Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebelum setiap obat diabsorpsi, obat terlebih dahulu harus berada dalam
keadaan melarut (terdisolusi). Biofarmasetika dan desain bentuk sediaan modern,
sebagian tergantung pada prinsip disolusi ini dan teori difusi. Kecepatan disolusi
adalah kecepatan obat mulai melarut dari permukaan padat menjadi bentuk larutan
pada saat tablet atau bentuk sediaan padat lainnya dimasukkan ke dalam gelas
piala yang berisi air atau ke dalam salur cerna. Apabila tablet merupakan system
polimer kontinu (tidak hancur), maka matrik padat hancur (desintegrasi) menjadi
granul, dan granul mengalami deagregasi menjadi partikel. Disintegrasi,
deagregasi dan disolusi dapat terjadi secara simultan dengan pelepasan obat dari
system penghantaran obat (Agoes, 2008).
Dalam studi bioekivalensi, satu formulasi obat dipilih sebagai standar
pembanding dari formulasi obat yang lain. Standar pembanding hendaknya
mengandung obat aktif terapeutik dalam formulasi yang paling banyak berada
dalam sistemik (yakni larutan atau suspensi) dan dalam jumlah sama seperti
formulasi lain yang dibandingkan. Pembanding hendaknya diberikan rute sama
seperti formulasi lain yang dibandingkan (Shargel,2005).
Agar suatu obat dapat diabsorpsi, mula-mula obat tersebut harus larut
dalam cairan pada tempat absorpsi. Sebagai contoh, suatu obat yang diberikan
secara oral dalam bentuk tablet atau kapsuul tidak dapt diabsorpsi sampai partikelpartikel obat larut dalam cairan pada suatu tempat dalam saluran lambung- usus.
Dalam hal ini, dimana kelarutan suatu obat tergantung dari apakah medium asam
atau medium basa, obat tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung
dan dalam usus halus. Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi (Ansel,
1989).
Untuk tiap pelaksanaan pelarutan, diuji 6 tablet atau kapsul dan uji
pelarutan berlanjut sampai criteria dipenuhi (Shargel,2005).

1.2 Tujuan Percobaan


1. Untuk mengetahui pengaruh bentuk sediaan terhadap laju disolusi
2. Untuk membandingkan laju disolusi antara tablet, kapsul dan sustained
release dari Sulfadiazin.
3. Untuk membandingkan laju disolusi obat generic dan paten dari
Furosemid.
1.3 Manfaat percobaan
Melalui percobaan ini, mahasiswa diharapkan mengetahui pengaruh bentuk
sediaan obat terhadap laju disolusi dan mampu mempraktikannya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Bahan
2.1.1 Sulfadiazin

Gambar (2) Struktur Sulfadiazin.

Nama kimia

: N-2-Pirimidinilsulfanilamida

Rumus molekul

: C10H10N4O2S

Nama lazim

: Sulfadiazinum/sulfadiazine

Khasiat

: Antibakteri

Dosis maksimum

: Sekali 2 gram, sehari 8 gram

Pemerian

: Serbuk, putih sampai agak kuning; tidak berbau atau


hampir tidak berbau; stabil di udara tetapi pada pemaparan
terhadap cahaya perlahan-lahan menjadi hitam.

Kelarutan

: Praktis tidak larut dalam air; mudah larut dalam asam


mineral encer, dalam larutan kalium hidroksida, dalam
larutan natrium hidroksida dan dalam amonium hidroksida;
agak sukar larut dalam etanol dan dalam aseton; sukar larut
dalam serum manusia pada suhu 37oC. (Ditjen POM, 1979).

2.1.2 Furosemida

Gambar (2) Struktur Furosemida


Nama kimia

: Asam 4-kloro-N-furfuril-5-sulfamoilantranilat
3

Rumus molekul

: C12H11ClN2O2S

Berat molekul

: 330,74

Khasiat

: Diuretik

Dosis Maksimum

: Sekali 1,25 10 miligram

Pemerian

: Serbuk hablur, putih sampai hampir kuning; tidak berbau.

Kelarutan

: Praktis tidak larut dalam air; mudah larut dalam aseton,


dalam dimetilformamida dan dalam larutan alkali
hidroksida; larut dalam metanol; agak sukar larut dalam
etanol; sukar larut dalam eter; sangat sukar larut dalam
kloroform. (Ditjen POM, 1979).

