Anda di halaman 1dari 14

1.

PENDAHULUAN
a. Pengertian
Air merupakan bagian terbesar pada tubuh manusia, persentasenya dapat berubah
dehidrasi
Ringan
Sedang
Berat
Shock

dewasa
4%
6%
8%
15-20%

anak
4-5%
5-10%
10-15%
15-20%

tergantung pada umur, jenis kelamin dan derajat obesitas seseorang. Pada bayi usia < 1
tahun cairan tubuh adalah sekitar 80-85% berat badan dan pada bayi usia > 1 tahun
mengandung air sebanyak 70-75 %. Seiring dengan pertumbuhan seseorang persentase
jumlah cairan terhadap berat badan berangsur-angsur turun yaitu pada laki-laki dewasa 5060% berat badan, sedangkan pada wanita dewasa 50 % berat badan. Hal ini terlihat pada
tabel berikut :
Umur
Kompartemen
cairan tubuh
Total cairan
tubuh
Cairan intra
seluler
Cairan
ekstraseluler

Lahir

Bulan

Tahun

0
78%

3
75%

6
70%

6
65%

16
60%

33%

37,5%

40%

42,5%

40%

45%

37,5%

30%

22,5%

20%

Perubahan jumlah dan komposisi cairan tubuh, yang dapat terjadi pada perdarahan,
luka bakar, dehidrasi, muntah, diare, dan puasa preoperatif maupun perioperatif, dapat
menyebabkan gangguan fisiologis yang berat. Jika gangguan tersebut tidak dikoreksi
secara adekuat sebelum tindakan anestesi dan bedah, maka resiko penderita menjadi lebih
besar. Seluruh cairan tubuh didistribusikan ke dalam kompartemen intraselular dan
kompartemen ekstraselular. Lebih jauh kompartemen ekstraselular dibagi menjadi cairan
intravaskular dan intersisial.
a. Cairan intraselular
Cairan yang terkandung di antara sel disebut cairan intraselular. Pada orang dewasa,
sekitar duapertiga dari cairan dalam tubuhnya terdapat di intraselular (sekitar 27 liter
rata-rata untuk dewasa laki-laki dengan berat badan sekitar 70 kilogram), sebaliknya
pada bayi hanya setengah dari berat badannya merupakan cairan intraselular.
b. Cairan ekstraselular
Cairan yang berada di luar sel disebut cairan ekstraselular. Jumlah relatif cairan
ekstraselular berkurang seiring dengan usia. Pada bayi baru lahir, sekitar setengah dari
cairan tubuh terdapat di cairan ekstraselular. Setelah usia 1 tahun, jumlah cairan

ekstraselular menurun sampai sekitar sepertiga dari volume total. Ini sebanding
dengan sekitar 15 liter pada dewasa muda dengan berat rata-rata 70 kg.
Cairan ekstraselular dibagi menjadi5 :
1. Cairan Interstitial
Cairan yang mengelilingi sel termasuk dalam cairan interstitial, sekitar 11-12 liter
pada orang dewasa. Cairan limfe termasuk dalam volume interstitial. Relatif terhadap
ukuran tubuh, volume ISF adalah sekitar 2 kali lipat pada bayi baru lahir
dibandingkan orang dewasa.
2. Cairan Intravaskular
Merupakan cairan yang terkandung dalam pembuluh darah (contohnya volume
plasma). Rata-rata volume darah orang dewasa sekitar 5-6L dimana 3 liternya
merupakan plasma, sisanya terdiri dari sel darah merah, sel darah putih dan platelet.
3. Cairan transeluler
Merupakan cairan yang terkandung diantara rongga tubuh tertentu seperti
serebrospinal, perikardial, pleura, sendi sinovial, intraokular dan sekresi saluran
pencernaan. Pada keadaan sewaktu, volume cairan transeluler adalah sekitar 1 liter,
tetapi cairan dalam jumlah banyak dapat masuk dan keluar dari ruang transeluler.

Body 100%

Water 60% (100)

Tissue 40%

Extracellular space 20%


(40)

Intracellular space
40% (60)
Interstitial space 15
% (30)

Intravascular space
5% (10)

Selain air, cairan tubuh mengandung dua jenis zat yaitu elektrolit dan non elektrolit.
1. Elektrolit
Merupakan zat yang terdisosiasi dalam cairan dan menghantarkan arus listrik.
Elektrolit dibedakan menjadi ion positif (kation) dan ion negatif (anion). Jumlah
kation dan anion dalam larutan adalah selalu sama (diukur dalam miliekuivalen).
2. Kation

3.

Kation utama dalam cairan ekstraselular adalah sodium (Na+), sedangkan kation
utama dalam cairan intraselular adalah potassium (K+). Suatu sistem pompa terdapat
di dinding sel tubuh yang memompa keluar sodium dan potassium ini.
Anion
Anion utama dalam cairan ekstraselular adalah klorida (Cl-) dan bikarbonat (HCO3-),
sedangkan anion utama dalam cairan intraselular adalah ion fosfat (PO43-).

