PENDAHULUAN
Tonsil adalah suatu massa yang terdiri dari jaringan limfoid yang diliputi oleh epitel
skuamosa yang berisi beberapa kripta didalamnya. Terdapat beberapa tonsil yang harus
diingat yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina, tonsil lingual, tonsil tuba Eustachius
(lateral band dinding faring/ Gerlachs tonsil) yang membentuk cincin Waldeyer.1,2
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
Waldeyer. Lokasi tonsil sangat memungkinkan mendapat paparan benda asing dan patogen
yang menyebabkan timbulnya respon imun yang tidak jarang menyebabkan hipertrofi tonsil
atau tonsillitis.3,4,5 Tonsillitis kronis tanpa diragukan merupakan penyakit yang paling sering
dari semua penyakit tenggorokan yang berulang. Gambaran klinisnya yang bervariasi, dan
diagnosis sebagian besar tergantung pada inspeksi.6
Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di Indonesia pada tahun 1994-1996,
prevalensi Tonsilitis Kronis 4,6% tertinggi setelah Nasofaringitis Akut (3,8%) (Suwendo,
2001). Sedangkan penelitian di RSUP Dr. Hasan Sadikin pada periode April 1997 sampai
dengan Maret 1998 ditemukan 1024 pasien Tonsilitis kronik atau 6,75% dari seluruh jumlah
kunjungan. Data morbiditas pada anak menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
1995 pola penyakit anak laki-laki dan perempuan umur 5-14 tahun yang paling sering terjadi,
Tonsilitis Kronis menempati urutan kelima (10,5 persen pada laki-laki, 13,7 persen pada
perempuan).4
Secara umum, penatalaksanaan tonsilitis kronis dibagi dua, yaitu konservatif dan
operatif. Terapi konservatif dilakukan untuk mengeliminasi kausa, yaitu infeksi, dan
mengatasi keluhan yang mengganggu. Bila tonsil membesar dan menyebabkan sumbatan
jalan napas, disfagia berat, gangguan tidur, terbentuk abses, atau tidak berhasil dengan
pengobatan konvensional, maka operasi tonsilektomi perlu dilakukan. 2
Mengingat angka kejadian yang tinggi dan dampak yang ditimbulkan dapat
mempengaruhi kualitas hidup anak, maka pengetahuan yang memadai mengenai tonsilitis
kronis diperlukan guna penegakan diagnosis dan terapi yang tepat dan rasional.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. ANATOMI DAN FISIOLOGI TONSIL
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat
dengan kriptus didalamnya. Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil
palatina dan tonsil lingual.1,2,4 Tonsila palatina biasanya disebut dengan istilah tonsil.
Tonsila palatina merupakan massa limfoid oval yang cukup besar pada masing-masing sisi di
daerah perbatasan rongga mulut dengan faring dalam sela antara lengkung-lengkung palatum.
Tonsila faringeal atau adenoid merupakan sekumpulan nodus limfatikus yang berdekatan di
daerah perbatasan rongga hidung dengan faring. Pembesaran tonsila faringeal dapat
mengganggu pernafasan. Tonsila lingualis merupakan sekumpulan nodus limfatikus yang
tersusun tidak terlalu padat pada bagian permukaan posterior dari lidah.1,2 Ketiga kelompok
tonsil tersebut disertai dengan tonsil tuba Eustachius merupakan jaringan limfoid yang
membentuk lingkaran di faring yang disebut Cincin Waldeyer.4,6
Epitel yang melapisi tonsil adalah epitel skuamosa yang meliputi kriptus. Didalam
kriptus, biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa makanan.
Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut kapsul tonsil.
Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring sehingga mudah dilakukan diseksi pada
tonsilektomi.4
Tonsil dibatasi dari anterior oleh pilar anterior yang dibentuk otot palatoglossus,
posterior oleh pilar posterior dibentuk otot palatofaringeus, bagian medial oleh ruang
orofaring, bagian lateral dibatasi oleh otot konstriktor faring superior, bagian superior oleh
palatum mole, bagian inferior oleh tonsil lingual. Permukaan lateral tonsil ditutupi oleh
jaringan alveolar yang tipis dari fasia faringeal dan permukaan bebas tonsil ditutupi oleh
epitel yang meluas ke dalam tonsil membentuk kantong yang dikenal dengan kripta. Kripta
pada tonsil ini berkisar antara 10-30 buah. Epitel kripta tonsil merupakan lapisan membrane
tipis yang bersifat semipermiabel, sehingga epitel ini berfungsi sebagai akses antigen baik
dari pernafasan maupun pencernaan untuk masuk ke dalam tonsil. Pembengkakan tonsil akan
mengakibatkan kripta ikut tertarik sehingga semakin panjang. Inflamasi dan epitel kripta
yang semakin longgar akibat peradangan kronis dan obstruksi kripta mengakibatkan debris
dan antigen tertahan di dalam kripta tonsil.7,8
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, melalui cabangcabangnya yaitu: 6,7,8
- Arteri maksilaris eksterna (Arteri fasialis) dengan cabangnya Arteri tonsilaris dan
Arteri palatina asenden
- Arteri maksilaris interna dengan cabangnya Arteri palatine desenden
- Arteri lingualis dengan cabangnya Arteri lingualis dorsal
- Arteri faringeal asenden.
Sumber perdarahan daerah kutub bawah tonsil:
- Anterior : Arteri lingualis dorsal
- Posterior : Arteri palatina asenden
- Diantara keduanya: Arteri tonsilaris.
Sumber perdarahan daerah kutub atas tonsil:
- Arteri faringeal asenden
- Arteri palatina desenden.
Arteri tonsilaris berjalan ke atas pada bagian luar otot konstriktor superior dan
memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole. Arteri palatina asenden, mengirimkan
cabang-cabangnya melalui otot konstriktor faring posterior menuju tonsil. Arteri faringeal
asenden juga memberikan cabangnya ke tonsil melalui bagian luar otot konstriktor faring
superior. Arteri lingualis dorsal naik ke pangkal lidah dan mengirim cabangnya ke tonsil,
plika anterior dan plika posterior. Arteri palatine desenden atau a. palatina posterior memberi
perdarahan tonsil dan palatum mole dari atas dan membentuk anastomosis dengan a. palatina
asenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari
faring.4,7,8,9
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan
proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu:
1. Menangkap dan mengumpulkan benda asing dengan efektif.
2. Tempat produksi antibodi yang dihasilkan oleh sel plasma yang berasal dari diferensiasi
limfosit B.
Limfosit terbanyak ditemukan dalam tonsil adalah limfosit B. Bersama-sama dengan
adenoid limfosit B berkisar 50-65% dari seluruh limfosit pada kedua organ tersebut. Limfosit
T berkisar 40% dari seluruh limfosit tonsil dan adenoid. Tonsil berfungsi mematangkan sel
limfosit B dan kemudian menyebarkan sel limfosit terstimulus menuju mukosa dan kelenjar
sekretori di seluruh tubuh.10 Antigen dari luar, kontak dengan permukaan tonsil akan diikat
4
dan dibawa sel mukosa ( sel M ), antigen presenting cells (APCs), sel makrofag dan sel
dendrit yang terdapat pada tonsil ke sel Th di sentrum germinativum. Kemudian sel Th ini
akan melepaskan mediator yang akan merangsang sel B. Sel B membentuk imunoglobulin
(Ig)M pentamer diikuti oleh pembentukan IgG dan IgA. Sebagian sel B menjadi sel memori.
