Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Oleh:
Ferdiana Revitasari, S. Kep.
NIM 102311101030
menonjol sering menjadi tanda dan gejala yang terlihat. Sering terdapat hipertensi
dan garam ginjal yang berlebihan. Penurunan fungsi ginjal yang progresif lambat
biasa terjadi dan sekitar 50% akan menjadi ESRD pada usia 60 tahun.
Pengobatan pada pasien ADPKD bertujuan untuk mencegah komplikasi dan
memelihara fungsi ginjal. Pasien dan anggota keluarganya harus diberi edukasi
mengenai cara pewarisan dan manifestasi penyakit. Terapi ditujukan pada
pengendalian hipertensi dan pengobatan dini UTI. Pasien ADPKD memiliki
kecenderungan untuk kehilangan garam sehingga harus dicegah supaya asupan
garam memadai dan tidak terjadi dehidrasi. ESRD ditangani dengan dialisis atau
transplantasi ginjal. Nefrektomi bilaterall mungkin diperlukan sebelum transplantasi
pada pasien dengan ginjal yang sangat membesar (Price & Wilson, 2006).
3. Patofisiologi
Mekanisme patogenesis yang pasti dari penurunan progresif fungsi ginjal masih
belum jelas, akan tetapi diduga banyak faktor yang berpengaruh, yaitu diantaranya
jejas karena hiperfiltrasi, proteinuria yang menetap, hipertensi sitemik atau hipertensi
intrarenal, deposisi kalsium-fosfor, dan hiperlipidemia. Jejas karena hiperfiltrasi
diperkirakan sebagai cara yang umum dari kerusakan glomerular, tidak tergantung
dari penyebab awal kerusakkan ginjal. Nefron yang rusak akan mengakibatkan
nefron normal lainnya menjadi hipertrofi secara struktural dan secara fungsional
mempunyai keaktifan yang berlebihan, ditandai dengan peningkatan aliran darah
glomerular.
Cameron & Davison (2003); Henry (2003); Avner & Harmon (2004); Behrman,
Kliegman, dan Jenson, (2004) menyatakan secara umum terdapat tiga mekanisme
patogenesis terjadinya Chronic Kidney Disease (CKD) yaitu glomerulosklerosis,
parut tubulointerstisial, dan sklerosis vaskular.
a. Glomerulosklerosis
Proses sklerosis glomeruli yang progresif dipengaruhi oleh sel intra-glomerular
dan sel ekstra-glomerular. Kerusakan sel intra-glomerular dapat terjadi pada sel
glomerulus intrinsik (endotel, sel mesangium, sel epitel), maupun sel ekstrinsik
(trombosit, limfosit, monosit/makrofag).
1) Peran sel endotel
Sel endotel glomerular berperan penting dalam menjaga integritas jaringan
vaskular atau vascular bed termasuk glomeruli. Di dalam kapiler glomerular,
sel endotel dapat mengalami kerusakan akibat gangguan hemodinamik (shear
stress), atau gangguan metabolik dan imunologis. Kerusakan tersebut
berhubungan dengan reduksi atau kehilangan fungsi anti inflamasi dan anti
terhadap
jejas
dapat
yang
menyebabkan
metaloproteinase.
produksi
Glomerulosklerosis
ECM
mesangial
tergantung
pada
dan
inhibisi
keseimbangan
Sel limfosit T-helper dan T-cytotoxic, monosit, dan makrofag terdapat dalam
glomerulus yang rusak. Keseimbangan antara sel limfosit Th-1 yang bersifat
inflamasi dan sel Th-2 yang bersifat antiinflamasi diduga berperan penting
dalam resolusi atau bahkan progresifitas glomerulosklerosis. Deplesi sel
monosit atau makrofag memiliki efek proteksi karena sel-sel tersebut dapat
memproduksi
sitokin
dan
growth
factor
yang
mengakibatkan
glomerulosklerosis.
b. Parut tubulointerstisial
Derajat keparahan tubulointerstitial fibrosis (TIF) lebih berkorelasi dengan fungsi
ginjal dibandingkan dengan glomerulosklerosis. Proses ini termasuk inflamasi,
proliferasi fibroblas interstisial dan deposisi ECM yang berlebih. Sel tubular yang
mengalami
kerusakan
berperan
sebagai
antigen
presenting
cell
yang
Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah
glomeruli yang menyebabkan penurunan klirens substansi darah yang seharusnya
dibersihkan oleh ginjal. Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dapat dideteksi
dengan mendapatkan urine 24 jam untuk pemeriksaan klirens kreatinin.
