Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Miastenia gravis merupakan penyakit kelemahan otot yang parah.
Penyakit ini merupakan penyakit neuromuscular yang merupakan gabungan
antara cepatnya terjadi kelelahan otot-otot volunter dan lambatnya pemulihan.
Pada masa lampau kematian akibat dari penyakit ini bisa mencapai 90%, tetapi
setelah ditemukannya obat-obatan dan tersedianya unit-unit perawatan pernafasan,
maka sejak itulah jumlah kematian akibat penyakit ini bisa dikurangi.
Sindrom klinis ini ditemukan pertama kali pada tahun 1600, dan pada
akhir tahun 1800 Miastenia gravis dibedakan dari kelemahan otot akibat paralisis
burbar. Pada tahun 1920 seorang dokter yang menderita penyakit Miastenia gravis
merasa lebih baik setelah minum obat efidrin yang sebenarnya obat ini ditujukan
untuk mengatasi kram menstruasi. Dan pada tahun 1934 seorang dokter dari
Inggris bernama Mary Walker melihat adanya gejala-gejala yang serupa antara
Miastenia gravis dengan keracunan kurare.
Mary Walker menggunakan antagonis kurare yaitu fisiotigmin untuk
mengobati Miastenia gravis dan ternyata ada kemajuan nyata dalam penyembuhan
penyakit ini. Miastenia gravis banyak timbul pada usia 20 tahun, perbandingan
antara wanita dan pria yang menderita penyakit ini adalah 3:1. Tingkatan usia
yang kedua yang paling sering terserang penyakit ini adalah pria dewasa yang
lebih tua.
Kematian dari penyakit Miastenia gravis biasanya disebabkan oleh
insufisiensi pernafasan, tetapi dapat dilakukannya perbaikan dalam perawatan
intensif untuk pertahanan sehingga komplikasi yang timbul dapat ditangani
dengan lebih baik. Penyembuhan dapat terjadi pada 10 % hingga 20 % pasien
dengan melakukan timektomi elektif pada pasien-pasien tertentu dan yang paling
cocok dengan jalan penyembuhan seperti ini adalah golongan wanita muda, yaitu

pada usia awitan. Usia awitan dari miastenia gravis adalah 20-30 tahun untuk
wanita dan 40-60 untuk pria.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan Miastenia Gravis?
2. Apa saja klasifikasi penyakit Miastenia Gravis?
3. Apa penyebab dari Miastenia Gravis?
4. Bagaimana patofisiologi penyakit Miastenia Gravis?
5. Apa saja tanda dan gejala Miastenia Gravis?
6. Bagaimana diagnosis dari penyakit Miastenia Gravis?
7. Apa saja komplikasi yang timbul dari penyakit Miastenia Gravis?
8. Bagaimana pencegahan penyakit Miastenia Gravis?
9. Bagaimana penetalaksanaan penyakit Miastenia Gravis?
10. Bagaimana penyelesaian kasus penyakit Miastenia Gravis dengan metoda
SOAP?
1.3 TUJUAN
1. Mengetahui definisi penyakit Miastenia gravis.
2. Mengetahui Klasifikasi penyakit Miastenia gravis.
3. Mengetahui penyebab/etiologi penyakit Miestenia Gravis.
4. Mengetahui patogenesis/patofisiologi penyakit Miastenia gravis.
5. Mengetahui tanda dan gejala penyakit Miastenia gravis.
6. Mengetahui Diagnosis dari penyakit Miatenia Gravis.
7. Mengetahui komplikasi yang bisa ditimbulkan oleh penyakit Miastenia
gravis.
8. Mengetahui pencegahan penyakit Miastenia gravis.
9. Mengetahui penatalaksanaan penyakit Miastenia gravis.
10. Mengetahui cara penyelesaian kasus Miastenia Gravis dengan metoda
SOAP.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI MYASTHENIA GRAVIS

Myasthenia Gravis (MG) adalah penyakit autoimun kronis dari transmisi


neuromuskular yang menghasilkan kelemahan otot. Istilah Myasthenia adalah
bahasa Latin untuk kelemahan otot, dan Gravis untuk berat atau serius.
Myasthenia Gravis termasuk salah satu jenis penyakit autoimun. Menurut
kamus kedokteran, penyakit autoimun itu sendiri adalah suatu jenis penyakit
dimana antibodi menyerang jaringan-jaringannya sendiri. Myasthenia Gravis
dapat menyerang otot apa saja, tapi yang paling umum terserang adalah otot yang
mengontrol gerakan mata, kelopak mata, mengunyah, menelan, batuk dan ekspresi
wajah. Bahu, pinggul, leher, otot yg mengontrol gerakan badan serta otot yang
membantu pernafasan juga dapat terserang.
Myastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi trasmisi
neuromuskuler pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang
(volunteer). Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan
umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi oleh
fungsi saraf cranial (Brunner and Suddarth 2002).
Myasthenia gravis adalah gangguan neuromuskuler yang mempengaruhi
transmisi impuls pada otot-otot volunter tubuh (Sandra M. Neffina 2002).
Health Community dalam sebuah website-nya mendefinisikan Myasthenia
Gravis sebagai penyakit autoimun kronis yang berakibat pada kelemahan otot
skelet. Otot-otot skelet adalah serabut-serabut otot yang terdiri dari berkas-berkas
atau striasi (striasi otot) yang berhubungan dengan tulang. Myasthenia Gravis
menyebabkan kelelahan yang cepat (fatigabilitas) dan kehilangan kekuatan pada
saat beraktivitas, dan membaik setelah istirahat.
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara
terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Bila penderita
beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali.
Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada
neuromuscular junction (Ngoerah, 1991).

