BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Trauma kapitis merupakan salah satu penyebab kematian utama pada kelompok umur
produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Tidak hanya berakibat pada
tingginya angka kematian pada korban kecelakaan. Justru, yang harus menjadi perhatian
adalah banyaknya kasus kecacatan dari korban kecelakaan. Khususnya, korban kecelakaan
yang menderita trauma kapitis.
Trauma kapitis adalah proses patologis pada jaringan otak yang bersifat nondegenerative, non-congenital, dilihat dari keselamatan mekanis dari luar, yang mungkin
menyebabkan gangguan fungsi kognitif, fisik, dan psikososial yang sifatnya menetap maupun
sementara dan disertai hilangnya atau berubahnya tingkat kesadaran(Andre Kusuma, RSD dr
Soebandi Jember).
Dari definisi itu saja, kita sudah tahu bahwa trauma kapitis sangat berbahaya dan
membutuhkan penanganan segera demi keselamatan penderita. Sayangnya, kendati kasus
terus meningkat, namun masih banyak pihak yang belum sadar pentingnya kecepatan
menolong penderita.
Di samping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah
sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan
dan prognosis selanjutnya ( Mansjoer, 2000 ).
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui defenisi Trauma Kapitis
2. Untuk mengetahui etiologi Trauma Kapitis
3. Untuk mengetahui klasifikasi Trauma Kapitis
4. Untuk mengetahui patofisiologi Trauma Kapitis
5. Untuk mengetahui manifestasi klinis Trauma Kapitis
6. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik dan penunjang Trauma Kapitis
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan Trauma Kapitis
8. Untuk mengetahui komplikasi Trauma Kapitis
9. Untuk mengetahui perawatan pada paien Trauma Kapitis
1.3 Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang penulis angkat dalam makalah ini adalah:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Defenisi
Trauma Kapitis adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau
otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala
(Suriadi, 2001).
Trauma Kapitis adalah trauma yang mengenai kulit kepala, tengkorak, dan otak yang
disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tembus ( Mansjoer, 2000; Brunner & Soddarth,
2002 )
Trauma Kapitis paling sering dan penyakit neurologik yang serius di antara penyakit
neurologik, dan merupakan proporsi epidemik sebagai hasil dari kecelakaan jalan raya
( Brunner & Suddarth, 2002 ).
Trauma Kapitis merupakan adaya pukulan/benturan mendadak pada kepala dengan atau tanpa
kehilangan kesadaran. Traumatik yang terjadi pada otak yang mampu menghasilkan
perubahan pada phisik, intelektual, emosional, sosial, dan vocational(Susan Martin, 1999)
Trauma Kapitis atau cedera kepala (brain injury) adalah salah satu bentuk trauma yang dapat
mengubah kemampuan otak dalam menghasilkan keseimbangan fisik, intelektual, emosional,
sosial dan pekerjaan atau dapat dikatakan sebagai bagian dari gangguan traumatik yang dapat
menimbulkan perubahan perubahan fungsi otak (black, 2005)
Menurut konsensus perdosi (2006), cedera kepala yang sinonimnya adalah trauma kapitis
= head injury = trauma kranioserebral = traumatic brain injury merupakan trauma mekanik
terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan
fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik bersifat temporer
maupun permanen
2.2 Etiologi
a. Trauma oleh benda tajam
Menyebabkan trauma setempat dan menimbulkan trauma lokal. Kerusakan lokal meliputi
Contusio serebral, hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan
masa lesi, pergeseran otak atau hernia.
Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi - decelerasi rotasi ) yang menyebabkan
gangguan pada jaringan.
Pada cedera primer dapat terjadi :
Gegar kepala ringan
Memar otak
Laserasi
Cedera kepala sekunder
berasal dari daerah ini. Lobus parietalis juga membantu mengarahkan posisi pada ruang di
sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian depan lobus
parietalis menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang berlawanan. Kerusakan yang agak
luas bisa menyebabkan hilangnya kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan
(keadaan ini disebutapraksia) dan untuk menentukan arah kiri-kanan.
Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita dalam mengenali
bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan
bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik (misalnya bentuk kubus atau jam dinding).
Penderita bisa menjadi linglung atau mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun
melakukan pekerjaan sehari-hari lainnya.
c.
melalui patah tulang tersebut, dan menyebabkan infeksi serta kerusakan hebat pada otak.
