Anda di halaman 1dari 7

GEOLOGI SULAWESI SELATAN

1. REGIONAL
Secara regional, geologi Pulau Sulawesi dan sekitarnya termasuk kompleks, yang disebabkan oleh proses divergensi
dari tiga lempeng litosfer, yaitu : Lempeng Australia yang bergerak ke utara, Lempeng Pasifik yang bergerak ke barat,
dan Lempeng Eurasia yang bergerak ke selatan-tenggara.
Tektonik regional Sulawesi terlihat pada Gbr 1. Selat Makassar yang memisahkan platform Sunda (bagian Lempeng
Eurasia) dari Lengan Selatan dan Tengah, terbentuk dari proses pemekaran lantai samudera pada Miosen (Hamilton,
1979,1989; Katili, 1978,1989). Bagian utara Pulau Sulawesi adalah Palung Sulawesi Utara yang terbentuk akibat
proses subduksi kerak samudera Laut Sulawesi. Di Lengan tenggara, proses konvergensi terjadi antara Lengan
Tenggara dengan bagian utara Laut Banda sepanjang Tunjaman Tolo (Silver et al., 1983a,b). Kedua struktur mayor
tersebut (Palung Sulawesi Utara dan Tunjaman Tolo) dihubungkan oleh Sistem Sesar Palu-Koro-Matano.
Berdasarkan asosiasi litologi dan perkembangan tektoniknya, Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya dibagi ke dalam
lima propinsi tektonik (Gbr. 2), yaitu Busur Volkanik Tersier Sulawesi Barat, Busur Volkanik Kuarter Minahasa-Sangihe,
Sabuk Metamorfik Kapur-Paleogen Sulawesi Tengah, Sabuk Ofiolit Kapur Sulawesi Timur dan asosiasi sedimen
pelagisnya, serta fragmen Mikro-kontinen Paleozoikum Banda yang berasal dari Kontinen Australia. Kontak antara ke
lima propinsi tersebut berupa kontak sesar (Hamilton, 1978,1979; Sukamto & Simandjuntak, 1983; Metcalfe,
1988.1990; Audley-Charles & Harry, 1990; Audley-Charles, 1991; Davidson, 1991).
2. LOKAL
Daerah Sulawesi Selatan termasuk ke dalam propinsi Busur Volkanik Tersier Sulawesi Barat, yang memanjang dari
Lengan Selatan sampai ke Lengan Utara (Gbr. 2). Secara umum, busur ini tersusun oleh batuan-batuan plutonikvolkanik berumur Paleogen-Kuarter serta batuan-batuan metamorf dan sedimen berumur Tersier.
Geologi Sulawesi Selatan bagian timur dan barat sangat berbeda, di mana keduanya dipisahkan oleh Depresi
Walanae yang berarah UUB-SST. Secara struktural, Sulawesi Selatan terpisah dari anggota Busur Barat Sulawesi
lainnya oleh suatu depresi berarah UB-ST yang melintas di sepanjang Danau Tempe (van Leeuwen, 1981). Sebagai
referensi, peta geologi dan stratigrafi Sulawesi Selatan dipresentasikan pada Gbr 3. Berikut dibahas geologi Sulawesi
Selatan berdasarkan urutan waktu.
2.1 Kompleks batuan dasar Mesozoikum
Kompleks batuan dasar tersingkap di dua daerah di bagian barat Sulawesi Selatan, yaitu di Bantimala dan Barru,
tersusun oleh batuan-batuan metamorf, ultrabasa, dan sedimen (Gbr. 3 & 4). Litologi batuan metamorf tersebut
meliputi amfibolit, eklogit, sekis mika, kuarsit, klorit-felspar, dan fillit grafit (tHoen & Zeigler, 1917; Sukamto, 1975,1982;
Berry & Grady, 1987). Dating K/Ar pada conto-conto dari kedua daerah tersebut menunjukkan bahwa proses
emplacement (alih-tempat) batuan dasar ini terjadi pada Kapur Awal bagian akhir (Hamilton, 1979; Hasan, 1991;
Wakita et al., 1994). Sekuens tersebut dilapis-bawahi secara tak-selaras dan diinterkalasi secara tektonik oleh unit-unit

