Anda di halaman 1dari 23

Laporan Kasus

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK


(PPOK)

Oleh :

Rizqina Putri
1008151821

Pembimbing :
dr. Surya Hajar, Sp.P

Kepaniteraan Klinik Senior


Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Arifin Achmad
Fakultas Kedokteran Universitas Riau
Pekanbaru

2014

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik

yang progresif, artinya penyakit ini berlangsung seumur hidup dan semakin
memburuk secara lambat dari tahun ke tahun. Dalam perjalanan penyakit ini
terdapat fase-fase eksaserbasi akut. Berbagai faktor berperan pada perjalanan
penyakit ini, antara lain faktor resiko yaitu faktor yang menimbulkan atau
memperburuk penyakit seperti kebiasaan merokok, polusi udara, polusi
lingkungan, infeksi, genetik dan perubahan cuaca.1
Derajat obtruksi saluran nafas yang terjadi, dan identifikasi komponen
yang memugkinkan adanya reversibilitas. Tahap perjalanan penyakit dan penyakit
lain diluar paru seperti sinusitis dan faringitis kronik. Yang pada akhirnya faktorfaktor tersebut membuat perburukan makin lebih cepat terjadi. Untuk melakukan
penatalaksanaan PPOK perlu diperhatikan faktor-faktor tersebut, sehingga
pengobatan PPOK menjadi lebih baik.1
Penyakit paru obstruksi kronik adalah klasifikasi luas dari gangguan yang
mencakup bronkitis kronik, bronkiektasis, emfisema dan asma, yang merupakan
kondisi ireversibel yang berkaitan dengan dispnea saat aktivitas dan penurunan
aliran masuk dan keluar udara paru-paru.2
Penyakit paru obstruksi kronik adalah kelainan paru yang ditandai dengan
gangguan fungsi paru berupa memanjangnya periode ekspirasi yang disebabkan
oleh adanya penyempitan saluran napas dan tidak banyak mengalami perubahan
dalam masa observasi beberapa waktu.1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) menurut Global Initiative for
Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) adalah penyakit kronik yang ditandai
oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Keterbatasan aliran
udara ini berhubungan dengan respon inflamasi paru abnormal dan progresif
terhadap gas atau partikel yang berbahaya.1
Penyakit paru obstruksi kronik terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema
atau gabungan keduanya. Bronkitis kronik adalah kelainan saluran napas yang
ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal tiga bulan dalam setahun, sekurangkurangnya dua tahun berturut-turut. Sedangkan emfisema adalah suatu kelainan
anatomis paru yang ditandai dengan pelebaran bagian distal bronkiolus terminal
disertai kerusakan dinding alveoli.2
2.2 Epidemiologi
Prevalensi dan angka mortalitas PPOK terus meningkat. Di Amerika
Serikat diperkirakan terdapat 115.000 kematian pada tahun 2000. Pada tahun
2020, The Global Burden of Disease Studies memperkirakan bahwa PPOK akan
menduduki peringkat ketiga penyakit penyebab kematian dan peringkat kedua
belas penyebab penyakit dan juga sebagai peringkat keempat penyakit penting
yang menimbulkan kecacatan.1
Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes RI tahun 1992,
PPOK bersama asma bronkial menduduki peringkat keenam dan merokok
merupakan penyebab PPOK terbanyak (95% kasus) di negara berkembang.3
Di Indonesia penyakit bronkitis kronik dan emfisema meningkat seiring
dengan meningkatnya jumlah orang yang menghisap rokok dan pesatnya
kemajuan industri. PPOK merupakan masalah kesehatan umum dan menyerang
sekitar 10% penduduk usia 40 tahun ke atas.3

2.3 Etiologi
Menurut American Thoracic Society (ATS), faktor risiko terjadinya PPOK,
yaitu :4
a. Faktor host

: faktor genetik, jenis kelamin, dan anatomi saluran napas.