Sebagian besar patah tulang tengkorak tidak memerlukan pembedahan, kecuali jika pecahan
tulang menekan otak atau posisinya bergeser.
biasanya disebabkan oleh pukulan langsung dan kuat ke kepala. Robekan otak adalah
robekan pada jaringan otak, yang seringkali disertai oleh luka di kepala yang nyata dan patah
tulang tengkorak. Hal ini menandakan terjadinya perdarahan pada otak yang dapat
menimbulkan pembengkakan Bakteri ringan dari cedera otak menyebar, disfungsi neurologis
bersifat sementara dapat pulih. Disorientasi dan bingung sesaat dengan gejala sakit kepala,
tak mampu konsentrasi gangguan memori sementara pusing, peka omnesia retrograde. Jika
terjadi pembengkakan pada otak, maka bisa terjadi kerusakan lebih lanjut pada jaringan otak;
pembengkakan yang sangat hebat bisa menyebabkanherniasi otak.
c.
bias segera timbul tetapi bias juga muncul beberapa jam setelah cedera dengan intensitas
nyeri tidak tetap, penurunan kesadaran ringan, diikuti periode lucid, kemudian penurunan
neurologi dari kacau mental sampai coma, bentuk dekortikasi & deserebrasi, pupil isokor
sampai anisokor. Diagnosis dini sangat penting dan biasanya tergantung kepada CT
scandarurat. Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat lubang di dalam
tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan pencarian dan
penyumbatan sumber perdarahan.
e.
Hematoma Subdural
Adalah akumulasi darah dibawah lapangan meningeal duramater diatas lapangan
arakhnoid yang menutupi otak. Penyebabnya robekan permukaan dan lebih sering pada
lansia dan alkoholik gejala sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang disfasia. Hematoma
subdural berasal dari perdarahan pada vena di sekeliling otak. Perdarahan bisa terjadi segera
setelah terjadinya cedera kepala berat atau beberapa saat kemudian setelah terjadinya cedera
kepala yang lebih ringan. Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah
besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil
pada dewasa seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural yang besar, yang
menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.
Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:
sakit kepala yang menetap
rasa mengantuk yang hilang-timbul
linglung
perubahan ingatan
kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.
Hematoma subdural dapat terjadi akut, sub akut, atau kronik, bergantung pada ukuran
pembuluh yang terkena dan jumlah perdarahan yang ada.
1. Hematoma subdural akut
Dihubungkan dengan cedera kepala mayor yang meliputi kontusio atau laserasi. Hematoma
subdural akut menimbulkan gejala neurologik yang penting dan serius dalam 24 48 jam
setelah cedera. Cedera ini sering berkaitan dengan cedera deselerasi akibat kecelakaan
kendaraan bermotor. Biasanya pasien dalam keadaan koma dan tanda klinis sama dengan
hematoma epidural. Tekanan darah meningkat, frekuensi nadi lambat dan pernapasan cepat.
2. Hematoma subdural sub akut
Menyebabkan deficit neurologik bermakna dalam waktu lebih dari 48 jam setelah cedera.
Hematoma ini disebabkan oleh perdarahan vena ke dalam ruang subdural. Riwayat klinis
khas dari penderita hematoma subdural subakut adalah adanya trauma kepala yang
menyebabkan ketidaksadaran, yang diikuti penurunan kesadaran, dan perbaikan status
neurologik secara bertahap. Namun setelah jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan
penurunan status neurologik. Tingkat kesadaran menurun bertahap, pasien tidak berespon,
peningkatan TIK, lalu terjadiherniasi unkus atau sentral. Angka kematian tinggi pada pasien
hematoma subdural akut dan sub akut, karena sering dihubungkan dengan kerusakan otak.
3. Hematoma subdural kronik
Terjadi karena cedera kepala minor, terjadi paling sering pada lansia akibat atrofi otak karena
proses penuaan. Tampaknya cedera kepala minor dapat mengakibatkan dampak yang cukup
untuk menggeser isi otak secara abnormal dengan sekuela negative. Waktu di antara cedera
dan awitan gejala mungkin lama, sehingga akibat actual mungkin terlupakan. Gejala dapat
tampak beberapa minggu setelah cedera minor. Hematoma subdural kronik menyerupai
kondisi lain dan mungkin dianggap sebagai stroke.
Tindakan terhadap hematoma subdural kronik ini daapt dilakukan melalui lubang burr ganda,
atau kraniotomi dapat dilakukan untuk lesi massa subdural yang cukup besar yagn tidak dapat
dilakukan melalui lubang burr.
a. Hematoma Intrakranial
Adalah pengumpalan darah lebih dari 25 ml dalam parenkim otak, penyebabnya
adalah fraktur depresi tulang tengkorak, cedera penetrasi peluru dan gerakan aselerasideserasi tiba-tiba tindakan bersifat kontroversial bedah atau medis, serta bias juga terjadi
karena cedera atau stroke.
Perdarahan karena cedera biasanya terbentuk di dalam pembungkus otak sebelah luar
(hematoma subdural) atau diantara pembungkus otak sebelah luar dengan tulang tengkorak
(hematoma epidural). Kedua jenis perdarahan diatas biasanya bisa terlihat pada CT
scan atau MRI. Sebagian besar perdarahan terjadi dengan cepat dan menimbulkan gejal
adalam beberapa menit. Perdarahan menahun (hematoma kronis) lebih sering terjadi pada
usia lanjut dan membesar secara perlahan serta menimbulkan gejala setelah beberapa jam
atau hari.
