Anda di halaman 1dari 88

Laporan Tutorial

Blok Emergency
Skenario I

Disusun Oleh:
Kelompok 12

Desti Nurul Q

1218011034

Redopatra Asa Gama

1218011125

Duta Hafsari

1218011038

Rio Gasa Handriyo

1218011130

Guntur Sulistiyo

1118011053

Ruthsuyata S

1218011134

Huzaimah

1218011072

Sefira Dwi Ramadhany

1218011138

Ika Noverina Manik 1218011077

Viera Rininda M.D

1218011157

Nico Aldrin Avesina 1218011111

Zsazsa Febryana

1218011166

Program Studi Pendidikan Dokter


Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung
2015

KATA PENGANTAR

Assalammualaikum wr.wb
Alhamdulillah, puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang
Maha Esa atas berkat dan anugerah-Nya sehingga kami daat menyusun laporan
diskusi tutorial ini.
Laporan ini disusun dalam rangka memenuhi tugas blok Medical Basic
Science. Kepada para dosen yang teribat dala mata kuliah dalam blok ini, kami
mengucapkan terima kasih atas segala pengarahan yang telah diberikan sehingga
dapat menyusun laporan ini dengan baik.
Kami menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan dalam penulisan
laporan ini, baik dari segi isi, bahasa, analisis, dan sebagainya. Oleh karena itu,
kami mohon maaf atas segala kekurangan tersebut. Hal ini disebabkan karena
masih terbatasnya pengetahuan, wawasan, dan keterampilan kami. Selain itu,
kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan, guna kesempurnaan laporan
ini dan perbaikan bagi kita semua.
Semoga laporan ini dapat bermanfaat dan dapat menambah wawasan
untuk kita semua.

Wassalammualaikum wr.wb

Bandar Lampung, September 2015

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

Penyusun

Daftar Isi

Kata pengantar......................................................................................2
Daftar isi...............................................................................................3
Skenario 2.............................................................................................4
Step 1. Identifikasi Istilah Asing..........................................................5
Step 2. Identifikasi Masalah.................................................................5
Step 3. Brainstorming...........................................................................6
Step 4. Pembahasan Masalah...............................................................8
Step 5. Learning Objective.................................................................23
Step 6. Belajar Mandiri......................................................................23
Step 7. Penjelasan LO........................................................................24
Daftar Pustaka

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

SKENARIO I
BLOK EMERGENCY

Dokter Jaga di IGD

Anda tiba di ruangan IGD RSP Universitas Lampung yang sudah berisi seorang
pasien. Pasien tersebut Tuan. V, 22 tahun, terlihat lemas, GCS 13 dengan tekanan
darah85/60mmHg, frekuensi nada 114x/menit dan frekuensi nafas 32x/menit,
tampak berlumuran darah setelah kecelakaan lalu lintas dengan luka terbuka
sekitar 15cm yang disertai perdarahan dengan dasar luka berupa patahan tulang
paha kaki kiri yang tampak tajam. Warga membawa pemuda tersebut ke RSP
Unuversitas Lampung untuk diberikan pertolongan medis.

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

Step 1
( Identifikasi Istilah Asing )
-

Step 2
( Identifikasi Masalah )
1. Bagaimana penanganan awal dan penilaian awal pada pasien ?
2. Indikasi kegawatdaruratan medis ?
3. Prinsip pelaksanaan kegawatdaruratan medis ?

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

Step 3
( Brainstorming )
1. Bagaimana penanganan awal dan penilaian awal pada pasien ?
beberapa tahapan dalam penanganan penderita gawat darurat, dimulai dari
pengkajian.
Pengkajian primer : merupakan pengkajian pada permasalahan yang utama,
terdiri dari:

A : permasalahan pada Airway, dengan catatan lakukan control servikal


(khusus pasien trauma)

B : permasalahan pada breathing (ventilasi)

C : permasalahan pada circulation

D : disability, drug, Defibrilation, diagnosis

E : exposure control (pada kasus trauma dengan membuka pakaian


pasien, tapi cegah hipotermi), EKG pada kasus non trauma, pemeriksaan
gangguan elektrolit.

Pengkajian sekunder : bila pada pengkajian primer dapat tertangani, maka


berlanjut ke pengkajian sekunder.

Pengkajian riwayat penyakit


anamnesa penyakit dahulu dan sekarang, riwayat alergi, riwayat
penggunaan obat-obatan, keluhan utama.

Pemeriksaan penunjang
laboratorium, rontagen, EKG.

Pendekatan untuk memprioritisasikan tindakan :


Prioritas Nol (Hitam) :
o Mati atau jelas cedera fatal.

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

o Tidak mungkin diresusitasi.


Prioritas Pertama (Merah) : Cedera berat yang perlukan tindakan dan
transport segera.
o gagal nafas,
o cedera torako-abdominal,
o cedera kepala / maksilo-fasial berat,
o shok atau perdarahan berat,
o luka bakar berat.
Prioritas Kedua (Kuning) : Cedera yang dipastikan tidak akan mengalami
ancaman jiwa dalam waktu dekat :
o cedera abdomen tanpa shok,
o cedera dada tanpa gangguan respirasi,
o fraktura mayor tanpa shok,
o cedera kepala / tulang belakang leher,
o luka bakar ringan.
Prioritas Ketiga (Hijau) : Cedera minor yang tidak membutuhkan
stabilisasi segera :
o cedera jaringan lunak,
o

fraktura dan dislokasi ekstremitas,

o cedera maksilo-fasial tanpa gangguan jalan nafas,


o gawat darurat psikologis.

2. Indikasi kegawatdaruratan medis ?


-

Emergency sign : dilihat dari ABCDE

Priority sign : dilihat dari triase

3. Prinsip pelaksanaan kegawatdaruratan medis ?


Step 4

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

Step 4
( Pembahasan Masalah )
1. Bagaimana penanganan awal dan penilaian awal pada pasien ?
Penilaian menurut GCS :
GCS (GLASGOW COMA SCALE) Adalah skala yang dipakai untuk
menentukan atau menilai tingkat kesadaran pasien, mulai dari keadaan sadar
penuh hingga keadaan Coma.

Pada pemeriksaan Kesadaran atau GCS, ada 3 fungsi (E,Y,M) yang hurus
diperiksa, masing-masing fungsi mempunyai nilai yang berbeda-beda, untuk
penjelasannya bisa dilihat dibawah
1. E : eyes/ mata nilai total 4
2. V : Verbal nilai total 5
3. M: Motorik / gerak nilai total 6
CARA PENILAIAN
no

Jenis pemeriksaan

Eye (mata)

Nilai Respon

a. spontan

Mata terbuka secara spontan

b. rangsangan suara

Mata terbuka terhadap perintah


verbal

c. rangsangan nyeri

Mata terbuka terhadap rangsangan


nyeri

d. tidak ada

Tidak membuka mata terhadap


rangsangan apapun

Respon verbal
a. orientasi baik

Orientasi baik dan mampu


berbicara

b. bingung

Disorientasi dan bingung

c. mengucapkan kata yang tidak

Mengulang kata-kata yang tidak

tepat

tepat secara acak

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

d. mengucapkan kata-kata yang tidak

Mengeram atau merintih

Tidak ada respon

a. mematuhi perintah

Dapat bergerak mengikuti perintah

b. melokalisasi

Dapat melokalisasi nyeri (gerakan

jelas
e. tidak ada
3

Respon motorik

terarah dan bertujuan ke arah


rangsang nyeri)
c. menarik

Fleksi atau menarik saat di


rangsang nyeri contoh: menarik
tangan saat kuku di tekan

d. fleksi abnormal

Membentuk posisi dekortikasi.


Contoh: fleksi pergelangan tangan

e. ekstensi abnormal

Membentuk posisi
deserebrasi.contoh : ekstensi
pergelangan tangan

f. tidak ada

Tidak ada respon, hanya berbaring


lemah, saat di rangsang apapun

Interpretasi atau hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan


dalam simbol EVM

Selanjutnya nilai tiap-tiap pemeriksaan dijumlahkan, nilai GCS yang tertinggi


adalah 15 yaitu E4 V5 M6 dan terendah adalah 3 yaitu E1 V1 M1. Biasanya,
pasien dengan nilai GCS dibawah 5 ialah pasien emergensi yang sulit
dipertahankan keselamatannya.

Berdasarkan buku Advanced Trauma Life Support, GCS berguna untuk


menentukan derajat trauma/cedera kepala (trauma capitis).

Derajat cedera kepala berdasarkan GCS:


GCS : 14-15 = CKR (cedera kepala ringan)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

GCS : 9-13 = CKS (cedera kepala sedang)


GCS : 3-8

= CKB (cedera kepala berat)

Penanganan Awal
Lakukan primary survey atau mencari keadaan yang mengancam nyawa sebagai
berikut:
A atau airway maintenance
mempertahankan jalan napas, hal ini dapat dikerjakan dengan teknik
manual ataupun menggunakan alat bantu (pipa orofaring, pipa
endotrakheal, dll). Tindakan ini mungkin akan banyak memanipulasi
leher sehingga harus diperhatikan untuk menjaga stabilitas tulang leher.
B atau Breathing
menjaga pernapasan atau ventilasi dapat berlangsung dengan baik. Setiap
penderita trauma berat memerlikan tambahan oksigen yang harus
diberikan kepada penderita dengan cara efektif.
C atau Circulation
mempertahankan sirkulasi bersama dengan tindakan untuk menghentikan
perdarahan. Pengenalan dini tanda-tanda syok perdarahan dan
pemahaman tentang prinsip-prinsip pemberian cairan sangat penting
untuk dilakukan sehingga menghindari pasien dari keterlambatan
penanganan.
D atau Disability
pemeriksaan untuk mendapatkan kemungkinan adanya gangguan
neurologis.
E atau Exposure atau Environment
pemeriksaan pada seluruh tubuh penderita untuk melihat jelas jejas atau
tanda-tanda kegawatan yang mungkin tidak terlihat dengan menjaga
supaya tidak terjadi hipotermi.
a)

Menjaga Airway dengan Kontrol Servikal

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

10

Hal pertama yang harus dinilai adalah kelancaran dari jalan nafas, tetapi
harus selalu diwaspadai bahwa kebanyakan usaha dalam memperbaiki jalan
nafas dapat menyebabkan gerakan pada leher. Oleh sebab itu,untuk
mencegah fraktur servikal akibat gerakan pada leher harus dilakukan
tindakan pengontrolan servikal. Kemungkinan dari fraktur servikal dapat
diprediksi apabila terdapat:
-

Trauma kapitis, terutama apabila ada penurunan kesadaran.

Adanya luka karena trauma tumpul kranial dari klavikula.

Setiap multi trauma ( trauma pada dua regio atau lebih )

Biomekanika trauma yang mendukung seperti tabrakan dari belakang.

Setelah dilakukan penilaian awal terhadap servikal langkah selanjutnya


adalah tindakan proteksi servikal. Tindakan proteksi servikal antara lain
dengan mempertahankan posisi kepala dan memasang kolar servikal di atas
long spine board. Setelah pemasangan kolar servikal perhatian ditujukan
kepada airway penderita. Ajak penderita berbicara dan apabila penderita
dapat bericara dengan jelas menggunakan kalimat yang panjang hal itu
menunjukkan bahwa kondisi airway dan breathing penderita dalam keadaan
baik, kemungkinan penderita tidak mengalami syok serta kemungkinan
tidak terdapat kelaianan neurologis.
Namun, apabila penderita tidak dapat menjawab kemungkinan airway
mengalami gangguan. Sumbatan pada jalan nafas ( obstruksi ) akan ditandai
dengan suara nafas antara lain bunyi gurgling ( bunyi kumur- kumur yang
menandakan adanya cairan), bunyi mengorok ( snoring, karena pangkal
lidah yang jatuh ke arah dorsal) ataupu bunyi stidor karena adanya
penyempitan/ oedem. Tindakan penanganan apabila terdapat cairan lakukan
suction untuk mengeluarkan cairan, apabila mengorok lakukan penjagaan
jalan nafas secara manual yaitu chin lift atau jaw thrust disusul dengan
pemasangan pipa oro atau nasofaringeal.

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

11

Gambar head tilt, chin lift

Gambar jaw thrust

Pemasangan pipa orofaringeal ( guedel/ mayo ) jangan dilakukan apabila


penderita masih dalam keadaan sadar karena akan menyebabkan penderita
mengeluarkan pipa tersebut ( reflek gag). Dalam keadaan ini, lebih baik
dipasang pipa nasofaringeal. Harus diingat bahwa pemasangan
nasofaringeal merupakan kontraindikasi bagi penderita yang dicurigai basis
kranii bagian depan karena pipa dapat masuk ke rongga kranium. Apabila
penderita mengalami apneu, hal itu menandakan terdapatnya ancaman
obstruksi ataupun ancaman aspirasi. Oleh sebab itu, pemasangan jalan nafas
defintif menjadi pilihan yang diambil. Terapi definitif tersebut antara lain
pembuatan jalan nafas melalui hidung ( nasotrakeal ), melalui mulut (
orotrakeal ) ataupun langsung melalui suatu krikotiroidiotomi.
b)

Breathing dan Ventilasi


Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi penderita dalam keadaan
baik. Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernafas adalah mutlak untuk
pertukaran Oksigen dan Karbondioksida dari tubuh. Tiga hal yang
dilakukan dalan breathing yaitu:
-

Nilai apakah breahing baik ( look, listen dan feel )

Ventilasi tambahan apabila breathing kurang adekuat

Berikan Oksigen sesuai indikasi

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

12

Penderita yang dapat berbicara kalimat panjang tanpa kesan sesak, maka
breathing penderita baik. Pernafasan yang baik apabila frekuensi normal (
dewasa rata- rata 20 , anak 30, dan bayi 40 kali per menit), tidak ada gejala
sesak dan pemeriksaan fisiknya baik.
Pemeriksaaan dilakukan dengan cara sebagai berikut:
-

Lihat dada penderita dengan membuka pakaian atas untuk melihat


pernafasan yang baik. Lihat apakah terdapat jejas, luka terbuka dan
ekspansi kedua paru.

Auskultasi dilakukan untuk memastikan masukknya udara ke dalam


paru-paru dengan mendengarkan suara nafas ( sekaligus mendengarkan
suara jantung).

Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara ( hipersonor) atau darah (


dull) dalam rongga pleura.

Cedera thorax yang dapat mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat dan
ditemukan pada saat melakukan survei primer antara lain tension
pneumothorax, flail ches dengan kontusio paru, pneumothoraks terbuka dan
hematotoraks masif.
Apabila pernafasan tidak adekuat harus dilakukan bantuan pernafasan (
assited ventilation). Di UGD pemberian bantuan pernafasan dengan
memakai bag valve mask ( ambu bag ) ataupun menggunakan ventilator.
Pemberian oksigen dengan konsentrasi yang tinggi menggunakan
rebreathing, non-rebreathing mask ataupun dengan kanul ( 5-6 LPM)
c)

Circulation dengan Kontrol Perdarahan


Langkah berikutnya adalah memeriksa akral dan nadi, apabila menemukan
tanda syok segera atasi syok. Perdarahan merupakan penyebab utama
kematian pasca bedah yang dapat diatasi dengan terapi yang cepat dan tepat
di rumah sakit. Syok pada penderita trauma biasanya diasumsikan

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

13

disebabkan oleh hipovolemia sampai terbukti penyebab lainnya sehingga


diperlukan penilaian yang cepat mengenai status hemodinamik penderita.
1)

Pengenalan Syok

Terdapat dua pemeriksaan yanng dalam hitungan detik dapat memberikan


informasi mengenai keadaaan hemodinamik, yaitu akral dan nadi.
-

Keadaan kulit akral


Warna kulit dapat membantu diagnosis hipobolemia. Penderita trauma
yang kulitnya kemerahan terutama pada wajah dan ekstrimitas jarang
dalam keadaan hipovolemia. Sebaliknya, wajah pucat keabu-abuandan
kulit ektrimitas yang pucat serta dingin merupakan tanda syok.