2.1.3 Lasix
Furosemid 10 mg/ml (inj); 40 mg (tab).
Kontraindikasi: Gagal ginjal akut, hepatik koma, hipokalemia.
Efek Samping : Gangguan gastrointestinal, neprokalsinosis pada bayi prematur.
Dosis

: Edema, Liver asites, hipertensi ringan sampai sedang :


Dosis awal : sehari 2x
Pemeliharaan : sehari 1x
Anak-anak : 2 mg/Kg BB (IAI, 2010).

2.2 Disolusi
Pada waktu suatu partikel obat mengalami disolusi, molekul-molekul obat
pada permukaan mula-mula masuk ke dalam larutan menciptakan suatu lapisan
jenuh obat larutan yang membungkus permukaan partikel obat padat. Lapisan
larutan ini dikenal sebagai lapisan difusi. Dari lapisan difusi ini, molekul-molekul
Jika proses disolusi suatu partikel obat tertentu adalah cepat, atau jika obat yang
diberikan sebagai larutan dan tetap ada dalam tubuh seperti itu, laju obat yang
terabsorpsi terutama akan tergantung pada kesanggupannya menembus pembatas
membrane. Tetapi jika laju disolusi untuk suatu partikel obat lambat, misalnya
mungkin karena karakteristik zat obat atau bentuk dosis yang diberikan, proses
4

disolusinya sendiri merupakan tahap yang menentukan laju dalam proses absorpsi
(Ansel, 1989).

Tablet atau
kapsul

Disolusi

Disintegrasi
Disolusi
Granul atau
agregat

Obat dalam
larutan (invitro
atau in vivo)

Absorpsi

(in vivo)

Obat dalam
darah, cairan
lain dan
jaringan.

Deagregasi
Disolusi
Partikel
Halus

Gambar 1.1 Tahap disintegrasi, deagregasi, dan disolusi pada saat obat berbentuk
tablet atau matrik granul (Agoes, 2008).
Suatu obat harus berada dalam keadaan atau bentuk terlarut. Ini artinya,
obat per oral dalam bentuk padat, (tablet, kapsul) atau suspensi harus mengalami
proses disolusi sebelum diabsorpsi oleh tubuh (Jambhekar, 2009).
Beberapa faktor yang mempengaruhi disolusi obat:
1. Luas permukaan.
Bila suatu partikel obat dikurangi sampai menjadi partikel-partikel yang
lebih kecil dalam jumlah besar, luas permukaan total yang diciptakan
ditingkatkan. Untuk obat yang sukar larut atau larut dengan perlahan
uumumnya mengakibatkan peningkatan dalam laju disolusi.
2. Bentuk obat Kristal atau amorf.

Bahan-bahan obat padat bisa ada sebagai zat Kristal murni dengan bentuk
tertentu yang dapat diidentifikasi atau sebagai partikel-partikel amorf
tanpa struktur tertentu. Karakter Kristal atau amorf dari suatu zat obat bisa
penting sekali dalam memudahkan formulasi dan penangannya, kestabilan
kimianya.
3. Bentuk garam
Laju disolusi bentuk garam dari suatu obat umumnya berbeda seklai dari
senyawa induknya. Garam-garam natrium dan kalium dari asam organic
lemah dan garam-garam hidroklorida dari basa organic lemah melarut jauh
lebih mudah dibandingkan dengan asam bebas atau basa bebasnya.
4. Faktor-faktor lain
Keadaan hidrasi dari suatu obat dapat mempengaruhi kelarutan dan pola
absorpsi. Biasanya bentuk anhidrat dari suatu molekul organic lebih
mudah larut daripada bentuk hidratnya (Ansel, 1989).

