Anda di halaman 1dari 10

Resahku….

Tergagap bangun, aku terduduk, tertegun lama sekali berusaha mengembalikan


kesadaranku. Ini adalah yang kesekian kalinya terjadi. Jam 3 pagi, ya, hampir selalu jam
3 pagi aku terbangun lemas berkeringat, terasa panas di kepala. Suasana kamar sepi,
terdengar samar detik jam dinding yang tersaingi kerikan jangkrik bersahutan, mungkin 2
atau 3 ekor dari arah halaman belakang dan lahan kosong di samping rumah.

Mimpi-mimpi itu terus mendatangi. Isinya memang tidak sama, namun seperti dalam
tema yang sama dengan alur yang berkelanjutan. Aku ingin menuliskannya lagi,
semenjak beberapa kali mimpi serupa itu membuatku merasa susah memejamkan mata
lagi. Mungkin ini adalah yang ke-enam dari banyak mimpi sebelumnya yang belum
sempat aku tulis.

Kupandangi buku tulisku diatas dipan kayu. Mejaku memang hanya itu, meja kecil
dengan duduk lesehan tanpa kursi. Ada beberapa kitab, termasuk Alquran dan buku do’a,
beberapa kertas coretan dan buku-buku tulis, salah satunya ku pakai sebagai diary. Bukan
kebiasaanku memang, untuk menuliskan isi pikiran dalam diary, sehingga aku tidak
pernah punya buku diary yang sesungguhnya.

Masih enggan, aku duduk di depan meja kecilku, menatap Alquran, aku sempat bertanya
dalam hati apa yang sebenarnya terjadi, dan kenapa terjadi pada diriku. Bagi orang-orang
yang dekat dengan Tuhan, ketika mendapatkan hal yang meresahkan hati seperti ini pasti
akan segera bangkit, berwudlu, shalat malam, dan membaca Alquran. Mungkin itu yang
akan mereka lakukan untuk menenangkan hati yang resah gulana.

Tapi aku bukanlah seorang yang rajin sembahyang, ayat-ayat Alquranpun susah sekali
aku hafalkan, shalat malam hampir tidak pernah aku jalankan. Tak ingat berapa kali aku
menjalankan shalat malam dalam tiga bulan terakhir ini. Bukan karena terlalu banyak,
tapi karena terlalu jarang maka tidak terhitung jumlahnya. Shalat malam yang rutin aku
kerjakan hanyalah shalat tarawih. Ya, hari ini adalah dua hari menjelang Ramadhan,
biasanya shalat tarawih tidak pernah terlupa.

Heeeeeh……..
Aku menghela nafas sekali lagi sambil meraih pena dan mulai membuka diary mimpi. Ku
buka beberapa lembar dan ternyata memang ku beri nomor lima untuk mimpiku, mimpi
anehku, sekitar sebelas hari yang lalu. Berarti ini urutan ke-enam yang akan kutuliskan.
Kumulai dengan menulis detail waktu kejadian dan TKP.

“Kamarku yang sunyi, dua hari menjelang Ramadhan 1429, terbangun jam 03.05, mulai
menulis diary pada jam 03.25 pagi”

Berarti aku sudah sekitar 20 menit termenung menunggu kesadaran diri. Di sana juga
kutuliskan dua hari menjelang Ramadhan karena aku tidak hafal nama-nama bulan dalam
penanggalan islam. Entahlah, memalukan memang, sebagai orang islam aku sendiri tidak
pernah berusaha tahu penanggalan hijriyah.

Kulanjutkan tulisanku,
“Kali ini mimpiku makin terasa nyata. Bahkan kepalaku panas, penginderaaanku semua
siaga, mataku perih merah, hidung terasa sesak bagaikan keluar dari dapur pembakaran
yang pengap, telingaku pun mendenging. Kali ini kumulai mimpiku di sebuah jalanan
lebar yang berlubang dimana-mana, bekas galian dan juga ledakan. Banyak bagian aspal
yang sebenarnya masih mulus hitam, tapi hampir semuanya telah ditutupi tebaran debu
memutih kotor.

