Kolestasis berasal dari bahasa Yunani yang berarti berhentinya aliran duktus empedu.
Kolestasis didefinisikan sebagai penurunan aliran duktus empedu dan akumulasi abnormal
dari bilirubin terkonjugasi yang menunjukkan terganggunya fungsi hepatobilier. Kolestasis
bukan merupakan suatu diagnosis melainkan suatu sindroma yang etiologinya bermacammacam mulai dari pembentukan empedu di hepatosit, transport keluar dari hepatosit, saluran
empedu intrahepatik dan saluran empedu ekstrahepatik sampai muara keluar di duodenum.(1)
Terjadinya kolestasis dapat disebabkan oleh kelainan hepatosit, kerusakan membran
sel hepar dan kelainan pada permukaan membran yang mengarah pada saluran empedu.
Penyebab kelainan diatas dapat disebabkan karena adanya kelainan anatomis, gangguan
metabolik, hepatitis, genetik dan kelainan campuran.(1)
Gambaran klinis kolestasis pada umumnya disebabkan karena adanya keadaan seperti
terganggunya aliran empedu memasuki usus berupa tinja berbentuk dempul, urobilin dan
sterkobilinogen tinja dan urobilinogen urin yang menurun, malabsorbsi lemak dan vitamin
yang larut didalamnya serta hipoprotrombinemia., akumulasi empedu dalam darah seperti
ikterus, gatal-gatal dan hiperkolesterolemia dan kerusakan sel hepar sebagai akibat
penumpukan komponen empedu. Secara anatomis dapat dilihat adanya penumpukan pigmen
serta tanda peradangan dan nekrosis jaringan sedangkan secara fungsional dapat dilihat
adanya gangguan ekskresi berupa peningkatan fosfatase lindi dan glutamil transpeptidase.
Kadar transaminase dan asam empedu serum pun meningkat.(2)
Gejala dan tanda kolestasis adalah ikterus lebih dari 2 minggu dengan warna air
kemih agak tua atau gelap, tinja berwarna pucat seperti dempul dan hepatomegali. Dalam
usaha menegakkan diagnosis kolestasis, maka perlu diperheparkan apakah kolestasis ini
termasuk intra atau ekstrahepatik, apakah kelainan ini dapat dikoreksi dan cari etiologinya.(3)
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
DAFTAR ISI.....................................................................................................................2
BAB I LAPORAN KASUS..............................................................................................3
1.1 IDENTITAS..................................................................................................3
1.2 ANAMNESIS................................................................................................3
1.3 PEMERIKSAAN FISIK................................................................................4
1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG..................................................................6
1.5 RESUME ......................................................................................................8
1.6 DIAGNOSIS KERJA....................................................................................8
1.7 PENATALAKSANAAN...............................................................................8
1.8 PROGNOSIS.................................................................................................9
1.9 FOLLOW UP.................................................................................................9
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................13
2.1. ANALISIS KASUS.......................................................................................13
BAB III TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................16
BAB IV KESIMPULAN...................................................................................................38
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................39
BAB I
LAPORAN KASUS
: Tn. Tatang
Umur
: 22 tahun
Jenis kelamin
: Laki-Laki
Alamat
Agama
: Islam
Suku
: Sunda
Status perkawinan
: Belum Menikah
Pendidikan terakhir
: SMP
Pekerjaan
: Buruh
Masuk RS tanggal
: 14 Juni 2015
1.2 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di ruang Rengasdengklok, pada tanggal 16 Juni
2015 pukul WIB.
KELUHAN UTAMA
Pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit.
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien datang ke IGD RSUD Karawang dengan keluhan nyeri perut kanan yang menjalar
hingga ke perut tengah dan pinggang kanan sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit. Nyeri
perut kanan dirasakan hilang timbul namun makin lama semakin parah dan disertai dengan
mual tanpa ada muntah. Sebelum nyeri pasien sempat demam menggigil selama 1 hari.
Pasien kemudian berobat ke Puskesmas dan diberi vitamin serta obat anti nyeri. Keluhan
sempat menghilang namun timbul kembali setelah obat habis. Pasien mengaku sejak 2 bulan
lalu kedua mata kuning secara tiba-tiba, beberapa hari setelahnya seluruh badan juga terlihat
kuning. Gusi pasien sering berdarah apabila sedang menyikat gigi. Pasien juga mengeluh
lutut serta pergelangan tangan sakit. Buang air kecil pasien berwarna seperti teh dan buang
air besar berwarna putih seperti dempul atau kuning padat, keduanya disertai dengan minyak
berwarna kuning. 1 minggu sebelum masuk rumah sakit pasien melakukan pemeriksaan
darah di prodia dan dinyatakan menderita hepatitis B.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU & KEBIASAAN
Pasien belum pernah mengalami hal ini sebelumnya. Pasien memiliki kebiasaan merokok 2
bungkus sehari sejak usia 13 tahun, konsumsi alkohol setiap hari terutama jenis bir dan arak
hitam, serta pernah mencoba narkoba jenis pil. Pasien memiliki 3 tatto buah tatto, di kaki kiri
dan dada kanan yang dibuat 2 tahun lalu dan di lengan kanan yang dibuat 1 tahun lalu.
Pasien juga mengaku sering makan makanan berlemak dan jarang berolahraga.
Pasien menyangkal adanya riwayat darah tinggi, kencing manis, asma dan alergi. Pasien
tidak pernah operasi sebelumnya.
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Keluarga pasien tidak ada yang memiliki riwayat darah tinggi, kencing manis, asma dan
alergi. Tidak ada keluarga pasien yang mengeluh hal serupa. Namun, ibu pasien meninggal
karena penyakit paru saat pasien masih Sekolah Dasar.
RIWAYAT SOSIAL EKONOMI
Pasien adalah buruh lepas yang biasa ditempatkan di lokasi pembangunan, pasien adalah
peserta BPJS sehingga biaya rumah sakit ditanggung.
1.3 PEMERIKSAAN FISIK
Status generalis :
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang disertai sesak nafas
Kesadaran
Status Gizi
: Gizi cukup
Tanda Vital
Tekanan darah
: 110/70 mmHg
Suhu
: 36,8 c
Nadi
: 72x/m
Pernafasan
: 20x/m
Kepala : Normosefali, rambut berwarna hitam, distribusi merata, tidak kering dan tidak
mudah dicabut
4
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik +/+, sekret -/-, pupil isokor +/+
Telinga, Hidung,Tenggorokan
Telinga :
-
Inspeksi :
Hidung :
- Inspeksi : Deformitas (-), kavum nasi lapang, sekret -/- deviasi septum -/-, edema -/- Palpasi : nyeri tekan pada sinus maksilaris -/-, etmoidalis -/-, frontalis -/Tenggorokan dan rongga mulut :
- Inspeksi :
Lidah : pergerakan simetris, plak (-)
Palatum mole dan uvula simetris pada keadaan diam dan bergerak, arkus faring
simetris, penonjolan (-)
Tonsil : T1/T1, kripta -/-, detritus -/-, hiperemis (-)
Dinding anterior faring licin, hiperemis (-)
Kandidisasis oral (-)
Thorax :
Paru
Inspeksi : bentuk dada normal, pergerakan kedua paru simetris statis dan dinamis, kulit
ikterik
Palpasi : Vocal fremitus simetris
Perkusi :
Sonor pada seluruh lapang paru kiri dan kanan
Batas paru hepar : pada garis midklavikula kanan sela iga V
Batas paru lambung : pada garis aksilaris anterior kiri sela iga VIII
Ekstremitas bawah :
Kulit ikterik +
Kulit ikterik +
Edema -/-
Edema -/-
Hasil
11,9 g/dL
12,54 x103/uL
586 x103/uL
34,1 %
Reaktif
115 mg/dL
10,8 mg/dL
0,54 mg/dL
Nilai normal
13,0 18,0 g/dL
3,80 10,60 x103/uL
150 440 x103/uL
40 52 %
Non-Reaktif
<140 mg/dL
15 50 mg/dL
0,60 1,10 mg/dL
37,4 U/L
22,3 U/L
20,54 mg/dL
16,82 mg/dL
3,72 mg/dL
Nilai Normal
s/d 37
s/d 40
s/d 1,00
s/d 0,25
s/d 0,75
1.5 RESUME
Pasien datang ke IGD RSUD Karawang dengan keluhan nyeri perut kanan yang
menjalar hingga ke perut tengah dan pinggang kanan sejak 3 bulan sebelum masuk rumah
sakit. Nyeri perut kanan dirasakan hilang timbul dan disertai dengan mual tanpa ada muntah.
