Jovian Adinata
102012242
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jln. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510
jovianadinata@yahoo.co.id
Abstract
Circulation in the body can occur through two kinds of blood vessels. They are veins
that carry impure blood and the arteries that deliver blood to function in bodys tissue
throughout the body. Arteries and veins, often cause fatal impact to the body and even death
case in the event of a problem that causes impeded blood flow. Thrombosis that occurs in the
veins is one of the most common problems. The cause of thrombosis is multifactorial, so the
handling is also varied.
Key word: vein, impeded blood flow, trombosis.
Abstrak
Sirkulasi dalam tubuh dapat terjadi melalui 2 macam pembuluh darah yaitu pembuluh
darah vena yang membawa darah kotor serta pembuluh darah arteri yang berfungsi dalam
menyalurkan darah bersih ke seluruh tubuh. Pembuluh darah arteri maupun vena sering kali
memberikan dampak fatal bagi tubuh bahkan kematian apabila terjadi suatu masalah yang
menyebabkan aliran darah terhambat. Trombosis yang terjadi pada pembuluh vena
merupakan salah satu masalah yang paling sering terjadi. Penyebab trombosis ini
multifaktorial, sehingga penanganannya juga bervariasi.
Kata kunci: pembuluh darah vena, hambatan aliran darah, trombosis.
Pendahuluan
Pembuluh darah vena merupakan pembuluh darah yang berfungsi membawa darah
kotor dengan konsentrasi tinggi CO2 dari jaringan di seluruh tubuh kembali ke jantung dan
paru-paru untuk proses pengambilan oksigen dengan melalui atrium kanan kemudian menuju
atrium kiri dan melalui pembuluh darah arteri pulmonal masuk ke paru-paru untuk proses
oksigenasi, setelah itu melalui pembuluh darah vena pulmonalis darah dengan konsentrasi
tinggi O2 dialirkan ke atrium kiri dan ventrikel kiri dan pada akhirnya dipompa ke seluruh
tubuh melalui aorta dan cabang-cabangnya.
Pembuluh darah vena ada 3 macam yakni pembuluh darah vena besar, sedang hingga
kecil. Setiap pembuluh darah vena terdapat 3 lapisan dinding. Lapisan terdalam keluar
beturut-turut, lapisan tunika intima, lapisan tunika media dan tunika adventisia. Setiap vena
umumnya berjalan berdampingan dengan arteri, pembuluh darah vena mempunyai keunikan
sendiri dibandingkan pembuluh darah arteri. Pada pembuluh vena dindingnya cenderung
lebih tipis dan lunak dibandingkan arteri, dan pada lapisan tunika intima pembuluh vena
terdapat suatu katup yang diperkuat oleh jaringan ikat yang berfungsi sebagai alat yang
mencegah baliknya aliran darah, terutama pada vena tungkai. Dengan demikian terjadilah
aliran darah yang one way direction. 1
Pembuluh darah vena pada bagian tungkai bawah sering kali mengalami masalah. hal
ini tidak mengherankan, menggingat beratnya tugas pembuluh vena dalam mempompa balik
aliran darah dari tungkai ke jantung yang bersifat melawan gaya gravitasi bumi. Pembuluh
darah vena pada tungkai dibagi menjadi 2 berdasarkan letaknya di dalam tubuh, yakni
pembuluh vena superfisial dan pembuluh darah vena profunda.
Vena superfisialis ekstermitas bawah terdiri dari vena saphena magna dan vena
saphena parva. Keduanya memiliki arti klinis yang sangat penting karena memiliki
predisposisi terjadinya varises yang membutuhkan pembedahan. Kedua vena ini juga
merupakan pembuluh yang dipakai dalam pembedahan arteri koroner.