Nadi
Nadi yang besar seperti arteri femoralis atau arteri karotis harus
diperiksa bilateral untuk menilai kekuatan nadi,kecepatan dan irama.
Pada keadaan syok, nadi akan melemah/ kecil dan cepat.

Pada fase awal jangan terlalu percaya dengan tekanan darah dalam
menentukan apakah penderita mengalami syok ataupun tidak karena
tekanan darah penderita sebelumnya belum diketahui dan diperlukan
kehilangan darah lebih dari 30 % untuk dapat terjadinya penurunan tekanan
darah yang signifikan.

2)

Kontrol Perdarahan
Perdarahan dapat terjadi secara eksternal ( terlihat) maupun internal (
tidak terlihat). Perdarahan internal berasal dari rongga thoraks, rongga
abdomen, fraktur pelvis, fraktur tulang panjang dan retroperitoneal.
-

Perdarahan Eksternal
Perdarahan eksternal dikendalikan dengan penekanan langsung
pada luka dan jarang dilakukan penjahitan dalam mengendalikan
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

14

perdarahan luar. Turniket ( tourniquet) jangan dipasang karena


pemasangan turniket yang benar justru akan merusak jaringan
akibat iskemia distal dari torniket.Pemakaian hemostat ( di klem )
memerlukan waktu dan dapat merusak jaringan sekitar seperti
saraf dan pembuluh darah.
-

Perdarahan Internal
Spalk/ bidai dapat digunakan untuk mengontrol perdarahan dari
suatu fraktur pada ekstrimitas. Pneumatic anti syok garment
adalah suatu alat untuk menekan pada keadaan fraktur pelvis,
tetapi alat ini mahal dan sulit didapat sehingga sebagai pengganti
sering digunakan gurita sekitar pelvis. Perdarahan intraabdominal
atau intrathorakal yang masif dan tidak diatasi dapat diatasi
dengan pemberian cairan intravena yang adekuat memerlukan
tindakan operasi dengan segera untuk menghentikan perdarahan (
resusitative laparato/ thoracotomy).

3)

Perbaiki Volume
Kehilangan darah sebaiknya diganti dengan darah, tetapi penyediaan
darah membutuhkan waktu sehingga biasanya diberikan cairan
kristaloid 1-2 liter untuk mengawasi syok hemoragik melalui 2 jalur
dengan jarum intravena yang besar. Cairan kristaloid sebaiknya ringer
laktat walauoun NaCl fisiologis juga dapat dipakai. Cairan diberikan
dengan tetesan cepat melalui suatu kateter intravena yang besar
minimal ukuran 16 ( diguyur/ grojog).Cairan juga harus dihangatkan
untuk mengindari terjadinya hipotermia. Pemasangan kateter urin juga
harus dipertimbangkan untuk memantau pengeluaran urin.
Saat dikenali syok ( penderita trauma) sambil dipasang infus, lakukan
penekanan pada pendarahan luar ( bila ada ). Apabila tidak ada
perdarahan luar dilakukan pencarian akan adanya perdarahan internal
di 5 tempat yaitu thorax, abdomen, pelvis, tulang panjang dan
retroperitoneal. Sambil mencari perdarahan internal lakukan evaluasi

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

15

respon penderita terhadap pemberian cairan. Respon yang diberikan


penderita ada 3 yaitu:
-

Respon baik
setelah diguyur, tetesan mulai dipelankan, penderita menunjukkan
tanda- tanda perfusi baik ( kulit hangat, nadi menjadi besar dan
melambat, tekanan darah mulai meningkat) Hal ini menandakan
perdarahan sudah berhenti.

Respon sementara
setelah tetesan dipelankan, ternyata penderita mengalami syok
lagi. Hal ini mungkin disebabkan oleh resusitasi cairan masih
kurang atau perdarahan berlanjut.

Respon tidak ada


apabila sama sekali tidak terdapat respon terhadap pemberian
cairan, maka harus difikirkan perdarahan yang heba atau syok
non-hemoragik ( paling sering syok kardiogenik).

d)

Disability
Perdarahan intrakranial dapat menyebabkan kematian dengan sangat cepat
sehingga diperlukan evaluasi keadaan neurologis secara cepat. Yang dinilai
adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil.
-

GCS ( Glasgow Coma Scale)


GCS adalah sistem skoring yang sederhana dan dapat meramal outcame
dari penderita. Penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh penurunan
oksigenasi atau/ dan perfusi ke otak atau disebabkan oleh perlukaan
pada otak sendiri. Perubahan kesadaranakan dapat mengganggu airway
serta breathing yang seharusnya sudah diatasi terlebih dahulu. Jangan
lupa bahwa alkohol dan obat-obatan dapat mengganggu tingkat
kesadaran penderita. Penurunan tingkat GCS yang lebih dari satu ( 2
atau lebih ) harus sangat diwaspadai.

Pupil

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

16

Nilai adakah perubahan pada pupil. Pupil yang tidak sama besar (
anisokor) kemungkinan menandakan lesi masa intrakranial (
perdarahan).
-

Resusitasi
Terhadap kelainan primer di otak tidak banyak yang bisa dilakukan,
tetapi yang harus diingat dalam penerimaan penderita di UGD harus
dihindari adanya cedera otak sekunder ( secondary brain injury ). Yang
harus dilakukan adalah terapi yang cepat/ agresif apabila terjadi
hipovolemia, hipoksia dan hiperkarbia untuk menghindari cedera otak
sekunder.

e)

Exposure/ Kontrol Lingkungan


Di rumah sakit seluruh pakaian penderita harus dibuka untuk evaluasi
kelainan atau injury secara cepat pada tubuh penderita. Setelah pakaian
dibuka perhatikan injury/ jejas pada tubuh penderita dan harus dipasang
selimut agar penderita tidak kedinginan. Harus dipakaikan selimut yang
hangat, ruangan cukup hangat dan diberikan cairan intravena yang sudah
dihangatkan. Apabila pada primary survey dicurigai adanya perdarahan dari
belakang tubuh lakukan long roll untuk mengethui sumber perdarahan.

Secondary Survey) dan Pengelolaannya


Survey sekunder adalah pemeriksaan teliti yang dilakukan dari ujung rambut
sampai ujung kaki, dari depan sampai belakang dan setiap lubang dimasukkan
jari ( tube finger in every orifice ). Survey sekunder hanya dilakukan apabila
penderita telah stabil. Keadaan stabil yang dimaksud adalah keadaan penderita
sudah tidak menurun, mungkin masih dalam keadaan syok tetapi tidak bertambah
berat. Suvey sekunder harus melalui pemeriksaan yang teliti pada setiap lubang
alami ( tubes and finger in every orifice )

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

17

a)

Anamnesis
Anamnesis harus lengkap karena akan memberikan gambaran mengenai
cedera yang mungkin diderita. Beberapa contoh yang dapat dilhat sebagai
berikut:
-

Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman


mengalami: cedera wajah, maksilofacial, servikal, thoraks, abdomen
dan tungkai bawah.

Jatuh dari pohon setinggi 6 meter: perdarahan intrakranial, fraktur


servikal atau vertebra lain, fraktur ekstrimitas.

Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.

Anamnesis juga harus meliputi anamnesis AMPLE. Riwayat AMPLE


didapatkan dari penderita, keluarga ataupun petugas pra- RS yaitu:

A : alergi

M : medikasi/ obat-obatan

P : penyakit sebelumnya yang diderita ( misalnya hipertensi, DM )

L : last meal ( terakhir makan jam berapa )

E : events, yaitu hal-hal yang bersangkitan dengan sebab dari cedera.

b) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi inspeksi, auskultasi, palpasi dan perkusi.
1)

Kulit Kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa. Seringkali penderita tampak mengalami
cedera ringan dan ternyata terdapat darah yang berasal dari belakang
kepala. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk
melihat adanya laserasi, kontusio, fraktur dan luka termal.

2)

Wajah

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

18

Apabila cedera terjadi disekitar mata jangan lalai dalam memeriksa mata
karena apabila terlambat akan terjadi pembengkakan pada mata sehingga
pemeriksaaan sulit dilanjutkan. Lakukan Re-Evaluasi kesadaran dengan
skor GCS.
-

Mata: periksa kornea mata ada cedera atau tidak, pupil : reflek
terhadap cahaya, pembesaran pupil, visus

Hidung: apabila terdapat pembengkakan lakukan palpasi akan


kemungkinan krepitasi dari suatu fraktur.

Telinga: periksa dengan senter mengenai keutuhan membran


timpani atau adanya hemotimpanum.

3)

Rahang atas: periksa stabilitas rahang atas.

Rahang Bawah: periksa akan adanya fraktur.

Vertebra Servikalis dan Leher


Pada saat memeriksa leher, kolar terpaksa dilepas. Jangan lupa untuk
melakukan fiksasi pada leher dengan bantuan petugas lain. Periksa adanya
cedera tumpul atau tajam. Deviasi trakea dan simetri pulsasi. Tetap jaga
imobilisasi segaris dan proteksi servikal. Jaga airway, pernafasan dan
oksigenasi. Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder.

4)

Thoraks
Pemeriksaan dilakukan dengan look, listen, feel.
Inspeksi : dinding dada bagian depan, samping dan belakang untuk adanya
trauma tumpul/ tajam, pemakaian otot pernafasan tambahan dan ekspansi
torak bilateral.
Auskultasi: lakukan auskultasi pada bagian depan untuk bising nafas (
bilateral ) dan bising jantung.
Palpasi: lakukan palpasi pada seluruh dinding dada untuk adanya
traumatajam/ tumpul, emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

19

Perkusi: lakukan perkusi untuk mengetahui adanya hipersonor dan


keredupan.
5)

Abdomen
Cedera intraabdomen biasanya sulit terdiagnosa , berbeda dengan keadaan
cedera kepala yang ditandai dengan penurunan kesadaran, fraktur vertebrae
dengan kelumpuhan ( penderita tidak sadar akan keluhan nyeri perutnya dan
defans otot/ nyeri tekan).
Inspeksi: inspeksi abdomen bagian depan dan belakang untuk melihat
adanya trauma tajam, tumpul dan adanya perdarahan internal.
Auskultasi: auskultasi bising usus untuk mengetahui adanya penurunan
bising usus.
Palpasi: palpasi abdomen untuk mengetahui adanya nyeri tekan, defans
muskuler, nyeri lepas yang jelas.
Perkusi:lakukan perkusi mengetahui adanya nyeri ketok, bunyi timpani
akibat dilatasi lambung akut atau redup bila ada hemoperitoneum.
Apabila ragu-ragu mengenai perdarahan intrabdomen dapat dilakukan
pemeriksaan DPL ataupun USG.

6)

Pelvis
Cedera pelvis yang berat akan tampak pada pemeriksaan fisik ( pelvis
menjadi tidak stabil). Pada cedera berat ini, kemungkinan penderita akan
masuk dalam keadaan syok yang harus segera diatasi. Bila ada indikasi
lakukan pemasangan PASG/ gurita untuk kontrol perdarahan dari fraktur
pelvis.

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

20

7)

Ektrimitas
Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat inspeksi, jangan
lupa untuk memeriksa adanya luka dekat daerah fraktur terbuka, pada saat
palpasi jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi distal dari fraktur dan
jangan dipaksakan untuk bergerak apabila sudah jelas mengalami fraktur.
Sindroma kompartemen ( tekanan intrakompartemen dalam ekstrimitas
meninggi sehingga membahayakan aliran darah) mungkin akan luput dari
diagnosis pada penderita yang mengalami penurunan kesadaran.

8)

Bagian Punggung
Periksa punggung dengan long roll ( memiringkan penderita dengan tetap
menjaga kesegarisan tubuh).

c) Tambahan Terhadap Survey Sekunder


Pada secondary survey pertimbangkan perlunya diadakan pemeriksaan
tambahan seperti foto tambahan, CT-scan, USG, endoskopi dsb.
2. Indikasi kegawatdaruratan medis ?
- Emergency sign : dilihat dari ABCDE
- Priority sign : dilihat dari triase
Triase :
Triage inisial
START, sebagai cara triage lapangan yang berprinsip pada sederhana dan
kecepatan, dapat dilakukan oleh tenaga medis atau tenaga awam terlatih.
Dalam memilah pasien, petugas melakukan penilaian kesadaran, ventilasi,
dan perfusi selama kurang dari 60 detik lalu memberikan tanda dengan
menggunakan berbagai alat berwarna, seperti bendera, kain, atau isolasi.
Hitam
pasien meninggal atau cedera fatal yang tidak memungkinkan untuk
resusitasi. Tidak memerlukan perhatian.

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

21

Merah
pasien cedera berat atau mengancam jiwa dan memerlukan transport
segera. Misalnya :
o

gagal nafas

cedera torako-abdominal

cedera kepala atau maksilo-fasial berat

o shok atau perdarahan berat


o luka bakar berat
Kuning
pasien cedera yang dipastikan tidak mengancam jiwa dalam waktu dekat.
Dapat ditunda hingga beberapa jam. Misalnya :
o cedera abdomen tanpa shok,
o cedera dada tanpa gangguan respirasi,
o fraktura mayor tanpa syok
o cedera kepala atau tulang belakang leher tanpa gangguan kesadaran
o luka bakar ringan
Hijau
cedera ringan yang tidak memerlukan stabilisasi segera. Misalnya :
o cedera jaringan lunak,
o fraktura dan dislokasi ekstremitas,
o

cedera maksilo-fasial tanpa gangguan jalan nafas

o gawat darurat psikologis

3. Prinsip pelaksanaan kegawatdaruratan medis ?


LO

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

22

Step 5
( Learning Objective )
1. Sebutkan dan jelaksan tipe fraktur ?
2. Jelaskan penanganan fraktur dan kegawat daruratan medis ?
3. Jelaskan penanganan syok dan patofisiologinya ?
4. Gambaran klinis fraktur ?
5. Bagaimana neurovascular distal ?
6. Pemeriksaan penunjang fraktur ?
7. Penanganan emergency secara umum ?
8. Komplikasi fraktur ?
9. Obat obat emergency ?

Step 6
Belajar Mandiri

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

23

Step 7
(Penjelasan LO)
1.