Sebelum nyeri pasien sempat demam menggigil selama 1 hari. Pasien mengaku sejak 2 bulan
lalu kedua mata kuning secara tiba-tiba, beberapa hari setelahnya seluruh badan juga terlihat
kuning. Gusi pasien sering berdarah apabila sedang menyikat gigi. Pasien juga mengeluh
lutut serta pergelangan tangan sakit. Buang air kecil pasien berwarna seperti teh dan buang
air besar berwarna putih seperti dempul atau kuning padat, keduanya disertai dengan minyak
berwarna kuning. Pasien tidak pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya. Pasien
memiliki kebiasaan merokok 2 bungkus sehari sejak usia 13 tahun, konsumsi alkohol setiap
hari terutama jenis bir dan arak hitam, pernah mencoba narkoba jenis pil dan memiliki 3
buah tatoo. Pasien juga mengaku sering makan makanan berlemak dan jarah berolahraga.
Keluarga pasien tidak ada yang memiliki penyakit serupa, namun ibu pasien meninggal
karena penyakit paru.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD: 110/70 mmHg, Nadi: 72 x/m, RR: 20x/m, S:
36,80C. Status generalis didapatkan sklera ikterik, kulit ikterik, hepar teraba 2 jari di bawah
arcus costae, dan nyeri pada pergelangan tangan serta lutut. Pemeriksaan penunjang
didapatkan HbsAg: Reaktif, Hb: 11,9 g/dL, Leukosit: 12.540 /uL, Trombosit: 586.000 /uL,
Hematokrit: 34,1%, Ureum: 10,8 mg/dL, Creatinin: 0,54 mg/dL, SGOT: 37,4 u/L, SGPT:
22,3 u/L, Bilirubin total: 20,54 mg/dL, Bilirubin Direk: 16,82 mg/dL, Bilirubin Indirek: 3,72
mg/dL Dari hasil USG abdomen didapatkan pembesaran hepar dengan pembacaan suspect
fatty liver.
1.6 DIAGNOSIS
Diagnosis Kerja
Suspect Kolelitiasis
Hepatitis B kronik
Diagnosa Banding
Alcoholic Liver Disease
1.7 PENATALAKSANAAN
Infus Ringer Laktat 30 tpm
Infus Aminoleban 1 fl/ hari
Levofloksasin 50 mg 3 x I tab
Curcuma 3 x I tab
Paracetamol 500 mg 3 x I tab
Ranitidin 2 x I amp
Ondancentron 3 x I amp
1.8 PROGNOSIS
Ad vitam
Ad fungtionam
Ad sanationam
: Dubia ad bonam
: Dubia ad bonam
: Dubia ad bonam
1.9 FOLLOW UP
Hari Ke-I (Rabu, 17 Juni 2015)
Subjektif
Nyeri perut(+), Badan kuning(+), Nyeri kedua kaki dari lutut
kebawah(+), Nyeri pergelangan tangan(-), Mual(-), Muntah(-),
Gatal seluruh badan(+), BAK seperti teh, BAB putih berminyak
Objektif
Keadaan Umum :
Compos mentis, tampak sakit sedang, gizi cukup
Tanda Vital :
BP 110/60mmHg; HR 72 x/m; RR 22x/m; T 37oC
Kepala :
Normocephali, KA -/-, SI +/+
Tenggorok:
T1/T1, faring hiperemis (-)
Leher :
KGB tidak teraba membesar
Thorax :
Paru : Suara nafas vesikuker +/+, wheezing -/- , ronchi -/Jantung : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur(-), gallop(-)
Abdomen :
Datar, supel, BU (+), NT (-),Hepar teraba 2 jari di bawah arcus
costae
Extermitas :
Ekstremitas atas:
Kulit ikterik +
Edema -/- Akral hangat +/+
Nyeri -/Ekstremitas bawah:
Kulit ikterik +
Edema -/- Akral hangat +/+
Nyeri +/+ lutut
Analisa
Susp. Kolelitiasis
Hepatitis B Kronis
Planning
Infus Ringer Laktat 30 tpm
Subjektif
Objektif
Tanda Vital :
BP 100/60mmHg; HR 72 x/m; RR 22x/m; T 37oC
Kepala :
Normocephali, KA -/-, SI +/+
Tenggorok:
T1/T1, faring hiperemis (-)
Leher :
KGB tidak teraba membesar
Thorax :
Paru : Suara nafas vesikuker +/+, wheezing -/- , ronchi -/Jantung : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur(-), gallop(-)
Abdomen :
Datar, supel, BU (+), NT (+) epigastrium,Hepar teraba 2 jari
di bawah arcus costae
Extermitas :
Ekstremitas atas:
Kulit ikterik +
Edema -/- Akral hangat +/+
Ekstremitas bawah:
Kulit ikterik +
Edema -/- Akral hangat +/+
Analisa
Susp. Kolelitiasis
Hepatitis B Kronis
Planning
Infus Dextrose 5% 8 tpm
Levofloksasin 50 mg 3 x I tab
Curcuma 3 x I tab
Paracetamol 500 mg 3 x I tab
Ranitidin 2 x I amp
Ondancentron 3 x I amp
Subjektif
Objektif
Analisa
Planning
arcus costae
Extermitas :
Ekstremitas atas:
Kulit ikterik +
Edema -/- Akral hangat +/+
Ekstremitas bawah:
Kulit ikterik +
Edema -/- Akral hangat +/+
Susp. Kolelitiasis
Hepatitis B Kronis
Infus Dextrose 5% 8 tpm
Levofloksasin 50 mg 3 x I tab
Curcuma 3 x I tab
Paracetamol 500 mg 3 x I tab
Ranitidin 2 x I amp
Ondancentron 3 x I amp
Ranitidin 2 x I amp
Ondancentron 3 x I amp
BAB II
ANALISA KASUS
Pasien Tn. T, usia 22 tahun datang ke IGS RSUD Karawang dengan keluhan nyeri
perut kanan yang menjalar hingga ke perut tengah dan pinggang kanan. Nyeri perut kanan
dirasakan hilang timbul namun makin lama semakin parah dan disertai dengan mual tanpa
ada muntah. Sebelum nyeri pasien sempat demam menggigil selama 1 hari. Kedua mata dan
badan kuning secara tiba-tiba. Gusi pasien sering berdarah apabila sedang menyikat gigi.
