Anda di halaman 1dari 16

Fraktur Kompresi Vertebra

Written by Hilman
Thursday, 15 September 2011 01:54
FRAKTUR KOMPRESI VERTEBRA
I. DEFINISI
Fraktur kompresi vertebra terjadi jika berat beban melebihi kemampuan vertebra
dalam menopang beban tersebut, seperti pada kasus terjadinya trauma.Pada
osteoporosis, fraktur kompresi dapat terjadi gerakan yang sederhana, seperti
terjatuh pada kamar mandi, bersin atau mengangkat bebean yang berat5.
II. ANATOMI DAN FISIOLOGI TULANG BELAKANG
Vertebra manusia terbentuk oleh dua jenis tulang yaitu tipe kortikal dan kalselus.
Tulang kortikal menutupi bagian luar vertebra dan mencakup sekitar 80% masa
tulang. Tulang kalselus berada pada bagian dalam dan mengisi 20% masa tulang
vertebra. Tulang kalselus memberikan bentuk arsitektur dan komponen structural
dari vertebra5.
Proses remodeling tulang merupakan proses normal dari aktifitas osteoklas
(menghancurkan) dan osteoblas (pembentukan), 10 20% tulang orang dewasa
normal mengalami remodeling setiap tahun. Pada osteoporosis, kehilangan masa
tulang disebabkan oleh karena meningkatnya aktifitas osteoklas dan menurunnya
aktifitas osteoblas. Kehilangan masa tulang merununkan keseluruhan integritas dari
vertebra dengan pengurangan densitas dari pusat tulang kalselus. Begitu juga pada
orang tua, pengurangan masa tulang disebabkan oleh penipisan cakram vertebra
oleh karena proses degenerasi. Penguranagan massa tulang ini akan menyebabkan
ketidakseimbangan dalam menahan beban antar vertebra endplates. Kombinasi
dari pengurangan massa tulang dan kelemahan tulang vertebra akibat proses
penuaan akan mengakibatkan kelainan bentuk dari vertebra5.
III. JENIS FRAKTUR PADA VERTEBRA
Tulang belakang merupakan satu kesatuan yang kuat yang diikat oleh ligamen
didepan dan dibelakang, serta dilengkapi diskus intervertebralis yang mempunyai
daya absorpsi terhadap tekanan atau trauma yang memberikan sifat fleksibilitas
dan elastis. Semua trauma tulang belakang harus dianggap suatu trauma yang
hebat , sehingga sejak awal pertolongan pertama dan transportasi kerumah sakit
penderita harus secara hati-hati. Trauma pada tulang belakang dapat mengenai :
1. Jaringan lunak pada tulang belakang, yaitu ligamen, diskus dan faset.
2. Tulang belakang sendiri
3. Sum-sum tulang belakang1,2.
Mekanisme trauma pada tulang belakang

1. Fleksi
Trauma terjadi akibat fleksi dan disertai dengan sedikit kompresi pada verttebra.
Vertebra mengalami tekanan terbentuk remuk yang dapat menyebabkan kerusakan
atau tanpa kerusakan ligamen posterior. Apabila terdapat kerusakan ligamen
posterior, maka fraktur bersifat tidak stabil dan dapat terjadi subluksasi.

Gambar 1. Fraktur akibat fleksi10


2. Fleksi dan rotasi
Trauma jenis ini merupakan trauma fleksi yang bersama-sama dengan rotasi.
Terdapat strain dari ligamen dan kapsul, juga ditemukan fraktur faset. Pada keadaan
ini terjadi pergerakan ke depan/dislokasi vertebra diatasnya. Semua fraktur
dislokasi bersifat tidak stabil.

Gambar 2 : Fraktur akibat rotasi10


3. Kompresi vertikal (aksial),
suatu trauma vertikal yang secara langsung mengenai vertebra yang akan
menyebabkan kompresi aksial. Nukleus piulposus akan memecahakan permukaan
serta badan vertebra secara vertikal. Material diskus akan masuk dalam badan
vertebra dan menyebabkan vertebra menjadi rekah (pecah). Pada trauma ini
elemen posterior masih intak sehingga fraktur yang terjadi bersifat stabil.

