PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan
hingga saat ini, terutama pada kelompok 22 negara, dengan beban yan tinggi. Pada Global
Tuberculosis Report 2011 (WHO), dikatakan terdapat perbaikan mayor dengan menurunnya
kasus dan kematian akibat TB dalam dua dekade terakhir dengan laju penurunan insidens TB
secara global sebesar 2,2% pada tahun 2010-2011. Meskipun demikian, beban global akibat TB
tetap besar. Menurut estimasi tahun 2011, terdapat 8,7 juta insidens TB (13% di antaranya
koinfeksi HIV) dan 1,4 juta orang meninggal karena TB. Lima negara dengan insidens
tuberculosis tertinggi pada tahun 2011 adalah India, China, Afrika Selatan, Indonesia (0,40,5
juta), dan Pakistan.1,2
Secara global, 5% dari kasus TB diperkirakan akan menjadi MDR-TB. Diantara kasus
TB baru (yang menjelaskan sebagian besar beban TB global *), diperkirakan 3,5% memiliki
MDR-TB. Proporsi ini lebih tinggi di antara orang yang sebelumnya dirawat untuk TB, sekitar
20,5%.
Tingkat resistensi obat di antara kasus baru adalah <3% pada 108 (75%) dari 144 negara
dengan data surveilans dari resistensi obat. Ini mencakup hampir semua negara di Wilayah
Amerika, sebagian besar negara-negara di Afrika dan Selatan- Wilayah Asia Timur, sebagian
besar Negara di Eropa Barat dan beberapa negara-negara di Region Pasifik Barat.3
Pada 2013, 5,4 juta kasus TB baru dan 0,7 juta kasus TB yang sebelumnya dirawat telah
dilaporkan WHO. Di tingkat global, Indonesia berada diperingkat 8 dari 27 negara dengan beban
TB MDR terbanyak di dunia dengan perkiraan pasien TB MDR di Indonesia sebesar 6900, yaitu
1,9% dari kasus baru dan 12% dari kasus pengobatan ulang. Diperkirakan kasus TB MDR
sebanyak 5.900 kasus yang berasal dari TB Paru baru dan 1.000 kasus dari TB Paru pengobatan
ulang.4
Pencegahan MDR-TB dilakukan melalui strategi directly observed treatment shortcourse
(DOTS) yang direkomendasikan secara internasional serta terbukti efisien dan cost-eff ective,
meskipun pada beberapa keadaan gagal menyembuhkan.5 Organisme resisten dapat timbul akibat
beberapa faktor; kesalahan manusia memberi kontribusi terbesar. Resistensi obat dapat terjadi
akibat penggunaan antibiotik yang tidak tepat pada pasien TB yang masih sensitif obat, seperti
ketidaktepatan regimen, dosis obat, dan lama pengobatan serta kegagalan memengaruhi pasien
untuk menyelesaikan program pengobatan.5
Ketidaktaatan pasien TB dalam minum obat secara teratur tetap menjadi hambatan untuk
mencapai angka kesembuhan yang tinggi. Tingginya angka putus obat akan mengakibatkan
tingginya kasus resistensi kuman terhadap obat antituberkulosis (OAT) yang membutuhkan biaya
dan lama pengobatan yang lebih besar. Angka putus obat di rumah sakit di Jakarta pada tahun
2006 tercatat sekitar 7%.
Berdasarkan laporan Subdit TB Depkes RI tahun 2009, proporsi putus obat pada pasien
TB paru kasus baru dengan hasil basil tahan asam (BTA) positif berkisar antara 0,6%-19,2%
dengan angka Papua Barat; angka putus obat di Jakarta pada tahun 2009 terlapor sebesar 5,7%.6
Ada banyak faktor yang memengaruhi terjadinya kasus putus obat pada pasien TB paru.
Komunikasi yang baik antara petugas kesehatan dengan pasien merupakan faktor penting yang
menentukan keberhasilan pengobatan. Sebuah penelitian mengungkap bahwa putus obat
berhubungan dengan kebiasaan merokok, riwayat pengobatan TB, dan luas lesi radiologis.7
Penelitian lain menyimpulkan bahwa putus obat berhubungan dengan jenis kelamin,
konsumsi alkohol, usia, status pengobatan TB, dan jumlah kuman BTA pada awal pemeriksaan. 8
Penelitian yang lain lagi menemukan bahwa putus obat juga berhubungan dengan status
pekerjaan.9 Selain itu, terdapat beberapa penelitian lain yang mengungkap bahwa putus obat
berhubungan dengan status perkawinan, jarak rumah ke tempat pengobatan (rumah sakit),
penghasilan, efek samping pengobatan, tingkat pendidikan, penyakit penyerta (diabetes melitus,
hepatitis, tumor paru, dll.), sumber biaya pengobatan, jenis pengobatan yang digunakan, dan
pengawas menelan obat (PMO).10