Anda di halaman 1dari 20

Daftar Isi

Daftar Isi ..................................................................................................................... 1


Pendahuluan ............................................................................................................... 2
Isi
Definisi .................................................................................................................... 4
Patofisiologi ............................................................................................................. 5
Manifestasi Klinis .................................................................................................. 14
Diagnosis ............................................................................................................... 14
Penatalaksanaan ..................................................................................................... 16
Prognosis ............................................................................................................... 19
Kesimpulan ............................................................................................................... 20
Daftar Pustaka .......................................................................................................... 21
BAB I
PENDAHULUAN

Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis
hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar
dan pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi akibat nekrosis
hepatoselular. Jaringan penunjang retikulin kolaps disertai deposit jaringan ikat,
distorsi jaringan vaskular, dan regenerasi nodularis parenkim hati.
Sirosis hati secara klinis dibagi menjadi sirosis hati kompensata yang berarti belum
adanya gejala klinis yang nyata dan sirosis hati dekompensata yang ditandai gejalagejala dan tanda klinis yang jelas. Sirosis hati kompensata merupakan kelanjutan dari
proses hepatitis kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaannya secara klinis.
Hal ini hanya dapat dibedakan melalui pemeriksaan biopsi hati.

Sebagian besar jenis sirosis dapat diklasifikasikan secara etiologis dan morfologis
menjadi alkoholik, kriptogenik dan post hepatitis (pasca nekrosis), biliaris, kardiak,
dan metabolik, keturunan, dan terkait obat. Di negara barat yang tersering akibat
alkoholik sedangkan di Indonesia terutama akibat infeksi virus hepatitis B maupun C.
Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada waktu
pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau karena kelainan penyakit lain.
Gejala awal sirosis (kompensata) meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, selera
makan berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat badan menurun, pada lakilaki dapat timbul impotensi, testis mengecil, buah dada membesar, hilangnya
dorongan seksualitas. Bila sudah lanjut (sirosis dekompensata), gejala-gejala lebih
menonjol terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta,
meliputi hilangnya rambut badan, gangguan tidur, dan demam tak begitu tinggi.
Mungkin disertai adanya gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis,
gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih berwarna seperti teh pekat, muntah
darah dan/atau melena, serta perubahan mental, meliputi mudah lupa, sukar
konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma.1
Asites terjadi pada 50% pasien dalam waktu 10 tahun dari diagnosis sirosis
kompensata. Ini merupakan indikator prognosis yang buruk, dengan 50% 2 tahun
kelangsungan hidup, memburuk secara signifikan hingga 20% menjadi 50% pada 1
tahun ketika asites menjadi refrakter terhadap terapi medis. Asites juga merupakan
predisposisi terjadinya komplikasi yang mengancam jiwa seperti peritonitis bakteri
spontan dan sindrom hepatorenal, dan karena itu merupakan indikasi utama untuk
transplantasi hati.2
Sebagian besar (75%) dari pasien yang hadir dengan asites yang mendasarinya adalah
sirosis, dengan sisanya karena keganasan (10%), gagal jantung (3%), TBC (2%),
pankreatitis (1%), dan penyebab langka lainnya. Di UK kematian karena sirosis telah
meningkat dari 6 per 100.000 penduduk di 1993 menjadi 12,7 per 100.000 penduduk
di tahun 2000. Sekitar 4% dari populasi memiliki fungsi hati yang abnormal atau
penyakit hati, dan sekitar 10-20% dari mereka dengan salah satu dari tiga penyakit
hati kronis yang paling umum (perlemakan hati non-alkoholik, penyakit hati
alkoholik, dan hepatitis C kronis).3

Manajemen yang efektif dari asites memerlukan pemahaman menyeluruh tentang


patofisiologi pembentukan asites dan alasan untuk berbagai modalitas pengobatan.2

BAB II
PEMBAHASAN

Definisi
Asites adalah penimbunan cairan secara abnormal di rongga peritoneum. Asites dapat
disebabkan oleh banyak penyakit.4,5,6 Istilah "asites" berasal dari istilah Yunani
"Askos" yang berarti kantung. Asites merupakan manifestasi yang sangat umum dari
sirosis dekompensata.7
Pada dasarnya penimbunan cairan di rongga peritoneum dapat terjadi melalui 2
mekaisme dasar yaitu transudasi dan eksudasi:6

Asites eksudatif memiliki kandungan protein tinggi dan terjadi pada

peradangan (biasanya infektif, misalnya TB) atau proses keganasan


Asites transudatif terjadi pada sirosis akibat hipertensi portal dan perubahan
bersihan (clearance) natrium ginjal. Konstriksi perikardium dan sindrom
nefrotik juga bisa menyebabkan asites transudatif.