Menurunnya filtrasi glomerulus menyebabkan klirens kreatinin akan menurun
dan kadar kreatinin serum akan meningkat serta kadar nitrogen urea darah (BUN)
biasanya meningkat. Kreatinin serum merupakan indikator yang paling sensitif
dari fungsi renal karena substansi ini diproduksi oleh tubuh. BUN tidak hanya
dipengaruhi oleh penyakit renal, tetapi juga oleh masukan protein dalam diet,
katabolisme, dan medikasi seperti steroid.
b. Retensi cairan dan natrium
Ginjal tidak mampu untuk mengkonsentrasikan atau mengencerkan urine secara
normal pada penyakit ginjal tahap akhir. Respon ginjal yang sesuai terhadap
perubahan masukan cairan dan elektrolit sehari-hari tidak terjadi. Pasien sering
menahan natrium dan cairan sehingga meningkatkan resiko terjadinya edema,
gagal jantung kongestif, dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat
aktivasi aksis renin angiotensin dan kerjasama keduanya meningkatkan sekresi
aldosteron. Pasien lain mempunyai kecenderungan untuk kehilangan garam
sehingga mencetuskan resiko hipotensi dan hipovolemia. Episode muntah dan
diare menyebabkan penipisan air dan natrium yang semakin memperburuk status
uremik.
c. Asidosis
Semakin berkembangnya penyakit renal, terjadi asidosis metabolik sehingga
ginjal tidak mampu mengekskresikan muatan asam (H +) yang berlebihan.
Penurunan ekskresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus ginjal untuk
menyekresi amonia (NH3-) dan mengabsorbsi natrium bikarbonat (HCO3-).
Penurunan ekskresi fosfat dan asam organik lain juga terjadi.
d. Anemia
Anemia terjadi sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat,
emmendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi, dan kecenderungan untuk
mengalami perdarahan akibat ststus uremik pasien terutama dari saluran
gastrointestinal. Eritropoetin adalah substansi normal yang diproduksi oleh ginjal,
menstimulasi sumsum tulang untuk menghasilkan sel darah merah. Pada gagal
ginjal, produksi eritropoetin menurun dan anemia berat terjadi disertai keletihan,
angina, dan sesak nafas.
e. Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat
Abnormalitas utama lain pada gagal ginjal kronik adalah gangguan metabolisme
kalsium dan fosfat. Kadar serum kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan
saling timbal balik, jika salah satunya meningkat maka yang lain akan turun.
Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal, terdapat peningkatan
kadar fosfat serum dan penurunan kadar kalsium serum. Penurunan kadar
kalsium serum menyebabkan sekresi parathohormon dari kelenjar paratiroid.
Pada gagal ginjal, tubuh tidak berespon secara normal terhadap peningkatan
sekresi parathohormon sehingga kalsium di tulang menurun yang menyebabkan
perubahan pada tulang dan penyakit tulang. Selain itu, metabolit aktiv vitamin D
yang secara normal dibuat di ginjal menurun seiring dengan berkembangnya
gagal ginjal.
f. Penyakit tulang uremik atau ostoeodistrofi renal
Terjadi dari perubahan kompleks kalsium,
fosfat,
dan
keseimbangan
Stadium 1
Stadium 2
GFR
Fungsi
(ml/menit/
ginjal
1,73m2)
90
60-89
90%
60-89%
Keterangan
belum mengganggu
Stadium 3
30-59
30-59% Kerusakan sedang, masih bisa dipertahankan
Stadium 4
15-29
15-29% Kerusakan berat, membahayakan
Stadium 5
15
15%
Kerusakan sangat berat, perlu dialisis
Sumber: Aziz, Witjaksono, dan Rasjidi, 2008.