Karena kandungan elektrolit dalam plasma dan cairan interstitial pada intinya sama
maka nilai elektrolit plasma mencerminkan komposisi dari cairan ekstraseluler tetapi tidak
mencerminkan komposisi cairan intraseluler.
a. Natrium
Natrium sebagai kation utama didalam cairan ekstraseluler dan paling berperan di
dalam mengatur keseimbangan cairan. Kadar natrium plasma: 135-145mEq/liter.12
Kadar natrium dalam plasma diatur lewat beberapa mekanisme:
- Left atrial stretch reseptor
- Central baroreseptor
- Renal afferent baroreseptor
- Aldosterone (reabsorpsi di ginjal)
- Atrial natriuretic factor
- Sistem renin angiotensin
- Sekresi ADH
- Perubahan yang terjadi pada air tubuh total (TBW=Total Body Water)

b.

c.

Kadar natrium dalam tubuh 58,5mEq/kgBB dimana + 70% atau 40,5mEq/kgBB dapat
berubah-ubah. Ekresi natrium dalam urine 100-180mEq/liter, faeces 35mEq/liter dan
keringat 58mEq/liter. Kebutuhan setiap hari = 100mEq (6-15 gram NaCl). Natrium
dapat bergerak cepat antara ruang intravaskuler dan interstitial maupun ke dalam dan
keluar sel. Apabila tubuh banyak mengeluarkan natrium (muntah,diare) sedangkan
pemasukkan terbatas maka akan terjadi keadaan dehidrasi disertai kekurangan
natrium. Kekurangan air dan natrium dalam plasma akan diganti dengan air dan
natrium dari cairan interstitial. Apabila kehilangan cairan terus berlangsung, air akan
ditarik dari dalam sel dan apabila volume plasma tetap tidak dapat dipertahankan
terjadilah kegagalan sirkulasi.
Kalium
Kalium merupakan kation utama (99%) di dalam cairan ekstraseluler berperan penting
di dalam terapi gangguan keseimbangan air dan elektrolit. Jumlah kalium dalam tubuh
sekitar 53 mEq/kgBB dimana 99% dapat berubah-ubah sedangkan yang tidak dapat
berpindah adalah kalium yang terikat dengan protein didalam sel. Kadar kalium
plasma 3,5-5,0 mEq/liter, kebutuhan setiap hari 1-3 mEq/kgBB. Keseimbangan
kalium sangat berhubungan dengan konsentrasi H+ ekstraseluler. Ekskresi kalium
lewat urine 60-90 mEq/liter, faeces 72 mEq/liter dan keringat 10 mEq/liter.
Kalsium
Kalsium dapat dalam makanan dan minuman, terutama susu, 80-90% dikeluarkan
lewat fases dan sekitar 20% lewat urine. Jumlah pengeluaran ini tergantung pada

intake, besarnya tulang, keadaan endokrin. Metabolisme kalsium sangat dipengaruhi


oleh kelenjar-kelenjar paratiroid, tiroid, testis, ovarium, da hipofisis. Sebagian besar
(99%) ditemukan didalam gigi dan + 1% dalam cairan ekstraseluler dan tidak terdapat
dalam sel.
d. Magnesium
Magnesium ditemukan di semua jenis makanan. Kebutuhan unruk pertumbuhan + 10
mg/hari. Dikeluarkan lewat urine dan feses.
e. Karbonat
Asam karbonat dan karbohidrat terdapat dalam tubuh sebagai salah satu hasil akhir
daripada metabolisme. Kadar bikarbonat dikontrol oleh ginjal. Sedikit sekali
bikarbonat yang akan dikeluarkan urine. Asam bikarbonat dikontrol oleh paru-paru
dan sangat penting peranannya dalam keseimbangan asam basa.
4. Non elektrolit
Merupakan zat seperti glukosa dan urea yang tidak terdisosiasi dalam cairan. Zat
lainya termasuk penting adalah kreatinin dan bilirubin.
B. Proses Pergerakan Cairan Tubuh
Perpindahan air dan zat terlarut di antara bagian-bagian tubuh melibatkan
mekanisme transpor pasif dan aktif. Mekanisme transpor pasif tidak membutuhkan
energi sedangkan mekanisme transpor aktif membutuhkan energi. Difusi dan osmosis
adalah mekanisme transpor pasif. Sedangkan mekanisme transpor aktif berhubungan
dengan pompa Na-K yang memerlukan ATP.
Proses pergerakan cairan tubuh antar kompertemen dapat berlangsung secara:
1. Osmosis
Osmosis adalah bergeraknya molekul (zat terlarut) melalui membran semipermeabel
(permeabel selektif) dari larutan berkadar lebih rendah menuju larutan berkadar lebih
tinggi hingga kadarnya sama. Seluruh membran sel dan kapiler permeabel terhadap
air, sehingga tekanan osmotik cairan tubuh seluruh kompartemen sama. Membran
semipermeabel ialah membran yang dapat dilalui air (pelarut), namun tidak dapat
dilalui zat terlarut misalnya protein. Tekanan osmotik plasma darah ialah 285+ 5
mOsm/L. Larutan dengan tekanan osmotik kira-kira sama disebut isotonik (NaCl
0,9%, Dekstrosa 5%, Ringer laktat). Larutan dengan tekanan osmotik lebih rendah
disebut hipotonik (akuades), sedangkan lebih tinggi disebut hipertonik.
2. Difusi
Difusi ialah proses bergeraknya molekul lewat pori-pori. Larutan akan bergerak dari
konsentrasi tinggi ke arah larutan berkonsentrasi rendah. Tekanan hidrostatik
pembuluh darah juga mendorong air masuk berdifusi melewati pori-pori tersebut. Jadi
difusi tergantung kepada perbedaan konsentrasi dan tekanan hidrostatik.
3. Pompa Natrium Kalium
Pompa natrium kalium merupakan suatu proses transpor yang memompa ion natrium
keluar melalui membran sel dan pada saat bersamaan memompa ion kalium dari luar
ke dalam. Tujuan dari pompa natrium kalium adalah untuk mencegah keadaan
hiperosmolar di dalam sel.
c. Asupan dan kehilangan cairan dan elektrolit pada keadaan normal

