Anda di halaman 1dari 31

BERCAK MERAH

Herpes zoster

Herpes zoster (nama lain: shingles atau cacar ular) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus
varicella-zoster.[1] Setelah seseorang menderita cacar air, virus varicella-zoster akan menetap
dalam kondisi dorman (tidak aktif atau laten) pada satu atau lebih ganglia (pusat saraf) posterior.
[2]
Apabila seseorang mengalami penurunan imunitas seluler maka virus tersebut dapat aktif
kembali dan menyebar melalui saraf tepi ke kulit sehingga menimbulkan penyakit herpes zoster.
[2]
Di kulit, virus akan memperbanyak diri (multiplikasi) dan membentuk bintil-bintil kecil
berwarna merah, berisi cairan, dan menggembung pada daerah sekitar kulit yang dilalui virus
tersebut.[2] Herper zoster cenderung menyerang orang lanjut usia dan penderita penyakit
imunosupresif (sistem imun lemah) seperti penderita AIDS, leukemia, lupus, dan limfoma.[1]

Etiologi
Herpes zoster ditularkan antarmanusia melalui kontak langsung, salah satunya adalah transmisi
melalui pernapasan sehingga virus tersebut dapat menjadi epidemik di antara inang yang rentan.
Resiko terjangkit herpes zoster terkait dengan pertambahan usia. Hal ini berkaitan adanya

immunosenescence, yaitu penurunan sistem imun secara bertahap sebagai bagian dari proses
penuaan. Selain itu, hal ini juga terkait dengan penurunan jumlah sel yang terkait dalam imunitas
melawan virus varicella-zoster pada usia tertentu. Penderita imunosupresi, seperti pasien
HIV/AIDS yang mengalami penurunan CD4 sel-T, akan berpeluang lebih besar menderita herpes
zoster sebagai bagian dari infeksi oportunistik.[3]

Gejala
Hari 1

Perkembangan ruam herpes zoster


Hari 2
Hari 5

Hari 6

Pada awal terinfeksi virus tersebut, pasien akan menderita rasa sakit seperti terbakar dan kulit
menjadi sensitif selama beberapa hari hingga satu minggu. Penyebab terjadinya rasa sakit yang
akut tersebut sulit dideteksi apabila ruam (bintil merah pada kulit) belum muncul. Ruam shingles
mulai muncul dari lepuhan (blister) kecil di atas dasar kulit merah dengan lepuhan lainnya terus
muncul dalam 3-5 hari. Lepuhan atau bintil merah akan timbul mengikuti saraf dari sumsum
tulang belakang dan membentuk pola seperti pita pada area kulit. Penyebaran bintil-bintil
tersebut menyerupai sinar (ray-like) yang disebut pola dermatomal. Bintil akan muncul di
seluruh atau hanya sebagian jalur saraf yang terkait. Biasanya, hanya satu saraf yang terlibat,
namun di beberapa kasus bisa jadi lebih dari satu saraf ikut terlibat. Bintil atau lepuh akan pecah
dan berair, kemudian daerah sekitarnya akan mengeras dan mulai sembuh. Gejala tersebut akan
terjadi dalam selama 3-4 minggu. Pada sebagian kecil kasus, ruam tidak muncul tetapi hanya ada
rasa sakit.[4]

Deteksi
Untuk mendeteksi penyakit herpes zoster, dapat dilakukan beberapa macam tes, yaitu;

Kultur virus

Cairan dari lepuh yang baru pecah dapat diambil dan dimasukkan ke dalam media virus untuk
segera dianalisa di laboratorium virologi. Apabila waktu pengiriman cukup lama, sampel dapat

diletakkan pada es cair. Pertumbuhan virus varicella-zoster akan memakan waktu 3-14 hari dan
uji ini memiliki tingkat sensitivitas 30-70% dengan spesifitas mencapai 100%.

Deteksi antigen

Uji antibodi fluoresens langsung lebih sensitif bila dibandingkan dengan teknik kultur sel. Sel
dari ruam atau lesi diambil dengan menggunakan scapel (semacam pisau) atau jarum kemudian
dioleskan pada kaca dan diwarnai dengan antibodi monoklonal yang terkonjugasi dengan
pewarna fluoresens. Uji ini akan mendeteksi glikoproten virus.

Uji serologi

Uji serologi yang sering digunakan untuk mendeteksi herpes zoster adalah ELISA.

PCR

PCR digunakan untuk mendeteksi DNA virus varicella-zoster di dalam cairan tubuh, contohnya
cairan serebrospina.

Pengobatan
Untuk nyerinya diberikan antibiotic, jika disertai infeksi eskunder diberikan antibiotic.
Indikasi obat antiviral adalah herpes zoster oftalmikus dan pasien dengan defisiensi imunitas
mengingat komplikasinya. Obat yang biasa digunakan adalah asiclovir dan modifikasinya,
mislanya valasiklovir, sebaiknya diberikan dalam 3 hari pertama sejak lesi muncul.
Dosis asiclovir adalah 5 x 800 mgsehari dan biasanya diberikan 7 hari, sedangkan valasiklovir
cukup 3 x 1000 mg sehari, karena konsentrasi dalam plasma lebih tinggi . jika lesi baru masih
tetap muncul maka obat tersbut masih dapat di teruskan dan dihentikan sesudah 2 hari sejak lesi
baru tidak timbul lagi.
Menurut FDA ,obat pertama yang diberikan untuk nyeri neuropatik pada neuropati perifer
diabetic dan neuralgia pasca herpetic ialah pregabalin. Dosis awalnya 2 x 75 mg sehari, setelah
3-7 hri bila responnya kurang dapat dinaikkan menjadi 2x 150 mg sehari. Dosis maksimumnya
600 mg sehari.
Obat lain yang dapat digunakan adalah anti depresan trisiklik
(nortsriptilin, dan amitriptilin) yang dapat menghilangkan rasa nyeri

Pengobatan terhadap herpes zoster terdiri dari tiga hal utama yaitu pengobatan infeksi virus akut,
pengobatan rasa sakit akut yang berkaitan dengan penyakit tersebut, dan pencegahan terhadap
neuralgia pascaherpes. Penggunaan agen antiviral dalam kurun waktu 72 jam setelah terbentuk
ruam akan mempersingkat durasi terbentuknya ruam dan meringankan rasa sakit akibat ruam
tersebut. Apabila ruam telah pecah, maka penggunaan antiviral tidak efektif lagi. Contoh
beberapa antiviral yang biasa digunakan untuk perawatan herpes zoster adalah Acyclovir,
Famciclovir, dan Valacyclovir.
Untuk meringankan rasa sakit akibat herpes zoster, sering digunakan kortikosteroid oral (contoh
prednisone). Sedangkan untuk mengatasi neuralgia pascaherpes digunakan analgesik (Topical
agents), antidepresan trisiklik, dan antikonvulsan (antikejang). Contoh analgesik yang sering
digunakan adalah krim (lotion) yang mengandung senyawa calamine, kapsaisin, dan xylocaine.
Antidepresan trisiklik dapat aktif mengurangi sakit akibat neuralgia pascaherpes karena
menghambat penyerapan kembali neurotransmiter serotonin dan norepinefrin. Contoh
antidepresan trisiklik yang digunakan untuk perawatan herpes zoster adalah Amitriptyline,
Nortriptyline, Nortriptyline, dan Nortriptyline. Untuk mengontrol sakit neuropatik, digunakan
antikonvulsan seperti Phenytoin, carbamazepine, dan gabapentin.