Imunoglobulin (Ig)G dan IgA secara pasif akan berdifusi ke lumen. Bila rangsangan antigen
rendah akan dihancurkan oleh makrofag. Bila konsentrasi antigen tinggi akan menimbulkan
respon proliferasi sel B pada sentrum germinativum sehingga tersensititasi terhadap antigen,
mengakibatkan terjadinya hiperplasia struktur seluler. Regulasi respon imun merupakan
fungsi limfosit T yang akan mengontrol proliferasi sel dan pembentukan imunoglobulin.11
Aktivitas tonsil paling maksimal antara umur 4 sampai 10 tahun. Tonsil mulai mengalami
involusi pada saat pubertas, sehingga produksi sel B menurun dan rasio sel T terhadap sel B
relatif meningkat. Pada Tonsilitis yang berulang dan inflamasi epitel kripta retikuler terjadi
perubahan epitel squamous stratified yang mengakibatkan rusaknya aktifitas sel imun dan
menurunkan fungsi transport antigen. Perubahan ini menurunkan aktifitas lokal sistem sel B,
serta menurunkan produksi antibodi. Kepadatan sel B pada sentrum germinativum juga
berkurang.10
2.1.1 Tonsilla Palatina
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil
pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar
posterior (otot palatofaringeus).4,6,9
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Anterior
: arcus palatoglossus
Posterior
: arcus palatopharyngeus
Superior
: palatum mole
Inferior
: 1/3 posterior lidah
Medial
: ruang orofaring
Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior.4
adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran
maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi.4,6,9
2.1.3 Tonsilla Lingualis
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada
apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang
menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila
ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus.4
2.2. TONSILITIS
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
Waldeyer. Penyebaran infeksi melalui udara (air borne droplets), tangan dan ciuman. Dapat
terjadi pada semua umur, terutama pada anak.4,5
2.2.1 TONSILITIS AKUT
A. Etiologi
Berdasarkan penyebabnya, tonsilitis akut dibagi menjadi tonsilitis viral dan tonsilitis
bakterial3. Virus yang paling sering menyebabkan tonsilitis adalah virus Epstein Barr.
Hemofilus influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif. Jika terjadi infeksi virus
coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka-luka kecil pada palatum
dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan pasien. Sedangkan bakteri penyebab radang akut tonsil
dapat berupa kuman grup A Streptokokus hemolitikus yang dikenal sebagai strept throat,
pneumokokus, Streptokokus viridan dan Streptokokus piogenes. Penularan infeksi terjadi
melalui kontak dari sekret hidung dan ludah (droplet infections).4,5,6
B. Patogenesis
Bakteri dan virus masuk dalam tubuh melalui saluran nafas bagian atas akan
menyebabkan infeksi pada hidung atau faring kemudian menyebar melalui sistem limfa ke
tonsil. Adanya bakteri dan virus patogen pada tonsil menyebabkan terjadinya proses inflamasi
dan infeksi sehingga tonsil membesar dan dapat menghambat keluar masuknya udara.6,9
Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang
berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Detritus ini
7
merupakan kumpulan leukosit, bakteri yang mati dan epitel yang terlepas. Secara klinis
detritus ini mengisi kriptus tonsil dan tampak sebagai bercak kuning. Bentuk tonsilitis akut
dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini
menjadi satu, membentuk alur-alur maka akan terjadi tonsilitis lakunaris. Bercak detritus ini
juga dapat melebar sehingga terbentuk semacam membran semu (pseudo-membrane) yang
menutupi tonsil.4
C. Manifestasi Klinis
Gejala tonsilitis viral lebih menyerupai common cold yang disertai rasa nyeri tenggorok.
Pada tonsilitis bakteri terdapat masa inkubasi 2-4 hari. Gejala dan tanda yang sering
ditemukan adalah nyeri tenggorok dan nyeri waktu menelan, demam dengan suhu tubuh yang
tinggi, rasa lesu, rasa nyeri di sendi-sendi, tidak nafsu makan dan rasa nyeri di telinga
(otalgia). Rasa nyeri di telinga ini karena nyeri alih (referred pain) melalui saraf
n.glosofaringeus (N.IX). Pada pemeriksaan tampak tonsil membengkak, hiperemis dan
terdapat detritus berbentuk folikel, lakuna atau tertutup oleh membran semu. Membran semu
pada tonsilitis akut mudah dilepaskan, sedangkan membran sejati pada tonsilitis difteri
sangat melekat pada mukosa. Hal ini penting untuk dibedakan dalam menegakkan diagnosis.
Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri tekan4,6,9
Lemierre). Akibat hipertrofi tonsil akan menyebabkan pasien bernapas melalui mulut, tidur
mendengkur (ngorok), gangguan tidur karena terjadinya sleep apnea yang dikenal sebagai
Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS).4,5
2.2.2 TONSILITIS KRONIS
A. Faktor Resiko dan Etiologi
Tonsilitis kronis adalah peradangan tonsil yang menetap sebagai akibat infeksi akut atau
subklinis yang berulang. Ukuran tonsil membesar akibat hyperplasia parenkim atau
degenerasi fibrinoid dengan obstruksi kripta tonsil, namun dapat juga ditemukan tonsil yang
relatif kecil akibat pembentukan sikatrik yang kronis.5,6 Brodsky menjelaskan durasi maupun
beratnya keluhan nyeri tenggorok sulit dijelaskan. Biasanya nyeri tenggorok dan nyeri
menelan dirasakan lebih dari 4 minggu dan kadang dapat menetap. Brook dan Gober seperti
dikutip oleh Hammouda8 menjelaskan tonsillitis kronis adalah suatu kondisi yang merujuk
kepada adanya pembesaran tonsil sebagai akibat infeksi tonsil yang berulang. Infeksi yang
berulang dan sumbatan pada kripta tonsil mengakibatkan peningkatan stasis debris maupun
antigen di dalam kripta, juga terjadi penurunan integritas epitel kripta sehingga memudahkan
bakteri masuk ke parenkim tonsil. Bakteri yang masuk ke dalam parenkim tonsil akan
mengakibatkan terjadinya infeksi tonsil. Pada tonsil yang normal jarang ditemukan adanya
bakteri pada kripta, namun pada tonsilitis kronis bisa ditemukan bakteri yang berlipat ganda.
Bakteri yang menetap di dalam kripta tonsil menjadi sumber infeksi yang berulang terhadap
tonsil.7
Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik ialah rangsangan yang menahun dari
rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik
dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat. Kuman penyebabnya sama dengan
tonsilitis akut tetapi kadang-kadang kuman berubah menjadi kuman golongan Gram
negative.4,9
B. Patogenesis
Tonsil yang berulang kali terkena infeksi akibat dari penjagaan higiene mulut yang tidak
memadai serta adanya faktor-faktor lain, maka pada suatu waktu tonsil tidak bisa membunuh
kuman-kuman semuanya, akibat kuman yang bersarang di tonsil dan akan menimbulkan
peradangan tonsil yang kronik. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil
berubah menjadi sarang infeksi atau fokal infeksi.6,9
Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripta tonsil. Karena proses radang
berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada
proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami
pengerutan sehingga kripti melebar. Secara klinik kripti ini tampak diisi oleh detritus. Proses
berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan
dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran
kelenjar limfa submandibula.4
Ukuran besarnya tonsil dinyatakan dengan :
1.
2.
3.
4.
5.