berlitologi metamorf yang terdiri atas serpih silika merah dan abu-abu, batupasir dan batulanau felspatik, rijang
radiolaria, peridotit terserpentinisasi, basal, dan diorit (Sukamto, 1975,1982; Hamilton, 1979; van Leeuwen, 1981;
Wakita et al., 1994). Hadirnya batuan metamorf yang sama di Jawa, Pegunungan Meratus di Kalimantan, dan di
Sulawesi Tengah, menunjukkan bahwa kompleks batuan dasar di Sulawesi Selatan ini kemungkinan merupakan
fragmen yang terlepas dari kompleks yang lebih besar, yaitu kompleks akresi berumur Kapur Awal (Parkinson, 1991).
2.2 Sedimentasi Kapur Akhir
Sedimen-sedimen Kapur Akhir secara berurutan terdiri atas Formasi Balangbaru (Sukamto, 1975,1982; Hasan, 1991)
dan Formasi Marada (van Leeuwen, 1981), yang terdapat di bagian barat dan timur Sulawesi Selatan bagian barat
(Gbr 3 & 4). Formasi Balangbaru melapis-bawahi secara tak-selaras kompleks batuan dasar, dan tersusun oleh
selang-seling batupasir dan lanau-lempung, dengan sedikit konglomerat, pebble-pebble batupasir, serta breksi
konglomeratik (Sukamto, 1975,1982; Hasan, 1991). Formasi Marada tersusun oleh suksesi berselang-seling dari
batupasir, batulanau, dan serpih (van Leeuwen, 1981).
Sebagian besar batupasir tersebut bertipe feldspathic greywacke yang setempat bersifat kalkareus, tersusun oleh
butir-butir kuarsa, plagioklas, dan ortoklas yang subangular sampai angular dengan sedikit biotit, muskovit, fragmenfragmen litik angular, yang kesemuanya tertanam dalam matriks lempung, klorit, dan serisit (van Leeuwen, 1981).
Struktur graded bedding kadang ditemukan pada batupasir dan batulempung. Unit-unit berukuran kasar dari Formasi
Balangbaru mengandung struktur sedimen yang mencirikan endapan gravity flow, meliputi debris flows, graded
bedding, dan sole marks yang berkemas kacau (chaotic fabric), yang keseluruhannya mengindikasikan turbidites
(Hasan, 1991). Litologi dan fauna Formasi Balangbaru serta setempat-setempat Formasi Marada di bagian timur (van
Leeuwen, 1981; Sukamto, 1982) mencirikan lingkungan open marine, deep neritic, sampai bathyal (van Leeuwen,
1981; Sukamto, 1982; Hasan, 1991). Berdasarkan pertimbangan litologi dan ukuran butir, Formasi Marada
diinterpretasikan ekivalen secara distal dengan Formasi Balangbaru (van Leeuwen, 1981). Setting tektonik Formasi
Balangbaru diinterpretasikan merupakan cekungan busur-depan kecil yang berada pada trench slope (Hasan, 1991).
2.3 Volkanisma Paleosen
Batuan-batuan volkanik berumur Paleosen terbentuk di daerah-daerah tertentu di timur Sulawesi Selatan, yang
melapis-bawahi secara tak-selaras Formasi Balangbaru (Sukamto, 1975). Di daerah Bantimala, batuan volkanik ini
disebut Volkanik Bua (Sukamto, 1982); dan di daerah Biru disebut Volkanik Langi (van Leeuwen, 1981; Yuwono et
al., 1988). Volkanik-volkanik tersebut terdiri atas lava dan endapan piroklastik yang berkomposisi andesitik sampai
traki-andesitik, yang setempat diinterkalasi oleh batugamping dan serpih ke arah atas sekuensnya (van Leeuwen,
1981; Sukamto, 1982). Dating dengan metoda fission track pada tufa bagian bawah sekuens, menunjukkan umur
Paleosen (van Leeuwen, 1981). Berdasarkan kondisinya yang kalk-alkalin serta terkayakannya unsur-unsur tanah
jarang tertentu, mengindikasikan bahwa volkanik ini berhubungan dengan proses subduksi (van Leeuwen, 1981;
Yuwono, 1985), yang miring ke barat (van Leeuwen, 1981).