Pencegahan
Untuk mencegah herper zoster, salah satu cara yang dapat ditempuh adalah pemberian vaksinasi.
[7]
Vaksin berfungsi untuk meningkatkan respon spesifik limfosit sitotoksik terhadap virus
tersebut pada pasien seropositif usia lanjut.[7] Vaksin herpes zoster dapat berupa virus herpes
zoster yang telah dilemahkan atau komponen selular virus tersebut yang berperan sebagai
antigen Penggunaan virus yang telah dilemahkan telah terbukti dapat mencegah atau mengurangi
risiko terkena penyakit tersebut pada pasien yang rentan, yaitu orang lanjut usia dan penderita
imunokompeten, serta imunosupresi.

ERITEMA NODOSUM LEPROMATOUS


I. Pendahuluan
Penyakit kusta atau lepra ialah suatu penyakit infeksi granulomatous, kronik,
progesifitasnya lambat yang disebabkan oleh basil M.lepra. Dalam perjalanannya, penyakit
kusta ini dapat menyebabkan reaksi kusta yang hingga saat ini dikenal ada dua reaksi kusta
yaitu reaksi kusta tipe 1 dan reaksi kusta tipe 2.

Nama lain dari Eritema Nodosum Leprosum (ENL) adalah Reaksi tipe 2 atau
Roseolar Leprosy. Eritema nodosum leprosum ialah suatu reaksi imunologi atau reaksi
antigen antibodi yang timbul pada pasien lepra yang hanya terjadi pada penderita kusta tipe
multibasiler. Eritema nodosum leprosum juga merupakan reaksi imun kompleks atau reaksi
hipersensitivitas humoral yang menurut Gell and Coombs merupakan reaksi hipersensitivitas
tipe 3.
Reaksi ENL ini dapat timbul pada 50% pasien lepra tipe lepromatosa leprosy (LL)
dan 25% tipe borderline leprosy (BL).3 Reaksi ini sering terjadi pada 25% pada pasien tanpa
pengobatan dan 50 % pada pasien dengan pengobatan . Reaksi ini lebih berat pada orangorang eropa dan mongolia dibanding orang negro dan dan biasa ditemukan pada wanita
hamil.
II. ETIOLOGI
Hingga saat ini, penyebab pasti timbulnya ENL belum diketahui secara pasti. Faktor
pencetus yang dapat menyebabkan timbulnya ENL ialah infeksi, stress mental dan fisik,
kehamilan , vaksinasi, faktor hormonal dan nutrisi.
III.

PATOFISIOLOGI
Mekanisme imunopatologi ENL masih kurang jelas. ENL diduga merupakan
manifestasi pengendapan kompleks antigen antibodi pada pembuluh darah. Karena adanya
faktor pencetus seperti infeksi virus, stress, vaksinasi dan kehamilan menyebabkan
terjadinya infiltrasi sel T helper 2. Sel T helper 2 ini menghasilkan berbagai sitokin antara
lain IL-4 yang menginduksi sel B menjadi sel plasma yang kemudian memproduksi
antibodi. Kemudian terbentuklah ikatan antara antigen dari M leprae dengan antibodi
tersebut dijaringan, disusul dengan aktivasi komplemen.
Banyak penelitian akhir-akhir ini yang mempelajari peranan tumor nekrosis faktor
alfa (TNF-a) pada patogenesiss ENL. Penderita LL yang menunjukkan reaksi ENL setelah
terapi MDT juga menunjukkan kadar TNF-a yang tinggi. Data ini menunjukkan eratnya
hubungan antara TNF-a dengan patogenesis ENL.

Faktor nekrosis tumor ini bisa menimbulkan kerusakan langsung pada sel dan
jaringan, mengaktifkan makrofag, memacu makrofag memproduksi IL-1 dan IL-6 dan
memacu sel hepar menghasilkan protein reaktif C (PRC). Peninggian konsenterasi TNF-a
dan PRC dalam serum penderita ENL yang berkorelasi positif sekitar 95% apabila
dibandingkan dengan penderita kusta lepromatosa non reaksi.
Perubahan seluler pada lesi juga diteliti oleh peneliti lain. Pada lesi baru didapati
banyak sel limfosit CD8+ dan CD4+.7. Pada proses selanjutnya CD4+ meningkat jauh
melebihi CD8+. Pada kepustakaan lain, ada juga yang menyebutkan bahwa peningkatan
rasio CD4+ terhadap CD8+ karena adanya penurunan jumlah CD8+. Sel-sel imunokompeten
menampakkan reseptor IL-2 dan selanjutnya tampak netrofil dan natural killer cell (NK
cell). Imunopatologi ENL juga dipelajari dengan menganalisa pola mRNA sitokin
menggunakan PCR. Pola mRNA sitokin pada ENL menunjukkan peningkatan jumlah
mRNA untuk IL-4,IL-5 dan IL-10. Artinya reaksi ini menunjukkan respon Th2 yang
dominan. Dengan demikian, reaksi ENL bisa dibayangkan sebagai respon Th2 yang diikuti
pembentukan antibodi dan kompleks imun. Itulah sebabnya penimbunan kompleks imun
pada pembuluh darah dan lesi merupakan karakteristik reaksi ENL.
Pada pengobatan, banyak basil kusta yang mati dan hancur, yang berarti banyak pula
antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibody membentuk suatu kompeks imun
yang terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat diendapkan dalam berbagai
organ yang kemudian mengaktifkan sistem komplemen.
Pasien dengan lepromatous leprosi memiliki titer anigen antibodi yang tinggi
terhadap M. Leprae. Konsentrasi antigen dan presipitasi antibodi akan membentuk kompleks
imun yang kemudian mengendap dalam jaringan. Komplemen berganbung membentuk
endapan kompleks imun dan menghasilkan polimorfonuklear leukotaktik faktor.
Polimorfonuklear terakumulasi, kompleks fagosit dan menghasilkan enzim
proteolitik yang menyebabkan inflamasi dan nekrosis jaringan . Selama episode ENL
kompleks sirkulasi yang mengandung komplemen.
IV.

GAMBARAN KLINIS

Gambaran klinis pada ENL dapat berupa kelainan pada kulit berupa lesi berupa
nodul kemerahan, papul eritema dan plak. Ukuran lesi bervariasi dan biasanya kecil. Lesi
ENL biasanya panas dan terasa nyeri. Lokalisasi lesi seringkali pada sepanjang permukaan
ekstensor lengan dan tungkai, punggung, wajah tetapi dapat dimana saja.
Manifestasi ekstrakutaneus dapat berupa demam, kelemahan, neuritis, nyeri
periosteal, miositis, iridosiklitis, orkitis dan glomerulonefritis.
Pada reaksi ENL, antigen dan antibodi M. leprae membentuk kompleks imun yang
mengendap di kulit, dinding pembuluh darah, saraf dan organ lain. Pada ENL ditandai
dengan kumpulan papul yang eritematous, plak, nodulus dan bulla. Reaksi kadang
dihubungkan dengan demam, poliarthralgia, mialgia, malaise dan neuritis. Sistemik biasa
ditemukan termasuk rhinitis, epistaksis dan orkitis. Kadang, proteinuria dan terjadi
hematuria. Pada ginjal kadang berkembang ompleks imun glomerulonefritis. Jika tidak
diterapi, dapat terjadi kerusakan saraf yang serius. ENL dapat menyebabkan edema tangan
dan kaki. Mungkin juga terjadi manifestasi visceral berupa hepatospleomegali, nephrosis,
nephritis, orkitis dan pleuritis.

Gambar 1

Gambar 2

Gambar 1 dan 2 menunjukkan lesi ENL yang berupa pustul nekrosis pada tubuh bagian
atas*

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang pada ENL dapat berupa pemeriksaan laboratorium dan


pemeriksaan histopatologi.

