Anda di halaman 1dari 19

BAB I

TINJAUAN TEORI
A. PENGERTIAN
Benigna prostat hypertropi adalah pertumbuhan kelenjar fibroadenomatosa
majemuk dalam prostat ( Price, 2001).
Proses terjadinya pembesaran kelenjar prostat ini secara progresif. Angka
kejadian BPH sekitar 50% dialami oleh pria yang berusia lebih dari 50 tahun.
B. ETIOLOGI
Sebab dari BPH tidak diketahui. Tetapi ada teori yang menyatakan bahwa
dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan testoteron
estrogen, karena produksi testosteron menurun dan konversi testosteron
menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer.
C. PATOFISIOLOGI
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di
sebelah inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya
sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa 20 gram.
Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dan bukunya Purnomo (2010),
membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain zona perifer, zona
sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan periuretra
(Purnomo, 2010). Sjamsuhidajat (2008), menyebutkan bahwa pada usia lanjut
akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena produksi
testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada
jaringan adipose di perifer. Purnomo (2010) menjelaskan bahwa pertumbuhan
kelenjar ini sangat tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel
kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT)
dengan bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara
langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis
protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya
perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan
patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh
kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika

dan kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh
sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem
simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadi
resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian
detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih
kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam
kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut
trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat
aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar
disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase kompensasi otot
dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi
lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk
berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan
dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan
detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga kontraksi
terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi terputus, menetes pada
akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala iritasi
terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat
akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun
belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi
miksi meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgency, disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak
mampu lagi menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari
tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox
(overflow incontinence). Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter
dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal.
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan
hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan
yang menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam
vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis
(Sjamsuhidajat, 2008)

D. PATHWAY BPH
Etimologi
Penuaan
Mesenkim sinus
Perubahan keseimbangan

uragential

testosterone + estrogen
Kebangkitan /

Mitrotrouma : trauma,
ejakulasi, infeksi

Prod. Testosteron

reawakening

stimulasi sel stroma yang

BPH

Berproliferasi

dipengaruhi GH
Pre operasi

Post operasi

Terjadi kompresi utera

TURP. Prostatektomi
Trauma bekas

Penekanan serabut resistensi leher V.U danKerusakan mukosa


daerah V.U

urogenital

insisi

serabut syaraf

Obstruksi oleh
jendolan darah

ketebalan otot Dekstrusor (fase

post OP

Nyeri

kompensasi)
Terbentuknya sakula/
trabekula
Kelemahan otot Dekstrusor

MK :

MK :

intoleransi

gangguan rasa

aktivitas

nyaman nyeri

MK : resiko
injury :
pendarahan
Penurunan

kemampuan fungsi

pertahanan tubuh

V.U

Refluk urin

Residu urin
berlebihan

Hidronefrosis

Folley cateter

Media pertumbuhan
kuman

MK : resiko
terjadi infeksi

MK : gangguan eliminasi
urin : retensi urin

E. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala
yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal
berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga mengakibatkan: pancaran
miksi melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, kalau mau miksi harus
menunggu lama (hesitancy), harus mengejan (straining) kencing terputusputus (intermittency), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi
retensio urin dan inkontinen karena overflow.
Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau
pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering
berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas
otot detrusor dengan tanda dan gejala antara lain: sering miksi (frekwensi),
terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang
mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria) (Mansjoer, 2000)
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4
stadium :
a) Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai
habis.
b) Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun
tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa ridak enak
BAK atau disuria dan menjadi nocturia.
c) Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
d) Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes
secara periodik (over flow inkontinen).
Menurut Brunner and Suddarth (2002) menyebutkan bahwa :
Manifestasi dari BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia, dorongan
ingin berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine yang turun
dan harus mengejan saat berkemih, aliran urine tak lancar, dribbing (urine

terus menerus setelah berkemih), retensi urine akut.


Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini :
a. Rectal Gradding
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :
- Grade 0 : Penonjolan prosrar 0-1 cm ke dalam rectum.
- Grade 1 : Penonjolan prosrar 1-2 cm ke dalam rectum.
- Grade 2 : Penonjolan prosrar 2-3 cm ke dalam rectum.
- Grade 3 : Penonjolan prosrar 3-4 cm ke dalam rectum.
- Grade 4 : Penonjolan prosrar 4-5 cm ke dalam rectum.
b. Clinical Gradding
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh
kencing dahulu kemudian dipasang kateter.
- Normal : Tidak ada sisa
- Grade I : sisa 0-50 cc
- Grade II : sisa 50-150 cc
- Grade III : sisa > 150 cc
- Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing.

F. KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering
dengan semakin beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena
urin tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi
saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal.
(Corwin, 2007)
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan
hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan
yang menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam
vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat

menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis


(Sjamsuhidajat, 2008).

G. PENATALAKSANAAN MEDIS
Menurut Sjamsuhidjat (2008) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH
tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis
a. Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan
pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti
alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera
terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat.
Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk
pemakaian lama.
b. Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan
biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)
c. Stadium III
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila
diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai
dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan
terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal.
d. Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita
dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu,
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian
terapi definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan
pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan
obat penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah
dengan memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH.
Menurut Mansjoer (2006) dan Purnomo (2010), penatalaksanaan pada
BPH dapat dilakukan dengan:

a. Observasi
Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan,
kurangi kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa
kencing dan colok dubur.
b. Medikamentosa
1) Mengharnbat adrenoreseptor
2) Obat anti androgen
3) Penghambat enzim -2 reduktase
4) Fisioterapi
c. Terapi Bedah
Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan
fungsi ginjal, infeksi saluran kemih berulang, divertikel batu saluran
kemih, hidroureter, hidronefrosis jenis pembedahan:
1) TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat
melalui sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan malalui
uretra.
2) Prostatektomi Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat
pada kandung kemih.
3) Prostatektomi retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen
bagian bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki
kandung kemih.
4) Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi
diantara skrotum dan rektum.
5) Prostatektomi retropubis radikal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula
seminalis dan jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada

abdomen bagian bawah, uretra dianastomosiskan ke leher kandung


kemih pada kanker prostat.
d. Terapi Invasif Minimal
1) Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)
Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang
disalurkan ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang
melalui/pada ujung kateter.
2) Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy
(TULIP)
3) Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Doenges (2003), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan pada
pasien dengan BPH adalah :
a. Laboratorium
1). Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi
saluran kemih.
2). Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus
menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang
diujikan.
b. Pencitraan
1). Foto polos abdomen
Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa
prostat dan kadang menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi
urin yang merupakan tanda dari retensi urin.
2). IVP (Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa
hidroureter atau hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar

prostat, penyakit pada buli-buli.


3). Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau
mengukur sisa urin dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel,
tumor.
4). Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra
parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum

BAB II
ASUHANKEPERAWATAN
1. Pengkajian
Anamnesa
Kumpulan gejala pada BPH dikenal dengan LUTS (Lower
Urinary Tract Symptoms) antara lain:
a. Sirkulasi
Tanda : peninggian TD (efek pembesaran ginjal)
b. Eliminasi
Gejala : penurunan kekuatan/ dorongan aliran urine, tetesan,
keragu-raguan pada berkemih awal, ketidakmampuan untuk
mengosongkan kandung kemih dengan lengkap ; dorongan dan
frekuensi berkemih, Nokturia, disuria, hematuria, ISK berulang,
riwayat batu (statis urinaria), Konstipasi (protrusi prostat ke dalam
rectum)
Tanda : massa padat di bawah abdomen bawah (distensi kandung
kemih), nyeri tekan kandung kemih, Hernia inguinalis ; hemoroid
(mengakibatkan

peningkatan

tekanan

abdominal

yang

memerlukan pengosongan kandung kemih mengatasi tekanan)


c. Makanan/ Cairan
Gejala : anoreksia, mual, muntah, penurunan BB
d. Nyeri/ Kenyamanan
Gejala : nyeri suprapubis, panggul, atau punggung ; tajam, kuat
(pada prostatis akut), nyeri punggung bawah
e. Keamanan
Gejala : demam
f. Seksualitas
Gejala : masalah tentang efek kondidsi/ terapi pada kemampuan
seksual, takut inkontinensia/ menetes selama hubungan intim,
penurunan kekuatan kontraksi ejakulasi
Tanda : pembesaran, nyeri tekan prostat
g. Penyuluhan/ pembelajaran
Gejala : riwayat keluarga kanker, hipertensi, penyakit ginjal
Penggunaan antihipertensif atau anti depresan, antibiotik urinaria
atau agen antibiotik, obat yang dijual bebas untuk flu/ alergi obat

