oleh
Dian Diningrum T. P., S. Kep
NIM 112311101004
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH PADA KLIEN
DENGAN TINEA CORPORIS DI POLI KULIT DAN KELAMIN
RSD dr. SOEBANDI JEMBER
Oleh : Dian Diningrum T. P., S. Kep.
1. Kasus
Tinea Corporis
2. Proses Terjadinya Masalah
A. Pengertian
Tinea corporis adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur
superfisial golongan dermatofita, menyerang daerah kulit tak berambut
pada wajah, badan, lengan dan tungkai (Siregar, 2005). Tinea korporis
adalah dermatofitosis pada kulit yang tidak berambut (glabrous skin)
kecuali telapak tangan, telapak kaki, dan lipat paha (Verma dan Heffernan,
2008). Tinea korporis adalah adalah infeksi jamur kulit diseluruh wajah,
tubuh, dan ekstremitas (Price, 2005). Dermatofitosis adalah infeksi jamur
yang
disebabkan
oleh
jamur
dermatofita
yaitu
Epidermophyton,
merupakan
kelompok
jamur
yang
memiliki
Trichophyton,
Microsporum,
dan
Epidermophyton. Variasi
Adhesi dapat terjadi jika fungi dapat melalui barier agar artrokonidia
sebagai elemen yang infeksius dapat menempel pada keratin. Organisme
ini harus dapat bertahan dari efek sinar ultraviolet, variasi suhu dan
kelembaban, kompetisi dengan flora normal, dan zat yang dihasilkan oleh
keratinosit. Asam lemak yang dihasilkan oleh kelenjar sebasea bersifat
fungistatik.
2. Penetrasi
Setelah adhesi, spora harus berkembang biak dan melakukan penetrasi
pada stratum korneum. Penetrasi didukung oleh sekresi proteinase, lipase,
dan enzim musinolitik yang juga menyediakan nutrisi untuk fungi ini.
Trauma dan maserasi juga memfasilitasi penetrasi dan merupakan faktor
yang penting juga pada patogenesis tinea. Mannan yang terdapat pada
dinding sel jamur menyebabkan penurunan proliferasi keratinosit.
Pertahanan yang baru timbul pada lapisan kulit yang lebih dalam,
termasuk kompetisi besi oleh transferin yang belum tersaturasi dan dapat
menghambat pertumbuhan jamur yang didukung oleh progesteron.
3. Perkembangan respon host
Derajat inflamasi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu status imun
penderita dan organisme itu sendiri. Deteksi imun dan kemotaksis pada sel
yang mengalami inflamasi dapat terjadi melalui beberapa mekanisme.
Beberapa jamur menghasilkan kemotaktik faktor seperti yang dihasilkan
juga oleh bakteri. Jamur juga bisa mengaktivasi komplemen melalui jalur
alternatif, yang kemudian menghasilkan faktor kemotaktik berasal dari
komplemen.
Pembentukan antibodi tidak memberikan perlindungan pada infeksi
dermatofita, seperti yang terlihat pada penderita yang mengalami infeksi
dermatofita yang luas juga menunjukkan titer antibodi yang meningkat
namun tidak berperan untuk mengeliminasi jamur ini. Akan tetapi, reaksi
hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV) berperan dalam melawan
dermatofita. Respon dari imunitas seluler diperankan oleh interferon-
yang diatur oleh sel Th1. Pada pasien yang belum pernah mendapatkan
paparan dermatofita sebelumnya, infeksi primer akan menghasilkan
inflamasi yang ringan dan tes trikopitin biasanya menunjukkan hasil yang
negatif. Infeksi akan tampak sebagai eritema dan skuama ringan, sebagai
hasil dari percepatan tumbuhnya keratinosit. Ada yang mengungkapkan
hipothesis bahwa antigen dari dermatofita lalu diproses oleh sel
Langerhans dan dipresentasikan di nodus limfatikus kepada sel limfosit T.