Homeostasis cairan tubuh yang normalnya diatur oleh ginjal dapat berubah oleh stres
akibat operasi, kontrol hormon yang abnormal, atau pun oleh adanya cedera pada paruparu, kulit atau traktus gastrointestinal. Pada keadaan normal, seseorang mengkonsumsi
air rata-rata sebanyak 2000-2500 ml per hari, dalam bentuk cairan maupun makanan padat
dengan kehilangan cairan rata-rata 250 ml dari feses, 800-1500 ml dari urin, dan hampir
600 ml kehilangan cairan yang tidak disadari (insensible water loss) dari kulit dan paruparu.
Kepustakaan lain menyebutkan asupan cairan didapat dari metabolisme oksidatif dari
karbohidrat, protein dan lemak yaitu sekitar 250-300 ml per hari, cairan yang diminum
setiap hari sekitar 1100-1400 ml tiap hari, cairan dari makanan padat sekitar 800-100 ml
tiap hari, sedangkan kehilangan cairan terjadi dari ekskresi urin (rata-rata 1500 ml tiap
hari, 40-80 ml per jam untuk orang dewasa dan 0,5 ml/kg untuk pediatrik), kulit
(insensible loss sebanyak rata-rata 6 ml/kg/24 jam pada rata-rata orang dewasa yang mana
volume kehilangan bertambah pada keadaan demam yaitu 100-150 ml tiap kenaikan suhu
tubuh 1 derajat celcius pada suhu tubuh di atas 37 derajat celcius dan sensible loss yang
banyaknya tergantung dari tingkatan dan jenis aktivitas yang dilakukan), paru-paru
(sekitar 400 ml tiap hari dari insensible loss), traktus gastointestinal (100-200 ml tiap hari
yang dapat meningkat sampai 3-6 L tiap hari jika terdapat penyakit di traktus
gastrointestinal), third-space loses.
d. Perubahan cairan tubuh
Perubahan cairan tubuh dapat dikategorikan menjadi 3, yaitu :
1. Perubahan volume
a. Defisit volume
Defisit volume cairan ekstraselular merupakan perubahan cairan tubuh yang paling
umum terjadi pada pasien bedah. Penyebab paling umum adalah kehilangan cairan
di gastrointestinal akibat muntah, penyedot nasogastrik, diare dan drainase fistula.
Penyebab lainnya dapat berupa kehilangan cairan pada cedera jaringan lunak,
infeksi, inflamasi jaringan, peritonitis, obstruksi usus, dan luka bakar. Keadaan
akut, kehilangan cairan yang cepat akan menimbulkan tanda gangguan pada
susunan saraf pusat dan jantung. Pada kehilangan cairan yang lambat lebih dapat
ditoleransi sampai defisi volume cairan ekstraselular yang berat terjadi.
- Dehidrasi
Dehidrasi sering dikategorikan sesuai dengan kadar konsentrasi serum dari
natrium menjadi isonatremik (130-150 mEq/L), hiponatremik (<139 mEq/L)
atau hipernatremik (>150 mEq/L). Dehidrasi isonatremik merupakan yang
paling sering terjadi (80%), sedangkan dehidrasi hipernatremik atau
hiponatremik sekitar 5-10% dari kasus. Dehidrasi Isotonis (isonatremik) terjadi
ketika kehilangan cairan hampir sama dengan konsentrasi natrium terhadap
darah. Kehilangan cairan dan natrium besarnya relatif sama dalam kompartemen
intravaskular maupun kompartemen ekstravaskular. Dehidrasi hipotonis
(hiponatremik) terjadi ketika kehilangan cairan dengan kandungan natrium lebih
banyak dari darah (kehilangan cairan hipertonis). Secara garis besar terjadi
kehilangan natrium yang lebih banyak dibandingkan air yang hilang. Karena
kadar natrium serum rendah, air di kompartemen intravaskular berpindah ke