Gambar 3 : Fraktur kompresi


4. Hiperekstensi atau retrofleksi,
Biasanya terjadi hiperekstensi sehingga terjadi kombinasi distraksi dan ekstensi.
Keadaan ini sering ditemukan pada vertebra servikal dan jarang pada vertebra
torakolumbal. Ligamen anterior dan diskus dapat mengalami kerusakan atau terjadi
fraktur pada arkus neuralis. Frkatur ini biasanya bersifat stabil.

Gambar 4 : Fraktur akibat hiperekstensi


5. Fleksi lateral,
Kompresi atau trauma distraksi yang menimbulkan fleksi lateral akan menyebabkan
fraktur pada komponen lateral yaitu pedikel, foramen vertebra dan sendi faset1,2,8.

IV. INSIDENSI
Fraktur kompresi vertebra merupakan jenis fraktur yang sering terjadi dan
merupakan masalah yang serius. Setiap tahun sekitar 700.000 insidensi di Ameika
Serikat, dimana prevalensinya meningkat 25% pada wanita yang berumur diatas 50
tahun. Satu dari dua wanita dan satu dari empat laki-laki berumur lebih dari 50
tahun menderita osteoporosis berhubungan dengan fraktur. Insidensi fraktur
kompresi vertebra meningkat secara progresif berdasarkan semakin bertambahnya
usia, dan prevalensinya sama antara laki-laki (21,5%) dan wanita (23,5%), yang
diukur berdasarkan suatu studi pemeriksaan radiologi. Meskipun hanya sekitar
sepertiga menunjukkan gejala akut, awalnya semua berhubungan dengan angka
yang signifikan meningkatkan mortalitas dan gangguan fungsional dan
psikologis3,4,5.

V. ETIOLOGI
1. Trauma
Trauma merupakan penyebab terbanyak pada pasien yang berusia dibawah 50
tahun, oleh karena itu fraktur yang terjadi lebih banyak terjadi pada laki-laki
daripada perempuan sampai usia 60 tahun.
Contoh fraktur yang terjadi akibat trauma adalah frkatur kompresi baji C3 T1 dan
fraktur kompresi baji torakolumbal. Fraktur kompresi baji merupakan suatu cedera
fleksi, korpus terkompresi tetapi lagamen posterior tetap utuh dan fraktur biasanya
bersifat stabil.
2. Posmenopausal osteoporosis
Merupakan penyebab tersering pada wanita yang berumur diatas 60 tahun
3. Keganasan
Semakin bertambahnya usia begitu juga peningkatan resiko terjadinya fraktur
patologis akibat keganasan, dan multiple mieloma, nekrosis avaskular, limpoma
atau metastasis keganasan lain atau adanya infeksi juga ikut berperan. Fraktur
kompresi vertebra terjadi pada 50% sampai 70% pasien dengan multipel myeloma.
4. Osteoporosis sekunder
Beberapa pasien ditemukan memiliiki densitas tulang dibawah nilai normal
berdasarkan usia. Pada kasus ini penyebab sekunder dari kehilangan masa tulang
harus diperhatikan, seperti penggunaan terapi glukokortikosteroid, pengguna
alcohol, hipogonadisme, dan endokrinopati seperti hipertiroid, dan penyakit
chusing, hiperparatiroid, dan diabetes mellitus3,4,5.
VI. GEJALA DAN KONSEKUENSI
Pada sebagian besar kasus, pasien tidak menceritakan adanya trauma yang
signifikan, meskipun mereka kadang-kadang menjelaskan aktifitas yang
meningkatkan tarikan pada tulang belakang, seperti mengangkat jendela,
mengangkat anak kecil dari tempat tidur, atau gerakan melenturkan badan secara
berlebihan. Trauma dengan energi yang besar biasanya ditemukan pada pasien
berusia muda, terutama pada laki-laki dengan densitas tulang yang normal3,4,5.
Hanya sepertiga kasus kompresi vertebra yang menunjukkan gejala. Pada saat
fraktur terasa nyeri, biasanya dirasakan seperti nyeri yang dalam pada sisi fraktur.
Jarang sekali menyebabkan kompresi pada medulla spinalis, tampilan klinis
menunjukkan mielopatik fraktur dengan tanda dan gejala nyeri radikuller yang
nyata. Rasa nyeri pada fraktur disebabkan oleh banyak gerak, dan pasien biasanya
merasa lebih nyaman dengan beristirahat3,4,5.
Fraktur kompresi biasanya bersifat insidental, menunjukkan gejala nyeri tulang
belakang ringan sampai berat. Dapat mengakibatkan perubahan postur tubuh
karena terjadinya kiposis dan skoliosis. Pasien juga menunjukkan gejala-gejala pada
abdomen seperti rasa perut tertekan, rasa cepat kenyang, anoreksia dan penurunan
berat badan. Gejala pada sistem pernafasan dapat terjadi akibat berkurangnya
kapasitas paru3,4.
Konsekuensi Fraktur Kompresi vertebra
Apakah fraktur kompresi vertebra menunjukkan gejala atau tidak, komplikasi jangka