Sel limfosit T berproliferasi klonal dan bermigrasi ke tempat infeksi untuk
melawan jamur. Saat itu lesi kulit menunjukkan reaksi inflamasi dan barier
epidermal menjadi permeable untuk migrasi dan perindahan sel. Sebagai
akibat dari reaksi ini jamur dieliminasi dan lesi menjadi sembuh spontan.
Dalam hal ini tes trikopitin menunjukkan hasil yang positif dan
penyembuhan terhadap infeksi yang kedua kalinya menjadi lebih cepat
(Verma, 2008).
Selain reaksi hipersensitivitas tipe lambat, infeksi jamur juga dapat
menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe cepat (tipe 1) (Laksmipathy &
Kannabiran, 2010). Mekanisme imun yang terlibat di dalam patogenesis
infeksi jamur masih perlu diteliti lebih jauh lagi. Penelitian yang baru
menunjukkan
bahwa
munculnya
respon
imun
berupa
reaksi
hipersensitivitas tipe cepat (tipe I) atau tipe lambat (tipe IV) terjadi pada
individu yang berbeda. Antigen dari dermatofita menstimulasi produksi
IgE, yang berperan dalam reaksi hipersensitivitas tipe cepat, terutama pada
penderita dermatofitosis kronik. Dalam prosesnya, antigen dermatofita
melekat pada antibodi IgE pada permukaan sel mast kemudian
menyebabkan cross-linking dari IgE. Hal ini dapat menyebabkan
terpicunya degranulasi sel mast dan melepaskan histamin serta mediator
proinflamasi lainnya (Ismail, 2008).
D. Manifestasi klinis
Lokalisasi lesi tinea korporis adalah wajah, anggota gerak atas dan bawah,
dada, punggung. Gejala subjektif yaitu keluhan gatal, terutama jika
berkeringat. Karena gatal dan digaruk, lesi akan makin meluas, terutama
pada daerah kulit yang lembap. Efloresensi/sifat-sifatnya lesi adalah
berbentuk makula / plak yang merah / hiperpigmentasi dengan tepi aktif
dan penyembuhan sentral. Pada tepi lesi dijumpai papula-papula
eritematosa atau vesikel. Pada perjalanan penyakit yang kronik dapat
dijumpai likenifikasi. Gambaran lesi dapat polisiklis, anular atau geografis
(Siregar, 2005).
Tinea korporis dapat bermanifestasi sebagai gambaran tipikal,
dimulai sebagai lesi eritematosa, plak yang bersisik yang memburuk dan
membesar, selanjutnya bagian tengah dari lesi akan menjadi bentuk yang
anular akan mengalami resolusi, dan bentuk lesi menjadi anular berupa
skuama, krusta, vesikel, dan papul sering berkembang, khususnya pada
bagian tepinya. Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan.
Lesi pada umumnya merupakan bercak terpisah satu dengan yang lainnya
(Amiruddin, 2010). Pada tinea korporis yang menahun, tanda radang akut
biasanya tidak terlihat lagi. Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian
tubuh dan bersama-sama dengan kelainan pada sela paha. Dalam hal ini
disebut tinea korporis dan kruris (Budimulja, 2002).
Bentuk khas tinea korporis yang disebabkan oleh Trichophyton
concentricum disebut tinea imbrikata. Tinea imbrikata mulai dengan
bentuk papul berwarna coklat, yang perlahan-lahan menjadi besar. Stratum
korneum bagian tengah ini terlepas dari dasarnya dan melebar. Proses ini
setelah beberapa waktu mulai lagi dari bagian tengah, sehingga terbentuk
lingkaran-lingkaran skuama yang konsentris. Infeksi dermatofit secara
zoofilik atau geofilik lebih sering menyebabkan respon inflamasi daripada
yang disebabkan oleh mikroba antropofilik. Umumnya, pasien HIV-positif
atau imunokompromise bisa terlihat dengan abses yang dalam dan meluas
(Rushing, 2006).
