Anda di halaman 1dari 14

PENILAIAN PRA-OPERASI DAN EVALUASI

Sering diabaikan oleh ahli bedah, penilaian preoperatif merupakan salah satu
komponen yang paling penting untuk perencanaan kesuksesan operasi. Evaluasi pra
operasi dimulai dari riwayat dan pemeriksaan terperinci Semua obat, termasuk
suplemen herbal dan dosisnya, harus dicatat. Sebuah hal yang bijaksana untuk
membahas penggunaan obat terlarang, konsumsi alkohol, dan penggunaan
tembakau kebiasaan social seperti ini dapat mempengaruhi anestesi dan hasil
pasca operasi. Kapasitas fungsional dapat dinilai dengan pertanyaan tentang
aktivitas hidup sehari-hari. Pasien yang bisa menaiki tangga atau berjalan beberapa
blok mengeluarkar empat kali lipat atau lebih metabolic equivalent (MEFs) dan
biasanya tidak memerlukan pemeriksaan jantung lanjut (Tabel 2.1) (1). Namun,
pasien yang hanya dapat memakai bajunya sendiri membutuhkan penilaian jantung
sebelum tindakan operasi (2). Berdasarkan informasi yang dikumpulkan pada
kunjungan awal ini, status kesehatan pasien secara keseluruhan dapat dinilai dan
penilaian selanjutnya akan dilakukan sesuai kebutuhan.
Tujuan dari penilaian pra operasi adalah untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko
untuk terjadi komplikasi perioperatif dan bekerja untuk membatasi risiko sebelum
operasi. Penilaian yang paling penting adalah komponen penilaian jantung. The
American College of Cardiology (ACC) dan American Heart Association (AHA)
menciptakan sebuah kelompok kerja pada tahun 1997 untuk mengembangkan
pedoman perioperatif. Pedoman tersebut diperbarui pada tahun 2007 dan
menghasilkan sebuah pedoman untuk mengevaluasi status jantung sebelum
operasi noncardiac (1). Pedoman dirangkum dalam f ormat algoritma (Gambar. 2 .1)
(1). Keputusan primer terbatas pada dua pertanyaan yakni apakah penting untuk
pasien menjalani evaluasi jantung tambahan sebelum operasi, dan
apakah
penggunaan beta-blocker perioperatif diindikasikan untuk mengurangi risiko
komplikasi jantung?
Sementara algoritma dianggap rumit awalnya, namun sebenarnya algoritma
tersebut merupakan alat yang sangat sederhana untuk menjawab pertanyaanpertanyaan ini dengan cepat. Langkah pertama adalah untuk mengidentifikasi
urgensi prosedur, sebagai hal prosedur atau lebih mendesak yang tidak dapat
ditunda untuk evaluasi jantung menyeluruh dan mungkin revaskularisasi. Langkah
selanjutnya adalah menentukan risiko prosedur yang dilakukan. Untuk sebagian
besar kasus THT, risiko akan rendah sampai menengah sementara kategori risiko
tinggi umumnya terjadi pada operasi vaskular. Setelah langkah-langkah ini selesai,
status fungsional dan gejala pasien serta riwayat kesehatan masa lalu digunakan
untuk menentukan kebutuhan untuk penilaian jantung pra operasi lebih lanjut,
seperti uji stress dan potensi rujukan untuk evaluasi kardiologi formal. Algoritma ini
menggunakan lima faktor risiko klinis yakni sejarah penyakit jantung iskemik,
pernah atau sedang gagal jantung terkompensasi, diabetes mellitus, penyakit ginjal
kronis, dan stroke. Kelima risiko itu digunakan untuk mengidentifikasi dan
stratifikasi risiko pasien untuk komplikasi jantung. Selain itu, gejala aktif iskemia

miokard, aritmia jantung, penyakit katup jantung, atau gagal jantung dekompensasi
harus segera dilakukan rujukan ke kardiologi formal.
Pada ACC / AHA, EKG harus dilakukan pada semua pasien dengan riwayat penyakit
arteri koroner, penyakit pembuluh darah perifer, atau gagal jantung kongestif yang
sedang menjalani operasi kepala dan leher. Saat ini, tidak ada konsensus tentang
usia minimum di mana EKG harus rutin dilakukan. Jika kelainan diidentifikasi pada
EKG, maka cepat dilakukan rujukan ke subspesialis kardiologi untuk evaluasi lebih
lanjut.
Perioperatif beta-blokade telah terbukti mengurangi kejadian risiko jantung
perioperatif pada pasien dengan salah satu dari lima faktor risiko klinis yang
tercantum sebelumnya. Beta-bloker harus dipertimbangkan pada pasien risiko
tinggi bahkan dalam operasi darurat. Biasanya pasien dengan kondisi medis kronis
yang mempengaruhi mereka untuk terjadi penyakit jantung akan memiliki dokter
penyakit dalamyang dapat membantu dalam proses pengambilan keputusan ketika
operasi dilakukan secara elektif.
Setelah penilaian jantung, faktor paling penting berikutnya dalam manajemen pra
operasi adalah evaluasi paru. Pasien dengan riwayat penyakit paru restriksi atau
obstruktif, perokok jangka panjang, pasien tergantung oksigen, dan atau pasien
dengan riwayat infeksi pernafasan atas perlu pemeriksaan paru lanjut. Penilaian
paru termasuk rontgen dada, analisis gas darah arteri, atau pengujian fungsi paru
adalah contoh dari tes rutin yang diperlukan untuk penilaian dan manajemen risiko
pra operasi. Pasien dengan penyakit paru-paru kronis perlu evaluasi terperinci dan
rekomendasi untuk manajemen perioperatif dari subspesialis paru (3).
Fungsi ginjal dan hati juga mempengaruhi manajemen perioperatif dan risiko
pasien. Klirens obat dari tubuh hampir selalu dipengaruhi oleh baik ginjal maupun
fungsi hati. Oleh karena itu, keduanya harus dinilai dengan anamnesis riwayat yang
cermat dan penilaian laboratorium sesuai indikasi untuk pemilihan dan dosis obat
perioperatif termasuk antibiotik, beta-blocker, obat penenang, dan analgesik. Pasien
dengan peningkatan asimtomatik enzim hati dapat melanjutkan operasi tanpa
tertunda. Namun. pasien dengan hepatitis aktif atau sirosis memang memiliki
peningkatan risiko komplikasi pasca operasi dan kematian yang mungkin
memerlukan penundaan operasi dan atau perencanaan pra operasi agresif untuk
pengurangan risiko (4). Disfungsi hati sendiri dapat menjadi faktor risiko morbiditas
dan mortalitas perioperatif, terutama pada pasien yang menjalani operasi berisiko
tinggi.
Komplikasi perdarahan meningkat karena kecenderungan untuk terjadi koagulopati
dari penurunan fungsi sintetis hati dan trombositopenia dari perlekatan limpa
terkait dengan penyakit hati yang parah. Operasi kepala dan leher dianggap
memiliki risiko rendah sampai menengah. Beberapa studi telah dilakukan untuk
menilai risiko perioperatif termasuk beberapa operasi kepala dan leher (5). Satu