Asites yang ada hubungannya dengan sirosis hati dan hipertensi porta adalah salah
satu contoh penimbunan cairan di rongga peritoneum yang terjadi melalui mekanisme
transudasi. Asites jenis ini paling sering dijumpai di Indonesia. Asites merupakan
tanda prognosis yang kurang baik pada beberapa penyakit. Asites juga menyebabkan
pengelolaan penyakit dasarnya menjadi semakin kompleks. Infeksi pada cairan asites
akan lebih memperberat perjalanan penyakit dasarnya oleh karena itu asites harus
dikelola dengan baik.1
Menurut International Ascites Club, asites diklasifikasikan sebagai kelas 1, 2 dan 3
berdasarkan keparahannya.
Tabel 1. Klasifikasi asites8

Grade 1 (mild)
Grade 2 (moderate)

Tidak terdeteksi secara klinis, didiagnosis dengan USG


Dapat dideteksi dengan pemeriksaan fisik, distensi abdomen

Grade 3 (severe)

masih proporsional
Distensi perut terlihat

Patofisiologi
Meskipun manifestasi asites sudah dapat dikenali dengan baik, patogenesis asites
tetap tidak sepenuhnya dipahami dan masih terus berkembang.7
Ada beberapa teori yang menerangkan patofisiologi asites transudasi. Teori-teori itu
misalnya under-filling, overflow dan periferal vasodilation. Menurut teori
underfilling asites dimulai dari volume cairan plasma yang menurun akibat hipertensi
porta dan hipoalbuminemia. Hipertensi porta akan meningkatkan tekanan hidrostatik
venosa ditambah hipoalbuminemia akan menyebabkan transudasi, sehingga volume
cairan intravaskular menurun, ginjal akan bereaksi dengan melakukan reabsorpsi air
dan garam melalui mekanisme neurohormonal. Sindrom hepatorenal terjadi bila
volume cairan intravaskular sangat menurun. Teori ini tidak sesuai dengan hasil
penelitian selanjutnya yang menunjukkan bahwa pada pasien sirosis hati terjadi
vasodilatasi perifer, vasodilatasi splanchnic bed, peningkatan volume cairan
intravaskular dan curah jantung.4

Gambar 1. Patogenesis pembentukan asites berdasarkan teori underfilling 9


Teori overflow mengatakan bahwa asites dimulai dari ekspansi cairan plasma akibat
reabsorpsi air oleh ginjal. Gangguan fungsi itu terjadi akibat peningkatan aktivitas
hormon anti-diuretik (ADH) dan penurunan aktivitas hormon natriuretik karena
penurunan fungsi hati. Teori overfilling tidak dapat menerangkan kelanjutan asites
menjadi sindrom hepatorenal. Teori ini juga gagal menerangkan gangguan
neurohormonal yang terjadi pada sirosis hati dan asites.4

Gambar 2. Patogenesis pembentukan asites berdasarkan teori overflow9


Evolusi dari kedua teori itu adalah teori vasodilatasi perifer. Menurut teori ini, faktor
patogenesis pembentukam asites yang amat penting adalah hipertensi porta yang
sering disebut sebagai faktor lokal dan gangguan fungsi ginjal yang sering disebut
faktor sistemik.
Akibat vasokonstriksi dan fibrotisasi sinusoid terjadi peningkatan resistensi sistem
porta dan terjadi hipertensi porta. Peningkatan resistensi vena porta diimbangi dengan
vasodilatasi splanchnic bed oleh vasodilator endogen. Peningkatan resistensi sitem
porta yang diikuti oleh peningkatan aliran darah akibat vasodilatasi splanchnic bed
menyebabkan hipertensi porta menjadi menetap. Hipertensi porta akan meningkatkan
tekanan transudasi terutama di sinusoid dan selanjutnya kapiler usus. Transudat akan
terkumpul di rongga peritoneum. Vasodilator endogen yang dicurigai berperan antara
lain: glukagon, nitric oxide (NO), calcitonine gene related peptide (CGRP), endotelin,
faktor natriuretik atrial (ANF), polipeptida vasoaktif intestinal (VIP), substansi P,
progtaglandin, enkefalin, dan tumor necrosis factor (TNF).

Vasodilator endogen pada saatnya akan memengaruhi sirkulasi arterial sistemik.