b. Faktor exposure : merokok, hiperaktivitas saluran napas, pekerjaan, polusi


lingkungan, dan infeksi bronkopulmoner berulang.
Penyakit paru obstruksi kronik sering dikaitkan dengan gejala eksaserbasi
akut. Pasien PPOK dikatakan mengalami eksaserbasi akut bila kondisi pasien
mengalami perburukan yang bersifat akut dari kondisi sebelumnya yang stabil dan
dengan variasi gejala harian normal sehingga pasien memerlukan perubahan
pengobatan yang sudah biasa digunakan. Eksaserbasi akut ini biasanya
disebabkan oleh infeksi mukosa trakeobronkial (terutama Streptococcus
pneumonia, Haemophilus influenza, Moraxella catarrhalis), iritasi kronik pada
saluran napas seperti rokok (bronkitis kronik, polusi debu), defisiensi alfa-1
antitripsin (emfisema) atau obat golongan sedatif. Sekitar sepertiga penyebab
eksaserbasi akut ini tidak diketahui. Merokok merupakan penyebab PPOK
terbanyak (95% kasus) di negara berkembang.3
2.4 Klasifikasi
Klasifikasi PPOK menurut National Heart, Lung and Blood Institute dan
WHO, yaitu :5

Stadium 0, derajat berisiko PPOK :


-

Spirometri normal

Kelainan kronik (batuk, sputum produktif)

Stadium 1, PPOK ringan :


-

VEP1/KVP < 70%

VEP1 > 80% prediksi


Dengan atau tanpa keluhan kronik (batuk, sputum produktif)

Stadium II, PPOK sedang :


-

VEP1/KVP < 70%

30% < VEP < 80% prediksi


(IIA : 50% < VEP1 < 80% prediksi)

(IIB : 30% < VEP1 < 50% prediksi)


Dengan atau tanpa keluhan kronik (batuk, sputum produktif)

Stadium III, PPOK berat :


-

VEP1/KVP < 70%

VEP1 < 30% prediksi atau VEP < 50% prediksi + gagal napas.

2.5 Patogenesis
Pada bronkhitis kronis perubahan awal terjadi pada saluran udara yang
kecil. Selain itu, terjadi destruksi jaringan paru disertai dilatasi rongga udara distal
(emfisema),

yang

menyebabkan

hilangnya

elastic

recoil,

hiperinflasi,

terperangkapnya udara, dan peningkatan usaha untuk bernapas, sehingga terjadi


sesak napas. Pada saluran napas kecil terjadi penebalan akibat peningkatan
pembentukan folikel limfoid dan penimbunan kolagen di bagian luar saluran
napas, sehingga menghambat pembukaan saluran napas. Lumen saluran napas
kecil berkurang karena penebalan mukosa berisi eksudat sel radang yang
meningkat sejalan dengan beratnya penyakit. Hambatan aliran udara pada PPOK
disebabkan oleh beberapa derajat penebalan dan hipertofi otot polos pada
bronkiolus respiratorius. Dengan berkembangnya penyakit, kadar CO 2 meningkat
dan doronga n respirasi bergeser dari CO 2 ke hipoksemia, dorongan pernapasan
juga mungkin akan hilang sehingga memicu terjadinya gagal napas.1,2
Menurut Hipotesis Elastase-Anti Elastase, di dalam paru terdapat
keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan antielastase untuk mencegah
terjadinya kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan antara enzim proteolitik
elastase dan antielastase akan menimbulkan kerusakan jaringan elastin paru.
Ketidakseimbangan ini dapat dipicu oleh adanya rangsangan pada paru antara lain
oleh asap rokok dan infeksi yang menyebabkan elastase bertambah banyak atau
oleh adanya defisiensi alfa-1 antitripsin.6
Pada PPOK terjadi penyempitan saluran napas dan keterbatasan aliran
udara karena beberapa mekanisme inflamasi, produksi mukus yang berlebihan,
dan vasokontriksi otot polos bronkus, seperti terlihat pada gambar 1.