Pada pemeriksaan laboratorium, dilakukan pemeriksaan protein dan sel darah merah dalam
urine yang dapat menunjukkan terjadinya glomerulonefritis akut. Pada pemeriksaan dengan
menggunakan mikroskop, dapat terlihat kompleks imun pada glomerulus ginjal. Pada
pemerksaan hematologi dapat ditemukan leukositosis PMN, trombositosis, peninggian LED,
anemia normositik normokrom dan peninggian kadar gammaglobulin.

Pemeriksaan histologi, ENL akan menunjukkan inflamasi akut berupa lapisan infiltrat pada
inflamasi granulomatosa yang kronik dari BL dan LL. Selain itu, akan tampak peningkatan
vaskularisasi dengan dilatasi kapiler pada dermis bagian atas dan pada dermis bagian bawah
terdapat infiltrasi lekosit polimorfonuklear yang lokalisasinya disekeliling pembuluh darah
dan menyerang dinding pembuluh darah. Terdapat pembengkakan dan edema endothelium
vena, arteriole dan arteri-artei kecil pada lasi ENL. Fragmen basil sedikit dan, terdapat
disekitar pembuluh darah. Kerusakan dinding vaskuler ini mengakibatkan ekstravasasi
eritrosit.

VI.

PENATALAKSANAAN
Terdapat empat prinsip dalam penatalaksanaan reaksi kusta:

1. Mengontrol neurtis akut dalam rangka pencegahan anastesi, paralisis dan kontraktur
2. Menghentikan kerusakan pada mata dan mencegah kebutaan
3. Mengontrol nyeri
4. Membunuh basil dan mencegah perluasan penyakit
Penatalaksanaan reaksi kusta berbeda tergantung manifestasi dan berat ringannya penyakit.
Obat-obat yang biasa digunakan bila terjadi reaksi ENL ialah
Reaksi ringan

Aspirin

Sangat murah dan efektif untuk mengontrol inflamasi dan nyeri derajat sedang. Dosis 400
600 mg 4 kali sehari dan diberikan bersama makanan.
Aspirin tidak boleh diberikan pada penderita dengan kerusakan hati berat, devisiensi vitamin
K dan hemofilia sebab dapat menimbulkan perdarahan.

Kloroquin
Efektif untuk antiinflamasi ringan. Dosisnya 100 mg kloroquin basah diberikan 3 kali sehari.
Pada waktu yang lama dapat menyebabkan efek samping berupa rash berwarna merah,
terutama fotosensitasi, pruritus, gangguan saluran cerna, gangguan penglihatan dan tinitus.
Dosisnya diturunkan perlahan-lahan apabila tanda dan gejala telah terkontrol.

Antimonial
Mempunyai efek antiinflamasi dan mungkin dapat digunakan untuk mengontrol reaksi
ringan. Obat ini sangat efektif untuk menguangi rasa sakit pada tulang dan persendian pada
reakasi tipe 2. Efek samping dapat berupa rash kemerahan pada kulit, bradikardi, hipotensi
dan perubahan pada gambaran EKG. Dosis yang dianjurkan 2 3 mL/hari IM selama 3 5
hari atau 2 3 mL im selang sehari dengan dosis tidak melebihi 30 mL.
Pada reaksi ringan ENL dapat diterapi dengan istirahat atau dengan salah satu obat diatas.
Kombinasi aspirin dan kloroquin lebih efektif daripada pemberian sendiri-sendiri.
Reaksi berat

Kortikosteroid
Kortikosteroid digunakan untuk menekan imunitas seluler, menghambat sintesis antibodi,
menghambat enzim lisosomal dan produksi sitokin, menurunkan respon kemotaksis netrofil,
menghambat sintesis prostaglandin dan mengurangi inflamasi. Kortikosteroid ini digunakan
pada ENL berat atau neuritis yang disertai dengan hilangnya fungsi saraf. Dosis Prednison
yang dibutuhkan 80 100 mg/hari diturunkan secara bertahap. Kepustakaan lain
menyatakan dosis terapi prednison ialah 0,5-1 mg/kg/hari yang diturunkan secara bertahap
dan diberikan selama 6 bulan. Efek samping dapat timbul karena penghentian pengobatan
tiba-tiba atau pemberian terus menerus terutama dengan dosis besar.

Klofazimin
Klofazimin merupakan obat anti inflamasi yang efektif digunakan pada ENL, khususnya bila
penggunaan kortikosteroid tidak dapat dihentikan, penderita ENL yang persisten dan pada
penderita yang tidak dapat diberikan thalidomide. Efek samping obat ini berupa gangguan
pencernaan dan pigmentasi kulit. Dosis pengobatan 100-300 mg/hari kemudian diturunkan
secara bertahap. Kepustakaan lain mengatakan clofazimin diberikan dengan dosis tinggi
yaitu 400 mg/hari dalam dosis terbagi selama 2 minggu kemudian 200 mg/hari selama
sebulan yang dilanjutkan dengan 100 mg/hari sampai reaksi berkurang. Pasien dengan ENL
seharusnya diberikan clofazimin 300 mg perhari tidak lebih dari 3 bulan.

Thalidomide
Thalidomide merupakan obat pilihan untuk ENL berat dan dapat digunakan pada ENL yang
kronik atau berulang, juga untuk penderita yang resisten terhadap klofazimin. Obat ini dapat
menghambat pelepasan TNF dari monosit. Dosis awal yang diberikan 4 x 100 mg kemudian
diturunkan secara bertahap 100 mg setiap minggu. Pada pria dan wanita yang sudah
menapouse diberikan 100 mg setiap malam. Sejak thalidomide diketahui dapat memberikan
efek teratogenik, maka penggunaan untuk wanita yang berpotensi hamil sangat dimonitor.
Prednison dapat dikombinasikan dengan thalidomide pada reaksi berat yang akut.

VII.

KOMPLIKASI
Selama reaksi ENL komplikasi dapat terjadi pada mata termasuk lagophtalmus, episkleritis,
uveitis, keratitis, iridosiklitis, secondary glaucoma dan kebutaan.

VIII.

PROGNOSIS
Erytema Nodosum Leprosum ringan dapat menghilang segera, tetapi ENL berat dapat
menetap selama bertahun-tahun.

CANDIDIASIS
PENGERTIAN

Candidiasis adalah infeksi oleh jamur genus Candida, terutama C.albicans. biasanya ini
merupakan infeksi superficial kulit atau selaput lendir, walaupun kadang-kadang bermanifestasi
sebagai infeksi sistemik, endokarditis, atau meningitis; beberapa bentuk dapat lebih parah pada
pasien dengan tanggap imun yang lemah dan dapat mengenai mulut, vagina, kulit, kuku, bronki,
atau paru.
Penyakit ini terdapat di seluruh dunia menyerang semua umur, baik laki-laki maupun
perempuan. Jamur penyebabnya terdapat pada orang sehat sebagai saprofit. Gambaran klinisnya
bermacam-macam sehingga tidak diketahui data-data penyebarannya dengan tepat. Berdasarkan
penelitian dari Pusat Penelitian Penyakit Menular, Departemen Kesehatan RI menemukan, dari
168 pasien fluor albus yang dating berobat ke Puskesmas Cempaka Putih Barat I, Jakarta tahun
1988/1989 adalah candidiasis sebesar 52,8%. Penelitian itu juga melaporkan bahwa dari 18 ibu
hamil dan 25 ibu tidak hamil dan tidak ber-KB yang mengalami fluor albus, sebagian besarnya
terinfeksi candidiasis yaitu 66,7% dan 48%.
ETIOLOGI
Yang tersering sebagai penyebab adalah Candida albicans. Spesies patogenik yang
lainnya adalah C. tropicalis C. parapsilosis, C. guilliermondii C. krusei, C. pseudotropicalis, C.
lusitaneae.
Genus Candida adalah grup heterogen yang terdiri dari 200 spesies jamur. Sebagian besar
dari spesies candida tersebut patogen oportunistik pada manusia, walaupun mayoritas dari
spesies tersebut tidak menginfeksi manusia. C. albicans adalah jamur dimorfik yang
memungkinkan untuk terjadinya 70-80% dari semua infeksi candida, sehingga merupakan
penyebab tersering dari candidiasis superfisial dan sistemik.
KLASIFIKASI
Berdasarkan tempat yang terkena, kandidiasis dibagi sebagai berikut :
1. Kandida lokal / setempat

Kandidosis kutaneus/kutis :
a. Lokalisata : daerah intertriginosa & daerah perianal
b. Generalisata
c. Paronikia dan onikomikosis

d. Kandidiasis kutis granulomatosa.