Hematoma yang luas akan menekan otak, menyebabkan pembengkakan dan pada
akhirnya menghancurkan jaringan otak. Hematoma yang luas juga akan menyebabkan otak
bagian atas atau batang otak mengalami herniasi. Pada perdarahan intrakranial bisa terjadi
penurunan kesadaran sampai koma, kelumpuhan pada salah satu atau kedua sisi tubuh,
gangguan pernafasan atau gangguan jantung, atau bahkan kematian. Bisa juga terjadi
kebingungan dan hilang ingatan, terutama pada usia lanjut.
b. Konkusio
Konkusio adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap, setelah
terjadinya cedera pada otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik yang nyata. Konkusio
menyebabkan kelainan fungsi otak tetapi tidak menyebabkan kerusakan struktural yang
nyata. Hal ini bahkan bisa terjadi setelah cedera kepala yang ringan, tergantung kepada
goncangan yang menimpa otak di dalam tulang tengkorak.
Konkusio bisa menyebabkan kebingungan, sakit kepala dan rasa mengantuk yang
abnormal; sebagian besar penderita mengalami penyembuhan total dalam beberapa jam atau
hari. Beberapa penderita merasakan pusing, kesulitan dalam berkonsentrasi, menjadi pelupa,
depresi, emosi atau perasaannya berkurang dan kecemasan. Gejala-gejala ini bisa
berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu, jarang lebih dari beberapa
minggu. Penderita bisa mengalami kesulitan dalam bekerja, belajar dan bersosialisasi.
Keadaan ini disebut sindroma pasca konkusio.
Sindroma pasca konkusio masih merupakan suatu teka-teki; tidak diketahui mengapa
sindroma ini biasanya terjadi setelah suatu cedera kepala yang ringan. Para ahli belum
sepakat, apakah penyebabkan adalah cedera mikroskopi atau faktor psikis. Pemberian obatobatan dan terapi psikis bisa membantu beberapa penderita sindroma ini. Yang lebih perlu
dikhawatirkan selain sindroma pasca konkusio adalah gejala-gejala yang lebih serius yang
bisa timbul dalam beberapa jam atau kadang beberapa hari setelah terjadinya cedera. Jika
sakit kepala, kebingungan dan rasa mengantuk bertambah parah, sebainya segera mencari
pertolongan medis.
Biasanya, jika terbukti tidak terdapat kerusakan yang lebih berat, maka tidak
diperlukan pengobatan. Setiap orang yang mengalami cedera kepala diberitahu mengenai
pertanda memburuknya fungsi otak. Selama gejalanya tidak semakin parah, biasanya untuk
meredakan nyeri diberikan asetaminofen. Jika cederanya tidak parah, aspirin bisa digunakan
setelah 3-4 hari pertama.
2.1 Patofisiologi
Dalam keadaan normal otak mempunyai kemampuan melakukan autoregulasi aliran
darah serebral dan menjamin aliran daerah konstan melalui pembuluh darah serebral. Faktorfaktor ini dapat mengubah kemampuan pembuluh serebral untuk berkontraksi dan berdilatasi
serta mengganggu autoregulasi diantaranya trauma otak, iskemia dan hipoxia, pada klien
dengan kerusakan autoregulasi. Aktivitas yang dapat menyebabkan peningkatan aliran darah
serebral juga dapat meningkatkan TIK. Tekanan Intra Kranial (TIK) merupakan tekanan yang
dikeluarkan oleh kombinas dari 3 komplemen intrakranial yaitu jaringan otak, CSS dan
darah.
Hipotesa monro kellie mengatakan volume intrakranial sama dengan volume otak
ditambah volume darah serebral dan CSS, dimana tiap perubahan volume dari tiap-tiap
komponan karena gangguan kranial dapat menyebabkan peningkatan TIK.
Peningkatan TIK mengarah pada timbulnya iskemia, kekakuan otak dan kemungkinan
herniasi. Peningkatan TIK berkembang pada hampir semua klien dengan lesi intra kranial
setelah mengalmi cedera kepala. Pada semua klien dengan cedera kepala bera, peningkatan
TIK yang tidak terkontrol dapat menyebabkan kematian.
Defisit Nerurologik pada cedera kepala dimulai dengan adanya trauma pada otak yang
dapat menyebkan fragmentasi jaringan dna contusio, merusakn sawar otak, diserbtai
vasodilatasi dan eksudasi jaringan sehingga timbul edema yang dapat menyebabkan
peningkatan TIK. Keadaan ini dapat menurunkan aliran daerah serebral, iskemia, hipoksia,
asidosis dan kerusakan sawar darah otak lebih lanjut dan terjadi kematian sel-sel otak dan
edema bertambah positif.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen
melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada
kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat
metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml / menit / 100 gr.
Jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output.
Trauma kepala meyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypicalmyocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi
ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel,
takikardia.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
1.