2.1.1 ANATOMI, FISIOLOGIS, DAN BIOKIMIA NEUROMUSCULAR


JUNCTION
Tiap-tiap serat saraf secara normal bercabang beberapa kali dan
merangsang tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka. Ujung-ujung saraf
membuat suatu sambungan yang disebut neuromuscular junction atau sambungan
neuromuskular.
Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang
disebut terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di
sepanjang serat saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post
sinaptik (membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk
neuromuscular junction.

Gambar 1. Anatomi suatu Neuromuscular Junction


Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran
post sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu
lamina basalis, yang merupakan lapisan tipis dengan serat retikular seperti busa
yang dapat dilalui oleh cairan ekstraselular secara difusi.

Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi


asetilkolin (ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal namun
dengan cepat diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil, yang dalam
keadaan normal terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir motorik (motor
end plate).
Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125
kantong asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila
potensial aksi menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion
kalsium ke bagian dalam terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga
mempunyai pengaruh tarikan terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel akan
bersatu ke membran saraf dan mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam celah sinaps.
Asetilkolin yang dilepaskan berdifusi sepanjang sinaps dan berikatan dengan
reseptor asetilkolin (AChRs) pada membran post sinaptik.
Secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction
dianggap berlangsung dalam 6 tahap, yaitu:
1. Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan
menggunakan

enzim kolin asetiltransferase yang mengkatalisasi reaksi

berikut ini:
Asetil-KoA + Kolin Asetilkolin + KoA
2. Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-membran
yang disebut vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel ini.
3. Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap
berikutnya. Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi
vesikel dengan membran presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta
tunggal (sekitar 10.000 molekul transmitter yang mungkin sesuai dengan
isi satu vesikel sinaps) akan dilepaskan secara spontan sehingga
menghasilkan potensial endplate miniature yang kecil. Kalau sebuah akhir

saraf mengalami depolarisasi akibat transmisi sebuah impuls saraf, proses


ini akan membuka saluran Ca2+ yang sensitive terhadap voltase listrik
sehingga memungkinkan aliran masuk Ca2+ dari ruang sinaps ke terminal
saraf. Ion Ca2+ ini memerankan peranan yang esensial dalam eksositosis
yang melepaskan asitilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel) ke dalam rongga
sinaps.
4. Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah
sinaps ke dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan
bagian yang menonjol dari motor end plate yang mengandung reseptor
asetilkolin (AChR) dengan kerapatan yang tinggi dan sangat rapat dengan
terminal saraf. Kalau 2 molekul asetilkolin terikat pada sebuah reseptor,
maka reseptor ini akan mengalami perubahan bentuk dengan membuka
saluran dalam reseptor yang memungkinkan aliran kation melintasi
membran. Masuknya ion Na+ akan menimbulkan depolarisasi membran
otot sehingga terbentuk potensial end plate. Keadaan ini selanjutnya akan
menimbulkan depolarisasi membran otot di dekatnya dan terjadi potensial
aksi yang ditransmisikan disepanjang serabut saraf sehingga timbul
kontraksi otot.
5. Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis
oleh enzim asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut:
Asetilkolin + H2O Asetat + Kolin
Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina
basalis rongga sinaps.
6. Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport
aktif di mana protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis
asetilkolin. Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar
dengan saluran yang akan segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin.
Kompleks ini terdiri dari 5 protein subunit, yatiu 2 protein alfa, dan

masing-masing satu protein beta, delta, dan gamma. Melekatnya


asetilkolin memungkinkan natrium dapat bergerak secara mudah melewati
saluran tersebut, sehingga akan terjadi depolarisasi parsial dari membran
post sinaptik. Peristiwa ini akan menyebabkan suatu perubahan potensial
setempat pada membran serat otot yang disebut excitatory postsynaptic
potential (potensial lempeng akhir). Apabila pembukaan gerbang natrium
telah mencukupi, maka akan terjadi suatu potensial aksi pada membran
otot yang selanjutnya menyebabkan kontraksi otot.

Gambar 2. Fisiologi Neuromuscular Junction


Beberapa sifat dari reseptor asetilkolin di neuromuscular junction adalah
sebagai berikut:

Merupakan reseptor nikotinik (nikotin adalah agonis terhadap reseptor)

Merupakan glikoprotein bermembran dengan berat molekul sekitar 275


kDa.

Mengandung lima subunit : 2 alfa, beta, delta dan gamma.

Dua molekul asetilkolin harus berikatan untuk membuka saluran ion, yang
memungkinkan aliran baik Na+ maupun K+.

Bisa berikatan dengan erat pada subunit dan dapat digunakan untuk
melabel

reseptor

atau

sebagai

suatu

ligand

berafinitas

untuk

memurnikannya.

Autoantibodi terhadap reseptor termasuk penyebab miastenia gravis.

2.2 KLASIFIKASI MYASTHENIA GRAVIS


Untuk menentukan prognosis dan pengobatannya, penderita miastenia
gravis dibagi atas 4 golongan yaitu antara lain :
Golongan I : Miastenia Okular
Pada kelompok ini terdapat gangguan pada satu atau beberapa otot okular
yang menyebabkan timbulnya gejala ptosis dan diplopia, seringkali ptosis
unilateral. Bentuk ini biasanya ringan akan tetapi seringkali resisten terhadap
pengobatan.
Golongan II : Miastenia bentuk umum yang ringan
Timbulnya gejala perlahan-lahan dimulai dengan gejala okular yang
kemudian menyebar mengenai wajah, anggota badan dan otot-otot bulbar. Otototot respirasi biasanya tidak terkena. Perkembangan ke arah golongan III dapat
terjadi dalam dua tahun pertama dari timbulnya penyakit miastenia gravis.