Kandidosis mukokutaneus / selaput lendir:


a. Kandidosis oral (thrush)
b. Perleche
c. Vulvovaginitis
d. Balanitis atau balanopostitis
e. Kandidosis mukokutan kronik
f. Kandidosis bronkopulmonar dan paru

2. Kandida sistemik

Endokarditis
Meningitis
Pielonefritis
Septikemia

3. Reaksi id (kandidid)
PATOGENESIS
Infeksi kandida dapat terjadi bila ada faktor yang menyuburkan pertumbuhan candidiasis
atau ada yang memudahkan terjadinya invasi jaringan, karena daya tahan yang lemah. Faktorfaktor ini ada yang endogen maupun eksogen. Faktor endogen terdiri dari perubahan fisiologik
yang meliputi, kehamilan atau yang menyerupai kehamilan (karena perubahan pH dalam
vagina), kegemukan (karena banyak keringat), debilitas, latrogenik, endokrinopati (gangguan
gula darah kulit), penyakit kronik, seperti tuberculosis, lupus eritematosus dengan keadaan
umum yang buruk; umur (orang tua bayi lebih mudah terkena infeksi karena status
imunologiknya tidak sempurna); imulogik (penyakit genetik). Faktor eksogen yang terdiri dari
iklim, panas, dan kelembaban perspirasi meningkat; kebersihan kulit; kebiasaan berendam kaki
dalam air yang terlalu lama menimbulkan maserasi dan memudahkan masuknya jamur; kontak
dengan penderita, misalnya pada thrush, balanopostitis
Kelainan yang disebabkan oleh spesies kandida ditentukan oleh interaksi yang komplek
antara patogenitas fungi dan mekanisme pertahanan pejamu. Faktor penentu patogenitas kandida
adalah :

Spesies : Genus kandida mempunyai 200 spesies, 15 spesies dilaporkan dapat


menyebabkan proses pathogen pada manusia. C. albicans adalah kandida yang paling

tinggi patogenitasnya.
Daya lekat : Bentuk hifa dapat melekat lebih kuat daripada germtube, sedang germtube
melekat lebih kuat daripada sel ragi. Bagian terpenting untuk melekat adalah suatu
glikoprotein permukaan atau mannoprotein. Daya lekat juga dipengaruhi oleh suhu

lingkungan.
Dimorfisme : C. albicans merupakan jamur dimorfik yang mampu tumbuh dalam kultur
sebagai blastospora dan sebagai pseudohifa. Dimorfisme terlibat dalam patogenitas
kandida. Bentuk blastospora diperlukan untuk memulai suatu lesi pada jaringan dengan
mengeluarkan enzim hidrolitik yang merusak jaringan. Setelah terjadi lesi baru terbentuk

hifa yang melakukan invasi.


Toksin : Toksin glikoprotein mengandung mannan sebagai komponen toksik.
Glikoprotein khususnya mannoprotein berperan sebagai adhesion dalam kolonisasi jamur.
Kanditoksin sebagai protein intraseluler diproduksi bila C. albicans dirusak secara

mekanik.
Enzim : Enzim diperlukan untuk melakukan invasi. Enzim yang dihasilkan oleh C.
albicans ada 2 jenis yaitu proteinase dan fosfolipid.

Mekanisme pertahanan pejamu :

Sawar mekanik : Kulit normal sebagai sawar mekanik terhadap invasi kandida.
Kerusakan mekanik pertahanan kulit normal merupakan faktor predisposisi terjadinya

kandidiasis.
Substansi antimikrobial non spesifik : Hampir semua hasil sekresi dan cairan dalam
mamalia mengandung substansi yang bekerja secara non spesifik menghambat atau

membunuh mikroba.
Fagositosis dan intracellular killing : Peran sel PMN dan makrofag jaringan untuk
memakan dan membunuh spesies kandida merupakan mekanisme yang sangat penting
untuk menghilangkan atau memusnahkan sel jamur. Sel ragi merupakan bentuk kandida
yang siap difagosit oleh granulosit. Sedangkan pseudohifa karena ukurannya, susah
difagosit. Granulosit dapat juga membunuh elemen miselium kandida. Makrofag

berperan dalam melawan kandida melalui pembunuhan intraseluler melalui system

mieloperoksidase (MPO).
Respon imun spesifik : imunitas seluler memegang peranan dalam pertahanan melawan
infeksi kandida. Terbukti dengan ditemukannya defek spesifik imunitas seluler pada
penderita kandidiasi mukokutan kronik, pengobatan imunosupresif dan penderita dengan
infeksi HIV. Sistem imunitas humoral kurang berperan, bahkan terdapat fakta yang
memperlihatkan titer antibodi antikandida yang tinggi dapat menghambat fagositosis.
Mekanisme imun seluler dan humoral : tahap pertama timbulnya kandidiasis kulit
adalah menempelnya kandida pada sel epitel disebabkan adanya interaksi antara
glikoprotein permukaan kandida dengan sel epitel. Kemudian kandida mengeluarkan zat
keratinolitik (fosfolipase), yang menghidrolisis fosfolipid membran sel epitel. Bentuk
pseudohifa kandida juga mempermudah invasi jamur ke jaringan. Dalam jaringan
kandida mengeluarkan faktor kemotaktik neutrofil yang akan menimbulkan reaksi radang
akut. Lapisan luar kandida mengandung mannoprotein yang bersifat antigenik sehingga
akan

mengaktifasi

komplemen

dan

merangsang

terbentuknya

imunoglobulin.

Imunoglobulin ini akan membentuk kompleks antigen-antibobi di permukaan sel


kandida, yang dapat melindungi kandida dari fungsi imunitas tuan rumah. Selain itu
kandida juga akan mengeluarkan zat toksik terhadap netrofil dan fagosit lain.
Mekanisme non imun : interaksi antara kandida dengan flora normal kulit lainnya
akan mengakibatkan persaingan dalam mendapatkan nutrisi seperti glukosa.
Menempelnya mikroorganisme dalam jaringan sel pejamu menjadi syarat mutlak untuk
berkembangnya infeksi. Secara umum diketahui bahwa interaksi antara mikroorganisme dan sel
pejamu diperantarai oleh komponen spesifik dari dinding sel mikroorganisme, adhesin dan
reseptor. Manan dan manoprotein merupakan molekul-molekul Candida albicans yang
mempunyai aktifitas adhesif. Khitin, komponen kecil yang terdapat pada dinding sel Candida
albicans juga berperan dalam aktifitas adhesif. Pada umumnya Candida albicans berada dalam
tubuh manusia sebagai saproba dan infeksi baru terjadi bila terdapat faktor predisposisi pada
tubuh pejamu.
Faktor predisposisi terjadinya infeksi ini meliputi faktor endogen maupun eksogen, antara lain :
Faktor endogen :

Perubahan fisiologik :
Kehamilan, karena perubahan pH dalam vagina
Kegemukan, karena banyak keringat
Debilitas
Iatrogenik
Endokrinopati, gangguan gula darah kulit
Penyakit kronik : tuberkulosis, lupus eritematosus dengan keadaan umum yang buruk.
Umur : orang tua dan bayi lebih sering terkena infeksi karena status imunologiknya tidak

sempurna.
Imunologik : penyakit genetik.