Lubang-lubang itu, lebih tepatnya lubang bekas ledakan, diperlebar untuk tempat
berlindung. Sebentar aku masih mengamati sekitarku, mencoba memahami suasana yang
terjadi, namun, sentakan seseorang tiba-tiba membawaku jatuh bersamanya, diiringi
kemudian suara rentetan senjata berat dan ledakan di sekitarku. Benar-benar menakutkan
dan membuat siapa saja yang ada di sana panik bukan kepalang.
Belum lagi aku sempat menyadari apa yang terjadi, tanganku segera ditarik keras atau
bahkan diseret menjauhi ledakan yang baru saja terjadi dan menghamburkan segala
komposisi aspal dan tanah dibawahnya. Serpihan-serpihan dan bongkahan aspal serta
debu menerpa apapun disekitarnya. Akupun belum tahu siapa yang menarikku keras,
menjagaku ataukah malah menyanderaku. Sambil menunduk terseret-seret, aku
memegang perut kiriku dengan tangan kanan, perih. Kurasakan lambungku makin panas,
ku perhatikan situasi mulai terasa sepi menjauhi suara tembakan yang masih susul-
menyusul.

Seketika aku teringat lantunan merdu penyanyi Syria yang syahdu, dan rasanya ingin
memejamkan mata menikmati seuntai bait menyentuhnya. Aku memang suka lagu-lagu
berbahasa arab meskipun tidak paham benar bahasanya. Maklumlah disuruh belajar
bahasa arab susahnya setengah hidup setengah mati, mbandhel. Padahal orang tua
maupun beberapa teman telah mengingatkan bahwa bahasa arab adalah bahasa ibu kita
sebagai orang islam, tapi entahlah hati ini susah sekali mentaati nasehat-nasehat mereka.

Sekarang baru tahu rasa, saat ingin memahami lantunan indah tidak paham artinya, ketika
ada ayat Alquran dan Hadist diperdengarkan juga tidak paham maknanya, dan itu berarti
juga tidak paham segala dasar agama dan ideologi yang seharusnya jadi prioritas hidup
kita. Terngiang kembali lantunan indah lagu Syria. Hal ini termasuk salah satu hal yang
aneh juga bagiku, sudah jelas tidak paham bahasanya, tapi kenapa masih suka juga bait-
bait dan irama musik itu. Atau mungkinkah aku sekedar suka sama kemolekan
penyanyinya saja? Ah, kupikir tidak juga, karena banyak lagu yang dinyanyikan
penyanyi pria juga aku suka, jadi tidak melulu melihat kemolekan penyanyinya.

Makin lama aku semakin tenggelam dalam lantunan lagu merdu dalam kenanganku.
Terasa tubuh makin lemas dan mata makin terpejam, letih sekali terasa persendian dan
gerak langkahku. Namun, kesadaranku mulai pulih kembali tatkala pipiku terasa ditepuk-
tepuk dan badanku digoyang-goyangkan agar aku terbangun dan kembali tegar. Aku
perhatikan kembali orang yang menyeretku, masih muda, potongan rambut rapi pendek,
pun tidak menampakkan wajah suram. Kata-katanya susah untuk dipahami, tapi jelas itu
adalah bahasa arab dan dari intonasi serta arahannya, aku paham bahwa dia tidak ingin
aku tertidur lagi yang mungkin akan berlanjut tidak bangun selamanya.

Di depan sana kira-kira 10 meter ke depan ada lagi seorang yang turut berlari-lari, selalu
memunggungi, tidak menoleh ke arahku sama sekali, seakan menjadi penunjuk jalan dan
mengamankan situasi. Tangan kiriku kembali disentak erat dan sangat memaksa, terseret-
seret rasanya kakiku yang ternyata sudah tidak memakai alas kaki lagi. Aku perhatikan
baju dan celanaku masih lengkap meski terlihat lusuh dan ada robekan-robekan di helai
bajuku. Perih itu terasa lagi, aku perhatikan tangan kananku yang memegang perut kiriku,
tepat di daerah lambung, terlihat kini makin basah, akhirnya ku dekatkan ke arah wajahku
dan tertampunglah lelehan darah segar di sana yang segera mengalir dan membasahi
lengan bajuku meski pada saat itu telah terlipat hingga siku. Entah karena takut, terkejut,
atau memang perutku sakit semakin parah, aku terjerembab di pinggir jalan. Perjalanan
menyakitkan itu akhirnya terhambat sebentar. Aku segera diperiksa, tapi sudah terlanjur
pingsan lagi.