Sudoyo, dkk (2009) menjelaskan cara menghitung GFR menggunakan rumus
Cockroft- Gault:
LFG (ml/menit/1,73 m2) =
(140-umur) x BB *
5. Komplikasi
a. Pada gagal ginjal progresif terjadi beban volume, ketidakseimbangan
elektrolit,asidosis metabolik, azotemia, dan uremia.
b. Pada gagal ginjal stadium akhir terjadi azotemia dan uremia berat, asidosis
metabolik memburuk yang merangsang percepatan pernafasan (Corwin, 2009).
c. Kardiovaskular, gangguan keseibangan asam basa, cairan dan elektrolit,
osteodistrofi renal, dan anemia (Aziz, Witjaksono, dan Rasjidi, 2008).
6. Pemeriksaan Khusus dan Penunjang
a. Pemeriksaan biokimia plasma untuk mengetahui fungsi ginjal dan gangguan
elektrolit, mikroskopik urin, urinalisa, tes serologi untuk mengetahui penyebab
glumerulonefritis, dan tes-tes penyaringan sebagai persiapan sebelum dialisis
(biasanya hepatitis B dan HIV).
b. USG ginjal untuk mengetahui ukuran ginjal dan penyebab gagal ginjal misalnya
adanya kista atau obstruksi pelvis ginjal, dapat pula dipakai foto polos abdomen
(Mansjoer, dkk, 2000).
c. Pemeriksaan uji klirens kreatinin urine 12 atau 24 jam dapat mengevaluasi fungsi
ginjal dan menentukan beratnya disfungsi ginjal.
d. Pemeriksaan radiografik tidak banyak bermanfaat untuk pasien gagal ginjal
kronik.
e. Sinar X KUB hanya memperlihatkan bentuk, besar, dan posisi ginjal (Baradero,
Dayrit, dan Siswadi, 2009).
f. Darah tepi lengkap, ureum, kreatinin, urine lengkap, Creatinine Clearance Test
(CCT), elektrolit, (Na, K, Cl, Ca, P, Mg), profil lipid, asam urat serum, gula
darah, Analisis Gas Darah (AGD), SI, TIBC, feritinin serum, hormon PTH,
albumin, globulin, USG ginjal, pemeriksaan imunologi, hemostasis lengkap, foto
polos abdomen, renogram, foto toraks, EKG, ekokardiografi, biopsi ginjal,
HbsAg, anti-HCV, dan anti-HIV (Aziz, Witjaksonodan Rasjidi, 2008).
g. Foto polos untuk melihat batu yang bersifat radioopak atau nefrokalsinosis.
h. Ultrasonografi merupakan pemeriksaan penunjang yang sering dilakukan karena
aman, mudah, dan cukup memberikan informasi. USG merupakan modalitas
terpilih untuk kemungkinan penyakit ginjal obstruktif. Meskipun USG kurang
sensitif dibandingkan CT untuk mendeteksi massa, tetapi USG dapat digunakan
untuk membedakan kista jinak dengan tumor solid, juga sering digunakan untuk
menentukan jenis penyakit ginjal polikistik.
i. CT Scan dapat menentukan massa ginjal atau kista yang tidak terdeteksi pada
pemeriksaan
USG
dan
merupakan
pemeriksaan
paling
sensitif
untuk
mengidentifikasi batu ginjal. CT Scan dengan kontras harus dihindari pada pasien
dengan gangguan ginjal untuk menghindari terjadinya gagal ginjal akut.
j. MRI sangat bermanfaat pada pasien yang membutuhkan pemeriksaan CT tetapi
tidak dapat menggunakan kontras. MRI dapat dipercaya untuk mendeteksi adanya
trombosis vena renalis. Magnetic resonance angiography juga bermanfaat untuk
mendiagnosis stenosis arteri renalis, meskipun arteriografi renal tetap merupakan
diagnosis standar.
k. Radionukleotida merupakan deteksi awal parut ginjal dapat dilakukan dengan
menggunakan radioisotope scanning 99m-technetium dimercaptosuccinic acid
(DMSA). Pemeriksaan ini lebih sensitif dibandingkan intravenous pyelography
(IVP) untuk mendeteksi parut ginjal dan merupakan diagnosis standar untuk
mendeteksi nefropati refluks.
l. Voiding cystourethrography dapat dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan
radionukleotida untuk mendeteksi refluks vesikoureter.
m. Retrogade atau anterogade pyelography dapat digunakan lebih baik untuk
mendiagnosis dan menghilangkan obstruksi traktus urinarius. Pemeriksaan ini
diindikasikan apabila dari anamnesis didapatkan kecurigaan gagal ginjal
meskipun USG dan CT scan tidak menunjukkan adanya hidronefrosis.