Pasien juga mengeluh lutut serta pergelangan tangan sakit. Buang air kecil pasien berwarna
seperti teh dan buang air besar berwarna putih seperti dempul atau kuning padat, keduanya
disertai dengan minyak berwarna kuning. Pasien memiliki kebiasaan merokok 2 bungkus
sehari sejak usia 13 tahun, konsumsi alkohol setiap hari terutama jenis bir dan arak hitam,
serta pernah mencoba narkoba jenis pil. Pasien memiliki 3 tatto buah tatto, di kaki kiri dan
dada kanan yang dibuat 2 tahun lalu dan di lengan kanan yang dibuat 1 tahun lalu. Pasien
juga mengaku sering makan makanan berlemak dan jarang berolahraga.
Pada awalnya pasien di diagnosa menderita Hepatitis B akut, hal ini didukung oleh
hasil HbsAg reaktif dan klinis pasien yang ikterik dengan nyeri perut kanan dan pembesaran
hepar. Melalui anamnesa juga didapatkan bahwa pasien memiliki 3 buah tattoo yang dapat
menjadi faktor transmisi virus hepatitis tersebut. Namun setelah dilakukan pemeriksaan
aminotransferase didapatkan SGOT dan SGPT yang seharusnya meningkat pada penyakit
hepatitis dalam batas normal. SGPT juga biasanya meningkat lebih dominan dibanding
SGOT, dimana pada pasien ini rasio SGOT justru lebih tiggi dibandingkan SGPT. Hal ini
mengindikasikan bahwa kemungkinan pasien mengalami kondisi hepatitis B kronik. Agar
dapat memastikan bahwa hepatitis yang diderita adalah hepatitis B kronik, perlu juga
dilakukan pemeriksaan Anti-Hbs, Anti-Hbc, HbeAg, Anti-Hbe dan DNA-VHB. (4)
Kolestasis pada pasien ini dapat bersifat intrahepatik maupun ekstrahepatik. Kedua
jenis kolestasis tersebut dapat menyebabkan keluhan pasien yang berupa ikterik, pruritus,
buang air kecil berwarna coklat seperti teh, dan buang air besar berwarna putih seperti
dempul. Pada kolestasis juga ditemukan enzim alkaline phosphatase yang meningkat (ALP)
Kolestasis intra hepatik pada pasien ini kemungkinan disebabkan oleh Alcoholic
Liver Disease (ALD). Hal ini didukung oleh adanya nyeri perut kanan atas tanpa adanya
murphy sign. Pasien juga memiliki faktor risiko untuk penyakit ini yaitu konsumsi alkohol
pasien yaang melebihi 60-80g per hari, sering mengonsumsi makanan berlemak dan jarang
berolahraga. Hasil pemeriksaan laboratorium juga menunjukan rasio SGOT : SGPT adalah
2:1 yang merupakan tanda khas dari ALD dan sirosis. USG pasien juga menunjukkan
adanya gambaran fatty liver yang merupakan salah satu bagian dan tahapan paling awal
terjadinya ALD. Namun untuk diagnosa pasti dari tahapan ALD ini diperlukan adannya
biopsi hepar. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat membantu diagnosis adalah adanya
peningkatan enzim gamma glutamyl transpeptidase (GGT).(5)
Sementara kolestasis ekstrahepatik kemungkinan dapat disebabkan oleh batu saluran
empedu (Koledokolitiasis), diagnosa ini didukung dengan anamnesa pemeeriksaan yang
menunjuk keluhan nyeri perut kanan hilang timbul dan menjalar hingga ke perut tengah serta
pinggang kanan yang merupakan tanda kolik bilier, keluhan khas dari adanya batu empedu.
Didapatkan juga adanya leukositosis yang mengindikasikan kemungkinan sudah terjadi
kolangitis. Pada hasil USG memang tidak ditemukan adanya batu, hal ini mugkin disebabkan
oleh batu saluran empedu terutama di duktus koledokus sering sulit terlihat.(6)
PASIEN
Anamnesis
KOLEDOKOLITIASIS /
KOLANGITIS
Anamnesis
DISEASE (ALD)
Anamnesis
Nyeri
kuadran
kanan Mual
atas/epigastrium
Kadang
menjalar
Pruritus
ke Demam subfebris
ALCOHOLIC LIVER
Mual muntah
mengandung minyak
Trias Charcot
mengandung minyak
Demam menggigil
Faktor risiko :
-
Faktor risiko :
Konsumsi
alkohol
setiap
dengan
Ikterus
putih
Badan & sklera ikterik
Faktor risiko:
Hepatomegali
Makanan berlemak
Murphy (-)
Pemeriksaan Fisik
Laboratorium
Hepatomegali
Hb: 11,9 g/dL
Murphy (+)
Leukosit: 12.540 /uL,
Laboratorium
Trombosit: 586.000 /uL
Leukositosis
Hematokrit: 34,1%
Bilirubin meningkat
ALP meningkat
hari
bir
-
Makanan berlemak
Pemeriksaan Fisik
Badan & sklera ikterik
Hepatomegali
Murphy (-)
Laboratorium
Leukositosis
Bilirubin meningkat
Direk > Indirek
SGOT & SGPT meningkat
sedang (<500 U/L)
USG: Terdapat fatty liver/
fibrosis
ALP & GGT meningkat
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 HEPAR
3.1.1 Anatomi
Hepar merupakan kelenjar yang terbesar dalam tubuh manusia. Hepar pada manusia
terletak pada bagian atas cavum abdominis, di bawah diafragma, di kedua sisi kuadran atas,
yang sebagian besar terdapat pada sebelah kanan. Beratnya 1200 1600 gram. Permukaan
atas terletak bersentuhan di bawah diafragma, permukaan bawah terletak bersentuhan di atas
organ-organ abdomen. Hepar difiksasi secara erat oleh tekanan intraabdominal dan
dibungkus oleh peritoneum kecuali di daerah posterior-superior yang berdekatan dengan
v.cava inferior dan mengadakan kontak langsung dengan diafragma. Bagian yang tidak
diliputi oleh peritoneum disebut bare area.(7-8)
Hepar memiliki dua sumber suplai darah dari saluran cerna dan limpa melalui vena
porta hepatica, dan dari aorta melalui arteri hepatica. Sekitar sepertiga darah yang masuk
adalah darah arteri dan dua pertiganya adalah darah vena dari vena porta. Volume total darah
yang melewati hepar setiap menitnya adalah 1.500 ml dan dialirkan melaui vena hepatica
kanan dan kiri, yang selanjutnya bermuara pada vena kava inferior.(9)
Vena porta bersifat unik karena terletak diantara dua daerah kapiler, yang satu terletak
dalam hepar dan lainnya dalam saluran cerna. Saat mencapai hepar, vena porta bercabangcabang yang menempel melingkari lobules hepar. Cabang-cabang ini kemudian
mempercabangkan vena-vena interlobularis yang berjalan diantara lempengan hepatosit dan
bermuara dalam vena sentralis. Vena sentralis dari beberapa lobules membentuk vena
sublobularis yang selanjutnya menyatu dan membentuk vena hepatica. Cabang-cabang
terhalus anteria hepatica juga mengalirkan darahnya ke dalam sinusoid, sehingga terjadi
campuran darah arteri dari arteria hepatica dan darah vena dari vena porta. Tekanan yang
meningkat dalam system portal adalah manifestasi lazim gangguan hepar dengan akibat