2.3 Bentuk Sediaan


Tablet adalah sediaan padat kompak,dibuat secara kempa cetak, dalam
bentuk tabung pipih atau sirkuler, kedua permukaannya rata atau cembung,
mengandung satu jenis obat atau lebih dengan atau tanpa zat tambahan. Zat
tambahan yang digunakan dapat berfungsi sebagai zat pengisi, zat pengembang,
zat pengikat, zat pelicin, zat pembasah atau zat lain yang cocok
Tablet bersalut adalah tablet yang disalut dengan zat penyalut yang cocok
untuk maksud dan tujuan tertentu (Ditjen POM, 1979).
Tablet bersalut gula, disingkat tablet salut gula adalah tablet yang disalut
dengan larutan gula atau zat lain yang cocok dengan atau tanpa penambahan zat
warna. Tablet bersalut kempa adalah tablet yang disalut secara kempa cetak
dengan massa granulat yang terdiri dari laktosa, Ca fosfat atau zat lain yang cocok
(Ditjen POM, 1979).
Kapsul adalah bentuk sediaan obat terbungkus cangkang kapsul, keras atau
lunak. Cangkang kapsul dibuat dari gelatin dengan atau tanpa zat tambahan lain
(Ditjen POM, 1979).

Tablet bersalut selaput adalah tablet yang disalut dengan lapisan yang
dibuat dengan cara pengendapan zat penyalut dari penyalut yang cocok. Lapisan
selaput umumnya tidak lebih dari 10% berat tablet (Ditjen POM, 1979).
Tablet bersalut enterik adalah tablet yang disalut dengan zat penyalut yang
relatif tidak larut dalam asam lambung, tetapi larut dan hancur dalam lingkungan
basa usus halus (Ditjen POM, 1979).
Salah satu dari bentuk sediaan, yaitu kapsul. Kapsul membutuhkan bahan
pengisi, pelicin. Terdapat juga gelatin, yang memiliki banyak variasi dari segi
bentuk dalam pabrik industri. Biasanya, produk yang bagus menggunakan gelatin
yang lembut (Curry, 2011).
2.4 Metode Disolusi dan Persyaratan
Secara umum telah dikenal beberapa tahun yang lalu bahwa sebelum
diabsorpsi terjadi, suatu produk obat padat harus mengalami disintegrasi ke dalam
partikel-partikel kecil dan melepaskan obat. Untuk pemantauan keseragaman
disintegrasi tablet United State Pharmacopoeia (USP) menetapkan suatu uji
disintegrasi yang resmi. Produk-produk obat padat yang dibebaskan dari uji
disintegrasi meliputi trokhisi, tablet-tablet yang ditujukan untuk dikulum. Proses
disintegrasi tidak menggambarkan pelarutan sempurna tablet atau obat.
Disintegrasi yang sempurna ditakrifkan oleh USP XX sebagai keadaan dimana
berbagai residu tablet, kecuali fragmen-fragmen penyalut yang tidak larut, tinggal
dalam saringan alat penguji sebagai massa yang lunak dan jelas tidak mempunyai
inti yang teraba. Peralatan resmi untuk uji dan prosedur disintegrasi digambarkan
oleh USP XX. Spesifikasi terpisah diberikan untuk tablet-tablet yang tidak disalut,
tablet-tablet salut biasa, tabet enteric, tablet bukal, tablet sublingual (Shargel,
2005).
Pelarutan merupakan proses dimana suatu bahan kimia atau obat menjadi
terlarut dalam suatu pelarut. Dalam system biologic pelarutan obat dalam media
aqueous merupakan suatu bagian penting sebelum kondisi absorpsi sistemik.
Laju pelarutan obat-obat dengan kelarutan dalam air sangat kecil dari bentuk

