Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Luka bakar dapat mengakibatkan masalah yang kompleks yang dapat
meluas melebihi kerusakan fisik yang terlihat pada jaringan yang terluka
secara langsung. Masalah kompleks ini mempengaruhi semua sistem tubuh
dan beberapa keadaan yang mengancam kehidupan. Dua puluh tahun lalu,
seorang dengan luka bakar 50% dari luas permukaan tubuh dan mengalami
komplikasi dari luka dan pengobatan dapat terjadi gangguan fungsional, hal
ini mempunyai harapan hidup kurang dari 50%. Sekarang, seorang dewasa
dengan luas luka bakar 75% mempunyai harapan hidup 50%. dan bukan
merupakan hal yang luar biasa untuk memulangkanpasien dengan luka bakar
95% yang diselamatkan. Pengurangan waktu penyembuhan, antisipasi dan
penanganan secara dini untuk mencegah komplikasi, pemeliharaan fungsi
tubuh dalam perawatan luka dan tehnik rehabilitasi yang lebih efektif
semuanya dapat meningkatkan rata-rata harapan hidup pada sejumlah klien
dengan luka bakar serius.
Beberapa karakteristik luka bakar yang terjadi membutuhkan tindakan
khusus yang berbeda. Karakteristik ini meliputi luasnya, penyebab(etiologi)
dan anatomi luka bakar. Luka bakar yang melibatkan permukaan tubuh yang
besar atau yang meluas ke jaringan yang lebih dalam, memerlukan tindakan
yang lebih intensif daripada luka bakar yang lebih kecil dan superficial. Luka
bakar yang disebabkan oleh cairan yang panas (scald burn) mempunyai
perbedaan prognosis dan komplikasi dari pada luka bakar yang sama yang
disebabkan oleh api atau paparan radiasi ionisasi. Luka bakar karena bahan
kimia memerlukan pengobatan yang berbeda dibandingkan karena sengatan
listrik (elektrik) atau persikan api. Luka bakar yang mengenai genetalia
menyebabkan resiko nifeksi yang lebih besar daripada di tempat lain dengan
ukuran yang sama. Luka bakar pada kaki atau tangan dapat mempengaruhi
kemampuan fungsi kerja klien dan memerlukan tehnik pengobatan yang

berbeda dari lokasi pada tubuh yang lain. Pengetahuan umum perawat tentang
anatomi fisiologi kulit, patofisiologi luka bakar sangat diperlukan untuk
mengenal perbedaan dan derajat luka bakar tertentu dan berguna untuk
mengantisipasi harapan hidup serta terjadinya komplikasi multi organ yang
menyertai.
Prognosis klien yang mengalami suatu luka bakar berhubungan
langsung dengan lokasi dan ukuran luka bakar. Faktor lain seperti umur, status
kesehatan sebelumnya dan inhalasi asap dapat mempengaruhi beratnya luka
bakar dan pengaruh lain yang menyertai. Klien luka bakar sering mengalami
kejadian bersamaan yang merugikan, seperti luka atau kematian anggota
keluarga yang lain, kehilangan rumah dan lainnya. Klien luka bakar harus
dirujuk untuk mendapatkan fasilitas perawatan yang lebih baik untuk
menangani segera dan masalah jangka panjang yang menyertai pada luka
bakar tertentu.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Luka Bakar (Combutsio)
1. Definisi
Luka bakar (combustio/burn) adalah cedera (injuri) sebagai akibat
kontak langsung atau terpapar dengan sumber-sumber panas (thermal),
listrik (electrict), zat kimia (chemycal), atau radiasi (radiation). Luka bakar
adalah injury pada jaringan yang disebabkan oleh suhu panas, kimia,
elektrik, radiasi dan thermal. (Djohansjah, M, dkk, 1991: 365)
Luka bakar adalah luka yang terjadi bila sumber panas bersentuhan
dengan tubuh atau jaringan dan besarnya luka ditentukan oleh tingkat
panas atau suhu dan lamanya terkena. (Doengoes, Marilynn E.2000 )
Luka bakar adalah luka yang disebabkan oleh karena kontak
lansung atau bersentuhan langsung atau tidak langsung dengan panas,
kimia dan sumber lain yang menyebabkan terbakar. (Hudak & Gallo,
1996)
Luka bakar adaalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh
yang disebabkan oleh trauma benda tajam ataau tumpul, perubahan suhu,
zat kimia, ledakan, sengatan listrik atau gigitan hewan.(buku Ilmu Ajar
bedah. Syamsuhidayat)
2. Etiologi
Disebabkan oleh perpindahan energi dari sumber panas ke tubuh
melelui konduksi atau radiasi elektromagnetik.
1. Luka Bakar Suhu Tinggi(Thermal Burn) Seperti Gas,cairan, bahan
padat (solid)
2. Luka Bakar Bahan Kimia (hemical Burn)
3. Luka Bakar Sengatan Listrik (Electrical Burn
4. Luka Bakar Radiasi (Radiasi Injury)

Berdasarkan perjalanan penyakitnya luka bakar dibagi menjadi 3


fase, yaitu :
1. Fase akut
Pada fase ini problema yang ada berkisar pada gangguan
saluran napas karena adanya cedera inhalasi dan gangguan sirkulasi.
Pada fase ini terjadi gangguan keseimbangan sirkulasi cairan dan
elektrolit akibat cedera termis bersifat sistemik.
2. Fase sub akut
Fase ini berlangsung setelah shock berakhir. Luka terbuka
akibat

kerusakan

jaringan

(kulit

dan

jaringan

dibawahnya)

menimbulkan masalah inflamasi, sepsis dan penguapan cairan tubuh


disertai panas/energi.
3. Fase lanjut
Fase ini berlangsung setelah terjadi penutupan luka sampai
terjadi maturasi. Masalah pada fase ini adalah timbulnya penyulit dari
luka bakar berupa parut hipertrofik, kontraktur, dan deformitas lainnya.
3. Tanda dan Gejala
a. Grade I
Hanya mengenai epidermis saja, gejalanya berupa kulit yang
hiperemis, kering, dan nyeri
b. Grade II
Mengenai epidermis dan sebagian dari dermis, gejalanya terbentuk
bula. Namun bila bula sudah pecah, akan menyisakan lesi yang
berwarna merah muda, basah, dan nyeri

c. Grade III
Mengenai epidermis dan seluruh bagian dermis, bahkan dapat
melibatkan struktur di bawah dermis. Pada luka bakar grade III, luka

akan terlihat pucat/abu-abu, banyak jaringan kulit yang mati (eschar),


dan tidak terasa nyeri.