kompartemen ekstravaskular, sehingga menyebabkan penurunan volume


intravaskular. Dehidrasi hipertonis (hipernatremik) terjadi ketika kehilangan
cairan dengan kandungan natrium lebih sedikit dari darah (kehilangan cairan
hipotonis). Secara garis besar terjadi kehilangan air yang lebih banyak
dibandingkan natrium yang hilang. Karena kadar natrium tinggi, air di
kompartemen ekstraskular berpindah ke kompartemen intravaskular, sehingga
meminimalkan penurunan volume intravaskular.
Strategi untuk rehidrasi adalah dengan memperhitungkan defisit cairan, cairan
rumatan yang diperlukan dan kehilangan cairan yang sedang berlangsung
disesuaikan . Cara rehidrasi :
1. Nilai status rehidrasi (sesuai tabel 4 di atas), banyak cairan yang diberikan
(D) = derajat dehidrasi (%) x BB x 1000 cc
2. Hitung cairan rumatan (M) yang diperlukan (untuk dewasa 40 cc/kgBB/24
jam atau rumus holliday-segar seperti untuk anak-anak)
3. Pemberian cairan :
- 6 jam I = D + M atau 8 jam I = D + M (menurut Guillot 17)
- 18 jam II = D + M atau 16 jam II = D + M (menurut Guillot 17)
b. Kelebihan volume
Kelebihan volume cairan ekstraselular merupakan suatu kondisi akibat
iatrogenik (pemberian cairan intravena seperti NaCl yang menyebabkan kelebihan
air dan NaCl ataupun pemberian cairan intravena glukosayang menyebabkan
kelebihan air) ataupun dapat sekunder akibat insufisiensi renal (gangguan pada
GFR), sirosis, ataupun gagal jantung kongestif.9,10 Kelebihan cairan intaseluler
dapat terjadi jika terjadi kelebihan cairan tetapi jumlah NaCl tetap atau berkurang.
2. Perubahan konsentrasi
a. Hiponatremia
Jika < 120 mg/L maka akan timbul gejala disorientasi, gangguan mental,
letargi, iritabilitas, lemah dan henti pernafasan, sedangkan jika kadar < 110 mg/L
maka akan timbul gejala kejang, koma. Hiponatremia ini dapat disebabkan oleh
euvolemia (SIADH, polidipsi psikogenik), hipovolemia (disfungsi tubuli ginjal,
diare, muntah, third space losses, diuretika), hipervolemia (sirosis, nefrosis).
Keadaan ini dapat diterapi dengan restriksi cairan (Na+ 125 mg/L) atau
NaCl 3% ssebanyak (140-X)xBBx0,6 mg dan untuk pediatrik 1,5-2,5 mg/kg.
Koreksi hiponatremia yang sudah berlangsung lama dilakukan scara perlahanlahan, sedangkan untuk hiponatremia akut lebih agresif. Untuk menghitung Na
serum yang dibutuhkan dapat menggunakan rumus:
Na= Na1 Na0 x TBW
Na = Jumlah Na yang diperlukan untuk koreksi (mEq)
Na1 = 125 mEq/L atau Na serum yang diinginkan
Na0 = Na serum yang aktual
TBW = total body water = 0,6 x BB (kg)
b. Hipernatremia

Jika kadar natrium > 160 mg/L maka akan timbul gejala berupa perubahan mental,
letargi, kejang, koma, lemah. Hipernatremi dapat disebabkan oleh kehilangan
cairan (diare, muntah, diuresis, diabetes insipidus, keringat berlebihan), asupan air
kurang, asupan natrium berlebihan. Terapi keadaan ini adalah penggantian cairan
dengan 5% dekstrose dalam air sebanyak {(X-140) x BB x 0,6}: 140.
c. Hipokalemia
Jika kadar kalium < 3 mEq/L. Dapat terjadi akibat dari redistribusi akut kalium dari
cairan ekstraselular ke intraselular atau dari pengurangan kronis kadar total kalium
tubuh. Tanda dan gejala hipokalemia dapat berupa disritmik jantung, perubahan
EKG (QRS segmen melebar, ST segmen depresi, hipotensi postural, kelemahan
otot skeletal, poliuria, intoleransi glukosa. Terapi hipokalemia dapat berupa koreksi
faktor presipitasi (alkalosis, hipomagnesemia, obat-obatan), infus potasium klorida
sampai 10 mEq/jam (untuk mild hipokalemia ;>2 mEq/L) atau infus potasium
klorida sampai 40 mEq/jam dengan monitoring oleh EKG (untuk hipokalemia
berat;<2mEq/L disertai perubahan EKG, kelemahan otot yang hebat). Rumus
untuk menghitung defisit kalium :
K = K1 K0 x 0,25 x BB
K = kalium yang dibutuhkan
K1 = serum kalium yang diinginkan
K0 = serum kalium yang terukur
BB = berat badan (kg)
d. Hiperkalemia
Terjadi jika kadar kalium > 5 mEq/L, sering terjadi karena insufisiensi renal atau
obat yang membatasi ekskresi kalium (NSAIDs, ACE-inhibitor, siklosporin,
diuretik). Tanda dan gejalanya terutama melibatkan susunan saraf pusat (parestesia,
kelemahan otot) dan sistem kardiovaskular (disritmik, perubahan EKG). Terapi
untuk hiperkalemia dapat berupa intravena kalsium klorida 10% dalam 10 menit,
sodium bikarbonat 50-100 mEq dalam 5-10 menit, atau diuretik, hemodialisis.
3. Perubahan komposisi
a. Asidosis respiratorik (pH< 3,75 dan PaCO2> 45 mmHg)
Kondisi ini berhubungan dengan retensi CO2 secara sekunder untuk menurunkan
ventilasi alveolar pada pasien bedah. Kejadian akut merupakan akibat dari ventilasi
yang tidak adekuat termasuk obstruksi jalan nafas, atelektasis, pneumonia, efusi
pleura, nyeri dari insisi abdomen atas, distensi abdomen dan penggunaan narkose
yang berlebihan. Manajemennya melibatkan koreksi yang adekuat dari defek
pulmonal, intubasi endotrakeal, dan ventilasi mekanis bila perlu. Perhatian yang ketat
terhadap higiene trakeobronkial saat post operatif adalah sangat penting.
b. Alkalosis respiratorik (pH> 7,45 dan PaCO2 < 35 mmHg).
Kondisi ini disebabkan ketakutan, nyeri, hipoksia, cedera SSP, dan ventilasi yang
dibantu. Pada fase akut, konsentrasi bikarbonat serum normal, dan alkalosis terjadi
sebagai hasil dari penurunan PaCO2 yang cepat. Terapi ditujukan untuk mengkoreksi
masalah yang mendasari termasuk sedasi yang sesuai, analgesia, penggunaan yang
tepat dari ventilator mekanik, dan koreksi defisit potasium yang terjadi.