sediaan padat yang utuh atau disintegrasi dalam saluran cerna sering
mengendalikan laju absorpsi sistemik obat (Shargel, 2005).
USP XXI/NF XVI memberi beberapa metode resmi untuk melaksanakan
uji pelarutan tablet dan kapsul. Pemilihan suatu metode tertentu untuk suatu obat
biasanya ditentukan dalam monografi untuk suatu produk tertentu (Shargel, 2005).
2.4.1 Metode rotating basket
Metode rotating basket terdiri atas keranjang silindrik yang ditahan oleh
tangkai motor. Keranjang menahan cuplikan dan berputar dalam suatu labu bulat
yang berisi media pelarutan. Keseluruhan labu tercelup dalam suatu bak yang
bersuhu konstan 37oC. Kecepatan berputar dan posisi keranjang harus memenuhi
rangkaian syarat khusus dalam USP yang berakhir beredar. Tersedia standar
kalibrasi pelarutan untuk meyakinkan bahwa syarat secara mekanis dan syarat
operasi telah dipenuhi (Shargel, 2005).
2.4.2 Metode paddle
Metode paddle terdiri atas suatu dayung yang dilapisi khusus, yang
berfungsi memperkecil turbulensi yang disebabkan oleh pengadukan. Dayung
diikat secara vertical ke suatu motor yang berputar dengan suatu kecepatan yang
terkendali. Tablet atau kapsul diletakkan dalam labu pelarutan yang beralas bulat
yang jug berfungsi untuk memperkecil turbulensi dari media pelarutan. Alat
ditempatkan dalam suatu bak air yang bersuhu konstan, seperti pada metode
rotating basket dipertahankan pada 37oC. Posisi dan kesejajaran dayung
ditetapkan dalam USP. Metode paddle sangat peka terhadap kemiringan dayung.
Pada beberapa produk obat, kesejajaran dayung yang tidak tepat secara drastis
dapat mempengaruhi hasil pelarutan. Standar kalibrasi pelarutan yang sama
digunakan untuk memeriksa peralatan sebelum uji dilaksanakan (Shargel, 2005).
2.4.3 Metode disintegrasi yang dimodifikasi
Metode ini pada dasarnya memakai disintegrasi USP basket and rack
dirakit untuk uji pelarutan. Bila alat ini dipakai utnuk pelarutan maka cakram
dihilangkan. Saringan keranjang juga diubah sehingga selama pelrutan partikel
8

tidak akan jatuh melalui saringan. Metode ini jarang digunakan dan dimasukkan
dalam USP untuk suatu formulasi obat lain. Jumlah pengadukan dan getaran
membuat metode ini kurang sesuai untuk uji pelarutan yang tepat (Shargel, 2005).
2.4.4 Pemenuhan syarat pelarutan
USP NF menetapkan syarat pelarutan untuk beberapa produk:
Tabel Penerimaan Uji Pelarutan
Tahap Jumlah yang diuji
S1
6
S2

Kriteria Penerimaan
Masing-masing unit

tidak

kurang

dari

Q+15%
Harga rata-rata dari 12 unit (S1+S2) sama
dengan atau lebih besar dari Q1, dan tidak ada

S3

12

unit yang kurang dari Q-15%


Harga rata-rata dari 24 unit (S1+S2+S3) sama
dengan atau lebih besar dari Q, dan tidak
lebih dari 2 unit yang kurang dari Q-15%

BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
Labu ukur 10 ml, Dissolution tester, Spektrofotometri, Spuit 5ml, Tisu Lensa,
Vial.
3.1.2

Bahan

Sulfadiazin (Tablet, Kapsul, SR), Furosemida (generik, paten), Larutan dapar


Fosfat pH 7,4, Cairan lambung buatan pH 1,2

3.2

Hewan Percobaan
-

3.3 Prosedur Percobaan


3.3.1 Uji Disolusi Sulfadiazin (Tablet, Kapsul, SR)
Diatur suhu medium 37 0,5 C, masukkan 900 ml medium ke
dalam tabung disolusi. Dimasukkan sedian pada tabung disolusi dan
dihidupkan alat dengan kecepatan 100 rpm. Pada menit ke 5,10,20,30,45,
dan 60 diambil 2 ml aliquot dengan menggunakan spuit. Diencerkan
dengan medium disolusi hingga 10 ml. Ukur absorbansinya dengan
spektrofotometer UV pada panjang gelombang 277 nm.
3.3.2 Uji Disolusi Furosemida (Generik dan Paten)
Diatur suhu medium 37 0,5 C, masukkan 900 ml medium ke
dalam tabung disolusi. Dimasukkan sedian pada tabung disolusi dan
dihidupkan alat dengan kecepatan 50 rpm. Pada menit ke 5,10,20,30,45,
dan 60 diambil 2 ml aliquot dengan menggunakan spuit. Diencerkan
dengan medium disolusi hingga 10 ml. Ukur absorbansinya dengan
spektrofotometer UV pada panjang gelombang 242,5 nm.

