PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Miastenia gravis merupakan penyakit kelemahan otot yang parah.
Penyakit ini merupakan penyakit neuromuscular yang merupakan gabungan
antara cepatnya terjadi kelelahan otot-otot volunter dan lambatnya pemulihan.
Pada masa lampau kematian akibat dari penyakit ini bisa mencapai 90%, tetapi
setelah ditemukannya obat-obatan dan tersedianya unit-unit perawatan pernafasan,
maka sejak itulah jumlah kematian akibat penyakit ini bisa dikurangi.
Sindrom klinis ini ditemukan pertama kali pada tahun 1600, dan pada
akhir tahun 1800 Miastenia gravis dibedakan dari kelemahan otot akibat paralisis
burbar. Pada tahun 1920 seorang dokter yang menderita penyakit Miastenia gravis
merasa lebih baik setelah minum obat efidrin yang sebenarnya obat ini ditujukan
untuk mengatasi kram menstruasi. Dan pada tahun 1934 seorang dokter dari
Inggris bernama Mary Walker melihat adanya gejala-gejala yang serupa antara
Miastenia gravis dengan keracunan kurare.
Mary Walker menggunakan antagonis kurare yaitu fisiotigmin untuk
mengobati Miastenia gravis dan ternyata ada kemajuan nyata dalam penyembuhan
penyakit ini. Miastenia gravis banyak timbul pada usia 20 tahun, perbandingan
antara wanita dan pria yang menderita penyakit ini adalah 3:1. Tingkatan usia
yang kedua yang paling sering terserang penyakit ini adalah pria dewasa yang
lebih tua.
Kematian dari penyakit Miastenia gravis biasanya disebabkan oleh
insufisiensi pernafasan, tetapi dapat dilakukannya perbaikan dalam perawatan
intensif untuk pertahanan sehingga komplikasi yang timbul dapat ditangani
dengan lebih baik. Penyembuhan dapat terjadi pada 10 % hingga 20 % pasien
dengan melakukan timektomi elektif pada pasien-pasien tertentu dan yang paling
cocok dengan jalan penyembuhan seperti ini adalah golongan wanita muda, yaitu
pada usia awitan. Usia awitan dari miastenia gravis adalah 20-30 tahun untuk
wanita dan 40-60 untuk pria.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan Miastenia Gravis?
2. Apa saja klasifikasi penyakit Miastenia Gravis?
3. Apa penyebab dari Miastenia Gravis?
4. Bagaimana patofisiologi penyakit Miastenia Gravis?
5. Apa saja tanda dan gejala Miastenia Gravis?
6. Bagaimana diagnosis dari penyakit Miastenia Gravis?
7. Apa saja komplikasi yang timbul dari penyakit Miastenia Gravis?
8. Bagaimana pencegahan penyakit Miastenia Gravis?
9. Bagaimana penetalaksanaan penyakit Miastenia Gravis?
10. Bagaimana penyelesaian kasus penyakit Miastenia Gravis dengan metoda
SOAP?
1.3 TUJUAN
1. Mengetahui definisi penyakit Miastenia gravis.
2. Mengetahui Klasifikasi penyakit Miastenia gravis.
3. Mengetahui penyebab/etiologi penyakit Miestenia Gravis.
4. Mengetahui patogenesis/patofisiologi penyakit Miastenia gravis.
5. Mengetahui tanda dan gejala penyakit Miastenia gravis.
6. Mengetahui Diagnosis dari penyakit Miatenia Gravis.
7. Mengetahui komplikasi yang bisa ditimbulkan oleh penyakit Miastenia
gravis.
8. Mengetahui pencegahan penyakit Miastenia gravis.
9. Mengetahui penatalaksanaan penyakit Miastenia gravis.
10. Mengetahui cara penyelesaian kasus Miastenia Gravis dengan metoda
SOAP.
BAB II
PEMBAHASAN
berikut ini:
Asetil-KoA + Kolin Asetilkolin + KoA
2. Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-membran
yang disebut vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel ini.
3. Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap
berikutnya. Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi
vesikel dengan membran presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta
tunggal (sekitar 10.000 molekul transmitter yang mungkin sesuai dengan
isi satu vesikel sinaps) akan dilepaskan secara spontan sehingga
menghasilkan potensial endplate miniature yang kecil. Kalau sebuah akhir
Dua molekul asetilkolin harus berikatan untuk membuka saluran ion, yang
memungkinkan aliran baik Na+ maupun K+.
Bisa berikatan dengan erat pada subunit dan dapat digunakan untuk
melabel
reseptor
atau
sebagai
suatu
ligand
berafinitas
untuk
memurnikannya.
subkelas
Gejala
Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat
menutup mata, dan kekuatan otot-otot lain normal.
II
IIa
IIb
III
IIIb
IV
IVb
10
11
Tipe ini timbul pada umur 2 tahun sampai remaja. Keluhan dan gejala
sama seperti pada orang dewasa dan gejala pertama biasanya diplopia dan ptosis
atau gejala THT seperti gangguan mengunyah, menelan atau suara sengau.
12
neuromuscular. Antibodi tidak normal dapat ditemukan dalam darah pada banyak
orang-orang dengan Myasthenia Gravis. Antibodi menghancurkan reseptor
dengan lebih cepat dibanding tubuh bisa menggantikan mereka lagi. Kelemahan
otot terjadi ketika asetilkolin tidak dapat menggerakkan reseptor pada
persimpangan neuromuskular.
Selain penjelasan mengenai penyebab Myasthenia Gravis, terdapat juga
penjelasan mengenai kemungkinan adanya peranan kelenjar thymus dalam
penyakit ini. Kelenjar thymus yang terletak di daerah dada atas di bawah tulang
dada, memainkan peranan penting dalam mengembangkan system imun pada
awal kehidupan. Sel-sel ini membentuk bagian dari system normal imun tubuh.
Kelenjar ini sedikit besar pada saat bayi, tumbuh secara berangsur-angsur sampai
masa pubertas, dan kemudian menjadi mengecil dan digantikan dengan
pertumbuhan bersama usia.
Pada orang-orang dewasa dengan Myasthenia Gravis, kelenjar thymus
tidak normal. Ini mengandung beberapa kelompok dari indikasi sel imun dari
lymphoid hyperplasia. Kondisi ini umumnya hanya ditemukan pada limpa dan
tunas getah bening pada saat reaksi aktif imun. Beberapa orang dengan
Myasthenia Gravis menghasilkan thymoma atau tumor pada kelenjar thymus.
Umumnya tumor ini jinak, tapi bisa menjadi berbahaya. Hubungan antara kelenjar
thymus dan Myasthenia Gravis masih belum sepenuhnya dimengerti. Para
ilmuwan percaya bahwa kelenjar thymus mungkin memberikan instruksi yang
salah mengenai produksi antibodi reseptor asetilkolin sehingga malah menyerang
transmisi neuromuskular.
13
14
15
Penyakit miastenia gravis biasanya mulai tampak pada umur 20-40 tahun.
Gejala utama pada penyakit ini adalah timbulnya kelemahan otot bila otot tersebut
digunakan terus menerus. Otot mata yang sering terkena sehingga timbul ptosis
dan strabismus. Selain itu juga dapat timbul kelemahan pada otot masseter,
sehingga mulut penderita sukar untuk menutup. Selain itu juga dapat pula timbul
kelemahan faring, lidah, palatum molle dan laring sehingga timbulnya kesukaran
untuk menelan dan kesukaran untuk bicara. Parese dari palatum molle akan
menimbulkan suara sengau, selain itu bicaranya juga menjadi kurang jelas.
Biasanya gejala-gejala miastenia gravis seperti ptosis dan strabismus akan tampak
dengan jelas pada sore hari dan pada cuaca panas, pada pemeriksaan tonus otot
tampak agak menurun.
Gejala klinis Myasthenia Gravis antara lain :
16
mulut penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari
otot faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran
menelan dan berbicara. Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara
sengau. Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari
hidungnya.
Menurut Department of Health and Human Services-USA, tanda dan
gejala dari Myasthenia Gravis, yaitu :
17
18
Pemeriksaan Laboratorium
miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari
penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia
okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif.