2.
3.
4.
5.
Pedoman Penatalaksanaan
1. Pada semua pasien dengan cedera kepala dan/ atau leher, lakukan foto tulang belakang
servikal (proyeksi antero-posterior, lateral, dan odontoid).
2. pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, lakukan prosedur berikut:
pasang jalur IV dengan larutan salin normal (NaCl 0.9 %) atau larutan Ringer Laktat: cairan
isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskuler daripada cairan hipotonis, dan larutan
ini tidak menambah edema serebri.
Lakukan pemeriksaan: hematokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia darah:
glukosa, ureum, dan kreatinin, masa protrombin atau masa tromboplastin parsial, skrining
toksikologi dan kadar alcohol bila perlu
3. Lakukan CT Scan dengan jendela tulang: foto roentgen kepal tidak perlu jika CT Scan
dilakukan, karena CT Scan ini lebih sensitive untuk mendeteksi fraktur. Pasien denga cedera
kepala ringan, sedang, atau berat harus dievaluasi adanya:
Hematoma epidural
Darah dalam subarakhnoid dan interventrikel
Kontusio dan perdarahan jaringan otak
Edema serebri
Obliterasi sisterna perimesenfalik
Pergeseran garis tengah
Fraktur kranium, cairan dalam sinus, dan pneumosefalus
4. Pada pasien yang koma (Skor GCS < 8) atau pasien dengan tanda-tanda herniasi, lakukan
tindakan berikut ini:
Elevasi kepala 30
Hiperventilasi: intubasi dan berikan ventilasi mandatorik intermitten
Pasang kateter Foley
Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasi (hematoma epidural yang besar, hematoma
subdural, cedera kepala terbuka, dan fraktur impresi >1 diploe)
Penatalaksanaan Khusus
1. Cedera kepala ringan
Pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan ke rumah tanpa perlu dilakukan
pemeriksaan CT Scan bila memenuhi criteria berikut:
Hasil pemeriksaan neurologist dalam batas normal
Foto servikal jelas normal
Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati pasien selama 24 jam pertama,
dengan instruksi untuk segera kembali ke bagian gawat darurat jika timbul gejala perburukan
2. Cedera kepala sedang
Pasien yang sedang menderita konkusi otak, dengan GCS 15 dan CT Scan normal, tidak perlu
dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan untuk observasi di rumah, meskipun terdapat nyeri
kepala, mual, muntah, pusing, atau amnesia. Risiko timbulnya lesi intracranial lanjut yang
bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang adalah minimal.
3. Cedera kepala berat
Setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital, keputusan segera pada pasien ini apakah
terdapat indikasi interval bedah saraf segera. Jika ada indikasi, harus segera dikonsulkan ke
bedah saraf untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala berat seyogyanya
dilakukan di unit rawat intensif. Walaupun sedikit sekali yang dapat dilakukan untuk
mengatasi kerusakan primer akibat cedera, tetapi setidaknya dapat mengurangi kerusakan
otak sekunder akibat hipoksia, hipotensi, atau peningkatan TIK. Kejang umum yang terjadi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
1.
2.
3.
4.
5.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
setelah cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan otak sekunder karena hipoksia, sehingga
terapi anti konvulsan dapat dimulai.
Tindakan terhadap penalaksanaan peningkatan TIK
Mempertahankan oksigenasi adekuat.
Pemberian manitol untuk menurunkan edema serebral.
Hiperventilasi
Penggunaan steroid
Meninggikan kepala tempat tidur
Kemungkinan intervensi bedah neuro untuk evakuasi bekuan darah.
Tindakan pendukung lain
Ventilasi
Pencegahan kejang dengan antikonvulson
Pemeliharaan cairan dan elektrolit
Keseimbangan nutrisi
Mempertahankan jalan nafas.
Rencana Pemulangan
Jelaskan tentang kondisi anak yang memerlukan perawatan dan pengobatan.
Ajarkan orang tua untuk mengenal komplikasi, termasuk menurunnya kesadaran, perubahan
gaya berjalan, demam, kejang, sering muntah, dan perubahan bicara.
Jelaskan tentang maksud dan tujuan pengobatan, efek samping, dan reaksi dari pemberian
obat.
Ajarkan orang tua untuk menghindari injuri bila kejang: penggunaan sudip lidah,
mempertahankan jalan nafas selama kejang.
Jelaskan dan ajarkan bagaimana memberikan stimulasi untuk aktivitas sehari-hari di rumah,
kebutuhan kebersihan personal, makan-minum. Aktivitas bermain, dan latihan ROM bila
anak mengalami gangguan mobilitas fisik.
Ajarkan bagaimana untuk mencegah injuri, seperti gangguan alat pengaman.
Tekankan pentingnya kontrol ulang sesuai dengan jadual.
Ajarkan pada orang tua bagaimana mengurangi peningkatan tekanan intrakranial.