Tinea korporis lebih sering ditemukan sebagai asimptomatik atau gatal
ringan. Secara obyektif tipikal lesinya mulai sebagai makula eritematosa
atau papul yang
berbatas tegas, skuama atau vesikel, tepi yang berkembang dan healing
center. Tinea korporis lebih sering pada permukaan tubuh yang terbuka
antara lain wajah, lengan dan bahu (Budimulja, 2002).
E. Pemeriksaan Penunjang
Gejala klinis dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan mikologik untuk membantu menegakkan diagnosis terdiri atas
pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pada pemeriksaan
mikologik untuk mendapatkan jamur diperlukan bahan klinis yang berupa
kerokan kulit. Bahan untuk pemeriksaan mikologik diambil dan dikumpulkan
kemudian ditambah 1-2 tetes larutan KOH lalu diperiksa langsung dengan
mikroskop. Pemeriksaan kerokan kulit dengan ditambahkan KOH akan
dijumpai adanya hifa (Budimulja, 2002).
Diagnosis ditetapkan berdasarkan gambaran klinis dan lokalisasinya atau
pemeriksaan sediaan langsung kerokan lesi dengan larutan KOH 20%, untuk
pemeriksaan
dengan
menggunakan
mikroskop
untuk
faktor
predisposisi
penting,
misalnya
mengusahakan daerah lesi selalu kering dan memakai baju yang menyerap
keringat.
1. Terapi topikal
Terapi direkomendasikan untuk infeksi lokal karena dermatofit
biasanya hidup pada jaringan. Berbagai macam preparat imidazol dan
alilamin tersedia dalam berbagai formulasi. Dan semuanya memberikan
keberhasilan terapi (70-100%). Terapi topikal digunakan 1-2 kali sehari
selama 2 minggu tergantung agen yang digunakan. Topikal azol dan
allilamin menunjukkan angka perbaikan klinik yang tinggi.
Berikut obat yang sering digunakan:
a.
b.
turut.
c.
d.
B. Terapi sistemik
Pedoman
yang
dikeluarkan
oleh
American
Academy
of
5. Amfosterin B
Merupakan anti jamur golongan polyen yang diproduksi oleh
Streptomyces nodosus. Bersifat fungistatik, pada konsentrasi rendah
akan menghambat pertumbuhan jamur, protozoa dan alga. Digunakan
sebagai obat pilihan pada pasien dengan infeksi jamur yang
membahayakan jiwa dan tidak sembuh dengan preparat azol
(Kuswadji, 2004).
G. Prognosis dan Pencegahan
Prediktor-prediktor yang mempengaruhi prognosis diantaraya faktor : usia,
sistem kekebalan tubuh, dan perilaku keseharian penderita. Tinea korporis
merupakan salah satu penyakit kulit yang menular dan bisa mengenai anggota
keluarga lain yang tinggal satu rumah dengan penderita. Anak-anak dan remaja
muda paling rentan ditularkan tinea korporis. Disarankan untuk lebih teliti dalam
memilih bahan pakaian yang tidak terlalu ketat, tidak berbahan panas dan bahan
pakaian yang tidak menyerap keringat. Penularan juga dipermudah melalui
binatang yang dipelihara dalam rumah penderita tinea korporis. (Budimulja,
2008).
Perkembangan penyakit tinea korporis dipengaruhi oleh bentuk klinik dan
penyebab penyakitnya,
3. Clinical Pathways
Menggunakan pakaian yang terlalu
ketat dan tidak menyerap keringat
Kurangnya pengetahuan
tentang penyakit
Kurangnya pengetahuan
Reaksi antigen antibodi
Pengeluaran kreatinase
Merusak keratin pada
lapisan statum korneum
Menimbulkan
squam/ruam pada kulit
Reaksi inflamasi
Perubahan
pola tidur
Pengeluaran mediator
kimia
Kerusakan jaringan
Kelembaban kulit
menurunan
Kulit mengering
Perubahan warna kulit
Gangguan citra
diri
Sensasi gatal
Adanya garukan
Lesi kulit
Rusaknya barier
pertahanan tubuh
primer
Resiko infeksi
Kerusakan
integritas kulit
Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1. Identitas Pasien
2. Keluhan Utama.
Biasanya pasien mengeluh gatal, ruam merah pada tubuh.