Gambar 1. Perbandingan saluran pernapasan pada PPOK dan normal


Saluran napas normal akan melebar karena perlekatan alveolar selama
ekspirasi diikuti oleh proses pengosongan alveolar dan pengempisan paru.
Perlekatan alveolar pada PPOK rusak karena emfisema menyebabkan penutupan
jalan napas ketika ekspirasi dan menyebabkan air trapping pada alveoli dan
hiperinflasi. Saluran napas perifer mengalami obstruksi dan destruksi karena
proses inflamasi dan fibrosis, lumen saluran napas tertutup oleh sekresi mukus
yang terjebak akibat bersihan mukosilier kurang sempurna. 1 Proses pernapasan
normal dibandingkan PPOK terlihat pada gambar 2.
Ekspirasi Normal
Ekspirasi mudah karena elastic recoil

Ekspirasi PPOK
Ekspirasi sulit karena penurunan

alveolus normal dan bronkus normal.

elastic recoil alveolus dan penyempitan


bronkus.

(a) Normal

(b) PPOK

Gambar 2. Proses pernapasan normal dan PPOK

2.6 Gambaran klinis


Gejala klinis yang dapat ditemukan pada penderita PPOK diantaranya
adalah batuk kronik dengan dahak (pada bronkitis kronik keadaan ini terjadi
setiap hari selama 3 bulan dalam 1 tahun pada sedikitnya 2 tahun berturut-turut.
Sesak napas terutama melakukan aktivitas, perjalanan penyakit kronik dan
progresif, sehingga makin lama keluhan bertambah berat.5
Pasien yang mengalami eksaserbasi akut dapat ditandai dengan gejala
yang khas seperti :7
Gejala eksaserbasi
kadang

disertai

sesak

mengi,

napas

batuk

bertambah,

disertai

dengan

meningkatnya sputum yang lebih purulen atau berubah


warna.
Gejala nonspesifik

malaise, insomnia, fatigue,

dan depresi.
Spirometri

fungsi paru sangat menurun.

2.7 Diagnosis
1. Anamnesis
Adanya keluhan sesak napas, batuk-batuk kronis, sputum yang produktif,
faktor risiko (+), PPOK ringan dapat tanpa keluhan atau gejala, riwayat paparan
dengan faktor risiko, riwayat penyakit sebelumnya, riwayat keluarga PPOK,
riwayat eksaserbasi dan perawatan di RS sebelumnya, komorbiditas, dan dampak
penyakit terhadap aktivitas.5
2. Pemeriksaan fisik : - Pernapasan pursed lips
- Takipnea
- Dada emfisematous atau barrel chest
- Tampilan fisik pink puffer atau blue bloater
- Bunyi napas vesikuler melemah
- Ekspirasi memanjang
- Ronki kering atau wheezing
- Bunyi jantung jauh5
3. Diagnosis pasti dengan uji spirometri :

- FEV1/FVC, 70%.
- Uji bronkodilator (saat diagnosis ditegakkan) : FEV1 pasca bronkodilator,
80% prediksi.5
4. Laboratorium
- Rutin

: Peningkatan kadar Hb dan jumlah eritrosit (polisitemia sekunder).

- Khusus : Defisiensi kadar alfa-1 antitripsin (kongenital).7


5. Foto toraks
- Hiperlusen regional dan gambaran bronkovaskuler kasar.
- Gambaran jantung mengecil.
- Diafragma datar dan lenting (overinflasi).7
6. Analisis gas darah pada :
- Semua pasien dengan VEP1 < 40% prediksi.
- Secara klinis diperkirakan gagal napas atau gagal jantung kanan.5
7. Kultur dan sensitivitas kuman
Diperlukan untuk mengetahui kuman penyebab serta resistensi kuman
terhadap antibiotik yang dipakai. Pemeriksaan ini juga diperlukan jika tidak ada
respon terhadap antobiotik yang dipakai sebagai pengobatan pada permulaan
penyakit.4
2.8 Penatalaksanaan
A. Terapi PPOK Stabil
Terapi Non- Farmakologis5
1. Motivasi dan pendidikan meliputi :
-