Tipe fraktur

Fraktur dapat dibedakan jenisnya berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan


disekitar, bentuk patahan tulang, dan lokasi pada tulang fisis.
Berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan disekitar. Fraktur dapat dibagi
menjadi :
a. Fraktur tertutup (closed),bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar.
b. Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan di kulit. Fraktur
terbuka terbagi atas tiga derajat (menurut R. Gustillo), yaitu:
a. Derajat I :
i. Luka <1 cm
ii. Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk
iii. Fraktur sederhana, transversal, oblik, atau kominutif ringan
iv. Kontaminasi minimal
b. Derajat II :
i. Laserasi >1 cm
ii. Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/ avulsi
iii. Fraktur kominutif sedang
iv. Kontaminasi sedang
c. Derajat III :Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi
struktur kulit, otot, dan neurovaskular serta kontaminasi derajat
tinggi. Fraktur terbuka derajat III terbagi atas:
i. Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat,
meskipun terdapat laserasi luas/flap/avulsi atau fraktur
segmental/sangat kominut if yang disebabkan oleh trauma
berenergi tinggi tanpa melihat besarnya ukuran luka.
ii. Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang
terpapar atau kontaminasi masif.
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

24

iii. Luka pada pembuluh arteri/saraf perifer yang harus


diperbaiki tanpa melihat kerusakan jaringan lunak.

Berdasarkan bentuk patahan tulang


a. Transversal adalah fraktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap
sumbu panjang tulang atau bentuknya melintang dari tulang. Fraktur
semacam ini biasanya mudah dikontrol dengan pembidaian gips.
b. Spiral adalah fraktur meluas yang mengelilingi tulang yang timbul akibat
torsi ekstremitas atau pada alat gerak. Fraktur jenis ini hanya
menimbulkan sedikit kerusakan jaringan lunak.
c. Oblik adalah fraktur yang memiliki patahan arahnya miring dimana garis
patahnya membentuk sudut terhadap tulang.
d. Segmental Adalah dua fraktur berdekatan pada satu tulang, ada segmen
tulang yang retak

dan ada yang terlepas menyebabkan terpisahnya

segmen sentral dari suplai darah.


e. Kominut a Adalah fraktur yang mencakup beberapa fragmen, atau
terputusnya keutuhan jaringan dengan lebih dari dua fragmen tulang.
f. Greenstick Adalah fraktur tidak sempurna atau garis patahnya tidak
lengkap dimana korteks tulang sebagian masih utuh demikian juga
periosterum. Fraktur jenis ini sering terjadi pada anak anak.
g. Fraktur Impaksi Adalah fraktur yang terjadi ketika dua tulang menumbuk
tulang ketiga yang berada diantaranya, seperti pada satu vertebra dengan
dua vertebra lainnya.
h. Fraktur Fissura Adalah fraktur yang tidak disertai perubahan letak tulang
yang berarti, fragmen biasanya tetap di tempatnya setelah tindakan
reduksi.

Berdasarkan lokasi pada tulang fisis


a. Tulang fisis adalah bagian tulang yang merupakan lempeng pertumbuhan,
bagian ini relatif lemah sehingga strain pada sendi dapat berakibat
pemisahan fisis pada anak anak. Fraktur fisis dapat terjadi akibat jatuh
atau cedera traksi. Fraktur fisis juga kebanyakan terjadi karena kecelakaan

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

25

lalu lintas atau pada saat aktivitas olahraga. Klasifikasi yang paling
banyak digunakan untuk cedera atau fraktur fisis adalah klasifikasi fraktur
menurut Salter Harris :
a. Tipe I : fraktur transversal melalui sisi metafisis dari lempeng
pertumbuhan, prognosis sangat baik setelah dilakukan reduks i
tertutup.
b. Tipe II : fraktur melalui sebagian lempeng pertumbuhan, timbul
melalui tulang metafisis , prognosis juga sangat baik dengan
reduksi tertutup.
c. Tipe III : fraktur longitudinal melalui permukaan artikularis dan
epifisis dan kemudian secara transversal melalui sisi metafisis dari
lempeng pertumbuhan. Prognosis cukup baik meskipun hanya
dengan reduksi anatomi.
d. Tipe IV : fraktur longitudinal melalui epifisis, lempeng
pertumbuhan dan terjadi melalui tulang metafisis. Reduksi terbuka
biasanya penting dan mempunyai resiko gangguan pertumbuhan
lanjut yang lebih besar.
e. Tipe V : cedera remuk dari lempeng pertumbuhan, insidens dari
gangguan pertumbuhan lanjut adalah tinggi.

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

26

Untuk lebih jelasnya tentang pembagian atau klasifikasi fraktur dapat dilihat pada
gambar berikut ini :

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

27

Fraktur

Menurut

Salter

Harris

Fraktur berdasarkan kedudukan fragmennya, yaitu dengan disertai dislokasai atau


tidak disertai dislokasi. Dislokasi terdiri dari beberapa jenis. Dislokasi at axim
yaitu membentuk sudut. Dislokasi at lotus yaitu fragmen tulang menjauh.

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

28

Dislokasi at longitudinal yaitu berjauhan memanjang. Dislokasi at lutuscum


controltinicum yaitu fragmen tulang menjauh dan overlap (memendek).
2.

Penanganan fraktur dan kegawatdaruratan medis

Tujuan utama dalam penanganan awal fraktur adalah untuk mempertahankan


kehidupan pasien dan yang kedua adalah mempertahankan baik anatomi maupun
fungsi ekstrimitas seperti semula. Adapun beberapa hal yang harus diperhatikan
dalam penanganan fraktur yang tepat adalah (1) survey primer yang meliputi
Airway, Breathing, Circulation, (2) meminimalisir rasa nyeri (3) mencegah
cedera iskemia-reperfusi, (4) menghilangkan dan mencegah sumber- sumber
potensial kontaminasi. Ketika semua hal diatas telah tercapai maka fraktur dapat
direduksi dan reposisi sehingga dapat mengoptimalisasi kondisi tulang untuk
proses persambungan tulang dan meminimilisasi komplikasi lebih lanjut
A. Survey Primer
Setelah pasien sampai di UGD yang pertama kali harus dilakukan adalah
mengamankan dan mengaplikasikan prinsip ABCDE (Airway, Breathing,
Circulation, Disability Limitation, Exposure)
a. A : Airway, dengan kontrol servikal. Yang pertama harus dinilai adalah
kelancaran jalan nafas. Ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan
nafas oleh adanya benda asing atau fraktus di bagian wajah. Usaha untuk
membebaskan jalan nafas harus memproteksi tulang cervikal, karena itu
teknik Jaw Thrust dapat digunakan. Pasien dengan gangguan kesadaran
atau GCS kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan airway
definitif.
b. B : Breathing. Setelah mengamankan airway maka selanjutnya kita harus
menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik meliputi fungsi dari
paru paru yang baik, dinding dada dan diafragma. Beberapa sumber
mengatakan pasien dengan fraktur ektrimitas bawah yang signifikan
sebaiknya diberi high flow oxygen 15 l/m lewat non-rebreathing mask
dengan reservoir bag.

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

29

c. C : Circulation. Ketika mengevaluasi sirkulasi maka yang harus


diperhatikan di sini adalah volume darah, pendarahan, dan cardiac output.
Pendarahan sering menjadi permasalahan utama pada kasus patah tulang,
terutama patah tulang terbuka. Patah tulang femur dapat menyebabkan
kehilangan darah dalam paha 3 4 unit darah dan membuat syok kelas
III. Menghentikan pendarahan yang terbaik adalah menggunakan
penekanan langsung dan meninggikan lokasi atau ekstrimitas yang
mengalami pendarahan di atas level tubuh. Pemasangan bidai yang baik
dapat menurunkan pendarahan secara nyata dengan mengurangi gerakan
dan meningkatkan pengaruh tamponade otot sekitar patahan. Pada patah
tulang terbuka, penggunaan balut tekan steril umumnya dapat
menghentikan pendarahan. Penggantian cairan yang agresif merupakan
hal penting disamping usaha menghentikan pendarahan.
d. D : Disability. menjelang akhir survey primer maka dilakukan evaluasi
singkat terhadap keadaan neurologis. yang dinilai disini adalah tingkat
kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan tingkat
cedera spinal
e. E : Exposure. pasien harus dibuka keseluruhan pakaiannya, seiring
dengan cara menggunting, guna memeriksa dan evaluasi pasien. Setelah
pakaian dibuka, penting bahwa pasien diselimuti agar pasien tidak
hipotermia.
Pemeriksaan tambahan pada pasien dengan trauma muskuloskeletal seperti
fraktur adalah imobilisasi patah tulang dan pemeriksaan radiologi.
a. Imobilisasi Fraktur
Tujuan Imobilisasi fraktur adalah meluruskan ekstrimitas yang cedera
dalam posisi seanatomis mungkin dan mencegah gerakan yang berlebihan
pada daerah fraktur. hal ini akan tercapai dengan melakukan traksi untuk
meluruskan ekstrimitas dan dipertahankan dengan alat imobilisasi.
pemakaian bidai yang benar akan membantu menghentikan pendarahan,
mengurangi nyeri, dan mencegah kerusakan jaringan lunak lebih lanjut.

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

30

Imobilisasi harus mencakup sendi diatas dan di bawah fraktur. Fraktur


femur dilakukan imobilisasi sementara dengan traction splint. Traction
splint menarik bagian distal dari pergelangan kaki atau melalui kulit. Di
proksimal traction splint didorong ke pangkal paha melalui ring yang
menekan bokong, perineum dan pangkal paha. Cara paling sederhana
dalam membidai tungkai yang trauma adalah dengan tungkai sebelahnya.
pada cedera lutut pemakaian long leg splint atau gips dapat membantu
kenyamanan dan stabilitas. Tungkai tidak boleh dilakukan imobilisasi
dalam ekstensi penuh. Fraktur tibia sebaiknya dilakukan imobilisasi
dengan cardboard atau metal gutter, long leg splint. jika tersedia dapat
dipasang gips dengan imobilisasi meliputi tungkai bawah, lutut, dan
pergelangan kaki.
Bila keadaan penderita stabil dan luka telah diatasi, fraktur dapat
dimobilisasi dengan salah satu cara dibawah ini:
a. Traksi
Traksi adalah tahanan yang dipakai dengan berat atau alat lain untuk
menangani kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot. Tujuan
traksi adalah untuk menangani fraktur, dislokasi atau spasme otot
dalam usaha untuk memperbaiki deformitas dan mempercepat
penyembuhan. Traksi menggunakan beban untuk menahan anggota
gerak pada tempatnya. Tapi sekarang sudah jarang digunakan. Traksi
longitudinal yang memadai diperlukan selama 24 jam untuk mengatasi
spasme otot dan mencegah pemendekan, dan fragmen harus ditopang
di posterior untuk mencegah pelengkungan. Traksi pada anak-anak
dengan fraktur femur harus kurang dari 12 kg, jika penderita yang
gemuk memerlukan beban yang lebih besar.

b. Fiksasi Interna
Fiksasi interna dilakukan dengan pembedahan untuk menempatkan
piringan atau batang logam pada pecahan-pecahan tulang. Fiksasi

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

31

interna merupakan pengobatan terbaik untuk patah tulang pinggul dan


patah tulang disertai komplikasi.
c. Pembidaian
Pembidaian adalah suatu cara pertolongan pertama pada cedera/
trauma sistem muskuloskeletal untuk mengistirahatkan (immobilisasi)
bagian tubuh kita yang mengalami cedera dengan menggunakan suatu
alat yaitu benda keras yang ditempatkan di daerah sekeliling tulang.
d. Pemasangan Gips atau Operasi Dengan Orif
Gips adalah suatu bubuk campuran yang digunakan untuk
membungkus secara keras daerah yang mengalami patah tulang.
Pemasangan gips bertujuan untuk menyatukan kedua bagian tulang
yang patah agar tak bergerak sehingga dapat menyatu dan fungsinya
pulih kembali dengan cara mengimobilisasi tulang yang patah
tersebut.
e. Penyembuhan Fraktur
Penyembuhan fraktur dibantu oleh pembebanan fisiologis pada tulang
, sehingga dianjurkan untuk melakukan aktifitas otot dan penahanan
beban secara lebih awal. Tujuan ini tercakup dalam tiga keputusan
yang sederhana : reduksi, mempertahankan dan lakukan latihan.
b. Pemeriksaan Radiologi
umumnya pemeriksaan radiologis pada trauma skeletal merupakan bagian
dari survey sekunder. jenis dan saat pemeriksaan radiologis yang akan
dilakukan ditentukan oleh hasil pemeriksaan, tanda klinis, keadaan
hemodinamik, serta mekanisme trauma. foto pelvis AP perlu dilakukan
sedini mungkin pada pasien multitrauma tanpa kelainan hemodinamik dan
pada pasien dengan sumber pendarahan yang belum dapat ditentukan.

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

32

B. Survey Sekunder
Bagian dari survey sekunder pada pasien cedera muskuloskeletal adalah
anamnesis dan pemeriksaan fisik. tujuan dari survey sekunder adalah mencari
cedera cedera lain yang mungkin terjadi pada pasien sehingga tidak satupun
terlewatkan dan tidak terobati. Apabila pasien sadar dan dapat berbicara maka
kita harus mengambil riwayat AMPLE dari pasien, yaitu Allergies, Medication,
Past Medical History, Last Ate dan Event (kejadian atau mekanisme kecelakaan).
Mekanisme kecelakaan penting untuk ditanyakan untuk mengetahui dan
memperkirakan cedera apa yang dimiliki oleh pasien, terutama jika kita masih
curiga ada cedera yang belum diketahui saat primary survey, Selain riwayat
AMPLE, penting juga untuk mencari informasi mengenai penanganan sebelum
pasien sampai di rumah sakit.
a. Pada pemeriksaan fisik pasien, beberapa hal yang penting untuk
dievaluasi adalah kulit yang melindungi pasien dari kehilangan cairan dan
infeksi,
b. fungsi neuromuskular
c. status sirkulasi,
d. integritas ligamentum dan tulang.
Cara pemeriksaannya dapat dilakukan dengan Look, Feel, Move. Pada Look, kita
menilai warna dan perfusi, luka, deformitas, pembengkakan, dan memar.
Penilaian inspeksi dalam tubuh perlu dilakukan untuk menemukan pendarahan
eksternal aktif, begitu pula dengan bagian punggung. Bagian distal tubuh yang
pucat dan tanpa pulsasi menandakan adanya gangguan vaskularisasi. Ekstremitas
yang bengkak pada daerah yang berotot menunjukkan adanya crush injury
dengan ancaman sindroma kompartemen. Pada pemerikasaan Feel, kita
menggunakan palpasi untuk memeriksa daerah nyeri tekan, fungsi neurologi, dan
krepitasi. Pada periksaan Move kita memeriksa Range of Motion dan gerakan
abnormal.