4. Patofisologi
Luka bakar mengakibatkan peningkatan permebilitas pembuluh
darah sehingga air, klorida dan protein tubuh akan keluar dari dalam sel
dan menyebabkan edema yang dapat berlanjut pada keadaan hipovolemia
dan hemokonsentrasi. Burn shock ( shock Hipovolemik ) merupakan
komplikasi yang sering terjadi, manisfestasi sistemik tubuh terhadap
kondisi ini adalah :
a. Respon Kardiovaskuler
Curah jantung akan menurun sebelum perubahan yang
signifikan pada volume darah terlihat dengan jelas. Karena berlanjutnya
kehilangan cairan dan berkurangnya volume vaskuler, maka curah
jantung akan terus turun dan terjadi penurunan tekanan darah. Keadaan
ini merupakan awitan syok luka bakar. Sebagai respon, sistem saraf
simpatik akan melepaskan katekolamin yang meningkatkan resistensi

perifer (vasokontriksi) dan frekuensi denyut nadi. Selanjutnya


vasokontriksi pembuluh darah perifer menurunkan curah jantung
(Smeltzer, 2002).
b. Respon Renalis
Ginjal

berfungsi

untuk

menyaring

darah

jadi

dengan

menurunnya volume intravaskuler maka aliran darah ke ginjal dan


GFR menurun mengakibatkan keluaran urin menurun dan bisa
berakibat gagal ginjal (Smeltzer, 2002).
c. Respon Gastro Intestinal
Ada dua komplikasi gastrointestinal yang potensial, yaitu ileus
paralitik

(tidak

adanya

peristaltik

usus)

dan

ulkus

curling.

Berkurangnya peristaltik usus dan bising usus merupakan manifestasi


ileus paralitik yang terjadi akibat luka bakar. Distensi lambung dan
nausea dapat mengakibatkan vomitus kecuali jika segera dilakukan
dekompresi lambung (dengan pemasangan sonde lambung). Perdarahan
lambung yang terjadi sekunder akibat stres fisiologik yang masif dapat
ditandai oleh darah dalam feses atau vomitus yang berdarah. Semua
tanda ini menunjukkan erosi lambung atau duodenum (ulkus curling)
(Smeltzer, 2002).
d. Respon Imonologi
Pertahanan imunologik tubuh sangat berubah akibat luka bakar.
Sebagian basis mekanik, kulit sebagai mekanisme pertahanan dari
organisme yang masuk. Terjadinya gangguan integritas kulit akan
memungkinkan mikroorganisme masuk kedalam luka (Smeltzer, 2002).
e. Respon Pulmoner
Pada luka bakar yang berat, konsumsi oksigen oleh jaringan
akan meningkat dua kali lipat sebagai akibat dari keadaan
hipermetabolisme

dan

respon

lokal.

Cedera

pulmoner

dapat

diklasifikasikan menjadi beberapa kategori yaitu cedera saluran napas


atas terjadi akibat panas langsung, cedera inhalasi di bawah glotis
terjadi akibat menghirup produk pembakaran yang tidak sempurna atau

gas berbahaya seperti karbon monoksida, sulfur oksida, nitrogen


oksida, senyawa aldehid, sianida, amonia, klorin, fosgen, benzena, dan
halogen. Komplikasi pulmoner yang dapat terjadi akibat cedera inhalasi
mencakup kegagalan akut respirasi dan ARDS (adult respiratory
distress syndrome) (Smeltzer, 2002).
5. Klasifikasi Luka Bakar
Untuk membantu mempermudah penilaian dalam memberikan
terapi dan perawatan, luka bakar diklasifikasikan berdasarkan penyebab,
kedalaman luka, dan keseriusan luka, yakni
1.

2.

Berdasarkan penyebab
a. Luka bakar karena api
b. Luka bakar karena air panasLuka bakar karena bahan kimia
c. Luka bakar karena listrik
d. Luka bakar karena radiasiLuka bakar karena suhu rendah (frost
bite).
Berdasarkan kedalaman luka bakar
a. Luka bakar derajat I
1) Kerusakan terjadi pada lapisan epidermis
2) Kulit kering, hiperemi berupa eritema
3) Tidak dijumpai bulae
4) Nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi
5) Penyembuhan terjadi spontan dalam waktu 5-10 hari

b. Luka bakar derajat II


1) Kerusakan meliputi epidermis dan sebagian dermis, berupa
reaksi inflamasi disertai proses eksudasi.
2) Dijumpai bulae.
3) Nyeri karena ujung-ujung saraf teriritasi.
4) Dasar luka berwarna merah atau pucat, sering terletak lebih
tinggi diatas kulit normal.
Luka bakar derajat II ini dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu :

1. Derajat II dangkal (superficial)


a) Kerusakan mengenai bagian superfisial dari dermis.
b) Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat,
kelenjar sebasea masih utuh.
c) Penyembuhan terjadi spontan dalam waktu 10-14 hari.