2.4

Volkanisma dan sedimentasi Eosen sampai Miosen

Formasi Mallawa tersusun oleh batupasir arkosik, batulanau, batulempung, napal, dan konglomerat yang diinterkalasi
oleh layer-layer atau lensa-lensa batubara dan batugamping. Formasi ini terdapat di bagian barat Sulawesi Selatan,
yang melapis-bawahi secara tak-selaras Formasi Balangbaru dan setempat Formasi Langi (Sukamto, 1982). Umur
Paleogen pada formasi ini diduga dari palinomorfisnya (Khan & Tschudy, dalam Sukamto, 1982), sementara fosil
ostrakoda menunjukkan umur Eosen (Hazel, dalam Sukamto, 1982). Formasi Mallawa ini diduga terendapkan pada
lingkungan terrestrial/marginal marine yang menerus ke atas secara transgersif sampai ke lingkungan laut dangkal
(Wilson, 1995).
Formasi Batugamping Tonasa melapis-bawahi secara tak-selaras Formasi Mallawa dan Volkanik Langi. Dari bawah
ke atas, formasi ini tersusun oleh anggota-anggota A (kalkarenit berlapis baik), B (batugamping berlapis tebal sampai
batugamping masif ), C (sekuens batugamping detritus tebal dengan limpahan foraminifera), dan D (limpahan material
volkanik dan olistolit batugamping dari berbagai umur ) (van Leeuwen, 1981; Sukamto, 1982). Formasi ini berumur
Eosen sampai Miosen Tengah (van Leeuwen, 1981; Sukamto, 1982; Wilson, 1995). Margin bagian selatan dari
Formasi Tonasa diduga merupakan margin bertipe landai, dan Platform Karbonat Tonasa disusun terutama oleh fasies
laut dangkal, sedangkan margin bagian utara didominasi oleh fasies redeposited (Wilson, 1995). Formasi Mallawa dan
Tonasa tersebar luas di bagian barat Sulawesi Selatan (Wilson, 1995).
Formasi Salo Kaluppang hadir di bagian timur Sulawesi Selatan (Gbr 3 & 4), yang terdiri atas batugamping, serpih,
dan batulempung yang interbedded dengan konglomerat volkanik, breksi, tufa, lava, batugamping, dan napal
(Sukamto, 1982). Berdasarkan dating foraminifera, umurnya berkisar dari Eosen Awal sampai Oligosen Akhir (Kadar,
dalam Sukamto, 1982 dan Sukamto & Supriatna, 1982). Formasi ini seumur dengan Formasi Mallawa dan bagian
bawah Formasi Tonasa (Sukamto, 1982).
Formasi Kalamiseng tersingkap di bagian timur Depresi Walanae (Gbr 3 & 4), terdiri atas breksi volkanik dan lava
dalam bentuk lava bantal dan lava masif, yang ber-interbedded dengan tufa, batupasir, dan napal (Sukamto, 1982;
Sukamto & Supriatna, 1982; Yuwono et al., 1987). Lava tersebut dicirikan oleh basal dan diabas spilitik yang telah
termetamorfosis ke fasies sekis hijau (Yuwono et al., 1988). Pegunungan Bone diinterpretasi merupakan bagian dari
suatu sekuens ofiolit berdasarkan ciri dan pengamatan pada anomali gravity-nya yang tinggi serta MORB (mid oceanic
ridge basalt)-nya. Dating K/Ar pada lava bantal Formasi Kalamiseng menunjukkan umur Miosen Awal (Yuwono et al.,
1988), dan umur ini kemungkinan merupakan umur emplacement dari suite ofiolit yang diduga tersebut di atas
(Yuwono et al., 1988).
Tubuh-tubuh intrusi tersingkap di bagian timur daerah Biru dan Tonasa-I (Sukamto, 1982), yang setelah di-dating,
menunjukkan umur Miosen Awal (van Leeuwen, 1981). Yuwono et al., (1987) menghubungkan tubuh-tubuh intrusi ini
dengan volkanik kalk-alkalin pada anggota bagian bawah Formasi Camba dan mengusulkan bahwa keduanya berasal
dari subduksi pada Miosen Awal. Tetapi usulan tersebut tidak sesuai dengan umur Miosen Tengah (Sukamto &
Supriatna, 1982) atau Miosen Tengah sampai Akhir (Sukamto, 1982) yang dicirikan oleh foraminifera pada sedimen
laut yang interbedded dengan volkaniklastik.