Golongan III : Miastenia bentuk umum yang berat


Pada kasus ini timbulnya gejala biasanya cepat, dimulai dari gangguan
otot okular, anggota badan dan kemudian otot pernafasan. Kasus-kasus yang
mempunyai reaksi yang buruk terhadap terapi antikolinesterase berada dalam
keadaan bahaya dan akan berkembang menjadi krisis miastenia.
Golongan IV : Krisis miastenia
Kadang-kadang terdapat keadaan yang berkembang menjadi kelemahan
otot yang menyeluruh disertai dengan paralisis otot-otot pernafasan. Hal ini
merupakan keadaan darurat medik. Krisis miastenia dapat terjadi pada penderita
golongan III yang kebal terhadap obat-obat antikolinesterase yang pada saat yang
sama menderita infeksi lain. Keadaan lain yang berkembang menjadi kelumpuhan
otot-otot pernafasan adalah disebabkan oleh banyaknya dosis pengobatan dengan
antikolinesterase yang disebut krisis kolinergik. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi perjalanan penyakit ini, penderita akan bertambah lemah pada
waktu menderita demam, pada golongan III biasanya akan terjadi krisis miastenia
pada waktu adanya infeksi saluran nafas bagian atas, pada kebanyakan wanita
akan terjadi peningkatan kelemahan pada saat menstruasi1.
Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia
gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Kelas
I

subkelas

Gejala
Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat
menutup mata, dan kekuatan otot-otot lain normal.

II

Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta


adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot
okular.

IIa

Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya.


Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan

IIb

Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau


keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otototot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa.

III

Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular.


Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami
kelemahan tingkat sedang.
IIIa

Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau


keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot
orofaringeal yang ringan.

IIIb

Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau


keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot
anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat
ringan.

IV

Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan


dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular
mengalami kelemahan dalam berbagai derajat
IVa

Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh


dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami
kelemahan dalam derajat ringan.

IVb

Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau


keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat
kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan
feeding tube tanpa dilakukan intubasi.

Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.

10

Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak


akan tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas,
gejala-gejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya
agak menurun.Miastenia gravis juga dapat dikelompokkan secara lebih sederhana
seperti dibawah ini :
a. Miastenia gravis dengan ptosis atau diplopia ringan.
b. Miastenia gravis dengan ptosis, diplopi, dan kelemahan otot-otot untuk
untuk mengunyah, menelan, dan berbicara. Otot-otot anggota tubuhpun
dapat ikut menjadi lemah. Pernapasan tidak terganggu.
c. Miastenia Gravis yang berlangsung secara cepat dengan kelemahan otot-otot
okulobulbar. Pernapasan tidak terganggu. Penderita dapat meninggal dunia.
Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.
Millichap dan Dodge membagi Miastenia gravis pada anak dalam 3 tipe
(Endang Thamrin dan P. Nara, 1986) :
1. Neonatal transient Miastenia gravis
Tipe ini terdapat pada 10-20% bayi baru lahir dari ibu-ibu yang menderita
Miastenia gravis. Beratnya gejala tidak berkaitan dengan beratnya penyakit pada
ibu. Segera atau beberapa jam setelah lahir, bayi menjadi lemah, nabgis dan
gerakan berkurang, tidak dapat mengisap, sukar menelan, pernapasan melemah.
Gejala ini berlangsung tidak lebih dari 1 Bulan dan bayi berangsur-angsur kembali
normal karena masuknya anti-AChR dari ibu secara transplasenter ke dalam tubuh
bayi.
2. Neonatal persistent Miastenia gravis (congenital Miastenia gravis)
Gejala timbul pada waktu lahir, tetapi ibunya tidak sakit Miastenia gravis.
Gejala hampir sama dengan tipe neonatal transient Miastenia gravis, bersifat
ringan, berlangsung lama, makin lama makin buruk . Relatif resisten terhadap
pengobatan dan remisi komplit jarang.
3. Juvenile Miastenia gravis

11

Tipe ini timbul pada umur 2 tahun sampai remaja. Keluhan dan gejala
sama seperti pada orang dewasa dan gejala pertama biasanya diplopia dan ptosis
atau gejala THT seperti gangguan mengunyah, menelan atau suara sengau.