studi yang terbatas pada evaluasi risiko perioperatif dalam kasus THT menjelaskan
bahwa hepatitis dikaitkan dengan komplikasi, Naim hanya lima pasien dengan
hepatitis atau riwayat hepatitis yang dimasukkan dalam analisis (6). Studi lain
mengemukakan tidak ada statistik yang signifikan dalam komplikasi pada
keseluruhan pasien dengan disfungsi hati meskipun ada peningkatan kejadian
pascaoperasi flap hematoma (7).
Manajemen obat perioperatif sangat penting bahkan dengan tidak adanya
gangguan ginjal atau hati . Ulasan lengkap obat termasuk yang melalui apotek dan
herbal suplemen penting tidak hanya untuk menilai komorbiditas pasien tetapi juga
untuk mencegah komplikasi intra dan pasca operasi. Secara umum, bagian besar
obat-obatan kronis dapat diminum dengan segelas air pagi sebelum operasi.
Pengecualian umum untuk aturan ini mencakup obat hipoglikemik oral,
antikoagulan kronis, diuretik, dan obat penurun kolesterol nonstatin. Namun, risiko
dan manfaat untuk melanjutkan setiap obat individu harus ditangani sebelum
operasi. Pasien diabetes Tipe I dan II pada terapi insulin kronis perlu dikembangkan
rencana perioperatif dengan dokter utama mereka atau ahli endokrin terutama
untuk operasi yang lebih lama dan lebih kompleks.
Antikoagulan dan antiplatelet terapi saja bisa mempengaruhi perencanaan pra
operasi dan eksekusi yang signifikan. Indikasi untuk antikoagulan penting untuk
menyarankan rencana pengelolaan perioperatif. Misalnya, jika pasien menggunakan
antikoagulan untuk pengobatan penyakit tromboemboli vena akut (VfE) atau
memiliki katup jantung mekanik jauh lebih penting untuk mempertahankan terapi
antikoagulasi sepanjang periode perioperatif
daripada jika pasien memakai
antikoagulan untuk pencegahan dari VfE, pada pasien dengan riwayat kecelakaan
serebrovaskular, atau pada pasien dengan atrial fibrilasi perencanaan terapi
antiplatelet adalah tergantung untuk Alasan penggunaan. Dalam kebanyakan kasus,
terapi antiplatelet akan dihentikan karena risiko perdarahan operasi terkecuali saat
perdarahan risiko minimal atau penghentian akan menyebabkan komplikasi yang
mengancam jiwa, yaitu trombosis stent arteri koroner.

INFORMED CONSENT
Persetujuan adalah proses memperoleh izin untuk melakukan prosedur bedah
setelah benar-benar memberitahu pasien tentang semua aspek prosedur.
Persetujuan biasanya diperoleh dari pasien pada yang akan dilakukan prosedur.
Namun, jika pasien yang membutuhkan operasi tidak dapat memberikan
persetujuan keluarga terdekat atau wali dapat memberikan persetujuan. Contoh
jenis pasien yang tidak mampu secara pribadi memberikan persetujuan adalah
sebagai berikut: pasien di bawah usia 18 tahun, pasien yang intubasi dan atau
dibius, dan pasien dengan masalah kesehatan mental atau cacat mental. Pasien
memberikan persetujuan harus memiliki kemampuan pengambilan keputusan.