Usaha mengurangi faktor risiko (polusi, debu)

Edukasi-motivasi berhenti merokok

Farmakoterapi stop merokok

2. Rehabilitasi : latihan fisik, latihan endurance, latihan pernafasan,


rehabilitasi psikososial
3. Terapi oksigen jangka panjang (>15 jam sehari)
Untuk PPOK stadium III, AGD :
-

PaO2 < 55 mmHg, atau SaO2 < 88% dengan/tanpa hiperkapnia

PaO2 55-60 mmHg, atau SaO2 <88% disertai hipertensi pulmonal,


edema perifer karena gagal jantung, polisitemia.

4. Nutrisi
-

Pembedahan : pada PPOK berat, (bila dapat memperbaiki fungsi


paru atau gerakan mekanik paru).

Terapi Farmakologis5
1. Bronkodilator
-

Secara inhalasi, kecuali preparat tak tersedia/ tak terjangkau.

Rutin (bila gejala menetap) atau hanya bila diperlukan (gejala


intermiten).

3 golongan :

Agonis -2 : fenopterol, salbutamol, albuterol, terbutalin,


formoterol, salmeterol.

Antikolinergik

ipratropium

bromide,

oksitroprium

bromide

Metilxantin : teofilin lepas lambat, bila kombinasi -2 dan


steroid belum memuaskan.

Dianjurkan bronkodilator kombinasi daripada meningkatkan dosis


bronkodilator monoterapi.

2. Steroid, pada :
-

PPOK yang menunjukkan respon pada uji steroid

PPOK dengan FEV1 < 50% prediksi (stadium IIB dan III)

Eksaserbasi akut.

3. Obat-obat tambahan lain


-

Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) : ambroksol, karbosistein,


gliserol iodide

Antioksidan : N-asetil-sistein

Immunoregulator (immunostimunolator,immunomodulator) : tidak


rutin

Antitusif : tidak rutin

Vaksinasi : influenza, pneumokokus.

B. Terapi PPOK Eksaserbasi Akut


Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut di rumah : bronkodilator seperti
pada PPOK stabil, dosis 4-6 kali 2-4 hirup sehari. Steroid oral dapat diberikan
selama 10-14 hari. Bila infeksi dapat diberikan antibiotik spektrum luas
(termasuk S. pneumonia, H. influenzae, M. catarrhalis).5
Terapi eksaserbasi akut di rumah sakit:5

Terapi oksigen terkontrol, melalui kanul nasal atau venturi mask.

Bronkodilator : inhalasi agonis 2 (dosis dan frekuensi ditingkatkan) +


antikolinergik

Pada eksaserbasi akut berat + aminofilin (0,5mg/ kgbb/jam)

Steroid : prednisolon 30-40mg PO selama 10-14 hari

Steroid intravena : pada keadaan berat.

Algoritma Penanganan PPOK :9

Gambar 3. Algoritma penanganan PPOK


Terapi jangka panjang dilakukan dengan :8

Antibiotik untuk kemoterapi preventif, ampisilin 4 x 0,25-0,5 g dapat


menurunkan eksaserbasi akut.

Bronkodilator, tergantung tingkat reversibelitas obstruksi saluran napas tiap


pasien, maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan objektif dari
fungsi faal paru.

Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.

Mukolitik dan ekspektoran.

2.9 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah :9
a. Gagal napas
- Gagal napas kronik
Hasil analisis gas darah PO2 < 60 mmHg, PCO2 > 60 mmHg, dan pH normal,
penatalaksanaan :

Jaga keseimbangan PO2 dan PCO2.

Bronkodilator adekuat.

Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur.

