Pendahuluan
Kita sebagai manusia normal tentu pernah mengalami batuk berdahak dan
sesak nafas. Hal ini bisa terjadi karena beberapa hal salah satunya adalah pengaruh
kualitas udara atau oksigen yang kita hirup. Jika kita menghirup udara yang tercemar
seperti udara yang mengandung debu, asap, maka besar kemungkinan kita akan
mengalami batuk dan sesak nafas. Selain itu, kita juga sering tanpa disengaja
menghirup udara tercemar yang berasal dari rokok. Udara hasil pembakaran rokok
mengandung banyak sekali racun yang dapat menyebabkan si penghirup dapat
merasakan sesak dan batuk. Dari beberapa faktor predisposisi tersebut maka dapat
terjadi timbulnya penyakit pada suatu individu, salah satu nya adalah PPOK.
Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) adalah penyakit paru kronik yang
ditandai dengan hambatan aliran udara saluran nafas, dimana hambatan aliran udara
saluran nafas bersifat progresif dan tidak sepenuhnya reversibel. Klasifikasi luas dari
gangguan tersebut mencakup bronkitis kronik, bronkiektasis, emfisema dan asma,
yang merupakan kondisi ireversibel yang berkaitan dengan dispnea saat aktivitas dan
penurunan aliran masuk dan keluar udara paru-paru. Keterbatasan aliran udara
biasanya progresif dan berhubungan dengan respon peradangan yang abnormal dari
paru terhadap partikel atau udara yang berbahaya. Terkait dengan hal tersebut,
makalah ini akan membahas dan memberikan pengertian tentang sejumlah bahan
maupun bagian yang perlu diperhatikan lebih dalam dari kasus yang diberikan yaitu
Penyakit Paru Obstruktif Kronik.
Anamnesis
Dalam anamnesis pasien dengan gangguan pernapasan dilakukan wawancara
terhadap identitas pasien terlebih dahulu seperti nama lengkap pasien, umur, tempat
tanggal lahir, jenis kelamin, agama, dan alamatnya. Tanyakan keluhan utama pasien
datang berobat ke dokter dan sudah berapa lama keluhan utama ini terjadi.1,2
Pada riwayat penyakit sekarang, tanyakan pada pasien pertanyaan-pertanyaan
seperti sudah berapa lama pasien merasa sesak napas ? Kapan pasien merasa sesak
napas : saat istirahat atau aktivitas ? (gunakan skala sesak napas dan keluhan menurut
aktivitas, dapat dilihat pada Tabel 1). 3
Apa yang dilakukan pasien sebelum merasa sulit bernapas ? Berapa jauh
pasien dapat berjalan ? Apakah pasien batuk ? Jika ya, adakah sputum, berapa banyak,
dan apa warnanya ? Apakah terdapat mengi ? Jika ya, kapan ? Berapa lama pasien
mengalami keadaaan seburuk ini ? Kira-kira apa pemicunya ? Apakah pasien
mengalami nyeri dada atau sesak napas saat berbaring? Pernahkah pasien mendapat
ventilasi ? Pernahkah pasien di rawat di rumah sakit ? (Jika ya, berapa hasil spirometri
dan gas darah awal ). 3
Tabel 1 .Skala sesak dan Keluhan sesak berkaitan dengan aktivitas4
Skala
Skala 0
Skala 1
Skala 2
Skala 3
Skala 4
Arti Skala
Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat
Sesak mulai timbul bila berjalan cepat atau naik tangga satu tingkat
Berjalan lebih lambat karena merasa sesak
Sesak timbul bila berjalan 100 m atau setelah beberapa menit
Sesak bila mandi atau berpakaian
Untuk riwayat kebiasaan dan lingkungan ditanyakan apakah pasien memiliki riwayat
merokok, jika ada tanyakan berapa bungkus perhari ? bagaimana keadaan lingkungan
rumah maupun pekerjaannya ? apakah sering terpapar dengan zat-zat yang bersifat
allergen ? bagaimana hygieni pribdai ? bagaimana rumahnya ? apakah cukup ventilasi
? 1-3
Pemeriksaan Fisik
Pada pasien dengan gangguan pernapasan perlu diketahui status tanda-tanda
vital pasien, pemeriksaan paru meliputi inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.