Persetujuan harus menyatakan dalam istilah awam mengenai prosedur yang akan
dilakukan serta risiko, manfaat, dan alternatif. Risiko prosedur bedah, termasuk
kemungkinan komplikasi, harus didiskusikan dengan pasien. Manfaat prosedur juga
harus dibuat jelas kepada pasien. Alternatif prosedur harus ditinjau dan harus
dijelaskan bahwa alternatif untuk menolak operasi adalah pilihan utama pasien.
Dalam memperoleh persetujuan pasien harus memahami atau proses
penyakitnhya, tujuan dari prosedur, dan hasil yang akan dicapai.
UNIVERSAL PRECAUTIONS
Pada tahun 1987, Centers for Disease Control (CDC) menerbitkan laporan tentang
pencegahan penularan patogen melalui darah dalam dunia kesehatan. Dokumen ini
dibandingkan dengan laporan serupa oleh CDC pada tahun 1983, membuat
rekomendasi untuk pekerja kesehatan yang akhirnya dikenal menjadi Kewaspadaan
Universal. Laporan baru Ini menyoroti pentingnya konsistensi kewaspadaan terkena
cairan tubuh tanpa mengetahui status infeksi darah pasien. Hal itu dirasa bijak
bahwa status infeksi pasien sering tidak akurat diketahui dan karena itu, paling
aman untuk menerapkan kewaspadaan universal. CDC merekomendasikan
penggunaan sarung tangan, gaun penghalang dan barrier selaput lendir, termasuk
pelindung mata dan masker ketika ada kontak dengan cairan tubuh atau darah.
Sarung tangan yang akan dikenakan oleh petugas kesehatan setiap kali ada kontak
dengan darah atau cairan tubuh dan harus diganti setelah kontak dengan setiap
pasien. Gaun harus dikenakan setiap saat ada percikan darah atau cairan tubuh
pasien, terutama selama prosedur operasi. Barier selaput lendir , masker dan
pelindung mata, juga harus dikenakan jika percikan mungkin ada untuk mencegah
paparan mata, hidung. atau mulut.
TEKNIK STERIL
Gagasan teknik steril telah berkembang selama 150 tahun terakhir. Joseph Lister
dianggap sebagai bapak aseptik teknik bedah. Pada akhir 1860-an, Lister
menggunakan karbol asam untuk digunakan dalam ruang operasi dalam upaya
untuk menurunkan infeksi luka bedah dan mencegah pengembangan gangren. Pada
saat itu. karbol sedang digunakan untuk mengobati bau limbah dengan sukses
besar. Tim bedah Lister mencuci tangan mereka dengan asam karbol, perban
direndam di karbol, dan dibersihkan lokasi bedah dan instrument dengan asam
karbol. Lister menemukan penurunan dramatis infeksi luka operasi dengan
menggunakan karbol; Namun, karbol adalah racun bagi mereka yang
menggunakannya secara kronis (8). Pada saat penggunaan preaparat iodine dan
preparat bahan dasar alkohol berkembang dan penggunaan penggunaan sarung
tangan menjadi standar praktis setelah diperkenalkan oleh William Halsted. Bagian
ini membahas aspek teknik steril dalam ruangan operasi dengan harapan bahwa
pencegahan tingkat infeksi situs bedah dapat terus ditingkatkan.
Cuci Tangan Bedah

Cuci tangan bedah adalah langkah pertama untuk teknik aseptic dan harus
dipahami dan dikuasai. Cuci termasuk tangan, lengan, dan kuku untuk
menghilangkan kotoran dan mengurangi beban mikroba pada kulit. kuku harus
dijaga tetap pendek dan semua perhiasan dilepas. Dua jenis agen antiseptik kulit
yang paling umum adalah povidone-iodine dan chlorhexidine glukonat. Setiap agen
memiliki kelebihan dan kekurangan dan semua ahli bedah harus memiliki
pengetahuan tentang agen yang berbeda tersebut. Baik povidone-iodine dan
chlorhexidine glukonat cepat bertindak dan efektif terhadap organisme gram positif,
gram negatif, jamur, virus, dan Mycobacterium tuberculosis. The povidone-iodine
scrub tidak aktif ketika kontak dengan darah atau dahak dan memiliki potensi untuk
pewarnaan kain yang jelas dan kulit. Perlu dicatat bahwa penggunaan kronis
povidone-iodine saat hamil dapat menyebabkan hipotiroidisme janin (9).
Chlorhexidine glukonat bila dikombinasikan dengan alcohol mengahasilkan agen
yang cepat dan tidak terpengaruh oleh kontak dengan darah atau dahak. Agen ini
juga efektif untuk jangka waktu yang lebih lama, yang menyediakan cakupan lebih
selama prosedur pembedahan dan bahkan setelah operasi. Klorheksidin harus
dihindari di telinga tengah dan bagian dalam karena dapat Penyebab ototoxisitas
(10).
Persiapan lokasi operasi
Setelah kedatangan ke pusat operasi atau rumah sakit, pakaian pasien harus
ditukar dengan gaun rumah sakit. Ketika mempertimbangkan mencukur rambut,
sebaiknya tidak dilakukan karena segala bentuk hair removal pra operasi
mengakibatkan peningkatan infeksi luka. Meskipun demikian, kadang-kadang
rambut di bidang operasi harus dicukur. Mencukur harus selalu dihindari karena
dapat menyebabkan luka kulit yang kemudian dapat menjadi tempat
perkembangan bakteri dan menyebabkan infeksi . CDC dan Proyek Perbaikan
Perawatan bedah (SCIP) menyarankan untuk menjepit rambut sesaat sebelum
operasi jika pencukuran diperlukan. Pasien harus diinstruksikan untuk tidak
mencukur daerah operasi sebelum operasi. Dalam prospektif studi yang dilaki oleh
Cruse dan Foord, infeksi situs bedah yang ditemukan tertinggi pada mereka dicukur
sekitar 2,3%. Pasien yang menjalani penjepittan rambut memiliki Tingkat infeksi
1.7%, dan mereka yang tidak perlu dilakukan pencukuran rambut memiliki tingkat
infeksi 0,9% (11).
Tujuan dari persiapan lokasi bedah adalah untuk membersihkan kulit dan
mengurangi jumlah mikroba sebelum insisi. Dalam masa lalu, lalupovidone-iodine
atau chlorhexidine-alkohol digunakan secara bergantian. Saat ini, penelitian baru
menunjukkan bahwa chlorhexidine-alkohol unggul dan sebaiknya digunakan. Dalam
sebuah penelitian yang membandingkan kedua agen tersebut, 849 pasien
menjalani operasi diberikan povidone-iodine atau chlorhexidine-alkohol untuk
antisepsis kulit pra operasi. Kelompok povidone-iodine memiliki infeksi luka operasi
tingkat 16% dibandingkan dengan 9,5% di kelompok chlorhexidinealcohol (12).