3.4 Perhitungan
Persamaan Regresi

X : Konsentrasi

Y = 0,0857 X + 0,0392

Y : Absorbansi

Perhitungan Disolusi Lasik


3.4.1 Konsentrasi (C)

t = 5
Y
0,5807
X

t = 10 ; A = 0,5482
Y

; A= 0,5807
= 0,0857 X + 0,0392
= 0,0857 X +0,0392
= 6,32

= 0,0857 X + 0,0392

0,5482 = 0,0857 X +0,0392


X

= 5,94
10

t = 20

; A = 0,5907

= 0,0857 X + 0,0392

0,5907 = 0,0857 X +0,0392

= 6,44

t = 30

; A = 0,5406

= 0,0857 X + 0,0392

0,5406 = 0,0857 X +0,0392

= 5,85

t = 45

; A = 0,5773

= 0,0857 X + 0,0392

0,5773 = 0,0857 X +0,0392

= 6,28

t = 60

; A = 0,5608

= 0,0857 X + 0,0392

0,5608 = 0,0857 X +0,0392


X
3.4.2

= 6,09

Faktor Pengenceran
FP =

Pengenceran dalam labhu10 ml


Jumlah pemipetan aliquot

FP =

10
2

FP = 5
3.4.3 Konsentrasi dalam FP
t = 5
C = 6,32 X 5 = 31,6
11

t = 10
C = 5,94 X 5

= 29,7

t = 20
C = 6,44 X 5

= 32,2

t = 30
C = 5,85 X 5

= 29,25

t = 45
C = 6,28 X 5

= 31,4

t = 60
C = 6,09 X 5

= 30,45

3.4.4 Konsentrasi dalam 900 ml

t = 5
C = 6,32 X 5 X 900
= 28.440

t = 10
C = 5,94 X 5 X 900

= 26.730

t = 20
C = 6,44 X 5 X 900

= 28.980

t = 30
C = 5,85 X 5 X 900

= 26.325

t = 45
C = 6,28 X 5 X 900

= 28.260

t = 60
C = 6,09 X 5 X 900

= 27.405

3.4.5 Faktor Penambahan


t = 5
Fp = 0
t = 10
Fp = 0 + 31,6

= 31,6

t = 20
Fp = 31,6 + 29,7 = 61,3

12

t = 30
Fp = 29,7 + 32,2 = 61,9
t = 45
Fp = 32,2 + 29,25 = 61,45
t = 60
Fp = 29,25 + 31,4 = 60,65
3.4.6 Obat Yang Terlepas
t = 5
OYT = 28.440 + 0

= 28.440

t = 10
OYT = 26.730 + 31,6 = 26.761,6

t = 20
OYT = 28.980 + 61,3 = 29.041,3

t = 30
OYT = 26.325 + 61,9 = 26.386,9

t = 45
OYT = 28.260 + 61,45 = 28.321,45

t = 60
OYT = 27.403 + 60,65 = 27.465,65

3.4.7 % Kumulatif
% Kumulatif =

OYT
dosis

t = 5
% Kumulatif =

28,440
40

x 100%

= 71,1 %

t = 10
% Kumulatif =

x 100%

26,7616
40

x 100% = 66,90 %

29,0413
40

x 100% = 72,60 %

t = 20
% Kumulatif =

13

t = 30
% Kumulatif =

x 100% = 65,96 %

t = 45
% Kumulatif =

26,3869
40

28, 32145
40

x 100%

= 70,80 %

27,46165
40

x 100%

= 68,66 %

t = 60
% Kumulatif =

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Tabel (1) Data Disolusi Sulfadiazin Tablet
C

No

0,0437

0,5627

2,836

(ppm)
2552,4

10

0,0703

1,0258

5,129

20

0,0964

1,4758

30

0,1395

2,2189

(ppm)

FP

C x FP

C x FP

900ml

Faktor

%
OYT

Kumu-

2552,4

latif
2,55

4616,1

2,836

4618,9

4,61

7,379

6641,1

7,965

6649,06

6,65

11,0945

9985,05

15,344

10000,39

10,00

(ppm)

14

Pe (+)

45

0,2148

3,5172

17,586

15827,4

26,4385

15853,83

15,85

60

0,2794

4,6310

23,155

20839,5

44,0245

20883,52

20,88

Tabel (2) Data Disolusi Sulfadiazin Kapsul


No
.