Tekanan darah, temperatur, frekuensi nadi dan frekuensi napas menentukan tingkat
keparahan penyakit. Seorang pasien dengan sesak napas dengan tanda-tanda vital
normal biasanya hanya menderita penyakit kronik atau ringan, sementara pasien yang
memperlihatkan adanya perubahan nyata pada tanda-tanda vital biasanya menderita
gangguan akut yang memerlukan evaluasi dan pengobatan segera.3-5
Temperatur di bawah 35C atau diatas 41C atau tekanan darah sistolik
dada bagian posterior. Pemeriksaan harus urut dari inspeksi, palpasi, perkusi, dan
auskultasi. 3-5
Secara umum pada pemeriksaan fisik penderita PPOK dapat ditemukan halhal sebagai berikut: 3-5
1) Inspeksi3-5
a) Bentuk dada: barrel chest (dada seperti tong)
b) Terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang meniup)
menggunakan
spirometri,
bila
tidak
ada
dapat
Bronkiektasis
Bronkiektasis merupakan infeksi kronik dengan nekrosis pada bronkus dan
bronkiolus yang menyebabkan dilatasi permanen yang abnormal pada saluran napas
ini.7 Bronkiektasis juga dapat dikatakan adalah kelainan morfologis yang terdiri dari;
pelebaran bronkus yang abnormal dan menetap disebabkan kerusakan komponen
elastis dan muskular dinding bronkus. Bronkiektasis diklasifikasikan dalam
bronkiektasis silindris, fusiform, dan kistik atau sakular.
Tanda dan gejala dari penyakit bronkiektasis sangat beragam, sebagian tanpa
gejala atau tanda sama sekali.5 Gambaran klinisnya secara umum meliputi batukbatuk, demam dan produksi sputum purulen yang berlebihan. Berdasarkan gejalanya,
bronkiektasis dapat dikelompokkan menjadi :
1. Batuk
Hemoptisis mempunyai ciri antara lain batuk produktif berlangsung
kronik, jumlah sputum bervariasi, umumnya jumlahnya banyak pada pagi
hari sesudah ada posisi tidur atau bangun dari tidur.8 Sputum terdiri atas
tiga lapisan :
a. Lapisan teratas agak keruh, terdiri atas mukus
b. Lapisan tengah jernih terdiri atas saliva
c. Lapisan terbawah keruh, terdiri atas nanah dan jaringan nekrosis dari
bronkus yang rusak
2. Hemoptisis
anak-anak.
Asma nonatopik (nonreaginik, nonimun)
Kerapkali dipicu oleh infeksi saluran napas, zat-zat iritan kimia atau obatobatan, pengaruh isiologis seperti stress dan biasanya tanpa riwayat keluarga
dan tanpa keterlibatan IgE yang nyata. Penyebab peningkatan reaktivitas
saluran napas tidak diketahui. Lenih sering mengenai orang dewasa di atas
usia 40 tahun.
Epidemiologi
Kurang lebih 20% laki-laki dewasa menderita bronkitis kronik, namun
hanya sejumlah kecil darinya yang secara klinis cacat. Berdasarkan semua
survey, laki-laki lebih sering menderita dibandingkan perempuan. Akan tetapi,
dengan meningkatnya jumlah perokok perempuan, prevalensi bronkitis pada
kelompok perempuan meningkat. Walaupun perokok merupakan faktor
etiologi tunggal yang paling penting, pemajanan akibat kerja dan lingkungan
sekarang ini cukup banyak, terutama sebagai unsur penambah bagi efek yang
ditimbulkan oleh merokok.10,11
Patologi
Bronkitis kronik berhubungan dengan hyperplasia atau hipertrofi
kelenjar pembentuk mukus yang ditemukan di dalam lapisan submukosa jalan
napas kartilaginosa besar. Penilaian perubahan ini dikenal sebagai indeks
Reid, didasarkan pada rasio ketebalan kelenjar submukosa dengan dinding
bronkus. Pada pasien tanpa riwayat bronkitis kronik, rasio rata-rata adalaj 0,44
dengan standar baku 0,09, sedangkan pada pasien dengan riwayat bronkitis
kronik rasio rata-rata adalah 0,52 0,08. Walaupun indeks yang rendah jarang
sekali berhubungan dengan gejala dan indeks yang tinggi pada umumnya
berhubungan dengan gejala sewaktu hidup, masih ditemukan adanya tumpang
tindih. Oleh karena itu, banyak pasien mengalami perubahan morfologik
dalam jalan napas besar tanpa disertai bronkitis kronik.10,11
Mungkin yang jauh lebih penting daripada kelainan yang ditemukan
dalam jalan napas besar adalah perubahan yang sering ditemukan di dalam
jalan napas kecil yang tidak mempunya tulang rawan. Hyperplasia sel goblet,
sel radang mukosa dan submukosa, edema, fibrosis peribronkiale, kumpulan
mukus intraluminal dan peningkatan otot polos merupakan penemuan khas
dalam jalan napas kecil. Frekuensi ditemukan hal tersebut dalam hubungannya
dengan status klinis pascamati dan fungsional masih belum dapat ditemukan.