Terdapat peningkatan vasodilatasi perifer sehingga terjadi proses underfilling relatif.
Tubuh akan bereaksi dengan meningkatkan aktivitas sistem saraf parasimpatik, sistem
renin-angiotensin-aldosteron dan arginin vasopresin. Akibat selanjutnya adalah
peningkatan reabsorpsi air dan garam oleh ginjal dan peningkatan indeks jantung.4

Gambar 3. Patogenesis abnormalitas fungsi ginjal dan pembentukan asites


berdasarkan teori vasodilatasi perifer.9

Sebuah teori yang saat ini berlaku, muncul setelah teori "overflow" dan "underfill".
Sebuah gambaran singkat dari pandangan ini meliputi:
1. Cedera terus-menerus pada hati karena faktor eksogen, misalnya alkohol
kronis atau virus atau steatohepatitis non-alkohol (NASH)
2. Disposisi genetik
3. Proses
inflamasi
yang
terus-menerus,
nekrosis

dan

deposisi

kolagen/regenerasi, semua bergabung untuk membentuk menjadikan hepar


yang sebelumnya mempunyai resistensi rendah menjadi resistensi tinggi,
misalnya spektrum fibrosis dengan disfungsi otot polos pembuluh darah
Proses-proses ini dapat menyebabkan peningkatan tekanan vena porta, yaitu,
hipertensi portal. Vena porta biasanya mempunyai panjang 8 cm dan berdiameter <13
mm. Vena porta dibentuk oleh gabungan vena limpa dan vena mesenterika superior.
Vena mesenterika inferior memasuki salah satu dari pembuluh ini, atau bisa juga pada
pertemuannya, cukup bervariasi. Hipertensi portal didefinisikan pada tekanan 6
mmHg atau lebih. Pembentukan asites biasanya terjadi pada 8 mmHg atau lebih.
Untuk lengkapnya, diketahui bahwa dekompensasi klinis lebih lanjut dalam
pembentukan varises (10 mmHg), peningkatan risiko perdarahan varises (12 mmHg)
dan risiko perdarahan varises berulang (20 mmHg). Urutan klinis ini menandakan
morbiditas dan mortalitas yang signifikan dan dapat terjalin dengan komplikasi lebih
jauh, yaitu ensefalopati hepatik (hepatic encephalopathy/HE), peritonitis bakterialis
spontan (spontaneous bacterial peritonitis/SBP), hepato-hydrothorax (HHT), dan
sindrom hepatorenal (HRS).
Dengan demikian dalam hipertensi portal, aliran balik dan stasis zat vasodilator,
misalnya nitric oxide, mulai menumpuk. Hal ini menyebabkan vasodilatasi splanknik
dengan akibat hipoperfusi (meskipun sebenarnya keadaan euvolemik atau
hipervolemi) dari sistem ginjal. Sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS)
diaktifkan sehingga menyebabkan retensi cairan agresif. Singkatnya, renin disekresi
dari aparat juxtaglomerular ginjal (JGA) di sekitar nefron proksimal dalam
menanggapi perubahan tekanan pembuluh darah, perubahan natrium serum, dan dari
aktivasi sistem saraf simpatik. Ini pada gilirannya akan mengubah angiotensinogen
(dibuat di hati) menjadi angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II
oleh angiotensin converting enzyme (ACE) di paru-paru. Angiotensin II memiliki

beberapa fungsi penting yang mendorong retensi cairan, termasuk stimulasi rasa haus,
pelepasan aldosteron dari zona glomerulosa korteks adrenal, dan sekresi vasopresin
dari hipofisis posterior. Volume darah yang berlebihan ini akhirnya bocor dari
pembuluh mesenterika. Mekanisme yang terakhir ini terjadi karena peningkatan
hidrostatik dan permeabilitas dinding pembuluh darah, dan secara bersamaan
menurunnya tekanan onkotik (osmotik) cairan dalam bentuk hipoalbuminemia absolut
atau relatif. Ketiga parameter tersebut, seperti yang dijelaskan dalam hukum Starling,
membanjiri kapasitas reabsorpsi dari permukaan peritoneal dan sistem limfatik.
Normalnya, rongga peritoneal memiliki tekanan 5-10 mmHg, mengandung sekitar 2550 ml cairan serosa. Cairan ini membuat lapisan dengan resistensi rendah di mana
usus dapat bergerak melewati satu sama lain dan selanjutnya menghidrasi permukaan
serosa untuk menjaga kelenturan dan integritas usus. Penyerapan maksimum cairan
dari peritoneum adalah sekitar 850 ml/hari dalam pengaturan optimal. Absorpsi ini
memberikan teori di mana dialisis peritoneal beroperasi. Hal ini dapat diamati bahwa
perubahan dalam sifat-sifat dari sistem limfatik atau permukaan peritoneal, baik oleh
proses inflamasi, infeksi atau fibrotik dapat mengubah reabsorpsi optimal. Dengan
demikian, disregulasi terus-menerus parameter ini dapat menyebabkan retensi cairan
asites yang lebih lanjut.7
Pada tahap akhir sirosis, akumulasi air akan lebih berat dan banyak daripada retensi
natrium dan menyebabkan hiponatremia dilusional. Hal ini menjelaskan mengapa
pasien sirosis dengan asites menunjukkan retensi sodium urin, peningkatan natrium
tubuh, dan hiponatremia dilusional. 10
Teori lain mengatakan proses awal dalam pembentukan asites pada pasien sirosis
adalah hipertensi sinusoidal. Pada pasien sirosis, ini merupakan konsekuensi dari
distorsi arsitektur hati dan peningkatan tonus vaskular hepar. Penurunan
bioavailabilitas hepar terhadap nitric oxide (NO), dan peningkatan produksi
vasokonstriktor