serius yang melibatkan pembuluh-pembuluh tempat darah portal berasal.(9)
3.1.2 Histologi
Selsel yang terdapat di hepar antara lain: hepatosit, sel endotel, dan sel makrofag
yang disebut sebagai sel kuppfer, dan sel ito (sel penimbun lemak). Sel hepatosit berderet
secara radier dalam lobulus hepar dan membentuk lapisan sebesar 1-2 sel serupa dengan
susunan bata. Lempeng sel ini mengarah dari tepian lobulus ke pusatnya dan beranastomosis
secara bebas membentuk struktur seperti labirin dan busa. Celah diantara lempeng-lempeng
ini mengandung kapiler yang disebut sinusoid hepar
Sinusoid
hepar
adalah
saluran
yang
berlikuliku
dan
melebar,
diameternya
tidak
teratur,
dilapisi
sel
endotel
bertingkat yang tidak utuh. Sinusoid dibatasi oleh 3 macam sel, yaitu sel endotel (mayoritas)
dengan inti pipih gelap, sel kupffer yang fagositik dengan inti ovoid, dan sel stelat atau sel
Ito atau liposit hepatik yang berfungsi untuk menyimpan vitamin A dan memproduksi
matriks ekstraseluler serta kolagen. Aliran darah di sinusoid berasal dari cabang terminal
vena portal dan arteri hepatik, membawa darah kaya nutrisi dari saluran pencernaan dan juga
kaya oksigen dari jantung.(11)
Traktus portal terletak di sudut-sudut heksagonal. Pada traktus portal, darah yang
berasal dari vena portal dan arteri hepatik dialirkan ke vena sentralis. Traktus portal terdiri
dari 3 struktur utama yang disebut trias portal. Struktur yang paling besar adalah venula
portal terminal yang dibatasi oleh sel endotel pipih. Kemudian terdapat arteriola dengan
dinding yang tebal yang merupakan cabang terminal dari arteri hepatik. Dan yang ketiga
adalah duktus biliaris yang mengalirkan empedu. Selain ketiga struktur itu, ditemukan juga
limfatik.(11)
3.1.3 Fisiologi (12-13)
Hepar merupakan pusat dari metabolisme seluruh tubuh, merupakan sumber energi
tubuh sebanyak 20% serta menggunakan 20 25% oksigen darah. Ada beberapa fung hepar
yaitu :
1.
Senyawa 2 karbon Active Acetate (dipecah menjadi asam lemak dan gliserol)
Pembentukan kolesterol
4.
5.
6.
7.
Fungsi hemodinamik
Hepar menerima 25% dari cardiac output, aliran darah hepar yang normal 1500 cc/
menit atau 1000 1800 cc/ menit. Darah yang mengalir di dalam a.hepatica 25% dan di
dalam v.porta 75% dari seluruh aliran darah ke hepar. Aliran darah ke hepar dipengaruhi
oleh faktor mekanis, pengaruh persarafan dan hormonal, aliran ini berubah cepat pada
waktu exercise, terik matahari, shock.Hepar merupakan organ penting untuk
mempertahankan aliran darah.
Korpus : Bagian dari kandung mepedu yang di dalamnya berisi getah empedu. Getah
empedu adalah cairan yang di ekskresi setiap hari oleh sel hati sebanyak 500-1000 cc,
sekresinya berjalan terus menerus dan produksi meningkat sewaktu mencerna lemak
Duktus sistikus : Panjangnya kurang lebih 3 cm, berjalan dari leher kandung
empedu dan bersambung dengan duktus hepatikus membentuk saluran empedu ke
duodenum. Bagian dari duktus sistikus yang berdekatan dengan bagian leher kandung
empedu terdiri dari lipatan-lipatan mulkosa yang disebut valvula heister. Valvula ini
tidak memiliki fungsi valvula, tetapi dapat membuat pemasukan kanul ke duktus
sistikus menjadi sulit
hepatika kanan. Lokasi arteri cystica dapat bervariasi tetapi hampir selalu di temukan di
segitiga hepatocystica, yaitu area yang di batasi oleh Ductus cysticus, Ductus hepaticus
communis dan batas hepar (segitiga Calot). Ketika arteri cystica mencapai bagian leher dari
kandung empedu, akan terbagi menjadi anterior dan posterior. Aliran vena akan melalui vena
kecil dan akan langsung memasuki hepar, atau lebih jarang akan menuju vena besar cystica
menuju vena porta. Aliran limfe kandung empedu akan menuju kelenjar limfe pada bagian
leher
Persyarafan kandung empedu berasal dari nervus vagus dan dari cabang simpatis
melewati pleksus celiaca. Tingkat preganglionik simpatisnya adalah T8 dan T9. Rangsang
dari hepar, kandung empedu, dan duktus biliaris akan menuju serat aferen simpatis melewati
nervus splanchnic memediasi nyeri kolik bilier. Cabang hepatik dari nervus vagus
memberikan serat kolinergik pada kandung empedu, duktus biliaris dan hepar
3.2.2 Histologi
Kandung empedu terdiri dari epitel columnar tinggi yang mengandung kolesterol dan
tetesan lemak. Mukus disekresi ke dalam kandung empedu dalam kelenjar tubuloalveolar
yang ditemukan dalam mukosa infundibulum dan leher kandung empedu, tetapi tidak pada
fundus dan corpus. Epitel yang berada sepanjang kandung empedu ditunjang oleh lamina
propria. Lapisan ototnya adalah serat longitudinal sirkuler dan oblik, tetapi tanpa lapisan
yang berkembang sempurna. Perimuskular subserosa mengandung jaringan penyambung,
syaraf, pembuluh darah, limfe dan adiposa. Kandung empedu ditutupi oleh lapisan serosa
kecuali bagian kandung empedu yang menempel pada hepar. Kandung empedu di bedakan
secara histologis dari organ-organ gastrointestinal lainnya dari lapisan muskularis mukosa
dan submukosa yang sedikit.
3.2.3 Fisiologi
Susunan Getah Empedu
Cairan bersifat alkali yang disekresikan oleh sel hati, jumlah produksi: 500-1000 cc/hr.
Sekresi ini dipercepat bila terjadi pencernaan lemak. 80% getah empedu terdiri dari air,
garam empedu, pigment, cholesterol, musin dan zat-zat lain. Pigment empedu terbentuk
dalam system reticule endothelium yang berasal dari pecahan hemoglobin eritrosit yang
rusak dan disalurkan ke hati.
Fungsi Getah Empedu
Saat pencernaan lemak terjadi, lemak dipecahkan dalam bagian - bagian kecil dan
membantu kerja lipase, sifatnya alkali untuk menetralkan makanan yang bersifat asam
dari lambung.
Pigment empedu: Masuk ke usus halus menjadi sterkobilin, memberi warna feces,
sebagian diabsobsi kembali oleh aliran darah dan membuat warna pada urine yaitu
urobilin.
Garam Empedu: bersifat digestive dalam melancarkan ensim lipase untuk memecah
lemak dan membantu absorbsi lemak yang telah di cerna (glycerin dan asam lemak)
dengan cara menurunkan tegangan permukaan dan memperbesar daya tembus
endothelium yang menutupi villi usus.