2.3 ETIOLOGI MYASTHENIA GRAVIS


Myasthenia Gravis disebabkan oleh adanya antibodi yang merintangi,
merubah bahkan merusak penerimaan zat asetilkolin, sehingga hal ini
menghalangi terjadinya kerja otot. Antibodi ini dihasilkan oleh sistem imun tubuh
sendiri. Itulah sebabnya Myasthenia Gravis dimasukkan dalam golongan penyakit
autoimun.
Myasthenia Gravis Foundation of America menjelaskan penyebab dari
penyakit ini sebagai berikut :
Otot-otot dari seluruh tubuh dikontrol oleh impul syaraf yang timbul
dalam otak. Impul-impul syaraf ini berjalan turun melewati syaraf-syaraf menuju
tempat dimana syaraf-syaraf bertemu dengan serabut otot. Serabut syaraf tidak
benar-benar berhubungan dengan serabut otot. Ada tempat atau jarak antara
keduanya, tempat ini disebut persimpangan neuromuskular.
Ketika impul syaraf yang berasal dari otak sampai pada syaraf bagian
akhir, syaraf bagian akhir ini mengeluarkan bahan kimia yang disebut asetilkolin.
Asetilkolin berjalan menyeberangi jarak yang ada diantara serabut syaraf dan
serabut otot (persimpangan neuromukcular) menuju serabut otot dimana banyak
diikat oleh reseptor asetilkolin. Otot menutup atau mengkerut ketika reseptor
telah digiatkan oleh asetilkolin. Pada Myasthenia Gravis, ada sebanyak 80 %
penurunan pada angka reseptor asetilkolin. Penurunan ini disebabkan oleh
antibodi yang menghancurkan dan merintangi reseptor asetilkolin.
Antibodi adalah protein yang memainkan peranan penting dalam sistem
imun. Biasanya antibodi secara langsung menolak protein-protein asing yang
disebut antigen yang menyerang tubuh. Protein-protein ini termasuk juga bakteri
dan virus. Antibodi menolong tubuh untuk melindungi dirinya dari protein-protein
asing ini. Untuk alasan yang tidak dimengerti, sistem imun pada orang dengan
Myasthenia Gravis membuat antibodi melawan reseptor pada persimpangan

12

neuromuscular. Antibodi tidak normal dapat ditemukan dalam darah pada banyak
orang-orang dengan Myasthenia Gravis. Antibodi menghancurkan reseptor
dengan lebih cepat dibanding tubuh bisa menggantikan mereka lagi. Kelemahan
otot terjadi ketika asetilkolin tidak dapat menggerakkan reseptor pada
persimpangan neuromuskular.
Selain penjelasan mengenai penyebab Myasthenia Gravis, terdapat juga
penjelasan mengenai kemungkinan adanya peranan kelenjar thymus dalam
penyakit ini. Kelenjar thymus yang terletak di daerah dada atas di bawah tulang
dada, memainkan peranan penting dalam mengembangkan system imun pada
awal kehidupan. Sel-sel ini membentuk bagian dari system normal imun tubuh.
Kelenjar ini sedikit besar pada saat bayi, tumbuh secara berangsur-angsur sampai
masa pubertas, dan kemudian menjadi mengecil dan digantikan dengan
pertumbuhan bersama usia.
Pada orang-orang dewasa dengan Myasthenia Gravis, kelenjar thymus
tidak normal. Ini mengandung beberapa kelompok dari indikasi sel imun dari
lymphoid hyperplasia. Kondisi ini umumnya hanya ditemukan pada limpa dan
tunas getah bening pada saat reaksi aktif imun. Beberapa orang dengan
Myasthenia Gravis menghasilkan thymoma atau tumor pada kelenjar thymus.
Umumnya tumor ini jinak, tapi bisa menjadi berbahaya. Hubungan antara kelenjar
thymus dan Myasthenia Gravis masih belum sepenuhnya dimengerti. Para
ilmuwan percaya bahwa kelenjar thymus mungkin memberikan instruksi yang
salah mengenai produksi antibodi reseptor asetilkolin sehingga malah menyerang
transmisi neuromuskular.

2.4 PATOFISIOLOGI MYASTHENIA GRAVIS

13

Skema 1. Patofisiologi penyakit Myasthenia Gravis


Kelemahan pada otot-otot pada miastenia gravis dan meningkatnya
kelemahan otot pada saat melakukan kegiatan fisik adalah disebabkan oleh
penurunan jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction. Pada orang
normal waktu untuk kegiatan fisik adalah lebih lama dibandingkan waktu yang
dibutuhkan untuk pemulihan kekuatan otot atau istirahat, sebaliknya pada
miastenia gravis justru waktu yang dibutuhkan untuk istirahat adalah lebih lama
dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan fisik.
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada
patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini
mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang

14

menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus


eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain. Sejak tahun 1960, telah
didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum penderita miastenia gravis
secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal inilah yang memegang
peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan miastenia gravis. Tidak
diragukan lagi, bahwa antibodi pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan
penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis. Autoantibodi
terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien
yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata.
Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor
asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti.
Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai penyakit terkait sel B, dimana antibodi
yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan
sel T pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus
merupakan organ sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T.
Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau thymoma, biasanya
muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik. Pada pasien miastenia
gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas yang berbeda,
dimana satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik utama pada
subunit alfa. Subunit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin. Ikatan
antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan
terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain : ikatan
silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan
mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara
menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga
mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor
asetilkolin yang baru disintesis.

2.5 TANDA DAN GEJALA MYASTHENIA GRAVIS

15

Penyakit miastenia gravis biasanya mulai tampak pada umur 20-40 tahun.
Gejala utama pada penyakit ini adalah timbulnya kelemahan otot bila otot tersebut
digunakan terus menerus. Otot mata yang sering terkena sehingga timbul ptosis
dan strabismus. Selain itu juga dapat timbul kelemahan pada otot masseter,
sehingga mulut penderita sukar untuk menutup. Selain itu juga dapat pula timbul
kelemahan faring, lidah, palatum molle dan laring sehingga timbulnya kesukaran
untuk menelan dan kesukaran untuk bicara. Parese dari palatum molle akan
menimbulkan suara sengau, selain itu bicaranya juga menjadi kurang jelas.
Biasanya gejala-gejala miastenia gravis seperti ptosis dan strabismus akan tampak
dengan jelas pada sore hari dan pada cuaca panas, pada pemeriksaan tonus otot
tampak agak menurun.
Gejala klinis Myasthenia Gravis antara lain :

Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis. Ptosis yang merupakan


salah satu gejala kelumpuhan nervus okulomotorius, seing menjadi
keluhan utama penderita miastenia gravis. Walupun pada miastenia gravis
otot levator palpebra jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular
masih bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular
kedua belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis. Kelemahan otot
bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan
ekstensi kepala.