Antioksidan

Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing

Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh :

Sesak napas dengan atau tanpa sianosis

Sputum bertambah dan purulen

Demam

Kesadaran menurun

b. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan
terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada
kondisi kronik ini imunitas menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya
kadar limfosit darah.
c. Kor pulmonal
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50%, dapat disertai
gagal jantung kanan.
2.10 Prognosis
Prognosis PPOK bergantung pada umur dan gejala klinis waktu berobat.
Pada pasien yang berumur <50 tahun dan datang dengan keluhan sesak nafas yang
ringan, 5 tahun kemudian akan terlihat ada perbaikan. Tetapi bila pasien itu datang
dengan sesak nafas sedang, maka 5 tahun kemudian 42% pasien akan sesak lebih

berat dan meninggal. Pada pasien yang berumur > 50 tahun dengan sesak nafas
ringan, 5 tahun kemudian 50% pasien akan lebih berat atau meninggal.10

BAB III
ILUSTRASI KASUS
Identitas pasien :
Nama

: Tn. D

Umur

: 80 tahun

Jenis kelamin

: Laki-laki

Pekerjaan

: Tidak bekerja

Status

: Menikah

Masuk RS

: 08 Juli 2014

Tanggal pemeriksaan : 15 Juli 2014


ANAMNESIS
Keluhan utama
-

Sesak nafas yang semakin memberat sejak 1 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang :


-

Sejak 8 tahun SMRS pasien mulai mengeluhkan sesak nafas. Sesak


dirasakan hampir setiap hari, baik pagi, siang, ataupun malam hari. Sesak
muncul terutama saat beraktivitas seperti berlari dan berjalan jarak 5
meter. Sesak berkurang saat istirahat.Sesak nafas tidak dipicu oleh
makanan atau cuaca dingin. Pasien juga mengeluhkan batuk yang hilang
timbul, disertai atau tanpa dahak. Kadang dahak berwarna hijau dan putih.
Batuk darah tidak ada. Keluhan sesak napas dirasakan lebih kuat daripada
batuk. Nyeri dada tidak ada. Bengkak dikaki tidak ada. Pasien rutin
berobat ke puskesmas dua kali seminggu.

Sejak 1 minggu SMRS pasien mengeluhkan sesak nafas yang terasa


semakin memberat saat beraktivitas, seperti berjalan 2 meter. Terkadang
terdengar suara nafas ngik pada saat pasien sesak. Jika sesak, pasien
lebih nyaman dengan posisi duduk dan dada membungkuk daripada
berbaring. Pasien juga mengeluhkan batuk dan susah mengeluarkan dahak.
Batuk darah tidak ada. Nyeri dada tidak ada.

Sejak 1 hari SMRS pasien mengeluhkan sesak napas dan batuk yang
semakin berat. Pasien dibawa ke IGD RSUD Arifin Achmad dan mulai
dirawat inap. Demam tidak ada, penurunan berat badan yang signifikan
selama pasien sesak dan batuk tidak ada, nafsu makan tidak menurun.
BAB dan BAK normal.

Riwayat Penyakit Dahulu :


-

Sebelumnya pasien pernah dirawat satu kali di RSUD Arifin Achmad


karena keluhan yang sama dan didiagnosa PPOK, yaitu pada bulan Januari
2012.

Riwayat DM (+)

Penyakit Jantung (-)

Hipertensi (-)

Riwayat Asma dan alergi (-)

Riwayat TB dan minum obat selama 6 bulan (+)

Riwayat Penyakit Keluarga :


-

Tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan yang sama seperti
pasien

Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi dan Kebiasaan:


-

Dahulu pasien bekerja sebagai pedagang keliling dan telah berhenti sejak
10 tahun yang lalu

Riwayat merokok (+), sejak usia 15 tahun sebanyak 7 bungkus perhari dan
berhenti merokok 3 tahun yang lalu

Pernah konsumsi alkohol 20 tahun yang lalu.