Vena saphena magna keluar dari ujung medial jaringan vena dorsalis pedis. Vena ini
berjalan disebelah anterior maleolus medialis , sepanjang aspek antero medial betis(bersama
dengan nervus saphenus). Pindah ke posterior selebar tangan di belakang patela pada lutut
dan kemudian berjalan ke depan dan menaiki bagian antero medial paha. Pembuluh ini
menembus facia krobiformis dan mengalir ke vena femoralis pada hiatus saphenus. Bagian
terminal vena saphena magna biasanya mendapat percabangan superfisialis dari genitalia
eksterna dan dinding bawah abdomen. Dalam pembedahan hal ini bisa membantu
membedakan vena saphena dari vena femoralis karena satu-satunya vena yang mengalir vena
femoralis adalah vena saphena. Cabang-cabang femoralis antero medial dan postero
lateral(lateral aksesorius), dari aspek medial dan lateral paha, kadang kadang juga mengalir
ke vena saphena magna di bawah hiatus saphenus. 2
Vena saphena magna berhubungan dengan sistem vena profunda di beberapa tempat
melalui vena perforantes. Hubungan ini biasanya terjadi di atas dan di bawah maleolus
medialis, di area gaiter, di regio pertengahan betis, di bawah lutut, dan satu hubungan panjang
pada paha bawah. Katup-katup pada perforator mengarah kedalam sehingga darah mengalir
dari sistem superfisialis ke sistem profunda dari mana kemudian darah dipompa ke atas
dibantu oleh kontraksi otot betis. Akibatnya sistem profunda memiliki tekanan yang lebih
tinggi dari pada superfisialis, sehingga bila katup perforator mengalami kerusakan, tekanan
yang meningkat diteruskan ke sistem superfisialis sehingga terjadi varises pada sistem ini.
Vena saphena parva keluar dari ujung lateral jaringan vena dorsalis pedis. Vena ini
melewati bagian belakang maleolus lateralis dan di atas bagian belakang betis kemudian
menembus facia profunda pada berbagai posisi untuk mengalir ke vena poplitea.
Vena profunda ekstermitas bawah terdiri dari vena comitans dari arteri tibialis anterior
dan posterior yang melanjutkan sebagai vena poplitea dan vena femoralis. Vena profunda ini
membentuk jaringan luas dalam kompartemen posterior betis(plexus soleal, dimana darah
dibantu mengalir ke atas melawan gaya gravitasi oleh kontraksi otot saat berolahraga.
Kegagalan fungsi pompa ini dapat terjadi selama penerbangan jauh dalam keadaan kram, bisa
menyebabkan trombosis vena, Deep Vein Trombosis (DVT).2
glycoprotein (GP) Ib-IX-V yang terikat melalui faktor von Willebrand. Perlekatan platelet
terhadap endotel vaskuler akan mengaktivasi platelet dan menyebabkan sintesis dan
pelepasan (degranulasi) berbagai mediator agregasi platelet, termasuk thromboxane A2
(TxA2), adenosine diphospate (ADP) dan 5-hydroxytryptamine (5HT atau serotonin).
Mediator ini meningkatkan ekspresi glycoprotein IIb/IIIa receptor yang berikatan dengan
fibrinogen dan menyebabkan agregasi platelet. Dari penelitian yang dilakukan oleh Brill
menunjukkan bahwa faktor Von Willebrand berperan penting terhadap terjadinya adesi
platelet pada trombosis vena. Defisiensi faktor Von Willebrand akan mencegah terjadinya
trombosis.
Keadaan hiperkoagulabilitas disebabkan berkurangnya fibrinolisis dan meningkatnya
prokoagulan. Hiperkoagulabilitas biasa terjadi pada kondisi post operasi, trauma, keganasan,
kehamilan, penggunaan kontrasepsi oral dan desifiensi protein C dan S. Pemakaian
kontrasepsi hormonal (estrogen) yang lama dapat menurunkan antitrombin III dan protein S,
meningkatkan aktivasi faktor VII dan X. Juga menurunkan thrombomodulin dan menurunkan
aktivasi protein C. Keganasan seperti adenocarcinoma pada kanker paru (sindrom Trousseau)
dapat menyebabkan keadaan hiperkoagulabilitas melalui interaksi sel tumor dan produknya
dengan sel inang. Interaksi tersebut menghilangkan mekanisme protektif yang mencegah
terbentuknya trombus. Sel tumor merangsang faktor prokoagulan dengan mensekresi
tromboplastin jaringan yang merupakan kofaktor dengan faktor VIIa yang mengaktifkan
faktor X. Selain itu sel tumor juga melepaskan protease yang merangsang faktor pembekuan.
