Anda di halaman 1dari 2

Bagaimana Saya Harus Bersikap??

Seorang ulama mengatakan bahwa orang besar bukan hanya yang bisa tampil menjadi
pemimpin besar, tapi orang yang besar adalah orang yang mau mengajar anak-anak kecil
di sebuah surau kecil di daerah terpencil. Orang jenis ini adalah orang yang besar hatinya,
besar jiwanya, besar mentalnya. Mereka bersedia meletakkan kehidupannya dalam
tataran hidup susah, keluarga yang dibawanya juga merupakan keluarga yang wajib
bermental besar seperti dirinya, dibawa dan ditempatkan dalam kesusahan hidup.

Pernahkah kita berpikir, berapa prosentase seorang islam yang berjiwa besar untuk
bersedia hidup sedemikian? Berapa prosentase pula calon istri pendidik-pendidik ini yang
bersedia menjawab “Ya, saya bersedia hidup susah” ketika ditanyakan padanya “Maukah
engkau hidup bersamaku di daerah tak berpengetahuan dan jauh dari modernitas?”.

Kadang pula ada orang yang gampang menyatakan ”Berkeluarga adalah mencari ridho
Allah, kenapa harus ditanyakan untuk diajak hidup susah. Itu tanda seorang laki-laki yang
pesimistis”. Apa benar seindah itu dalam melangkah di pernikahan menuju ridho Allah?
Apakah sudah difikirkan resiko dan tanggungjawab yang harus diemban?. Bagi seorang
yang merasa mampu, mungkin dengan cepat akan menyatakan kesanggupannya menikah.
Tapi ketika dia tahu bahwa perjalanan hidup itu tidak berada di situasi normal, yang tidak
memungkinkan bagi calon suaminya meningkatkan taraf hidup keluarga, masih
bersediakah calon istri ini menerima dan menjalaninya?

Ketika terbayang situasi daerah terpencil, jauh dari fasilitas, jauh dari tempat
mengembangkan usaha untuk menghidupi keluarga, bahkan mungkin tidak bisa chatting
dan sharing dengan teman-temannya dahulu (hehe.......mungkin saja kan kalo daerahnya
benar-benar jauuuuuh......dari peradaban), dan segenap kemudahan yang dulu pernah
diperolehnya tiba-tiba menghilang, maka masih mungkinkah dia menjawab “Ya”.
Mungkin ada yang bilang ketika seorang laki-laki mengkhitbah perempuan dan yang
pertama ditanyakan adalah “Maukah kamu hidup susah bersamaku?”, maka dianggapnya
itu sebagai ucapan seorang pemuda yang pesimistis. Bisa jadi benar, tapi apa semuanya
demikian?. Kadangkala dia menyatakan demikian karena terlalu mencintaimu, terkadang
dia menyatakan demikian karena telah jauh memikirkan kehidupanmu dan anak-anak.
Jika ada yang demikian, lebih baik saling mengutarakan dan mengungkapkan dengan
diskusi, demi penyelesaian yang baik. Menuju ridho Allah pun perlu pertimbangan dan
rencana serta dimulai dari sebelum menikah tentunya. InsyaAllah barakah. Amien.

Tiada kehidupan tanpa kesengsaraan, dan tiada kebahagiaan tanpa melewati kesulitan.

Ngemeng-ngemeng (gaya Tukul..), penulis sendiri belum pernah berpengalaman


melamar, sehingga tulisan ini sekedar usaha mengeluarkan pikiran saja. Semoga Allah
menjauhkan saya dari sikap pesimistis dan takut. Amien.
Semoga tulisan ini bermanfaat.

September, 2008

Tag: nikah, khitbah, pesimis, ridho, Allah, prosentase, bahagia, sengsara

Anda mungkin juga menyukai