2.5 Komplikasi
1. Epilepsi Pasca Trauma
Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang terjadi beberapa waktu
setelah otak mengalami cedera karena benturan di kepala. Kejang bisa saja baru terjadi
beberapa tahun kemudian setelah terjadinya cedera. Kejang terjadi pada sekitar 10%
penderita yang mengalami cedera kepala hebat tanpa adanya luka tembus di kepala dan pada
sekitar 40% penderita yang memiliki luka tembus di kepala.
Obat-obat anti-kejang (misalnya fenitoin, karbamazepin atau valproat) biasanya dapat
mengatasi kejang pasca trauma. Obat-obat tersebut sering diberikan kepada seseorang yang
mengalami cedera kepala yang serius, untuk mencegah terjadinya kejang. Pengobatan ini
seringkali berlanjut selama beberapa tahun atau sampai waktu yang tak terhingga.
2. Afasia
Afasia adalah hilangnya kemampuan untuk menggunakan bahasa karena terjadinya
cedera pada area bahasa di otak. Penderita tidak mampu memahami atau mengekspresikan
kata-kata. Bagian otak yang mengendalikan fungsi bahasa adalah lobus temporalis sebelah
kiri dan bagian lobus frontalis di sebelahnya. Kerusakan pada bagian manapun dari area
tersebut karena stroke, tumor, cedera kepala atau infeksi, akan mempengaruhi beberapa aspek
dari fungsi bahasa.
3. Apraksia
Apraksia adalah ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang memerlukan ingatan
atau serangkaian gerakan. Kelainan ini jarang terjadi dan biasanya disebabkan oleh kerusakan
pada lobus parietalis atau lobus frontalis. Pengobatan ditujukan kepada penyakit yang
mendasarinya, yang telah menyebabkan kelainan fungsi otak.
4. Agnosis
Agnosia merupakan suatu kelainan dimana penderita dapat melihat dan merasakan
sebuah benda tetapi tidak dapat menghubungkannya dengan peran atau fungsi normal dari
benda tersebut. Penderita tidak dapat mengenali wajah-wajah yang dulu dikenalnya dengan
baik atau benda-benda umum (misalnya sendok atau pensil), meskipun mereka dapat melihat
dan menggambarkan benda-benda tersebut. Penyebabnya adalah kelainan fungsi pada lobus
parietalis dan temporalis, dimana ingatan akan benda-benda penting dan fungsinya disimpan.
Agnosia seringkali terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala atau stroke. Tidak ada
pengobatan khusus, beberapa penderita mengalami perbaikan secara spontan.
5. Amnesia
Amnesia adalah hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan untuk mengingat
peristiwa yang baru saja terjadi atau peristiwa yang sudah lama berlalu. Penyebabnya masih
belum dapat sepenuhnya dimengerti. Cedera pada otak bisa menyebabkan hilangnya ingatan
akan peristiwa yang terjadi sesaat sebelum terjadinya kecelakaan (amnesi retrograd) atau
peristiwa yang terjadi segera setelah terjadinya kecelakaan (amnesia pasca trauma). Amnesia
hanya berlangsung selama beberapa menit sampai beberapa jam (tergantung kepada beratnya
cedera) dan akan menghilang dengan sendirinya. Pada cedera otak yang hebat, amnesi bisa
bersifat menetap.
Mekanisme otak untuk menerima informasi dan mengingatnya kembali dari memori
terutama terletak di dalam lobus oksipitalis, lobus parietalis dan lobus temporalis. Amnesia
menyeluruh sekejap merupakan serangan lupa akan waktu, tempat dan orang, yang terjadi
secara mendadak dan berat. Serangan bisa hanya terjadi satu kali seumur hidup, atau bisa
juga berulang. Alkoholik dan penderita kekurangan gizi lainnya bisa mengalami amnesia
yang
disebut sindroma
Wernicke-Korsakoff.
Sindroma ini terdiri dari kebingungan akut (sejenis ensefalopati) dan amnesia yang
berlangsung lama.
Amnesia Korsakoff terjadi bersamaan dengan ensefalopati Wernicke. Amnesia
Korsakoff juga bisa terjadi setelah cedera kepala yang hebat, cardiac arrest atau ensefalitis
akut.
6. Fistel Karotis-kavernosus
Ditandai oleh trias gejala: eksoftalmus, kemosis, dan bruit orbita, dapat timbul segera
atau beberapa hari setelah cedera.
Angiografi perlu dilakukan untuk konfirmasi diagnosis dan terapi dengan oklusi balon
endovaskuler untuk mencegah hilangnya penglihatan yang permanent.
7. Diabetes Insipidus
Disebabkan oleh kerusakan traumtik pada tangkai hipofisis, menyebabkan
penghentian sekresi hormone antidiuretik. Pasien mengekskresikan sejumlah besar volume
urin encer, menimbulkan hipernatremia dan deplesi volum.