Aku kembali sadar dengan terkaget, ternyata aku telah dibawa ke balik pagar di sebuah
pekarangan rumah yang jelas sudah tidak berpenghuni. Entahlah rumah besar itu milik
siapa, tapi sudah separuh hancur, isinya semburat keluar seakan rumah kertas yang
dikoyak-koyak tangan besar dan kasar. Luka di perutku telah dibalut dan tanganku
diletakkan disana untuk menekan dan menghambat pendarahan yang terjadi. Di seberang
lubang pagar kulihat seorang lagi yang sejak tadi didepanku dan selalu memunggungiku,
kini kulihat jelas perawakannya tidak terlalu besar, masih muda, dia menenteng sebuah
senjata laras panjang, entah apa namanya, satu lagi dia cangklong di punggung adalah
jenis Kalashnikov. Untuk yang satu ini aku sedikit tahu karena sering melihat di berbagai
media massa, diidentikkan dengan terorist dan wajah arab. Dia tenang mengawasi sekitar
sambil sesekali menatapku dan mencoba mengajakku bicara.

Aku tidak perhatikan sama sekali karena ingatanku masih loading, mencoba mencari
jawab di mana sebenarnya aku saat itu. Di manakah lingkungan yang biasanya aku
lewati?, keadaan menyakitkan yang kualami saat itu dilingkungan yang sangat berbeda,
entah disebelah dunia mana. Anganku mencoba kembali ke waktu sebelum aku berada di
tengah jalan dengan desingan peluru dan ledakan yang menakutkan tadi, tapi nol besar,
tidak ingat sama sekali.”

Aku berhenti sebentar dari menulis diaryku, berdiri menuju meja makan menuangkan
segelas air dingin. Sekilas terbayang kembali mimpiku. Sungguh nyaman bisa minum air
dingin, entah bagaimana keadaan mereka yang sedang dilanda perang dan terlunta-lunta
seperti itu. Jangankan air dingin, untuk mendapatkan kesempatan tidurpun mungkin
sangat sulit, mempertahankan nyawa, hidup dan mati, sangat berarti bagi mereka.

Kulihat jam dinding sudah hampir jam 4 pagi, kupaksakan lagi menulis diary hingga
selesai, kalau bisa sebelum jam 5 untuk shalat subuh. Aku menulis lagi sambil tetap
berusaha mengingat-ingat isi mimpi aneh itu.

“Begitu aku menatap jalanan, tiba-tiba suasana berganti, ramai, wajah-wajah baru
mengamati. Tempatku bersandar sudah bukan lagi pagar yang separuh runtuh, tapi
sebuah tempat tidur dengan sprei seadanya. Terasa kembali sakit, aku mencoba turun dari
tempat tidur, wajah-wajah itu menyambut. Kulihat perutku telah diperban, rapi. Lubang
pagar yang kuamati berubah menjadi lubang jendela sebuah bangunan. Sinar matahari
turut menusuk di sela-sela lubang dinding, entah karena sudah rapuh, ataukah senasib
dengan pagar dan rumah dipinggir jalan tadi, di koyak peluru dan mortir. Namun, rumah
suram ini tidak lagi menampakkan kesuramannya, tertutupi senyum para penghuninya.

Mereka mengerumuniku. Salah seorang yang sudah tua, beruban, dan berjenggot tidak
terlalu panjang, mencangklong pula senjata laras panjang. Barangsiapa hidup diwilayah
seperti itu seakan telah jadi keharusan untuk memiliki senjata, mempertahankan hidup.
Tersenyum dia kepadaku,

‘Silahkan duduk saja’ katanya ramah.


Entah bagaimana, salah satu dari orang-orang ini bicara padaku dengan bahasa yang
sama denganku. Dia memulai lagi berbicara setelah aku kembali duduk di atas tempat
tidur sambil menyandar dinding sama seperti sebelumnya.

‘Dunia ini penuh dengan berbagai hal, ada baik dan ada buruk, ada benar ada salah, ada
yang tertindas dan ada yang menindas. Semua itu telah menjadi isi dunia ini semenjak
dahulu. Lihatlah kami di sini, kehilangan sandaran hidup, kehilangan segenap penjuru
tanah dan ladang karena dijarah dan dijajah oleh kaum laknat. Ketika kami melakukan
perlawanan demi hak kami, kami dibantai dengan keji dan bahkan di segenap penjuru
dunia dikatakan bahwa kami adalah terorist yang tidak beradab. Setiap saat ada diantara
kami yang harus merelakan saudaranya meninggal dengan mengenaskan menghadapi
perlakuaan semena-mena musuh kami, setiap saat ada diantara kami yang harus
merelakan anak-anaknya dibawa ke penjara untuk disiksa dan diperlakukan seperti
binatang hanya karena keberanian mereka melempari para penjajah laknat bersenjata
lengkap dengan batu seadanya. Ketika kami meminta keadilan kepada perserikatan dunia,
hanya dianggap seperti angin lalu yang tidak berguna. Perlawanan demi perlawanan
hingga saat ini masih kami lakukan dengan kekuatan tidak seberapa, jelas tidak
berimbang dengan musuh kami yang dilatih negara-negara besar laknat yang juga
menginginkan kami hilang dari muka bumi. Mereka mencanangkan perang terhadap
terorisme, tapi mereka sendirilah yang menjadi teroris terbesar dan paling laknat.’