Akan tetapi, pada pasien dengan PPOM yang telah diamati pascamati,
obstruksi aliran udara yang utama telah ditunjukkan pada jalan napas kecil.10,11
Etiologi
Bronkitis kronik diduga terjadi karena merokok, terpajan polusi udara,
debu, infeksi, bahkan faktor genetik.
-
Merokok
Merokok merupakan temuan paling umum berhubungan
dengan bronkitis kronik selama kehidupan. Penelitian eksperimental
menunjukkan bahwa aktivitas merokok yang lama mengganggu
pergerakan silia, mengahmbat fungsi makrfag alveolus dan akhirnya
menyebabkan hipertrofi dan hyperplasia kelenjar pengsekresi mukus.
Disamping efek kronik ini, kemungkinan merokok menghambat
antiprotease dan menyebabkan sel PMN melepaskan enzim proteolitik
secara tiba-tiba.
perkembangan
dan
kemajuan
obstruksi
jalan
napas
Polusi udara
Insidensi dan angka kematian akibat bronkitis kronik dapat
lebih tinggi di daerah urban yang padat industrialisasi, eksaserbasi
bronkitis jelas berhubungan dengan periode polusi berat dengan sulfur
dioksida (SO2) dan unsur yang sangat kecil. Sementara nitrogen oksida
(NO2) dapat menimbulkan obstruksi jalan napas kecil (bronkitis) pada
binatang percobaan yang terpajan dengan konsentrasi, tidak ada data
yang secara pasti melibatkan NO2 pada proses pathogenesis atau
perburukan obstruksi jalan napas pada manusia, bahkan pada kadar
polutan yang sangat tinggi sekalipun.10,11
Pekerjaan
Bronkitis kronik lebih serinng ditemukan pada pekerja yang
berhubungan dengan pekerjaan yang terpajan dengan debu anorganik,
organic, ataupun terhadap gas beracun. Penelitian epidemiologik telah
berhasil menunjkkan percepatan penurunan fungsi paru pada banyak
pekerja tersebut. Misalnya pada pekerja di pabrik plastic yang terpapar
oleh toluene diisosianida dan pekerja pemintal kapas.10,11
Infeksi
Morbiditas, mortalitas, dan frekuensi penyakit pernapasan akut
lebih tinggi pada pasien dengan bronkitis kronik. Banyak usaha telah
dilakukan untuk menghubungkan penyakit ini dengan infeksi virus,
mikoplasma dan bakteri. Akan tetapi, hanya rhinovirus yang lebih
sering menyebabkan eksaserbasi. Berdasarkan intuisi sangat menarik
menentukan beberapa peran infeksi saluran napas dalam pathogenesis
menunjukkan
bahwa
penyakit
pernapasan
akut
Patofisiologi
Kondisi yang terlihat pada bronkitis kronik adalah hipersekresi mukus,
dimulai dari jalan napas besar. Iritan-iritan lingkungan seperti asap rokok, SO 2,
dan NO2, menginduksi hipertrofi kelenjar mukus pada trakea dan cabang
utama bronkus dan berkembang menuju peningkatan populasi sel goblet
pengsekresi-musin pada permukaan epitel bronkus kecil dan bronkiolus. Selai
itu, zat-zat irirtan ini menyebabkan peradangan dangen inflitrasi sel T CD8+,
makrofag, dan netrofil. Berbeda dengan asma, eosinophil jarang ditemukan
pada bronkitis kronis kecuali pasien mengalami bronkitis asmatik. Meskipun
penampang dari bronkitis kronik merupakan bayangan dari gangguan bronkus
primer, landasan morfologis dari obstruksi jalan napas pada bronkitis kronik
lebih perifer dan berasal dari (1) small airway disease, yang diinduksi oleh
metaplasia sel goblet dengan sumbatan mukus pada lumen bronkiolus,
peradangan, dan fibrosis dinding bronkiolus. (2) emfisema koeksis. Secara
umum dipercaya bahwa ketika small airway disease adalah komponen penting
dalam obstruksi ringan dini, bronkitis kronik dengan obstruksi jalan napas
yang asignifikan selalu berkomplikasi menjadi emfisema. Dipostulasikan
bahwa banyak efek epithelial respirasi yang dicetuskan iritan lingkungan
dimediasi oleh pelepasan local sitokin sel T seperti IL-13. Trasnkripsi gen
musin, dan netrofil elastase MUC5AC, dimana bertambah sebagai
konsekuensi dari terpajan terhadap asap rokok secara in vitro maupun in vivo.