2. Derajat II dalam (deep)


a) Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis.
b) Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat,
kelenjar Penyembuhan sebasea sebagian besar masih utuh.
c) Terjadi lebih lama, tergantung epitel yang tersisa. Biasanya
penyembuhan terjadi lebih dari sebulan.

Gambar 2.1

Luka Bakar Derajat Dua Dalam, Pada Anak Yang Tersiram


Kopi Panas, Luka Berwarna Merah Muda, Lunak Pada
Penekanan, Dan Tampak Basah, Sensasi Nyeri Sulit Ditentukan
Pada Anak.

3. Luka bakar derajat III

a) Kerusakan meliputi seluruh lapisan dermis dan lapisan


yang lebih dalam
b) Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat,
kelenjar sebasea mengalami kerusakan
c) Tidak dijumpai bulae
d) Kulit yang terbakar berwarna abu-abu dan pucat. Karena
kering letaknya lebih rendah dibanding kulit sekitar
e) Terjadi koagulasi protein pada epidermis dan dermis yang
dikenal sebagai eskar.
f) Tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi, oleh karena
ujung-ujung

saraf

sensorik

mengalami

kerusakan/kematian.
g) Penyembuhan terjadi lama karena tidak terjadi proses
epitelisasi spontan dari dasar luka.

Gambar

3.

2.3

Luka Bakar Derajat Tiga, Pada Anak Yang


Memegang Pengeriting Rambut Luka Kering Tidak
Kemerahan Dan Berwarna Putih

Berdasarkan tingkat keseriusan luka


American Burn Association menggolongkan luka bakar menjadi tiga
kategori, yaitu:

a) Luka bakar mayor


1) Luka bakar dengan luas lebih dari 25% pada orang dewasa dan
lebih dari 20% pada anak-anak.
2) Luka bakar fullthickness lebih dari 20%.
3) Terdapat luka bakar pada tangan, muka, mata, telinga, kaki,
dan perineum.
4) Terdapat trauma

inhalasi

dan

multiple

injuri

tanpa

memperhitungkan derajat dan luasnya luka.


5) Terdapat luka bakar listrik bertegangan tinggi.
b) Luka bakar moderat
1) Luka bakar dengan luas 15-25% pada orang dewasa dan 1020% pada anak-anak.
2) Luka bakar fullthickness kurang dari 10%.
3) Tidak terdapat luka bakar pada tangan, muka, mata, telinga,
kaki, dan perineum.
c) Luka bakar minor
Luka bakar minor seperti yang didefinisikan oleh Trofino
(1991) dan Griglak (1992) adalah :
1) Luka bakar dengan luas kurang dari 15% pada orang dewasa
dan kurang dari 10 % pada anak-anak.
2) Luka bakar fullthickness kurang dari 2%.
3) Tidak terdapat luka bakar di daerah wajah, tangan, dan kaki.
4) Luka tidak sirkumfer.
5) Tidak terdapat trauma inhalasi, elektrik, fraktur.
d) Luas permukaan
Wallace membagi tubuh atas bagian 9% atau kelipatan 9
yang terkenal dengan nama rule of nine atua rule of wallace yaitu:
1)
2)
3)
4)
5)

Kepala dan leher


Lengan masing-masing 9%
Badan depan 18%, badan belakang 18%
Tungkai maisng-masing 18%
Genetalia/perineum

:9%
: 18 %
: 36 %
: 36 %
:1%

Total

: 100%

Untuk area luka bakar yang tersebar kita dapat memperkirakan


persentasenya dengan menggunakan tangan dengan jari-jari pasien,
dimana jari-jari dalam keadaan abduksi, dimana sama dengan kurang
lebih 1 persen dari total luas permukaan tubuh pasien.
Pada anak-anak terdapat perbedaan dalam luas permukaaan
tubuh, yang umumnya mempunyai pertimbangan lebih besar antara
luas permukaan kepala dengan luas ekstrimitas bawah dibandingkan
pada orang dewasa. Area kepala luasnya adalah 19 persen pada waktu
lahir (10 persen lebih besar daripada orang dewasa). Hal ini terjadi
akibat pengurangan pada luas ekstrimitas bawah, yang masing-masing
sebesar 13 persen. Dengan bertambahnya umur setiap tahun, sampai
usia 10 tahun, area kepala dikurangi 1 persen dan jumlah yang sama

ditambah pada setiap ekstrimitas bawah. Setelah usia 10 tahun,


digunakan persentase orang dewasa.
Rumus rule of nine dari Wallace tidak digunakan pada anak
dan bayi karena luas relatif permukaan kepala anak jauh lebih besar
dan luas relatif permukaan kaki lebih kecil. Oleh karena itu,
digunakan rumus 10 untuk bayi, dan rumus 10-15-20 dari Lund dan
Browder untuk anak.
4.

Usia
Luka

bakar

yang

bagaimanapun

dalam

dan

luasnya

menyebabkan kematian yang lebih tinggi pada anak anak di bawah


usia 2 tahun dan di atas usia 60 tahun. Kematian pada anak anak
disebabkan oleh sistem imun yang belum sempurna, pada orang
dewasa sering kali terdapat penyakit sampingan yang dapat
memperparahnya.
5.

Penyakit sampingan
DM, payah jantung kongesti, sakit paru-paru dan pengobatan
kronis dengan obat-obatan yang menekan kekebalan adalah beberapa
penyakit sampingan yang dapat berpengaruh negatif terhadap kondisi
luka bakar.

6.

Lokasi luka bakar


Lokasi juga merupakan salah satu penentu keparahan dari luka
bakar, misalnya luka bakar pada tangan yang dapat meninggalkan
bekas dan menyebabkan kontraktur yang dapt menyebabkan tidak bisa
digunakan seperti semula kecuali dengan pengobatan khusus sedini
mungkin, bahkan kondisi luka bakar yang tidak parah pada kedua
tangan dapat menyebabkan penderita tidak dapat merawat sendiri
lukanya sehingga harus dirawat di rumah sakit.