INSTRUMEN DAN BAHAN JAHITAN


Ada ratusan jenis instrumen bedah tersedia untuk ahli bedah, dan dengan
berjalannya waktu hampir semua ahli bedah belajar instrumen ini. Namun, sebagian
besar ahli bedah beroperasi dengan hanya segelintir standar perdagangan. Kami
meninjau instrumen yang paling umum digunakan dalam ruang operasi di bagian
ini.
Instrumen
pisau bedah
Pisau bedah (scalpel) terdiri dari dua bagian-pegangan dan pisau. Pegangan pisau
bedah dan pisau terbuat dari karbon steel atau stainless steel. Carbon steel
biasanya lebih tajam sedangkan pisau stainless steel tajam dan bertahan lebih
lama. Bard-Parker dan Beaver adalah dua jenis utama dari pegangan pisau bedah.
Bard-Parker adalah pisau bedah yang paling banyak digunakan, jenis ini memiliki
pegangan yang lebar, datar dan mudah memegang Bard Parker nomor. 10, nomor
11, dan nomor 15. Pegangan Beaver biasanya bulat dan cocok dengan pisau nomor
67 atau nomor 64 pisau dan berguna untuk prosedur halus dan detail. Pisau bedah
datang dalam segala bentuk dan ukuran, tapi pisau yang paling umum digunakan
adalah nomor 10, nomor 11, nomor 15. pisau nomor 10 lebar dan cembung: dan
sangat ideal untuk sayatan besar - tidak sesuai untuk sayatan kecil dan teliti. Pisau
nomor 11 meruncing dan memiliki titik tajam sehingga sangat baik untuk menusuk,
atau untuk sayatandrainase. Pisau nomor 15 adalah pisau yang paling banyak
digunakan karena ukurannya kecil dan sangat baik untuk sayatan yang akurat.
Gunting
Gunting adalah salah satu komponen utama dalam instrumen armamentarium
bedah. Ada beberapa jenis gunting bedah yang berbeda dan masing-masing
memiliki tujuan tertentu di ruang operasi dan harus digunakan dengan tepat.
Gunting yang paling umum digunakan adalah gunting pemotongan jahitan. Gunting
Ini dapat melengkung atau lurus, tetapi harus hanya bisa digunakan untuk
memotong jahitan. Menggunakan gunting yang tajam untuk memotong jahitan akan
menyebabkan pisau cepat untuk tumpul. Gunting bisa pendek atau panjang, ujung
tumpul atau tajam, melengkung atau lurus. Gunting Metzenbaum khusus untuk
diseksi teliti dan ada dalam beberapa ukuran berbeda. Gunting Mayo lebih berat
untuk pekerjaan diseksi tumpul. Gunting Iris biasanya pendek, tajam, dan ideal
untuk operasi kepala dan leher. Gunting Gradle mirip dengan gunting Iris tetapi
cenderung memiliki ujung untuk diseksi lebih halus.
Forsep
Forsep yang paling umum digunakan dalam kamar operasi adalah forsep Adson,
DeBakey, dan Bishop-Harmon. Forsep bisa halus, bergigi, atau bergerigi. Penting

untuk tidak menggunakan forsep bergerigi pada kulit karena hal ini dapat
menyebabkan cedera. Forsep Adson halus atau bergigi dan digunakan untuk
mengambil tepi kulit. Forsep DeBakey digunakan di dalam luka untuk menangkap
struktur halus forsep ini tidak boleh digunakan pada kulit. forsep Uskup-Harmon
kecil serta ringan dan ideal untuk pekerjaan kulit yang teliti.
Bahan Jahitan
Bahan jahitan dipecah menjadi dua yaitu absorbable dan nonabsorbable. Jahitan
absorbable dicerna secara enzimatis dan kehilangan kekuatan tarik sekitar 60 hari.
Jahitan absorbable yang paling umum digunakan adalah surgical gut, polyglactin
(Vicryl), polydioxanone (PDS II), asam glikolat (Maxon), dan poliglecaprone 25
(Monocryl). Bahan jahitan nonabsorbable tidak terhidrolisis dan mempertahankan
kekuatan tarik. Jahitan nonabsorbable yang paling umum digunakan adalah sutra,
nilon, polypropylene (prolene), dan poliester (Dacron, Ethibond). Perlu dicatat,
bahwa meskipun sutra disebut sebagai nonabsorbable, sutra memiliki serat yang
diproduksi secara alami dan dapat diserap oleh tubuh setelah jangka waktu lama.
Bahan jahitan dibagi lagi menjadi monofilament dan jenis dikepang . Jahitan
monofilamen terdiri dari salah satu untai tunggal dan dapat melalui jaringan secara
mudah dengan trauma yang minimal. Jahitan dikepang terdiri dari beberapa helai
material dan mudah untuk digunakan. Satu kelemahan menggunakan jahitan
dikepang adalah kemungkinan organisme untuk berada antara helai dan dengan
demikian menyebabkan tingkat infeksi luka yang lebih tinggi (13).
Ukuran jahitan penting ketika mengukur jenis luka. Ukuran jahitan dihitung dengan
diameter jahitan untuk mengetahui kekuatan tarik tertentu. Ukuran jahitan
menggunakan nol- jumlah dari nol yang lebih tinggi sama berarti ukuran benangnya
lebih kecil. Misalnya, 2-0 Vicryl jauh lebih tebal dan lebih kuat dari 4-0 Vicryl dan
berlaku untuk semua jenis bahan jahitan. Faktor penting lain yang perlu
dipertimbangkan ketika memilih bahan jahitan adalah memori, elastisitas, dan
reaktivitas jaringan terhadap berbagai jenis bahan. Memori adalah kemampuan dari
bahan jahitan untuk mengikuti jaringan ke bentuk aslinya. Jahitan dengan memori
tinggi lebih sulit untuk dikerjakan dan memerlukan lebih banyak ikatan. Jahitan
dengan memori tinggi adalah asam glikolat (Maxon), polypropylene (prolene), dan
polydioxanone (PDS 11). Elastisitas bahan jahitan mengacu pada kemampuan
jahitan untuk meregangkan dan kemudian kembali ke panjang aslinya. Elastisitas ini
penting ketika berhadapan dengan luka yang rentan terhadap pembengkakan pasca
operasi. Reaktivitas jaringan adalah jumlah peradangan yang diproduksi dalam
menanggapi materi jahitan. Studi menunjukkan sintetis yang dan jahitan
monofilamen memiliki reaktivitas jaringan paling sedikit (14).
POSISI TUBUH DAN PAPARAN
Salah satu prinsip yang paling penting dan sering diabaikan di operasi mencapai
eksposur yang memadai dari Situs bedah. Paparan baik diperoleh dengan