3. Riwayat Kesehatan.
a. Riwayat penyakit sekarang
Tanyakan sejak kapan pasien merasakan keluhan seperti yang ada
pada keluhan utama dan tindakan apa saja yang dilakukan pasien
untuk menanggulanginya.
b. Riwayat penyakit dahulu
Apakah pasien dulu pernah menderita penyakit seperti ini atau
penyakit kulit lainnya.
c. Riwayat penyakit keluarga
Apakah ada keluarga yang pernah menderita penyakit seperti ini
atau penyakit kulit lainnya.
d. Riwayat psikososial
Apakah pasien merasakan kecemasan yang berlebihan. Apakah
sedang mengalami stress yang berkepanjangan.
e. Riwayat pemakaian obat
Apakah pasien pernah menggunakan obat-obatan yang dipakai
pada kulit, atau pernahkah pasien tidak tahan (alergi) terhadap
sesuatu obat
4. Pola Fungsional Gordon
a. Pola Persepsi dan Penanganan Kesehatan
Persepsi terhadap penyakit :
Tanyakan kepada klien pendapatnya mengenai kesehatan dan
penyakit. Apakah pasien langsung mencari pengobatan atau
menunggu sampai penyakit tersebut mengganggu aktivitas pasien.
Penggunaan :
Tanyakan tentang penggunaan obat-obat tertentu (misalnya
dan
karakteristiknya
Berapa kali miksi dalam sehari, karakteristik urin dan defekasi
Adakah masalah dalam proses miksi dan defekasi, adakah
penggunaan alat bantu untuk miksi dan defekasi.
d. Pola Aktivitas/Olahraga
Perubahan aktivitas biasanya/hobi sehubungan dengan gangguan
pada kulit.
Kekuatan Otot: Biasanya klien tidak ada masalah dengan kekuatan
ototnya karena yang terganggu adalah kulitnya
Keluhan Beraktivitas : kaji keluhan klien saat beraktivitas.
e. Pola Istirahat/Tidur
Kebiasaan : tanyakan lama, kebiasaan dan kualitas tidur pasien
Masalah Pola Tidur : Tanyakan apakah terjadi masalah
istirahat/tidur yang berhubungan dengan gangguan pada kulit
Bagaimana perasaan klien setelah bangun tidur? Apakah merasa
segar atau tidak? Biasanya pasien mengalami gangguan tidur akibat
gatal-gatal.
f. Pola Kognitif/Persepsi
Kaji status mental klien
Kaji kemampuan berkomunikasi dan kemampuan klien dalam
memahami sesuatu
Kaji tingkat anxietas klien berdasarkan ekspresi wajah, nada bicara
klien. Identifikasi penyebab kecemasan klien
Kaji penglihatan dan pendengaran klien.
Kaji apakah klien mengalami vertigo
Kaji nyeri : Gejalanya yaitu timbul gatal-gatal atau bercak merah
pada kulit.
g. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Tanyakan pada klien bagaimana klien menggambarkan dirinya
sendiri, apakah kejadian yang menimpa klien mengubah gambaran
dirinya, apakah merasa malu karena penyakitnya,
Tanyakan apa yang menjadi pikiran bagi klien, apakah merasa
cemas akan penyakitnya, depresi atau takut.
Apakah ada hal yang menjadi pikirannya
h. Pola Peran Hubungan
Tanyakan apa pekerjaan pasien
Tanyakan tentang system pendukung dalam kehidupan klien
seperti: pasangan, teman, dll.