7.

Luka sampingan
Luka pada sistem pernapasan, muskuloskeletal, kepala, dan
trauma yang lainnya dapat memperparah kondisi luka bakar.

8.

Jenis luka bakar

Penderita luka bakar karena bahan tertentu seringkali harus


ditangani secara khusus, misalnya karen bahan-bahan kimia, listrik
dsb mungkin tampak ringan tetapi seringkali ternyata mengenai
struktur yang lebih dalam sehingga semakin sulit ditangani.
6. Komplikasi
1. Distress pernafasan
2. Gagal ginjal
3. Kontraktur
4. Sepsis
5. Hipertrofi Jaringan Parut
6. Udem laring
7. Keracunan gas CO
8. SIRS (systemic inflammatory respone syndrome)
7. Perawatan Di Tempat Kejadia
a. Fase resusitasi
1. Perawatan awal di tempat kejadian
1) Mematikan api
2) Mendinginkan luka bakar
3) Melepaskan benda penghalang
4) Menutup luka bakar
5) Mengirigasi luka kimia
6) Tindakan kegawatdaruratan : ABC
7) Pencegahan shok
2. Pemindahan ke unit RS
1) Penatalaksanaan shok
2) Penggantian cairan (NHI consensus) : 2 4 ml/BB/% luka
bakar, nya diberikan dalam 8 jam pertama, lagi dalam 16
jam berikutnya
b. Fase akut/intermediate
1. Perawatan luka umum
1) Pembersihan luka
2) Terapi antibiotik lokal
3) Ganti balutan
4) Perawatan luka tertutup/tidak tertutup
5) Hidroterapi
2. Debridemen
1) Debridemen alami, yaitu jaringan mati yang akan memisahkan
diri secara spontan dari jaringan di bawahnya.
2) Debridemen mekanis yaitu dengan penggunaan gunting dan
forcep untuki memisahkan, mengangkat jaringan yang mati.

3) Dengan tindakan bedah yaitu dengan eksisi primer seluruh


tebal kulit atau dengan mengupas kulit yang terbakar secara
bertahap hingga mengenai jaringan yang masih viabel.
3. Graft pada luka bakar
Biasanya dilakukan bila re-epitelisasi spontan tidak mungkin
terjadi
1) Autograft : dari kulit penderita sendiri.
2) Homograft : kulit dari manusia yang masih hidup/ atau baru
saja meninggal (balutan biologis).
3) Heterograft : kulit berasal dari hewan, biasanya babi (balutan
biologis).
4. Balutan luka biosintetik dan sintetik
1) Bio-brane/sufratulle, Kulit artifisial
5. Penatalaksanaan nyeri
6. Dukungan nutrisi
8. Pemeriksaan dignostik
a. Pemeriksaan serum : hal ini dilakukan karena ada pada pasien dengan
luka bakar mengalami kehilangan volume
b. Pemeriksaan elektrolit pada pasien dengan luka bakar mengalami
kehilangan volume cairan dan gangguan Na-K pump
c. Analisa gas darah biasanya pasien luka bakar terjadi asidosis
metabolisme dan kehilanga protein
d. Faal hati dan ginjal
e. CBC mengidentifikasikan jumlah darah yang ke dalam cairan,
penuruan HCT dan RBC, trombositopenia lokal, leukositosis, RBC
yang rusak
f. Elektolit terjadi penurunan calsium dan serum, peningkatan alkali
phospate
g. Serum albumin : total protein menurun, hiponatremia
h. Radiologi : untuk mengetahui penumpukan cairan paru, inhalas asap
dan menunjukkan faktor yang mendasari
i. ECG : untuk mengetahui adanya aritmia

9. Penatalaksanaan
Secara sistematik dapat dilakukan 6c: clothing, cooling, cleaning,
chemoprophylaxis, covering, dan comforting (contoh pengurang nyeri).

Untuk pertolongan pertama dapat dilakukan langkah clothing dan cooling,


baru selanjutnya dilakukan pada fasilitas kesehatan
a. Clothing: singkirkan semua pakaian yang panas atau terbakar. Bahan
pakaian yang menempel dan tak dapat dilepaskan maka dibiarkan
untuk sampai pada fase cleaning.
b. Cooling: Dinginkan daerah yang terkena luka bakar dengan
menggunakan air mengalir selama 20 menit, hindari hipotermia
(penurunan suhu di bawah normal, terutama pada anak dan orang tua).
Cara ini efektif sampai dengan 3 jam setelah kejadian luka bakar.
Kompres dengan air dingin (air sering diganti agar efektif tetap
memberikan rasa dingin) sebagai analgesia (penghilang rasa nyeri)
untuk luka yang terlokalisasi. Jangan pergunakan es karena es
menyebabkan pembuluh darah mengkerut (vasokonstriksi) sehingga
justru akan memperberat derajat luka dan risiko hipotermia. Untuk
luka bakar karena zat kimia dan luka bakar di daerah mata, siram
dengan air mengalir yang banyak selama 15 menit atau lebih. Bila
penyebab luka bakar berupa bubuk, maka singkirkan terlebih dahulu
dari kulit baru disiram air yang mengalir.
c. Cleaning: Pembersihan dilakukan dengan