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

33

Pemeriksaan sirkulasi dilakukan dengan cara meraba pulsasi bagian distal dari
fraktur dan juga memeriksa capillary refill pada ujung jari kemudian
membandingkan sisi yang sakit dengan sisi yang sehat. Jika hipotensi
mempersulit pemeriksaan pulsasi, dapat digunakan alat Doppler yang dapat
mendeteksi aliran darah di ekstremitas. Pada pasien dengan hemodinamik yang
normal, perbedaan besarnya denyut nadi, dingin, pucat, parestesi dan adanya
gangguan motorik menunjukkan trauma arteri. Selain itu hematoma yang
membesar atau pendarahan yang memancar dari luka terbuka menunjukkan
adanya trauma arterial.
Pemeriksaan neurologi juga penting untuk dilakukan mengingat cedera
muskuloskeletal juga dapat menyebabkan cedera serabut syaraf dan iskemia sel
syaraf. Pemeriksaan fungsi syaraf memerlukan kerja sama pasien. Setiap syaraf
perifer yang besar fungsi motoris dan sensorisnya perlu diperiksa secara
sistematik:
Tujuan penanganan fraktur selanjutnya adalah mencegah sumber sumber yang
berpotensi berkontaminasi pada luka fraktur. Adapun beberapa cara yang dapat
dilakukan adalah mengirigasi luka dengan saline dan menyelimuti luka fraktur
dengan ghas steril lembab atau juga bisa diberikan betadine pada ghas. Berikan
vaksinasi tetanus dan juga antibiotik sebagai profilaksis infeksi. Antibiotik yang
dapat diberikan adalah:
a. Generasi pertama cephalosporin (cephalotin 1 2 g dibagi dosis 3 -4 kali
sehari)
dapat digunakan untuk fraktur tipe I Gustilo
b. Aminoglikosid (antibiotik untuk gram negatif) seperti gentamicin (120
mg dosis
2x/hari) dapat ditambahkan untuk tipe II dan tipe III klasifikasi Gustilo.

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

34

c. Metronidazole (500 mg dosis 2x/hari) dapat ditambahkan untuk


mengatasi kuman anaerob.
Pemberian antibiotik dapat dilanjutkan hingga 72 jam setelah luka ditutup.
Debridement luka di kamar operasi juga sebaiknya dilakukan sebelum 6 jam
pasca trauma untuk menghindari adanya sepsis pasca trauma8. Reduksi, Reposisi
dan imobilisasi sesuai posisi anatomis dapat menunggu hingga pasien siap untuk
dioperasi kecuali ditemukan defisit neurovaskular dalam pemeriksaan. Apabila
terdapat indikasi untuk reposisi karena defisit neurovaskular, maka sebaiknya
reposisi dilakukan di UGD dengan menggunakan teknik analgesia yang
memadai. Ada beberapa pilihan teknik analgesia untuk managemen pasien
fraktur ekstrimitas bawah di UGD. Untuk pasien yang mengalami isolated tibia
atau ankle fractures, Inhaled Nitrous oxide dan Oxygen (Entonox) mungkin
berguna untuk manipulasi, splintage dan transfer pasien.
Dalam strategi meredakan nyeri akut yang sekiranya berat dalam patah tulang
digunakan srategi Three Step Analgesic Ladder dari WHO. Pada nyeri akut,
sebaiknya di awal diberikan analgesik kuat seperti Opioid kuat. Dosis pemberian
morfin adalah 0.05 0.1 mg/kg diberikan intravena setiap 10/15 menit secara
titrasi sampai mendapat efek analgesia. Terdapat evidence terbaru di mana pada
tahun terakhir ini Ketamine juga dapat dipergunakan sebagai agen analgesia pada
dosis rendah (0.5 1 mg/kg). Obat ini juga harus ditritasi untuk mencapai respon
optimal agar tidak menimbulkan efek anastesi. Efek menguntungkan dari
ketamine adalah ketamine tidak menimbulkan depresi pernafasan, hipotensi, dan
menimbulkan efek bronkodilator pada dosis rendah. Kerugian ketamine adalah
dapat menimbulkan delirium, tetapi dapat dicegah dengan memasukkan
benzodiazepine sebelumnya (0.5 2 mg midazolam intravena) Peripheral nerve
blocks juga menjadi pilihan baik dilakukan tunggal maupun kombinasi dengan
analgesik intravena. Yang umumnya digunakan adalah femoral nerve block.
Beberapa Kondisi Kegawat-Daruratan Terkait Fraktur Yang Mengancam Nyawa:
a. Perdarahan arteri besar

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

35

b. Crush syndrome
c. Sindrom kompartemen.
TINDAKAN DI UNIT GAWAT DARURAT & RUANG RAWAT
A. Resusitasi dengan tindakan A = Airway, B = Breathing dan C = Circulation
a. Jalan napas (Airway)
Jalan napas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala
ekstensi. Jika perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal. Bersihkan
sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Jika muntah, pasien dibaringkan
miring. Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasogastrik untuk menghindari
aspirasi muntahan.
b. Pernapasan (Breathing)
Gangguan pernapasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer.
Kelainan sentral disebabkan oleh depresi pernapasan yang ditandai dengan pola
pernapasan Cheyne Stokes, hiperventilasi neurogenik
sentral, atau ataksik. Kelainan perifer disebabkan oleh aspirasi, trauma dada,
edema paru, emboli paru, atau infeksi.
Tata laksana:
i.

Oksigen dosis tinggi, 10-15 liter/menit,intermiten

ii.

Cari dan atasi faktor penyebab

iii.

Kalau perlu pakai ventilator

c. Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak. Hipotensi dengan tekanan darah
sistolik <90 mm Hg yang terjadi hanya satu kali saja sudah dapat meningkatkan
risiko kematian dan kecacatan. Hipotensi kebanyakan terjadi akibat faktor
ekstrakranial, berupa hipovolemia karena perdarahan luar atau ruptur alat dalam,
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

36

trauma dada disertai tamponade jantung/ pneumotoraks, atau syok septik. Tata
laksananya dengan cara menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi
jantung, mengganti darah yang hilang, atau sementara dengan cairan isotonik
NaCl 0,9%.
B. Pemeriksaan fisik
Setelah resusitasi ABC, dilakukan pemeriksaan fi sik yang meliputi kesadaran,
tensi, nadi, pola dan frekuensi respirasi, pupil (besar, bentuk dan reaksi cahaya),
defi sit fokal serebral dan cedera ekstrakranial. Hasil pemeriksaan dicatat dan
dilakukan pemantauan ketat pada hari-hari pertama. Bila terdapat perburukan
salah satu komponen, penyebabnya dicari dan segera diatasi.
C. Pemeriksaan radiologi
Dibuat foto kepala dan leher, bila didapatkan fraktur servikal, collar yang telah
terpasang tidak dilepas. Foto ekstremitas, dada, dan abdomen dilakukan atas
indikasi.
CT scan otak dikerjakan bila ada fraktur tulang tengkorak atau bila secara klinis
diduga ada hematoma intrakranial.
D. Pemeriksaan laboratorium
a. Hb, leukosit, diferensiasi sel
Penelitian di RSCM menunjukkan bahwa leukositosis dapat dipakai sebagai salah
satu indikator pembeda antara kontusio (CKS) dan komosio (CKR). Leukosit
>17.000 merujuk pada CT scan otak abnormal, sedangkan angka leukositosis
>14.000 menunjukkan kontusio meskipun secara klinis lama penurunan
kesadaran <10 menit dan nilai SKG 13-15 adalah acuan klinis yang mendukung
ke arah komosio. Prediktor ini bila berdiri sendiri tidak kuat, tetapi di daerah
tanpa fasilitas CT scan otak, dapat dipakai sebagai
salah satu acuan prediktor yang sederhana

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

37

b. Gula darah sewaktu (GDS) (10)


Hiperglikemia reaktif dapat merupakan faktor risiko bermakna untuk kematian
dengan OR 10,07 untuk GDS 201-220mg/ dL dan OR 39,82 untuk GDS >220
mg/ dL.
c. Ureum dan kreatinin
Pemeriksaan fungsi ginjal perlu karena manitol merupakan zat hiperosmolar yang
pemberiannya berdampak pada fungsi ginjal. Pada fungsi ginjal yang buruk,
manitol tidak boleh diberikan
d. Analisis gas darah
Dikerjakan pada cedera kranioserebral dengan kesadaran menurun. pCO2 tinggi
dan pO2 rendah akan memberikan luaran yang kurang baik. pO2 dijaga tetap >90
mm Hg, SaO2 >95%, dan pCO2 30-35 mm Hg.
e. Elektrolit (Na, K, dan Cl)
Kadar elektrolit rendah dapat menyebabkan penurunan kesadaran.
f. Albumin serum (hari 1)
Pasien CKS dan CKB dengan kadar albumin rendah (2,7-3,4g/dL) mempunyai
risiko kematian 4,9 kali lebih besar dibandingkan dengan kadar albumin normal.
g. trombosit, PT, aPTT, fi brinogen
Pemeriksaan dilakukan bila dicurigai ada kelainan hematologis. Risiko late
hematomas perlu diantisipai. Diagnosis kelainan hematologis ditegakkan bila
trombosit <40.000/mm3, kadar ffi brinogen <40mg/mL, PT >16 detik, dan aPTT
>50 detik.
E. Manajemen tekanan intrakranial (TIK) meninggi

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

38

Peninggian tekanan intrakranial terjadi akibat edema serebri dan/atau hematoma


intrakranial. Bila ada fasilitas, sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK normal
adalah 0-15 mm Hg. Di atas 20 mm Hg sudah harus diturunkan dengan cara:
a. Posisi tidur: Bagian kepala ditinggikan 20- 30 derajat dengan kepala dan dada
pada satu bidang.
b. Terapi diuretik:
i. Diuretik osmotik (manitol 20%) dengan dosis 0,5-1 g/kgBB, diberikan dalam
30 menit. Untuk mencegah rebound, pemberian diulang setelah 6 jam dengan
dosis 0,25-0,5/kgBB dalam 30 menit. Pemantauan: osmolalitas tidak melebihi
310 mOsm.
ii. Loop diuretic (furosemid) Pemberiannya bersama manitol, karena mempunyai
efek sinergis dan memperpanjang efek osmotik serum manitol. Dosis: 40 mg/hari
IV.
F. Nutrisi
Pada cedera kranioserebral berat, terjadi hipermetabolisme sebesar 2-2,5 kali
normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Kebutuhan energi rata-rata
pada cedera kranioserebral berat meningkat rata-rata 40%. Total kalori yang
dibutuhkan 25-30 kkal/kgBB/ hari. Kebutuhan protein 1,5-2g/kgBB/hari,
minimum karbohidrat sekitar 7,2 g/kgBB/ hari, lipid 10-40% dari kebutuhan
kalori/hari,
dan rekomendasi tambahan mineral: zinc 10- 30 mg/hari, cuprum 1-3 mg,
selenium 50-80 mikrogram, kromium 50-150 mikrogram, dan mangan 25-50 mg.
Beberapa vitamin juga direkomendasikan, antara lain vitamin A, E, C, ribofl
avin, dan vitamin K yang diberikan berdasarkan indikasi.
Pada pasien dengan kesadaran menurun, pipa nasogastrik dipasang setelah
terdengar bising usus. Mula-mula isi perut dihisap keluar untuk mencegah
regurgitasi sekaligus untuk melihat apakah ada perdarahan lambung. Bila
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

39

pemberian nutrisi peroral sudah baik dan cukup, infus dapat dilepas untuk
mengurangi risiko flebitis.
G. Neurorestorasi/rehabilitasi
Posisi baring diubah setiap 8 jam, dilakukan tapotase toraks, dan ekstremitas
digerakkan pasif untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik. Kondisi
kognitif dan fungsi kortikal luhur lain perlu diperiksa. Saat Skala Koma Glasgow
sudah mencapai 15, dilakukan tes orientasi amnesia Galveston (GOAT). Bila
GOAT sudah mencapai nilai 75, dilakukan pemeriksaan penapisan untuk menilai
kognitif dan domain fungsi luhur lainnya dengan Mini-Mental State Examination
(MMSE); akan diketahui domain yang terganggu dan dilanjutkan dengan
konsultasi ke klinik memori bagian neurologi.
3.

Penanganan syok dan patofisiologisnya

Syok adalah sindrom ganggguan perfusi dan oksigenasi sel secara umum
sehingga kebutuhan metabolism jaringan tidak terpenuhi.
Penyakit yang dapat menyebabkan syok:
a. Perdarahan eksternal dan internal massif
b. Fraktur multiple berat
c. Injuri dada dan abdomen
d. Injuri spinal
e. Infeksi berat
f. Anafilaksis
g. Nyeri dada

Patofisiologi
Aliran darah yang berkurang akan menyebabkan hipoperfusi aliran darah,
sehingga menyebabkan terganggunya pasokan oksigen ke sel (lebih tepatnya ke
mitokondria). Oksigen yang turun akan menyebabkan metabolisme sel menjadi
terganggu dan sel tidak dapat menghasilkan ATP lagi. Tubuh akan
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

40

mengkompensasi kejadian ini dengan cara mengaktifkan reflex simpatis dan


pengeluaran beberapa zat dalam tubuh seperti katekolamin, angiotensin,
vasopressin dan endotelin. Aktivasi reflex simpatis menyebabkan peningkatan
kontraktilitas dan frekuensi denyut jantung sehngga curah jantung meningkat.
Pengeluaran katekolamin, angiotensin, vasopressin serta endotelin sehingga
meningkatkan tonus pembuluh darah agar tekanan perfusi dapat dipertahankan
dan perfusi menjadi cukup. Mekanisme pertahanan untuk ekstrasi oksigen
semaksimal mungkin terjadi agar kebutuhan metabolism tercukupi. Apabila
melebihi ambang batas toleransi akan mengakibatkan syok bahkan kematian.
Tingkatan syok
a. Kompensasi (presyok) menyebabkan takikardi
b. Dekompensasi (syok) menyebabkan hipotensi
Etiologi syok:
a. Syok hipovolemik, yaitu syok yang diakibatkan kehilangan cairan tubuh.
b. Syok obstruktif, yaitu syok yang disebabkan blok darah menuju jantung.
c. Syok kardiogenik, yaitu syok yang disebabkan kelainan pompa jantung.
d. Syok distributive, yaitu syok yang disebabkan kelainan system vascular.
Tatalaksana syok adalah sebagai berikut:
1. Letakkan posisi tungkai lebih tinggi
2. Perbaikan ventilasi dengan pemberian oksigen yang adekuat berikan 510L/menit
3. Hentikan perdarahan dan resusitasi cairan yang hilang
a. Prinsip:
i. Berikan cairan yang sama dengan yang keluar misalnya
apabila disebabkan oleh perdarahan adalah darah dan
apabila disebabkan oleh luka bakar digantikan dengan
plasma.

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

41

ii. Dapat diberikan trasnfusi darah apabila perdarahan


melebihi 25% volume darah dengan Ht 40%, saturasi
oksigen vena sentral <75% dan Hb <5gr%
b. Pemberian RL 50 ml/menit
4. Transfusi darah
Pemberin adrenalin 0,5-1 ml larutan 1:1000 secara intramuscular, diulanhi 5-15
menit apabila tidak ada perubahan klinis.
4.