3.3 BILIRUBIN
3.3.1 Metabolisme Bilirubin
Bilirubin merupakan produk pemecahan hemoglobin normal yang dihasilkan dari sel
eritrosit tua (berusia 120 hari), cincin heme setelah dibebaskan dari besi, dan globin oleh
sistem retikuloendotelial, yang diubah menjadi biliverdin yang berwarna hijau. Selanjutnya
biliverdin berubah menjadi bilirubin yang berwarna kuning. Bilirubin tak terkonjugasi yang
tidak larut air ini
bilier. Ikterus disebabkan oleh gangguan pada salah satu dari 5 fase metabolisme bilirubin
tersebut.(14)
Fase Pre-hepatik
Fase prehepatik atau hemolitik yaitu menyangkut ikterus yang disebabkan oleh hal-hal yang
dapat meningkatkan hemolisis (rusaknya sel darah merah)
Pembentukan Bilirubin. Sekitar 250 sampai 350 mg bilirubin atau sekitar 4 mg/kg BB
terbentuk setiap harinya; 70-80% berasal dari pemecahan sel darah merah yang
matang
protein heme lainnya yang berada terutama dalam sumsum tulang dan hati.
Peningkatan hemolisis sel darah merah merupakan penyebab utama peningkatan
pembentukan bilirubin.
Transport plasma. Bilirubin tidak larut dalam air, karenanya bilirubin tak terkojugasi
ini transportnya dalam plasma terikat dengan albumin dan tidak dapat melalui
membran gromerolus, karenanya tidak muncul dalam air seni.
Fase Intra-hepatik
Fase intrahepatik yaitu menyangkut peradangan atau adanya kelainan pada
hati yang
Liver uptake. Pengambilan bilirubin melalui transport yang aktif dan berjalan cepat,
namun tidak termasuk pengambilan albumin.
Konjugasi. Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami konjugasi
dengan asam glukoronik membentuk bilirubin diglukuronida / bilirubin konjugasi /
bilirubin direk. Bilirubin tidak terkonjugasi merupakan bilirubin yang tidak larut
dalam air kecuali bila jenis bilirubin terikat sebagai
amfipatik seperti albumin. Karena albumin tidak terdapat dalam empedu, bilirubin
harus dikonversikan menjadi derivat yang larut dalam air sebelum diekskresikan oleh
sistem bilier. Proses ini terutama dilaksanakan oleh konjugasi bilirubin pada asam
glukuronat hingga terbentuk bilirubin glukuronid / bilirubin terkonjugasi / bilirubin
direk.
Fase Post-hepatik
Fase post-hepatik yaitu menyangkut penyumbatan saluran empedu di luar hati oleh batu
empedu atau tumor
menjadi
dalam parenkim hepar. Pada kanalikuli terdapat sumbatan empedu yang berwarna coklat
kehijauan. Jika kanalikuli pecah, akan terjadi ekstravasasi empedu yang kemudian difagosit
oleh sel Kupffer. Akumulasi pigmen empedu juga dapat terjadi di dalam hepatosit,
menyebabkan hepatosit menunjukkan feathery degeneration.
Terdapat perbandingan antara parenkim hepar normal dengan kolestasis. Keadaan
yang umum ditemukan pada kolestasis hepatoseluler antara lain hepatosit yang membesar
karena akumulasi pigmen empedu. Ruang kanalikuli juga membesar karena penumpukan
pigmen. Sel-sel yang sudah sangat rusak dapat ditemukan sedang mengalami apoptosis. Sel
Kupffer dapat ditemukan berisi pigmen empedu yang keluar.
Keadaan yang umum terdapat pada kolestasis obstruktif antara lain pada ada hepar
yang mengalami kolestasis, akan terjadi proliferasi duktus bilier dan retensi pigmen empedu.
Hepatosit di sekitar daerah portal akan menglami edema dan degenerasi. Selain itu terdapat
infiltrasi neutrofil periduktular.
Obstruksi saluran bilier, baik intra- maupun ekstrahepatik, akan menyebabkan
distensi pada duktus dan duktulus yang terletak lebih proksimal oleh empedu. Stasis tersebut,
dan tekanan yang disebabkannya, akan merangsang proliferasi epitel duktus. Berbeda dengan
reaksi duktulus pada nekrosis hepar, proliferasi duktulus pada obstruksi terbatas pada daerah
portal saja. Duktulus yang berproliferasi berfungsi untuk reabsorpsi garam empedu untuk
melindungi duktus yang berada distal.
Selain menyebabkan feathery degeneration, kolestasis obstruktif yang berkepanjangan dapat
menyebabkan disolusi hepatosit terfokus sehingga muncul danau empedu berisi pigmen dan
debris sel. Lama-kelamaan akan terjadi fibrosis portal yang awalnya masih mempertahankan
arsitektur parenkim hepar. Akhirnya dapat terjadi sirosis hepar yang ditandai dengan warna
empedu.
3.4.4 Klasifikasi (15)
Kolestasis Intrahepatik
Aliran empedu dapat terganggu pada tingkat mana saja dari mulai sel hati(kanalikulus),
sampai ampula Vater. Penyebab tersering kolestatik intra hepatik adalah hepatitis, keracunan
obat, penyakit hati karena alkohol dan penyakit autoimun. Penyebab yang utama yang sering
adalah sirosis hati bilier primer, kolestasis pada kehamilan, karsinoma metastatik dsb.
Virus hepatitis, alkohol, keracunan obat ( drug induced hepatitis), dan kelainan
autoimun merupakan penyebab yang tersering. Peradangan intrahepatik mengganggu
transport bilirubin konjugasi dan menyebabkan ikterus. Hepatitis A merupakan penyakit self
limited dan dimanifestasikan dengan adanya ikterus yang timbul secara akut. Hepatitis B dan
C akut sering tidak menimbulkan ikterus pada tahap awal (akut), tetapi bisa berjalan kronik
dan menahun dan mengakibatkan gejala hepatitis menahun atau bakan sudah menjadi sirosis
hati. Tidak jarang penyakit hati menahun juga disertai gejala kuning, sehingga kadangkadang didiagnosis salah sebagai penyakit hepatitis akut.
Alkohol bisa mempengaruhi gangguan pengambilan empedu dan sekresinya, dan
mengakibatkan kolestasis. Pemakaian alkohol secara terus menerus
bisa menimbul
perlemakan (steatosis), hepatitis, dan sirosi dengan berbagai tingkat ikterus. Perlemakan hati
merupakan penemuan yang sering, biasanya dengan manifestasi ringan tanpa ikterus, tetapi
kadang-kadang bisa menjurus ke sirosis. Hepatitis karena alkohol biasanya memberi gejala
ikterus sering timbul akut dan dengan keluhan dan gejala yang lebih berat. Jika ada nekrosis
sel hati ditandai dengan peningkatan transaminase yang tinggi.
Kolestasis Ekstrahepatik
Penyebab paling sering pada kolestasis ekstrahepatik adalah batu duktus koledukus dan
kanker pankreas. Penyebab lainnya yang relatif lebih jarang adalah striktur jinak (operasi
terdahulu) pada duktus koleduktus, karsinoma duktus koledokus, pankreatitis atau
pseudocyst pankrkeas dan kolangitis sklerosing. Kolestasis mencerminkan kegagalan sekresi
empedu. Mekanismenya sangat kompleks, bahkan juga pada obstruksi mekanis empedu.
Efek patofisiologi mencerminkan efek backup konstituen empedu ( yang terpenting bilirubin,
garam empedu, dan lipid ) kedalam sirkulasi sistemik dan kegagalannya untuk masuk usus
halus untuk ekskresi. Retensi bilirubin menghasilkan campuran hiperbilirubinemia dengan
kelebihan bilirubin konjugasi masuk kedalam urin. Tinja sering berwarna pucat karena lebih
sedikit yang bisa mencapai saluran cerna usus halus. Peningkatan garam empedu dalam
sirkulasi selalu diperkirakan sebagai penyebab keluhan gatal (pruritus), walaupun sebenarnya
hubungannya belum jelas sehingga patogenesis gatal masih belum bisa diketahui secara
pasti.