Pada pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive antiAChR antibody. Rata-rata titer antibody pada pemeriksaan anti-asetilkolin reseptor
antibody, yang dilakukan oleh Tidall, di sampaikan pada tabel berikut4:
Tabel 1. Prevalensi dan Titer Anti-AChR Ab pada Pasien Miastenia Gravis
Osserman Class
Percent Positive
0.79
24
2.17
55
IIA
49.8
80
IIB
57.9
100
III
78.5
100
IV
205.3
89
19
Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita
thymoma dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan
usia lebih dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.
Antistriational antibodies
Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan
adanya antibody yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan
otot jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein
titin dan ryanodine (RyR). Antibody ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma
dengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody
merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda
dengan miastenia gravis.
20
b. Imaging
thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior
mediastinum.
-
MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan
rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari
penyebab defisit pada saraf otak.
c.
Pendekatan Elektrodiagnostik
Pendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi
asetilkolin, sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.
merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas
pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit
yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal
21
yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek
transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density
yang normal.
Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis miastenia
gravis, antara lain :
Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III
pada beberapa penyakit elain miastenia gravis, antara lain :
o Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)
o Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring
o Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii
o Paralisis pasca difteri
o Pseudoptosis pada trachoma
pada otot anggota tubuh bagian proksimal dan disertai dengan ke;emahan relatif
pada otot-otot ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga
pada detik-detik awal suatu kontraksi volunter, terjadi hiporefleksia, mulut kering,
dan sering kali dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama oat cell carcinoma
pada paru.
22
EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada miastenia gravis.
Defek pada transmisi neuromuscular terjadi pada frekuensi renah (2Hz) tetapi
akan terjadi ahmbatan stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40 Hz). Kelainan
pada miastenia gravis terjadi pada membran postsinaptik sedangkan kelainan pada
LEMS terjadi pada membran pre sinaptik, dimana pelepasan asetilkolin tidak
berjalan dengan normal, sehingga jumlah asetilkolin yang akhirnya sampai ke
membran postdinaptik tidak mencukupi untuk menimbulkan depolarisasi.
2.7 KOMPLIKASI MYASTHENIA GRAVIS
23
Miastenia gravis ini terjadi pada saat mereka dalam kondisi yang lelah dan
tegang.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan ini ditujukan pada individu yang sudah mulai sakit dan
menunjukkan adanya tanda dan gejala. Pada tahap ini yang dapat dilakukan
adalah dengan cara pengobatan antara lain dengan mempengaruhi proses
imunologik pada tubuh individu, yang bisa dilaksanakan dengan; Timektomi,
Kortikosteroid, Imunosupresif yang biasanya menggunakan Azathioprine.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan
tersier
(rehabilitasi),
pada
bentuk
pencegahan
ini
mengusahakan agar penyakit yang di derita tidak menjadi hambatan bagi individu
serta tidak terjadi komplikasi pada individu. Yang dapat dilakukan dengan;
a. Mencegah untuk tidak terjadinya penyakit infeksi pada pernafasan.
b. Karena hal ini dapat memperburuk kelemahan otot yang diderita oleh
individu.
c. Istirahat yang cukup
d. Pada Miastenia gravis dengan ptosis, yaitu dapat diberikan kacamata khusus
yang dilengkapi dengan pengait kelopak mata.
e. Mengontrol pasien Miastenia gravis untuk tidak minum obat-obat
antikolinesterase secara berlebihan.
Obat-obat yang dapat memperburuk (exacerbate) gejala Myasthenia
Gravis :
a. Antibiotik (aminoglycosides, ciprofloxacin, erythromycin, ampicillin).
b. Agen penghambat reseptor beta-adrenergik atau beta-bloker
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
(propanolol/Inderal, oxprenolol).
calcium channel blockers .
Chloroquine .
D-Penicillamine.
Iodinated contrast.
Lithium.
Magnesium.
Nondepolarizing and depolarizing neuromuscular-blocking agents.
Phenothiazines.
Quinine.