Gambar 3. Penderita Miastenia Gravis yang mengalami kelemahan otot


esktraokular (ptosis).

16

Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk.


Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah, otot
leher, hingga ke otot ekstremitas.
Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga

mulut penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari
otot faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran
menelan dan berbicara. Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara
sengau. Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari
hidungnya.
Menurut Department of Health and Human Services-USA, tanda dan
gejala dari Myasthenia Gravis, yaitu :

satu atau kedua kelopak mata layu.


penglihatan kabur atau ganda.
sulit untuk berjalan.
kelemahan di lengan, tangan, jari, kaki dan leher.
perubahan ekspresi wajah.
kesulitan dalam menelan.
kesulitan dalam berbicara.
sesak napas (marasa seperti kekurangan udara).

Setiap orang memiliki berbagai tingkat kelemahan otot. Timbulnya


gangguan dapat terjadi secara tiba-tiba. Dan biasanya, gejala tidak langsung
diakui sebagai Myasthenia Gravis. Beberapa obat dapat memicu atau
memperburuk Myasthenia Gravis.

2.6 DIAGNOSIS MYASTHENIA GRAVIS

17

Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan


sebagai berikut :
1. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama
kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi
kurang terang. Penderita menjadi anartris dan afonis.
2. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus.
Lama kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau
atau tampak ada ptosis, maka penderita disuruh beristirahat.. Kemudian
tampak bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak tampak
lagi.
Untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan beberapa
tes antara lain :
1. Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak
terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena.
Segera sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah
seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu
benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada
uiji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama,
karena efektivitas tensilon sangat singkat.
2. Uji Prostigmin (neostigmin)
Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin merhylsulfat secara
intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin atau mg). Bila kelemahan
itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya
ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.
3. Uji Kinin

18

Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian


diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu
benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus,
dan lain-lain akan bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi
prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.
Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis Pasti
a.

Pemeriksaan Laboratorium

Anti-asetilkolin reseptor antibodi


Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu

miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari
penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia
okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif.
Pada pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive antiAChR antibody. Rata-rata titer antibody pada pemeriksaan anti-asetilkolin reseptor
antibody, yang dilakukan oleh Tidall, di sampaikan pada tabel berikut4:
Tabel 1. Prevalensi dan Titer Anti-AChR Ab pada Pasien Miastenia Gravis
Osserman Class

Mean antibody Titer

Percent Positive

0.79

24

2.17

55

IIA

49.8

80

IIB

57.9

100

III

78.5

100

IV

205.3

89

19

Klasifikasi : R = remission, I = ocular only, IIA = mild generalized, IIB =


moderate generalized, III = acute severe, IV = chronic severe4
Pada tabel ini menunjukkan bahwa titer antibodi lebih tinggi pada
penderita miastenia gravis dalam kondisi yang parah, walaupun titer tersebut tidak
dapat digunakan untuk memprediksikan derajat penyakit miastenia gravis.

Antistriated muscle (anti-SM) antibody


Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis.

Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita
thymoma dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan
usia lebih dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.

Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.


Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-

AChR Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif


untuk anti-MuSK Ab.

Antistriational antibodies
Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan

adanya antibody yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan
otot jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein
titin dan ryanodine (RyR). Antibody ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma
dengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody
merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda
dengan miastenia gravis.

20

b. Imaging

Chest x-ray (foto roentgen thorak)


Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen

thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior
mediastinum.
-

Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya


thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan
untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis,
terutama pada penderita dengan usia tua.

MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan
rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari
penyebab defisit pada saraf otak.

c.

Pendekatan Elektrodiagnostik
Pendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi

neuromuscular melalui 2 teknik :

Repetitive Nerve Stimulation (RNS)


Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor

asetilkolin, sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.

Single-fiber Electromyography (SFEMG)


Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk

merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas
pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit
yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal

21

yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek
transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density
yang normal.
Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis miastenia
gravis, antara lain :

Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III
pada beberapa penyakit elain miastenia gravis, antara lain :
o Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)
o Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring
o Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii
o Paralisis pasca difteri
o Pseudoptosis pada trachoma

Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan adanya


suatu sklerosis multipleks.

Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome)


Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan kelelahan

pada otot anggota tubuh bagian proksimal dan disertai dengan ke;emahan relatif
pada otot-otot ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga
pada detik-detik awal suatu kontraksi volunter, terjadi hiporefleksia, mulut kering,
dan sering kali dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama oat cell carcinoma
pada paru.

22

EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada miastenia gravis.
Defek pada transmisi neuromuscular terjadi pada frekuensi renah (2Hz) tetapi
akan terjadi ahmbatan stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40 Hz). Kelainan
pada miastenia gravis terjadi pada membran postsinaptik sedangkan kelainan pada
LEMS terjadi pada membran pre sinaptik, dimana pelepasan asetilkolin tidak
berjalan dengan normal, sehingga jumlah asetilkolin yang akhirnya sampai ke
membran postdinaptik tidak mencukupi untuk menimbulkan depolarisasi.
2.7 KOMPLIKASI MYASTHENIA GRAVIS

Apabila otot pernafasan melemah, maka akan terjadi gagal pernafasan


akut.

Komplikasi lainnya adalah kesulitan menelan (dysphagia).