Pada keganasan terjadi peningkatan faktor V, VIII, IX, X .
Manifestasi klinik4
1. 50% dari semua pasien tidak menunjukan gejala
2. Obstruksi vena profunda dari tungkai menghasilkan edema dan pembengkakan
ekstermitas.
3. Kulit pada tungkai yang terkena dapa terasa hangat, vena superfisial dapat lebih
menonjol
4. Pembengkakan bilateral mungkin sulit untuk dideteksi
5. Nyeri tekan terjadi kemudian, terdeteksi dengan mempalpasi ringan tungkai
6. Tanda Homan nyeri pada betis setelah dorsofleksi tajam kaki, tidak spesifik untuk
trombosis vena profunda karena nyeri ini dapat didatangkan oleh setiap kondisi yang
menyakitkan pada betis
7. Pada beberapa kasus tanda embolus pulmonal merupakan indikasi pertama adanya
trombosis vena profunda
8. Trombus vena superfisial menyebabkan nyeri tekan, kemerahan dan rasa hangat pada
area yang terkena
Untuk mendiagnosis kelainan yang terjadi pada pembuluh darah vena dapat dilakukan
berbagai pemeriksaan. Di antaranya terdapat pemeriksaan yang invasif dan non-invasif.4
1. Teknik non invasif
Ultrasonografi doppler
Pletismografi
Impedans
Pencitraan dupleks.
2. Teknik invasif
Pemindaian label fibrinogen
Flebografi kontras(venografi)
Penatalaksanaan kelainan pada pembuluh darah vena bertujuan untuk menghancurkan
trombus dan mencegah kekambuhan. Adapun medika mentosa yang dapat diberikan berupa:
1. Heparin, diberikan 10-12 hari dengan infus IV intermiten atau kontinue, dosis diatur
dengan massa tromboplastin parsial(PTT)
2. Terapi trombolitik(fibrinolitik), diberikan dalam 3 hari pertama setelah oklusi akut.
Digunakan streptokinase, urokinase, dan aktivator plasminogen tipe-jaringan.
3. Pantau PTT, massa protrombin, hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit dan kadar
fibrinogen dengan teratur
4. Hentikan obat bila terjadi pendarahan dan tidak dapat dihentikan
Adapun penatalaksanaan non-medika mentosa yang dapat dilakukan berupa:4
Tindakan medis
1. Uji diagnostik ultrasonografi dapat menentukan bunyi darah yang mengalir
dalam pembuluh darah
2. Pemindaian doppler dengan ultrasonografi beta-mode dapat menentukan
kompresibilitas dari vena. Trombosis vena profunda dapat membuat vena nonkompresibel.
3. Ultrasound sekarang adalah metode standar untuk mendiagnosa deep vein
thrombosis. Teknisi ultrasound mungkin mampu untuk menentukan apakah
ada bekuan, dimana ia berlokasi di kaki, dan berapa besarnya. Ultrasound
lebih baik digunakan untuk melihat vena-vena di atas lutut dibanding pada
vena-vena di bawah lutut.
4. D-dimer adalah tes darah yang dapat digunakan sebagai tes penyaringan
(screening) untuk menentukan apakah ada bekuan darah. D-dimer adalah
kimia yang dihasilkan ketika bekuan darah dalam tubuh secara berangsurangsur larut/terurai. Tes digunakan sebagai indikator positif atau negatif. Jika
hasilnya negatif, maka tidak ada bekuan darah. Jika tes D-dimer
positif,menunjukan adanya deep vein thrombosis karena banyak situasi-situasi
akan mempunyai hasil positif yang diharapkan (contohnya, dari operasi, jatuh,
atau kehamilan). Untuk sebab itu, pengujian D-dimer harus digunakan secara
selektif.
5. Venografi, suatu metode pemeriksaan flouroskopi dan sinar-x setelah injeksi
zat kontras ke dalam vena-vena dalam yang dicurigai terdapat trombus.