Infeksi mikroba sering terjadi sebagai infeksi sekunder, terjadi karena
peradangan dan gejala eksaserbasi.11,12
Manifestasi Klinis
Pada bronkitis kronis biasanya mempunyai riwayat batuk dan produksi
sputum yang mengesankan serta sudah berlangsung bertahun-tahun dengan
kebiasaan merokok yang cukup berat. Pada mulanya batuk hanya terjadi di
musim dingin dan pasien cenderung untuk minta pertolongan dokter paling
tidak pada saat sering terdapat relaps mukopurulen yang semakin berat. Dalam
beberapa tahun, gejala batuk berlanjut dari hibernal menajdi perennial dan
frekuensi, durasi serta intensitas relaps mukopurulen semakin bertambah.
Setelah mulai mengalami gejala dyspnea pengerahan tenaga, pasien sering
mencari pertolongan dokter dan derajat obstruksi paru yang cukup berat akan
ditemukan dalam keadaan ini. Kadang-kadang pasien tersebut akan
memeriksakan dirinya ke dokter sesudah timbulnya edema perifer yang terjadi
sekunder akibat gagal ventrikel kanan yang nyata. Lebih jarang lagi, kontak
medis yang pertama terjadi atas inisiatif keluarga yang membawa pasien
dengan gejala sianosis berat, edema dan dalam keadaan stupor yang menyertai
insufisiensi respirasi akut.10,11
holosistolik yang keduanya bertambah jelas pada saat inspirasi. Bising yang
disebutkan terakhir ini merupakan petunjuk adanya regurgitasi fungsional
tricuspid yang sering disertai dengan distensi pembuluh vena leher. Dengan
terdapatnya gagal ventrikel kanan, gejala sianosis makin bertambah dan edema
perifer semakin nyata.10,11
Desaturasi serta eritrositosis secara bersama-sama akan menyebabkan
sianosis dan vasokonstriksi pulmonal yang hipoksik dan menambah berat
gagal jantung kanan. Karena sianosis dan edema yang terjadi sekunder akibat
gagal jantung, pasien tersebut pernah disebut blue bloaters. Blue bloaters
terjadi akibat serangan berulang desaturasi oksigen nokturnal yang berat
dengan disertai serangan apnea waktu tidur atau periode hipoventilasi yang
bertambah buruk. Kejadian respirasi yang berhubungan dengan tidur semacam
itu akan memperberat derajat hipertensi pulmonal dan eritropoiesis
sekunder.10,11
Nilai kapasitas paru total seringkali normal dan terdapat kenaikan nilai
volume residual yang sedang. Kapasitas vital sedikit menurun dan kecepatan
aliran ekspirasi yang maksimal selalu rendah. Sifat recoil elastic pada paru
tetap normal atau hanya sedikit terganggu dan kapasitas patu untuk
mengalihkan karbon monoksida dapat normal atau sedikit menurun.10,11
Pada pemeriksaan radiologic terlihat lengkungan diafragma yang baik,
corakan bronkovaskuler bertambah pada lapangan paru bawah dan bayangan
hitam jantung agak melebar. Berkaitan dengan gagal ventrikel kanan,
bayangan hitam jantung lebih melebar lagi, gambaran arteri pulmonalis
menjadi lebih nyata dan distribusi perfusi yang melawan gaya berat terlihat
jelas.10,11
Meskipun penanganan sudah direncanakan dengan baik, pasien
bronkitis kronik dapat mengalami episode gagal napas yang kesembuhannya
seringkali terjadi setelah dilakukan terapi yang tepat. Akhirnya, paru pasien
pada pemeriksaan pascamati akan memperlihatkan perubahan bronkitis yang
berat baik pada jalan napas yangbesar maupun yang kecil dan hanya
menunjukkan emfisema yang sedang.10,11
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari bronkitis kronis antara lain menghentikan
kebiasaan merokok, penggunaan antibiotic terutama untuk H. influenza dan S.