C x FP

(ppm)

(ppm)

C x FP
900ml
(ppm)

Faktor
Pe (+)

%
OYT

Kumulatif

0,0236

0,2210

1,172

1054,8

1054,8

1,0548

10

0,0287

0,3903

1,612

1450,8

1,172

1451,972

1,451972

20

1,1470

19,571

98,017

88215,3

2,784

88218,084

88,21808

30

1,2769

21,808

109,2155

98293,95

100,801

98394,751

98,39475

45

1,3080

22,344

111,8965

100706,85

210,0165

100916,86

100,9168

60

1,3347

22,805

114,198

102778,2

321,913

103100,11

103,10

Tabel (3) Data Disolusi Sulfadiazin SR

No

C x FP

(ppm)

(ppm)

C x FP
900ml

0,2052

3,3523

16,7615

(ppm)
15085,35

10

0,1414

2,2504

11,252

10126,8

Faktor

%
OYT

Kumu

15085,35

-latif
15,0853

16,761

10143,56

10,1435

8848,91

8,8491

7420,96

7,4209

Pe (+)

5
3

20

0,1246

1,9602

9,801

8820,9

28,013
5

30

0,1961

1,6407

8,2035

7383,15

37,814
5

45

0,1161

1,8134

9,067

8160,3

46,018

8206,31

8,2063

60

0,1737

2,8089

14,041

12636,9

55,085

12691,98

12,6919

15

Tabel (4) Data Disolusi Furosemida Generik


C

C x FP

(ppm)

(ppm)

C x FP

No

900ml

0,4877

5,2469

26,2345

(ppm)
23611,05

10

0,5874

6,3811

31,9055

20

0,5562

6,0262

30

0,5623

6,0956

45

0,6121

60

0,5388

Faktor

%
OYT

Kumu-

23611,05

latif
59,03

28714,95

26,2345

28741,18

71,85

30,1310

27117,90

58,1400

27176,04

67,94

30,4780

27430,20

88,2170

27518,47

68,80

6,6621

33,3105

29979,45

118,7490

30098,19

75,25

5,8282

29,1410

26226,90

152,0595

26378,95

65,95

Pe (+)

Tabel (5) Data Disolusi Farsik


No
.

C x FP

(ppm)

(ppm)

C x FP
900ml
(ppm)

Faktor
Pe (+)

%
OYT

Kumula
tif

0,2418

2,3655

11,8275

10664,75

10664,75

26,66

10

0,4789

5,1302

25,651

23085,9

11,8275

23097,72

57,744

20

0,6473

7,1030

35,515

31963,5

37,478

32000,97

80,002

41670,54

104,176

5
4

30

0,8813

9,2439

46,2195

41597,55

72,993
5

45

0,5585

6,0604

30,302

27271,8

119,213

27391,01

68,47

60

0,6473

7,0973

35,4865

31937,85

149,51

32087,36

80,21

Tabel (6) Data Disolusi Lasik

16

No

Fp

Cx Fp

(ppm)