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum
Kesadaran
Tekanan darah
HR
RR
Suhu
BB
TB
IMT

: tampak sakit sedang


: komposmentis
: 150/100 mmHg
: 88 kali/menit
: 30 kali/menit
: 36,5 C
: 43 kg
: 155 cm
: 25,9

Kepala dan leher:


Mata

: konjungtiva anemis (+/+), Sklera ikterik (-/-)

Mulut

: pursed-lip breathing (+)

Leher

: Pembesaran KGB (-), JVP tidak meningkat (5+2 cm H20)

Paru :
Inspeksi

: Gerakan dinding dada simetris kanan dan kiri, terdapat penggunaan


otot bantu pernapasan, retraksi intercosta (-),barrel chest (-).

Palpasi

: Fremitus melemah, kanan = kiri

Perkusi

: Hipersonor seluruh lapangan paru

Auskultasi : Vesikuler (+/+) dengan ekspirasi memanjang


Jantung :
Inspeksi

: Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi

: Ictus cordis tidak teraba

Perkusi

: Batas jantung kanan : sulit dinilai.


Batas jantung kiri

Auskultasi

: 2 jari lateral dari LMCS SIK VI

: S1 dan S2 normal, gallop (-), murmur (-).

Abdomen :
Inspeksi

: Perut datar, simetris kiri dan kanan. Venektasi (-). Distensi (-)

Auskutasi

: Bising usus (+) normal

Palpasi

: Supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-)

Perkusi

:Timpani

Ekstremitas :
Teraba hangat (+), CRT < 2, Edema (-).

PEMERIKSAAN PENUNJANG
-Darah rutin (08 juli 2014)
Hb

:11,9 gr/dl

Ht

: 36,8%

Leukosit

: 13.600/mm3

Trombosit

:217.000/mm3

- Laboratorium kimia darah (10 Juli 2011)


Glukosa

: 183 mg/dl

Ureum

: 39 mg/dl

Kreatinin

: 0.63 mg/dl

AST

: 18 IU/L

ALT

: 18 U/L

ALB

: 3.06 g/dl

- Pemeriksaan laboratorium : sputum


BTA : Negatif (10 juli 2014)
BTA : Negatif ( 11 juli 2014)
BTA : Negatif (14 juli 2014)
Rontgen Thoraks (08 Juli 2014)

Dari rontgen thoraks didapatkan :


Cor

: Tampak ramping, CTR < 50%.

Pulmo : Gambaran hiperlusen di kedua lapangan paru, sela iga mendatar, dada
emfisematous, diafragma letak rendah

Kesan : PPOK
RESUME :
Tn. D, 80 tahun masuk ke RSUD AA tanggal 08 Juli 2014 dengan keluhan
sesak nafas yang makin memberat sejak 1 hari SMRS. Dari anamnesis didapatkan
keluhan sesak mulai dirasakan sejak 8 tahun yang lalu disertai batuk hilang
timbul, disertai atau tanpa dahak. Kadang dahak berwarna hijau dan putih.
Terkadang terdengar suara nafas ngik pada saat pasien sesak. Demam tidak ada,
penurunan berat badan yang signifikan selama pasien sesak dan batuk tidak ada,
nafsu makan tidak menurun. Riwayat merokok (+), sejak usia 15 tahun sebanyak
7 bungkus perhari dan berhenti merokok 3 tahun yang lalu dan pernah konsumsi
alkohol 20 tahun yang lalu. Riwayat asma (-), TB (+).
Dari pemeriksaan fisik umum didapatkan TD 150/100 mmHg, HR 88 x/i,
RR 30 x/i, suhu 36,5oC. Tampak pursed-lip breathing (+). Pada pemeriksaan fisik
paru didapatkan terdapat penggunaan otot bantu pernapasan, vokal fremitus
melemah di basal paru dekstra, sonor diseluruh lapangan paru sinistra dan pekak
di paru dekstra juga ditemukan vesikuler (+/+) melemah, ronki (+/+) pada basal
paru dan heezing (+/+)
Dari pemeriksaan penunjang didapatkan leukositosis, rongent PPOK,
karsinoma pulmonal, pelebaran dan dilatasi ventrikel kiri. Ejection Fraktion 55 %.
DAFTAR MASALAH
1. PPOK EKSASERBASI AKUT
2. KARSINOMA PULMONAL
3. CHF
DIAGNOSIS
PPOK Eksaserbasi Akut Sedang + Karsinoma Pulmonal Dekstra + CHF.
RENCANA PEMERIKSAAN
1. Spirometri
2. AGD
3. Bronkoskopi + Patologi anatomi
RENCANA PENATALAKSANAAN