zat

anastesi

untuk

mengurangi rasa sakit. Dengan membuang jaringan yang sudah mati,


proses penyembuhan akan lebih cepat dan risiko infeksi berkurang.
d. Chemoprophylaxis: Pemberian anti tetanus, dapat diberikan pada luka
yang lebih dalam dari superficial partial thickness. Pemberian krim
silver sulvadiazin untuk penanganan infeksi, dapat diberikan kecuali
pada luka bakar superfisial. Tidak boleh diberikan pada wajah, riwayat
alergi sulfa, perempuan hamil, bayi baru lahir, ibu menyususi dengan
bayi kurang dari 2 bulan
e. Covering: Penutupan luka bakar dengan kasa. Dilakukan sesuai
dengan derajat luka bakar. Luka bakar superfisial tidak perlu ditutup
dengan kasa atau bahan lainnya. Pembalutan luka (yang dilakukan
setelah pendinginan) bertujuan untuk mengurangi pengeluaran panas
yang terjadi akibat hilangnya lapisan kulit akibat luka bakar. Jangan

berikan mentega, minyak, oli atau larutan lainnya, menghambat


penyembuhan dan meningkatkan risiko infeksi.
f. Comforting: Dapat dilakukan pemberian pengurang rasa nyeri, berupa
1. Paracetamol dan codein (PO-per oral) 20-30mg/kg
2. Morphine (IV-intra vena) 0,1mg/kg diberikan dengan dosis titrasi
bolus
3. Morphine (I.M-intramuskular) 0,2mg/kg
(Rosfanty, 2009)
Selanjutnya pertolongan diarahkan untuk mengawasi tandatanda bahaya dari ABC yaitu
a. Airway and breathing
Perhatikan adanya stridor (mengorok), suara serak, dahak
berwana jelaga (black sputum), gagal napas, bulu hidung yang
terbakar, bengkak pada wajah. Luka bakar pada daerah orofaring
dan leher membutuhkan tatalaksana intubasi (pemasangan pipa
saluran napas ke dalam trakea/batang tenggorok) untuk menjaga
jalan napas yang adekuat/tetap terbuka. Intubasi dilakukan di
fasilitas kesehatan yang lengkap.
b. Circulation
Penilaian terhadap keadaan cairan harus dilakukan.
Pastikan luas luka bakar untuk perhitungan pemberian cairan.
Pemberian cairan intravena (melalui infus) diberikan bila luas luka
bakar >10%. Bila kurang dari itu dapat diberikan cairan melalui
mulut. Cairan merupakan komponen penting karena pada luka
bakar terjadi kehilangan cairan baik melalui penguapan karena
kulit yang berfungsi sebagai proteksi sudah rusak dan mekanisme
dimana terjadi perembesan cairan dari pembuluh darah ke jaringan
sekitar

pembuluh

darah

yang

mengakibatkan

timbulnya

pembengkakan (edema). Bila hal ini terjadi dalam jumlah yang


banyak dan tidak tergantikan maka volume cairan dalam pembuluh
darah dapat berkurang dan mengakibatkan kekurangan cairan yang
berat dan mengganggu fungsi organ-organ tubuh. Cairan infus

yang diberikan adalah cairan kristaloid (ringer laktat, NaCl


0,9%/normal Saline). Kristaloid dengan dekstrosa (gula) di
dalamnya dipertimbangkan untuk diberikan

pada bayi

dengan luka bakar. Jumlah cairan yang diberikan berdasarkan


formula dari Parkland : 3-4 cc/kgBB/%TBSA + cairan rumatan
(maintenance per 24 jam). Cairan rumatan adalah 4cc/kgBB dalam
10 kg pertama, 2cc/kgBB dalam 10 kg ke 2 (11-20kg) dan
1cc/kgBB untuk tiap kg diatas 20 kg. Cairan formula parkland (34cc/kgBB/%TBSA) diberikan setengahnya dalam 8 jam pertama
dan setengah sisanya dalam 16 jam berikutnya. Pengawasan
kecukupan cairan yang diberikan dapat dilihat dari produksi urin
yaitu 1cc/kgBB/jam (Rosfanty, 2009).
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Pengkajian Luas Luka Bakar
Sistem ini menggunakan prosentase kelipatan sembilan
terhadap luas permukaan tubuh.
1) Adult: kepala = 9 %, tangan kanan-kiri = 18%, dada dan perut =
18%, genetalia = 1%, kaki kanan-kiri = 36%, dan punggung = 18
2) Child: kepala = 18%, tangan kanan-kiri = 18% , dada dan perut =
18%, kaki kanan-kiri = 28%, dan punggung = 18%
3) Infant: kepala = 18%, tangan kanan-kiri =18%, dada dan perut =
18%, kaki kanan-kiri = 28%, dan punggung = 18%

b. Pengkajian Awal
Pengkajian ini dibuat dengan cepat selama pertemuan pertama
dengan pasien yang meliputi ABC (Airway, Breathing, dan
Circulation)
1) Airway
a) Data subjektif
Pasien mengeluh sesak , pasien mengeluh nyeri .
b) Data objektif
terdengar suara krekels dan stridor , terdapat edema pada
laring
2) Breathing
a) Data subjektif
Pasien mengeluh sesak .
b) Data objektif
Terdapat adanya gerakan otot bantu nafas , RR lebih dari 20
kali permenit, nampak pernafasan cuping hidung
3) Circulation
a) Data subjektif
Pasien mengeluh pusing
b) Data objektif

Nadi klien meningkat > 100 x permenit .


c. Pengkajian Berdasarkan 6B
1) Breathing
a) Data subjektif
Pasien mengatakan susah untuk bernafas.
b) Data objektif
Pasien telihat sesak (RR> 20 x/menit), pernafasan cuping
hidung, menggunakan otot bantu pernafasan
2) Blood
a) Data subjektif
Klien mengeluh pusing .
b) Data objektif
Nadi klien meningkat > 100 x permenit , hematokrit
meningkat, leukosit meningkat , trombosit menurun.
3) Brain
a) Data subjektif
Pasien merasa pusing, pasien mengeluh nyeri kepala.
b) Data objektif
Pasien mungkin disorientasi.