panjangnya sangat penting. Konsekuensinya dapat dikategorikan sebagai


biomekanik, fungsional, dan psikologis.
1. Biomekanik
Nyeri tulang belakang persisten dalam kaitannya dengan factor-faktor mekanik dan
kelemahan otot akibat terjadinya kiphosis.
Gejala-gejala pada abdomen, kiphosis progresif, terutama dengan fraktur kompresi
multiple, menyebabkan pemendekan tulang belakang thorak sehingga
menyebabkan penekanan pada abdomen, dimana dapat menyebabkan gejala
gastrointestinal seperti rasa cepat kenyang dan tekanan abdomen. Pada beberapa
pasien yang mengalami pemendekan segmen torakolumbal yang signifikan, costa
bagian terbawah akan bersandar pada pevis, menyebabkan terjadinya abdominal
discomfort. Gejala-gejala pada gangguan abdomen dapat berupa anoreksia yang
dapat mengikibatkan penurunan berat badan, terutama pada pasien yang berusia
lanjut3,4.
Konsekuensi pada paru akibat adanya fraktur kompresi pada vertebra dan kyposis
umumnya ditandai dengan penyakit paru restriktif dengan penurunan kapasitas
vital paru. Dalam persamaan, setiap fraktur menurunkan kapasitas vital 9%.
Meningkatkan resiko terjadinya fraktur. Karena terjadinya kyposis, maka beban
berlebih akan ditopang oleh tulang disekitarnya, ditambah lagi dengan adanya
osteoporosis semakin meningkatkan resiko terjadinya fraktur. Adanya satu atau
lebih vertebra mengalami fraktur kompresi semakin meningkatkan adanya fraktur
tambahan lima kali lipat dalam satu tahun3,4.
2. Fungsional
Pasien yang mengalami fraktur kompresi memiliki level yang lebih rendah dalam
performa fungsional dibandingkan dengan control, lebih banyak membutuhkan
pembantu, pengalaman lebih sering mengalami sakit saat bekerja, dan mengalami
kesulitan dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Penelitian terbaru pada pasienpasien ini memiliki nilai yang rendah pada indeks kulalitas hidup yang berhubungan
dengan kesehatan berdasarkan fungi fisik, status emosi, gejala klinis dan
keseluruhan performa fungsional.3,4
Oleh karena itu, banyak pasien yang mengalami fraktur kompresi vertebra akan
menjadi tidak aktif, dengan berbagai alasan antara lain rasa nyeri akan berkurang
dengan terlentang, takut jatuh sehingga terjadi patah tulang lagi. Sehingga kurang
aktif atau malas bergerak pada akhirnya akan mengakibatkan semakin buruknya
kemampuan dalam melakukan aktifitas sehari-hari3.
3. Psikologis
Kejadian depresi meningkat sampai 4-0% pada pasien yang menderita fraktur
kompresi vertebra, akibat nyeri kronis, perubahan bentuk tubuh, detorientasi dalam
kemampuan untuk merawat diri sendiri, dan akibat bedrest yang lama. Pasien yang
mengalami depresi biasanya yang mengalami lebih dari satu fraktur dan akan
menjadi cepat tua dan terisolasi secara sosial3.
VII.
DIAGNOSIS
1. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan dengan cara pasien berdiri, sehingga tandatanda osteoporosis seperti kiposkoliosis akan lebih tampak. Kemudian pemeriksaan
dilakukan dengan menekan vertebra dengan ibu jari mulai dari atas sampai
kebawah yaitu pada prosesus spinosus. Fraktur kompresi vertebra dapat terjadi
mulai dari oksiput sampai dengan sacrum, biasanya terjadi pada region
pertengahan torak (T7-T8) dan pada thorakolumbal junction. Tanyakan pasien jika
dirasakan adanya nyeri. Ulangi lagi pemeriksaan sampai benar-benar ditemukan
lokasi nyeri yang tepat. Nyeri yang berhubungan dengan pemeriksaan palpasi
vertebra mungkin disebabkan oleh adanya fraktur kompresi vertebra3,5.