Non Farmakologi
-

Istirahat (bed rest)

Hindari aktivitas yang berlebihan

Tidak merokok

O2 3L/menit

Farmakologi
-

IVFD NaCl 0,9% + bolus aminofilin 350 mg. Kemudian drip aminofilin 35
mg/jam.

Inhalasi combivent + ventolin

Inj. Ceftriakson 1 x 2 gram

Inj Metilprednisolon 2x125 mg

Salbutamol 2 x 2 mg

Ambroxol 3 x 30 mg

GG 3 x 100 mg

Inj. Ranitidin 2 x 1 ampul

FOLLOW UP
07 Juli 2014
S

: sesak napas (+), batuk dan dahak sulit dikeluarkan.

: TD 120/80 mmhg, Nadi 96x/menit, RR 26/menit, T 36,5 C, wheezing


(+/+) dan ronki dibasal paru

: PPOK EA + Ca pulmonal dekstra + CHF

: O2 nasal kanul 4 L/menit


IVFD RL 20 tpm
Inj Ceftriaxone 2x1
Inhalasi combivent + fulmicort 3x1 (bila sesak)
Salbutamol 2 x 2 mg
Ambroxol 3 x 30 mg

08 Juli 2014
S

: sesak napas (+) mulai berkurang, batuk dan dahak sulit dikeluarkan.

: TD 120/80 mmhg, Nadi 96x/menit, RR 24/menit, T 36,5 C, wheezing


(+/+) dan ronki dibasal paru

: PPOK EA + Ca pulmonal dekstra + CHF

: O2 nasal kanul 4 L/menit


IVFD RL 20 tpm
Inj Ceftriaxone 2x1
Ambroxol 3 x 30 mg
Salbutamol 2 x 2 mg

PEMBAHASAN
Keluhan sesak nafas pada pasien dapat disebabkan kelainan pada paru dan
jantung. Pada pasien ini ditegakkan diagnosis PPOK karena adanya keluhan sesak
nafas yang bertambah berat seiring berjalannya waktu (progresif dan kronik).
Sesak napas dirasakan terutama saat beraktivitas. Gejala sesak nafas sudah sering
dirasakan pasien berulang-ulang dalam 1 tahun terakhir dan sering batuk yang
hilang timbul yang disertai atau tanpa dahak. Setiap batuk kronik berdahak dapat
mengidentifikasikan PPOK. Pasien ini mengalami PPOK dengan eksaserbasi akut
karena adanya keluhan sesak nafas yang bertambah dan batuk dengan produksi
sputum namun sulit untuk dikeluarkan. Dimana berdasarkan tipe dari gejala
eksaserbasi akut pasien ini diklasifikasikan tipe sedang karena memenuhi 2 gejala
tersebut. Pasien memiliki riwayat merokok 1-2 bungkus/hari sejak usia 13 tahun
dan berhenti sejak 1 tahun yang lalu. Didapatkan indeks Brinkman (IB) = 736
yang termasuk dalam kategori berat (berat 600) dimana merokok pada dasarnya
merupakan faktor pemicu PPOK terbanyak (95% kasus) dinegara berkembang.
Batuk yang disertai dengan peningkatan jumlah sputum merupakan salah satu
proses dari adanya bronkitis kronis pada pasien. Fakor etiologi peradangan
bronkus ini bisa diakibatkan oleh terpajannya paru dengan asap rokok yang lama
dan juga paparan dari polusi udara.
Merokok faktor risiko yang dapat menyebabkan suatu proses hipertrofi
kelenjar mukus