Suara ramah itu berhenti sebentar, akupun tak kuasa menahan sesak di dada, pilu
mendengar keluh kesah seperti itu, tanpa terasa mataku turut berkaca-kaca meskipun
sebisa mungkin kutahan-tahan. Kenapa hal seperti itu diceritakan pada diriku?

Suara itu menghela nafas menguatkan diri sebelum melanjutkan bicaranya,


‘Maka dari itu, kami di sini menitipkan pesan padamu, sampaikan salam kami kepada
saudara kami di dunia sana yang dikelilingi kedamaian semu melenakan hati. Kami disini
sangat membutuhkan bantuan kalian wahai saudara kami kaum muslimin, bergeraklah
mengulurkan tangan kalian kepada kami, akan kami sambut dengan kehangatan dan
pelukan mesra sebagai saudara. Akankah kalian membiarkan kami, saudaramu ini disini
dibantai, dihinakan, diinjak-injak hak-hak dan kehormatannya. Kehormatan dan hak-hak
ini adalah juga milik kalian sebagai saudara kami. Apakah kalian tidak merasa sakit dan
terhinakan juga, padahal nabi kita telah mengatakan bahwa ummat islam laksana satu
tubuh yang saling membutuhkan dan saling membantu apabila satu bagian tertimpa
musibah. Kini kami, saudaramu, satu tubuh dengan kalian, telah mendapatkan musibah,
kapankah kalian datang menolong kami yang sedang kesusahan ini. Tolonglah
kami………’.

Helaan nafasnya kembali terdengar, panjang, dan tertahan, pilu.

Sepintas aku teringat pada orang-orang yang teguh dalam kesesatan mereka, pada orang-
orang yang terlena dengan mengunggulkan otak-otak mereka, pada orang-orang yang
setia menjadi anjing para laknat untuk menghujat saudara-saudara mereka sendiri yang
sedang disudutkan dan dihinakan.

Aku makin merasa heran, bagaimana manusia bisa berpikir bahwa islam adalah teroris,
padahal kenyataan membuktikan bahwa pejuang-pejuang islam hanya mempertahankan
diri semata, mempertaruhkan nyawa dan harta demi hak-hak yang dirampas penjajah,
berjuang demi kehormatan dan agama yang dihinakan para laknat. Kini, banyak wilayah-
wilayah islam yang dipisah-pisah menjadi negara-negara kecil tanpa daya, dikerdilkan
menjadi santapan musang-musang lapar.

Banyak sekali kenyataan dan bukti kebenaran diputarbalikkan oleh pemegang kendali
informasi dunia. Segala yang diuraikan media massa harus menuruti skenario dan
keinginan polisi dunia, sang musang berbulu domba. Penilaian yang bertolak belakang
dari kenyataan itulah yang semakin menyudutkan para pejuang islam. Mereka diexpose
sebagai pihak yang salah dan bermasalah.

Belum lagi, banyak orang islam sendiri yang terjebak dalam pemikiran bodoh yang
sebenarnya malah membodohi mereka sendiri. Mereka islam, tapi turut serta
memojokkan saudara mereka yang gigih berjuang melawan penjajah laknat, mereka
bahkan terbawa dalam pengkondisian pola pikir yang salah, sesat dan menyesatkan.

Sekali lagi aku tertegun dan menghela nafas. Bagaiman bisa orang-orang yang mengaku
islam, yang bersyahadat mengaku bertuhan Allah dan bernabi Muhammad, tapi tidak
bersedia mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan dan wajib dikerjakan. Mereka
berpikir layaknya orang non-islam, bertingkah laku tidak islami, tidak mau berpola pikir
islami, menafsirkan agama sekehendak hati (nafsu)nya sendiri, bahkan ada yang
mencapai kesesatan mempertanyakan kebenaran perintah-perintah Tuhan, baik wahyu
Ilahi maupun hadist nabi. Tidak relevan katanya, tidak sesuai lagi dengan zaman. Selain
itu, ada juga yang menganggap bahwa wahyu Tuhan adalah sesuatu yang tidak masuk
akal dan mengatakan bahwa dogma-dogma agama dianggap nyleneh dan tidak masuk
akal maka tidak wajib diikuti. Naudzubillah.