pneumonia 7-10 hari, pemberian nutrisi yang adekuat dan latihan, obat
bronkodilator, serta kortikosteroid yang diberikan setelah pemberian adekuat
bronkodilator.10,11
Prognosis
Angka kematian di rumah sakit rata-rata 30% untuk satu episode dan
nilai ketahan hidup 5-tahun setelah episode pertama rata-rata hanya 1520%.10,11
Emfisema
Emfisema adalah keadaan paru yang ditandai oleh pembesaran abnormal
menetap ruang udara di sebelah distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dindingdindingnya tanpa fibrosis yang nyata.13
PPOK mengenai lebih dari 10 juta orang di Amerika Serikat; bronkitis kronik
adalah diagnosisnya pada sekitar 75% kasus dan emfisema sisanya. Insidens,
prevalensi, dan angka kematian PPOK meningkat seiring pertambahan usia dan lebih
tinggi pada pria, orang berkulit putih, dan golongan social ekonomi lemah.10-12
Merokok masih menjadi kausa utama penyakit pada hampir 90% pasien
dengan bronkitis kronik dan emfisema. Namun, hanya 10-15% perokok mengalami
PPOK. Penyebab perbedaan pada kerentanan penyakit ini belum diketahui tetapi
mungkin mencakup factor genetik. Satu factor resiko penting untuk timbulnya PPOK
yang berhasil diidentifikasi-selain merokok-adalah defisiensi inhibitor 1-protease.
Ketiadaan zat ini menyebabkan emfisema berat awitan dini. Inhibitor 1-protease
adalah suatu protein darah yang mampu menghambat jenis protease, termasuk
elastase neutrofil, yang diperkirakan berperan dalam pembentukan emfisema.10-12
Mutasi autosomal dominan, terutama pada orang Eropa Utara, menyebabkan
kadar inhibitor ini dalam serum dan jaringan menjadi sangat rendah, dan mengubah
keseimbangan sintesis dan proteolisis jaringan. Mutasi homozigot (genotype ZZ)
menyebabkan kadar inhibitor 10-15% kadar normal. Risiko emfisema, terutama pada
perokok yang membawa mutasi ini, sangat meningkat. 10-12
Studi-studi pada populasi mengisyaratkan bahwa pajanan debu (termasuk
silica dan kapas) atau uap zat kimia yang terus-menerus dapat menyebabkan PPOK,
tetapi kontribusi factor-faktor ini tampaknya kecil dibandingkan dengan pemakaian
tembakau. 10-12
Proses patologis utama pada emfisema dianggap sebagai proses perusakan
berkelanjutan yang terjadi akibat ketidak seimbangan jejas oksidan dan ativitas
proteolitik local (terutama elastolitik) akibat defisiensi inhibitor protease. Berbagai
oksidan, baik yang endogen (superoksida anion) maupun eksogen (mis.,asap rokok);
dapat menghambat fungsi protektif normal inhibitor protease sehingga terjadi
destruksi jaringan yang progresif. 10-12
Berbeda dari bronkitis kronik, emfisema adalah penyakit yang bukan terutama
mengenai saluran napas tetapi parenkim paru di sekitarnya. Konsekuensi fisiologis
adalah hasil dari kerusakan unit-unit respiratorik terminal dan hilangnya jaringan
kapiler alveolus, serta yang sangat penting, stuktur-struktur penunjang paru, termasuk
jaringan ikat elastic. 10-12
Hilangnya jaringan ikat elastic menyebabkan paru kehilangan daya recoil
elastic dan mengalami peningkatan compliance. Tanpa recoil elastis yang normal,
saluran napas yang tidak mengandung tulang rawan tidak lagi mendapat topangan.
Saluran napas mengalami kolaps premature saat ekspirasi, disertai gejala obstruktif
dan temuan fisiologis yang khas. 10-12
Gambaran patologis emfisema adalah gambaran kerusakan progresif unit-unit
respiratorik terminal atau parenkim paru di sebelah distal dari bronkiolus terminal.