24
l. Timolol.
m. Trihexyphenidyl (antikolinergik).
n. Verapamil.
2.9 PENATALAKSANAAN MYASTHENIA GRAVIS
Pada pasien dengan Miastenia gravis harus belajar dalam batasan yang
ditetapkan oleh penyakit yang mereka derita ini. Mereka memerlukan tidur selam
10 jam agar dapat bangun dalam keadaan segar, dan perlu menyelingi kerja
dengan istirahat. Selain itu mereka juga harus menghindari factor-faktor pencetus
dan harus minum obat tepat pada waktunya. (Silvia A. Price, Lorain M. Wilson.
1995.)
Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti,
tetapi Miastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati.
Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi
merupakan penatalaksanaan utama pada miastenia gravis.
Antikolinesterase biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan.
Sedangkan pada pasien dengn miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan
terapi imunomudulasi yang rutin.
Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombinasikan dengan
pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya
mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita miastenia gravis.
Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan
kekuatan otot secara cepat dan terbukti memiliki onset lebih lambat tetapi
memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan.
(Endang Thamrin dan P. Nara, 1986)
Secara garis besar, pengobatan Miastenia gravis berdasarkan 3
Prinsip, yaitu :
1. Mempengaruhi transmisi neuromuskuler :
a. Istirahat
Dengan istirahat, banyaknya ACh dengan rangsangan saraf akan
bertambah sehingga serat-serat otot yang kekurangan AChR di bawah ambang
rangsang dapat berkontraksi.
25
Acetylcholinesterase
inhibitor
efektif
untuk
peningkatan
26
sehingga pasien dapat tidur sepanjang malam tanpa harus bangun untuk minum
obat.
2. Mempengaruhi proses imunologik
a. Timektomi
Tujuan neurologi utama dari Thymectomi (bedah toraks mayor untuk
mengangkat kelenjar timus) ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari
kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi pasien, serta
idealnya adalah kesembuhan yang permanen dari pasien. Timektomi dianjurkan
pada MG tanpa timoma yang telah berlangsung 3-5 tahun. Dengan timektomi,
setelah 3 tahun 25% penderita akan mengalami remisi klinik dan
40-50% mengalami perbaikan.
Sekitar 15% penderita MG memiliki tumor atau hiperplasi kelenjar timur
yang disebut timoma. Timus terlibat dalam perkembangan sistem imun sehingga
pengangkatan kelenjar bersifat kuratif bagi beberapa pasien. Keputusan untuk
melakukan timektomi dibuat berdasarkan pasien tersebut, karena keuntungan
timektomi dalam mengurangi gejala tidak sebesar pada pasien usia tua atau yang
telah menderita MG lebih dari 5 tahun. Sekitar 30% penderita MG timoma yang
menjalani timektomi pada akhirnya mengalami remisi bebas-pengobatan. Lima
puluh persen yanng lain mengalami perbaikan nyata.
b. Kortikosteroid
Diberikan prednison dosis tunggal atau alternating untuk mencegah efek
samping. Dimulai dengan dosis kecil, dinaikkan perlahan-lahan sampai dicapai
dosis yang diinginkan. Kerja kortikosteroid untuk mencegah kerusakan jaringan
oleh pengaruh imunologik atau bekerja langsung pada transmisi neromuskuler.
Steroid Therapi
27
pilihan terapi dasar. Pilihan pertama adalah obat imunosupresif, yang semuanya
memiliki indeks terapi rendah (rasio dosis toksik terhadap dosis terapi). Terapi
kortikoteroid menyebabkan perbaikan klinis pada banyak pasien, walaupun
banyak efek samping serius terjadi akibat penggunaan jangka panjang. Beberapa
pasien berespons baik terhadap regimen kombinasi antara kortikosteroid dan
piridostigmin. Azatioprin (yaitu suatu obat imunosupresif) telah digunakan dan
memiliki hasil yang baik; efek sampingnya ringan jika dibandingkan dengan
akibat kortikosteroid, dan terutama terdiri dari gangguan GI, peningkatan enzim
hati, dan leukoponia.
