
36
Peritonsil
Tumor
Gigi
Lidah
Warna
Edema
Abses
Lokasi
Bentuk
Ukuran
Permukaan
Konsistensi
Karies/radiks
Kesan
Warna
Bentuk
Deviasi
Massa
Merah muda
Tidak ada
Tidak ada
Merah muda
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Higiene mulut baik
Merah muda
Normal
Tidak ada
Tidak ada
Ariteniod
Ventrikular band
Plica vokalis
Subglotis/trakea
Sinus piriformis
Valekula
Penilaian
Bentuk
Warna
Edema
Pinggir rata/tidak
Massa
Warna
Edema
Massa
Gerakan
Warna
Edema
Massa
Warna
Gerakan
Pingir medial
Massa
Massa
Sekret
Massa
Sekret
Massa
Sekret ( jenisnya )
Dekstra
Sinistra
37
IV. Diagnosis
Post epistaksis anterior et causa trauma
Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP)
V. Diagnosis Banding
Post epistaksis anterior et causa trombositopenia
VI. Tatalaksana
Pemasangan tampon anterior
Aplikasi salep kemicetin pada lesi
Observasi tanda-tanda perdarahan
VII. Prognosis
Quo ad vitam
: bonam
Quo ad functionam
: bonam
Quo ad sanam
: dubia ad malam
38
DISKUSI
Seorang pasien laki-laki berumur 7 tahun datang dibawa oleh orang tua ke
IGD RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 9 September 2015 dengan keluhan
keluar darah dari lubang hidung kanan saat 2 jam sebelum masuk rumah sakit.
Dari alloanamnesis didapatkan keluar darah dari hidung kanan saat 2 jam
sebelum masuk rumah sakit, kurang lebih sebanyak 2 sendok makan, dan berhenti
setelah dipasang tampon kassa oleh bagian Anak IGD RSUP Dr. M. Djamil Padang.
Pasien sebelumnya mengorek-ngorek hidungnya. pasien punya riwayat keluar darah
dari hidung sebelumnya, sekitar 1 bulan lalu dan berhenti sendiri. Pasien telah dikenal
menderita Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sejak 3 tahun lalu dan berobat
teratur ke spesialis anak.
Berdasarkan anamnesis, keluhan pasien merupakan gejala epistaksis. Pada
pasien terdapat darah yang mengalir keluar dari hidung. Didukung oleh riwayat
pasien yang mengorek-ngorek hidung yang bisa menjadi penyebab trauma dari
pembuluh darah di hidung yang menjadi penyebab keluarnya darah. Kondisi pasien
yang menderita kelainan pembekuan darah berupa Idiopathic Thrombocytopenic
Purpura (ITP) juga dapat menjadi predisposisi terjadinya epistaksis pada pasien ini.
Hal ini juga didukung hasil pemeriksaan fisik dimana terdapat ekskoriasi pada
pleksus Kiesselbach.
Pasien didiagnosa dengan epistaksis anterior et causa trauma dan Idiopathic
Thrombocytopenic Purpura (ITP). Dilakukan pemasangan tampon anterior dan
pemberian salep kemicetin pada lesi dan melanjutkan observasi terhadap tanda-tanda
perdarahan.
39
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
Dhingra P.L., dan Dhingra S. Diseases of Ear, Nose, and Throat, Head and
Neck Surgery. Edisi 6. New Delhi: Elsevier, 2014
3.
4.
5.
6.
7.
Anto,
2007.
Epistaxis.
RCH
CPG.
Diakses
dari
http://
40
8.
41