Biasanya dilakukan setelah ultrasonografi doppler.6
Penyakit Deep Vein Trombosis memiliki banyak kesamaan dengan penyakit vaskular
lain. Oleh karena itu anamnesis dan pemeriksaan fisik serta penunjang yang dilakukan harus
benar-benar tepat supaya mengarah kepada diagnosis yang tepat. Berikut merupakan
penyakit-penyakit yang memiliki kesamaan dengan penyakit trombosis vena dalam.
1. Vaskulitis
Klasifikasi vaskulitis sulit dilakukan, tetapi suatu sistem yang didasarkan pada
besarnya pembuluh darah yang terkena, peran yang dilakukan neutrofil, limfosit, dan
proses granulomatosa yang terjadi, relatif sederhana. Pemicu terjadinya vaskulitis
antara lain adalah sistem imun, infeksi bakteri dan virus, serta obat-obatan. Kerusakan
akibat panas dan dingin bisa juga menyebabkan terjadinya kelainan vaskular. Secara
klinis, vaskulitis dapat timbul dalam bentuk seperti urtikaria, livedo retikularis, papula
purpurik, nodul, bulla hemoragik atau ulkus.7
Gambar 4.
Vaskulitis.
sumber:
http://de.wikipedia.org/wiki/Vaskulitis#mediaviewer/File:Vaskulitis_Wade_3.jpg
2. Periferal arterial disease
Penyakit arteri perifer atau peripheral artery disease (PAD) merupakan suatu
kondisi adanya lesi yang menyebabkan aliran darah dalam arteri yang mensuplai
darah ke ekstremitas menjadi terbatas. Arteri yang paling sering terlibat adalah
femoris dan popliteal pada ekstremitas bawah dan brakiosefalika atau subklavia pada
ekstremitas
bawah.
Stenosis
arteri
atau
sumbatan
karena
aterosklerosis,
perifer juga memiliki penyakit arteri koroner yang signifikan juga. Penderita PAD
memiliki resiko dua kali hingga lima kali lebih besar mengalami kematian akibat
kardiovaskular dibanding mereka yang tidak.
Iskemia yang terjadi secara intermiten lama-kelamaan dapat menyebabkan
perubahan struktur dan fungsi otot seperti denervasi dan drop out. Hilangnya seratserta otot dapat menyebabkan terjadinya atrofi otot dan gangguan fungsi otot karena
masalah metabolisme pada mitokondria.
Gangguan aliran darah juga menyebabkan hilangnya pulsasi. Apabila terjadi
stenosis pada arteri abdominal, subklavia dan femoral, maka dapat terdengar suara
bruit. Iskemia yang kronis selain menyebabkan otot atrofi juga membuat kulit berubah
warna menjadi pucat, sianotik, hilangnya rambut halus serta timbul ganggren dan
ulkus. Ulkus yang terjadi pada PAD sering kali disebabkan oleh trauma kecil yang
tidak kunjung sembuh akibat aliran darah yang terhambat.
11
12
13
pengecilan otot, munculnya warna kebiruan, kerontokan rambut, hingga gangren pada
jari-jari.
Pemeriksaan yang diperlukan untuk check up pada penderita PAPO antara lain
pengukuran rasio tekanan darah kaki dan tangan atau sering disebut dengan AnkleBrachial Index (ABI) dan pemeriksaan Dopler untuk mendeteksi adanya aliran darah.
USG Duplex merupakan salah satu metode noninvasif yang bisa digunakan untuk
melihat dan menilai besarnya sumbatan dan aliran darah. Pemeriksaan yang lebih
canggih lagi seperi MRI angiography, CT angiography atau intraarterial contrast
angiography biasanya dilakukan jika akan dilakukan tindakan untuk melebarkan
kembali pembuluh darah yang tersumbat tersebut.
14
S
Gambar 7. Superfisial Vein Trombosis.
sumber:
http://www.sciencephoto.com/media/258602/view
5. Limfe edema
Limfedema adalah kondisi medis yang ditandai dengan pembengkakan pada
salah satu lengan atau tungkai. Adakalanya, kedua anggota gerak dapat membengkak.