1) penghambat
ACE
atau
antagonis
reseptor
Angiotensin
II
dengan
mengevaluasi kreatinin dan kalium serum, bila kreatinin >35% atau timbul
hiperkalemi maka hentikan terapi ini;
2) penghambat kalsium;
3) diuretik.
b. pada pasien DM, gula darah dikontrol, hindari memakai methformin dan obatobatan sulfonilurea dengan masa kerja yang panjang, target HbA1C untuk DM
tipe I yaitu 0,2 di atas nilai normal tertinggi, untuk DM tipe II adalah 6%;
c. koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl;
d. kontrol hiperfosfatemi: kalsium karbonat (500-3000 mg) atau kalsium asetat atau
e.
f.
g.
h.
i.
kejang;
j. furosemid dosis besar (250-1000 mg/hari) atau diuretik loop (bumetanid, asam
etakrinat) diperlukan untuk mencegah kelebihan cairan;
k. banyak obat-obatan yang harus diturunkan dosisnya karena metabolitnya toksik
dan dikeluarkan oleh ginjal misalnya digoksin, aminoglikosid, analgesik opiat,
amfoterisin, alopurinol juga obat-obatan yang meningkatkan katabolisme dan
ureum darah misalnya tetrasiklin, kortikosteroid, sitostatik;
l. terapi ginjal pengganti.
B. Clinical Pathway
C. berbagai penyebab CKD
D.
keterbatasan kognitif
E. salah interpretasi
kurang terpajan
fungsi renal
F.
informasi
G. filtrasi glomerulus
H. mudah cemas
I.
fosfat
J.
K. kurang
pengetahuanL.
M.
N.
O.
P.
Q.
R.
S.
T.
U.
V.
W.
X.
Y.
Z.
AA.
AB.
AC.
AD.
retensi cairan
dan natrium
pengenceran
ekskresi urea
urine terganggu
produksi
eritropoetin
kalsium
uremia
edema
sekresi
menumpuk di bekuan ureum kerja trombosit
bawah kulit
anemia berat
kelebihan
bau nafas
trombositopenia
volume cairan mudah lecet, amonia
transport SDM
kering, gatal
agregasi
terganggu
resiko
nausea, resiko trombosit
kerusakan
periode
anoreksia, cedera
jumlah O2
integritas berlangsung
muntah
kulit
lama
jumlah energi
kehilangan nafsu
makan
nausea
sekresi renin
mengaktifkan angiotensinogen
<usia SDM
kelelahan, pucat
sesak nafas
angiotensin I
parathormon
angiotensin II
kalsium tulang
vasokonstriksi PD perubahan,
gangguan
TD arteri
pada tulang
beban jantung
kesulitan
bergerak,
hipertrofi vent.kiri berpindah
vol.darah dipompa
ketidakseimbangan
nutrisi: kurang dari
kebutuhan tubuh
fatigue
intoleransi
aktivitas
gangguan
edema paru mobilitas
fisik
tekanan vaskuler paru
AE.
AF.
AG.
nafas
kesulitan bernafas/sesak
masuk
rumah
sakit
tanggal
pengkajian,
sumber
mendadak
atau
penyakit
sekarang,
riwayat
kecelakaan,
riwayat
pasien
saat
ini
dan
identik
dengan
dengan
penyakit
AO.
Meliputi
keturunan
gambar
dengan
garis
keturunan
menambahkan
minimal
keterangan
garis
yang
menunjang.
AP.
AQ.
3. Pengkajian keperawatan
AR.
Pengkajian keperawatan merujuk pada data pengkajian
pasien
dalam
Doengoes,
Moorhouse,
dan
Geissler
(2000)
meliputi:
a. Aktivitas dan latihan
AS. Gejala: kelemahan ekstrem, kelemahan malaise.
AT.
Tanda: kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan
rentang gerak.
b. Tidur dan istirahat
AU. Gejala: gangguan tidur/ insomnia/gelisah/somnolen.
c. Sirkulasi
AV.