Faktor-faktor yang dapat memicu komplikasi pada pasien termasuk

riwayat penyakit sebelumnya (misal, infeksi virus pada pernapasan), pasca


operasi, pemakaian kortikosteroid yang ditappering secara cepat, aktivitas
berlebih (terutama pada cuaca yang panas), kehamilan, dan stress emosional.
2.8 PENCEGAHAN MYASTHENIA GRAVIS
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan suatu bentuk pencegahan yang dilakukan
pada saat individu belum menderita sakit. Bentuk upaya yang dilakukan yaitu
dengan cara promosi kesehatan atau penyuluhan degan cara memberikan
pengetahuan bagaimana penanggulangan dari penyakit Miastenia gravis yang
dapat dilakukan dengan;
a. Memberi pengetahuan untuk tidak mengkonsumsi minuman beralkohol,
khususnya apabila minuman keras tersebut dicampur dengan air soda yang
mengandung kuinin. Kuinin ini merupakan suatu obat yang memudahkan
terjadinya kelemahan otot.
b. Menjaga kondisi untuk tidak kelelahan dalam melakukan pekerjaan dan
menjaga kondisi untuk tidak stres. Karena kebanyakan pasienpasien

23

Miastenia gravis ini terjadi pada saat mereka dalam kondisi yang lelah dan
tegang.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan ini ditujukan pada individu yang sudah mulai sakit dan
menunjukkan adanya tanda dan gejala. Pada tahap ini yang dapat dilakukan
adalah dengan cara pengobatan antara lain dengan mempengaruhi proses
imunologik pada tubuh individu, yang bisa dilaksanakan dengan; Timektomi,
Kortikosteroid, Imunosupresif yang biasanya menggunakan Azathioprine.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan

tersier

(rehabilitasi),

pada

bentuk

pencegahan

ini

mengusahakan agar penyakit yang di derita tidak menjadi hambatan bagi individu
serta tidak terjadi komplikasi pada individu. Yang dapat dilakukan dengan;
a. Mencegah untuk tidak terjadinya penyakit infeksi pada pernafasan.
b. Karena hal ini dapat memperburuk kelemahan otot yang diderita oleh
individu.
c. Istirahat yang cukup
d. Pada Miastenia gravis dengan ptosis, yaitu dapat diberikan kacamata khusus
yang dilengkapi dengan pengait kelopak mata.
e. Mengontrol pasien Miastenia gravis untuk tidak minum obat-obat
antikolinesterase secara berlebihan.
Obat-obat yang dapat memperburuk (exacerbate) gejala Myasthenia
Gravis :
a. Antibiotik (aminoglycosides, ciprofloxacin, erythromycin, ampicillin).
b. Agen penghambat reseptor beta-adrenergik atau beta-bloker
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.

(propanolol/Inderal, oxprenolol).
calcium channel blockers .
Chloroquine .
D-Penicillamine.
Iodinated contrast.
Lithium.
Magnesium.
Nondepolarizing and depolarizing neuromuscular-blocking agents.
Phenothiazines.
Quinine.

24

l. Timolol.
m. Trihexyphenidyl (antikolinergik).
n. Verapamil.
2.9 PENATALAKSANAAN MYASTHENIA GRAVIS
Pada pasien dengan Miastenia gravis harus belajar dalam batasan yang
ditetapkan oleh penyakit yang mereka derita ini. Mereka memerlukan tidur selam
10 jam agar dapat bangun dalam keadaan segar, dan perlu menyelingi kerja
dengan istirahat. Selain itu mereka juga harus menghindari factor-faktor pencetus
dan harus minum obat tepat pada waktunya. (Silvia A. Price, Lorain M. Wilson.
1995.)
Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti,
tetapi Miastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati.
Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi
merupakan penatalaksanaan utama pada miastenia gravis.
Antikolinesterase biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan.
Sedangkan pada pasien dengn miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan
terapi imunomudulasi yang rutin.
Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombinasikan dengan
pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya
mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita miastenia gravis.
Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan
kekuatan otot secara cepat dan terbukti memiliki onset lebih lambat tetapi
memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan.
(Endang Thamrin dan P. Nara, 1986)
Secara garis besar, pengobatan Miastenia gravis berdasarkan 3
Prinsip, yaitu :
1. Mempengaruhi transmisi neuromuskuler :
a. Istirahat
Dengan istirahat, banyaknya ACh dengan rangsangan saraf akan
bertambah sehingga serat-serat otot yang kekurangan AChR di bawah ambang
rangsang dapat berkontraksi.

25

b.Memblokir pemecahan Ach


Dengan anti kolinesterase, seperti prostigmin, piridostigmin, edroponium
atau ambenonium diberikan sesuai toleransi penderita, biasanya dimulai dosis
kecil sampai dicapai dosis optimal. Pada bayi dapat dimulai dengan dosis 10 mg
piridostigmin per os dan pada anak besar 30 mg , kelebihan dosis dapat
menyebabkan krisis kolinergik.
Acetylcholinesterase inhibitors

Pilihan Pengobatan pertama untuk terapi simtomatis.

Kebanyakan pasien menggunakan Pyridostigmine bromide.

Acetylcholinesterase

inhibitor

efektif

untuk

peningkatan

neurotransmitter (acetylcholine) yang terdapat pada Neuro Muskular


Junction (NMJ).

Dosis optimal pyridostigmine bervariasi terhadap setiap pasien.