Faktor eksogen :

Iklim, panas, dan kelembaban menyebabkan perspirasi meningkat


Kebersihan kulit
Kebiasaan berendam kaki dalam air yang terlalu lama menimbulkan maserasi dan

memudahkan masuknya jamur.


Kontak dengan penderita, misalnya pada thrush, balanopostitis.

GEJALA KLINIS
Gambaran klinis yang terlihat bervariasi tergantung dari bagian tubuh mana yang terkena,
dapat dilihat sebagai berikut :
1. Kandidiasis intertriginosa : Kelainan ini sering terjadi pada orang-orang gemuk,
menyerang lipatan-lipatan kulit yang besar. Lesi di daerah lipatan kulit ketiak, lipat paha,
intergluteal, lipat payudara, antara jari tangan atau kaki, glans penis dan umbilikalis,
berupa bercak yang berbatas tegas, bersisik, basah dan eritematosa. Lesi tersebut
dikelilingi oleh satelit berupa vesikel-vesikel dan pustul-pustul kecil atau bula yang bila
pecah meninggalkan daerah yang erosif dengan pinggir yang kasar dan berkembang
seperti lesi primer.
2. Kandidiasis perianal : Lesi berupa maserasi seperti infeksi dermatofit tipe basah. Penyakit
ini menimbulkan pruritus ani
3. Kandidiasis kutis generalisata : Lesi terdapat pada glabrous skin, biasanya juga pada lipat
payudara, intergluteal dan umbilikus. Sering disertai glositis, stomatitis dan paronikia.
Lesi berupa ekzematoid, dengan vesikel-vesikel dan pustul-pustul. Penyakit ini sering

terdapat pada bayi, mungkin karena ibunya menderita kandidiasis vagina atau mungkin
karena gangguan imunologik.
4. Paronikia dan onikomikosis : infeksi jamur pada kuku dan jaringan sekitarnya ini
menyebabkan rasa nyeri dan peradangan sekitar kuku. Kadang-kadang kuku rusak dan
menebal. Hal ini sering diderita oleh orang-orang yang pekerjaannya berhubungan
dengan air.
5. Diaper rush : sering terdapat pada bayi yang popoknya selalu basah dan jarang diganti
yang dapat menimbulkan dermatitis iritan, juga sering diderita neonatus sebagai gejala
sisa dermatitis oral dan perianal.
6. Kandidisiasis kutis granulomatosa : Kelainan ini merupakan bentuk yang jarang
dijumpai. Manifestasi kulit berupa pembentukan granuloma yang terjadi akibat
penumpukan krusta serta hipertrofi setempat. Kelainan ini banyak menyerang anak-anak,
lesi berupa papul kemerahan tertutup krusta tebal berwarna kuning kecoklatan dan
melekat erat pada dasarnya. Krusta ini dapat menimbulkan tanduk sepanjang 2 cm,
lokasinya sering terdapat di muka, kepala, kuku, badan, tungkai, dan faring.
7. Thrush merupakan infeksi jamur di dalam mulut. Bercak berwarna putih menempel pada
lidah dan pinggiran mulut, sering menimbulkan nyeri. Bercak ini bisa dilepas dengan
mudah oleh jari tangan atau sendok. Thrush pada dewasa bisa merupakan pertanda
adanya gangguan kekebalan, kemungkinan akibat diabetes atau AIDS. Pemakaian
antibiotik yang membunuh bakteri saingan jamur akan meningkatkan kemungkinan
terjadinya thrush.
8. Perlche merupakan suatu infeksi Candida di sudut mulut yang menyebabkan retakan dan
sayatan kecil. Bisa berasal dari gigi palsu yang letaknya bergeser dan menyebabkan
kelembaban di sudut mulut sehingga tumbuh jamur. 1,7
9. Infeksi vagina (vulvovaginitis) sering ditemukan pada wanita hamil, penderita diabetes
atau pemakai antibiotik.Gejalanya berupa keluarnya cairan putih atau kuning dari vagina
disertai rasa panas, gatal dan kemerahan di sepanjang dinding dan daerah luar vagina. 1,7
10. Infeksi penis sering terjadi pada penderita diabetes atau pria yang mitra seksualnya
menderita infeksi vagina. Biasanya infeksi menyebabkan ruam merah bersisik (kadang
menimbulkan nyeri) pada bagian bawah penis

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan langsung

Kerokan kulit atau usapan mukokutan diperiksa dengan larutan KOH 10% atau dengan
pewarnaan Gram, terlihat gambaran Gram positif, sel ragi, blastospora, atau hifa semu.
2. Pemeriksaan biakan
Bahan yang akan diperiksa ditanam dalam agar dekstrosa glukosa Sabouroud, dapat pula
agar ini dibubuhi antibiotic (kloramfenikol) untuk mencegah pertumbuhan bakteri.
Perbenihan disimpan dalam suhu kamar atau lemari suhu 37oC, koloni tumbuh setelah
24-48 jam berupa yeast like colony.

PENATALAKSANAAN
1. Menghindari atau menghilangkan factor predisposisi
2. Topikal :
Larutan ungu gentian 1/2 1% untuk selaput lender, 1 2% untuk kulit,
dioleskan sehari 2 kali selama 3 hari
Nistatin : berupa krim, salep, emulsi
Amfoterisin B
Grup azol antara lain :
Mikonazol 2% berupa krim atau bedak
Klotrimazol 1% berupa bedak, larutan dan krim
Tiokonazol, bufonazol, isikonazol
Siklopiroksolamin 1% larutan, krim
Antimikotik lain yang berspektrum luas
3. Sistemik :
Tablet nistatin untuk menghilangkan infeksi fokal dalam saluran cerna, obat ini

tidak diserap oleh usus


Ketokonazol, bila dipakai untuk kandidosis vagina dosisnya 2 x 200mg selama 5

hari (untuk orang dewasa)


Itrakonazol : bila dipakai untuk kandidosis vulvovaginitis dosis tunggal 300mg
(untuk orang dewasa)

PROGNOSIS
Umumnya baik, bergantung berat ringannya factor predisposisi.
A. Herpes Simpleks
DEFINISI

lnfeksi akut yang disebabkan oleh virus herpes simpleks (virus herpes hominis) tipe I atau yang
ditandai oleh adanya vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa pada
daerah dekat mukokutan, sedangkan infeksi dapat berlangsung baik primer maupun rekurens.
EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini tersebar kosmopolit dan menyerang baik pria maupun wanita dengan frekuensi tidak berbeda.
Infeksi primer oleh virus herpes-simpleks (V.H.S.) tipe I biasanya dimulai pada usia anak-anak,
sedangkan infeksi VHS tipe II biasanya terjadi pada dekade II atau III, dan berhubungan dengan
peningkatan aktivitas seksual.
GEJALA KLINIS
Infeksi VHS ini berlangsung dalam 3 tingkat.
1. Infeksi primer
2. Fase laten
3. Infeksi rekurens
Infeksi primer
Tempat predileksi VHS tipe I di daerah pinggang ke atas terutama di daerah mulut dan hidung,
biasanya dimulai pada usia anak-anak. Inokulasi dapat terjadi secara kebetulan, misalnya kontak kulit
pada perawat, dokter gigi, atau pada orang yang sering menggigit jari (herpetic Whitlow). Virus ini juga
sebagai penyebab herpes ensefalitis. Infeksi primer oleh VHS tipe II mempunyai tempat predileksi di
daerah pinggang ke bawah, terutama di daerah genital, juga dapat menyebabkan herpes meningitis
dan infeksi neonatus.
Daerah predileksi ini sering kacau karena adanya cara hubungan seksual seperti oro-geni-tal, sehingga
herpes yang terdapat di daerah genital kadang-kadang disebabkan oleh VHS tipe I sedangkan di daerah
mulut dan rongga mulut dapat disebabkan oleh VHS tipe II.
Infeksi primer berlangsung lebih lama dan lebih berat, kira-kira 3 minggu dan sering disertai gejala
sistemik, misalnya demam, malese dan anoreksia, dan dapat ditemukan pembengkakan kelenjar getah
bening regional.
Kelainan klinis yang dijumpai berupa vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan
eritematosa, berisi cairan jernih dan kemudian menjadi seropurulen, dapat menjadi krusta dan kadangkadang mengalami ulserasi yang dangkal, biasanya sembuh tanpa sikatriks. Pada perabaan tidak