c. Imunosupresif
Yaitu
dengan
menggunakan
Azathioprine,
Cyclosporine,
28
thymektomi
atau
pasien
yang
kesulitan
menjalani
periode
postoperative. Belum ada regimen standar untuk terapi ini, tetapi banyak pusat
kesehatan yang mengganti sekitar satu volume plasma tiap kali terapi untuk 5 atau
6 kali terapi setiap hari. Albumin (5%) dengan larutan salin yang
disuplementasikan dengan kalsium dan natrium dapat digunakan untuk
replacement. Efek PE akan muncul pada 24 jam pertama dan dapat bertahan
hingga lebih dari 10 minggu. Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadinya
pergeseran cairan selama pertukaran berlangsung. Terjadi retensi kalsium,
magnesium, dan natrium yang dpat menimbulkan terjadinya hipotensi.
Trombositopenia dan perubahan pada berbagai faktor pembekuan darah dapat
terjadi pada terapi PE berulang. Tetapi hal itu bukan merupakan suatu keadaan
yang dapat dihubungkan dengan terjadinya perdarahan, dan pemberian freshfrozen plasma tidak diperlukan
29
30
pasien lainnya menunjukkan respon pada terapi ketiga. Efek maksimal tercapai
dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi. Penggunaan IVMp pada keadaan
krisis akan dipertimbangkan apabila terpai lain gagal atau tidak dapat digunakan.
2. Pengobatan Farmakologi Jangka Panjang
2.1 Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah
untuk pengobatan miastenia gravis. Respon terhadap pengobatan kortikosteroid
mulai tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi. Durasi kerja
kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3
bulan. Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun dan
efek terapi yang pasti terhadap miastenia gravis masih belum diketahui.
Koortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan pada
fase proliferasi dari sel B. Sel T serta antigen-presenting cell yang teraktivasi
diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan dalam memposisikan
kortikosteroid di tempat kelainan imun pada miastenia gravis. Pasien yang
berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan dari titer
antibodinya. Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis
yang sangat mengganggu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase.
Dosis maksimal penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian
dilakukan tapering pada pemberiannya. Pada penggunaan dengan dosis diatas 30
mg setiap harinya, aka timbul efek samping berupa osteoporosis, diabetes, dan
komplikasi obesitas serta hipertensi.
2.2 Azathioprine
Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara
relatif terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi.
Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin
yang memiliki efek terhadap penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan
RNA. Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3
31
mg/kgbb/hari. Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis
optimafl tercapai. Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat
ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang
lebih sedikit dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya. Respon
Azathioprine sangant lambat, dengan respon maksimal didapatkan dalam 12-36
bulan. Kekambuhan dilaporkan terjadi pada sekitar 50% kasus, kecuali
penggunaannya juga dikombinasikan dengan obat imunomodulasi yang lain.
2.3 Cyclosporine
Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari
sel T-helper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada
produksi antibodi. Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari
terbagi dalam dua atau tiga dosis. Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat
dibandingkan azathioprine. Cyclosporine dapat menimbulkan efek samping
berupa nefrotoksisitas dan hipertensi.
3. Tindakan Pembedahan
Tindakan bedah pada miastenia gravis adalah timektomi. Ini terutama
diindikasikan pada penderita-penderita wanita muda dengan riwayat yang kurang
dari 5 tahun menderita miastenia gravis. Prognosis pada kelompok ini biasanya
jelek. Pada wanita muda tanpa timoma kira-kira 80%-90% penderita akan
membaik atau akan terjadi remisi yang sempurna dalam beberapa tahun. Persiapan
untuk timektomi yaitu :
1. Terapi antikolinesterase dengan neostigmin atau piridostigmin yang
optimal dilanjutkan sampai saat operasi.
2. Harus dilakukan tes fungsi paru, bila kapasitas vital sangat menurun maka
harus dilakuka trakeotomi pada saat dilakukan timektomi supaya bantuan
respirasi dapat diberikan pada saat pascabedah.
3. Pada pascabedah, terapi antikolinesterase dimulai dengan memberikan
dosis rendah dn disesuaikan dnegan kebutuhan penderita.