folikularis kronis), udem atau hipertrofi tonsil (tonsilitis parenkimatosa kronis), tonsil fibrotik
dan kecil (tonsilitis fibrotik kronis), plika tonsilaris anterior hiperemis dan pembengkakan
kelenjar limfe regional.6,9
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kriptus
melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Rasa ada yang mengganjal di tenggorok,
dirasakan kering di tenggorok dan napas berbau.4
Tonsilitis Akut
Tonsilitis Kronis
Tonsilitis Kronis
Eksaserbasi akut
Hiperemis dan edema
Kripte melebar
Detritus (+)
Perlengketan (+)
Sembuhkan radangnya, Jika perlu
tidak hiperemis
Kripte melebar
Detritus (+)
Perlengketan (+)
Bila mengganggu lakukan
analgetika,
Tonsilektomi
obat kumur
D. Tatalaksana
1) Medikamentosa
Tonsilitis yang disebabkan oleh virus harus ditangani secara simptomatik. Obat kumur,
analgetik, dan antipiretik biasanya dapat membantu. Gejala-gejala yang timbul biasanya akan
hilang sendiri. Tonsilitis yang disebabkan oleh streptokokus perlu diobati dengan Penisilin V
secara oral, Sefalosporin, Makrolida, Klindamisin, atau injeksi secara intramuskular Penisilin
11
Benzatin G. Terapi yang menggunakan Penisilin mungkin gagal (6-23%), oleh karena itu
penggunaan antibiotik tambahan mungkin akan berguna.4,6,9
2) Operatif
Tonsilektomi merupakan tindakan pembedahan yang paling sering dilakukan pada pasien
dengan tonsilitis kronik, yaitu berupa tindakan pengangkatan jaringan tonsila palatina dari
fossa tonsilaris. Tetapi tonsilektomi dapat menimbulkan berbagai masalah dan berisiko
menimbulkan komplikasi seperti perdarahan, syok, nyeri pasca tonsilektomi, maupun infeksi.
Tonsilektomi sebagai tindakan operasi terbanyak dan biasa dilakukan di bidang THT belum
mempunyai keseragaman indikasi. Indikasi tonsilektomi yang diterima luas pada saat ini
adalah tonsilitis kronik dengan insidensi 7 atau lebih episode sakit tenggorok akibat tonsilitis
dalam 1 tahun atau 5 episode/tahun dalam dua tahun dan 3 episode/tahun dalam 3 tahun.3
Indikasi tonsilektomi menurut American Academy of Otolaryngology Head and Neck
Surgery Clinical Indicators Compendium tahun 1995 menetapkan Indikasi tonsilektomi
menurut The American Academy of Otolaryngology ,Head and Neck Surgery.4
a. Serangan tonsillitis lebih dari 3 kali per tahun walaupun telah mendapatkan terapi yang
adekuat.
b. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan
pertumbuhan orofacial.
c. Sumbatan jalan nafas yang berupa hipertropi tonsil dengan sumbatan jalan nafas, sleep
apnea, gangguan menelan, gangguan bicara, dan cor pulmonal.
d. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak berhasil
e.
f.
g.
h.
E. Komplikasi
Komplikasi dari tonsilitis kronis dapat terjadi secara perkontinuitatum ke daerah sekitar
atau secara hematogen atau limfogen ke organ yang jauh dari tonsil. Adapun berbagai
komplikasi yang kerap ditemui adalah sebagai berikut: 4,6,9
1. Komplikasi ke sekitar tonsil (perkontinuitatum):
- Peritonsilitis. Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa adanya
trismus dan abses.
- Abses Peritonsilar (Quinsy). Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang
peritonsil. Sumber infeksi berasal dari penjalaran tonsilitis akut yang mengalami
supurasi, menembus kapsul tonsil dan penjalaran dari infeksi gigi.
- Abses Parafaringeal. Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran getah
bening atau pembuluh darah. Infeksi berasal dari daerah tonsil, faring, sinus
paranasal, adenoid, kelenjar limfe faringeal, os mastoid dan os petrosus.
- Abses Retrofaring. Merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring. Biasanya
terjadi pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun karena ruang retrofaring masih berisi
kelenjar limfe.
- Krista Tonsil. Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh jaringan
fibrosa dan ini menimbulkan krista berupa tonjolan pada tonsil berwarna putih dan
berupa cekungan, biasanya kecil dan multipel.
- Tonsilolith (Kalkulus dari tonsil). Terjadinya deposit kalsium fosfat dan kalsium
karbonat dalam jaringan tonsil yang membentuk bahan keras seperti kapur.