Peradangan saluran napas, jika terjadi, akan minimal, meskipun dapat terlihat
hyperplasia kelenjar mukosa di saluran napas penghubung yang besar. Interstisium
unit-unit respiratorik mengandung beberapa sel radang, tetapi temuan utama adalah
hilangnya dinding alveolus dan membesarnya ruang-ruang udara. Kapiler alveolus
juga lenyap, yang dapat menyebabkan penurunan kapasitas difusi dan hipoksemia
progresif, terutama saat berolahraga. 10-12
Kerusakan alveolus tidak merata di semua kasis emfisema. Berbagai varian
anatomis telah dilaporkan berdasarkan kerusakan unit respiratorik terminal (atau
asinus). Pada emfisema sentriasinar, kerusakan berpusat di tengah unit respiratorik
terminal, dengan bronchioles respiratorius dan ductus alveolaris yang relative tidak
terkena. Pola ini paling sering berkaitan dengan kebiasaan merokok. Emfisema
parasinar adalah kerusakan unit-unit respiratorik terminal secara umum disertai
pelebaran ruang udara difus. Pola ini biasanya, meskipun tidak khas, dijumpai pada
defisiensi inhibitor 1-protease. Penting diperhatikan bahwa perbedaan antara kedua
pola ini umumnya bersifat patologis;tidak terdapat perbedaan bermakna dalam
gambaran klinis. Pola emfisema lain yang penting secara klinis adalah emfisema
bulosa. Bula adalah konfluensi luas ruang-ruang udara yang terjadi akibat kerusakan
local yang lebih besar atau peregangan progresif unit-unit paru. Bula penting karena
efek kompresif yang dapat ditimbulkannya pada jaringan paru sekitar dan
terbentuknya ruang mati fisiologis yang besar. 10-12
Emfisema bermanifestasi sebagai penyakit non peradangan berupa dispnea,
obstruksi progresif saluran napas yang irreversible, dan gangguan pertukaran gas,
terutama saat berolahraga. 10-12
1.
2.
3.
hanya timbul saat berolahraga tetapi akhirnya juga pada saat istirahat.
Hiperkapnia, asidosis respiratorik, dan alkalosis metabolic kompensatorik sering
dijumpai pada penyakit berat. 10-12
6.
Polisitemia. Seperti pada bronkitis kronik, hipoksemia kronik
sering berikatan dengan peningkatan hematokrit. 10-12
Pada emfisema, prinsip penatalaksanaan dan komplikasi hampir mirip dengan
bronkitis kronik. Prognosis pada emfisema lebih berat daripada bronkitis kronik. 10-12
Etiologi
Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebebkan terjadinya PPOK, baik
faktor eksogen (dalam hal ini lingkungan) maupun faktor endogen (dalam hal ini
faktor host atau faktor dari penderita sendiri).4,5
Faktor Lingkungan : 4,5
Merokok
Asap tembakau
Polisi udara di tempat kerja atau di dalam kota
Genetik
Karena defisiensi alfa 1 antitripsin. Suatu kelainan herediter yang
jarang ditemukan.ini merupakan predisposisi untuk berkembangnya PPOK
dini. Alfa 1 antitripsin ini merupakan sejenis protein tubuh yang diproduksi
oleh hati, dimana berfungsi dalam melindungi paru-paru dari kerusakan.
Enzim ini juga berfubgsi untuk menetralkan tripsin yang berasal dari rokok.
Jika enzin ini rendah sedangkan asupan rokok tinggi maka akan mengganggu
system kerja enzim tersebut, yang bisa mengakibatkan infeksi saluran
pernapasan. Defisiensi enzim ini menyebabkan emfisema pada usia muda,
yaitu pada mereka yang tidak merokok (onsetnya sekitar usia 53 tahun) dan
jumlah otot polos, proteoglikan dan kolagen bertambah sehingga dinding pembuluh
darah bertambah tebal.6
Pada bronkitis kronis maupun emfisema terjadi penyempitan saluran napas.
Penyempitan ini dapat mengakibatkan obstruksi dan menimbulkan sesak. Pada
bronkitis kronik, saluran pernapasan yang berdiameter kecil (< 2 mm) menjadi lebih
sempit dan berkelok-kelok. Penyempitan ini terjadi karena metaplasi sel goblet.