Gambaran klinis fraktur

4.1 Definisi Fraktur

Fraktur adalah patah tulang atau terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang
ditentukan sesuai dengan jenis dan luasnya (Smeltzer & Bare, 2000). Fraktur
merupakan setiap retak atau patah pada tulang yang utuh (Reeves, Roux,
Lockhart, 2001). Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas
jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa
(Mansjoer, 2000). Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang femur
yang bisa terjadi akibat trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari
ketinggian), dan biasanya lebih banyak dialami oleh laki-laki dewasa. Patah pada
daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak, mengakibatkan
penderita jatuh dalam syok (FKUI, 1995). Fraktur dapat terjadi pada semua
tingkat umur, yang beresiko tinggi untuk terjadinya fraktur adalah orang yang
lanjut usia, orang yang bekerja yang membutuhkan kesimbangan, masalah
gerakan, pekerjaan-pekerjaan yang beresiko tinggi (tukang besi, supir, pembalap
mobil, orang dengan penyakit degeneratif atau neoplasma) (Reeves, Roux,
Lockhart, 2001).
4.2 Manifestasi Klinis
Menurut Smeltzer & Bare (2002), manifestasi klinis fraktur adalah nyeri,
hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ektremitas, krepitus, pembengkakan
lokal, dan perubahan warna yang dijelaskan secara rinci sebagai berikut:

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

42

a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang


diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar
fragmen tulang.
b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara alamiah (gerakan luar biasa). Pergeseran
fragmen pada fraktur lengan dan tungkai menyebabkan deformitas
(terlihat maupun teraba) ektremitas yang bisa diketahui dengan
membandingkannya dengan ektremitas normal. Ekstremitas tidak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot tergantung pada
integritasnya tulang tempat melekatnya otot.
c. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen
sering saling melengkapi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1
sampai 2 inci).
d. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan
lunak yang lebih berat.
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai
akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasa
terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
Tidak semua tanda dan gejala tersebut terdapat pada setiap fraktur. Kebanyakan
justru tidak ada pada fraktur linear atau fisur atau fraktur impaksi (permukaan
patahan saling terdesak satu sama lain). Diagnosis fraktur bergantung pada
gejala, tanda fisik, dan pemeriksaan sinar-x pasien. Biasanya pasien mengeluhkan
mengalami cedera pada daerah tersebut
4.3 Pemeriksaan
Pemeriksaan awal terhadap pasien yang mungkin menderita fraktur tulang sama
dengan pemeriksaan pada pasien yang mengalami luka pada jaringan lunak yang

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

43

berhubungan dengan trauma. Perawat menilai berdasarkan pada tanda dan gejala.
Setelah bagian yang retak telah di-imobilisasi dengan baik, kemudian perawat
akan menilai adanya lima P yaitu Pain (rasa sakit), Paloor (kepucatan/perubahan
warna), Paralysis (kelumpuhan/ketidakmampuan untuk bergerak), Paresthesia
(rasa kesemutan), dan Pulselessness (tidak ada denyut) untuk menentukan status
neurovaskuler dan fungsi motorik pada bagian distal fraktur (Reeves, Roux,
Lockhart, 2001).
Rontgen sinar-x pada bagian yang sakit merupakan parangkat diagnostik definitif
yang digunakan untuk menentukan adanya fraktur. Meskipun demikian, beberapa
fraktur mungkin sulit dideteksi dengan menggunakan sinar-x pada awalnya
sehingga akan membutuhkan evaluasi radiografi pada hari berikutnya. untuk
mendeteksi bentuk callus. Jika dicurigai adanya perdarahan maka dilakukan
pemeriksaan complete blood count (CBC) untuk menilai banyaknya darah yang
hilang. Lebih lanjut, perawat akan menilai komplikasi yang mungkin terjadi dan
menentukan beberapa faktor resiko terhadap komplikasi dimasa depan (Revees,
Roux, Lockhart, 2001).
4.4 Diagnosis
Untuk mendiagnosis fraktur, pertama tama dapat dilakukan anamnesis baik dari
pasien maupun pengantar pasien. Informasi yang digali adalah mekanisme
cedera, apakah pasien mengalami cedera atau fraktur sebelumnya. Pasien dengan
fraktur tibia mungkin akan mengeluh rasa sakit, bengkak dan ketidakmampuan
untuk berjalan atau bergerak, sedangkan pada fraktur fibula pasien kemungkinan
mengeluhkan hal yang sama kecuali pasien mungkin masih mampu bergerak.
Selain anamnesis, pemeriksaan fisik juga tidak kalah pentingnya. Pemeriksaan
fisik yang dibutuhkan dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu look, feel, move.
Yang pertama look atau inspeksi di mana kita memperhatikan penampakan dari
cedera, apakah ada fraktur terbuka (tulang terlihat kontak dengan udara luar).
Apakah terlihat deformitas dari ekstremitas tubuh, hematoma, pembengkakan dan
lain-lain. Hal kedua yang harus diperhatikan adalah feel atau palpasi. Kita harus
mempalpasi seluruh ekstremitis dari proksimal hingga distal termasuk sendi di

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

44

proksimal maupun distal dari cedera untuk menilai area rasa sakit, efusi, maupun
krepitasi. Seringkali akan ditemukan cedera lain yang terjadi bersamaan dengan
cedera utama. Poin ketiga yang harus dinilai adalah move Penilaian dilakukan
untuk mengetahui ROM (Range of Motion) 7. Seringkali pemeriksaan ROM
tidak bisa dilakukan karena rasa sakit yang dirasakan oleh pasien tetapi hal ini
harus tetap didokumentasikan. Pemeriksaan ekstrimitas juga harus melingkupi
vaskularitas dari ekstrimitas termasuk warna, suhu, perfusi, perabaan denyut nadi,
capillary return (normalnya < 3 detik) dan pulse oximetry. Pemeriksaan neurologi
yang detail juga harus mendokumentasikan fungsi sensoris dan motoris.
Tegantung dari kondisi pasien, pemeriksaan foto thorax dapat dilakukan. Dalam
pemeriksaaan radiologi untuk cedera dan fraktur diberlakukan rule of two yaitu :
a. Dua sudut pandang
b. Dua Sendi
c. Dua ekstrimitas
d. Dua waktu
4.5 Penatalaksanaan
Menurut Long (1996), ada beberapa terapi yang digunakan untuk pada pasien
fraktur antara lain:
a. Debridemen luka untuk membuang kotoran, benda asing, jaringan yang
rusak dan tulang yang nekrose
b. Memberikan toksoid tetanus
c. Membiakkan jaringan
d. Pengobatan dengan antibiotik
e. Memantau gejala osteomyelitis, tetanus, gangrene gas
f. Menutup luka bila tidak ada gejala infeksi
g. Reduksi fraktur
h. Imobilisasi fraktur
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

45

i. Kompres dingin boleh dilaksanakan untuk mencegah perdarahan, edema,


dan nyeri
j. Obat penawar nyeri.
Tatalaksana Kegawatdaruratan pada Fraktur Ekstrimitas :
Tujuan utama dalam penanganan awal fraktur adalah untuk mempertahankan
kehidupan pasien dan yang kedua adalah mempertahankan baik anatomi
maupun fungsi ekstrimitas seperti semula. Adapun beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam penanganan fraktur yang tepat adalah (1) survey primer
yang meliputi Airway, Breathing, Circulation, (2) meminimalisir rasa nyeri (3)
mencegah cedera iskemia-reperfusi, (4) menghilangkan dan mencegah
sumber- sumber potensial kontaminasi. Ketika semua hal diatas telah tercapai
maka fraktur dapat direduksi dan reposisi sehingga dapat mengoptimalisasi
kondisi tulang untuk proses persambungan tulang dan meminimilisasi
komplikasi lebih lanjut
5.

Neurovaskular Distal

Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai


neurovaskuler (untuk status neurovaskuler yaitu pain, palor, parestesia, pulse,
pergerakan). Pemeriksaan sistem muskuloskeletal adalah:
a. Look
i. Sikatriks (jaringan parut)
ii. Birthmark
iii. Fistula
iv. Warna kemerahan atau kebiruan atau hiperpigmentasi
v. Benjolan, pembengkakan atau cekungan dengan hal yang tidak biasa
vi. Deformitas
vii. gait
b. Feel
i. Perubahan suhu
ii. Kelembaban kulit

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

46

iii. Capillary refill time normalnya 3-5


iv. Pembengkakan : fluktuasi atau edema.
v. Nyeri tekan
vi. Krepitasi
vii. Tonus otot
c. Move
Menggerakan ekstremitas dan dicatat apabila terdapat keluhany nyeri
pada pergerakan. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat untuk
menilai nyeri sumbu.
Risiko disfungsi neurovaskuler perifer berakibat pada penurunan aliran darah
(cedera vaskular, edema, dan pembentukan trombus). Status neurovaskuler (mis.
pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli bedah
ortopedi diberitahu segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler.
6.

Pemeriksaan Penunjang Fraktur

Pemeriksaan penunjang fraktur yang utama adalah pemeriksaan radiologi dengan


rontgen atau foto polos. Pemeriksaan radiologi untuk fraktur ini dapat digunakan
untuk diagnosis, konfirmasi diagnosis, dan perencanaan terapi, serta untuk
mengetahui prognosis trauma. Pemerikasaan radiologis untuk fraktur harus
menurut rule of two, terdiri dari:

1. Memuat dua gambaran, anteroposterior (AP) dan lateral


Pemeriksaan radiologis dengan pembuatan foto Rontgen dua arah 90
didapatkan gambaran garis patah. Pada patah yang fragmennya
mengalami dislokasi,gambaran garis patah biasanya jelas.
2.

Memuat dua sendi di proksimal dan distal fraktur


Pada tulang, panjang persendian proksimal maupun yang distal harus
turut difoto

3. Memuat gambaran foto dua ekstremitas, yaitu ekstremitas yang tidak


terkena cedera (pada anak)
Bila ada kesangsian atas adanya fraktur atau tidak, sebaiknya dibuat foto
yang sama dari anggota gerak yang sehat untuk perbandingan terutama
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

47

pada pasien anak. Hal ini dikarenakan masih adanya garis lempengan
epifisis sehingga dapat membuat ragu pengambilan keputusan diagnosis.
4. Dilakukan foto sebanyak dua kali, yaitu sebelum tindakan dan sesudah
tindakan atau foto diambil pada waktu yang berbeda.
Bila tidak diperoleh kepastian adanya kelainan, seperti fisura, sebaiknya
foto diulang setelah satu minggu, retak akan menjadi nyata karena
hiperemia setempat sekitar tulang yangretak itu akan tampak sebagai
dekalsifikasi
5. Bila masih bingng menentukan diagnosis dokter boleh berkonsultasi
dengan dokter lainnya.

Dalam menegakan diagnosis fraktur harus disebut jenis tulang atau bagian tulang
yang mempunyai nama sendiri, kiri atau kanan, bagian mana dari tulang
(proksimal, tengah, atau distal ), komplit atau tidak, bentuk garis patah, jumlah
garis patah, bergeser tidak bergeser, terbuka atau tertutup, keadaan neuro
faskularnya dan komplikasi bila ada. Misal, fraktur kondilus lateralis humerus
sinistra, displaced, tertutup dengan paralisis nervus radialis.

Pemeriksaan radiologis lain yang bisa juga digunakan untuk memeriksa fraktus
yaitu pemeriksaan scan tulang,CT Scan, MRI. Pemeriksaan itu memperlihatkan
fraktur, mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.

Selain pemeriksaan radiologi ada beberapa pemeriksaan penunjang untuk fraktur


yaitu:
1. Arteriogram dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai
2. Hitung darah lengkap, biasanya nilai hematokrit dapat menurun atau
meningkat dan leukosit menurun
3. Kreatinin, trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal
Profil koagulasi, pada keadaan kehilangan darah banyak, transfusi multiple, atau
cedera hati

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

48

7.

Penanganan emergency secara umum

Sistem Pelayanan Tanggap Darurat ditujukan untuk mencegah kematian dini


(early) karena trauma yang bisa terjadi dalam beberapa menit hingga beberapa
jam sejak cedera (kematian segera karena trauma, immediate, terjadi saat trauma.
Perawatan kritis, intensif, ditujukan untuk menghambat kematian kemudian, late,
karena trauma yang terjadi dalam beberapa hari hingga beberapa minggu setelah
trauma).
Kematian dini diakibatkan gagalnya oksigenasi adekuat pada organ vital
(ventilasi tidak adekuat, gangguan oksigenisasi, gangguan sirkulasi, dan perfusi
end-organ tidak memadai), cedera SSP masif (mengakibatkan ventilasi yang
tidak adekuat dan / atau rusaknya pusat regulasi batang otak), atau keduanya.
Cedera penyebab kematian dini mempunyai pola yang dapat diprediksi
(mekanisme cedera, usia, sex, bentuk tubuh, atau kondisi lingkungan). Tujuan
penilaian awal adalah untuk menstabilkan pasien, mengidentifikasi cedera /
kelainan pengancam jiwa dan untuk memulai tindakan sesuai, serta untuk
mengatur kecepatan dan efisiensi tindakan definitif atau transfer kefasilitas
sesuai.
Tingkat respons atas bencana.
Akan menentukan petugas dan sarana apa yang diperlukan ditempat kejadian :
a. Respons Tingkat I : Bencana terbatas yang dapat dikelola oleh petugas
sistim gawat darurat dan penyelamat lokal tanpa memerlukan bantuan dari
luar organisasi.
b. Respons Tingkat II : Bencana yang melebihi atau sangat membebani
petugas sistim gawat darurat dan penyelamat lokal hingga membutuhkan
pendukung sejenis serta koordinasi antar instansi. Khas dengan
banyaknya jumlah korban.
c. Respons Tingkat III : Bencana yang melebihi kemampuan sumber sistim
gawat darurat dan penyelamat baik lokal atau regional. Korban yang

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

49

tersebar pada banyak lokasi sering terjadi. Diperlukan koordinasi luas


antar instansi.
TRIASE.
Triase adalah proses khusus memilah pasien berdasar beratnya cedera atau
penyakit (berdasarkan yang paling mungkin akan mengalami perburukan klinis
segera) untuk menentukan prioritas perawatan gawat darurat medik serta prioritas
transportasi (berdasarkan ketersediaan sarana untuk tindakan). Artinya memilih
berdasar prioritas atau penyebab ancaman hidup. Tindakan ini berdasarkan
prioritas ABCDE yang merupakan proses yang sinambung sepanjang
pengelolaan gawat darurat medik. Proses triase inisial harus dilakukan oleh
petugas pertama yang tiba / berada ditempat dan tindakan ini harus dinilai ulang
terus menerus karena status triase pasien dapat berubah. Bila kondisi memburuk
atau membaik, lakukan retriase.
Triase harus mencatat tanda vital, perjalanan penyakit pra RS, mekanisme cedera,
usia, dan keadaan yang diketahui atau diduga membawa maut. Temuan yang
mengharuskan peningkatan pelayanan antaranya cedera multipel, usia ekstrim,
cedera neurologis berat, tanda vital tidak stabil, dan kelainan jatung-paru yang
diderita

sebelumnya.

Survei primer membantu menentukan kasus mana yang harus diutamakan dalam
satu kelompok triase (misal pasien obstruksi jalan nafas dapat perhatian lebih
dibanding amputasi traumatik yang stabil). Di UGD, disaat menilai pasien, saat
bersamaan juga dilakukan tindakan diagnostik, hingga waktu yang diperlukan
untuk menilai dan menstabilkan pasien berkurang.
Di institusi kecil, pra RS, atau bencana, sumber daya dan tenaga tidak memadai
hingga berpengaruh pada sistem triase. Tujuan triase berubah menjadi bagaimana
memaksimalkan jumlah pasien yang bisa diselamatkan sesuai dengan kondisi.
Proses ini berakibat pasien cedera serius harus diabaikan hingga pasien yang
kurang kritis distabilkan. Triase dalam keterbatasan sumber daya sulit
dilaksanakan dengan baik.