2. Komplikasi Organ jauh:
- Demam rematik dan penyakit jantung rematik
- Glomerulonefritis
- Episkleritis, konjungtivitis berulang dan koroiditis
- Psoriasis, eritema multiforme, kronik urtikaria dan purpura
- Artritis dan fibrositis
Total 27 artikel telah dikumpulkan termasuk data yang belum pernah dipublikasikan oleh
peneliti. Artikel ini dipublikasikan di antara tahun 1971 dan 2009, dimana data yang
paling baru adalah data dari peneliti yang didapatkan pada tahun 2010. Studi-studi ini
melibatkan 1.665 pasien dengan rentang usia 1.5 sampai dengan 30 tahun. Dua pulih satu
studi yang melibatkan 943 pasien melaporkan bahwa tonsilektomi tidak memiliki efek
yang negatif terhadap sistem imun, dimana 6 studi yang melibatkan 722 pasien
menunjukkan bahwa tonsilektomi tidak memiliki efek yang negatif terhadap imunitas.12
2. Kesimpulan
Walaupun studi-studi yang dilibatkan dalam literature review ini memiliki variabilitas
dalam berbagai aspek, dapat kita simpulkan bahwa studi-studi tersebut tidak
menunjukkan adanya dampak yang negatif terhadap sistem imun setelah dilakukan
tonsilektomi. Walaupun ada beberapa studi yang mengatakan hal yang sebalikanya,
namun hasil studi yang menyatakan bahwa tonsilektomi tidak memiliki dampak yang
negatif terhadap sistem imun jumlahnya lebih banyak, lebih baru dan lebih komprehensif
dibandingkan dengan studi yang melaporkan hasil yang sebaliknya.12
14
Adenoid ialah massa yang terdiri dari jaringan limfoid yang terletak pada dinding
posterior nasofaring, termasuk dalam rangkaian cincin Waldeyer. Secara fisiologik adenoid
membesar pada anak usia 3 tahun dan kemudian akan mengecil dan hilang sama sekali pada
usia 14 tahun. Bila sering terjadi infeksi saluran napas bagian atas maka dapat terjadi
hipertrofi adenoid. Akibat dari hipertrofi adenoid ini akan timbul sumbatan koana dan
sumbatan tuda eustachius.4
B. Gejala
Gejala yang timbul diakibatkan sumbatan koana, pasien akan bernapas melalui mulut
sehingga terjadi a) fasies adenoid yaitu tampak hidung kecil, gigi insisivus ke depan
(prominen) arkus faring tinggi yang menyebabkan kesan wajah pasien tampak seperti orang
bodoh, (b) faringitis dan bronkitis, (c) gangguan ventilasi dan drainase sinus paranasal
sehingga menimbulkan sinusitis kronis.4
Akibat lain dapat terjadi sumbatan tuba eustasius sehingga akan terjadi otitis media akut
berulang, otitis media kronik dan akhirnya otitis media supuratif kronik. Akibat hipertrofi
adenoid juga akan menyebabkan gangguan tidur, tidur ngorok, retardasi mental dan
pertumbuhan fisik berkurang.4
C. Diagnosis
Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu rinoskopi anterior dengan melihat tertahannya
gerakan velum palatum mole pada waktu fonasi, pemeriksaan rinoskopi posterior (pada anak
biasanya sulit), pemerikskaan digital untuk meraba adanya adenoid dan pemeriksaan
radiologik dengan membuat foto lateral kepala (pemeriksaan ini lebih sering dilakukan pada
anak).4
D. Terapi
Pada hipertrofi adenoid dilakukan terapi bedah adenoidektomi dengan cara kuretase
memakai adenotom.4
Indikasi adenoidektomi4
1. Sumbatan
a. Sumbatan hidung yang menyebabkan bernapas lewat mulut
b. Sleep apnea
c. Gangguan menelan
d. Gangguan berbicara
15
BAB III
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama
: An. AMW
Umur
: 13 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Alamat
Pekerjaan
: Pelajar
: 118536
16
: Baik
: Compos mentis
Tekanan Darah
: 100/70 mmHg
Nadi
: 92 x/menit
Respirasi
: 20 x/menit
Suhu
: 36,8oC
Status Lokalis
Tidak didapatkan pembesaran kelenjar getah bening di leher
Pemeriksaan telinga:
No Pemeriksaan Telinga
1.