Gejala: riwayat hipertensi lama atau berat, palpitasi
(nyeri dada/angina).
AW. Tanda: hipertensi (DVJ, nadi kuat, edema jaringan umum
dan pitting pada kaki, telapak, tangan), disritmia jantung, nadi
lemah halus, hipotensi ortostatik, hipovolemia, friction rub
perikardial, pucat, kulit kehijauan atau kuning, kecenderungan
perdarahan.
d. Intergritas ego
AX. Gejala: perasaan tak berdaya, tak ada harapan, tak ada
kekuatan.
AY.
Tanda:
menolak,
ansietas,
takut,
marah,
mudah
badan
cepat
(edema),
pembesaran
hati,
kabur,
kram
ketidakmampuan
berkonsentrasi,
kehilangan
peningkatan
BR.
3. Perencanaan Keperawatan
4.
5.
Diagnosa
No
keperawatan
9. 10.
Kelebihan
1
volume
cairan
berhubungan
dengan
toleransi
mekanisme
regulator
6.
11.
12.
7.
17.
Intervensi
8.
NIC:
25.
26.
1. Memantau kondisi elektrolit
serum
2. Memantau keseimbangan
elektrolit
3. Memantau keseimbangan
elektrolit
4. Memantau keseimbangan
cairan pasien
5. Menjaga keseimbangan
elektrolit
Rasional
27.
28.
29.
1. Menjadi data dasar pasien
2. Memantau adanya perubahan
status hemodinamik
30.
3. Memantau keseimbangan
cairan pada pasien
31.
rentang cukup
2) edema kaki dalam rentang cukup
3) edema tangan dalam rentang cukup
c. Mampu mengembalikan fungsi ginjal
dengan indikator:
1) urea nitrogen dalam darah cukup
ditoleransi
2) kreatinin serum cukup ditoleransi
3) elektrolit serum cukup ditoleransi
36. 37.
2
Ketidaksei 38.
cairan
4. Monitor berat badan setiap hari
20.
5. Berikan cairan sesuai kebutuhan
pasien
21. Fluid monitoring
1. Tentukan faktor resiko dari
faktor resiko
adanya ketidakseimbangan cairan
22.
ketidakseimbangan cairan
2. Monitor albumin dan protein
2. Memantau kadar albumin
23.
dan protein
3. Monitor serum dan osmolalitas
3. Memantau osmolalitas urine
urine
34.
4. Atur kebutuhan cairan pasien
4. Mencegah adanya kelebihan
24.
cairan
5. Anjurkan untuk dialisis bila perlu
5. Dialisis membantu menjaga
43. NIC:
44.
Nutrition management
1. Kaji status nutrisi pasien
2. Identifikasi alergi makanan bagi
keseimbangan cairan
35.
51.
52.
1. Menjadi data dasar pasien
2. Mencegah pasien mengalami
pasien
3. Identifikasi jumlah kebutuhan
alergi makanan
3. Menyesuaikan kebutuhan
kalori pasien
45.
4. Instruksikan kebutuhan diet bagi
mencerna
makanan
intake
Nutritional status: nutrient intake
41.
42.
Kriteria hasil :
a. Mampu mencapai status nutrisi yang
baik dengan indikator:
1) masukan nutrisi dalam rentang
cukup
2) masukan makanan dalam rentang
cukup
3) masukan cairan dalam rentang
cukup
b. Mampu mencapai status nutrisi baik
dalam masukan makanan dan
pasien
5. Instruksikan pasien untuk
memonitor kalori dan diet
46.
adekuat
3) masukan cairan secara intravena
cukup adekuat
c. Mampu mencapai status nutrisi baik
dalam masukan nutrisi dengan
indikator:
1) masukan vitamin cukup adekuat
2) masukan mineral cukup adekuat
Nutritional counseling
pasien
53.
disuka pasien
3. Membuat pasien sadar
cairandengan indikator:
1) masukan makanan secara oral
cukup adekuat
2) masukan cairan secara oral cukup
pasien
5. Membantu memandirikan
47.
dibutuhkan
bagi pasien
Nutritional monitoring
54.
perkembangan pasien
2. Monitor turgor kulit dan
pasien
2. Memantau keadaan kulit
mobilitas
3. Monitor abnormalitas kulit
48.