perencanaan pra operasi yang teliti dan perhatian terus menerus terhadap detail.
Dalam rangka untuk mendapatkan eksposur yang memadai, pasien harus
diposisikan tepat. Misalnya, ketika mempersiapkan sebuah tiroidektomi, leher harus
ditarik perpanjang untuk mengekspos bidang operasi. Paparan spesifik ini dapat
dibantu dengan penempatan roll aksila untuk memperpanjang leher. Perhatian
terhadap posisi pasien sebelum operasi memungkinkan untuk prosedur lebih
mudah saat intraoperatif.
SELEKSI ANTIBIOTIKA
Antibiotik sebelum operasi diberikan untuk mencegah infeksi luka operasi. Luka
diklasifikasikan menjadi bersih, bersih terkontaminasi, terkontaminasi dan kotor
bergantung pada anatomi dari situs operasi
KLASIFIKASI LUKA
Bersih
Bersih- terkontaminasi
Terkontaminasi
Kotor
Definisi
Tidak ada kebocoran dalam teknik steril,
Tidak ada peradangan,
Kulit tidak terkontaminasi
Kebocoran kecil pada teknik steril,
Masuk ke Gl, pernapasan, atau saluran GU
tanpa tumpahan yang besar
kebocoran Mayor dalam teknik steril,
Kontaminasi Mayor dari Gl, GU, atau saluran pernafasan
Luka terinfeksi dengan bahan purulen
Kasus bersih tidak memerlukan profilaksis; Namun, ini adalah kontroversi dan
biasanya tergantung
pada kebijaksanaan dokter bedah. Semua kasus yang
melibatkan saluran pencernaan. termasuk orofaring, harus menerima cakupan
antibiotik profilaksis. Antibiotik profilaksis harus diberikan dalam waktu 1 jam
sebelum insisi. Studi menunjukkan bahwa konsentrasi antibiotic dalam jaringan
optimal bila diberikan sesaat sebelum sayatan kulit (16). Pedoman SCIP yang
dikembangkan untuk mengurangi tingkat infeksi situs bedah, juga mengharuskan
profilaksis antibiotik diberikan dalam waktu 1 jam sebelum insisi. Jika operasi
melebihi 6 jam atau 1-2 paruh antibiotik, mengulangi antibiotic intraoperatif harus
dipertimbangkan. Jika antibiotik profilaksis dilanjutkan pasca operasi. mereka tidak
harus diberikan lebih dari 24 jam setelah waktu akhir operasi. Studi menunjukkan
bahwa melanjutkan antibiotik profilaksis lebih dari 24 jam tidak memberikan
manfaat dalam mencegah infeksi luka operasi (17). Kelemahan potensial lain dari
administrasi antibiotik yang berkepanjangan adalah bakteri resistan terhadap obat.
Pemilihan antibiotik sebelum operasi ditentukan oleh lokasi anatomi prosedur dan
alergi pasien terhadap antibiotik tertentu. Antibiotik yang dipilih harus memiliki