Daun telinga
Telinga kanan
Telinga kiri
Bentuk dan ukuran telinga Bentuk dan ukuran telinga
dalam batas normal, nyeri dalam batas normal, nyeri
tragus (-), lesi pada kulit (-), tragus (-), lesi pada kulit (-),
17
2.
3.
Membran timpani
Intak, retraksi (-), bulging (-), Intak, retraksi (-), bulging (-),
warna membran timpani putih, warna membran timpani putih,
cone of light (+), perforasi (-)
cone of light (+), perforasi (-)
Pemeriksaan hidung:
Pemeriksaan Hidung
Hidung luar
Rinoskopi anterior
Vestibulum nasi
Cavum nasi
Meatus nasi media
Konka nasi inferior
Septum nasi
Hidung Kanan
Hidung Kiri
Bentuk (N), inflamasi (-), nyeri Bentuk (N), inflamasi (-), nyeri
tekan (-), deformitas (-)
tekan (-), deformitas (-)
N, ulkus (-)
Bentuk (N), sekret (-), mukosa
hiperemi (-)
Mukosa hiperemi (-), sekret (-),
massa (-)
Edema (-), mukosa hiperemia (-)
Deviasi (-), benda asing (-),
perdarahan (-), ulkus (-)
N, ulkus (-)
Bentuk (N), sekret (-), mukosa
hiperemi (-)
Mukosa hiperemi (-), sekret (-),
massa (-)
Edema (-), mukosa hiperemi (-)
Deviasi (-), benda asing(-),
perdarahan (-), ulkus (-)
18
Pemeriksaan Tenggorokan:
Kripte (+)
Detritus (+)
T3
T3
T3
Rongga Mulut
Bibir
Mulut
Geligi
Lidah
Uvula
Palatum mole
Faring
Tonsila palatine
Fossa Tonsillaris
Arkus Faringeus
Keterangan
Mukosa bibir basah, berwarna merah muda (N)
Mukosa mulut basah berwarna merah muda
Normal
Tidak ada ulkus, pseudomembrane (-)
Bentuk normal, hiperemi (-), edema (-), pseudomembran (-)
Ulkus (-), hiperemi (-)
Mukosa hiperemi (-), edema (-), granul (-), ulkus (-), neovaskularisasi (-)
Kanan
Kiri
Ukuran
T3,
hiperemis
(-), Ukuran T3, hiperemis (-),
permukaan tidak rata (+), kripte permukaan tidak rata (+), kripte
melebar (+), detritus (+)
melebar (+), detritus (+)
hiperemi (-)
hiperemi (-)
DIAGNOSIS KERJA
Tonsilitis Kronis
dd/ Adenotonsilitis Kronis
PLANNING
Pemeriksaan Penunjang
- Kultur swab tenggorokan dan uji resistensi bakteri dari swab tonsil untuk mengetahui
mikroorganisme penyebab dan antibiotik yang sesuai
- Pemeriksaan ASTO
Terapi
1. Medikamentosa
19
20
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, diajukan suatu kasus seorang anak berusia 13 tahun dengan diagnosis
tonsilitis kronis. Diagnosa tonsillitis kronis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesa dan
pemeriksaan fisik dimana didapatkan bahwa pasien mengeluhkan adanya keluhan sulit
menelan yang dialami sejak 6 bulan terakhir dan dirasakan sangat mengganggu kumat
kumatan, yakni > 10 kali. Pada pemeriksaan fisik tenggorokan dengan spatula lidah
didapatkan pembesaran pada daerah tonsil (tonsila palatina), dengan ukuran pembesaran
tonsil T3 (kanan) T3 (kiri), tampak kripte yang melebar dengan detritus di dalamnya tanpa
disertai tanda meradang.
Untuk mendukung diagnosa dapat dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan
pemeriksaan kultur bakteri dan uji sensitifitas dari usap tenggorok atau fine neddle aspiration.