Umum : pasien mengawali dosis 30 mg (setengah tablet) setiap 4 6 jam


.
Pengobatan medis dengan obat antikolenesterase adalah terapi terpilih

untuk menetralkan gejala MG. Neostigmin menon-aktifkan atau merusak


kolinesterase sehingga asetilkolin tidak cepat rusak. Efeknya adalah pemulihan
aktivitas otot mendekati normal, paling tidak 80% hingga 90% dari kekuatan atau
daya tahan otot sebelumnya. Selain neostigmin (Prostigmin), piridostigmin
(Mestinon), dan ambenonium (Mytelase), digunakan juga analog sintetik lain dari
obat awal yang digunakan yaitu fifiotigmin (Eserine). Efek samping dalam traktus
GI yang tidak disenangi (kejang perut, diare) disebut efek samping muskarinik.
Pasien harus menyadari bahwa gejala-gejala ini menandakan sudah terlalu
banyak obat yang diminum setiap hari sehingga dosis selanjutnya harus
diturunkan untuk mencegah terjadinya krisis kolinergik.neostigmin paling
cenderung menyebabkan efek muskarinik, maka awalnya dapat diterangkan pada
pasien untuk berhati-hati terhadap efek samping yang nyata. Piridostigmin
tersedia dalam bentuk yang berjangka waktu dan sering digunakan sebelum tidur

26

sehingga pasien dapat tidur sepanjang malam tanpa harus bangun untuk minum
obat.
2. Mempengaruhi proses imunologik
a. Timektomi
Tujuan neurologi utama dari Thymectomi (bedah toraks mayor untuk
mengangkat kelenjar timus) ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari
kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi pasien, serta
idealnya adalah kesembuhan yang permanen dari pasien. Timektomi dianjurkan
pada MG tanpa timoma yang telah berlangsung 3-5 tahun. Dengan timektomi,
setelah 3 tahun 25% penderita akan mengalami remisi klinik dan
40-50% mengalami perbaikan.
Sekitar 15% penderita MG memiliki tumor atau hiperplasi kelenjar timur
yang disebut timoma. Timus terlibat dalam perkembangan sistem imun sehingga
pengangkatan kelenjar bersifat kuratif bagi beberapa pasien. Keputusan untuk
melakukan timektomi dibuat berdasarkan pasien tersebut, karena keuntungan
timektomi dalam mengurangi gejala tidak sebesar pada pasien usia tua atau yang
telah menderita MG lebih dari 5 tahun. Sekitar 30% penderita MG timoma yang
menjalani timektomi pada akhirnya mengalami remisi bebas-pengobatan. Lima
puluh persen yanng lain mengalami perbaikan nyata.
b. Kortikosteroid
Diberikan prednison dosis tunggal atau alternating untuk mencegah efek
samping. Dimulai dengan dosis kecil, dinaikkan perlahan-lahan sampai dicapai
dosis yang diinginkan. Kerja kortikosteroid untuk mencegah kerusakan jaringan
oleh pengaruh imunologik atau bekerja langsung pada transmisi neromuskuler.
Steroid Therapi

Kebanyakan pasien dengan Miastenia gravis yang menggunakan therapy


steroid mempunyai keuntungan terapi.

Steroid mempunyai potensial untuk mengurangi titer AcH-Ab pada


pasien dengan Miastenia gravis.

27

Dosis Prednison : 1 mg /kgbb/hari.


Efek pengendalian MG jangka panjang menyebabkan pasien memiliki dua

pilihan terapi dasar. Pilihan pertama adalah obat imunosupresif, yang semuanya
memiliki indeks terapi rendah (rasio dosis toksik terhadap dosis terapi). Terapi
kortikoteroid menyebabkan perbaikan klinis pada banyak pasien, walaupun
banyak efek samping serius terjadi akibat penggunaan jangka panjang. Beberapa
pasien berespons baik terhadap regimen kombinasi antara kortikosteroid dan
piridostigmin. Azatioprin (yaitu suatu obat imunosupresif) telah digunakan dan
memiliki hasil yang baik; efek sampingnya ringan jika dibandingkan dengan
akibat kortikosteroid, dan terutama terdiri dari gangguan GI, peningkatan enzim
hati, dan leukoponia.
c. Imunosupresif
Yaitu

dengan

menggunakan

Azathioprine,

Cyclosporine,

Cyclophosphamide (CPM). Namun biasanya digunakan azathioprin (imuran)


dengan dosis 2 mg/kg BB. Azathioprine merupakan obat yang secara relatif
dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek samping
yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya. Perbaikan
lambat sesudah 3-12 bulan. Kombinasi azathioprine dan kortikosteroid lebih
efektif yang dianjurkan terutama pada kasus-kasus berat.
d. Plasma exchange
Berguna untuk mengurangi kadar anti-AChR; bila kadar dapat diturunkan
sampai 50% akan terjadi perbaikan klinik.
3. Penyesuaian penderita terhadap kelemahan otot
Tujuannya agar penderita dapat menyesuaikan kelemahan otot dengan:
a. Memberikan penjelasan mengenai penyakitnya untuk mencegah problem psikis.
b. Alat bantuan non medikamentosa
Pada Miastenia gravis dengan ptosis diberikan kaca mata khusus yang
dilengkapi dengan pengkait kelopak mata. Bila otot-otot leher yang kena,