Gambar 5 : Pemeriksaan palpasi vetebra


Adanya deformitas pada tulang belakang tidak mengindikasikan adanya fraktur. Jika
tidak ditemukan nyeri yang tajam, kemungkinan hal tersebut merupakan suatu
kelainan tulang belakang yang berkaitan dengan umur3,5.
Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan membantu pasien melakukan gerakan
fleksi dan ekstensi pada tulang belakang, gerakan ini akan menyebabkan rasa nyeri
yang disebabkan oleh adanya fraktur kompresi vertebra.3,4
Spasme otot atau kekakuan otot dapat terjadi sebagai akibat dari kekuatan otot
melawan gravitasi pada bagian anterior dari vertebra. Pemeriksaan neurologis perlu
dilakukan. Tidak jarang pada kasus osteomielitis mempunyai gejala yang mirip
dengan fraktur kompresi vertebra3,4.
2. Radiologi
Selama pemeriksaan fisik, marker radioopak mungkin ditempatkan pada kulit pada
daerah yang paling terasa nyeri, karena bagimanapun juga perlu juga difikirkan
juga adanya neoplasma atau adanya erosi pada endplate akibat osteomielitis. Posisi
anteroposterior dan lateral dilakukan untuk mengetahui adanya fraktur kompresi
vertebra. Fraktur kompresi vertebra asimtomatik tidak selalu menunjukkan kolaps
vertebra pada gambaran radiologi. Faktur kompresi vertebra secara radiografi
digambarkan sebagai penurunan panjang vertebra lebih dari 15%, umumnya
ditemukan pada vertebra thorakolumbal secara anteroposterior dan lateral. Bagian

thorakoloumbal yang biasa terkena adalah T8,T12,L1, dan lumbah bagian bawah,
terbanyak pada L43,4,6.

Gambar 6 : Rongen fraktur kompresii vertebra3

3. MRI (Magnetic Resonance Imaging)


JIka sumber nyeri tidak dapat ditemukan, MRI dapat menunjukkan adanya
keganasan, mengidentifikasi adanya fraktur dan membantu dalam menentukan
terapi yang tepat. Pada T1 yang mengalami fraktur akan tampak lebih gelap
dibandingkan dengan vertebra lainnya, T2 dan selanjutnya akan tampak lebih
terang. Adanya short tau inversion recovery (STIR) paling ideal diperiksa dengan
MRI, karena sangat sensitive terhadap adanya edema tulang yang disebabkan oleh
fraktur kompresi. Pemeriksaan MRI rutin untuk setiap tulang belakang tidak
dianjurkan karena biayanya yang mahal. Jika pada pemeriksaan MRI tidak

ditemukan adanya edema, fraktur telah sembuh dan rasa nyeri yang timbul bukan
berasal dari fraktur4,6.