terdapat indurasi. Kadang-kadang dapat timbul infeksi sekunder sehingga memberi gambaran yang
tidak jelas. Umumnya didapati pada orang yang kekurangan antibodi virus herpes simpleks. Pada
wanita ada laporan yang mengatakan bahwa 80% infeksi VHS pada genitalia ekstema disertai infeksi
pada serviks.
Fase laten
Fase ini berarti pada penderita tidak di-ikan gejala klinis, tetapi VHS dapat ditemukan n keadaan tidak
aktif pada ganglion dorsalis.
Infeksi rekurens
Infeksi ini berarti VHS pada ganglion dorsalis juga dalam keadaan tidak aktif, dengan mekanisme pacu
menjadi aktif dan mencapai kulit hingga menimbulkan gejala klinis. Mekanisme pacu itu dapat
berupa trauma fisik (demam, infeksi, kurang tidur, hubungan seksual, dan sebagainya), trauma psikis
(gangguan emosional, menstruasi), dan dapat pula timbul akibat jenis makanan dan minuman yang
merangsang.
Gejala klinis yang timbul lebih ringan daripada infeksi primer dan berlangsung kira-kira 7 sampai
10 hari. Sering ditemukan gejala prodromal lokal sebelum timbul vesikel berupa rasa panas,
gatal, dan nyeri. Infeksi rekurens ini dapat timbul pada tempat yang sama (loco) atau tempat lain/tempat
di sekitarnya (non loco).
PENATALAKSANAAN
Sampai saat ini belum ada terapi yang memberrikan penyembuhan radikal, artinya tidak ada pengobatan
yang dapat mencegah episode rekurens secara tuntas. Pada lesi yang dini dapat digunakan obat
topikal berupa salap/krim yang mengandung preparat idoksuridin (stoxil, viruguent, virunguentP) dengan cara aplikasi, yang sering dengan interval beberapa jam. Preparat asiklovir (zovirax)
yang dipakai secara topikal tampaknya memberikan masa depan yang lebih cerah. Asiklovir ini cara
kerjanya mengganggu replikasi DNA virus. Klinis hanya bermanfaat bila penyakit sedang aktif. Jika
timbul ulserasi dapat dilakukan kompres. Pengobatan oral berupa preparat asiklovir tampaknya
memberikan hasil yang lebih baik, penyakit berlangsung lebih singkat dan masa rekurensnya lebih
panjang. Dosisnya 5 x 200 mg sehari selama 5 hari. Pengobatan parenteral dengan asiklovir terutama
ditujukan kepada penyakit yang lebih berat atau jika timbul komplikasi pada alat dalam. Begitu pula
dengan preparat adenin arabinosid (vitarabin). Interferon sebuah preparat glikoprotein yang dapat
menghambat reproduksi virus juga dapat dipakai secara parenteral.

Untuk mencegah rekurens macam-macam usaha yang dilakukan dengan tujuan meningkatkan
imunitas selular, misalnya pemberian preparat lupidon H (untuk VHS tipe I) dan lupidon G (untuk
VHS tipe II) dalam satu seri pengobatan. Pemberian levamisol dan isoprinosin atau asiklovir secara
berkala menurut beberapa penyelidik memberikan hasil yang baik. Efek levamisol dan
isoprinosin ialah sebagai imunostimulator. Pemberian vaksinasi cacar sekarang tidak dianut lagi.
PROGNOSIS
Selama pencegahan rekurens masih merupakan problem, hal tersebut secara psikologik akan
memberatkan penderita. Pengobatan secara dini dan tepat memberi prognosis yang lebih baik, yakni masa
penyakit berlangsung lebih singkat dan rekurens lebih jarang.

KUSTA

DEFENISI
Kusta

merupakan

penyakit

infeksi

yang

kronik,

dan

penyebabnya

Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf periferr sebagai


afinitas pertama, lalu kulit

dan mukosa traktus respiratanorius bagian atas,

kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.

SINONIM
Lepra, morbus Hansen

EPIDEMIOLOGI
Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar
di seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang
terinfeksi penyakit tersebut. Masuknya kusta ke pulau- pulau termasuk Indonesia,
diperkirakan

terbawa

oleh

orang-orang

Cina.

Faktor-faktor

yang

perlu

dipertimbangkan adalah patogenesis kuman penyebab, cara penularan, keadaan


sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang berhubungan dengan

kerentanan, perubahan imunitas, dan kemunkinan adanya reservoir diluar manusia.


Penyakit kusta masa kini lain dengan kusta tempo dulu, tetapi meskipun demikian
masih banyak hal-hal yang belum jelas diketahui, sehingga masih banyak
merupakan tantangan yang luas bagi para ilmuan untuk pemecahannya.
Di indonesia penderita anak-anak di bawah umur 14 tahun didapatkan 13 %,
tetapi anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali. Saat ini usaha pencatatan
penderita di bawah usia 1 tahun penting dilakukan untuk dicari kemungkinan ada
tidaknya kusta kongenital. Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur antara
25-35 tahun.

ETIOLOGI
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A.
HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat
dibiakan dalam media artifisial. M. Lepra berbentuk basil dengan ukuran 3-8 Um x
0,5 Um, tahan asam dan alkohol serta Gram posotif.

PATOMEKANISME
Saat M.leprae masuk ke dalam tubuh manusia maka kuman ini akan bereaksi
dengan sistem imun sehingga terjadi proses fagositosis dari makrofag dll, setelah
sistem imun di kalahkan maka M.leprae akan masuk ke dalam monosit dan
berkembang biak di dalam monosit sehingga tidak terdeteksi oleh sistem imun.
Setelah monosit pecah dan mati maka M.leprae akan keluar dan masuk ke dalam
sel schwan pada perineural dari saraf perifer yang merupakan tempat predileksi
hidup M.leprae sehingga terjadi non profesional fagositosis, dimana tidak dapat
mengekspresikan mol MHC kls II. Sel schwan yang telah terinfeksi karena tidak
punya ml MHC kls II maka tidak bisa berkomunikasi dengan sel T sehingga tidak
terdeteksi oleh sistem imun. Setelah sel schwan mati maka M.lepra akan keluar dan
di tangkap oleh makrofag yang profesional. M.leprae yang berada dalam makrofag
akan di bawah ke seluruh organ dengan bantuan CD4, IL, dan T cell karena sudah
tidak mengenal M.leprae