cakupan bakterisida untuk organisme yang paling mungkin hadir dalam lokasi
anatomi tertentu. Jika antibiotic yang akan diberikan dalam operasi jenis bersih,
kemudian cefazolin dan cefuroxime adalah antibiotik dianjurkan. Kebanyakan Infeksi
sekunder luka bersih berasal dari infeksi Staph atau Spesies Strep oleh karena itu,
generasi pertama atau kedua sefalosporin menyediakan cakupan yang memadai
pada pasien yang memiliki alergi obat sefalosporin, vankomisin atau clindamycin.
Untuk prosedur yang melibatkan rongga mulut. orofaring, laringofaring atau
kerongkongan, antibiotic harus mencakup bakteri aerob dan anaerob dan Flora oral
. Ampicillinfsulbactam,
amoxicillinfclavulanate, atau dindamycin memberikan
cakupan yang memadai. Kasus bedah besar kepala dan leher yang melibatkan
sayatan kulit dan mulut atau faring \berisiko tinggi untuk infeksi campuran.
Cakupan dengan clindamydn ditambah gentamisin, tobramisin, ceftazidime atau
aztreonam menyediakan cakupan yang memadai.
PERAWATAN PASCA OPERASI
Perawatan pasca operasi setelah operasi kepala dan leher bervariasi menurut
kompleksitas prosedur; Namun, banyak akan tetap dirawat di rumah sakit selama
minimal 1 hari.
Komplikasi pasca operasi, seperti deep vein thrombosis dan infeksi saluran
pernapasan atas atau pneumonia, harus dihindari dengan profilaksis metodis.
Perawatan pascaoperasi adalah tanggung jawab tidak hanya dokter, tetapi juga staf
perawat dan harapan pasien harus didiskusikan dengan pasien/ keluarganya dan
staf perawat. Dressing, luka, dan situs sayatan harus diperiksa pasca operasi untuk
melihat pengembangan hematoma, bukti perdarahan, atau infeksi luka awal.
Perkembangan pesat dari hematoma pasca operasi. terutama di leher, dapat
kembali memerlukan ke ruang operasi untuk evakuasi. Tanda-tanda awal infeksi
luka seperti eritema atau drainase dari luka mungkin memerlukan pengangkatan
jahitan dan pembalutan dari luka. Kontrol glukosa pasca operasi sangat penting.
Penderita diabetes perlu pemantauan kadar glukosa baik pra dan pasca operasi.
Dalam sebuah studi oleh Latham pada tahun 2001 menunjukkan bahwa di pasien
yang menjalani bypass arteri koroner grafting yang memiliki glukosa nilai lebih
besar dari 200 pasca operasi memiliki dua kali lipat peningkatan infeksi pada situs
bedah (18). Baru-baru ini, penelitian telah muncul dari literatur kardiotoraks yang
berpendapat kontrol glukosa moderat [129-179] daripada kontrol glukosa ketat
[<126] memiliki hasil yang lebih baik. Bhamidipati et al. (19), melaporkan dari
Universitas of Virginia pada tahun 2011 dalam kelompok 4.658 pasien bypass
jantung, ditemukan bahwa pasien dengan kontrol glukosa moderat memiliki angka
kematian yang lebih rendah (2,0%) dan tingkat komplikasi (11,1%) dibandingkan
pasien dengan glukosa kontrol ketat (masing-masing 2,9%, dan 19,4%). Akibatnya.
penderita diabetes harus diikuti dan penggunaan insulin harus dilaksanakan sesuai
kebutuhan.
PROFILAKSIS TROMBOEMBOLI VENA

Komplikasi yang berhubungan dengan VTE sering terjadi pada pasien yang
menjalani prosedur bedah. Insiden gejala trombosis vena dalam (DVT) dan emboli
paru bervariasi antara spesialisasi bedah (20,21). Secara umum, spesialisasi bedah
dengan resiko tinggi untuk komplikasi seperti ortopedi, bedah saraf, operasi umum
(utamanya pembedahan mayor abdomen); sementara spesialisasi dengan risiko
rendah ada pada urologi, ginekologi, dan THT (22). Tindakan profilaksis vena telah
terbukti mengurangi timbulnya komplikasi VTE perioperatif. Tindakan Ini termasuk
mekanik (misalnya, pneumatic atau kompresi) dan langkah-langkah farmakologi
(Misalnya, pemberian unfractioned heparin / heparin berat molekul rendah).
Hasilnya. Beberapa upaya telah dilakukan untuk menyesuaikan terapi profilaksis
untuk pasien berdasarkan profil risiko.
(Tabel 2.3) (22).
Salah satu pendekatan tersebut seperti pada American College of Chest Physician
(20), mereka mendasari pada pengelompokan pasien dengan spesialisasi bedah,
kemudian dilakukan stratifikasi risiko pasien dalam setiap kelompok. Stratifikasi
risiko individual pasien dipertimbangkan berdasarkan usia pasien,ada atau tidaknya
keganasan, jenis prosedur (operasi besar kecil), dan riwayat VTE. Sementara
pedoman khusus mengenai profilaksis telah dibuat untuk pasien yang menjalani
bedah ortopedi, bedah umum, dan bedah saraf, namun tidak pada prosedur THT.
Langkah pertama dalam proses ini adalah mengukur kejadian komplikasi VTE pada
pasien yang menjalani prosedur operasi THT. Beberapa ulasan retrospektif telah
membahas hal ini ini. Moreano et al. (23) dari University of Iowa melaporkan pada
tahun 1998 menemukan kejadian DVT dan emboli paru pada penelitian kohort
12.805 pasien menjadi masing-masing 0,3% dan 0,2%. komplikasi menjadi lebih
umum pada pasien yang menjalani operasi kepala dan leher (0,6%, 0,4%) dan
kurang umum pasa pasien dengan trauma kepala dan leher (0,1%, 0,1%) dan THT
umum (0,01%, 0,04%). Mereka mengemukakan bahwa usia pasien dan ada atau
tidak adanya kompresi pneumatic menjadi faktor risiko independen. Lee et al. (24)
dari University of Toronto melaporkan pada tahun 2008 bahwa pada penelitian
kohort mereka sekitar 9, 835 pasien dilaporkan kejadian keseluruhan DVF dan PE
menjadi masing-masing 0,1% dan 0,05%. Mereka juga mencatat kejadiantertinggi
pada pasien yang menjalani operasi besar kepala dan leher. Chen et al. (25) dari
Memoral Sloan Kettering Cancer Center di kohort mereka pada 6,759 prosedur
dilaporkan memiliki hasil yang sama dengan yang dilakukan oleh Lee et al. (24).
Innis dan Anderson (21) dari Klinik Lahey di Boston melaporkan bahwa dalam kohort
mereka 6122 pasien yang kejadian DVF dan PE adalah masing-masing 0,1% dan
0,02%. Insiden DVF pada pasien yang diobati untuk kasus keganasan adalah 0,6%
dan tanpa keganasan 0,01 %. Innis dan Anderson membandingkan hasil mereka
dengan hasil diperoleh Moreano, dan mereka berspekulasi bahwa kejadian VTE
berkurang dalam kelompok penelitian mereka mungkin disebabkan karena
penggunaan kompresi pneumatik dan heparin subkutan disemua pasien yang
dirawat. Mereka selanjutnya menyimpulkan bahwa pasien yang menjalani prosedur