Gambar 7 : MRI fraktur kompresi vertebra3


4. CT scan
CT scan sangat berguna dalam menggambarkan adanya fraktur dan dapat
memberikan informasi jika tentang adanya kelainan densitas tulang. CT scan dan
MRI juga sangat penting dalam menentukan diferensial diagnosis karena adanya
penyempitan kanalis spinal, dan komposisi spesifik vertebra dapat digambarkan6.

Gambar 8 : CT Scan Fraktur kompresi vertebra10


5. Single-photon emission computed tomography (SPECT), dapat juga digunakan
dalam menentukan adanya fraktur dan tingkat adanya osteoporosis karena
kemampuannya dalam menggambarkan densitas tulang6.
6. Scintigraphy, merupakan suatu metode diagnostik yang menggunakan deteksi
radiasi sinar gamma untuk menggambarkan kondisi dari jaringan atau organ, juga
merupakan metode yang penting untuk memprediksikan hasil (outcome) dari
beberapa teknik operasi6.
VIII. PRINSIP PENATALAKSANAAN FRAKTUR KOMPRESI VERTEBRA
1. Nyeri akut fraktur kompresi vertebra
Jika pada pasien tidak ditemukan kelainan neurologis, pengobatan pada pasien
dengan akut fraktur harus menekankan pada pengurangan rasa nyeri, dengan
pembatasan bedrest, penggunaan analgetik, brancing dan latihan fisik.
a. Menghindari bedrest yang terlalu lama
Bahaya dari bedrest yang terlalu lama pada orang tua adalah, meningkatkan
kehilangan densitas tulang, deconditioning, thrombosis, pneumonia, ulkus
dekubitus, disorientasi dan depresi3,4.
b. Analgetik
Analgetik digunakan untuk mengurangi rasa nyeri, biasa diberikan sebagai terapi
awal untuk menghindari dari beddrest yang terlalu lama. Analgetik opioid mungkin
diberikan pada beberapa pasien untuk mengurangi rasa nyeri yang lebih adekuat.
Bagimanapun juga pada pasien yang sudah tua, pasien dengan imobilisasi, opioid
yang berhubungan dengan konstipasi dan penurunan fungsi kognitif harus
diperhatikan dan penggunaan profilaksis laksatif harus segera dimulai pada saat
opioid mulai diberikan3,4.
Hidari pemberian nonsteridal anti-inflamatory drugs (NSAIDs). Secara umum,
penggunaan analgetik opioid atau non opioid, adalah lebih baik dibandingkan
dengan NSAIDs, terutama pada pasien usia lanjut yang mengalami fraktur kompresi
vertebra. Resiko pemberian NSAIDs berhubungan dengan gastropati, insufisiensi

ginjal, dan penyakit jantung kongestif meningkat secara signifikan pada pasien usia
lanjut3
c. Calcitonin, diberikan secara subkutan, intranasal, atau perrektal mempunyai
efek analgetik pada fraktur kompresi yang disebabkan oleh osteoporosis dan pasien
dengan nyeri tulang akibat metastasis. Aktifitas analgetik dari calcitonin yaitu
dengan meningkatkan kadar endorphins dalam plasma. Penelitian Yoshimura dan
Lyritis dan Trovas menunjukkan bahwa kalsitonin bekerja melalui reseptor-reseptor
serotonergik pada medulla spinalis. Pada fraktur kompresi vertebra yang
disebabkan oleh osteoporosis, calcitonin juga menghambat fungsi dari osteoklast,
sehingga mencegah terjadinya penyerapan tulang3,4.
d.
Bracing
Bracing merupakan terapi yang biasa dilakukan pada manegemen akut non
operatif. Ortose membantu dalam mengontrol rasa nyeri dan membantu
penyembuhan dengan menstabilkan tulang belakang. Dengan mengistirahatkan
pada posisi fleksi, maka akan mengurangi takanan pada kolumna anterior dan
rangka tulang belakang3,6.
Bracing dapat digunakan segera, tetapi hanya dapat digunakan untuk dua sampai
tiga bulan. Terdapat beberapa tipe ortose yang tersedia untuk pengobatan. Karena
sebagian besar fraktur kompresi terjadi pada daerah torakolumbal, sebagian besar
ortosis dibuat beradasarkan area tersebut pada tulang belakang.
Thorakolumbosacral orthosis (TLSO) tipe shell tipe braces digunakan untuk
memberikan stabilitas selama rotasi, fleksi dan ekstensi. Jenis ini sangat berguna
dalam pengobatan oleh karena fraktur akibat energy yang besar, fraktur multiple
dan kiposis berat. Karena ortose didesain dengan pembungkus plastik, harganya
mahal dan pasien kadang-kadang mengeluhkan adanya gatal dan berkeringat
dibawah ortose. Tipe Boston sangat mirip dengan tipe shell tetapi lebih lembut
karena terbuat dari plastic semi fleksibel.3,6