KLASIFIKASI

Klasifikasi menurut Ridley-Jopling berikut ini didasarkan atas gambaran klinis,


bakteriologis, imunologis dan histologis
1) Lepra tipe Indeterminate (I)
Lepra tipe Indeterminate ditemukan pada anak yang kontak dan kemudian menunjukkan1
atau 2 makula hipopigmentasi yang berbeda-beda ukurannya dari 20 sampai 50 mm dan dapat
dijumpai di seluruh tubuh. Makula memperlihatkan hipoestesia dan gangguan berkeringat. Hasil
tes lepromin mungkin positif atau negatif. Sebagian besar penderita sembuh spontan, namun jika
tidak diobati, sekitar 25% berkembang menjadi salah satu tipe determinate
2) Lepra tipe Determinate
a) Lepra tipe Tuberkuloid (TT)
Manifestasi klinis lepra tipe TT berupa 1 sampai 4 kelainan kulit. Kelainan kulit tersebut
dapat berupa bercak-bercak hipopigmentasi yang berbatas tegas, lebar, kering, serta hipoestesi
atau anestesi dan tidak berambut. Kadang kala ditemukan penebalan saraf kulit sensorik di dekat
lesi, atau penebalan pada saraf predileksi seperti n. auricularis magnus. Hasil pemeriksaan
usapan kulit untuk basil tahan asam negatif, sedangkan tes lepromin memperlihatkan hasil positif
kuat. Hal ini menunjukkan adanya imunitas seluler terhadap Mycobacterium leprae yang baik.
b) Lepra tipe Borderline-Tuberkuloid (BT)
Kelainan kulit pada lepra tipe ini mirip dengan lepra tipe TT, namun biasanya lebih kecil
dan banyak serta eritematosa dan batasnya kurang jelas. Dapat dijumpai lesi-lesi satelit. Dapat
mengenai satu saraf tepi atau Iebih, sehingga menyebabkan kecacatan yang luas. Hasil
pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan asam positif pada penderita lepra BT (very few
sampai 1+). Tes lepromin positif.
c) Lepra tipe Borderline-Borderline (BB)

Kelainan kulit berjumlah banyak tidak simetris dan polimorf. Kelainan kulit ini dapat
berupa makula, papula dan bercak dengan bagian tengah hipopigmentasi dan hipoestesi serta
berbentuk anuler dan mempunyai lekukan yang curam (punched out). Hasil pemeriksaan usapan
kulit untuk basil tahan asam positif, dengan indeks bakteriologis 2+ dan 3+. Tes lepromin
biasanya negatif. Lepra tipe BB sangat tidal( stabil.
d) Lepra tipe Borderline-Lepromatosa (BL)
Kelainan kulit dapat berjumlah sedang atau banyak, berupa macula atau bercak-bercak
eritematosa dan hiperpigmentasi atau hipopigmentasi dengan ukuran yang berbeda-beda dan tepi
yangtidak jelas, dan juga papula, nodul serta plakaL Kelainan saraf ringan. Hasil pemeriksaan
apusan kulit untuk basil tahan asam positif kuat, dengan indeks bakteriologis 4+ sampai 5+. Tes
lepromin negatif.
e) Lepra tipe Lepromatosa (IL)
Kelainan kulit berupa makula hipopigmentasi atau eritematosa yang berjumlah banyalc,
kecil-kecil, dan simetris dengan sensasi yang normal, permukaannya halus serta batasnya tidak
jelas, dan papula. Saraf tepi biasanya tidak menebal, karena baru terserang pada stadium lanjut.
Dapat terjadi neuropati perifer. Mukosa hidung menebal pada stadium awal, menyebabkan
sumbatan hidung dan keluarnya duh tubuh hidung yang bercampur darah. Lama-kelamaan sel-sel
lepra mengadakan infiltrasi, menyebabkan penebalan kulit yang progresif, sehingga
menimbulkan wajah singa, plakat, dan nodul.
Nodul juga dapat terjadi pada mukosa palatum, septum nasi dan sklera. Alis dan bulu
mata menjadi tipis, serta bibir, jarijari Langan dan kaki membengkak. Dapat terjadi iritis dan
keratitis. Kartilago dan tulang hidung perlahan-lahan mengalami kerusakan, menyebabkan
hidung pelana. Jika laring terinfiltrasi oleh sel lepra, maka akan timbul suara serak. Akhirnya
testis mengalami atrofi, dan kadang kala mengakibatkan ginekomastia. Hasil pemeriksaan
asupan kulit untuk basil tahan asam positif, dengan indeks bakteriologis 5+ sampai 6+. Tes
lepromin selalu negatif

GEJALA KLINIS

Selama perjalanan penyakitnya, baik diobati maupun tidak diobati, bisa


terjadi reaksi kekebalan tertentu, yang kadang timbul sebagai demam dan
peradangan kulit, saraf tepi dan kelenjar getah bening, sendi, buah zakar, ginjal,
hati

dan

mata.

Pengobatan yang diberikan tergantung kepada jenis dan beratnya reaksi, bisa
diberikan kortikosteroid atau talidomid.
Mycobacterium leprae adalah satu-satunya bakteri yang menginfeksi saraf
tepi dan hampir semua komplikasinya merupakan akibat langsung dari masuknya
bakteri ke dalam saraf tepi. Bakteri ini tidak menyerang otak dan medulla spinalis.
Kemampuan untuk merasakan sentuhan, nyeri, panas dan dingin menurun,
sehingga penderita yang mengalami kerusakan saraf tepi tidak menyadari adanya
luka bakar, luka sayat atau mereka melukai dirinya sendiri. Kerusakan saraf tepi
juga menyebabkan kelemahan otot yang menyebabkan jari-jari tangan seperti
sedang mencakar dan kaki terkulai. Karena itu penderita lepra menjadi tampak
mengerikan.
Penderita juga memiliki luka di telapak kakinya. Kerusakan pada saluran
udara di hidung bisa menyebabkan hidung tersumbat. Kerusakan mata dapat
menyebabkan kebutaan. Penderita lepra lepromatosa dapat menjadi impoten dan
mandul, karena infeksi ini dapat menurunkan kadar testosteron dan jumlah sperma
yang dihasilkan oleh testis.

PENUNJANG DIAGNOSIS
1. Pemeriksaan bakterioskopik
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan dan
pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau
usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan
terhadap basil tahan asam, antar lain dengan ZIEHL-NEELSEN. Bakterioskopik
negatf
2.

pada

seorang

penderita,

bukan

berarti

orang

tersebut

tidak

mengandung basil M. Leprae.


Pemeriksaan histopatologik
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monoosit di dalam darah ada
yang mempunyai nama khusus, antara lain sel Kupffer dari hati, sel alveolar
dari paru, sel gila dari otak, dan yang dari kulit disebut histosit. Salah satu
tugas makrofag adalah melakukan fagositosis. Kalau ada kuman ( M.Leprae )
masuk, akibatnya akan bergantung pada Sistem Imunitas Seluler (SIS) orang

itu. Apabila SIS-nya tinggi, makrofag akan mampu memfagosit M. Leprae.


3. Pemeriksaan serologik

Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada


tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. Leprae. Antibodi yang terbentuk
dapat bersifat spesifik terhadap M. Leprae, yaitu antibodi antiphenolic
glycolipid-1 (PGL-!) dan antiboodi antiprotein 16 kD serta 35 kD. Seangkan
antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi annti-lipoarabinomanam
(LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman M. Leprae.
Macam-macam pemeriksaan serologik kusta ialah:
a. Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Perticle Agliination)
b. Uji ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)
c. ML.dipstick (Mycobacterium Leparae Dipstick)

PENGOBATAN
Pengobatan Kusta (Protokol WHO)
PB (Paucibacillary)
minimal 6 bulan
Dapsone 100 mg/hari
Rifampisin (600 mg/bulan)
MB (Multibacillary)
minimal 24 bulan
Dapsone 100 mg/hari
Rifampisin (600 mg/bulan)
Clofazimine 300 mg/bln+50 mg/hr

Obat antikusta yang paling banyak di pakai pada saat ini adalah DDS
( diaminodifenil sulfon) kemudian klofazimin, dam rifampisin. Pada tahun 1998 WHO
menambahkan 3 obat antiibiotik lain untuk pengobatan alternatif, yaitu ofloksasin,
minosiklin dan klaritromisin.
DDS

sebagai monoterapi

Rifampisin

obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi DDS dengan

dosis

10 mg/kg berat badan; diberikan setip hari atau setiap bulan.