Anggota bagian bawah Formasi Camba terdiri atas batupasir tufaan yang ber-interbedded dengan tufa, batupasir,
batulempung, konglomerat volkanik dan breksi volkanik, napal, batugamping, dan batubara (Sukamto, 1982; Sukamto
& Supriatna, 1982).
Formasi Bone telah dilaporkan oleh Grainge & Davies (1985) dari sumur Kampung Baru-I di daerah Sengkang, yang
terdiri atas wackestone bioklastik dan packstone forraminifera planktonik berbutir halus yang ber-interbedded dengan
mudstone kalkareus. Formasi ini berumur Miosen Awal (N6-N8).
2.4 Volkanisma dan sedimentasi Miosen sampai Resen
Anggota bagian atas Formasi Camba atau Volkanik Camba, berlokasi di Zona Pembagi Bagian Barat (Gbr 3 & 4).
Anggota ini terdiri atas konglomerat dan breksi volkanik, lava, dan tufa, yang interbedded dengan sedimen-sedimen
laut (Sukamto, 1982; Sukamto & Supriatna, 1982). Dating foraminifera menunjukkan umur Miosen Tengah sampai
Miosen Akhir (Sukamto, 1982).
Volkanik Lemo melapis-bawahi secara tak-selaras Volkanik Walanae berumur Miosen Atas di daerah Biru (van
Leeuwen, 1981). Dating K/Ar pada Volkanik Lemo ini menunjukkan umur Pliosen (Yuwono et al., 1988).
Bagian bawah Volkanik Camba (Gbr 4) diduga ekivalen dengan Volkanik Sopo berumur Miosen Tengah di daerah
Biru (van Leeuwen, 1981). Sedangkan bagian atas Volkanik Camba diduga analogi dengan Volkanik Pammusureng
di daerah Biru (van Leeuwen, 1981). Yuwono et al. (1988) membagi Volkanik Camba ke dalam dua anggota : Camba
IIa yang alkali potasik dan Camba IIb yang alkali ultrapotasik. Berdasarkan dating K/Ar, dideterminasi bahwa umur
Volkanik Camba II adalah Miosen Akhir (Yuwono et al., 1988).
Unit-unit volkanik yang berumur Miosen sampai Plistosen di Sulawesi Selatan telah dibahas oleh Yuwono et al.
(1987). Unit-unit tersebut terdiri atas : Volkanik Baturappe, yang merupakan suatu seri litologi ekstrusif dan intrusif
yang bersifat alkali potasik, di mana dating K/Ar menunjukkan umur Miosen Tengah (Yuwono et al., 1988); Volkanik
Cindako, memiliki ciri yang sama dengan Volkanik Baturappe, tetapi dating K/Ar pada Volkanik Cindako ini
menunjukkan umur Miosen Akhir (Yuwono et al., 1987). Oleh Sukamto (1982), kedua volkanik ini dikelompokkan ke
dalam satu grup berumur Pliosen Atas, berdasarkan fakta bahwa keduanya melapis-bawahi secara tak-selaras
Formasi Camba.
Volkanik Soppeng diduga berumur Miosen Akhir (Yuwono et al., 1987), tetapi Sukamto (1982) menginterpretasikan
bahwa volkanik ini berumur Miosen Awal karena dilapis-bawahi secara tak-selaras oleh batuan-batuan dari Formasi
Camba.
Volkanik Pare-Pare merupakan sisa dari suatu strato-volkanik yang tersusun oleh selang-seling lava flows dan breksi
piroklastik, yang setelah di-dating menunjukkan umur Miosen Akhir (Yuwono et al., 1987). Lava tersebut berkomposisi
intermediet sampai asam (Yuwono et al., 1987).
Volkanik strato-volkano Lompobattang yang berumur Plio-Plistosen tersebar di sebagian besar daerah bagian
selatan Sulawesi Selatan, yang ketinggiannya mencapai 2.871 m. Volkanik ini terdiri atas lava bantal dan breksi