(misalnya

angiotensin,

endothelin,

cysteinyl-leukotrien,

dan

tromboksan) berperan meningkatkan tonus vaskular hati. Portal hipertensi akibat


peningkatan tekanan sinusoidal, mengaktifkan mekanisme vasodilatasi. Mekanisme
ini, sebagian besar dimediasi oleh overproduksi NO, menyebabkan vasodilatasi
splanchnic dan arteriolar perifer. Pada tahap lanjut dari sirosis, vasodilatasi arteriol
menyebabkan underfilling ruang vaskular arteri sistemik. Hal ini, melalui penurunan
8

volume darah efektif menyebabkan penurunan tekanan arteri. Akibatnya, terjadi


aktivasi baroreceptor yang mengaktifkan sistem renin-angiotensin-aldosteron
(RAAS), sistem saraf simpatik dan pelepasan ADH untuk mengembalikan
homeostasis darah normal. Ini menyebabkan retensi natrium dan air lebih lanjut. Di
sisi lain, vasodilatasi splanchnic meningkatkan produksi getah bening splanchnic
melebihi kapasitas sistem transportasi getah bening dan menyebabkan kebocoran
cairan getah bening ke dalam rongga peritoneal.8

Gambar 4. Patofisiologi asites dan sindrom hepatorenal8


Beberapa faktor yang turut terlibat dalam patogenesis asites pada sirosis hati:3,5,9
1. Hipertensi porta
Sirosis menyebabkan perubahan struktural utama dalam hati dan ini
menyebabkan gangguan sirkulasi intrahepatik. Pembentukan nodul dan
sintesis kolagen progresif mengubah pembuluh darah hati yang normal dan

meningkatkan resistensi portal aliran darah. Pengendapan kolagen dalam


ruang Disse dapat menyempitkan sinusoid dan mengurangi distensibilitas
mereka mengakibatkan obstruksi mekanik lebih lanjut pada aliran darah.
Hal ini juga menjadi jelas bahwa selain perlawanan pasif ini, terdapat juga
komponen aktif perlawanan dalam bentuk sel stellata hati yang sering
ditemukan di sekitar sinusoid dalam nodul regeneratif dan venula dalam septa
fibrosa. Dalam kondisi yang berhubungan dengan cedera hati kronis, sel-sel
stellata berkembang biak dan mengalami transformasi yang ditandai oleh
perkembangan sifat kontraktil yang mirip dengan sel-sel otot polos pembuluh
darah. Sementara sel stellata menjadi reseptor untuk zat vasokonstriktor
seperti endotelin, ADH, angiotensin II dan tromboksan A2, sel stellata juga
mampu mensintesis endotelin dan meningkatkan kontraksi seluler. Oleh
karena itu, mekanisme baik pasif dan aktif berperan dalam peningkatan
resistensi vaskular pada sirosis.
Hipertensi portal juga menginduksi perubahan besar dalam sirkulasi
splanknik termasuk vasodilatasi arteriol. Peningkatan volume darah ini
meningkatkan tekanan dalam sirkulasi portal. Oleh karena itu aliran masuk ke
hati tetap tinggi bahkan meningkat, ditandai dengan adanya sirkulasi
kolateral. Hal ini juga menegakkan bahwa vasodilatasi arteriol dapat
mempengaruhi peningkatan filtrasi cairan. Hipertensi portal kronis berefek
pada peningkatan yang lebih besar dalam tekanan kapiler usus dan aliran
getah bening daripada kenaikan akut pada tekanan porta dalam jumlah yang
sama. Hal ini disebabkan hilangnya mekanisme autoregulasi normal
mikrosirkulasi splanknikus.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa hipertensi portal penting dalam
patogenesis asites. Pertama, tekanan portal yang lebih besar dari 12 mmHg
diperlukan untuk pengembangan asites, dan tekanan yang lebih tinggi
berbanding terbalik dengan ekskresi natrium urin. Kedua, pasien dengan
perdarahan varises esofagus yang diobati dengan shunts portasystemic
memiliki kemungkinan lebih rendah mengembangkan ascites dibandingkan
pasien yang diobati dengan teknik penghilangan varises seperti sclerotherapy.
Ketiga, penurunan tekanan portal yang oleh end-to-side atau side-to-side
shunt portacaval adalah cara yang efektif untuk mengurangi ascites refrakter
meskipun morbiditas dan mortalitas tinggi. Terakhir, terdapat perbaikan pada