bronkial

dan meningkatkan produksi mukus

sehingga

menyebabkan batuk produktif. Pada bronkitis kronis (batuk produktif > 3 bulan
atau selama lebih dari 2 tahun) perubahan awal terjadi pada saluran udara yang
kecil, selain itu terjadi destruksi jaringan paru disertai dilatasi rongga udara
(emfisema),

yang

menyebakan

hilangnya

elastic

recoil,

hiperinflasi,

terperangkapnya udara dan peningkatan usaha untuk bernafas sehingga terjadi


sesak nafas.
Dari pemeriksaan didapatkan mulut pursed lips, penggunaan otot bantu
pernafasan, wheezing (+/+) dan ronki di basal paru (+/+), serta rontgen thoraks
didapatkan hiperlusen dan sela iga melebar.
Pasien juga didiagnosis karsinoma pulmonal dimana pasien ini merupakan
golongan risiko tinggi yaitu laki-laki, usia > 40 tahun, merokok dan pasien
memiliki keluhan respirasi (sesak nafas dan batuk kronis). Dari pemeriksaan fisik
didapatkan pekak pada basal paru dekstra dan vesikuler melemah. Diagnosis pasti
berdasarkan CT Scan yaitu ditemukan massa pada paru kanan tengah posterior.
Gagal

jantung

ditegakkan

berdasarkan

kriteria

framigham

dan

pemeriksaan ekokariografi. Didapatkan 2 kriteria mayor yaitu kardiomegali dan


ronki basah basal paru serta ejeksi fraksi yang menurun yaitu 55%.
Penyakit komorbid pada pasien ini akan menyababkan keluhan sesak
bertambah berat dan mempengaruhi keadaan juga prognosis pasien.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Agustin H, Yunus F. Proses metabolisme pada penyakit paru obstruksi


kronik (PPOK). J Respir Indo. Jakarta: Departemen Pulmonologi dan Ilmu
Kedokteran Respirasi Universitas Indonesia. 2008; 28(3): 155-60.

2.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Penyakit paru obstruksi kronik


(PPOK) pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. 2003. [13 Juli
2011]. Diunduh dari: http://www.klikpdpi.com.

3.

Riyanto BS, Hisyam B. Obstruksi saluran pernapasan akut. Dalam:


Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Setiadi S, editor. Buku ajar ilmu penyakit
dalam jilid II. Edisi 4. Jakarta: Pusat penerbitan departemen ilmu penyakit
dalam FKUI; 2006. 984-5.

4.

Antariksa B. Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK). Jakarta: Bagian


pulmonologi dan ilmu kedokteran respirasi FK UI-RS Persahabatan; 2009. [13
Juli 2011]. Diunduh dari: http://repository.ui.ac.id.

5.

Rani AZ, Soegondo S, Nasir AUZ. Panduan pelayanan medik. Jakarta:


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000; 105-7.

6.

Price AS, Wilson CML. Patofisiologi konsep klinis proses-proses


penyakit volume 2. Edisi 6. Jakarta: EGC. 2006; 785-8.

7.

Salim EM, Hermansyah, Suyata. Standar profesi ilmu penyakit dalam.


Palembang: Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. 2000; 117-9.

8.

Mansjoer A, Triyanti K,

Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W.

Kapita selekta kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius. 2001; 480-2.


9.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Penyakit paru obstruksi kronik


pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. 2003.

10.

Soemantri ES, Unaiyah A. Bronkitis kronik dan emfisema paru. Buku


ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 1996.
872-889.

Anda mungkin juga menyukai