Hal ini dapat mengefektifkan pengobatan dan mengetahui bakteri penyebab sehingga dapat
pula diketahui penyukit-penyulit yang mungkin dapat terjadi di kemudian hari. Selain itu,
dilakukan pemeriksaan ASTO untuk mencari tahu apakah ada kemungkinan tonsilitis yang
dialami pasien disebabkan oleh bakteri Streptokokus Hemolitikus Grup A.
Terapi yang direncanakan untuk penderita ini adalah tonsilektomi. Pada pasien ini
direncanakan untuk dilakukan tonsilektomi. Tonsilektomi dengan atau tanpa adenoidektomi
dilakukan dalam usaha untuk mengendalikan penyakit faring berulang, obstruksi jalan nafas
atas, dan otitis media kronis.
Hal ini sesuai dengan indikasinya yaitu serangan tonsilitis yang lebih dari tiga kali dalam
setahun walau telah diberikan terapi yang adekuat, terdapat obstructive sleep apnea yang
tidak berhasil dengan pengobatan, serta nafas berbau. Penderita ini sudah bisa dilakukan
tonsilektomi karena tidak sedang berada dalam keadaan infeksi/eksarsebasi.
Namun sebelum itu, perlu dinilai apakah terdapat kontraindikasi tindakan tonsilektomi,
antara lain riwayat penyakit perdarahan, resiko anestesi yang buruk atau riwayat penyakit
yang tidak terkontrol, anemia, dan infeksi akut.
Untuk tindakan operatif ini perlu diberikan KIE yang jelas kepada penderita khususnya
keluarga penderita.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Seeley, Stephens, Tate. Anatomy and Physiology. Sixth Edition. New York: McGraw-Hill
Companies; 2004.
2. Moore KL, Agur AMR. Essential Clinical Anatomy. Second Edition. New York:
Lippincott Williams and Wilkins; 2002.
3. Amarudin T, Christanto A. Kajian Manfaat Tonsilektomi. Cermin Dunia Kedokteran.
2007; 155: Hal. 61-8.
4. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Faringitis, Tonsilitis dan Hipertrofi
Adenoid. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan
Leher. Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008. Hal. 217-25.
5. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson Textbook of Pediatrics. Seventeenth
Edition. USA: Saunders Elsevier; 2004.
6. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Penyakit penyakit Orofaring. Dalam: BOIES: Buku
Ajar Penyakit THT. Jakarta: EGC; 1997. Hal. 327-42.
7. Brodsky L, Poje Ch. Tonsillitis, Tonsilectomy and Adenoidectomy. Dalam: Bailey BJ,
Johnson JT, Newlands SD editors. Ototlaryngology Head and Neck Surgery. 4th Ed Vol 1.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2006: Hal.1183-98.
8. Bluestone CD. Controversies in tonsillectomy, adenoidectomy, and tympanostomy tubes.
In: Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD editors. Ototlaryngology Head and Neck
Surgery, 4th Ed Vol 1 Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2006:p.1199-208.
9. Ballenger JJ. Dissease of the Oropharynx. Dalam: Otorhinolaryngology Head and Neck
Surgery. Ed 16. Lea Febiger Book. Baltimore, Philadelphia, Hongkong, London, Munich,
Sydney, Tokyo 2003: Hal. 332-69.
10. Wiatrak BJ, Woolley AL. Pharyngitis and Adenotonsilar Desease. Dalam : Cummings
CW editor. Otolaryngology Head & Neck Surgery. 4th ed. Philadelphia Elsevier Mosby.
2007: Hal.4136-65.
11. Health Technology Assessment (HTA) Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa. Jakarta. 2004.
12. Bitar, M.A. Effect of tonsillectomy on the immune system: where do we stand now?. US:
Institutional Review Board at the American University of Beirut. 2012.
22
LAPORAN KASUS
TONSILITIS KRONIS
PEMBIMBING:
dr. I Gusti Ayu Trisna, Sp.THT-KL
OLEH:
Ajeng Savitri
H1A 009 021