8. Kejang pasca trauma
Dapat segera terjadi (dalam 24 jam pertama), dini (minggu pertama) atau lanjut
(setelah satu minggu). Kejang segera tidak merupakan predisposisi untuk kejang lanjut;
kejang dini menunjukkan risiko yang meningkat untuk kejang lanjut, dan pasien ini harus
dipertahankan dengan antikonvulsan.
9. Kebocoran cairan serebrospinal
Dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan terjadi pada 2-6 % pasien dengan cedera
kepala tertutup. Kebocoran ini berhenti spontan dengan elevasi kepala setelah beberapa hari
pada 85 % pasien. Drainase lumbal dapat mempercepat proses ini. Walaupun pasien ini
memiliki risiko meningitis yang meningkat, pemberian antibiotic profilaksis masih
controversial. Otorea atau rinorea cairan serebrospinal yang menetap atau meningitis
berulang merupakan indikasi untuk reparative.
10. Edema serebral dan herniasi
Penyebab paling umum dari peningkatan TIK, Puncak edema terjadi 72 Jam setelah
cedera. Perubahan TD, Frekuensi nadi, pernafasan tidak teratur merupakan gejala klinis
adanya peningkatan TIK. Penekanan dikranium dikompensasi oleh tertekannya venosus &
cairan otak bergeser. Peningkatan tekanan terus menerus menyebabkan aliran darah otak
menurun dan perfusi tidak adekuat, terjadi vasodilatasi dan edema otak. Lama-lama terjadi
pergeseran supratentorial dan menimbulkan herniasi. Herniasi akan mendorong hemusfer
otak kebawah / lateral dan menekan di enchephalon dan batang otak, menekan pusat
vasomotor, arteri otak posterior, saraf oculomotor, jalur saraf corticospinal, serabut
RES.Mekanisme kesadaran, TD, nadi, respirasi dan pengatur akan gagal.
11. Defisit Neurologis dan Psikologis
Tanda awal penurunan fungsi neulorogis: Perubahan TK kesadaran, Nyeri kepala
hebat, Mual / muntah proyektil (tanda dari peningkatanTIK).
Pola napas, frekuensi pernapasan, kedalaman pernapasan, irama pernapasan, tarikan dinding
dada, penggunaan otot bantu pernapasan, pernapasan cuping hidung.
Circulation
Keadaan tidak sadar menyerupai koma, respon terhadap nyeri masih ada, biasanya
inkontinensia urine, belum ada gerakan motorik sempurna.
- Koma
Keadaan tidak sadar, tidak berespon dengan rangsangan.
Kuantitas dengan GCS
1. Mata (eye)
- Selalu menutup mata dengan rangsangan nyeri
1
- Membuka mata dengan rangsangan nyeri
2
- Membuka mata dengan perintah
3
- Membuka mata spontan
4
2. Motorik (M)
- Tidak berespon dengan rangsangan nyeri
1
- Eksistensi dengan rangsangan nyeri
2
- Fleksi lengan atas dengan rangsangan nyeri
3
- Fleksi siku dengan rangsangan nyeri
4
- Dapat bereaksi dengan rangsangan nyeri
5
- Bergerak sesuai perintah
6
3. Verbal (V)
- Tidak ada suara
1
- Merintih
2
- Dapat diajak bicara tapi tidak mengerti
3
- Dapat diajak bicara tapi kacau
4
- Dapat berbicara, orientasi baik
5
Exposure
Suhu, lokasi luka.
2. Pengkajian Sekunder
a. Riwayat Kesehatan Sekarang
Tanyakan kapan cedera terjadi. Bagaimana mekanismenya. Apa penyebab nyeri/cedera:
Peluru kecepatan tinggi? Objek yang membentuk kepala ? Jatuh ? Darimana arah dan
kekuatan pukulan?
b. Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah klien pernah mengalami kecelakaan/cedera sebelumnya, atau kejang/ tidak. Apakah
ada penyakti sistemik seperti DM, penyakit jantung dan pernapasan. Apakah klien dilahirkan
secara forcep/ vakum. Apakah pernah mengalami gangguan sensorik atau gangguan
neurologis sebelumnya. Jika pernah kecelakaan bagimana penyembuhannya. Bagaimana
asupan nutrisi.
c. Riwayat Keluarga
Apakah ibu klien pernah mengalami preeklamsia/ eklamsia, penyakit sistemis seperti DM,
hipertensi, penyakti degeneratif lainnya.
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Jantung
Inspeksi
Palpalsi
Perkusi
Data
Etiologi
Masalah
DO :
GCS klien turun, gelisah
Mual, muntah.