10

mengandung simpatomimetik
Pemeriksaan Fisik
1) Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu.
Nadi dapat meningkat pada keadaan kesakitan pada retensi
urin akut, dehidrasi sampai syok pada retensi urin serta
urosepsis sampai syok septik.
2) Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual
untuk mengetahui adanya hidronefrosis, dan pyelonefrosis.
Pada daerah supra simfiser pada keadaan retensi akan
menonjol. Saat palpasi terasa adanya ballotemen dan klien
akan terasa ingin miksi. Perkusi dilakukan untuk mengetahui
ada tidaknya residual urin.
3) Penis dan uretra untuk mendeteksi kemungkinan stenose
meatus,

striktur

uretra,

batu

uretra,

karsinoma

maupun

fimosis.
4) Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididimitis
5) Rectal touch / pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk
menentukan konsistensi sistem persarafan unit vesiko uretra
dan besarnya prostat. Dengan rectal toucher dapat diketahui
derajat dari BPH, yaitu :

Derajat I = beratnya 20 gram.

Derajat II = beratnya antara 20 40 gram.

Derajat III = beratnya > 40 gram.

2. Diagnosa Keperawatan
1. Pre Operasi :
1) Obstruksi akut / kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik,
pembesaran prostat,dekompensasi otot destrusor dan ketidakmapuan
kandung kemih unmtuk berkontraksi secara adekuat.
2) Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli buli,
distensi kandung kemih, kolik ginjal, infeksi urinaria.
3) Resiko tinggi kekurangan cairan berhubungan dengan

pasca

obstruksi diuresis.
4) Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau
menghadapi prosedur bedah, ketidakmampuan berkemih

11

5) Kurang pengetahuan tentang kondisi ,prognosis dan kebutuhan


pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi
6) Perubahan pola eliminasi urine: retensi urin berhubungan dengan
obstruksi sekunder
2. Post Operasi :
1) Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan
insisi sekunder pada TUR-P
2) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif:
alat selama pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih
sering.
3) Resiko tinggi

cidera: perdarahan berhubungan dengan

tindakan pembedahan
4) Resiko

tinggi

disfungsi

seksual

berhubungan

dengan

ketakutan akan impoten akibat dari TUR-P.


5) Kurang pengetahuan: tentang TUR-P berhubungan dengan
kurang informasi
6) Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri sebagai efek
pembedahan
7) Kurang pengetahuan tentang penatalaksanaan paska operasi
dan masa penyembuhan.
3. Nursing Care Plan (NCP)
Pre Operasi
Diagnosa

1.

Tujuan
Obstr Klien mengatakan tidak
uksi akut / kronis ada keluhan, dengan
berhubungan
dengan criteria:
obstruksi
mekanik,
1.
Catheter
tetap
pembesaran
paten pada tempatntya.
prostat,dekompensasi 2.
Tidak
ada
otot
destrusor
dan sumbatan aliran darah
ketidakmapuan kandung melalui catheter.
kemih
unmtuk
3.
Berkemih tanpa
berkontraksi
secara aliran berlebihan.
adekuat
4.
Tidak
terjadi
retensi pada saat irigasi

12

Intervensi
1. Dorong pasien untuk berkemih
tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba
dirasakan
2. Observasi
aliran
urina
perhatian ukuran dan kekuatan
pancaran urina
3. Awasi dan catat waktu serta
jumlah setiap kali berkemih
4. Berikan cairan sampai 3000 ml
sehari dalam toleransi jantung
5. Kolaborasi Berikan obat sesuai
indikasi ( antispamodik)

2.

3.

Nyeri Nyeri
hilang
/
( akut ) berhubungan terkontrol
dengan
dengan iritasi mukosa Kritera hasil :
buli buli, distensi Klien melaporkan
kandung kemih, kolik
nyeri
hilang
/
ginjal, infeksi urinaria
terkontrol
menunjukkan
ketrampilan
relaksasi
dan
aktivitas terapeutik
sesuai
indikasi
untuk
situasi
individu
Tampak
rileks,
tidur / istirahat
dengan tepat.