49.
4. Identifikasi adanya abnormalitas
pasien
3. Dapat segera melakukan
kuku
50.
5. Monitor adanya mual dan
muntah
55.
3
56. Kurang
pengetah
uan
57.
58.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan
65.
NIC:
nafsu makan
72.
73.
1. Mengetahui batasan
pengetahuan pasien
2. Memilih jenis diet makanan
yang tepat sesuai
keterbatasan dana pasien
3. Mengantisipasi kejenuhan
yang mungkiin dialami
pasien selama diet
4. Mencegah adanya interaksi
yang tidak diinginkan selama
diet
5. Memandirikan pasien untuk
memilih sendiri makannya
74.
1. Mengetahui batasan
pengetahuan pasien
2. Mencegah kesalahan pasien
dalam interpretasi penyakit
yang dialami
c. Mampu mengerti pengobatan yang
dianjurkan dengan indikator:
1) tahu efek terapeutik dari
pengobatan
2) tahu efek samping pengobatan
3) tahu strategi untuk mendapatkan
pengobatan yang dibutuhkan
pengobatan
3. Periksa kembali pengetahuan
pengetahuan pasien
4. Mencegah kecemasan yang
78. Evaluasi
79. Doengoes, Moorhouse, dan Geissler (2000); Smeltzer & Bare
(2002) menyatakan bahwa hasil evaluasi pada pasien dengan CKD yaitu:
a. cairan berkurang atau tidak berlebih;
b. nutrisi bertambah atau terpenuhi;
c. peningkatan pengetahuan tentang kondisi dan penanganan;
d. aktivitas bisa ditoleransi;
e. harga diri tidak terganggu;
f. curah jantung adekuat;
g. tidak terjadi cedera;
h. tidak terjadi perubahan proses pikir;
i. integritas kulit terjaga;
j. mukosa oral terjaga;
k. pasien patuh.
80.
81. Discharge Planning
82. Rencana pemulangan bagi pasien dilakukan dengan memperhatikan bantuan
dalam obat, pengobatan, suplai, transportasi, pemeliharaan rumah (Doengoes,
Moorhouse, dan Geissler, 2000). Pasien dan keluarga harus tahu
masalah yang harus dilaporkan pada tenaga kesehatan yaitu
perburukan tanda gagal ginjal (mual, muntah, penurunan haluaran
urine, nafas berbau amonia), tanda hiperkalemia (kelemahan otot,
diare,
kram
abdominal).
Penyuluhan
medikasi
(tujuan,
efek
BX.
84.
85.
Aziz, M. F., Witjaksono, J., dan Rasjidi, I. 2008. Panduan Pelayanan Medik: Model
Interdisiplin Penatalaksanaan Kanker Serviks dengan Gangguan Ginjal. Jakarta: EGC.
86.
Baradero, M., Dayrit, M. W., dan Siswadi, Y. 2009. Klien Gangguan Ginjal. Jakarta:
EGC.
87.
Baughman, D. C. & Hackley, J. C. 2000. Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku dari
Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC.
88.
89.
Bulechek, G. M., dkk. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC). Sixth Edition.
United States of America: Elsevier Mosby.
90.
91.
92.
93.
Graber, M. A., Toth, P. P., dan Herting, R. L. 2006. Buku Saku Dokter Keluarga
University of Iowa. Edisi 3. Jakarta: EGC.
94. Henry, T. Y. 2003. Progression of Chronic Renal Failure. English: Arch Int Med.
95.
96.
Mansjoer, A., dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius.
97.
with
Chronic
Kidney
Disease.
[on
line].
Moorhead, S., dkk. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC). Fourth Edition.
United States of America: Mosby Elsevier.
99.
100. Rachmadi, D. 2010. Chronic Kidney Disease. Bandung: Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FK.UNPAD-RS. Dr. Hasan Sadikin. [on line].
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2013/12/Pustaka_Unpad_Chronic_Kidney_-Disease.pdf.pdf. [diakses 4
Oktober 2014].
101. Smeltzer, S. C. & Bare, B. G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
& Suddarth. Edisi 8. Jakarta: EGC.
102. Sudoyo, A. W., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FakultasKedokteran Universtas
Indonesia.