4) Bladder
a) Data subjektif
Pasien mengatakan sedikit kencing
b) Data objektif
Haluaran urin menurun.
5) Bowel
a) Data subjektif
Pasien mengeluh susah BAB .
b) Data objektif
Pasien mungkin mengalami penurunan berat badan dan
konstipasi.
6) Bone
a) Data subjektif
Pasien mengeluh letih dan pegal-pegal.
b) Data objektif
2. Disagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi
mekanis laring dan faring

b. Pola nafas tidak efektif b/d kebutuhan oksigen meningkat ditandai


dengan ; DS : pasien mengeluh susah bernafas, DO : frekuensi napas
32 x/mnt, ada retraksi dada, pasien terlihat sesak napas
c. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan
oksihemoglobin
d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan penguapan cairan
tubuh yang berlebihan
e. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan curah
jantung
f. Nyeri akut b/d kerusakan ujung-ujung saraf karena luka bakar ditandai
dengan ; DS : pasien mengeluh nyeri, DO : wajah pasien tampak
menringis, skala nyeri : 7, nadi meningkat sampai 120 x/ mnt
g. Kerusakan

mobilitas

fisik

berhubungan

dengan

gangguan

neuromuskuler, nyeri, penurunan kekuatan dan tahanan otot


h. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma ;kerusakan
permukaan kulit karena destruksi lapisan kulit (parsial /luka bakar
dalam)
3. Rencana Tindakan
a. Dx: Bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi mekanis laring
dan faring
Tujuan: setelah diberikan askep selama 1 x 10 menit diharapkan jalan
nafas pasien efektif (paten) dengan kriteria hasil:
1) tidak ada suara nafas tambahan (snowring).

2) tidak ada dispnea


3) tidak ada penggunaan otot bantu pernafasan
Intervensi:
1) Pertahankan posisi tubuh/ posisi kepala (head til-chin lift) dan
gunakan jalan nafas tambahan bila perlu (pemasangan endotrakeal
tube).
R/: membuka jalan nafas
-

Kaji suara nafas pasien

R/: mengetahui ada atau tidak suara nafas tambahan yang


menandakan adanya sumbatan jalan nafas.
2) Kaji frekuensi/kedalaman pernafasan dan gerakan dada.
R/: pernafasan dangkal dan gerakan dada yang tidak simetris
menandakan masih terdapat gangguan pernafasan.
-

Kolaborasi dalam pemberian oksigen tambahan

R/: meringankan usaha untuk bernafas


-

Pasang monitor (bedside monitor: EKG, tekanan darah, nadi,


frekuensi pernafasan, dan saturasi oksigen)

R/: membantu dalam pemantauan setiap saat jika tiba-tiba terjadi


kegawatan.
b. Dx: Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan atelektasis paru

Tujuan: setelah diberikan askep selama 1 x 6 jam diharapkan pola


nafas pasien kembali normal dengan kriteria hasil:
1) Pasien tidak tampak sesak
2) Pernafasan pasien teratur
3) RR dalam batas normal (30-40 x/mnt)
4) Tidak ada penggunaan otot bantu pernafasan
Intervensi:
1) Kaji tanda-tanda vital terutama frekuensi pernafasan
R/: mengetahui keadaan umum pasien
2) Kaji

usaha

pernafasan,

pengembangan

dada,

keteraturan

pernafasan, dan pengggunaan otot bantu nafas


R/: untuk mengetahui tindakan mengoptimalkan oksigen untuk
bernafas.
3) Kolaborasi dalam pemberian oksigen tambahan
R/: meringankan usaha untuk bernafas
c. Dx: Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan
oksihemoglobin
Tujuan: setelah diberikan askep selama 115 mnt diharapkan
pertukaran gas kembali normal dengan kriteria hasil:
1) Pasien tidak tampak sesak
2) Frekuensi nafas dalam batas normal

3) Sianosis tidak ada


4) Hasil AGD dalam batas normal
Intervensi:
1) Kaji

status

pernapasan

dengan

sering,

catat

peningkatan

frekuensi/upaya pernapasan/perubahan pola napas.


R/: Takipnea adalah mekanisme kompensasi untuk hipoksemia dan
peningkatan upaya pernapasan dapat menunjukkan derajat
hipoksemia.
2) Kaji adanya sianosis
R/: penurunan oksigenasi bermakna (desaturasi 5 g hemoglobin)
terjadi sebelum sianosis. Sianosis sentral dari organ hangat,
contoh lidah, bibir, dan daun telinga, adalah paling indikatif dari
hipoksemia sistemik. Sianosis perifer kuku/ekstremitas sehubungan
dengan vasokonstriksi.
3) Observasi kecenderungan tidur, apatis, tidak perhatian, gelisah,
bingung, somnolen.
R/: Dapat menunjukkan berlanjutnya hipoksemia dan/atau asidosis.
4) Berikan periode istirahat dan lingkungan tenang.
R/: Menghemat energi pasien, menurunkan kebutuhan oksigen.
5) Kaji seri foto dada.
R/: Menunjukkan kemajuan/kemunduran kongesti paru.
6) Awasi/gambarkan seri GDA/oksimetri nadi.

R/: Menunjukkan ventilasi/oksigenasi dan status asam/basa.