1. Kaji nyeri, perhatikan lokasi,


intensitas (skala 0 10 ).
2. Pertahankan patensi kateter
dan
sistem
drainase.
Pertahankan selang bebas
dari lekukan dan bekuan.
3. Pertahankan tirah baring bila
diindikasikan
4. Berikan
tindakan
kenyamanan
(
sentuhan
terapeutik,
pengubahan
posisi, pijatan punggung )
dan aktivitas terapeutik.
5. Kolaborasi dalam pemberian
antispasmodik

Resik Keseimbangan
cairan
o tinggi kekurangan cairan tubuh tetap terpelihara.
yang berhubungan dengan Kriteria hasil:
pasca obstruksi diuresis
Mempertahankan
hidrasi
adekuat
dibuktikan dengan:
tanda -tanda vital
stabil, nadi perifer
teraba, pengisian
perifer
baik
membran mukosa
lembab
dan
keluaran
urin
tepat.

1. Awasi keluaran tiap jam bila


diindikasikan.
Perhatikan
keluaran 100-200 ml/.jam
2. Pantau
masukan
dan
haluaran cairan
3. Awasi
tanda-tanda
vital,
perhatikan peningkatan nadi
dan pernapasan, penurunan
tekanan darah, diaforesis,
pucat
4. Tingkatkan
tirah
baring
dengan kepala lebih tinggi
5. Kolaborasi dalam memantau
pemeriksaan
laboratorium
sesuai indikasi, contoh:
Hb / Ht, jumlah sel darah
merah.
Pemeriksaan
koagulasi, jumlah trombosit

2. Ansietas berhubungan Pasien tampak rileks. 1. Dampingi klien dan bina


dengan perubahan status Dengan kriteria hasil:
hubungan saling percaya
kesehatan
atau Menyatakan
2. Memberikan informasi tentang
menghadapi
prosedur
prosedur tindakan yang akan
pengetahuan yang
bedah.
dilakukan
akurat
tentang
3. Dorong pasien atau orang
situasi
terdekat untuk menyatakan
Menunjukkan
masalah atau perasaan
rentang yang yang
tepat
tentang
perasaan
dan
penurunan
rasa
takut

13

3. Kurang
pengetahuan
tentang
kondisi
,prognosis
dan
kebutuhan pengobatan
berhubungan
dengan
kurangnya informasi

Menyatakan
1. Dorong pasien menyatakan
pemahaman
tentang
rasa takut
persaan dan
proses penyakit dan
perhatian
prognosisnya. Dengan 2. Kaji
ulang
proses
Kriteria hasil:
penyakit,pengalaman pasien
Melakukan
perubahan
pola
hidup atau prilaku
yang
perlu
berpartisipasi dalam
program pengobatan

4. Perubahan pola eliminasi


urine:
retensi
urin
berhubungan
dengan
obstruksi sekunder

Setelah
dilakukan 1.
Lakukan irigasi kateter
perawatan pasien tidak
secara berkala atau terusmengalami retensi urin.
menerus dengan teknik steril.
Dengan Kriteria hasil:
2.
Atur posisi selang kateter
dan urin bag sesuai gravitasi
Pasien dapat buang
dalam keadaan tertutup.
air kecil teratur
Observasi adanya tandabebas dari distensi 3.
tanda
shock/hemoragi
kandung kemih
(hematuria,
dingin,
kulit
lembab, takikardi, dispnea).
4.
Mempertahankan kesterilan
sistem drainage cuci tangan
sebelum
dan
sesudah
menggunakan
alat
dan
observasi aliran urin serta
adanya bekuan darah atau
jaringan.
5.
Monitor urine setiap jam
(hari pertama operasi) dan
setiap 2 jam (mulai hari kedua
post operasi).
6.
Ukur intake output cairang.
Beri
tindakan
asupan/pemasukan oral 20003000 ml/hari, jika tidak ada
kontra indikasi
7.
Berikan latihan perineal
(kegel training) 15-20x/jam
selama 2-3 minggu, anjurkan
dan motivasi pasien untuk
melakukannya

14

Post Operasi
Diagnosa

Tujuan

1. Nyeri berhubungan
dengan spasmus
kandung kemih dan
insisi sekunder pada
TUR-P
1.

2.
3.