operasi THT memiliki risiko rendah untuk komplikasi VTE. Kesimpulan ini didukung
oleh laporan terbaru mengenai kejadian VTE setelah operasi tiroid dan paratiroid
dari 0,16% pasien tanpa profilaksis, di lain sisi tingkat komplikasi pendarahan serius
1,58% pada mereka yang diberikan pengobatan profilaksis (26). Innis dan Anderson
merekomendasikan sebagai berikut: (a) Mobilisasi awal dengan atau tanpa
menggunakan kompresi pneumatic pada pasien risiko rendah. (b) Kompresi
pneumatic atau profilaksis farmakologis untuk pasien berisiko moderat. (c) Baik
kompresi pneumatik dan profilaksis farmakologis untuk pasien berisiko tinggi.
Algoritma yang sama dikembangkan oleh Davidson et al. (27) untuk pasien yang
menjalani prosedur bedah plastik.
Perlu ditekankan, bagaimanapun, bahwa keputusan mengenai tindakan profilaksis
untuk mencegah VTE harus didasarkan secara individu pasien setelah dilakukan
evaluasi penuh dari prosedur bedah, hal tersebut kemungkinan berdampak pada
keadaan pasien dan faktor risiko pasien.

Lima faktor risiko klinis digunakan untuk stratifikasi risiko pasien untuk
komplikasi jantung sebelum operasi. Risiko tersebut adalah riwayat penyakit
jantung iskemik, riwayat atau sedang gagal jantung terkompensasi, diabetes
mellitus, penyakit kronis ginjal, dan penyakit pembuluh darah otak.
hipotiroidisme janin dapat terjadi pada kronis penggunaan povidone-iodine
saat hamil. Klorheksidin pada telinga bagian dalam dapat menyebabkan
ototoksisitas.
Pencukuran rambut harus dihindari jika mungkin. Jika pencukuran rambut
diperlukan, rambut harus dihapus oleh penjepit sebelum operasi daripada
dicukur.
Antibiotik profilaksis dilanjutkan setelah operasi sebaiknya tidak diberikan
selama lebih dari 24 jam setelah operasi.
Keputusan untuk memulai tindakan profilaksis VTE harus didasarkan secara
individu pasien

Tingkat Risiko
Risiko rendah:
Operasi kecil pada pasien yang mobile
Pasien medis yang sepenuhnya mobile
Risiko

sedang
Kebanyakan umum, ginekologi terbuka atau pasien bedah urologi
Pasien medis, istirahat di tempat tidur atau sakit
Risiko VTE moderat ditambah resiko pendarahan tinggi

Risiko

tinggi
Operasi pinggul atau artroplasti lutut, HFS
Trauma besar, SCI
Risiko VTE tinggi ditambah risiko pendarahan tinggi

Perkiraan risiko DVT tanpa Thromboprophylaxis,(% )


<10
10-40
40-80
Rekomendasi tromboprofilaksis

Tidak ada thromboprophylaxis tertentu


Segera ambulansi awal dan agresif
LMWH (pada dosis yang dianjurkan),
LDUH 2x 1 hari atau 3 x sehari, fondaparinux
LMWH (dosis pada direkomendasikan), fondaparinux,
vitamin K antagonis oral (INR 2-3)
Meehan ica thromboprophylaxis

Catatan: Istilah deskriptif yang sengaja dibiarkan tidak terdefinisi


interpretasi dari dokter.
Angka didasarkan pada pemeriksaan diagnostik untuk DVT tanpa
pada pasien yang tidak menerima thromboprophylaxis.
Teknik thromboprophylaxis meliputi IPC atau VFP dan / atau
pertimbangkan untuk mengganti ke thromboprophylaxis antikoagulan
risiko perdarahan menurun.

untuk
gejala
GCS;
ketika

REFERENCES
1. Fleisher I.A, Beckman JA. Brown KA, et al. ACC/AHA 2007

guidelines on perioperative cardiovasoliar evaluation and care


for noncardiac surgery: a report of the American College of
Cardiology/ American Heart Association Task Force on
Practice

Guidelines (Writing Committee to Revise the 2002 Guidelines


on Perioperative Cardiovascular Evaluation for Noncardiac
Surgery) developed in collaboration with the American
Society of Echocardiography, American Society of Nuclear
Cardiology. Heart Rhythm Society, Society of Cardiovascular
Anesthesiologists, Society for Cardiovasoliar Angiography
and Interventions, Society for Vascular Medicine and Biology,
and Society for Vascular Surgery. J Am Coli Cardiol 2007;50:
e159--e241.
2. Hlatky MA, Boineau RE. Higginbotham MB, et al. A brief
self
administered questionnaire to determine functional capacity
(the Duke Activity Status Index). Am/ Cardioi1989;G4:651G54.
3. Srinivas RB, Julia FW; Thra S, et al. Preoperative evaluation
of the
patient with pulmonary disease. Chest 2007;132:1637-1645.
4. Jeanetta WF. Roman EP. Perioperative risk fur patients with
liver
disease. Expert Rev Gastroen~rol Hepatol2009;3(1):65-75.