Cx Fp

Faktor

OYT

900 ml

Penam-

Kumu28440

latif
71,1

0,5807

6,3196

31,6

28440

bahan
0

10

0,5482

5,9407

29,7

26730

31,6

26761,6

66,90

20

0,5907

6,4364

32,2

28980

61,3

29041,3

72,60

30

0,5406

5,8524

29,25

26325

61,9

26386,9

65,96

45

0,5773

6,2797

31,4

28260

61,45

28321,45

70,80

60

0,5608

6,0874

30,45

27405

60,65

27465,65

68,66

4.2 Pembahasan
Untuk Furosemid, Lasik memiliki laju disolusi yang lebih cepat
dibandingkan dengan Furosemid (generik) dan Farsik. Hal itu terbukti dengan
lebih tingginya % kumulatif Lasik dibandingkan dengan Furosemid (generik)
dan juga farsik pada menit ke-5.
Sedangkan untuk Sulfadiazin, Kapsul memiliki laju disolusi yang
lebih cepat dibandingkan dengan tablet dan SR. Hal itu terbukti dengan lebih
tingginya % kumulatif kapsul dibandingkan dengan tablet dan juga SR pada
menit ke-5. Namun, SR memiliki kelebihan tersendiri yaitu memiliki kadar
yang lebih konstan dan juga memiliki laju disolusi yang lebih lama.
Jika proses disolusi suatu partikel obat tertentu adalah cepat, atau jika
obat yang diberikan sebagai larutan dan tetap ada dalam tubuh seperti itu, laju
obat yang terabsorpsi terutama akan tergantung pada kesanggupannya
menembus pembatas membrane. Tetapi jika laju disolusi untuk suatu partikel
obat lambat, misalnya mungkin karena karakteristik zat obat atau bentuk
dosis yang diberikan, proses disolusinya sendiri merupakan tahap yang
menentukan laju dalam proses absorpsi (Ansel, 1989).
17

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Bentuk sediaan sangat mempengaruhi laju disolusi, terutama waktu
disolusi serta banyaknya kadar obat yang melarut dalam medium.
2. Laju disolusi tercepat pada Sulfadiazin adalah pada bentuk sediaan Kapsul,
kemudian Tablet, lalu bentuk sedian SR.
3. Laju disolusi tercepat pada Furosemid adalah pada Furosemida paten,
yaitu Lasik, kemudian Farsik, lalu Furosemida generik.
5.2 Saran
- Sebaiknya waktu disolusi di perpanjang lagi, seperti waktu paruh obat,
agar kadar obat yang melarut hingga waktu paruh dapat diamati.
- Sebaiknya suhu medium diatur dengan benar agar sesuai dengan kondisi
tubuh kita.

18

DAFTAR PUSTAKA

Ansel, H. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi.

Jakarta : UI Press.

Halaman 119 124.


Agoes, G. (2008). Sistem Penghantaran Obat Pelepasan Terkendali. Bandung :
Penerbit ITB. Halaman 15.
Curry, H.S dan Robin W. (2011). Drug Disposition and Pharmacokinetics from
Principles to Applications. USA : Wiley-Blackwell.
Ditjen POM, (1979). Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta : Departemen
Kesehatan RI. Halaman 6.
IAI. (2010). ISO Indonesia. Volume 46. Jakarta : PT. ISFI Penerbitan. Halaman
259.
Jambhekar, S.S. (2009). Basic Pharmacokinetics. London : Pharmaceutical Press.
Page 176
Shargel, L. (2005). Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Penerjemah :
Fasich dan Sjamsiah. Edisi Kedua. Penerbit Airlangga University Press.
Surabaya. Halaman 99 103.

19

LAMPIRAN FOTO

20

LAMPIRAN FLOWSHEET

Sediaan Sulfadiazin

Sulfadiazin (tablet, kapsul, SR)


Dipanaskan medium cairan lambung buatan pH 1
menggunakan teko listrik hingga suhu 37 0,5 C
Dimasukkan 900 ml kedalam alat disolusi
Diapasang alat disolusi (besi, dayung, penutup)
Dimasukkan sediaan dalm tabung disolusi
Dijalankan alat dengan kecepatan 100 rpm
Dimenit ke 5, 10, 20, 30, 45, 60
Diambil 2 ml aliquot (masukkan kembali medium sebanyak
2 ml kedalam alat disolusi)
Diencerkan kedalam labu tentukur 10 ml
Dimasukkan ke dalam vial
Diukur absorbansinya dengan spektrofotometer UV, =
242,5 nm
Hasil

21

Sediaan Furosemida

Furosemide (generik, lasix, farsix)


Dipanaskan medium dapar fosfat pH 7,4

menggunakan

teko listrik hingga suhu 37 0,5 C


Dimasukkan 900 ml kedalam tabung disolusi
Diapasang alat disolusi (besi, dayung, penutup)
Dimasukkan sediaan dalm tabung disolusi
Dijalankan alat dengan kecepatan 50 rpm
Dimenit ke 5, 10, 20, 30, 45, 60
Diambil 2 ml aliquot (masukkan kembali medium sebanyak
2 ml kedalam alat disolusi)
Diencerkan kedalam labu tentukur 10 ml
Dimasukkan ke dalam vial
Diukur absorbansinya dengan spektrofotometer UV, =
277nm
Hasil

22

23

Anda mungkin juga menyukai