Digunakan sebagai dasar evaluasi keefektifan terapi/indikator
kebutuhan perubahan terapi.
7) Kolaborasi dalam pemberian oksigen tambahan
R/: meringankan usaha untuk bernafas
d. Dx: Kekurangan volume cairan berhubungan dengan penguapan cairan
tubuh yang berlebihan
Tujuan: stelah diberikan askep selama 1 x 24 jam diharapkan paien
tidak mengalami kekurangan cairan dengan kriteria hasil:
1) Tanda-tanda vital stabil
2) Produksi urine 0,5-1cc/kgBB/jam, warna jernih kekuningan, tidak
ada darah
e. Intake dan output cairan tubuh pasien seimbang
Intervensi:
a. Kaji tanda-tanda vital
R/: mengetahui kondisi umum pasien
b. Awasi haluaran urine dan berat jenis. Observasi warna urine dan
hemates sesuai indikasi
R/: secara umum, penggantian cairan harus dititrasi untuk
meyakinkan rata-rata haluaran urine 30-50 ml/jam (pada oranmg
dewasa). Urine dapat tampak merah sampai hitam, pada kerusakan
otot massif sehubungan dengan adanya darah dan keluarnya
mioglobin. Bila terjadi mioglobinuria mencolok, minimum

haluaran urine harus 75-100 ml/jam untuk mencegah kerusakan


nekrosis tubulus.
c. Perkirakan drainase luka dan kehilangan cairan yang tak tampak
R/: peningkatan permeabilitas kapiler, perpindahan protein, proses
inflamasi, dan kehilangan melalui evaporasi besar mempengaruhi
volume sirkulasi dan haluaran urine, khususnya selama 24-72 jam
pertama setelah terbakar.
d. Pertahankan pencatatan kumulatif jumlah dan tipe pemasukan
cairan
R/: penggantian massif/ cepat dengan tipe cairan berbeda dan
fluktuasi kecepatan pemberian memerlukan penghitungan ketat
untuk mencegah ketidakseimbangan dan kelebihan cairan.
e. Timbang berat badan tiap hari.
R/: penggantian cairan tergantung pada berat badan pertama dan
perubahan selanjutnya. Peningkatan berat badan 15-20% pada 72
jam pertama selama penggantian cairan dapat diantisipasi untuk
mengembalikan ke berat sebelum terbakar kira-kira 10 hari setelah
terbakar.
f. Selidiki perubahan mental
R/: penyimpangan pada tingkat kesadaran dapat mengindikasikan
ketidakadekuatan volume sirkulasi atau penurunan perfusi serebral
Kolaborasi
1. Pasang/pertahankan kateter urine tak menetap

R/: memungkinkan observasi ketat fungsi ginjal dan mencegah


stasis atau refleks urine. Retensi urine dengan produk sel jaringan
yang rusak dapat menimbulkan disfungsi dan infeksi ginjal.
2. Pasang/pertahankan ukuran kateter IV
R/: memungkinkan infuse cairan cepat
3. Berikan penggantian cairan IV yang dihitung, elektrolit, plasma,
albumin
R/: resusitasi cairan menggantikan kehilangan cairan/ elektrolit dan
membantu mencgah komplikasi contoh, syok. Penggantian formula
bervariasi (contoh Brook, Evans, Parkland) tetapi berdasarkan
luasnya cedera, jumlah haluaran urine, dan BB.
4. Awasi pemeriksaan laboratorium (contoh : Hb/Ht, elektrolit,
natrium urine random)
R/: mengidentifikasi kehilangan darah/kerusakan SDM, dan
kebutuhan penggantian ciran dan elektrolit. Natrium urine kurang
dari 10 mEq/L diduga ketidakadekuatan penggantian cairan.
5. Berikan obat sesuai indikasi (diuretic : manitol /osmotrol)
R/: diindikasikan untuk meningkatan haluaran urine dan
membersihkan tubulus dari debris/ mencegah nekrosis.
f. Dx: Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan
curah jantung
Tujuan: setelah diberikan askep selama 16 jam diharapkan perfusi
jaringan pasien kembali efektif dengan kriteria hasil:

1. Sianosis tidak ada


2. Tanda-tanda vital stabil
3. Menunjukan peningkatan perfusi yang sesuai

Intervensi:
1. Auskultasi frekuensi dan irama jantung. Catat adanya bunyi
jantung tambahan
R/: Takikardia merupakan akibat hipoksemia dan kompensasi
upaya peningkatan aliran darah dan perfusi jaringan. Gangguan
irama berhubungan dengan hipoksemia, ketidakseimbangan
elektrolit, dan atau peningkatan regangan jantung kanan. Bunyi
jantung ekstra, mis. S3 dan S4 terlihat sebagai peningkatan kerja
jantung/ terjadinya dekompensasi.
2. Observasi warna dan suhu kulit/membran mukosa
R/: Kulit pucat atau sianosis, kuku, membrane mukosa dingin, kulit
burik menunjukan vasokonstriksi perifer (shok) dan/atau gangguan
aliran darah sistemik
3. Kaji tanda-tanda vital
R/: mengetahui kondisi umum pasien
4. Kolaborasi dalam pemberian cairan IV sesuai indikasi
R/: Peningkatan cairan berguna untuk mendukung volume
sirkulasi/ perfusi jaringan.

g. Dx : nyeri akut b/d kerusakan ujung-ujung saraf karena luka bakar


ditandai dengan ; DS : pasien mengeluh nyeri, DO : wajah pasien
tampak menringis, skala nyeri : 7, nadi meningkat sampai 120 x/ mnt
Tujuan : setelah diberikan askep diharapkan nyeri pasien berkurang
Kriteria hasil :
1. Pasien mengatakan nyeri berkurang
2. Pasien tampak relax
3. Skala nyeri = 3
4. Nadi = 80-100 x/mnt

Intervensi :
1. Tutup luka sesegera mungkin kecuali perawatan luka bakar metode
pemajanan pada udara terbuka
R/ : suhu berubah dan gerakan udara dapat menybabkan nyeri
hebat pada pemajanan ujung saraf
2. Tinggikan ekstremitas luka bakar secara periodik