5. Ziser A, Plevak DJ, Weisner RH, et al. Morbidity and


mortality
in cirrhotic patients undergoing anesthesia and surgery.
Anesthesiology 1990;90:42-53.
G. Farwell DG, Reilly m; Weymuller EA Jr; et al. Predictors
of perioperative
complications in head and neck patients. Arch Otolalf"'gol
Head Neck Surg 2002; 128:505-511.
7. Kao HK, Chang KP, Ching WC, et al. lhe impacts ofliver
cirrhosis
on head and neck cancer patients undergoing microsurgical
free
tissue transfer: an evaluation of fiap outcome and flap-related
complications. Oral Oncology 2009;45:1058-1062.
8. lister J. On the antiseptic principles in the practice of
surgery.
Lancet 1967;2:353-356.

Chapter 2: Basic Surgical Principles 25


9. Danziger Y, Pertzelan A, Mimouni M. Transient congenital
hypothyroidism
after topical iodine in pregnancy and lactation. Arch
Dis Child 1987;62:295-296.
10. Perez R, Freeman S, Sohmer H, et al. Vestibular and
cochlear
ototoxicity of topical antiseptics assessed by evoked potentials.

Laryngoscqpe 2000; 110: 1522-152 7.


11. Cruse PJ, Foord R. lhe epidemiology of wound infection.
A 10-year prospective study of 62,939 wounds. Surg Clin
North
Am 1980;60:27.
12. Darouiche RO, Wall MJ Jr; Itani KM, et al. Chlorhexi.dinealcohol
versus povidone-iodine for surgical-site antisepsis. N Engl J
Med
2010;362:18.
13. Bucknall T. Factors influencing wound complications: a
clinical
and experimental study. Ann R Coli Surg 1983;65:7-17.
14. Ratner D, Nelson BR, Johnson TM. Basic suture materials
and
suturing techniques. Semin Dennatol 1994; 13:20-26.
15. Howard JM, Barker WF. Culbertson W, et al.
Postoperative
wound infections: the influence of ultraviolet irradiation on the
operating room and of various other factors. Ann Surg 1964;
160:1-196.
16. Classen DC, Evans RS, Pestotnik SL, et al. lhe timing of
prophylactic
administration of antibiotics and the risk of surgicalwound
infection. N Eng!] Med 1992;326:281-286.
17. McDonald M, Grabsch E, Marshall C, et al. Single-versus
multipledose antimicrobial prophylaxis for major surgery: a systematic
review. Awt N z J Surg 1998;68:388-396.
18. Latham R. Lancaster AD, Covington JF, et al. The
association of
diabetes and glucose control with surgical-site infections
among
cardiothoracic surgery patients. Infer;t Control Hosp

Epidemiol
2001;22:607 -612.
19. Bhamidipati CM, LaPar DJ, Stukenborg GJ, et al.
Superiority of
moderate control of hyperglycemia to tight control in patients
undergoing coronary artery bypass grafting. J Thorac

Cardiovasc
Surg 2011; 141:543-551.
20. Geerts WH, Bergqvist D, Pineo GF. et al. Prevention of
venous
thromboembolism; American College of Chest Physicians
evidence-based clinical practice guidelines (8th Edition).

Chest
2008; 133 :381S-453S.

21. Innis WP, Anderson ID. Deep venous thrombosis and


pulmonary
embolus in otolaryngologic patients. Am J Otolalf"'gol
2009;30(4):230-233.
22. Martin T, Oliver C. Prevention of deep vein thrombosis and
pulmonary
embolus. Anesth Intensive Can1 Med 2009;10:580-582.
23. Moreano EH, Hutchison JL. McCulloch TM, et al.
Incidence of
deep venous thrombosis and pulmonary embolism in
otolaryngologyhead and neck surgery. Otolaryngol - Head Neck Surg
1998; 118:777-784.
24. Lee J, Alexander A, Higgins K. et al. The Sunnybrook
experience:
review of deep vein thrombosis and pulmonary embolism
in otolaryngology. J Otolaryngol Head Neck Surg 2008;37:
547-551.
25. Chen CM, Disa JJ, Cordeiro PG, et al. The incidence of
venous
thromboembolism after oncologic head and neck
reconstruction.
Ann Plastic Surg 2008;60:4 76-4 79.
26. Madhuchhanda R. Rajamanickam V. Chen H, et al. Is DVr
prophylaxis
necessary fur thyroidectomy and parathyroidectomy?
Surpry 2010; 148:1163-1169.
27. Davidson SP. Venturi ML, Attinger CE, et al. Prevention of
venous
thromboembolism
in the
plastic
surgery
patient.

PlastReconstr
Surg 2004; 114:43e-51 e.
28. Fleisher LA. Beckman JA. Brown KA.

et al. American
College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on

Practice

Guidelines (Writing Committee to Revise the 2002 Guidelines


on
Perioperative Cardiovascular Evaluation for Noncardiac
Surgery);
American SocietyofEchocardiography; American Society of
Nuclear
Cardiology; Heart Rhythm Society; Society of Cardiovascular
Anesthesiologists; Society fur Cardiovascular Angiography
and
Interventions; Society fur Vascular Medicine and Biology;
Society
furVascularSwgery. Circulation 2007;116(17):e418-e419.

Anda mungkin juga menyukai