Tanyakan apakah ada masalah keluarga berkenaan dengan
perawatan penyakit klien
i. Pola Seksualitas/Reproduksi
Tanyakan masalah seksual klien yang berhubungan dengan
penyakitnya
Tanyakan kapan klien mulai menopause dan masalah kesehatan
terkait dengan menopause
Tanyakan apakah klien mengalami kesulitan/perubahan dalam
pemenuhan kebutuhan seks
c. Intervensi Keperawatan
NO
DIAGNOSA
1.
Kerusakan
integritas kulit yang
berhubungan
dengan perubahan
fungsi barier kulit
INTERVENSI
(NIC)
Pengawasan Kulit
a. Inspeksi kondisi luka
b. Inspeksi kulit dan membran
mukosa untuk kemerahan, panas
c. Monitor adanya infeksi
d. Monitor warna kulit
e. Monitor temperatur kulit
f. Catat perubahan kulit dan
membran mukosa
g. Monitor kulit di area kemerahan
h. Anjurkan untuk makan teratur
i. Anjurkan untuk sering berganti
pakaian jika sering berkeringat
j. Anjurkan menggunakan pakaian
yang longgar
Manajemen Nyeri
Definisi : mengurangi nyeri dan
menurunkan tingkat nyeri yang
RASIONAL
dirasakan pasien.
Intervensi :
a. lakukan pengkajian nyeri secara
komprehensif
termasuk lokasi, karakteristik,
durasi, frekuensi,
kualitas dan faktor presipitasi
b. observasi reaksi non verbal dari
ketidaknyamanan
c. gunakan teknik komunikasi
terapeutik untuk mengetahui
pengalaman nyeri pasien
d. evaluasi pengalaman nyeri masa
lampau, tentang ketidakefektifan
kontrol nyeri masa lampau
e. bantu pasien dan keluarga untuk
mencari dan
menemukan dukungan
f. kontrol lingkungan yang dapat
mempengaruhi
nyeri seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan
kebisingan
g. pilih dan lakukan penanganan
nyeri
(farmakologi, non farmakologi
dan inter personal)
riwayat
e. mengurangi
kecemasan
pasien dan keluarga akan
kondisi pasien
f. meningkatkan
relaksasi
pasien
g. penanganan
yang
tepat
mempercepat penyembuhan
pasien
Perubahan pola
tidur yang
berhubungan
dengan pruritus
Perubahan citra
tubuh yang
berhubungan
dengan penampakan
dari
b. pasien mengetahui
petingnya tidur untuk
pemulihan kesehatannya
c. Fasilitasi untuk mempertahankan
c. pasien akan mudah tidur
aktivitas sebelum tidur (membaca)
setelah melakukan
aktivitas
d. Ciptakan lingkungan yang nyaman d. lingkungan yang nyaman
dapat mengurangi beban
pikiran pasien dan cepat
tidur
e. Kolaburasi pemberian obat tidur
e. untuk merangsang pasien
agar cepat merasa ngantuk
a. Kaji adanya gangguan citra diri
a. Episode
traumatic
(menghindari kontak mata, ucapan
mengakibatkan
perubahan
merendahkan diri sendiri
tiba-tiba.
b. Berikan kesempatan pengungkapan b. Mengetahui konsep diri
b.
c.
d.
5
Kurang
pengetahuan
tentang proses
penyakit, perawatan
kulit dan cara-cara
menangani kelainan
kulit
perasaan.
c. Nilai rasa keprihatinan dan
ketakutan klien, bantu klien yang
cemas mengembangkan
kemampuan untuk menilai diri dan
mengenali masalahnya.