10

kelainan fungsi ginjal dan pengurangan volume ascites pada pasien dengan
Transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS) in situ.
2. Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia terjadi karena menurunnya sintesis yang dihasilkan oleh
sel-sel hati yang terganggu. Hipoalbuminemia menyebabkan menurunnya
tekanan osmotik koloid. Kombinasi antara tekanan hidrostatik yang
meningkat dengan tekanan osmotik yang menurun dalam jaringan pembuluh
darah intestinal menyebabkan terjadinya transudasi cairan dari ruang
intravaskular ke ruang interstisial sesuai dengan hukum gaya Starling (ruang
peritoneum dalam kasus asites).
3. Meningkatnya pembentukan dan aliran limfe hati
Hipertensi porta kemudian meningkatkan pembentukan limfe hepatik, yang
menyeka dari hati ke dalam rongga peritoneum. Mekanisme ini dapat turut
menyebabkan tingginya kandungan protein dalam cairan asites, sehingga
meningkatkan tekanan osmotik koloid dalam cairan rongga peritoneum dan
memicu terjadinya transudasi cairan dari rongga intravaskular ke ruang
peritoneum.
4. Retensi natrium dan gangguan ekskresi air
Salah satu peristiwa penting dalam patogenesis disfungsi ginjal dan retensi
natrium pada sirosis adalah berkembangnya vasodilatasi sistemik, yang
menyebabkan penurunan volume darah arteri efektif dan sirkulasi
hiperdinamik. Mekanisme yang bertanggung jawab atas perubahan fungsi
vaskular tidak diketahui tetapi mungkin melibatkan peningkatan sintesis nitrit
oksida vaskular, prostasiklin, serta perubahan konsentrasi plasma glukagon,
substansi P, atau gen kalsitonin terkait peptide.
Namun, perubahan hemodinamik bervariasi dengan postur, dan studi telah
menunjukkan perubahan yang nyata dalam sekresi peptida natriuretik atrium
dengan postur tubuh, serta perubahan sistemik hemodinamik. Selain itu, data
menunjukkan penurunan volume arterial efektif pada sirosis telah
diperdebatkan. Hal ini telah disepakati bahwa bagaimanapun dalam kondisi
terlentang dan pada hewan percobaan, terdapat peningkatan curah jantung dan
vasodilatasi.
Perkembangan vasokonstriksi renal pada sirosis adalah sebagian respon
homeostatis yang melibatkan peningkatan aktivitas simpatik ginjal dan
aktivasi sistem renin-angiotensin untuk menjaga tekanan darah selama
vasodilatasi sistemik. Penurunan aliran darah ginjal menurunkan laju filtrasi

11

glomerulus sehingga pengiriman dan ekskresi fraksional natrium. Sirosis


dikaitkan dengan peningkatan reabsorpsi natrium baik pada tubulus proksimal
dan tubulus distal. Peningkatan reabsorpsi natrium di tubulus distal adalah
karena peningkatan konsentrasi aldosteron di sirkulasi. Namun, beberapa
pasien dengan asites memiliki konsentrasi aldosteron plasma normal, yang
mengarah ke saran bahwa reabsorpsi natrium di tubulus distal mungkin
berhubungan dengan sensitivitas ginjal yang meningkat tehadap aldosteron
atau mekanisme lain yang tidak diketahui.
Pada sirosis terkompensasi, retensi natrium dapat terjadi pada tidak adanya
vasodilatasi dan hipovolemia efektif. Hipertensi portal sinusoidal dapat
mengurangi aliran darah ginjal bahkan tanpa adanya perubahan hemodinamik
dalam sirkulasi sistemik, menunjukkan adanya hepatorenal reflex. Demikian
pula, selain vasodilatasi sistemik, keparahan penyakit hati dan tekanan portal
juga berkontribusi terhadap abnormalitas penanganan natrium dalam sirosis.

Manifestasi Klinis
Pasien biasanya menyadari peningkatan lingkar perut yang sering disertai dengan
perkembangan edema perifer. Perkembangan asites biasanya perlahan, dan cukup
mengejutkan bahwa beberapa pasien menunggu begitu lama hingga perutnya begitu
buncit sebelum mencari perhatian medis. Pasien biasanya memiliki setidaknya 1-2 L
cairan di perut sebelum mereka sadar bahwa ada peningkatan. Jika cairan asites
sangat besar, fungsi pernafasan akan terganggu, dan pasien akan mengeluh sesak
napas. Hidrothoraks hepatik juga dapat terjadi dalam proses ini, memberikan
kontribusi untuk gejala pernafasan. Pasien dengan asites masif sering kurang gizi,
terjadi pengecilan otot, kelelahan yang berlebihan dan kelemahan.5