32
33
pada
keadaan
pascabedah,
partus,
infeksi
atau
dengan
34
35
36
bromida 60 mg tablet dengan setengah tablet menjadi tanda empat kali sehari
awalnya kemudian meningkat hingga enam tablet yang hari jika kelemahan otot
tidak membaik. GP juga meresepkan hiosin tablet butylbromide 10mg, dua di
antaranya di mana menjadi tanda sampai empat kali sehari.
Subjek
Nama : Mr.Jones
Umur : Jenis kelamin : laki-laki
Riwayat penyakit : Keluhan : penurunan kelopak mata, tangan gemetar, kelelahan otot.
Objek
Data laboratorium: Asessment/Kajian
1. Berdasarkan keluhan pasien,dan resep yang diberikan, pasien mengalami
Myasthenia Gravis.
2. Untuk terapi awal, Pasien telah menerima terapi pyridostigmine bromide
60 mg sebanyak empat kali sehari setengah tablet. Jika keluhan tidak
berkurang maka dinaikkan menjadi enam kali sehari. Dan pasien juga akan
mendapat terapi hyoscine butylbromide 10mg.
3. Seharusnya, pasien tidak dibenarkan untuk mendapatkan terapi hyoscine
butylbromide, karena kontra indikasi dengan keluhan pasien.
Plan
a. Tujuan Terapi :
- menetralkan Gejala Myathenia Gravis.
- memperbaiki keadaan fisiologis tubuh.
b. Sasaran Terapi
- mencegah pecahnya/lepasnya Asetilkolin.
37
- Imunosupresi
c. Terapi Farmakologis :
1. Pasien diberikan terapi Acetylcholinesterase inhibitors, yaitu dengan
pemberian Pyridostigmine Bromide 60 mg.
Indikasi : Myastheneia Gravis
Kontra Indikasi : Hipersensitif terhadap bromide, obstruksi GI atau salarun
kemih, dan asma bronchial.
Efek Samping : gangguan pncernaan, mual, muntah kram perut dan diare,
peningkatan air liur dan air mata, peningkatan sekresi
bronchial, peningkatan keringat, kejang otot,
otot
mengaktifkan
Pyridostigmine
memungkinkan
cukup
lebih
reseptor.
banyak
38
2. Imunosupresif
Dengan pemberian Kortikosteroid, yaitu Prednison 5 mg.
Indikasi : Terapi tambahan pada rematoid artitis untuk pemberian jangka
pendek
pada
lupus
eritematosus,
periartitis
nodosa,
39
40
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Myasthenia Gravis (MG) adalah penyakit autoimun kronis dari transmisi
neuromuskular yang menghasilkan kelemahan otot. Istilah Myasthenia
adalah bahasa Latin untuk kelemahan otot, dan Gravis untuk berat atau
serius.
Myasthenia Gravis disebabkan oleh adanya antibodi yang merintangi,
merubah bahkan merusak penerimaan zat asetilkolin, sehingga hal ini
menghalangi terjadinya kerja otot.
Gejala utama pada penyakit ini adalah timbulnya kelemahan otot bila otot
tersebut digunakan terus menerus. Otot mata yang sering terkena sehingga
timbul ptosis dan strabismus. Selain itu juga dapat timbul kelemahan pada
otot masseter, sehingga mulut penderita sukar untuk menutup. Selain itu
juga dapat pula timbul kelemahan faring, lidah, palatum molle dan laring
sehinggatimbulnya kesukaran untuk menelan dan kesukaran untuk bicara.
Parese dari palatum molle akan menimbulkan suara sengau, selain itu
bicaranya juga menjadi kurang jelas. Biasanya gejala-gejala miastenia
gravis seperti ptosis dan strabismus akan tampak dengan jelas pada sore hari
dan pada cuaca panas, pada pemeriksaan tonus otot tampak agak menurun.
Secara garis besar, pengobatan Miastenia gravis berdasarkan 3 Prinsip,
yaitu :
1. Mempengaruhi transmisi neuromuskuler
2. Mempengaruhi proses imunologik
3. Penyesuaian penderita terhadap kelemahan otot
41
DAFTAR PUSTAKA
42