c.

d.

e.

Asidosis metabolik (pH<7,35 dan bikarbonat <21 mEq/L)


Kondisi ini disebabkan oleh retensi atau penambahan asam atau kehilangan
bikarbonat. Penyebab yang paling umum termasuk gagal ginjal, diare, fistula usus
kecil, diabetik ketoasidosis, dan asidosis laktat. Kompensasi awal yang terjadi adalah
peningkatan ventilasi dan depresi PaCO2. Penyebab paling umum adalah syok,
diabetik ketoasidosis, kelaparan, aspirin yang berlebihan dan keracunan metanol.
Terapi sebaiknya ditujukan terhadap koreksi kelainan yang mendasari. Terapi
bikarbonat hanya diperuntukkan bagi penanganan asidosis berat dan hanya setelah
kompensasi alkalosis respirasi digunakan.
Alkalosis metabolik (pH>7,45 dan bikarbonat >27 mEq/L)
Kelainan ini merupakan akibat dari kehilangan asam atau penambahan bikarbonat dan
diperburuk oleh hipokalemia. Masalah yang umum terjadi pada pasien bedah adalah
hipokloremik, hipokalemik akibat defisit volume ekstraselular. Terapi yang digunakan
adalah sodium klorida isotonik dan penggantian kekurangan potasium. Koreksi
alkalosis harus gradual selama perode 24 jam dengan pengukuran pH, PaCO2 dan
serum elektrolit yang sering.

Cairan Perioperatif
Gangguan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan hal yang umum terjadi
pada pasien bedah karena kombinasi dari faktor-faktor preoperatif, perioperatif dan
postoperatif.
Faktor-faktor preoperatif :
1. Kondisi yang telah ada
Diabetes mellitus, penyakit hepar, atau insufisiensi renal dapat diperburuk oleh stres
akibat operasi.
2. Prosedur diagnostik
Arteriogram atau pyelogram intravena yang memerlukan marker intravena dapat
menyebabkan ekskresi cairan dan elektrolit urin yang tidak normal karena efek
diuresis osmotik.
3. Pemberian obat
Pemberian obat seperti steroid dan diuretik dapat mempengaruhi eksresi air dan
elektrolit
4. Preparasi bedah
Enema atau laksatif dapat menyebabkan peningkatan kehilangan air dan elekrolit dari
traktus gastrointestinal.
5. Penanganan medis terhadap kondisi yang telah ada
6. Restriksi cairan preoperatif
Selama periode 6 jam restriksi cairan, pasien dewasa yang sehat kehilangan cairan
sekitar 300-500 mL. Kehilangan cairan dapat meningkat jika pasien menderita demam
atau adanya kehilangan abnormal cairan.
7. Defisit cairan yang telah ada sebelumnya
Harus dikoreksi sebelum operasi untuk meminimalkan efek dari anestesi.
Faktor Perioperatif:

1. Induksi anestesi
Dapat menyebabkan terjadinya hipotensi pada pasien dengan hipovolemia preoperatif
karena hilangnya mekanisme kompensasi seperti takikardia dan vasokonstriksi.
2. Kehilangan darah yang abnormal
3. Kehilangan abnormal cairan ekstraselular ke third space (contohnya kehilangan cairan
ekstraselular ke dinding dan lumen usus saat operasi)
4. Kehilangan cairan akibat evaporasi dari luka operasi (biasanya pada luka operasi yang
besar dan prosedur operasi yang berkepanjangan.
Faktor postoperatif:
1. Stres akibat operasi dan nyeri pasca operasi
2. Peningkatan katabolisme jaringan
3. Penurunan volume sirkulasi yang efektif
4. Risiko atau adanya ileus postoperatif
Gangguan cairan, elektrolit dan asam basa yang potensial terjadi perioperatif adalah :
1. Hiperkalemia
2. Asidosis metabolik
3. Alkalosis metabolik
4. Asidosis respiratorik
5. Alkalosis repiratorik
f.