Saluran napas besar juga menyempit karena hipertrofi dan hiperplasi kelenjar mukus.
Pada emfisema paru, penyempitan saluran napas disebabkan oleh berkurangnya
elastisitas paru-paru.13-14
Manifestasi Klinik
Pasien biasanya mengeluhkan 2 keluhan utama yaitu, sesak napas dan batuk.
Adapun gejala yang terlihat seperti :7
a)
Sesak Napas
Timbul progresif secara gradual dalam beberapa tahun. Mula-mula
ringan lebih lanjut akan mengganggu aktivitas sehari-hari. Sesak napas
bertambah berat mendadak menandakan adanya eksaserbasi.
b)
Batuk Kronis
Batuk kronis biasanya berdahak kadang episodik dan memberat waktu
pagi hari. Dahak biasanya mukoid tetapi bertambah purulen bila
eksaserbasi.
Wheezing
Kontraksi otot polos, bersama dengan hipersekresi dan retensi mukus
menyebabkan pengurangan kaliper saluran napas dan tuberlensi aliran
darah yang berkepanjangan, yang menimbulkan mengi yang dapat
didengar langsung atau dengan stetoskop. Intesitas mengi tidak
berkolerasi baik dengan keparahan penyempitan saluran napas;
contohnya, pada obtruksi saluran napas ektrem, aliran udara dapat
sedemikian berkurang, sehingga mengi mungkin sama sekali tidak
terdengar. Riwayat wheezing tidak jarang ditemukan pada PPOK dan ini
menunjukan komponen reversibel penyakitnya.8
d)
Batuk Darah
Bisa dijumpai terutama waktu eksaserbasi. Asal darah diduga dari
saluran napas yang radang dan khasnya blood streaked purulen
sputum.
e)
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan harus mencakup pemeriksaan dan pengurangan faktor risiko
selain penatalaksanaa PPOK yang stabil maupun eksaserbasi. Harus ada peningkatan
bertahap pada pengobatan sesuai dengan keparahan penyakit, yang bisa
dikelompokkan sebagai berikut (Berdasarkan ketentuan Perkumpulan Dokter Paru
Indonesia/PDPI) : 9-12
Stadium 0 (beresiko)
Spirometri normal ; Batuk atau sputum kronis
Stadium 1 (ringan)
FEV1 : FVC < 70% ; Perkiraan FEV1 =80 %
Gejala klinis : - dengan atau tanpa gejala
-
Stadium 2 (sedang)
FEV1 : FVC < 70% ; Perkiraan 30% <FEV1 <80 %
Gejala klinis : - dengan atau tanpa gejala
-
Stadium 3 (berat)
FEV1 : FVC < 70% ; Perkiraan FEV1 <30 % atau FEV1 < 50 %
Gejala klinis : - Ekserbasi lebih sering terjadi
kanan
Bronkodilator
Bronkodilator adalah obat yang mengendurkan otot polos di sekitar
saluran udara, meningkatkan kaliber saluran udara dan meningkatkan
aliran udara. Mereka dapat mengurangi gejala sesak napas, mengi dan
pembatasan latihan, sehingga peningkatan kualitas hidup orang dengan
PPOK. Mereka tidak memperlambat laju perkembangan penyakit yang
mendasarinya. Bronchodilators biasanya diberikan dengan inhaler atau
melalui nebulizer. Ada dua jenis utama bronkodilator, 2 agonis dan
antikolinergik.
Antikolinergik tampaknya unggul 2 agonis di PPOK. Antikolinergik
mengurangi kematian pernapasan, sementara 2 agonis tidak berpengaruh
pada pernapasan kematian. Masing-masing jenis dapat berupa long-acting
(dengan efek yang berlangsung 12 jam atau lebih) atau short-acting
(dengan onset cepat efek yang tidak terakhir sebagai panjang). Dianjurkan
penggunaan dalam bentuk inhalasi kecuali pada eksaserbasi digunakan
oral atau sistemik.5
Anti Inflamasi
Pilihan utama bentuk metilprednisolon atau prednison. Untuk penggunaan
jangka panjang pada PPOK stabil hanya bila uji steroid positif. Pada
eksaserbasi dapat digunakan dalam bentuk oral atau sistemik.
Antibiotik
Tidak dianjurkan penggunaan jangka panjang untuk pencegahan
eksaserbasi.