piroklastik yang berkomposisi alkali potasik bersilika undersaturated dan sosonitik bersilika asam saturated (Yuwono et
al., 1987).
Batuan-batuan volkanik Miosen Tengah sampai Plistosen di Sulawesi Selatan, termasuk anggota bagian atas Formasi
Camba yang dominan bersifat alkalin, diinterpretasi oleh Yuwono et al. (1987) sebagai hasil peleburan parsial (partial
melting) dari mantel bagian atas (phlogopite bearing peridotite) yang sebelumnya telah terkayakan oleh unsur-unsur
yang incompatible oleh proses metasomatis (Yuwono et al., 1987). Ini kemungkinan berhubungan dengan subduksi
sebelumnya pada Miosen Awal dalam konteks intraplate yang menggelembung (distensional intraplate context)
(Yuwono et al., 1987). Bemmelen (1949) mengusulkan bahwa komposisi alkali dari volkanik-volkanik tersebut
disebabkan oleh asimilasi berlebihan dari batugamping yang lebih tua yang kemudian lebur dan bergabung dengan
material kontinen ke dalam suatu busur volkanik yang berhubungan dengan subduksi (Katili, 1978). Proses
magmatisme Neogen di Sulawesi tengah bagian barat berhubungan dengan proses penebalan litosferik dan proses
peleburan (Gbr 6; Coffield et al., 1993; Bergman et al., 1996). Kondisi bimodal dari litologi-litologi batuan beku berumur
Neogen di daerah ini diduga berasal dari urut-urutan proses peleburan (melting) kuno mantel peridotit dan kerak bumi
yang menghasilkan alkalin basaltik (sosonitik) dan peleburan-peleburan berkomposisi granitik (Coffield et al., 1993;
Bergman et al., 1996).
Sedimentasi Miosen Akhir ditandai oleh Formasi Tacipi berumur Miosen Tengah Pliosen (Grainge & Davies, 1983),
yang saat ini masih diteliti lebih jauh.
Formasi Walanae berhubungan tak-selaras secara setempat dengan Formasi Tacipi, dan di berbagai lokasi, kedua
formasi tersebut ditemukan ber-interdigitate. Berdasarkan kandungan foraminiferanya, Formasi Walanae di-dating
berumur Miosen Tengah sampai Pliosen (N9-N20, Sukamto, 1982); tetapi menurut Grainge & Davies (1983),
kemungkinan berumur Miosen Akhir atau Pliosen (di atas N21), berdasarkan unit-unit basalnya. Di Cekungan
Sengkang Timur, Formasi Walanae bisa dibagi ke dalam dua interval : interval bagian bawah tersusun oleh calcareous
mudstone, dan interval bagian atas yang lebih arenaceous. Interval bagian bawah tersingkap dengan intensif di
selatan cekungan, yang di beberapa tempat menjemari dengan reef talus dari Formasi Tacipi.
Batugamping di ujung selatan Sulawesi Selatan dan di Pulau Selayar dinamakan Batugamping Selayar, yang
merupakan anggota dari Formasi Walanae (Sukamto & Supriatna, 1982). Anggota Selayar ini tersusun oleh
batugamping koral dan kalkarenit dengan interkalasi napal dan batupasir kalkareus. Unit karbonat ini berumur Miosen
Atas sampai Pliosen (N16-N19, Sukamto & Supriatna, 1982). Sukamto & Supriatna (1982) melaporkan bahwa
hubungan penjemarian antara Formasi Walanae dengan Batugamping Selayar terjadi di Pulau Selayar.
Endapan-endapan undak, aluvial, dan pantai terdapat setempat-setempat di Sulawesi Selatan. Pengangkatan
(uplift) Resen di Sulawesi Selatan dicirikan oleh naik atau tumbuhnya endapan-endapan coral reef (van Leeuwen,
1981; Sukamto, 1982).