Patofisiologi
Trauma, pembedahan dan anestesi akan menimbulkan perubahan-perubahan pada
keseimbangan air dan metabolisme yang dapat berlangsung sampai beberapa hari pasca
trauma atau bedah. Perubahan-perubahan tersebut terutama sebagai akibat dari :
- kerusakan sel di lokasi pembedahan
- Kehilangan dan perpindahan cairan baik lokal maupun umum
- Pengaruh puasa pra bedah, selama pembedahan dan pasca bedah
- Terjadi peningkatan metabolisme, kerusakan jaringan dan fase penyembuhan
Perubahan yang terjadi meliputi perubahan-perubahan hormonal seperti:
1. Kadar adrenalin dan non adrenalin meningkat sampai hari ketiga pasca bedah atau
trauma. Sekresi hormon monoamin ini kebih meningkat lagi bila pada penderita
tampak tanda-tanda sepsi, syok, hipoksia dan ketakutan.
2. Kadar glukagon dalam plasma juga meningkat
3. Sekresi hormon dari kelenjar pituitaria anterior juga mengalami peningkatan yaitu
growth hormone dan adrenocorticotropic hormone (ACTH). Trauma atau stres akan
merangsang hipotalamus sehingga dikeluarkan corticotropin releasing factor yang
merangsang kelenjar pituitaria anterior untuk mensekresi ACTH. Peningkatan kadar
ACTH dalam sirkulasi menyebabkan glukokortikoid plasma meningkat sehingga
timbul hiperglikemia, glikolisis dan peninggian kadar asma lemak.
4. Kadar hormon antidiuretik (ADH) mengalami peningkatan yang berlangsung sampai
hari ke 2-4 pasca bedah/trauma. Respon dari trauma ini akan mengganggu pengaturan
ADH yang dalam keadaan normal banyak dipengaruhi oleh

osmolalitas cairan ekstraseluler.


5. Akibat peningkatan ACTH, sekresi aldosteron juga meningkat. Setiap penurunan
volume darah atau cairan ektraseluler selalu menimbulkan rangsangan untuk
pelepasan aldosteron.
6. Kadar prolaktin juga meninggi terutama pada wanita dibandingkan dengan lakilaki.
Derajat perubahan-perubahan tersebut di atas sangat bervariasi bagi setiap individu
tergantung dari beberapa faktor :
- rasa sakit dan kualitas analgesi
- rasa takut dan sedasi yang diberikan
- komplikasi penyulit pada pasca bedah/trauma (syok, perdarahan, hipoksia atau
sepsis)
- keadaan umum penderita
- berat dan luasnya trauma
g.

Dasar-Dasar Terapi Cairan Elektrolit Perioperatif2,13,14


Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dan menjadi pegangan dalam
pemberian cairan perioperatif, yaitu :
1. Kebutuhan normal cairan dan elektrolit harian
Orang dewasa rata-rata membutuhkan cairan 30-35 ml/kgBB/hari dan elektrolit
utama Na+=1-2 mmol/kgBB/haridan K+= 1mmol/kgBB/hari. Secara umum
kebutuhan cairan rumatan dapat dilihat pada tabel 6. Kebutuhan tersebut merupakan
pengganti cairan yang hilang akibat pembentukan urine, sekresi gastrointestinal,
keringat (lewat kulit) dan pengeluaran lewat paru atau dikenal dengan insensible
water losses. Cairan yang hilang ini pada umumnya bersifat hipotonus
(air lebih banyak dibandingkan elektrolit).
2. Defisit cairan dan elektrolit pra bedah
Hal ini dapat timbul akibat dipuasakannya penderita terutama pada penderita bedah
elektif (sektar 6-12 jam), kehilangan cairan abnormal yang seringkali menyertai
penyakit bedahnya (perdarahan, muntah, diare, diuresis berlebihan, translokasi cairan
pada penderita dengan trauma), kemungkinan meningkatnya insensible water loss
akibat hiperventilasi, demam dan berkeringat banyak. Sebaiknya kehilangan cairan
pra bedah ini harus segera diganti sebelum dilakukanpembedahan.
3. Kehilangan cairan saat pembedahan
a. Perdarahan
Secara teoritis perdarahan dapat diukur dari :
- botol penampung darah yang disambung dengan pipa penghisap darah (suction
pump)
- dengan cara menimbang kasa yang digunakan sebelum dan setelah pembedahan.
Kasa yang penuh darah (ukuran 4x4 cm) mengandung 10 ml darah, sedangkan
tampon besar (laparatomy pads) dapat menyerap darah 100-10 ml.
Dalam prakteknya jumlah perdarahan selama pembedahan hanya bisa ditentukan
berdasarkan kepada taksiran (perlu pengalaman banyak) dan keadaan klinis
penderita yang kadang-kadang dibantu dengan pemeriksaan kadar hemoglobin dan

hematokrit berulang-ulang (serial). Pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit


lebih menunjukkan rasio plasma terhadap eritrosit daripada jumlah perdarahan.
Kesulitan penaksiran akan bertambah bila pada luka operasi digunakan cairan
pembilas (irigasi) dan banyaknya darah yang mengenai kain penutup, meja operasi
dan lantai kamar bedah.
b. Kehilangan cairan lainnya
Pada setiap pembedahan selalu terjadi kehilangan cairan yang lebih menonjol
dibandingkan perdarahan sebagai akibat adanya evaporasi dan translokasi cairan
internal. Kehilangan cairan akibat penguapan (evaporasi) akan lebih banyak pada
pembedahan dengan luka pembedahan yang luas dan lama. Sedangkan
perpindahan cairan atau lebih dikenal istilah perpindahan ke ruang ketiga atau
sequestrasi secara masif dapat berakibat terjadi defisit cairan intravaskuler.
Jaringan yang mengalami trauma, inflamasi atau infeksi dapat mengakibatkan
sequestrasi sejumlah cairan interstitial dan perpindahan cairan ke ruangan serosa
(ascites) atau ke lumen usus. Akibatnya jumlah cairan ion fungsional dalam ruang
ekstraseluler meningkat. Pergeseran cairan yang terjadi tidak dapat dicegah dengan
cara membatasi cairan dan dapat merugikan secara fungsional cairan dalam
kompartemen ekstraseluler dan juga dapat merugikan fungsional cairan dalam
ruang ekstraseluler.
4. Gangguan fungsi ginjal
Trauma, pembedahan dan anestesia dapat mengakibatkan:
- Laju Filtrasi Glomerular (GFR = Glomerular Filtration Rate) menurun.
- Reabsorbsi Na+ di tubulus meningkat yang sebagian disebabkan oleh meningkatnya
kadar aldosteron.
- Meningkatnya kadar hormon anti diuretik (ADH) menyebabkan terjadinya retensi
air dan reabsorpsi Na+ di duktus koligentes (collecting tubules) meningkat.
- Ginjal tidak mampu mengekskresikan free water atau untuk menghasilkan urin
hipotonis.
h.

Pilihan Jenis Cairan


1. Cairan Kristaloid
Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES = CEF).
Keuntungan dari cairan ini antara lain harga murah, tersedia dengan mudah di setiap
pusat kesehatan, tidak perlu dilakukan cross match, tidak menimbulkan alergi atau
syok anafilaktik, penyimpanan sederhana dan dapat disimpan lama. Cairan kristaloid
bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali cairan koloid) ternyata sama efektifnya
seperti pemberian cairan koloid untuk mengatasi defisit volume intravaskuler. Waktu
paruh cairan kristaloid di ruang intravaskuler sekitar 20-30 menit. Heugman et al
(1972) mengemukakan bahwa walaupun dalam jumlah sedikit larutan kristaloid akan
masuk ruang interstitiel sehingga timbul edema perifer dan paru serta berakibat
terganggunya oksigenasi jaringan dan edema jaringan luka, apabila seseorang
mendapat infus 1 liter NaCl 0,9%. Penelitian Mills dkk (1967) di medan perang
Vietnam turut memperkuat penelitan yang dilakukan oleh Heugman, yaitu pemberian
sejumlah cairan kristaloid dapat mengakibatkan timbulnya edema paru berat. Selain

itu, pemberian cairan kristaloid berlebihan juga dapat menyebabkan edema otak dan
meningkatnya tekanan intra kranial. Karena perbedaan sifat antara koloid dan
kristaloid dimana kristaloid akan lebih banyak menyebar ke ruang interstitiel
dibandingkan dengan koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit
cairan di ruang interstitiel.
Larutan Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid yang paling banyak digunakan
untuk resusitasi cairan walau agak hipotonis dengan susunan yang hampir menyerupai
cairan intravaskuler. Laktat yang terkandung dalam cairan tersebut akan mengalami
metabolisme di hati menjadi bikarbonat. Cairan kristaloid lainnya yang sering
digunakan adalah NaCl 0,9%, tetapi bila diberikan berlebih dapat mengakibatkan
asidosis hiperkloremik (delutional hyperchloremic acidosis) dan menurunnya kadar
bikarbonat plasma akibat peningkatan klorida.
2. Cairan Koloid
Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut plasma substitute
atau plasma expander. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang mempunyai
berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini
cenderung bertahan agak lama (waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler. Oleh
karena itu koloid sering digunakan untuk resusitasi cairan secara cepat terutama pada
syok hipovolemik/hermorhagik atau pada penderita dengan hipoalbuminemia berat
dan kehilangan protein yang banyak (misal luka bakar).
mengandung albumin (83%) juga mengandung alfa globulin dan beta globulin.
Prekallikrein activators (Hagemans factor fragments) seringkali terdapat dalam
fraksi protein plasma dibandingkan dalam albumin. Oleh sebab itu pemberian infus
dengan fraksi protein plasma seringkali menimbulkan hipotensi dan kolaps
kardiovaskuler.
3. Koloid sintesis yaitu:
a. Dextran:
Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan Dextran 70
(Macrodex) dengan berat molekul 60.000-70.000 diproduksi oleh bakteri
Leuconostoc mesenteroides B yang tumbuh dalam media sukrosa. Walaupun
Dextran 70 merupakan volume expander yang lebih baik dibandingkan dengan
Dextran 40, tetapi Dextran 40 mampu memperbaiki aliran darah lewat sirkulasi
mikro karena dapat menurunkan kekentalan (viskositas) darah. Selain itu Dextran
mempunyai efek anti trombotik yang dapat mengurangi platelet adhesiveness,
menekan aktivitas faktor VIII, meningkatkan fibrinolisis dan melancarkan aliran
darah. Pemberian Dextran melebihi 20 ml/kgBB/hari dapat mengganggu cross
match, waktu perdarahan memanjang (Dextran 40) dan gagal ginjal. Dextran dapat
menimbulkan reaksi anafilaktik yang dapat dicegah yaitu dengan memberikan
Dextran 1 (Promit) terlebih dahulu.
b. Hydroxylethyl Starch (Heta starch)
Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul 10.000 1.000.000, rata-rata
71.000, osmolaritas 310 mOsm/L dan tekanan onkotik 30 30 mmHg. Pemberian
500 ml larutan ini pada orang normal akan dikeluarkan 46% lewat urin dalam
waktu 2 hari dan sisanya 64% dalam waktu 8 hari. Larutan koloid ini juga dapat