4.

5.

Intervensi

Nyeri berkurang atau 1.


Jelaskan
hilang.
pada klien tentang gejala dini
spasmus kandung kemih.
Kriteria hasil :
2.
Pemantauan
klien
pada
interval
yang teratur
Klien mengatakan
selama
48
jam,
untuk
nyeri berkurang /
mengenal gejala gejala dini
hilang.
dari spasmus kandung kemih
Ekspresi wajah klien
tenang.
3.
Jelaskan
Klien akan
pada klien bahwa intensitas
menunjukkan
dan frekuensi akan berkurang
ketrampilan
dalam 24 sampai 48 jam
relaksasi.
4.
Beri
Klien akan tidur /
penyuluhan pada klien agar
istirahat dengan
tidak berkemih ke seputar
tepat.
kateter
Tanda tanda vital
dalam batas normal. 5.
Anjurkan
pada klien untuk tidak duduk
dalam waktu yang lama
sesudah tindakan TUR-P
6.

Ajarkan
penggunaan teknik relaksasi,
termasuk latihan nafas dalam,
visualisasi.

7.

Jagalah
selang drainase urine tetap
aman dipaha untuk mencegah
peningkatan tekanan pada
kandung kemih. Irigasi kateter
jika terlihat bekuan pada
selang

8.

Observasi
tanda tanda vital

15

9.

1. Resiko tinggi infeksi


berhubungan
dengan
prosedur invasif: alat
selama
pembedahan,
kateter, irigasi kandung
kemih sering

Kolaborasi
dengan dokter untuk memberi
obat-obatan(analgesik atau anti
spasmodik )

Klien
tidak 1. Pertahankan sistem kateter
menunjukkan tanda
steril,
berikan
perawatan
tanda infeksi .
kateter dengan steril
Kriteria hasil:
1.

Klien tidak
mengalami infeksi.

2. Anjurkan intake cairan yang


cukup ( 2500 3000 ) sehingga
dapat menurunkan potensial
infeksi

2.

Dapat mencapai
waktu
penyembuhan.

3. Pertahankan
dibawah

3.

Tanda tanda
vital dalam batas
normal dan tidak
ada tanda tanda
shock.

3 Resiko tinggi cidera:


perdarahan
berhubungan
dengan
tindakan pembedahan

Tidak
perdarahan.

posisi

urobag

4. Observasi tanda tanda vital,


laporkan tanda tanda shock
dan demam
5. Kolaborasi dengan dokter
untuk memberi obat antibiotik

terjadi

1. Jelaskan pada klien tentang


sebab
terjadi
perdarahan
setelah pembedahan dan tanda
tanda perdarahan

1.

Klien tidak
menunjukkan tanda
tanda perdarahan .

2. Irigasi aliran kateter jika


terdeteksi gumpalan dalm
saluran kateter

2.

Tanda tanda
vital dalam batas
normal .

3.

Urine lancar
lewat kateter

Kriteria hasil:

3. Sediakan diet makanan tinggi


serat dan memberi obat untuk
memudahkan defekasi
4. Pantau traksi kateter: catat
waktu traksi di pasang dan
kapan traksi dilepas
5. Mencegah
pemakaian
termometer
rektal,
pemeriksaan
rektal
atau
huknah, untuk sekurang
kurangnya satu minggu
6. Observasi: Tanda tanda vital
tiap 4 jam,masukan dan

16

haluaran dan warna urine

4. Resiko tinggi disfungsi


seksual berhubungan
dengan ketakutan akan
impoten akibat dari
TUR-P

Fungsi seksual dapat 1. Beri kesempatan pada klien


dipertahankan
untuk
memperbincangkan
tentang pengaruh TUR P
terhadap seksual
Kriteria hasil:
1.

Klien tampak
rileks dan
melaporkan
kecemasan menurun
.

2.

Klien
menyatakan
pemahaman situasi
individual .

3.