thorakolumbosacral orthosis (TLSO) Tipe Boston


Gambar 9 : Ortose
Adapun tipe lain adalah Jewett, mencegah fleksi dan ekstensi yang berlebihan dari

tulang belakang dimana berlawanan dengan kiposis. Jenis ini kurang , lebih nyaman,
dan lebih murah dibandingkan dengan jenis shell type, tetapi terkadang dapat
menyebabkan ketidaknyamanan karena dapat menyebabkan terjadinya skoliosis.
Jenis terakhir dari ortose adalah semi-rigid thoraco-lumbal corset beserta penahan
bahu untuk menahan ektensi vertebra. Bracing yang dilakukan pada waktu yang
cukup lama dapat menyebabkan instabilitas yang tidak diinginkan pada tulang
belakang akibat kehilangan masa otot dan latihan fisik dibutuhkan dalam terapi
koservatif3,6.
e. Vertebroplasty
Vertebroplasty dilakukan dengan menempatkan jarum biopsy tulang belakang
kedalam vertebra yang mengalami kompresi dengan bimbingan fluoroscopy atau
computed tomography. Kemudian diinjeksikan Methylmethacrylate kedalam tulang
yang mengalami kompresi. Prosedur ini dapat menstabilkan fraktur dan megurangi
rasa nyeri dengan cepat yaitu pada 90% 100% pasien. Tetapi prosedur ini tidak
dapat memperbaiki deformitas yang terjadi pada tulang belakang3,4,5,6,7.
Komplikasi terjadi kurang dari 10% pasien antara lain berupa radikulopati, infeksi
dan kompresi medulla spinalis. Pada saat semen diinjeksikan dibawah tekanan
tinggi, kebocoran ke bagian luar vertebra sering terjadi pada 50% - 67% pasien.
Kebocoran methylmethancrylate pada ruang epidural dapat menyebabkan
terjadinya defisit neurologis. Komplikasi lain yang sering terjadi adalah kebocoran
semen dari vertebra ke otot paravertebra, dapat menyebabkan nyeri yang hebat.
Jika semen bocor sampai ke aliran darah vena, dapat menyebabkan reaksi toksik.
Jika semen masuk sampai ke vena cava inferior, dapat terjadi emboli paru.
Bagaimanapun juga komplikasi-komplikasi tersebut dapat diminimalisir dengan
menggunakan venography ketika menginjeksi semen dan menggunakan dosis yang
kecil3,4,5,6,7.