Pupil anisokor
TD meningkat
Suhu meningkat
Akral dingin
Sianosis pada kuku
DS :
- keluarga mengatakan klien selalu gelisah
dan kadang terlihat seperti mengantuk
Keluarga
mengatakan klien selalu
memuntahkan apa yang dimakannya
Trauma
Perfusi jaringan
kerusakan sel darah serebral tidak
otak
efektif
vasodilatasi
pembuluh darah
eksudasi
edema serebral
peningkatan TIK
DS :
Kerusakan
neuro Bersihan
keluarga mengatakan klien terlihat sesak muscular
nafas
Adanya sekresi
napas
efektif
keluarga mengatakan bunyi napas klien
terdengar ngorok
DO :
Terdapat banyak sekret pada jalan nafas
Bunyi napas ngorok
Frek nafas : > 40-50 X/mnt
Suhu meningkat
Klien ditinggikan kepala dan diekstensikan
kepalanya
Nafas tidak teratur.
DO:
Disorientasi terhadap waktu, tempat dan
orang
Perubahan dalam respon terhadap ransangan
Inkoordinasi motorik, perubahan dalam
postur, ketidakmampuan untuk memberi tahu
posisi bagian tubuh
Perubahan pola komunikasi
Distorsi auditorius dan visual
Konsentrasi buruk, berpikir kacau
Defisit neurologist
Kerusakan
n.olfaktorius
kompresi
n.olfaktorius
herniasi otak
edema jar otak
kerusakan sel darah
otak
kurang aliran darah
jalan
tidak
Perubahan
persepsi sensori
DO :
-Gangguan pengecapan dan penciuman
-Penurunan bising usus
-Gangguan mencerna dan menelan akibat
fraktur
-Penurunan kesadaran
Perubahan kemampuan
untuk mencerna nutrient
(penurunan
tingkat
kesadaran), kelemahan
otot yang diperlukan
untuk mengunyah dan
menelan,
status
hipermetabolik
DS :
-Mual dan muntah
-Sulit mencerna/menelan makanan
-Letargi, gelisah, lemah
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
ke otak
Resiko
tinggi
terhadap
perubahan
nutrisi: kurang
dari kebutuhan
tubuh
Diagnosa Keperawatan
Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskular (cedera pusat pernapasan di
otak).
Pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler, obstruksi trakeabronkial
Perfusi jaringan serebral tidak efektif b.d edema serebral
Perubahan persepsi sensori b.d trauma defisit neurologis
Resti infeksi b.d trauma jaringan, kerusakan kulit, prosedur invasif.
Kerusakan mobilitas fisik b.d penurunan kekuatan tubuh, cedera ortopedi.
Resti perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d penurunan tingkat kesadaran, mual,
muntah.
NANDA
NOC
NIC
Batasan karakteristik:
Tidak adanya batuk
menguntungkan
Perubahan nilai nafas
atau nasopharing.
Memberikan terapi fisik pada
dada.
Mengeluarkan sekret dengan cara
dengan tepat.
Mengajarkan pasien bagaimana
ultrasonic.
Memberikan oksigen yang tepat.
Memeriksa keadaan pernafasan
dan oksigen.
Batasan karakteristik:
Napas dalam
Peningkatan diameter
anterior-posterior
Napas cuping hidung
Ortopneu
Takipneu
untuk bernapas
Status pernapasan:ventilasi
Terapi oksigen
Indikator:
Frekuensi napas IER*
Kenyamanan bernapas
Penggunaan otot
ada
Penarikan dada tidak ada
Pengerutan bibir pada saat
Aktivitas:
Menyediakan peralatan
ada
Dispnea dengan pengerahan
ada/hilang
Fremitus tidak ada/hilang
Suara perkusi tidak
ada/hilang
Auskultasi suara napas, IER
memastikan ketidakcampuran
dengan usaha pasien untuk
bernafas.
Memeriksa/mengontrol
kenyamanan.
Perfusi
serebraltidak
edema serebral
Faktor resiko:
Trauma kepala
Tumor otak
Gangguan jaringan otak
dokter
terlihat)
Sakit kepala
terlihat)
(yang
tak
aktivitas perawatan
monitor tekanan arteri rata-rata
monitor tekanan kardiovaskuler
monitor status respirasi
monitor factor penentu dari
BAB III
PEMBAHASAN
4.1 Pengkajian
Pada teoritis, menurut berat ringannya berdasarkan GCS (Glosgow Coma Scale), klien
termasuk dalam Cedera Kepala ringan (kelompok risiko rendah), yaitu:
- GCS 13-15 (sadar penuh, atentif, orientatif)
- Kehilangan kesadaran /amnesia tetapi kurang 30 mnt
- Tak ada fraktur tengkorak
- Tak ada contusio serebral (hematom)
- Tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang
- Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
- Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematoma kulit kepala
- Tidak adanya criteria cedera sedang-berat
Pada kasus, tanda dan gejala yang ditemukan pada klien yaitu:
- GCS klien 14
- Kehilangan kesadaran saat dibawa ke RS
- Adanya penurunan kesadaran selama <30 menit
- Klien tidak mampu mengingat kejadian kecelakaan
- Tidak ada hematom
- Klien tidak megeluh nyeri kepala dan pusing
- Tidak ada tampak tanda abrasi, laserasi, atau hematoma pada kulit kepala
Kerusakan Pada Bagian Otak
kemungkinan klien menderita kerusakan pada lobus temporalis yaitu lobus
yang mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan mengingatnya sebagai memori
jangka panjang. Lobus temporalis juga memahami suara dan gambaran, menyimpan memori
dan mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur emosional. Hal ini terlihat dari klien
yang tidak mampu mengingat kembali kejadian kecelakaan.