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

50

Saat ini tidak ada standard nasional baku untuk triase. Metode triase yang
dianjurkan bisa secara METTAG (Triage tagging system) atau sistim triase
Penuntun Lapangan START (Simple Triage And Rapid Transportation).
Terbatasnya tenaga dan sarana transportasi saat bencana mengakibatkan
kombinasi keduanya lebih layak digunakan.
Tag Triase
Tag (label berwarna dengan form data pasien) yang dipakai oleh petugas triase
untuk mengindentifikasi dan mencatat kondisi dan tindakan medik terhadap
korban.
Triase dan pengelompokan berdasar Tagging.
Prioritas Nol (Hitam) : Pasien mati atau cedera fatal yang jelas dan tidak mungkin
diresusitasi.
Prioritas Pertama (Merah) : Pasien cedera berat yang memerlukan penilaian cepat
serta tindakan medik dan transport segera untuk tetap hidup (misal : gagal nafas,
cedera torako-abdominal, cedera kepala atau maksilo-fasial berat, shok atau
perdarahan

berat,

luka

bakar

berat).

Prioritas Kedua (Kuning) : Pasien memerlukan bantuan, namun dengan cedera


yang kurang berat dan dipastikan tidak akan mengalami ancaman jiwa dalam
waktu dekat. Pasien mungkin mengalami cedera dalam jenis cakupan yang luas
(misal : cedera abdomen tanpa shok, cedera dada tanpa gangguan respirasi,
fraktura mayor tanpa shok, cedera kepala atau tulang belakang leher tidak berat,
serta luka bakar ringan).
Prioritas Ketiga (Hijau) : Pasien degan cedera minor yang tidak membutuhkan
stabilisasi segera, memerlukan bantuan pertama sederhana namun memerlukan
penilaian ulang berkala (cedera jaringan lunak, fraktura dan dislokasi ekstremitas,
cedera maksilo-fasial tanpa gangguan jalan nafas, serta gawat darurat psikologis).
Sebagian protokol yang kurang praktis membedakakan prioritas 0 sebagai
Prioritas Keempat (Biru) yaitu kelompok korban dengan cedera atau penyaki

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

51

kritis dan berpotensi fatal yang berarti tidak memerlukan tindakan dan
transportasi.Prioritas Kelima (Hitam)yaitu kelompok yang sudah pasti tewas.
Bila pada Retriase ditemukan perubahan kelas, ganti tag / label yang sesuai dan
pindahkan kekelompok sesuai.
TINDAKAN DAN EVAKUASI MEDIK
Tim Medik dari Tim Tanggap Pertama (bisa saja petugas yang selesai melakukan
triase) mulai melakukan stabilisasi dan tindakan bagi korban berdasar prioritas
triase, dan kemudian mengevakuasi mereka ke Area Tindakan Utama sesuai kode
prioritas. Kode merah dipindahkan ke Area Tindakan Utama terlebih dahulu.
TRANSPORTASI KORBAN
Koodinator Transportasi mengatur kedatangan dan keberangkatan serta
transportasi yang sesuai. Koordinator Transportasi bekerjasama dengan
Koordinator Medik menentukan rumah sakit tujuan, agar pasien trauma serius
sampai kerumah sakit yang sesuai dalam periode emas hingga tindakan definitif
dilaksanakan pada saatnya. Ingat untuk tidak membebani RS rujukan melebihi
kemampuannya. Cegah pasien yang kurang serius dikirim ke RS utama. (Jangan
pindahkan bencana ke RS).
PERIMETER
Perimeter Terluar. Mengontrol kegiatan keluar masuk lokasi. Petugas keamanan
mengatur perimeter sekitar lokasi untuk mencegah masyarakat dan kendaraan
masuk kedaerah berbahaya. Perimeter seluas mungkin untuk mencegah yang
tidak berkepentingan masuk dan memudahkan kendaraan gawat darurat masuk
dan keluar.
Jalur untuk Transport Korban
Petugas keamanan bersama petugas medis menetapkan perimeter sekitar lokasi
bencana yang disebut Zona Panas. Ditentukan jalur yang dinyatakan aman untuk

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

52

memindahkan korban ke perimeter kedua atau zona dimana berada Area


Tindakan Utama. Tidak seorangpun diizinkan melewati perimeter Zona Panas
untuk mencegah salah menempatkan atau memindahkan pasien secara tidak aman
tanpa izin. Faktor lain yang mempengaruhi kemantapan Zona Panas antaranya
lontaran material, api, jalur listrik, bangunan atau kendaraan yang tidak stabil
atau berbahaya.
Keamanan.
Mengamankan penolong dan korban. Petugas keamanan mengatur semua
kegiatan dalam keadaan aman bagi petugas rescue, pemadaman api, evakuasi,
bahan berbahaya dll. Bila petugas keamanan melihat keadaan berpotensi bahaya
yang bisa membunuh penolong atau korban, ia punya wewenang menghentikan
atau

merubah

operasi

untuk

mecegah

risiko

lebih

lanjut.

Semua anggota Tim Tanggap Pertama dapat bekerja bersama secara cepat dan
efektif dibawah satu sistem komando yang digunakan dan dimengerti, untuk
menyelamatkan hidup, untuk meminimalkan risiko cedera serta kerusakan.

PENILAIAN AWAL.
Penilaian awal mencakup protokol persiapan, triase, survei primer, resusitasistabilisasi, survei sekunder dan tindakan definitif atau transfer ke RS sesuai.
Diagnostik absolut tidak dibutuhkan untuk menindak keadaan klinis kritis yang
diketakui pada awal proses. Bila tenaga terbatas jangan lakukan urutan langkahlangkah survei primer. Kondisi pengancam jiwa diutamakan.
Survei Primer.
Langkah-langkahnya sebagai ABCDE (airway and C-spine control, breathing,
circulation and hemorrhage control, disability, exposure/environment).

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

53

AIRWAY MANAGEMENT
Jalan nafas merupakan prioritas pertama. Pastikan udara menuju paru-paru tidak
terhambat. Temuan kritis seperti obstruksi karena cedera langsung, edema, benda
asing dan akibat penurunan kesadaran. Tindakan bisa hanya membersihkan jalan
nafas hingga intubasi atau krikotiroidotomi atau trakheostomi.
Nilai pernafasan atas kemampuan pasien akan ventilasi dan oksigenasi. Temuan
kritis bisa tiadanya ventilasi spontan, tiadanya atau asimetriknya bunyi nafas,
dispnea, perkusi dada yang hipperresonans atau pekak, dan tampaknya
instabilitas dinding dada atau adanya defek yang mengganggu pernafasan.
Tindakan bisa mulai pemberian oksigen hingga pemasangan torakostomi pipa
dan ventilasi mekanik.
Ketidakmampuan untuk memberikan oksigenasi ke jaringan tubuh terutama ke
otak dan organ vital yang lain merupakan pembunuh tercepat pada pasien. Oleh
karena itu airway yang baik merupakan prioritas pertama pada setiap penderita
gawat darurat.
Kematian-kematian dini karena masalah airway :
a. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan airway
b. Ketidakmampuan untuk membuka airway
c. Kegagalan mengetahui adanya airway yang dipasang secara keliru
d. Perubahan letak airway yang sebelumnya telah dipasang
e. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan ventilasi
f. Aspirasi isi lambung, darah
Pengenalan Masalah
Gangguan airway dapat timbul secara total & mendadak tetapi sebaliknya bisa
secara bertahap dan pelan-pelan. Takhipnea merupakan tanda awal yang samarsamar akan adanya gangguan terhadap airway. Adanya ketakutan & gelisah
merupakan tanda hipoksia oleh karena itu harus selalu secara berulang-ulang kita

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

54

nilai airway ini terutama pada penderita yang tidak sadar. Penderita dengan
gangguan kesadaran oleh karena cidera kepala obat-obatan atau alkohol, cedera
toraks, aspirasi material muntah atau tersedak mungkin sekali terjadi gangguan
airway. Disini diperlukan intubasi endotrakheal yang bertujuan :
a. Membuka airway
b. Memberikan tambahan oksigen
c. Menunjang ventilasi
d. Mencegah aspirasi
Tanda-tanda Obyektif Sumbata Airway
a. Look
Terlihat pasien gelisah dan perubahan kesadaran. Ini merupakan gejala
adanya hipoksia dan hipercarbia. Pasien terlihat cyanosis terutama pada
kulit sekitar mulut, ujung jari kuku. Juga terlihat adanya kontraksi dari
otot pernafasan tambahan.
b. Listen
Disini kita dengarkan apakah ada suara seperti orang ngorok, kumurkumur, bersiul, yang mungkin berhubungan dengan adanya sumbatan
partial pada farink/larink.
c. Feel
Kita bisa rasakan bila ada sumbatan udara terutama pada saat ekspirasi
bila kedudukan trackhea di linea media

Management
Pengenalan adanya gangguan jalan nafas & ventilasi harus bisa dilakukan secara
cepat & tepat. Bila memang ada harus secepatnya gangguan jalan nafas dan
ventilasi ini untuk segera diatasi. Hal penting ini untuk menjamin oksigenasi ke
jaringan. Haruslah diingat setiap tindakan untuk menjamin airway yang baik
harus selalu dengan penekanan untuk selalu menjaga cervical spine terutama
pada penderita dengan trauma dan cedera di atas clavikula. Pada setiap penderita
dengan gangguan saluran nafas, harus selalu secara cepat diketahui apakah ada

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

55

benda asing, cairan isi lambung, darah di saluran nafas bagian atas. Kalau ada
harus segera dicoba untuk dikeluarkan bisa dengan jari, suction. Suatu saat bila
dilapangan ada penderita dengan sumbatan jalan nafas misal tersedak makanan
abdominal trust akan sangat berguna.
Teknik-teknik mempertahankan airway :
Pada penderita dengan kehilangan kesadaran mungkin sekali lidah akan jatuh ke
belakang dan menutupi hipofarink dan menimbulkan sumbatan jalan nafas. Ini
bisa ditolong dengan jalan :
a. Chin lift
b. Jaw thrust
c. Orofaringeal tube
d. Nasofaringeal tube
Airway definitif
Disini ada pipa dalam trakhea dengan balon yang dikembangkan, dimana pipa ini
dihubungkan dengan alat bantu pernafasan yang diperkaya dengan oksigen. Cara
: oratracheal, nasotracheal & surgical (krikotiroidotomi atau trakheotomi).
Indikasi pemasangan airway definitif bila ditemukan adanya temuan klinis :
a. Apnue
b. Ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas dengan cara yang lain
c. Untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah atau muntahan
d. Adanya ancaman segera sumbatan airway oleh karena cidera inhalasi patah
tulang wajah hematoma retropharingeal
Cedera kepala tertutup yang memrlukan bantuan nafas (GCS 8). Dari ketiga
cara ini yang terbanyak dipakai adalah endotrakheal (naso/orotrakheal).
Pemilihan naso/orotrakheal intubation tergantung pengalaman dokter. Kedua
teknik ini aman dan efektif bila dilakukan dengan tepat. Haruslah diingat pada

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

56

pemasangan endotrakheal tube ini harus selalu dijaga aligment dari columna
vertebralis dengan cervikal.
Airway definitif surgical
Ini dikerjakan bila ada kesukaran atau kegagalan didalam memasang
endotrakheal intubasi. Pada keadaan yang membutuhkan kecepatan lebih dipilih
krikotireodektomi dari pada tracheostomi.
a. Needle cricothyroidoktomi
Cara dengan menusukkan jarum lewat membran krikotiroid, ini hanya bisa
memberikan oksigen dalam waktu yang pendek (30-45 menit). Disini dipakai
jarum no 12-14 (anak 16-18 tahun)
b. Surgical cricothyroidoktomi
Penderita tidur posisi supinasi sesudah dilakukan anestesi lokal buat irisan kulit
tranversal sampai membran cricothyroid lubang ini bisa dilebarkan dengan
gagang pisau dengan cara memutar 90 derajad. Disini bisa dipakai tracheostomi
tube atau endotracheal tube. Hati-hati dengan cartilago cricoid terutama pada
anak-anak (teknik ini tidak dianjurkan pada anak dibawah 12 tahun), hal ini
dikarenakan cartilago cricoid merupakan penyangga trachea bagian atas.
Komlikasi :
a. Aspirasi
b. Salah masuk ke dalam jaringan
c. Stenosis/oedema subglotis
d. Stenosis laringeal
e. Perdarahan/hematom
f. Laserasi esophagus
g. Laserasi trachea
h. Emphisema mediastinal
i. Paralisis pita suara

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

57

BREATHING AND VENTILATION


Jalan nafas yang baik dan lancar belum tentu menjamin ventilasi yang baik.
Ventilasi yang baik sangat bergantung dari fungsi paru, dinding dada dan
diafragma. Penyebab gangguan breathing :
a. Pleural effusion
b. Pneumothoraks (open dan tension)
c. Hemothoraks
d. Traumatic wet lung syndrome

Pertolongan untuk memperbaiki breathing :


a. Tension pneumothorax :
i.

Tusuk dengan jarum yang besar pada sela antar iga II

ii.