Gambar 10. Teknik vertebroplasty 11


f. Kypoplasty
Kypoplasty diperkenalkan pada tahun 1988 dalam mengobati fraktur kompresi.
Prosedur ini dilakukan dengan menyuntikkan jarum yang berisikan tampon kedalam
tulang yang mengalami fraktur. Insersi jarum tersebut akan membentuk suatu
kavitas pada tulang vertebra. Kemudian kavitas tersebut diisi dengan campuran
methylmetacrylate dibawah tekanan rendah. Pada awal pengenalan terapi ini 90%
pasien menyatakan hilangnya rasa nyeri pada tulang dan terjadinya peningkatan
fungsional dengan prosedur ini, hasil yang hampir sama dengan perkutaneus
vertebroplasty. Kypoplasty juga memperbaiki panjang dari vertebra hampir 50% dari
70% pasien. Dimana 30% pasien lagi fraktur disebabkan oleh faktor usia, sehingga
perbaikan panjang vertebra tidak mungkin dapat terjadi. Komplikasi jarang terjadi
dan terjadinya kebocoran semen lebih jarang dibandingkan dengan
vertebroplasty3,4,5,7,9.
Flouroskopi digunakan sebagai alat visualisasi pada saat operasi selama operasi.
Dua buah flouroskopi digunakan untuk memonitor gambaran anterior, posterior dan
lateral. Metode transpedikular biasanya digunakan, dimana ahli bedah
menempatkan ujung dari trocar pada bagian luar pedikel dan kemudian
memasukkannya sampai 2/3 kedalaman vertebra. Jika sudah dipastikan trocar
berada pada tempat yang tepat pada tulang vertebra, kemudian dimasukkan
guidewire melalui trocar tersebut dan kemudian trocar diangkat. Kemudian
kanul(jarum) plastic dimasukkan melalui guidewire, kemudian guidewire dingkat
dengan meninggalkan kanul plastic tersebut. Kemudian ahli bedah akan
memasukkan inflatable balloon tamp melalui kanul yang sudah ada dan
menempatkan tampon dengan panduan flouroskopy. Tampon ini akan meningkatkan
tinggi ruas vertebra dan menyediakan tempat (lubang) tempat pengisian semen.
Kemudian balon dipompa, volume dan tekanan diatur dengan manometer digital

sampai mencapai tekanan maksimum, atau volume balon meningkat atau adanya
kontak dengan dinding kortikal. Kemudian balon dikempeskan dan dikeluarkan.
Kemudian semen tulang (methylmetacrylate) dimasukkan pada ruang yang
dibentuk oleh balon dibawah tekanan rendah. Sekitar 3,5 sampai 8,5 ml semen
dimasukkan pada tulang vertebra. Tekanan semen dijaga tetap konstan untuk
mencegah semen keluar dari kanul3,4,7,9.
.

Gambar 11. Teknik Kyphoplasty dan gambaran radiologis3,4


2. Penatalaksanaan nyeri kronis
Beberapa pasien memiliki pengalaman adanya perbaikan yang sempurna dari
gejala fraktur akut dalam 8 sampai 12 minggu. Sedangkan yang lainnya terus
mengalami nyeri , terutama dengan berdiri atau berjalan dalam waktu yang lama.
Nyeri kronis umumnya biasa dialami oleh pasien dengan multipel fraktur, penurun
tinggi badan, dan kehilangan densitas tulang. Pada pasien-pasien ini, sangat
dianjurkan untuk tetap aktif melakukan pelemasan otot dan program peregangan,
seperti program yang berdampak ringan seperti berjalan dan berenang. Sebagai
tambahan obat penghilang rasa sakit, pemeriksaan nonfarmakologis seperti
stimulasi saraf listrik transkutaneus, aplikasi panas dan dingin, atau penggunaan
bracing, dapat menghilangkan rasa sakit sementara. Aspek psikologis dari rasa
nyeri yang kronis dan kehilangan fungsi fisiologis harus diterangkan dalam
konseling,jika perlu, dapat diberikan antidepresan3.
3. Pencegahan fraktur tambahan
Evaluasi dan pegobatan osteoporosis merupakan bagian yang penting dalam
penatalaksaan fraktur kompresi vertebra. Sebagian besar pasien dengan fraktur
akibat osteoporosis akut harus diberikan terapi osteoporosis secara agresif.
Pemeriksaan bone densitometry sebaiknya dilakukan pada pasien dengan frkatur
kompresi dan sebelumnya diguga mengalami kehilangan massa tulang.
National Osteoporosis Foundation menganjurkan semua wanita yang mengalami
fraktur spiral dan densitas mineral tulang dengan T-score kurang dari 15 harus
diberikan terapi seperti osteoporosis. Diet suplemen vitamin D dan kalsium harus
optimal. Bisphosponates (alendronate, risendronate) mengurangi insidensi
terjadinya fraktur vertebra baru sampai lebih dari 50%, dan secara signifikan