Diagnosis
Asites lanjut amat mudah dikenali. Suatu tanda asites adalah meningkatnya lingkar
abdomen. Penimbunan cairan yang sangat nyata dapat menyebabkan napas pendek
karena diafragma meningkat.5 Pada inspeksi akan tampak perut membuncit seperti
perut katak, umbilikus seolah bergerak ke arah kaudal mendekati simpisis os pubis.
Dapat terlihat gelombang cairan.5,7 Sering dijumpai hernia umbilikalis akibat tekanan
12

intraabdomen yang meningkat. Pada perkusi, pekak samping meningkat dan terjadi
shifting dullness. Asites yang masih sedikit belum menunjukkan tanda-tanda fisis
yang nyata. Diperlukan cara pemeriksaan khusus misalnya dengan pudle sign untuk
menemukan asites. Pemeriksaan penunjang yang dapat memberikan informasi untuk
mendeteksi asites adalah ultrasonografi. Untuk menegakkan diagnosis asites,
ultrasonografi mempunyai ketelitian yang tinggi.
Parasentesis diagnostik sebaiknya dilakukan pada setiap pasien asites baru.
Pemeriksaan cairan asites dapat memberikan informasi yang amat penting untuk
pengelolaan selanjutnya, misalnya:4,7
1. Gambaran makroskopik
Cairan asites hemoragik, sering dihubungkan dengan keganasan. Warna
kemerahan dapat juga dijumpai pada asites karena sirosis hati akibat ruptur
kapiler peritoneum. Chillous ascites merupakan tanda ruptur pembuluh limfe,
sehingga cairan limfe tumpah ke peritoneum
2. Gradien nilai albumin serum dan asites (serum ascites-to-albumine
gradient/SAAG). Pemeriksaan ini sangat penting untuk membedakan asites
yang ada hubungannya dengan hipertensi porta atau asites eksudat. Disepakati
bahwa gradien dikatakan tinggi bila nilainya > 1,1 gram/dL. Kurang dari nilai
itu disebut rendah. Gradien tinggi terdapat pada asites transudasi dan
berhubungan dengan hipertensi porta sedangkan nilai gradien rendah lebih
sering terdapat pada asites eksudat. Sensitivitas tes ini adalah sebesar 97%.
Konsentrasi protein asites kadang-kadang dapat menunjukkan asal asites,
misalnya: protein asites < 3 gram/dl lebih sering terdapat pada asites transudat
sedangkan konsentrasi protein > 3 gram/dl sering dihubungkan dengan asites
eksudat. Pemeriksaan ini terbukti tidak akurat karena nilai akurasinya hanya
kira-kira 40%.
3. Hitung sel
Peningkatan jumlah sel leukosit menunjukkan proses inflamasi. Untuk menilai
asal infeksi lebih tepat diunakan hitung jenis sel. Sel PMN yang meningkat
lebih dari 250/mm3 menunjukkan peritonitis bakteri spontan, sedangkan
peningkatan MN lebih sering terjadi pada peritonitis tuberkulosa atau
karsinomatosis.
4. Biakan kuman

13

Biakan kuman sebaiknya dilakukan pada setiap pasien asites yang dicurigai
terinfeksi. Asites yang terinfeksi akibat perforasi usus akan menghasilkan
kuman polimikroba sedangkan peritonitis bakteri spontan monomikroba.
Metode pengambilan sampel untuk biakan kuman asites sebaiknya disamakan
dengan sampel untuk biakan kuman dari darah yaitu bed side innoculation
blood culture bottle
5. Pemeriksaan sitologi
Pada kasus-kasus karsinomatosis peritoneum, pemeriksaan sitologi asites
dengan cara yang baik memberikan hasil true positive hampir 100%. Sampel
untuk pemeriksaan sitologi harus cukup banyak (kira-kira 200 ml) untuk
meningkatkan sensitivitas. Harus diingat banyak tumor penghasil asites tidak
melalui mekanisme karsinomatosis peritoneum sehingga tidak dapat
dipastikan melalui pemeriksaan sitologi asites. Tumor-tumor itu misalnya:
karsinoma hepatoselular masif, tumor hati metastasis, limfoma yang menekan
aliran limfe.

Penatalaksanaan
Pengobatan asites transudat sebaiknya dilakukan secara komprehensif, meliputi:4,7

Tirah baring
Tirah baring dapat memperbaiki efektifitas diuretika, pada pasien asites
transudat yang berhubungan dengan hipertensi porta. Perbaikan efek diuretika
tersebut berhubungan dengan perbaikan aliran darah ginjal dan filtrasi
glomerulus akibat tirah baring. Tirah baring akan menyebabkan aktivitas
simpatis dan sistem renin-angiotensin-aldosteron menurun. Yang dimaksud
dengan tirah baring disini bukan istirahat total di tempat tidur sepanjang hari,
tetapi tidur terlentang, kaki sedikit diangkat, selama beberapa jam setelah

minum obat diuretika.