Orang-orang semacam itu, yang mengandalkan akal dan mempertuhankan akal,


sebenarnya mereka itu telah terjebak pemikiran sesat sehingga menyimpang dari petunjuk
Tuhan. Seharusnya mereka tahu bahwa akal hanyalah salah satu ciptaan Tuhan yang
disetting bisa disusupi dan di infeksi oleh nafsu dan keinginan yang tidak benar alias
menyimpang dari kebenaran. Seharusnya mereka sadar bahwa akal sangat membutuhkan
keberadaan wahyu Tuhan sebagai senjata melawan nafsu dan keinginan setan.

Para pemuja akal dan nafsu dengan pola pikir mereka yang dari dasarnya telah sesat
itulah yang juga menjadikan mereka turut serta bergabung dengan musuh-musuh islam
untuk menghancurkan islam dari dalam. Mereka juga turut serta memojokkan saudara-
saudara mereka yang sedang dihinakan dan dirampas kehormatannya. Dan parahnya,
orang-orang sesat semacam itu bahkan mempengaruhi orang lain untuk mengikuti
kesesatan mereka.

Kuperhatikan, wajah tua nan ramah itu hendak kembali mengutarakan isi hatinya. Sambil
tangannya memegang pundakku, terasa dingin, sejuk, nyaman. Namun, baru saja hendak
terucap kata, ……. blaaaaaaaaaaaaaaar……, ledakan besar menyala silau
menghancurkan dinding dan jendela rumah itu, membuyarkan semua wajah ramah dan
tabah itu, tertinggal senyum yang makin sirna, kini lenyap semuanya. Tergagap bangun,
aku terduduk, tertegun lama sekali berusaha mengembalikan kesadaranku. Bahkan
kepalaku panas, penginderaaanku semua siaga, mataku perih merah, hidung terasa sesak
bagaikan keluar dari dapur pembakaran yang pengap, telingaku pun mendenging. Aku
sudah tidak bisa memejamkan mata lagi.”

Heeeeeh…………, aku merasakan jari-jariku kaku. Aku melihat jam dinding ternyata
telah menunjukkan hampir jam 5 pagi, waktunya shalat subuh. Berarti tadi sudah adzan
subuh tapi aku terlalu serius menatap diaryku, tidak terdengar suara adzan pagi itu.
Semoga itu bukan pertanda lemahnya imanku.

Kutambahkan sedikit tulisanku,


“Ya Allah, alhimni rushdi wa a’idni min sharri nafsi.
Ya Allah, adkhilni mudkhola sidqin wa akhrijni mukhroja sidqin.
Ya Allah, berilah aku ilmu yang bermanfaat dan jadi bagian dari orang-orang yang
mampu mengamalkan ilmunya.
Ya Allah, jadikanlah otakku mampu menerima ilmu-ilmu dan petunjuk-Mu dan juga
mengamalkannya sehingga bermanfaat bagi manusia.
Ya Allah, jika otakku tidak mampu menerima dan mengamalkan ilmu-ilmu-Mu, maka
berikanlah aku jalan ke tempat saudara-saudaraku yang sedang dirundung musibah
melawan musuh-musuh-Mu.
Ya Allah, berilah kesiapan dalam hatiku untuk berdagang dengan-Mu, diri dan hartaku
untuk berjuang dijalan-Mu demi surga dan kemenangan besar yang telah Kau janjikan.
Ya Allah, berikanlah petunjuk-Mu agar aku mampu memilih jalan hidupku.
Semoga Islam kembali berjaya seperti bergantinya malam ini menjadi pagi yang terang,
cerah, dan ceria. Amien.

Diary ini selesai kutulis jam 5 pagi, dua hari menjelang Ramadhan 1429.”

Masih mengingat wajah tersenyum yang menguap hilang, tetap menjadi resahku.
Selesai.

September, 2008

Tag: csp, cerita sangat pendek, cerpen, Allah, Muhammad, Islam, perang, teroris, hati,
pilihan hidup, ramadhan, Alquran, Hadist, 1429, hijriyah, mimpi, shalat, diary, mortar,
Syria, Kalashnikov, arab, wahyu, akal, sesat

Anda mungkin juga menyukai