menurunkan angka kejadian fraktur paha. Raloxifene, merupakan modulator


estrogen selektif, menunjukkan dapat mengurangi terjadi fraktur vertebra 65%
pada tahun pertama dan sekitar 50% pada tahun ketiga. Kalsitonin menunjukkan
penurunan resiko terjadinya fraktur vertebra baru sekitar 1 dari 3 wanita yang
mengalmi fraktur vetebra. Teriparatide (fortoe), merupakan preparat hormon
paratiroid rekombinan diberikan secara subkutan. Obat ini juga menunjukkan
rendahnya resiko trjadinya fraktur vertebra dan meningkatkan densitas tulang pada
wanita postmenopause dengan osteoporosis. Obat ini bekerja pada osteoblast untuk
menstimulasi pembentukan tulang baru3,5.

Daftar Pustaka
1. Apley, Graham. Solomon, Louis. Cedera Spina. Dalam: Buku Ajar Ortopedi dan
Fraktur Sistim Apley. Edisi ke-7. Widya Medika. Jakarta.
2. Rasjad, Chairuddin. (2007). Trauma Pada Vertebra, dalam Pengantar Ilmu Bedah
Ortopedi.. Edisi ke-3. Yarsif Watampone. Jakarta
3. Mazanec Daniel J, et. Al, 2003. Vertebral Compression Fracture : Manage
aggressively to Prevent sequel. Cleveland clinic Journal of Medicine. Disitasi pada
tanggal 26 april 2010 dari: http://www.ccjm.org/content/70/2/147.full.pdf
4. Brunton Stephen, et al, (2005). Vertebral compression fractures in primary care.
The Journal of Family Practice. Disitasi pada tanggal 26 april 2010 dari :
http://www.jfponline.com/uploadedFiles/Journal_Site_Files/Journal_of_Family_Practice/
supplement_archive/VCF_0905.pdf
5. Hanna Jim, Letizia Marijo, (2007). Kyphoplasty: A Treatment for Osteoporotic
Vertebral Compression Fractures. Nursing Journal Center. Disitasi pada tanggal 26
april 2010 dari : http://www.nursingcenter.com/library/journalarticle.asp?
article_id=755899
6. Babb Aron, Carlson Walter O (2006). Vertebral Compreesion Fractures :
Treatment and Evaluation. Disitasi pada tanggal 26 April 2010 dari :
http://bjr.birjournals.org/cgi/reprint/75/891/207.pdf
7. Anonim, (2007). Baloon Kypoplasty as a treatment for Vertebral Compression
Fractures. The California Technology Assessment Forum. Disitasi pada tanggal 26
April 2010 dari. http://www.ctaf.org/UserFiles/File/2009%20June%2017/Kyphoplasty
%20final%20draft2.pdf
8. Reiter Timothy, (2009). Vertebral Fracture. E-medicine. Disitasi pada tanggal 29
April 2010 dari : http://emedicine.medscape.com/article/309615-overview
9. Rabinov D. et al (2004). Balloon Kyphoplasty for Vertebral Compression Fracture
Using a Unilateral Balloon Tamp Via a Uni-Pedicular Approach: Technical Note. Pain
Physician Journal. Disitasi pada tanggal 29 april 2010 dari :
http://www.painphysicianjournal.com/2004/january/2004;7;111-114.pdf
10. Argenson C. et al, 1997. A Scema For The Classification Of A Lower Cervical
Spine Injuries. Maitrise Orthopedique. Disitasi pada tanggal 29 april 2010 dari
:http://www.maitrise-orthop.com/viewPage_us.do?id=86
11. Anonim, 2009. Osteoporosis of the thoracolumbar and lubar spine. EuroSpine,

the Spine Society of Europe. Disitasi pada tanggal 29 april 2010 dari :
http://www.eurospine.org/f31000239.html

Anda mungkin juga menyukai