R/ : peninggian mungkin diperlukan pada awal untuk menurunkan


pembentukan edema; setelah perubahan posisi dan peninggian
menurunkan ketidaknyamanan serta risiko kontraktur sendi
3. Berikan tempat tidur ayunan sesuai indikasi
R/ : peninggian linen dari luka membantu menurunkan nyeri
4. Ubah posisi dengan sering dan rentang gerak pasif dan aktif sesuai
indikasi
R/ : gerakan dan latihan menurunkan kekakuan sendi dan kelelahan
otot tetapi tipe latihan tergantung pada lokasi dan luas cedera
5. Pertahankan suhu linhkungan nyaman, berikan lampu penghangat,
penutup tubuh hangat.
R/ : pengaturan suhu dapat hilang karena luka bakat mayor.
Sumber panas eksternal untuk mencegah menggigil
6. Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi atau karakter (skala 0-10)
R/ : nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya
keterlibatan jaringan atau kerusakan tetapi paling berat selama
penggantian balutan dan debridemen. Perubahan lokasi/ karakter/
intensitas nyeri dapat mengindikasikan terjadinya komplikasi atau
perbaikan kembalinya fungsi saraf.
7. Dorong ekpresi perasaan tentang nyeri.
R/ : pertanyaan memungkinkan pengungkapan emosi dan dapat
meningkatkan mekanisme koping.

8. Libatkan pasien dalam penentuan jadwal aktivitas, pengobatan,


pemberian obat.
R/ : meningkatkan rasa kontrol pasien dan kekuatan mekanisme
koping.
9. Berikan tindakan kenyamanan dasar contoh pijatan pada area yang
tidak sakit, perubahan posisi dengan sering.
R/ : dukungan empati dapat membantu menghilangkan nyeri atau
meningkatkan relaksasi.
10. Dorong penggunaan teknik manajemen stres, contoh relaksasi
progresif, nafas dalam, bimbingan imajinasi, dan visualisasi.
R/ : memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan relaksasi dan
meningkatkan rasa kontrol yang dapat menurunkan ketergantungan
farmakologis.
11. Berikan analgesik sesuai indikasi.
R/ : metode IV sering digunakan pada awal untuk memaksimalkan
efek otot.
4. Evaluasi
Evaluasi adalah perbandingan hasil-hasil yang diamati dengan
kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Klien keluar dari siklus
proses keperawatan apabila kriteria hasil telah dicapai. Klien akan masuk
kembali ke dalam siklus apabila kriteria hasil belum dicapai (Allen, 2001).

Evaluasi merupakan tahap proses keperawatan yang terakhir. Tahap


ini merupakan kunci keberhasilan yang dinamis dari perawatan di dalam
evaluasi mempunyai empat kemungkinan yang menentukan perawatan
selanjutnya yaitu: masalah klien post pemasangan pent yang dapat
dipecahkan atau timbul masalah baru, bila masalah sudah teratasi
separuhnya, perlu dimodifikasi rencana perawatannya, begitu pula timbul
masalah baru, dibuat rencana perawatan yang baru pula.

Evaluasi di klasifikasikan sebagai berikut:


1. Evaluasi formatif adalah evaluasi yang diberikan pada saat intervensi
dengan respons segera
2. Evaluasi sumatif merupakan rekapitulassi dari hasil observasi dan
analisis status pasien pada waktu tertentu berdasarkan tujuan yang
direncanakan pada tahap perencanaan.
Menurut Alimul, (2001) catatan perkembangan merupakan catatan
tentang perkembangan keadaan klien yang didasarkan pada setiap masalah
yang ditemui pada klien. Modifikasi rencana dan tindakan mengikuti
perubahan keadaan klien. Adapun metode yang digunakan dalam catatan
perkembangan adalah sebagai berikut :
S

: Data subjektif
Perkembangan keadaan didasarkan pada apa yang dirasakan,
dikeluhkan, dan dikemukakan klien.

: Data objektif
Perkembangan yang bisa diamati dan diukur oleh perawat atau tim
kesehatan lain.

: Analisis

Kedua jenis data tersebut, baik subjektif maupun objektif dinilai


dan dianalisis, apakah perkembangan kearah perbaikan atau
kemunduran. Hasil analisis dapat menguraikan sampai dimana
masalah yang ada dapat diatasi atau adakah perkembangan masalah
baru yang menimbulkan diagnosa keperawatan baru.
P

: Perencanaan
Rencana penanganan klien dalam hal ini didasarkan pada hasil
analisa di atas yang berisi malanjutkan rencana sebelumnya apabila
keadaan atau masalah belum teratasi dan membuat rencana baru
bila rencana awal tidak efektif.

5. Dokumentasi Keperawatan
Dokumentasi keperawatan adalah pencatatan yang lengkap dan
akurat terhadap suatu kejadian dalam proses keperawatan. Dokumentasi
dilakukan segera setelah setiap kegiatan atau tindakan dalam setiap
langkah proses keperawatan dari pengkajian sampai dengan evaluasi.
Sebagai dokumentasi yang mencatat semua pelayanan keperawatan
klien, dokumentasi tersebutdapat diartikan sebagai suatu catatan bisnis dan
hokum yang mempunyai banyak manfaat dan penggunaan. Tujuan utama
dari pendokumentasian adalah untuk:
1. Mengidentifikasi status kesehatan klien dalam rangka mencatat
kebutuhan klien, merencanakan, melaksanakan tindakan keperawatan
dan mengevaluasikan tindakan
2. Dokumentasi untuk Penulisan, keuangan, hokum dan etika. Sedangkan
manfaat dan pentingnya dokumentasi dapat dilihat dari berbagai aspek

seperti hukum, jaminan mutu pelayanan, komunikasi, keuangan,


pendidikan, Penulisan dan akreditasi (Nursalam, 2001)

Anda mungkin juga menyukai