Pemasangan chest tube pada sela antar iga IV

b. Hemothorax dengan pemasangan chest tube


c. Open pneumothorax segera ditutup dengan kasa vasein
d. Fail chest diberi analgetika

CIRCULATION WITH HAEMORRAHAGE CONTROL


Penyebab terbesar pasien yang mengalami shook dan berakhir dengan kematian
adalah kehilangan darah dalam jumlah yang banyak. Oleh karenanya pasien
dengan trauma dan hipotensi, harus segera ditangani sebagai pasien hipovolemi
sampai bisa dibuktikan bahwa hipotensinya disebabkan oleh sebab yang lain.
Seperti diketahui, volume darah manusia dewasa adalah 7% dari berat badan,
anak 8-9% dari BB. Terapi resusitasi cairan yang agresif harus segera dimulai
begitu ada tanda dan gejala klinis adanya kehilangan darah muncul. Sangatlah
berbahaya bila menunggu sampai tekanan darah menurun. Untuk menilai apakah
resusitasi cairan yang diberikan sudah cukup atau belum :

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

58

a. Tanda vital
b. Produksi urine
c. CVP
Penyebab hipovolemia adalah :
a. Cidera rongga perut
b. Cidera rongga dada
c. Fraktur pelvis
d. Fraktur femur
e. Luka tembus pembuluh darah besar
f. Perdarahan diluar tubuh dari berbagai tempat
Nilai sirkulasi dengan mencari hipovolemia, tamponade kardiak, sumber
perdarahan eksternal. Lihat vena leher apakah terbendung atau kolaps, apakah
bunyi jantung terdengar, pastikan sumber perdarahan eksternal sudah diatasi.
Tindakan pertama atas hipovolemia adalah memberikan RL secara cepat melalui
2 kateter IV besar secara perifer di ekstremitas atas. Kontrol perdarahan eksternal
dengan penekanan langsung atau pembedahan, dan tindakan bedah lain sesuai
indikasi.
DISABILITY (NEUROLOGIC EVALUATION)
Evaluasi secara cepat dilakukan dan dikerjakan pada tahap akhir dan primary
survey dengan menilai kesadaran dan pupil penderita.
A : Alert
V : Respon to vokal stimulation
P : respon only to painful stimulation
U : Unresponsive

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

59

Glasgow coma scale merupakan penilaian yang lebih rinci, bila ini tidak
dikerjakan di primary survey bisa dikerjakan di secondary survey.
Tetapkan status mental pasien dengan GCS dan lakukan pemeriksaan motorik.
Tentukan adakah cedera kepala atau kord spinal serius. Periksa ukuran pupil,
reaksi terhadap cahaya, kesimetrisannya. Cedera spinal bisa diperiksa dengan
mengamati gerak ekstremitas spontan dan usaha bernafas spontan. Pupil yang
tidak simetris dengan refleks cahaya terganggu atau hilang serta adanya
hemiparesis memerlukan tindakan atas herniasi otak dan hipertensi intrakranial
yang memerlukan konsultasi bedah saraf segera.
Tidak adanya gangguan kesadaran, adanya paraplegia atau kuadriplegia
menunjukkan cedera kord spinal hingga memerlukan kewaspadaan spinal dan
pemberian metilprednisolon bila masih 8 jam sejak cedera (kontroversial). Bila
usaha inspirasi terganggu atau diduga lesi tinggi kord leher, lakukan intubasi
endotrakheal.
EXPOSURE
Disini semua pakaian pasien dibuka. Hal ini akan sangat membantu pemeriksaan
lebih lanjut. Harus diingat disini pasien dijaga agar tidak jatuh ke hipotermia
dengan jalan diberikan selimut.
Tahap akhir survei primer adalah eksposur pasien dan mengontrol lingkungan
segera. Buka seluruh pakaian untuk pemeriksaan lengkap. Pada saat yang sama
mulai tindakan pencegahan hipotermia yang iatrogenik biasa terjadi diruang ber
AC, dengan memberikan infus hangat, selimut, lampu pemanas, bila perlu
selimut dengan pemanas.
Prosedur lain adalah tindakan monitoring dan diagnostik yang dilakukan bersama
survei primer. Pasang lead ECG dan monitor ventilator, segera pasang oksimeter
denyut. Monitor memberi data penuntun resusitasi. Setelah jalan nafas aman,
pasang pipa nasogastrik untuk dekompresi lambung serta mengurangi
kemungkinan aspirasi cairan lambung. Katater Foley kontraindikasi bila urethra

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

60

cedera (darah pada meatus, ekimosis skrotum / labia major, prostat terdorong
keatas). Lakukan urethrogram untuk menyingkirkan cedera urethral sebelum
kateterisasi.
RESUSITASI DAN PENILAIAN KOMPREHENSIF
Fase Resusitasi.
Sepanjang survei primer, saat menegakkan diagnosis dan melakukan intervensi,
lanjutkan sampai kondisi pasien stabil, tindakan diagnosis sudah lengkap, dan
prosedur resusitatif serta tindakan bedah sudah selesai. Usaha ini termasuk
kedalamnya monitoring tanda vital, merawat jalan nafas serta bantuan pernafasan
dan oksigenasi bila perlu, serta memberikan resusitasi cairan atau produk darah.
Pasien dengan cedera multipel perlu beberapa liter kristaloid dalam 24 jam untuk
mempertahankan volume intravaskuler, perfusi jaringan dan organ vital, serta
keluaran urin. Berikan darah bila hipovolemia tidak terkontrol oleh cairan.
Perdarahan yang tidak terkontrol dengan penekanan dan pemberian produk darah,
operasi. Titik capai resusitasi adalah tanda vital normal, tidak ada lagi kehilangan
darah, keluaran urin normal 0,5-1 cc/kg/jam, dan tidak ada bukti disfungsi endorgan. Parameter (kadar laktat darah, defisit basa pada gas darah arteri) bisa
membantu.
Survei Sekunder.
Dikerjakan bila primary survey dan resusitasi selesai dilakukan. Disini dilakukan
evaluasi yang lebih teliti mulai dari kepala sampai ujung kaki penderita, juga
GCS bisa dikerjakan lebih teliti bila pada primary survey belum sempat
dikerjakan. Pemeriksaan laboratorium, evaluasi, radiologi dan peritoneal lavage
bisa dikerjakan. Formalnya dimulai setelah melengkapi survei primer dan setelah
memulai fase resusitasi. Pada saat ini kenali semua cedera dengan memeriksa
dari kepala hingga jari kaki. Nilai lagi tanda vital, lakukan survei primer ulangan
secara cepat untuk menilai respons atas resusitasi dan untuk mengetahui

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

61

perburukan. Selanjutnya cari riwayat, termasuk laporan petugas pra RS, keluarga,
atau korban lain.
Bila pasien sadar, kumpulkan data penting termasuk masalah medis sebelumnya,
alergi dan medikasi sebelumnya, status immunisasi tetanus, saat makan terakhir,
kejadian sekitar kecelakaan. Data ini membantu mengarahkan survei sekunder
mengetahui mekanisme cedera, kemungkinan luka bakar atau cedera karena suhu
dingin (cold injury), dan kondisi fisiologis pasien secara umum.
Pemeriksaan Fisik Berurutan.
Diktum jari atau pipa dalam setiap lubang mengarahkan pemeriksaan. Periksa
setiap bagian tubuh atas adanya cedera, instabilitas tulang, dan nyeri pada
palpasi. Periksa lengkap dari kepala hingga jari kaki termasuk status
neurologisnya.
PEMERIKSAAN PENCITRAAN DAN LABORATORIUM.
Pemeriksaan radiologis memberikan data diagnostik penting yang menuntun
penilaian awal. Saat serta urutan pemeriksaan adalah penting namun tidak boleh
mengganggu survei primer dan resusitasi. Pastikan hemodinamik cukup stabil
saat membawa pasien keruang radiologi.
Pemeriksaan Laboratorium saat penilaian awal.
Paling penting adalah jenis dan x-match darah yang harus selesai dalam 20 menit.
Gas darah arterial juga penting namun kegunaannya dalam pemeriksaan serial
digantikan oleh oksimeter denyut. Pemeriksaan Hb dan Ht berguna saat
kedatangan, dengan pengertian bahwa dalam perdarahan akut, turunnya Ht
mungkin tidak tampak hingga mobilisasi otogen cairan ekstravaskuler atau
pemberian

cairan

resusitasi

IV

dimulai.

Urinalisis dipstick untuk menyingkirkan hematuria tersembunyi. Skrining urin


untuk penyalahguna obat dan alkohol, serta glukosa, untuk mengetahui penyebab
penurunan kesadaran yang dapat diperbaiki. Pada kebanyakan trauma, elektrolit

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

62

serum, parameter koagulasi, hitung jenis darah, dan pemeriksaan laboratorium


umum lainnya kurang berguna saat 1-2 jam pertama dibanding setelah stabilisasi
dan resusitasi.
Penanganan Umum Pada Kondisi Kegawatdaruratan
a.

Pastikan Jalan Napas Bebas

b.

Pemberian Oksigen

c.

Pemberian Cairan Intravena

d.

Pemberian Tranfusi Darah

e.

Pasang Kateter Kandung Kemih

f.

Pemberian Antibiotika

g.

Obat Pengurang Rasa Nyeri

h.

Penanganan Masalah Utama

i.

Rujukan

8.

Komplikasi fraktur

Adapun komplikasi yang dapat terjadi pada pasien fraktur terbagi menjadi 2
tahap, yaitu
a.

Tahap awal
i.

Sindroma kompartemen
Ditemukan pada daerah otot yang dibatasi oleh rongga fasia yang
tertutup. Daerah yang sering terkena adalah tungkai bawah, lengan
bawah, kaki, tangan, region glutea, dan paha. Iskemia dapat terjadi
karena peningkatan isi kompartemen yang disebabakan oleh edema
yang timbul akibat revaskularisasi sekunder dari ekstrimitas yang
iskemi atau karena penyusutan isi kompartemen yang disebabkan
tekanan dari luar, seperti balutan yang terlalu kuat.
Gejala dan tanda-tanda sindroma kompartemen:

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

63

Nyeri bertambah dan khususnya meningkat dengan gerakan


pasif yang meregangkan otot bersangkutan
Parestesia daerah distribusi saraf perifer yang terkena,
menurunnya sensasi atau hilangnya fungsi dari saraf yang
melewati kompartemen tersebut
Asimetris pada daerah kompartemen
Pada sindroma kompartemen yang mengalami tingkat lanjut
ditandai dengan kelumpuhan (parese) otot serta hilangnya pulsasi
akibat tekanan kompartemen yang melebihi tekanan sistolik.
Tekanan intra kompartemen yang lebih dari 35 45 mmHg
menyebabkan penurunan aliran kapiler dan menimbulkan kerusakan
otot dan saraf karena anoksia. Penegakan diagnosis dapat dilakukan
dengan mengetahui riwayat trauma dan pemeriksaan fisik.
Penanganannya meliputi:
membuka semua balutan yang menekan, gips, dan bidai
mengawasi dan memeriksa pasien setiap 30 60 menit
jika tidak terdapat perbaikan, perlu dilakukan fasciotomi
ii.

Syok
Trauma tajam maupun tumpul yang merusak sendi atau tulang di
dekat

arteri

mampu

menghasilkan

trauma

arteri

sehingga

menimbulkan pendarahan besar pada luka terbuka atau di dalam


jaringan lunak. Hal ini dapat terlihat dari ekstrimitas dingin serta
pucat dan menghilangnya pulsasi. Hematoma yang membesar
dengan cepat, menunjukkan adanya trauma vaskular dan berbahaya
apabila kondisi hemodinamik pasien tidak stabil.
Perdarahan masif ini menyebabkan berkurangnya volume darah
sehingga pasien mengalami syok. Beberapa hal yang dapat
dilakukan saat ditemukannya tanda-tanda syok (nadi meningkat dan

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

64

melemah, tekanan darah menurun, akral dingin, penurunan


kesadaran):
Amankan Airway dan Breathing dengan pemasangan alat bantu
jalan nafas jika perlu dan pemberian oksigen
Amankan

Circulation

dengan

cara

membebat

lokasi

pendarahan, pemasangan akses vaskuler, dan terapi cairan awal.


Untuk akses vaskuler, dipasang dua kateter IV ukuran besar
(minimum no 16). Tempat terbaik untuk memasang akses vena
adalah di vena lengan bawah dan di kubiti, tetapi pemasangan
kateter vena sentral juga diindikasikan apabila terdapat fasilitas.
Untuk terapi cairan awal, bolus cairan hangat diberikan
secepatnya. Dosis umumnya 1 2 L untuk dewasa dan 20
ml/kg untuk anak-anak. Pemberian tahap awal adalah cairan
kristaloid seperti RL atau NS kemudian mengobservasi respon
pasien selama pemberian cairan awal. Perhitungannya adalah
pemberian 3 L kristaloid untuk mengganti 1 L darah. Pemberian
Koloid dapat dipertimbangkan apabila dengan pemberian
kristaloid masih belum cukup memperbaiki perfusi ke jaringan
Penilaian respon pasien dapat dilakukan dengan memantau
beberapa kondisi seperti: 1) tanda-tanda vital (tekanan darah,
nadi, saturasi oksigen) 2) Produksi urin dipantau dengan
memasang kateter urin. Target dari produksi urin adalah 0,5
ml/kg/jam untuk dewasa, 1 ml/kg/jam untuk anak-anak 3)
keseimbangan asam basa
Saat kondisi pasien stabil harus dilakukan pemeriksaan atau
rujukan

agar

mendapat

terapi

definitif

dari

penyebab

pendarahan tersebut
b.

Tahap lanjut
i.

Mal union

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

65

merupakan proses penyembuhan yang ditandai dengan posisi


fragmen yang tidak sesuai dengan kondisi normal (angulasi, rotasi,
atau pemendekan. Penyebab kesalahan ini adalah tidak tereduksinya
fraktur secara cukup, kegagalan mempertahankan reduksi ketika
terjadi penyembuhan, atau kolaps yang berangsur-angsur pada
tulang yang osteoporotik atau kominutif.
ii.

Delayed union
Merupakan proses penyembuhan yang terlambat (lebih lama dari
waktu normal). Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya suplai
darah ke daerah fraktur. Kesalahan ini biasanya terjadi pada tulang
yang fraktur tidak memiliki serabut otot. Tulang yang mudah
terserang antara lain adalah tulang yang cenderung terkena nekrosis
avaskular dan tibia bagian bawah (terutama fraktur ganda). Pada
fraktur terbuka yang terinfeksi pun dapat mengalami delayed union
akibat tidak banyak hematoma di sekitar fraktur tempat kalus
penyelubung terbentuk.

iii.

Non union
Apabila penyebab delayed union tidak diketahui setelah terapi
adekuat, maka proses penyembuhan menjadi non union. Selain itu,
dapat pula disebabkan oleh adanya celah yang terlalu lebar dengan
permukaan fraktur terpisah terlalu jauh sehingga penyatuan sangat
lama atau mungkin tidak pernah terjadi. Celah ini dapat terjadi
padafraktur tembakan yang menghancurkan banyak bagian tulang
sehingga bagian tulang yang lepas dalam kecelakaan menyebabkan
fraktur, reaksi otot pasien menarik kedua fragmen hingga terpisah
(seperti pada fraktur patela), atau akibat terapi dengan traksi yang
berlebih.

9.

Obat-obatan emergency
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

66

A. DOPAMIN HIDROKLORIDA
Indikasi:

1. Untuk penanggulangan syok syndrom.


2. Pre syok, severe hypotension.

Kontra indikasi: 1. Pasien Dehidrasi.


2. Hypotiroidism.
Dosis kecil: 1 - 5 mcg/BB/menit.
Memperbaiki aliran darah ke ginjal, jantung dan otak.

Dosis sedang: 5 - 10mcg/BB/menit.


Meningkatkan denyut jantung dan tekan darah.
Dosis berat:

> 10mcg/BB/menit

Vasokonstriksi perifer dan dapat menimbulkan aritmia jantung.


Cara pemberian:
Memakai Mikro drip ( Buret).
Rumus:

Dosis ( mcg) X kg BB X 60 tts(mikro)

tts/menit
jumlah mcg/ cc
Contoh:

200 mg Dopamin dilarutkan dalam 100 cc D5%


dosis 5 mcg/BB/ menit dengan BB 50 kg.
200 : 100 = 2 mg X 1000 mcg = 2000 mcg.

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

67

5 mcg X 50 kb X 60 tts
2000

= 15000
2000

7,5 tts(mikro) / menit.


Memakai syringe Pump/ infus pump.
Rumus:

dosis (mcg) X kb BB X 60 menit

cc/jam

jumlah mcg / cc
Contoh:

400 mg Dopamin dilarutkan dalam 500 cc D5%


dosis 5 mcg / menit BB 50 kg.

400 : 500 = 0.8 mg X 1000 mcg = 800 mcg


5 mcg X 50 X 60 menit = 15000
800

800

18,75 cc/ jam


B. DOBUTHAMIN HYDROKLORIDA ( DOBUTHREX ).
Indikasi:

- Pengobatan syok syndrom


- Pre syok, severe hypotension.

Kontra indikasi:

- Bukan untuk koreksi aritmia, ventikel fibrilasi.

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

68

- Hypothyroidism.
Dosis =

1 - 20 mcg/ BB/ menit.