d. Dukung upaya klien untuk
memperbaiki citra diri, seperti
merias, merapikan
TEACHING: PENGETAHUAN
PROSES PENYAKIT
Definisi : membantu pasien
memahami informasi yang
berhubungan dengan penyakit yang
spesifik
Intervensi
a. Berikan penilaian tentang tingkat
pengetahuan pasien tentang proses
penyakit yang spesifik
b. Jelaskan patofisiologi dari
penyakit dan bagaiman hal ini
berhubungan dengan anatomi dan
fisiologi
c. Gambarkan tanda dan gejala
yang biasa muncul pada penyakit
a. Mempermudah
dalam
memberikan penjelasan pada
pasien
b. Meningkatan pengetahuan
dan mengurangi cemas
c. Meningkatan pengetahuan
dan mengurangi cemas
d. Meningkatan pengetahuan
dan mengurangi cemas
g. Mendeskripsikan perjalanan
penyakit
h. Mendeskripsikan tindakan
untuk menurunkan
progresifitas penyakit
i. Mendeskripsikan komplikasi
j. Mendeskripsikan tanda dan
gejala dari
komplikasi
k. Mendeskripsikan tindakan
pencegahan untuk komplikasi
Resiko infeksi
berhubungan
dengan lesi, bercakbercak merah pada
kulit
e. Mempermudah intervensi
f. Menjelaskan kondisi pasien
agar pasien dan keluarga
mengerti
g. Memberikan
gambaran
pencegahan keparahan
KONTROL INFEKSI
Definisi: meminimalkan
mendapatkan infeksi dan
transmisi agen infeksi
Intervensi :
a. Gunakan sabun anti mikroba untuk
cuci tangan
b. Cuci tangan sebelum dan
sesudah tindakan keperawatan
c. Gunakan universal precaution
dan gunakan sarung tangan
e. integritas mukosa
f. tidak didapatkan fatigue
kronis
g. reaksi skintes sesuai paparan
h. WBC absolut dalam batas
normal
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama .....x 24 jam
psien mengetahui cara cara
mengontrol infeksi dengan
indikator:
a. Mendeskripsikan proses
penularan penyakit
b. Mendeskripsikan faktor yang
mempengaruhi terhadap
proses penularan penyakit
c. Mendeskripsikan tindakan
yang
Dapat dilakukan untuk
pencegahan proses penularan
penyakit
d. Mendeskripsikan tanda dan
gejala infeksi
e. Mendeskripsikan
penatalaksanaan yang tepat
untuk infeksi
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin, M. D. 2003. Ilmu Penyakit Kulit. Makassar: Percetakan LKiS.
Budimulja U. 2002. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Jakarta: Balai penerbit
FKUI.
Budimulja, U., dkk. 2008. Penyakit Jamur. Jakarta: Balai penerbit FKUI.
Duarsa, Wirya (dkk). 2010. Pedoman Diagnosi dan Terapi Penyakit Kulit dan
Kelamin. Denpasar: Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Hay, R. J. 2004. Rooks textbook of dermatology. Edisi ke-7. Oxford:
Blackwell Publishing.
Ismail. 2008. Clinical and Basic Immunodermatology. London: Spinger.
Johnson, M., et all. 2002. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second
Edition. New Jersey: Upper Saddle River
Kuswadji. 2004. . Obat Anti Jamur. Balai penerbit FKUI.
Laksmipathy & Kannabiran. 2010. Review on dermatomycosis: pathogenesis
and treatment. Journal of Natural Science. 2010; 7; 726 31.
Mc Closkey, C.J., et all. 2002. Nursing Interventions Classification (NIC)
Second Edition. New Jersey: Upper Saddle River
NANDA. 2012. Diagnosis Keperawatan NANDA : Definisi dan Klasifikasi.
Price, A. Sylvia. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit
edisi 4. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Rushing ME. 2006. Tinea corporis. Online journal. [4 Oktober 2015] diambil
dari:
http://www.emedicine.com/asp/tinea
corporis/article/page
type=Article.htm
Siregar, R. S. 2002. Penyakit Jamur Kulit. Jakarta: EGC.
Siregar, R. S. 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC.
Verma S. & Heffernan, M. P. 2008. Fungal Disease. New York: Mc.Graw Hill
Companies.