Hal ini disebabkan karena tersumbatnya sistem getah bening, bagian dari sistem
kekebalan tubuh dan sistem peredaran darah. Sistem getah bening terbentuk dari
pembuluh-pembuluh getah bening dan kelenjar-kelenjar getah bening. Cairan getah
bening yang kaya akan protein dari aliran darah berpindah ke dalam sistem getah
bening dan mengangkut bakteri-bakteri, virus-virus dan produk-produk sisa ke
kelenjar getah bening, dimana patogen-patogen ini dihancurkan oleh sel-sel kekebalan
tubuh.
Cairan getah bening yang telah disaring kemudian dikembalikan ke aliran
darah. Ketika sistem getah bening tersumbat, cairan tidak dapat bergerak secara bebas
dan tidak dapat diserap kembali ke dalam aliran darah. Hal ini menyebabkan
terjadinya akumulasi cairan getah bening dan menyebabkan pembengkakan. Terdapat
dua tipe limfedema, Limfedema Diturunkan dan Limfedema Didapat. Limfedema
diturunkan disebabkan karena cacat kongenital dari sistem getah bening, seperti
penyakit Milroy (malformasi pada kelenjar getah bening) atau penyakit Meige
(malformasi pada pembuluh getah bening). Limfedema Didapat biasanya disebabkan
oleh jejas pada sistem getah bening, seperti sewaktu operasi atau terapi radiasi.
Meskipun tidak ada penyembuhan untuk limfedema, penanganan yang tersedia untuk
15
16
Kesimpulan
Deep vein trombosis atau trombosis vena dalam merupakan penyumbatan aliran darah
vena yang dapat terjadi oleh berbagai hal. Penyebab dasar harus menjadi perhatian besar
karena menjadi pedoman dalam tindakan terapi. Deteksi dini dan diagnosis tepat
membutuhkan pengetahuan dan pemahaman yang dalam mengenai penyakit ini, karena
gejala yang ditimbulkan mempunyai banyak kesamaan dengan penyakit pembuluh darah lain.
Dengan deteksi dini dan diagnosis tepat serta tatalaksana yang cermat maka prognosis dari
pada penyakit ini akan semakin baik dan komplikasi yang ditimbulkan juga dapat dicegah.
17
Daftar Pustaka
1. Syaifuddin. 2011. Anatomi Fisiologi Kurikulum Berbasis Kompetensi untuk
Keperawatan dan Kebidanan Edisi 4. Jakarta:EGC
2. Faiz O, Muffat D. At a glance anatomi. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2008.h.9.
3. Baughman DC, Hackley JC. Keperawatan medikal bedah. Jakarta: EGC,
2009.h.184-6.
4. Baradero M, Dayrit MW, Siswadi Y. Seri asuhan keperawatan klien gangguan
kardiovaskuler. Jakarta: EGC, 2008.h.68.
5. Gleadle J. At glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Penerbit Erlangga,
2007..h.135.
6. Kee JL. Pemeriksaan laboratorium diagnostik dengan implikasi keperawatan.
Jakarta: EGC, 2008.h.359.
7. Browns RG, Burns T. Dermatology. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005.h.167.
8. Lilly L. Pathophysiology of heart disease : a collaborative project of medical
students and faculty. 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2011.
9. Maiorana A, ODriscoll G, Taylor R, Green D. Exercise and the nitric oxide
vasodilator system [Abstract]. Sports Med. 2003;33(14):1013-35.
10. Allen JD, Giordano T, Kevil CG. Nitrite and nitric oxide metabolism in peripheral
artery disease. Nitric Oxide. 2012;26(4):217-22.
11. Loffredo L, Carnevale R, Perri L, Catasca E, Augelletti T, Cangemi R, et al.
NOX2-mediated arterial dysfunction in smokers: acute effect of dark chocolate.
Heart. 2011;97(21):1776-81.
12. Loffredo L, Carnevale R, Cangemi R, Angelico F, Augelletti T, Di Santo S, et al.
NOX2 up-regulation is associated with artery dysfunction in patients with
peripheral artery disease [Abstract]. Int J Cardiol. 2013;165(1):184-92.
13. Klabunde RE. Cardiovascular Physiology Concepts. 2nd ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2011.
14. Gray HH, Dawkins KD, Morgan JM, Simpson IA. Kardiologi. Ed.4. Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2005.h.253-4.
18