Klofazimin

sebagai antikusta ialah dosis 50 mg setiap hari atau 100 mg

selang
Sehari, atu 3x100 mg setiap minggu.
Ofloksasin

merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadap


M. leprae. Dosis optimal harian adalah 400 mg.

Minoosiklin :

Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Dosis standar harian 100

mg
Klaritromisin :

Kelompok

antibiotik

makrolid

dan

mempunyai

aktivitas

bakteriosidal
Terhadap M.leprae pada tikus dan manusia.

REHABILITASI
Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh ialah antara
lain dengan jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali
ke asal, tetapi fungsinya dan secara kosmetik dapat diperbaiki.
Cara lain ialah secara kekaryaan, yaitu memberi lapangan pekerjaan yang
sesuai cacat tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapa berprestasi dan dapat
meningkatkan rasa percaya diri, selain itu dapat dilakukan terapi psikologik
(kejiwaan).

TINEA KRURIS

DEFINISI
Tinea adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya
lapisan teratas pada kulit pada epidermis, rambut, dan kuku, yang disebabkan

golongan jamur dermatofita (jamur yang menyerang kulit). Tinea kruris sendiri
merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur pada daerah genitokrural
(selangkangan), sekitar anus, bokong dan kadang-kadang sampai perut bagian
bawah.
ETIOLOGI
Jamur dermatofita yang sering ditemukan pada kasus tinea kruris adalah,
E.Floccosum, T. Rubrum,dan T. Mentagrophytes. Pria lebih sering terkena daripada
wanita.Maserasi danoklusi kulit lipat paha menyebabkan peningkatan suhu dan
kelembaban kulit yang akan memudahkan infeksi. Tinea kruris biasanya timbul
akibat penjalaran infeksi dari bagian tubuh lain. Penularan juga dapat terjadi melalui
kontak langsung dengan individu yang terinfeksi atau tidak langsung melalui benda
yang mengandung jamur, misalnya handuk, lantai kamar mandi, tempat tidur hotel
dan lain-lain.

GEJALA KLINIK
Biasanya lokasi pada daerah selangkangan atau sisi paha atas bagian dalam,
dapat terjadi di kedua paha atau di salah satu paha saja. Keluhan utama adalah
rasa gatal yang dapat hebat.Les i berbatas tegas, tepi meninggi yang dapat berupa
bintil-bintil kemerahan atau lenting-lenting kemerahan, atau kadang terlihat lentinglenting yang berisi nanah. Bagian tengah menyembuh berupa daerah coklat
kehitaman

bersisik.

Garukan

terus-menerus

dapat

menimbulkan

gambaran

penebalan kulit. Buah zakar sangat jarang menunjukkan keluhan, meskipun


pemeriksaan jamur dapat positif, hal yang berbeda dengan kandidiasis yang sering
menunjukkan keterlibatan pada buah zakar dan penis.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada tinea kruris, bahan untuk pemeriksaan jamur sebaiknya diambil dengan
mengerok tepi lesi yang meninggi atau aktif. Khusus untuk lesi yang berbentuk
lenting-lenting,

seluruh

atapnya

harus

diambil

untuk

bahan

pemeriksaan.

Pemeriksaan mikroskopik (dengan menggunakan mikroskop) secara langsung


menunjukkan artrospora (hifa yang bercabang) yang khas pada infeksidermatofita.

PENATALAKSANAAN
Menghilangkan faktor penunjang sangat penting, misalnya mengusahakan
daerahlesi selalu kering dengan memakai baju yang menyerap keringat. Obat
antijamur yang dioleskan adalah terapi pilihan untukles i yang terbatas dan dapat
dijangkau. Berbagai macam obat imidazol dan alilamin tersedia dalam beberapa
formulasi. Semuanya memberikan keberhasilan terapi yang tinggi (70-100%) dan
jarang ditemukan efek samping. Obat ini digunakan pagi dan sore hari selama
sekurang-kurangnya 2-4 minggu. Terapi dioleskan sampai 3 cm di luar batas lesi
dan diteruskan sekurang-kurangnya 2 minggu setelah lesi menyembuh. Pengobatan
dengan obat yang diminum diperlukan jika lesi luas atau gagal dengan pengobatan
topikal. Obat oral yang dapat digunakan adalah.:
griseofulvin microsized 500-1000 mg/hari selam 2-6 minggu, meskipun beberapa
laporan
menunjukkan kemungkinan kasus kebal terhadap pengobatan
ketokonazol 200 mg/hari selama kurang lebih 4 minggu
itrakonazol 100 mg/hari selama 2 minggu atau 200 mg/hari selama 1 minggu
terbinafin 250 mg/hari selama 1-2 minggu
Mengobati atau menghilangkan sumber penularan merupakan hal penting untuk
mencegah
penularan jamur kembali dan penyebaran lebih lanjut kepada manusi

d. Ptiriasis Rosea

Pitiriasis rosea adalah penyakit kulit yang belum diketahui


penyebabnya, dimulai dengan sebuah lesi inisial berbentuk eritema dan

skuama halus. Kemudian disusul oleh lesi-lesi yang lebih kecil di badan,
lengan, dan paha atas yang tersusun sesuai dengan lipatan kulit dan
biasanya menyembuh dalam 3-8 minggu.
Etiologi : etiologinya belum diketahui, mungkin virus, karena penyakit ini
merupakan self limiting disease (dapat sembuh sendiri) dalam waktu 3-8
mingu.
Insidensi : didapati pada semua umur, terutama antara 15-40 tahun, pada
wanita dan pria sama banyaknya.
Gejala klinis :
Penyakit dimulai dengan lesi pertama (herald patch), umumnya di
badan, soliter, bentuk oval dna anular, diameter kira-kira 3cm. Ruam terdiri
dari eritema dan skuama halus di pinggir. 4-10 hari setelah lesi pertama,
timbul lesi berikutnya. Lesi ini lebih kecil, susunannya sejajar dengan costa,
sehingga seperti gambaran pohon cemara terbalik. Lesi ini timbul serentak
dalam beberapa hari.
Predileksi : badan, lengan atas bagian proksimal, dan paha atas.
Penyebab :
Penyebab Pityriasis rosea hingga kini belum diketahui. Para ahli masih
berbeda pendapat tentang faktor-faktor penyebab timbulnya Pityriasis rosea.
Ada yang menduga disebabkan virus lantaran penyakit ini sembuh sendiri
(self limited) dalam 3-8 minggu. Sementara ahli yang lain mengaitkan
dengan berbagai faktor yang diduga berhubungan dengan timbulnya
Pityriasis rosea, diantaranya:
Faktor cuaca. Hal ini karena Pityriasis rosea lebih kerap ditemukan
pada musim semi dan musim gugur.
Faktor penggunaan obat-obat tertentu, seperti bismuth, barbiturat,
captopril, mercuri, methoxypromazine, metronidazole, D-penicillamine,
isotretinoin, tripelennamine hydrochloride, ketotifen, dan salvarsan.
Diduga berhubungan dengan penyakit kulit lainnya (dermatitis atopi,
seborrheic dermatitis, acne vulgaris) dikarenakan Pityriasis rosea dijumpai
pada penderita penyakit dengan dermatitis atopik, dermatitis seboroik, acne
vulgaris dan ketombe.
Pengobatan
simptomatik, diberikan sedativa (untuk gatal) dan bedak asam salisilat
yang dibubuhi mentol 0,5-1%. Dapat juga dapat menggunakan antihistamin
oral (diminum). Sedangkan obat topikal (obat luar) yang lazim digunakan
bedak diantaranya: bedak salisil dan lotion menthol-phenol.

Anda mungkin juga menyukai