Garam empedu dibutuhkan untuk penyerapan lemak, dan vitamin K, gangguan eksresi
garam empedu dapat berakibat steatorrhea dan hipoprotrombinemia. Pada keadaan kolestasis
yang berlangsung lama, gangguan penyerapan Ca dan vitamin D serta vitamin lain yang larut
lemak dapat terjadi dan dapat menyebabkan osteoporosis atau osteomalasia. Retensi
kolesterol dan fosfolipid mengakibatkan hiperlipidemia, walaupun sintesis kolesterol dihati
dan esterifikasi yang berkurang dalam darah turut berperan. Konsentrasi trigliserida tidak
berpengaruh. Lemak beredar dalam darah sebagai lipoprotein densitas rendah yang unik dan
abnormal yang disebut sebagai lipoprotein X.
3.4.5 Diagnosis
Riwayat penyakit yang rinci dan pemeriksaan fisik sangat penting untuk menegakkan
diagnosis penyakit dengan keluhan ikterus. Tahap awal ketika akan mengadakan penilaian
klinis seorang pasien dengan ikterus adalah tergantung kepada apakah hiperbilirubinemia
bersifat konjugasi atau tak terkonjugasi. Jika ikterus ringan tanpa warna air seni yang gelap
harus difikirkan kemungkinan adanya hiperbilirubinemia indirect yang mungkin disebabkan
oleh hemolisis, sindroma Gilbert atau sindroma Crigler Najjar, dan bukan karena penyakit
hepatobilier. Keadaan ikterus
menandakan penyakit hati atau bilier. Jika ikterus berjalan sangat progresif perlu difikirkan
segera bahwa kolestasis lebih bersifat ke arah sumbatan ekstrahepatik (batu saluran empedu
atau keganasan kaput pankreas).
Kolestasis ekstrahepatik dapat diduga dengan adanya
kandung empedu yang teraba. Jika sumbatan karena keganasan pankreas (bagian
kepala/kaput) sering timbul kuning yang tidak disertai gajala keluhan sakit perut (painless
jaundice). Kadang-kadang bila bilirubin telah mencapai kadar yang lebih tinggi, warna
kuning pada sklera mata sering memberi kesan yang berbeda dimana ikterus lebih memberi
kesan kehijauan (greenish jaundice) pada kolestasis ekstrahepatik dan kekuningan (yellowish
jaundice) pada kolestasis intrahepatik.
Diagnosis yang akurat untuk suatu gejala ikterus dapat ditegakkan melalui
penggabungan dari gejala-gajala lain yang timbul dan hasil pemeriksaan fungsi hepar serta
beberapa prosedur diagnostik khusus. Sebagai contoh, ikterus yang disertai demam, dan
terdapat fase prodromal seperti anoreksia, malaise, dan nyeri tekan hepar menandakan
hepatitis. Ikterus yang disertai rasa gatal menandakan kemungkinan adanya suatu penyakit
xanthomatous atau suatu sirosis biliary primer. Ikterus dan anemia menandakan adanya suatu
anemia hemolitik. Berikut adalah beberapa temuan klinis dan laboratorium yang dapat
digunakan untuk menegakkan diagnosis ikterus.8
3.5 KOLELITIASIS
3.5.1 Definisi
Kolelitiasis adalah istilah medis untuk batu empedu. Kolelitiasis disebut juga batu
empedu, gallstone, atau kalkulus biliaris. Batu empedu merupakan gabungan dari beberapa
unsur yang membentuk suatu material batu yang dapat ditemukan dala kandung empedu
(kolesistolitiasis) atau dalam saluran empedu (koledokolitiasis) atau pada kedua duanya.
Koledokolitiasis biasanya terjadi saat batu empedu keluar dari kandung empedu dan masuk
ke traktus biliaris.
Kolangitis akut merupakan superimposa infeksi bakteri yang terjadi pada obstruksi
saluran bilier, terutama yang ditimbulkan oleh batu empedu, namun dapat pula ditimbulkan
oleh neoplasma ataupun striktur.
3.5.2 Epidemiologi
Batu empedu banyak ditemukan pada wanita dan makin bertambah dengan
meningkatnya usia. Faktor genetik juga terlibat pada pembentukan batu empedu yang di
buktikan oleh prevalensi batu empedu yang tersebar luas di antara berbagai bangsa dan
kelompok etnik tertentu. Walaupun demikian, akhir-akhir ini batu cholesterol meningkat di
Asia dan Afrika, terutama di jepang ketika terjadi westernisasi pola diet dan gaya hidup.(16)
3.5.3 Faktor Risiko(16)
Faktor-faktor risiko penyebab Kolelitiasis, antara lain:
Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena Kolelitiasis dibandingkan dengan
pria, ini dikarenakan oleh hormon progesteron menyebabkan gangguan pengosongan
kandung empedu dan bersama estrogen meningkatkan litogenesis cairan empedu pada
kehamilan. Pemberian estrogen secara farmakologik juga menambah resiko pembentukan
batu empedu
Umur
Resiko untuk terkena Kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang
dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena Kolelitiasis dibandingkan dengan
orang yang usia lebih muda.
Berat Badan
Orang dengan berat badan tinggi mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadi
Kolelitiasis, ini dikarenakan dengan tingginya Body Mass Index (BMI) maka kadar
kolestrol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurangi garam empedu serta
mengurangi kontraksi atau pengosongan kandung empedu
Makanan
Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat mengakibatkan gangguan
terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung
empedu
Genetik
Orang dengan riwayat keluarga Kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar dibandingkan
dengan tanpa riwayat keluarga
Infeksi
Bakteri dalam saluran empedu dapat berperan dalam pembentukan batu, mucus
meningkatkan viskositas empedu dan unsur sel atau bakteri dapat berperan sebagai pusat
presipitasi
3.5.4 Patofisiologi
Batu di kandung empedu umumnya tidak menunjukkan simtom (silent gall stones)
kecuali bila batu tersebut migrasi ke leher kandung empedu atau ke dalam duktus koledokus.
Diperkirakan 60-80% dari batu empedu adalah asimtomatis. Migrasi batu ke dalam leher
kandung empedu akan menyebabkan obstruksi dari duktus sistikus yang akan mengakibatkan
iritasi kimiawi dari mukosa kandungan empedu oleh cairan empedu yang. Tertinggal, diikuti
oleh invasi bakteri. Hal ini akan mengakibatkan kolesistitis akut dan kronik. Kolesistitis akut
dapat perlahan-lahan menyembuh atau berkembang ke gangren akut dan perforasi dari dari
kandung empedu ke empiema.