menimbulkan reaksi anafilaktik dan dapat meningkatkan kadar serum amilase (


walau jarang). Low molecullar weight Hydroxylethyl starch (Penta-Starch) mirip
Heta starch, mampu mengembangkan volume plasma hingga 1,5 kali volume yang
diberikan dan berlangsung selama 12 jam. Karena potensinya sebagai plasma
volume expander yang besar dengan toksisitas yang rendah dan tidak mengganggu
koagulasi maka Penta starch dipilih sebagai koloid untuk resusitasi cairan pada
penderita gawat.
c. Gelatin
Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan berat molekul rata-rata
35.000 dibuat dari hidrolisa kolagen binatang. Ada 3 macam gelatin, yaitu:
- modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell)
- Urea linked gelatin
- Oxypoly gelatin
Merupakan plasma expanders dan banyak digunakan pada penderita gawat.
Walaupun dapat menimbulkan reaksi anafilaktik (jarang) terutama dari golongan
urea linked gelatin.

DAFTAR PUSTAKA
1. Pandey CK, Singh RB. Fluid and electrolyte disorders. Indian J.Anaesh.
2003;47(5):380-387.
2. Kaswiyan U. Terapi cairan perioperatif. Bagian Anestesiologi dan Reanimasi.
Fakultas KEdokteran Unpad/ RS. Hasan Sadikin. 2000.
3. Holte K, Kehlet H. Compensatory fluid administration for preoperative dehydrationdoes
it improve outcome? Acta Anaesthesiol Scand. 2002; 46: 1089-93
4. Keane PW, Murray PF. Intravenous fluids in minor surgery. Their effect on recovery
from anaesthesia. 1986; 41: 635-7.
5. Heitz U, Horne MM. Fluid, electrolyte and acid base balance. 5th ed. Missouri:
Elsevier-mosby; 2005.p3-227
6. Guyton AC, Hall JE.Textbook of medical physiology. 9th ed. Pennsylvania: W.B.
saunders company; 1997: 375-393
7. Latief AS, dkk. Petunjuk praktis anestesiologi: terapi cairan pada pembedahan. Ed.
Kedua. Bagian anestesiologi dan terapi intensif, FKUI. 2002
8. Mayer H, Follin SA. Fluid and electrolyte made incredibly easy. 2nd ed. Pennsylvania:
Springhouse; 2002:3-189.
9. Schwartz SI, ed. Principles of surgery companion handbook. 7th ed. New york:
McGraw-Hill; 1999:53-70.
10. Silbernagl F, Lang F. Color atlas of pathophysiology. Stuttgart: Thieme; 2000: 122-3.
11. Lyon Lee. Fluid and Electrolyte Therapy. Oklahoma State University - Center for
Veterinary Health. 2006. (Diakses tanggal 29 September2007). Tersedia dari:
http://member.tripod.com/~lyser/ivfs.htm
12. Leksana E. Terapi cairan dan elektrolit. Smf/bagian anestesi dan terapi intensif FK
Undip: Semarang; 2004: 1-60.
13. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Handbook of clinical anesthesia. 5th ed.
Philadelphia: Lippincot williams and wilkins; 2006: 74-97.
14. Sunatrio S. Resusitasi cairan. Jakarta: Media aesculapius;2000:1-58.
15. Ellsbury DL, George CS. Dehydration. eMed J [serial online] 2006 Mar [dikutip 6
Okt 2007]. Tersedia dari: URL: http://www.emedicine.com/CHILD/topic925.htm.
16. Fakultas Kedokteran Unpad. Protokol Tindakan Bedah. Bandung. 2003
17. Graber MA. Terapi cairan, elektrolit dan metabolik. Ed.2. Farmedia; 2003: 17-40.

Anda mungkin juga menyukai