SULAWESI TENGAH

Di Sulawesi Tengah, magmatisme potasik kalk-alkalin Miosen Akhir sampai Resen terbentuk, khususnya di sepanjang
sisi kiri Zona Sesar Palu-Koro (Gbr 7; Priadi et al., 1999). Granitoid ini diperkirakan berhubungan dengan tumbukan
mikro-kontinen Banggai-Sula dengan Pulau Sulawesi pada Miosen Tengah, tetapi studi detail tentang genesis dan
mekanisme pengangkatannya, masih sangat terbatas.
Berdasarkan aspek-aspek petrologi, asosiasi dengan batuan/formasi yang lain, tingkat alterasi, serta sifat-sifat
kimianya, granitoid Neogen ini bisa diklasifikasikan ke dalam paling sedikit tiga kelompok, dari tua ke muda, di mana
ketiganya memperlihatkan perubahan yang sistematis dalam fitur-fiturnya, yaitu :
1. Granitoid ber-megakristal KF dan berkristal kasar (Granitoid C), yang terdistribusi di daerah batas-batas utara dan
selatan Palu-Koro. Jenis ini bisa dikenali dengan mudah berdasarkan kenampakan kandungan butir ekuigranular
kasarnya atau butir-butir kasarnya yang mengandung megakristal KF. Berbagai dating K-Ar menunjukkan kisaran
umur 8,39 Ma sampai 3,71 Ma. Terdapat dua karakter petrografi yang bisa dibedakan : granitoid mengandung biotit
dan hornblende sebagai mineral-mineral mafik (4,15-3,71 Ma dan 7,05-6,43 Ma), serta granitoid mengandung biotit
sebagai mineral mafik mayor (8,39-7,11 Ma).
2. Granitoid medium milonitik-genesik (Granitoid B), yang tersingkap relatif di bagian tengah sebarannya (sekitar PaluKulawi). Jenis ini semuanya hadir dalam bentuk granitoid berbutir medium dan kadang mengandung xenolith. Juga
dapat diklasifikasikan ke dalam dua sub-divisi : granitoid hornblende-biotit dan granitoid biotit. Jenis pertama
terdistribusi di bagian selatan (Sulawa-Karangana) yang didating 5,46-4,05 Ma. Sedang jenis kedua terdistribusi di
sekitar Kulawi, dan didating 3,78-3,21 Ma.
3. Granitoid berukuran halus dan miskin biotit (Granitoid A), merupakan granitoid termuda di daerah Palu-Koro (3,071,76 Ma), yang membentuk dike-dike kecil yang memotong granitoid-granitoid lainnya. Batuannya bersih, putih,
mengandung sedikit biotit sebagai mineral mafik tunggal, serta tersingkap secara terkonsentrasi di bagian tengah,
antara Sadaonta-Kulawi. Bersama-sama dengan dike-dike aplitik tersebut, juga ditemukan dike-dike lamprofirik
(tipe minnette).
Granitoid genesik Pra-Neogen (Granitoid D) di beberapa daerah kecil di sekitar Toboli. Berdasarkan peta geologi yang
dibuat Sukamto et al. (1973), distribusinya bisa diekstrapolasi berarah utara-selatan di daerah Toboli-Kasimbar. Jenis
ini umumnya mengandung granit yang berkomposisi kuarsa, K-feldspar, plagioklas, dan muskovit. Terdapatnya
muskovit dan umurnya yang lebih tua (96,37 Ma), membuat granitoid ini berbeda dengan jenis-jenis lainnya tersebut di
atas.
Secara lateral granitoid-granitoid tersebut terdistribusi relatif melingkar (circular) dengan Granitoid A di sekitar Kulawi
sebagai pusatnya, dan dikelilingi oleh Granitoid B dan C. Granitoid D, yang paling tua, memanjang utara-selatan di
sebelah timur distribusi konsentris tersebut.

SABUK OFIOLIT SULAWESI TIMUR


Kompleks ofiolit dan sedimen-sedimen pelagis penutupnya di Lengan Timur dan Tenggara Sulawesi, oleh
Simandjuntak (1986; Gbr. 8.9) dinamakan Sabuk Ofiolit Sulawesi Timur. Sabuk ini terdiri atas batuan-batuan mafik dan

ultramafik disertai batuan sedimen pelagis dan melange di beberapa tempat. Batuan ultramafik dominan di Lengan
Tenggara, tetapi batuan mafiknya dominan lebih jauh ke utara, terutama di sepanjang pantai utara Lengan Tenggara
(Smith, 1983; Simandjuntak, 1986). Sekuens ofiolit yang lengkap telah dilaporkan oleh Simandjuntak (1986) di Lengan
Timur, meliputi batuan mafik dan ultramafik, lava bantal, dan batuan sedimen pelagis yang didominasi batugamping
laut dalam serta interkalasi rijang berlapis. Sebagian besar kompleks ini tersesarkan dan tertektonikkan dengan
singkapan-singkapan yang memblok (blocky). Berdasarkan data geokimia terbatas (16 sampel basal), Sabuk Ofiolit
Sulawesi Timur ini diperkirakan berasal dari mid-oceanic ridge (Surono, 1995).

Anda mungkin juga menyukai