Bila terjadi perforasi kandung empedu, akibatnya tergantung pada hubungan anatomi
dengan struktur didekatnya. Batu tersebut dapat terlokalisasi dan membentuk abses, dapat
pula berupa perforasi bebas dengan peritonitis atau dapat berhubungan dengan organ
berongga dan timbul fistula. Suatu perforasi local dengan tumpahannya yang dibatasi dan
tertutup rapat oleh omentum dan melekat dengan organ yang disebelahnya merupakan
bentuk perforasi yang paling sering kali ditemukan, terbentuklah abses perikolesistik. Bila
serangan akut mereda secara spontan, perubahan-perubahan inflamasi yang kronik menetap
dengan berikutnya diikuti eksaserbasi akut. Kolesistitis kronik dapat tenang, tetapi biasanya
terdapat simtom dyspepsia. Batu empedu dapat bermigrasi dari kandung empedu yang
meradang secara akut atau kronik ke organ di dekatnya. Batu juga dapat keluar melalui tinja
atau tersangkut di saluran makanan dan menyebabkan illeus batu empedu, biasanya batu
tersebut berdiameter >2,5cm dan tersangkut di valvula ileosekal. Batu yang memasuki
duktus koledokus dapat menyebabkan obstruksi duktus koledokus dengan ikterus
intermitten, kolangitis atau pankreatitis akut bilier bila menyumbat papilla vateri terutama
batu-batu kecil (mikrolitiasis). Kolangitis yang terjadi dapat naik ke hepar dan menimbulkan
abses. Bila kandung empedu perforasi ke usus halus didekatnya, serangan kolesistitis akut
Supersaturasi kolesterol
Batu pigmen
Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis baru empedu yang mengandung <20%
kolesterol. Jenisnya antara lain:
Batu campuran
Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana mengandung 20-50% kolesterol.
3.5.6 Manifestasi Klinis
A. Manifestasi batu kandung empedu (Kolesistolitiasis)
Kalau ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi, seperti
kolesistitis akut dgn peritonitis lokal atau umum, hidrops kandung empedu, empiema
kandung empedu, atau pankreatitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan
punktum maksimum didaerah letak anatomi kandung empedu. Tanda murphy positif apabila
nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik napas panjang karena kandung empedu
yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik napas.
B. Manifestasi batu saluran empedu (Koledokolitiasis)
Batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala atau tanda dalam fase tenang.
Kadang teraba hepar agak membesar dan sclera ikterik.. Apabila sumbatan saluran empedu
bertambah berat, baru akan timbul ikterus klinis. Apabila timbul serangan kolangitis yg
umumnya disertai obstruksi, akan ditemukan gejala klinis yang sesuai dengan beratnya
kolangitis tersebut.
Kolangitis akut yang ringan sampai sedang biasanya kolangitis bakterial nonplogenik
yang ditandai dengan trias Charcot yaitu demam dan menggigil, nyeri didaerah hepar, dan
ikterus. Apabila terjadi kolangiolitis biasanya berupa kolangiti piogenik intrahepatik, akan
timbul 5 gejala pentaderainold, berupa 3 gejala trias charcot ditambah syok, dan kekacauan
mental atau penurunan kesadaran sampai koma. Kalau ditemukan riwayat kolangitis yang
hilang timbul, harus dicurigai kemungkinan hepatolitiasis.(18)
3.5.7 Pemeriksaan Penunjang(6,19)
A. Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan pada
pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Kadar
bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar
fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang
setiap setiap kali terjadi serangan akut
Alkali fosfatase merupakan enzim yang disintesis dalam sel epitel saluran empedu.
Pada obstruksi saluran empedu, aktivitas serum meningkat karena sel duktus meningkatkan
sintesis enzim ini. Kadar yang sangat tinggi, menggambarkan obstruksi saluran empedu
B. Ultrasonografi (USG)
Merupakan sarana diagnosis pencitraan pilihan dan pemeriksaan rutin untuk menilai
penyakit batu empedu. Hepar dan pancreas juga secara rutin di evaluasi. Sensitivitas untuk
mendeteksi batu kandung empedu lebih dari 96%.Penemuan yang khas berupa focus
ekogenik di sertai bayangan akustik. USG juga akan menampakkan ketebalan dinding,gas
intramural dan pengumpulan cairan perikoleistik.cairan per kolesistik dan gas intramural
sangat spesifik untuk kolesistitis akut. USG dapat juga secara akurat mengidentifikasi
pelebaran saluran empedu baik intra dan ekstrahepatik, selain juga lesi parenkim hepar atau
pancreas. Batu di koledokus bisa juga terlihat dengan USG walaupun sensitivitas tidak lebih
dari 50%, ketiadaan gambaran sonografi batu pada duktus koledokus tidak menyingkirkan
kemungkinan adanya batu koledokus.Keterbatasan relative dari USG adalah ketergantungan
ketelitian diagnosis pada ketrampilan dari operator,pasien gemuk dan adanya gas di usus
memberikan bayangan kurang baik.
C. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
Pada ERCP, suatu endoskop dimasukkan melalui mulut, kerongkongan, lambung dan
ke dalam usus halus. Zat kontras radioopak masuk ke dalam saluran empedu melalui sebuah
selang di dalam sfingter oddi. Pada sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak lebar sehingga
batu empedu yang menyumbat saluran akan berpindah ke usus halus. ERCP dan
sfingterotomi telah berhasil dilakukan pada 90% kasus. Kurang dari 4 dari setiap 1.000
penderita yang meninggal dan 3-7% mengalami komplikasi, sehingga prosedur ini lebih
aman dibandingkan pembedahan perut. ERCP saja biasanya efektif dilakukan pada penderita
batu saluran empedu yang lebih tua, yang kandung empedunya telah diangkat.
D. Pemeriksaan Radiologis
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya
sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu
yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos.
Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung
empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan
gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatika.
3.5.8 Penatalaksanaan
Asimtomatis
Belum terdapat bukti yang mendukung intervensi bedah pada kasus asimtomatis.
Risiko operasi dianggap lebih besar dibandingkan manfaatnya. Tatalaksana berupa intervensi
gaya hidup, antara lain olahraga, menurunkan berat badan dan diet rendah kolesterol
Simtomatis
Pilihan terapi utama berupa intervensi bedah atau prosedur invasif minimal untuk
mengeluarkan batu. Terapi farmakologis masih belum menunjukkan efikasi yang bermakna.
3.5.9 Prognosis
Pada 2-6 % penderita,saluran menciut kembali dan batu empedu muncul lagi.batu
kandung empedu tidak dapat diangkat melaluiprosedur ERCP. ERCP saja biasanya efektif
dilakukan pada penderita batu saluran empedu yang lebih tua,yang kandung empedunya
telah diangkat.
3.6 ALCOHOLIC LIVER DISEASE (ALD)
3.6.1 Definisi
Alcoholic Liver Disease (ALD) merupakan konsekuensi serius dan berpotensi fatal
dari minum alkohol. ALD meliputi tiga kondisi: fatty liver, hepatitis alkoholik, dan sirosis.
Fatty liver atau steatosis adalah gangguan hepar akibat alkohol paling umum, yang ditandai
dengan akumulasi lemak berlebihan di dalam sel-sel hepar. Hepatitis alkoholik adalah
peradangan dan cedera lebih parah dari hepar, di mana sistem kekebalan tubuh merespon dan
menyebabkan kerusakan hepar. Pada sirosis, sel-sel hepar yang normal digantikan oleh
jaringan parut dan akibatnya hepar tidak dapat melakukan banyak fungsi biasa.(4)
3.6.2 Faktor Risiko
Perlemakan hepar muncul pada >90% oeminum alkohol kronik. Namun hanya 1020% dari alkoholik yang berkembang menjadi hepatitis alkoholik, Proses perkembangan
tersebut dipengaruhi frekuensi, diet, dan jenis kelamin. Ambang batas konsumsi alkohol
sebagai factor risiko pada ALD adalah lebih dari 60-80 g alkohol per hari selama 20 tahun.