Klien
menunjukkan
keterampilan
pemecahan
masalah .

4.

Klien mengerti
tentang pengaruh
TUR P pada
seksual

5 Kurang pengetahuan:
tentang
TUR-P
berhubungan
dengan
kurang informasi

2. Jelaskan
tentang
:
kemungkinan
kembali
ketingkat tinggi seperti semula
dan
kejadian
ejakulasi
retrograd (air kemih seperti
susu)
3. Mencegah hubungan seksual 34 minggu setelah operasi
4. Dorong
klien
untuk
menanyakan kedokter salama
di rawat di rumah sakit dan
kunjungan lanjutan

Klien
dapat
menguraikan
pantangan kegiatan
serta
kebutuhan
berobat lanjutan .

Beri penjelasan untuk


mencegah aktifitas berat
selama 3-4 minggu
Beri penjelasan untuk
mencegah mengedan waktu
BAB selama 4-6 minggu; dan
memakai pelumas tinja untuk
laksatif sesuai kebutuhan

Kriteria hasil:
1.

Klien akan
melakukan
perubahan perilaku.

2.

Klien
berpartisipasi dalam
program
pengobatan.

3.

Klien akan
mengatakan
pemahaman pada
pantangan kegiatan
dan kebutuhan
berobat lanjutan .

17

1.

Pemasukan cairan
sekurangkurangnya 25003000 ml/hari

2.

Anjurkan untuk berobat


lanjutan pada dokter

3.

Kosongkan kandung kemih


apabila kandung kemih sudah
penuh

1. Gangguan pola tidur


berhubungan
dengan
nyeri
/
efek
pembedahan

2.

Kebutuhan tidur dan


istirahat terpenuhi.
Kriteria hasil:
1.

Klien mampu
beristirahat / tidur
dalam waktu yang
cukup.

2.

Klien
mengungkapan
sudah bisa tidur .

3.

Klien mampu
menjelaskan faktor
penghambat tidur

Kura
ng pengetahuan tentang
penatalaksanaan paska
operasi
dan
masa
penyembuhan

Klien
mengerti
penatalaksanaan
setelah
operasi.
Dengan criteria hasil:

Melakukan
perubahan pola hidup
atau prilaku yang
perlu berpartisipasi
dalam
program
pengobatan

18

1. Jelaskan pada klien dan


keluarga penyebab gangguan
tidur dan kemungkinan cara
untuk menghindari
2. Ciptakan
suasana
yang
mendukung, suasana tenang
dengan
mengurangi
kebisingan .
3. Beri kesempatan klien untuk
mengungkapkan
penyebab
gangguan tidur
4. Kolaborasi dengan dokter
untuk pemberian obat yang
dapat
mengurangi
nyeri
(analgesik ).

Pendidikan kesehatan
1. Hindari duduk lama
2. Makan buah dan sayur
untuk pelunak feses
3. Latihan berkemih
4. Hindari kerja berat, pergi
jauh
5. Cukup minum air
6. Hindari makanan pedas,
kopi, alkohol

DAFTAR PUSTAKA
1. Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2003. Rencana Asuhan
Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2. Long, B.C. 1996. Perawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC.
3. Soeparman. 2008. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. FKUI. Jakarta.
4. Guyton, Arthur C. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Editor, Irawati. S,
Edisi : 9. EGC : Jakarta.
5. Schwartz, dkk. 2007. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Editor : G. Tom
Shires dkk,. Jakarta: EGC.
6. Jong, Wim de, dan Syamsuhidayat R.2008. Buku Ajar Ilmu Bedah, Editor : R.
Syamsuhidajat, Wim De Jong, Edisi revisi : EGC ; Jakarta.
7. NANDA, 2012. Nursing Diagnoses : Definition & Classifications 2012-2014.
Philadelphia. USA.
8. Nursalam. (2001). Proses dan Dokumentasi Keperawatan. Jakarta: EGC
9. Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta:
Media Aesculapius
10. Mc. Closkey & Bulechek. 2002. Nursing Intervention Classification. Mosby
Year Book. Philadelphia.St. Louis.
11. Price, S.A & Wilson, L.M. 2001. Patofisiologi. (Edisi 6). Jakarta: EGC

19

Anda mungkin juga menyukai