Pilihan antibiotik pada eksaserbasi disesuaikan dengan pola kuman
setempat.
Mukolitik
Tidak diberikan secara rutin. Hanya digunakan sebagai pengobatan
simtomatik bila tedapat dahak yang lengket dan kental.
Antitusif
Diberikan hanya bila terdapat batuk yang sangat mengganggu.
Penggunaan
secara rutin merupakan kontraindikasi.
Pengobatan Penunjang9-12
a
Rehabilitasi
Edukasi
Berhenti merokok
Nutrisi
Menjadi baik berat badan atau kegemukan dapat mempengaruhi gejala,
tingkat kecacatan dan prognosis PPOK. Orang-orang dengan PPOK yang
berat badannya dapat meningkatkan kekuatan otot pernapasan mereka
dengan meningkatkan asupan kalori mereka. Ketika dikombinasikan
dengan olahraga teratur atau program rehabilitasi paru, hal ini dapat
mengakibatkan peningkatan gejala PPOK.
Terapi Oksigen
Harus berdasarkan analisa gas darah baik pada penggunaan jangka panjang
atau pada eksaserbasi. Pemberian yang tidak berhati - hati dapat
menyebabkan
hiperkapnia dan memperburuk keadaan. Penggunaan jangka panjang pada
PPOK stabil derajat berat dapat memperbaiki kualitas hidup.
Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik invasif digunakan di ICU pada eksaserbasi berat.
Ventilasi mekanik noninvasif digunakan di ruang rawat atau di rumah
sebagai perawatan lanjutan setelah eksaserbasi pada PPOK berat.
Operasi Paru
Dilakukan bulektomi bila terdapat bulla yang besar atau transplantasi paru
(masih dalam proses penelitian di negara maju).
Vaksinasi Influenza
Untuk mengurangi timbulnya eksaserbasi pada PPOK stabil. Vaksinasi
influenza
diberikan pada:
a
Prognosis
Lanjutan merokok
Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditemukan pada pasien PPOK bila tidak tidak
ditangani secara lanjut antara lain:
1
Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg,
dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalami
perubahan mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul
cyanosis.9-12
Asidosis respiratorik
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul
antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.9-12
Infeksi pernapasan
Infeksi pernapasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus,
peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa. Terbatasnya
aliran udara akan meningkatkan kerja napas dan timbulnya dyspnea.9-12
Gagal jantung
Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus
diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini sering
kali berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat
juga dapat mengalami masalah ini. 9-12
Cardiac disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis
respiratory. 9-12
Status asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma bronchial.
Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan seringkali tidak
berespon terhadap therapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu
pernapasan dan distensi vena leher seringkali terlihat.9-12
Pencegahan
Mencegah kebiasaan merokok, menghindari polusi udara, serta menjaga
kesehatan kerja. Dan yang paling penting adalah menjaga kualitas gaya hidup.11-12
Kesimpulan
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan penyakit paru yang terjadi
karena adanya sumbata pada jalan napas yang berlangsung lama. PPOK terdiri dari 4
jenis, yaitu bronkiektasis, asma bronkiale, bronchitis kronis, dan emfisema. Gejalanya
terdiri dari sesak napas dan batuk produktif yang cukup lama. Penyebab dari penyakit
ini adalah terutama karena terpajan asap rokok, polusi, dan faktor genetik.
Penanganannya dapat diberikan obat bronkodilator dan pemberian oksigen.
Daftar Pustaka
1 Djojodibroto RD. Respirologi (respiratory medicine). Jakarta:EGC, 2009. h. 522
125.
Gleadle, Jonathan. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta
:Erlangga; 2007.h.1-17.
Bickley LS. Buku ajar pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan Bates. Edisi ke- 8.
5
6
h.434-5.
Price SA. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi-2
10 Sibuea WH, Panggabean MM, Gultom SP. Asma Bronkial. Dalam : Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Rineka Cipta. 2005. 53.
11 Asdie AH. editor. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Edisisi ke-13.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2012. h.1347-56.
12 Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Mitchell RN. Robbins basic pathology. 8th ed.
Philadelphia: Saunders Elsevier Inc. 2007. p. 480-500.
13 Faiz O, Moffat D. At a glance anatomi. Jakarta : Erlangga; 2004.h.2-13.
14 Tambayong J.Patofisiologi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2002. h. 969.