Sedangkan pada perempuan, hanya dengan konsums 20-40 g per hari dapat meningkatkan
risiko kerusakan hepar dengan derajat yang sama. Konsumsi hingga 25 kali lipat. Jenis
alkohol yang dikonsumsi juga dapat berpengaruh dalam risiko terjadinya penyakit tersebut.(4)
3.6.3 Patofisiologi
Hepar dan saluran pencernaan, adalah situs utama metabolisme alkohol. Dalam hepar
ada 2 jalur utama metabolisme alkohol: Alkohol dehidrogenase dan sitokrom P-450 (CYP)
2E1. Alkohol dehidrogenase adalah enzim sitosol hepatosit yang mengubah alkohol menjadi
asetaldehida. Asetaldehida kemudian dimetabolisme menjadi asetat dengan bantuan enzim
mitokondria yaitu asetaldehida dehidrogenase. CYP2E1 juga mengubah alkohol menjadi
asetaldehida.
Kerusakan hepar terjadi melalui beberapa jalur yang saling terkait. Alkohol
dehidrogenase dan asetaldehida dehidrogenase menyebabkan pengurangan Nicotinamide
Adenin Dinukleotida (NAD) ke NADH (bentuk tereduksi NAD). Perubahan rasio NAD :
NADH dapat menginduksi terjadinya fatty liver melalui penghambatan glukoneogenesis dan
oksidasi asam lemak. CYP2E1, yang meningkat pada penggunaan alkohol kronis,
menghasilkan radikal bebas melalui oksidasi Nicotinamid Adenin Dinukleotida Fosfat
(NADPH) menjadi NADP. Penggunaan alkohol kronis juga dapat mengaktifkan makrofag
hepar, yang kemudian menghasilkan TNF-alfa. TNF-alfa menginduksi mitokondria untuk
meningkatkan produksi spesi oksigen reaktif. Stres oksidatif ini menginduksi terjadinya
nekrosis dan apoptosis dari hepatosit. Selain itu, radikal bebas tersebut juga memulai
peroksidasi lipid, yang menyebabkan peradangan dan fibrosis.(19-20)
3.6.4 Manifestasi Klinis
A. Fatty Liver
Pasien dengan fatty liver biasanya yang baik asimtomatik atau hadir dengan gejala
nonspesifik yang tidak menyarankan penyakit hepar akut.
B. Hepatitis alkohol
Hepatitis alkohol adalah sindrom dengan berbagai tingkat keparahan, sehingga gejala
yang terlihat juga bervariasi. Gejala mungkin spesifik dan ringan seperti anoreksia dan
penurunan berat badan, sakit perut dan distensi, atau mual dan muntah. Sedangkan gejala
yang lebih berat dapat berupa ensefalopati dan gagal hepar. Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan hepatomegali, ikterus, asites, angioma laba-laba, dan demam.(21)
C. Sirosis Alkoholik
Sirosis alkoholik dapat bermanifestasi dengan kegagalan organ tanpa riwayat fatty
liver atau hepatitis alkoholik. Namun, sirosis alkoholik juga dapat didiagnosis bersamaan
dengan hepatitis alkoholik. Gejala dan tanda-tanda dari sirosis alkoholik tidak membantu
untuk membedakannya dari penyebab lain dari sirosis. Pasien mungkin datang dengan gejala
ikterik, pruritus, hasil laboratorium abnormal (misalnya, trombositopenia, hipoalbuminemia,
koagulopati), atau komplikasi dari hipertensi portal, seperti perdarahan varises, ascites, atau
ensefalopati hepatik.
USG hepar dapat menunjukkan gambaran sirosis dan hipertensi portal, seperti
nodularitas hati, lamban atau terbalik aliran vena portal, splenomegali, atau varises intraabdominal. Petunjuk menunjuk ke arah alkohol sebagai etiologi sirosis adalah rasio SGOT :
SGPT lebih besar dari 2 atau bukti hepatitis alkoholik, baik yang diduga oleh fitur klinis atau
dikonfirmasi pada biopsi hati.(21)
3.6.5 Pemeriksaan Penunjang
Globulin meningkat
3.6.6 Penatalaksanaan
Non medikamentosa
Medikamentosa
Terapi farmakologi yang terbukti mengurangi inflamasi di hepar adalah golongan
tiazolidinedion (TZD). Koritikosteroid juga terbukti dapat menguragi gejala hepatitis
alkoholik berat dengan dosis prednisolone 40 mg/hari atau methylprednisolone 28 mg/day
selama 28 hari
BAB IV
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1.
Ghany M, Hoofnagle JH. Approach to the patient with liver disease. In: Kasper DL,
Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, editors. Harrisons
principle of internal medicine. 16th ed. United States: McGraw-Hill; 2005. p. 1870.
2.
European Association for the Study of the Liver. EASL clinical practice guidelines:
Management of cholestatic liver diseases. J Hepatol. 2009;51:237-67.
3.
4.
Tanto C, et al. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II Edisis IV. Jakarta: Media
Aesculaspius.
5.
Cohen JA, Kaplan MM. The SGOT/SGPT ratio an indicator of alcoholic liver
disease. Dig Dis Sci. 1979 Nov;24(11):835-8
6.
7.
Sherlock,S. Anatomi dan Fungsi. In : Penyakit Hati dan Sistem Saluran Empedu.
Widya Medika. Jakarta; 1990. Hal : 1-35.
8.
Kahle, W. Sismtem Pencernaan. In : Atlas Berwarna & Teks Anatomi Manusia AlatAlat Dalam. Hipokrates. Jakarta ; 1995. Hal : 234 238.
9.
Price, S.A. RN. PhD. Gangguan hepar, Kandung Empedu, dan Pankreas Patofisiolegi.
Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Jakarta; 2003. Hal : 482.
10.
11.
Junqueira, et al. Junqueira's Basic Histology: Text and Atlas. Thirteenth Edition.
America: Lange. 2013.
12.
Guyton C. Artur, M.D. Hepar Sebagai Suatu Organ. In Fisiologi Kedokteran. Edisi 9.
Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Jakarta ; 1997. Hal : 1103 1109.
13.
Ganong, F.W. MD. Liver and Biliary System. In Rview of Medical Physiology.
Twenty-Second Edition. The McGraw-Hill Companies. United Stated of America; 2005.
Hal : 499 504.
14.
Sudoyo, Aru W dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 edisi V. Jakarta :
Interna Publishing.
15.
medicine
and
Pharmacy.
http://www.chsjournal.org/files/PDF_CHSJ/2011/2/CHSJ_2011.2.08.pdf
16.
17.
Lesmana L. Batu Empedu dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi IV.Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.479 481
18.
Axon A.T.R., and Lobo A.J. 1990 Diagnosis and therapy of Acute Cholangitis, dari
Current T opics in Gastroenterology and Hepatology, Editor G.N.J., Tytgat, M. van
Blankenstein, hal. 88-95, George Thieme Verlag, Stuttgart
19.
Connors, P.J., and Carr-Locke, D.L. 1991 Endoscopic Retrograde Cholangiography Findings and Endoscopic Sphincterotomy for Cholangitis and Pancreatitis, dari
Gastrointestinal Endoscopy Clinics of North America, 1-1: 27-50, W .B. Saunders,
Philadelphia
20.
Stewart S, Jones D, Day CP: Alcoholic liver disease: New insights into mechanisms
and preventative strategies. Trends Mol Med 2001;7(9):408-413.
21.
22.
Maddrey WC: Alcoholic hepatitis: Clinicopathologic features and therapy. Semin Liv
Dis 1998;8(1):91-102.