Diet
Pasien dengan asites yang sedikit biasanya dapat dikelola dengan diet
pembatasan sodium saja. Kebanyakan diet rata-rata di Amerika Serikat
mengandung 6-8 g sodium per hari, dan jika pasien makan di restoran atau
gerai makanan cepat saji, jumlah sodium dalam diet mereka dapat melebihi
jumlah ini. Oleh karena itu, seringkali sangat sulit untuk mendapatkan pasien
14

untuk mengubah kebiasaan makan mereka untuk menelan <2 g natrium per
hari, yang merupakan jumlah yang disarankan. Seringkali, rekomendasi
sederhana adalah dengan mengonsumsi makanan segar, menghindari makanan
kalengan atau olahan, yang biasanya diawetkan dengan sodium.
Diet rendam garam ringan sampai sedang dapat membantu diuresis. Konsumsi
garam

(NaCl)

perhari

sebaiknya

dibatasi

hingga

40-60

mEq/hari.

Hiponatremia ringan sampai sedang bukan merupakan kontraindikasi untuk


memberikan diet rendah garam, mengingat hiponatremia pada pasien asites
transudat bersifat relatif. Jumlah total Na dalam tubuh sebenarnya di atas
normal. Biasanya diet rendah garam yang mengandung NaCl kurang dari 40
mEq/hari tidak diperlukan. Konsentrasi NaCl yang amat rendah justru dapat

mengganggu fungsi ginjal.


Diuretika
Pada pasien dengan jumlah asites sedang, terapi diuretik biasanya diperlukan.
Secara tradisional, spironolactone 200 mg/hari sebagai dosis tunggal dimulai,
dan furosemide dapat ditambahkan pada 40-80 mg/hari, terutama pada pasien
yang memiliki edema perifer. Pada pasien yang belum pernah menerima
diuretik sebelumnya, kegagalan dosis yang disebutkan di atas menunjukkan
bahwa mereka tidak mematuhi diet rendah sodium. Jika kepatuhan
dikonfirmasi dan cairan asites tidak berkurang, spironolactone dapat
ditingkatkan menjadi 400-600 mg/hari dan furosemide meningkat menjadi
120-160 mg/hari.
Diuretika yang dianjurkan

adalah

diuretika

yang

bekerja

sebagai

antialdosteron, misalnya spironolakton. Diuretika ini merupakan diuretika


hemat kalium, bekerja di tubulus distal dan menahan reabsorpsi Na.
Sebenarnya potensi natriuretik diuretika distal lebih rendah daripada diuretika
loop bila etiologi peningkatan air dan garam tidak berhubungan dengan
hiperaldosteronisme. Efektivitas obat ini lebih bergantung pada konsentrasinya
di plasma, semakin tinggi semakin efektif.
Diuretika loop sering dibutuhkan sebagai kombinasi. Diuretika ini sebenarnya
lebih berpotensi daripada diuretika distal. Pada sirosis hati, karena mekanisme
utama reabsorpsi air dan natrium adalah hiperaldosteronisme, diuretika loop
menjadi kurang efektif.
Target yang sebaiknya dicapai dengan terapi tirah baring, diet rendah garam
dan terapi diuretika adalah peningkatan diuresis sehingga berat badan turun

15

400-800 gram/hari. Pasien yang disertai edema perifer penurunan berat badan
dapat sampai 1500 gram/hari. Sebagian besar pasien berhasil baik dengan
terapi kombinasi tirah baring, diet rendah garam dan diuretika kombinasi.
Setelah cairan asites dapat dimobilisasi, dosis diuretika dapat disesuaikan.
Biasanya diet rendah garam dan spironolakton masih tetap diperlukan untuk
mempertahankan diuresis dan natriuresis sehingga asites tidak terbentuk lagi.
Komplikasi diuretika pada pasien sirosis hati harus diwaspadai. Komplikasi itu
misalnya:

gagal

ginjal

fungsional,

gangguan

elektrolit,

gangguan

keseimbangan asam-basa, dan ensefalopati hepatikum. Spironolakton dapat


menyebabkan libido menurun, ginekomastia pada laki-laki, dan gangguan

menstruasi pada perempuan.


Terapi parasentesis dan TIPS
Jika asites masih ada dengan dosis diuretika di atas, dan pasien sudah
mematuhi diet rendah sodium, maka mereka didefinisikan sebagai asites
refrakter, dan modalitas pengobatan alternatif termasuk parasentesis berulang
bervolume

besar,

atau

prosedur

TIPS

(Transjugular

intrahepatic

portosystemic shunt) harus dipertimbangkan. Studi terbaru menunjukkan


bahwa TIPS tidak meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien ini.
Sayangnya, TIPS sering dikaitkan dengan peningkatan frekuensi ensefalopati
dan harus dipertimbangkan secara hati-hati pada setiap kasus.
Parasentesis sebenarnya merupakan cara pengobatan asites yang tergolong
kuno. Pada mulanya karena berbagai komplikasi, parasentesis asites tidak lagi
disukai. Beberapa tahun terakhir ini parasentesis kembali dianjurkan karena
mempunyai banyak keuntungan dibandingkan terapi konvensional bila
dikerjakan dengan baik. Untuk setiap liter cairan asites yang dikeluarkan
sebaiknya diikuti dengan substitusi albumin parenteral sebanyak 6-8 gram.
Setelah parasentesis sebaiknya terapi konvensional tetap diberikan.