Selain itu, klien juga mengalami penurunan kesadaran dan mengalami disorientasi
saat dibawa ke RS. Namun tidak ada ditemukan luka, bengkak, maupun tanda-tanda cidera
pada kulit kepala klien. Kemungkinan klien adamemar / laserasi cerebral (komosio) di
otaknya. Komosio cerebral setelah cedera kepala adalah hilangnya fungsi neurologik
sementara tanpa kerusakan struktur. Umumnya meliputi sebuah periode tidak sadarkan diri
dalam beberapa detik sampai beberapa menit. Jika jaringan otak di lobus frontal terkena,
pasien dapat menunjukkan perilaku irasional yang aneh, dimana keterlibatan lobus temporal
dapat menimbulkan amnesia atau disorientasi. Komosio cerebral ini merupakan memar pada
permukaan otak yang terdiri dari area hemoragi kecil-kecil yang tersebar, gejala bersifat
neorologis fokal, dapat berlangsung 2-3 hari setelah cedera dan menimbulkan disfungsi luas
akibat dari peningkatan edema serebral. Pada scan tomografi terlihat masa dan menimbulkan
perubahan TIK dengan jelas.
Seperti yang kita ketahui, gangguan otak bisa terjadi disertai dengan adanya
penurunan kesadaran, fraktur tengkorak, atau bengkak pada kulit kepala. Akan tetapi, tidak
jarang, bisa juga terjadi tanpa kelainan fisik yang tampak dari luar. Ada tidaknya kelainan
otak ini harus dipastikan.
Adapun pemeriksaan yang paling sering dilakukan untuk memeriksa kelainan otak
adalah CT scan. Berbeda dengan foto rontgen biasa, pemeriksaan yang juga menggunakan
sinar-X ini bertujuan melihat bagian otak secara melintang. Dari hasil pemeriksaan CT scan,
bisa didapatkan informasi tentang bagaimana keadaan otak. Hasil fotonya bisa
menggambarkan apakah ada hematoma (perdarahan), udema (bengkak) otak, ataupun
kontusio (memar) otak. Khusus untuk hematoma, pada tingkat tertentu, biasanya akan
dilakukan operasi untuk mengeluarkan darah hematom yang tertimbun.
4.2 Perencanaan
Semua perencanaan keperawatan yang dituangkan pada kasus mengacu ke teoritis. Setiap
tindakan yang dilakukan berdasarkan rencana tindakan keperawatan.
Pada teoritis, diagnosa keperawatan yang dapat muncul adalah:
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskular (cedera pusat pernapasan di
otak).
3. Pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler, obstruksi trakeabronkial
4. Perfusi jaringan serebral tidak efektif b.d edema serebral
5. Perubahan persepsi sensori b.d trauma defisit neurologis
6. Resti infeksi b.d trauma jaringan, kerusakan kulit, prosedur invasif.
7. Kerusakan mobilitas fisik b.d penurunan kekuatan tubuh, cedera ortopedi.
8. Resti perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d penurunan tingkat kesadaran, mual,
muntah.
Waktu
Implementasi
19.30 WIB
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung
pada kepala.
Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri biasanya akan mempengaruhi
kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang. Daerah tertentu pada korteks serebri
biasanya bertanggungjawab atas perilaku tertentu, lokasi yang pasti dan beratnya cedera
menentukan jenis kelainan yang terjadi.
Manifestasi Klinis yang ditemukan adalah gangguan kesadaran, konfusi, perubahan
TTV, sakit kepala, vertigo, kejang, pucat, mual dan muntah, pusing kepala, terdapat
hematoma, dan lain-lain.
Berdasarkan kajian teoritis yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dapat ditegakkan
diagnosa keperawatan pada klien dengan cedera kepala, sebagai berikut:
1. Perubahan perfusi jaringan serebral b.d edema serebral
2. Perubahan persepsi sensori b.d trauma defisit neurologis
3. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskular (cedera pusat pernapasan di
otak).
4. Resti infeksi b.d trauma jaringan, kerusakan kulit, prosedur invasif.
Dianosa tersebut tidak selalu semuanya dapat ditegakkan, hal ini sesuai dengan kondisi klien
saat itu.
5.2 Saran
Penanganan pada klien dengan cedera kepala sangat ditekankan agar tidak terjadi
kerusakan otak sekunder. Dalam hal ini perawat harus bertindak dengan cepat dan tepat
sesuai dengan standar asuhan keperawatan.