Memakai Buret (micro drip)


Rumus : dosis (mcg) X kg BB X 60 tts
___________________________

tts/mnt

jumlah mcg / cc

Contoh : Dobutrex 250 mg dalam 50 cc D5%


250 mg Dobutrex
1 cc =

________________

= 5 mg X 1000 mcg = 5000 mcg

50 cc D5%
Dosis : 3 mcg

BB : 50 kg

3 X 50 kg X 60 tts
1 cc =

__________________
5000

9000
= _____

= 1,8 tts/mnt

5000

Memakai Syringe pump/ infus pump


Dosis dalam mcg X kg BB X 60 mnt

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

69

Rumus =

_________________________________

cc/jam

jumlah mcg / cc
Contoh :

Dobutrex 250 mg dalam 50 cc D5% / NaCl 0,9%


1 cc = _250____

= 5 X 1000 mcg = 5000 mcg

50

Dosis : 3 mcg / BB / mt

BB : 50 kg

3 X 50 X 60 mnt
=

__________________
5000

9000
=

________

= 1,8 cc / jam

5000

C. LIDOCAIN / XYLOCARD
Indikasi

- VES sering atau > 6 x/mnt


- VES yang berturut-turut
- VES multivokal
- Aritmia ventrikel yang mengancam

Kontra indikasi

: - AV Blok grade II & III

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

70

- Bradicardi
Dosis standar

1 - 4 mg / mnt

Memakai Burret ( micro drip) :


Dosis (mg) X 60 tts
Rumus

__________________

tts / mnt

jumlah mcg / mnt


Contoh :

500 mg xylocard dalam 100 cc D5%

500
1 cc

______

= 5 mg

100
Dosis :

2 mg / mnt
2 X 60 tts
= ___________

= 24 tts / mnt

5
Memakai Syringe Pump / infus pump
Dosis (mg) x 60 mnt
Rumus

___________________

cc / jam

jumlah mg / cc

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

71

Contoh

500 mg xylocard dalam 200 cc D5%


500
1 cc = ______

= 2,5 mg

200
Dosis : 2 mg / mnt
2 mg x 60 mnt
= ______________

= 48 cc / jam

2,5

D. ISUPREL ( ISOPROTENOROL HIDROCLORIDA )


Indikasi

: - Untuk meningkatkan curah jantung dan kerja myocard.


- Penanganan untuk henti jantung , ventricular tachicardie.

Kontra indikasi

- tachiaritmia , tachicardi yang disebabkan

intoksikasi digitalis , angina pectoris


Dosis drip

1 - 4 mcg / mnt

Memakai Buret (microdrip) :


Dosis (mcg) X 60 tts
Rumus

______________________

tts /mnt

jumlah mcg / cc
Contoh

0,2 mg Isuprel dalam 100 cc D5%

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

72

0,2
1 cc

____

= 0,002 mg x 1000 mcg = 2 mcg

100
Dosis = 2 mcg / mnt
2 x 60 tts
= _________

= 60 tts / mnt

Memakai Syringe Pump / infus pump


kebutuhan x 60 mnt
Rumus

= ___________________

cc / jam

jumlah mcg / cc
Contoh

0,2 mg Isuprel dalam 50 cc D5%


0,2
1 cc = _____

= 0,004 x 1000 mcg = 4 mcg

50
Dosis :

2 mcg / mnt

2 x 60 mnt
= _____________

= 30 cc / jam

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

73

4
E. ADRENALIN ( EPHINEPRIN HIDROCLORIDA)

Indikasi

: - Meningkatkan aliran darah myocard dan susunan saraf pusat

saat ventilasi - dan kompresi (RJP).


- Merubah VF halus menjadi kasar.
Kontra indikasi

- dilatasi jantung, kerusakan organ otak, coronary

insufficiency, syok setelah anesthesi umum, anesthesi extremitas.


Dosis drip : 1 - 4 mcg / mnt
Memakai Burret ( mikro drip )
dosis x 60 tts
Rumus = _____________

tts/ mnt

jumlah mcg / cc

Contoh :

1 mg (1 amp) dalam 50 cc D5%


1

1 cc = ____

= 0,02 x 1000 mcg = 20 mcg

50
Dosis

1 mcg / mnt
1 x 60 mnt

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

74

= ___________

= 30 cc / jam

20

F. NITROGLICERIN ( NITRBID )
Indikasi

: - Sangat efektif untuk mengatasi angina atau unstable angina

pectoris.
- Chest pain yang tidak hilang dengan nitrobat.

Kontra indikasi : - hypotensi, severe anemia, arterial hypoxemia,


pericardial tamponade.
Dosis

mulai 5 mcg / mnt

Memakai Buret (micro drip) :


Dosis (mcg) x 60 tts
Rumus

= ___________________

tts / mnt

jumlah mcg / cc
Contoh : 5 mg nitrobid dalam 100 cc D5%
5
1 cc = _____

= 0,01 mg x 1000 mcg = 10 mcg

100
Dosis

5 mcg / mnt

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

75

5 x 60 tts
= __________

300
= ______ = 3 tts / mnt

10

10

Memakai Syringe Pump / infus pump


Dosis mcg x 60 mnt
Rumus =

___________________

cc / jam

jumlah mcg / cc

Contoh : 5 mg nitrobid dalam 50 cc D5%


5
1 cc = ___ = 0,1 x 1000 mcg = 100
50
Dosis : 5 mcg / mnt
5 x 60 mnt
= ___________
100

300
= _____ = 3 cc / jam
100

G. SODIUM NITROPRUSIDE ( NIPRIDE )


Efek kerja

: - Vasodilatasi perifer
- Untuk hypertensi sebagai vasodilator

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

76

Indikasi

Krisis hypertensi

Dosis awal

0,5 - 1,5 mcg / BB

Memakai Buret (micro drip) :


Dosis (mcg) x BB x 60 tts
Rumus = _________________________

tts / mnt

jumlah mcg / cc
Contoh

50 mg nipride dalam 100 cc D5%


50
1 cc = ____

= 0,5 x 1000 mcg = 500 mcg

100
Dosis : 1 mcg / BB

BB : 50 kg

1 x 50 60 tts
= ____________

3000
= ______

500

500

= 6 tts / mnt micro


Memakai Syringe Pump / infus pump
Dosis (mcg) x BB x 60 mnt
Rumus = _________________________

cc / jam

jumlah mcg / cc

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

77

Contoh : 50 mg nipride dalam 200 cc D5%


50
1 cc = _____

= 0,25 x 1000 mcg = 250 mcg

200
Dosis

2 mcg

BB :

2 x 50 X 60 mnt
= _______________

50 kg

6000
= _______ = 24 cc / jam

250

250

H. STREPTOKINASE (Trombolitik)
Indikasi:

-Usia 70 tahun
-sakit dada khas infark/equivalent lebih dari 20 menit, tidak hilang

dengan
pemberian nitrat.
-Dalam 12 jam sejak mulainya sakit dada.
-ST elevasi >0.1mv pada sekurang-kurangnya 2 sandapan.
Kontra Indikasi:
-Active bleeding.
-Suspek diseksi aorta
-Trauma kepala yang baru/adanya neoplasma intracranial.
-Diabetic hemorrhagic retinophaty

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

78

-Kehamilan
-Reaksi allergi sebelumnya terhadapobat trombolitik.
-Tekanan darah >200/120 mmhg.
-Riwayat CVD hemorhagic.
-Hati-hati pada penderita yang telah mendapat streptokinase
sebelumnya.
Bila <1 tahun beri obat rTPA (Recombinat Tissue Plasminogen),
dosis rTPA:
100mg dalam 3 jam dengan caara 10mg bolus, 50mg diinfus
dalam 1 jam lalu
sisanya 40mg diselesaikan dalam dua jam berikutnya.
Dosis= 1,2 juta / jam
Dosis (dalam unit)
Rumus : ------------------------

cc / jam

jumlah unit / cc
Memakai Syringe Pump / infus pump
Contoh: Dosis 1,2 juta / jam
Pengenceran = 1.200.000 dalam 50 cc D5%
1. 200.000
1cc = -------------- =24000
50
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

79

1.200.000
= --------------

=50 cc / jam (Habis dalam 1 jam)

24000
Note: Untuk satu kali pemberian atau bisa diulang, lalu dilanjutkan dengan:
1. Heparin bolus 5000 = 1 cc IV; kemudian
2. Heparin 1000 / jam infus selama 5 hari
I. HEPARIN (HEPARINISASI DRIP)
Indikasi: Pencegahan dan penanganan terhadap trombosis vena dan emboli
arteri. Pencegahan terhadap pembekuan pada arteri dan pada bedah jantung.
Sebagai anticoagulan pada transfusi darah.
Kontra Indikasi: Penyakit perdarahan, trombositopenia, hemophilia, peptic ulcer,
jaundice, severe hypertension.
Dosis: 1000 U / jam
Memakai Syringe Pump / infus pump
Dosis (dalam unit)
Rumus:

------------------------------- =

cc / jam

jumlah unit / cc
Contoh: 1 cc = 5000 U
Kemasan: 1 flacon = 5 cc =25.000 U
Dosis:

1000 U / jam

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

80

Campuran 5 cc = 25.000 U heparin dalam 250 cc D5%


25.000 U
1cc = ------------------ =125
25

1000 U
= -------------- = 8cc/jam
125
Memakai Buret (mikro drip) :
Dosis (dalam unit)
Rumus :

------------------------------ =

cc/jam

jumlah unit / cc
Contoh : Dosis = 1000 U / jam
Campuran 25.000 U heparin dalam 100 cc D5%

25.000
1 cc =

1000

------------ = 250, jadi = ---------- = 4 tts / menit

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

81

100

250

J. INSULIN DRIP
Indikasi : Untuk therapy DM.
Kontra indikasi : Hypoglycemia
Note : Nacl 0.9% = 47 cc --------- >
RI

= 16 U --------

Darah pasien = 0.25 cc

> dicampur dalam syringe pump


>

Dosis pemberian :
Gula darah

RI

Infus

145 - 220mg%

12 / jam

3 cc / jam

220 - 430mg%

29 / jam

6 cc / jam

K. ALBUMIN
Indikasi : Hypovolemia, syok, hypoproteinaemia, burn.
Kontra Indikasi : Cardiac failure, chronic anemia, renal insufficiency
Rumus : D = Desired Albumin Level(Batas Albumin yang diinginkan =
nilai albumin normal)
A = Actual Albumin Level (nilai albumin hasil lab)
BW = Body weight

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

82

= Normal plasma volume adalah 40 ml /BB

=volume plasma
** = Untuk merubah ml menjadi 100ml.
Contoh : Nilai albumin pasien dari hasil lab = 2,5 gr %
Nilai albumin pasien yang diinginkan untuk naik = 3,5 gr%
BB = 60 kg

Maka = ( D - A ) BW X 40

X2 =

gr

100
= (3,5 - 2,5 ) 60 X 40

X 2 = 2400

100
=

4800

X 2

100

= 48 gr %

100
Plasbumin 25 % 100 cc. Jadi perlu 2 botol.

L. Na- BICARBONAT.
Indikasi: Untuk koreksi asidosis metabolik dan acid intoksikasi.
Hasil BE x BB
Rumus =

______________

mEq

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

83

Contoh :

Hasil BE dalam blood gas = - 10


10 x 50

Maka Bicnat yang dibutuhkan = __________

BB = 50 kg
500
= _____

= 83 mEq

Note : - 1 cc bicnat = 1mEq


- Untuk pemberiannya di bolus dan di drip
Untuk anak pemberian drip dicampur 4 : 1 ( 4 bicnat : 1 D5%)

M. KALIUM / POTASIUM
Indikasi

Untuk koreksi KCL (hypokalemia)


( N - Defisit ) BB

Rumus

= _______________

mEq

3
Normal kalium = 4,5 - 5,5 mEq an 100 cc D5% diberikan dalam 1 / 2 jam atau
2 jam
(tergantung ordar dokter)
Defisit

= Hasil kalium dalam darah (hasil lab)

Contoh

: - Hasil lab. Kalium pasien : 2,5 mEq


BB : 10 kg
( 4,5 - 2,5 ) x 10 kg

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

2 x 10

84

KCL yang dibutuhkan = ---------------------------- = ------------- = 6 , 6 mEq


3

N. MAGNESIUM
a x 120
Konversi :

a mmol MgSO4 = __________ = gr MgSO4


100

Contoh : Dosis = MgSO4 33,3 mmol / 24 jam


33,3 x 120

3996

= ___________ = ______ = 4 gr / 24 jam


100

100

1. Sediaan MgSO4 20% = 1 gr / 5 cc


Dosis : MgSO4 = 4 gr / 24 jam
= 4 x 5 cc / 24 jam
= 20 cc / 24 jam
2 . atau
Sediaan MgSO4 50% = 1 gr / 2 cc

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

85

Dosis : MgSO4 = 4 gr / 24 jam


= 4x2 cc / 24 jam
= 8 cc / 24 jam

O. MORPHIN
Indikasi

Menghilangkan rasa sakit dalam waktu yang lama

Kontra indikasi

: Depresi pernafasan, penyakit obstruksi jalan nafas , kelainan

fungsi hati , ilieus paralitik , sensitif terhadap morphin , kehamilan.


Dosis

10 mcg / kg BB / jam
dosis (mcg) x BB

Rumus = _______________

cc / jam

jumlah mcg / cc
Contoh : - dosis : 10 mcg morphin
campuran

: 1 amp.

BB : 50 kg

= 10 mg morphin in 50 cc D5%

1 cc = _10_ = 0,2 x 1000 mcg = 200 mcg D5%


50
10 mcg x 50 kg
= ______________

= 2 , 5 cc / jam

200

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

86

P. AMINOPHILIN
Indikasi

Asthma , Bronchopneumonia , bronchitis , paroksimal dyspnoe

dengan gagal jantung kiri

Efek samping : mual sampai muntah , hipotensi , tachicardia


Kontra indikasi : peptic ulcer , alergi terhadap aminophilin , active gastritis.
Kemasan : Aminophilin : 1 amp. = 10 cc = 250 mg
Dosis : - normal 0,1 mg / kg BB / jam
maintenance 0,5 mg / kg / hari
dosis loading pada dewasa 6 mg / kg
Contoh : 250 mg aminophilin in 200 cc D5%
250
1 cc = ____ = 1,25 mg
200
Dosis : 0,1 mg

0,1 x 50
= ________
1,25

BB : 50 kg

5
= ___ = 4 cc / jam
1,25

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

87

DAFTAR PUSTAKA

Banerjee A dan Hargreaves C. A Resuscitation Room Guide. 2007. England :


Oxford University Press

Buku ajar gangguan muskuloskeletal zairin noor helmi

Parahita PS, Kurniyanta P. Penatalaksanaan kegawatdaruratan pada cedera


fraktur ekstremitas. Bagian Anestesi dan Terapi FK Universitas Udayana/ RS
Umum Pusat sanglah Denpasar

Price SA, dan Wilson LMc. Konsep klinis proses-proses penyakit Edisi 6. 2005.
Jakarta : EGC
Solomon L, Marwick DJ, dan Nayagam S. Apleys System of Orthopaedics
and Fracture. 9th Edition. 2010. Arnold, London
Stone CK dan Humphries RL. Emergency Medicine ed 6th. 2008. McGraw-Hill

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

88

Anda mungkin juga menyukai