16

Gambar 4. Penatalaksanaan asites11


Prognosis
Prognosis pada pasien sirosis dengan asites buruk, dan beberapa studi telah
menunjukkan bahwa <50% dari pasien bertahan hidup 2 tahun setelah timbulnya
asites. Dengan demikian, harus ada pertimbangan untuk transplantasi hati pada pasien
dengan timbulnya asites.7
BAB III
KESIMPULAN

Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis
hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar
dan pembentukan nodulus refeneratif. Asites terjadi pada 50% pasien dalam waktu 10
tahun dari diagnosis sirosis kompensata. Ini merupakan indikator prognosis yang
buruk, dengan 50% 2 tahun kelangsungan hidup, memburuk secara signifikan hingga
20% menjadi 50% pada 1 tahun ketika asites menjadi refrakter terhadap terapi medis.
Patogenesis asites dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu hipertensi porta,
hipoalbuminemia, meningkatnya pembentukan dan aliran limfe hati, serta retensi
natrium dan gangguan ekskresi air. Diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan fisik,
17

dapat juga dengan USG dan parasentesis. Penatalaksanannya meliputi tirah baring,
diet rendah sodium, diuretika, parasintesis, hingga TIPS untuk asites refrakter.

DAFTAR PUSTAKA

1. Nurdjanah S. Sirosis hati. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata


M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 1. Edisi 5. Jakarta: Interna
Publishing; 2009: 668-72.
2. Yeung E, Wong FS. The management of cirrhotic ascites. Medscape General
Medicine. 2002;4(4).
3. Moore KP, Athal GP. Guidelines on management of ascites in cirrhosis. Gut
2006;55;1-12.
4. Hirlan. Asites. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati
S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 1. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing;
2009: 674-6.
5. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi
6. Jilid 2. Jakarta: EGC; 2012: 498-9.
6. Davey P. At a glance medicine. Jakarta: Erlangga; 2006: 47-8.
7. Moore CM, Thiel DHV. Cirrhotic ascites review: Pathophysiology, diagnosis and
management. World J Hepatol. May 27, 2013; 5(5): 251263.
8. Kashani A, Landaverde C, Medici V, Rossaro L. Fluid retention in cirrhosis:
pathophysiology and management. Q J Med 2008; 101:7185.
9. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J. Harrisons
principles of internal medicine. 18th edition. New York: McGraw Hill; 2012.
10. Heneghan MA, Harrison PM. Pathogenesis of ascites in cirrhosis and portal
hypertension. Med Sci Monit, 2000; 6(4): 807-816.
11. Cesario KB, Choure A, Carey WD. Cirrhotic Ascites. Diunduh dari
http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/hepatolo
gy/complications-of-cirrhosis-ascites/#pathophysiology pada tanggal 20 Juli 2014.
12. (Gambar) Diunduh dari http://www.clinicaloptions.com/

18

1 Nurdjanah S. Sirosis hati. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata


M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 1. Edisi 5. Jakarta: Interna
Publishing; 2009: 668-72.
2 Yeung E, Wong FS. The management of cirrhotic ascites. Medscape General
Medicine. 2002;4(4).
3 Moore, K P, G P Athal. Guidelines on management of ascites in cirrhosis. Gut
2006;55;1-12.
4 Hirlan. Asites. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S.
Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 1. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009:
674-6.
5 Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 6.
Jilid 2. Jakarta: EGC; 2012: 498-9.
6 Davey P. At a glance medicine. Jakarta: Erlangga; 2006: 47-8.
7 Moore CM, Thiel DHV. Cirrhotic ascites review: Pathophysiology, diagnosis and
management. World J Hepatol. May 27, 2013; 5(5): 251263.
8 Kashani A, Landaverde C, Medici V, Rossaro L. Fluid retention in cirrhosis:
pathophysiology and management. Q J Med 2008; 101:7185.
9 Heneghan MA, Harrison PM. Pathogenesis of ascites in cirrhosis and portal
hypertension. Med Sci Monit, 2000; 6(4): 807-816.
10 Cesario KB, Choure A, Carey WD. Cirrhotic Ascites. Diunduh dari
http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/hepatolo
gy/complications-of-cirrhosis-ascites/#pathophysiology pada tanggal 20 Juli 2014.
11 (Gambar) Diunduh dari http://www.clinicaloptions.com/

Anda mungkin juga menyukai