28

diberikan penegak leher. Juga dianjurkan untuk menghindari panas matahari,


mandi sauna, makanan yang merangsang, menekan emosi dan jangan minum
obat-obatan yang mengganggu transmisi neuromuskuler seperti B-blocker, derivat
kinine, phenintoin, benzodiazepin, antibiotika seperti aminoglikosida, tetrasiklin
dan d-penisilamin.
Bentuk Penatalaksanaan Lainnya :
1. Terapi Jangka Pendek untuk Intervensi Keadaan Akut
1.1 Plasma Exchange (PE)
Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif.
Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi. PE paling efektif
digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek yang menguntungkan
menjadi prioritas. Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau
sedang mengalami masa krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang akan
menjalani

thymektomi

atau

pasien

yang

kesulitan

menjalani

periode

postoperative. Belum ada regimen standar untuk terapi ini, tetapi banyak pusat
kesehatan yang mengganti sekitar satu volume plasma tiap kali terapi untuk 5 atau
6 kali terapi setiap hari. Albumin (5%) dengan larutan salin yang
disuplementasikan dengan kalsium dan natrium dapat digunakan untuk
replacement. Efek PE akan muncul pada 24 jam pertama dan dapat bertahan
hingga lebih dari 10 minggu. Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadinya
pergeseran cairan selama pertukaran berlangsung. Terjadi retensi kalsium,
magnesium, dan natrium yang dpat menimbulkan terjadinya hipotensi.
Trombositopenia dan perubahan pada berbagai faktor pembekuan darah dapat
terjadi pada terapi PE berulang. Tetapi hal itu bukan merupakan suatu keadaan
yang dapat dihubungkan dengan terjadinya perdarahan, dan pemberian freshfrozen plasma tidak diperlukan

29

Pertukaran plasma mungkin efektif dalam krisis miastenia karena mampu


memindahkan antibodi ke reseptor asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat dalam
penanganan penyakit kronik.
1.2 Intravenous Immunoglobulin (IVIG)
Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complementactivating aggregates yang relatif aman untuk diberikan secara intravena.
Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan
mampu memodulasi respon imun. Reduksi dari titer antibodi tidak dapat
dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian besar pasien tidak terdapat
penurunan dari titer antibodi. Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar
3-4 hari setelah memulai terapi. IVIG diindikasikan pada pasien yang juga
menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini memiliki onset yang cepat
dengan durasi yang hanya beberapa minggu. Tetapi berdasarkan pengalaman dan
beberapa data, tidak terdapat respon yang sama antara terapi PE dengan IVIG,
sehingga banyak pusat kesehatan yang tidak menggunakan IVIG sebagai terapi
awal untuk pasien dalam kondisi krisis. Dosis standar IVIG adalah 400
mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari.
IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan level antiasetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan
pemasangan infus. Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah
nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus, sehingga
tetesan infus menjadi lebih lambat. Flulike symdrome seperti demam, menggigil,
mual, muntah, sakit kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24 jam pertama.
1.3 Intravenous Methylprednisolone (IVMp)
IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila tidak ada
respon, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Jika respon masih juga
tidak ada, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Sekitar 10 dari 15
pasien menunjukkan respon terhadap IVMp pada terapi kedua, sedangkan 2

30

pasien lainnya menunjukkan respon pada terapi ketiga. Efek maksimal tercapai
dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi. Penggunaan IVMp pada keadaan
krisis akan dipertimbangkan apabila terpai lain gagal atau tidak dapat digunakan.
2. Pengobatan Farmakologi Jangka Panjang
2.1 Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah
untuk pengobatan miastenia gravis. Respon terhadap pengobatan kortikosteroid
mulai tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi. Durasi kerja
kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3
bulan. Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun dan
efek terapi yang pasti terhadap miastenia gravis masih belum diketahui.
Koortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan pada
fase proliferasi dari sel B. Sel T serta antigen-presenting cell yang teraktivasi
diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan dalam memposisikan
kortikosteroid di tempat kelainan imun pada miastenia gravis. Pasien yang
berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan dari titer
antibodinya. Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis
yang sangat mengganggu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase.
Dosis maksimal penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian
dilakukan tapering pada pemberiannya. Pada penggunaan dengan dosis diatas 30
mg setiap harinya, aka timbul efek samping berupa osteoporosis, diabetes, dan
komplikasi obesitas serta hipertensi.
2.2 Azathioprine
Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara
relatif terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi.
Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin
yang memiliki efek terhadap penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan
RNA. Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3

31

mg/kgbb/hari. Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis
optimafl tercapai. Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat
ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang
lebih sedikit dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya. Respon
Azathioprine sangant lambat, dengan respon maksimal didapatkan dalam 12-36
bulan. Kekambuhan dilaporkan terjadi pada sekitar 50% kasus, kecuali
penggunaannya juga dikombinasikan dengan obat imunomodulasi yang lain.
2.3 Cyclosporine
Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari
sel T-helper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada
produksi antibodi. Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari
terbagi dalam dua atau tiga dosis. Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat
dibandingkan azathioprine. Cyclosporine dapat menimbulkan efek samping
berupa nefrotoksisitas dan hipertensi.
3. Tindakan Pembedahan
Tindakan bedah pada miastenia gravis adalah timektomi. Ini terutama
diindikasikan pada penderita-penderita wanita muda dengan riwayat yang kurang
dari 5 tahun menderita miastenia gravis. Prognosis pada kelompok ini biasanya
jelek. Pada wanita muda tanpa timoma kira-kira 80%-90% penderita akan
membaik atau akan terjadi remisi yang sempurna dalam beberapa tahun. Persiapan
untuk timektomi yaitu :
1. Terapi antikolinesterase dengan neostigmin atau piridostigmin yang
optimal dilanjutkan sampai saat operasi.
2. Harus dilakukan tes fungsi paru, bila kapasitas vital sangat menurun maka
harus dilakuka trakeotomi pada saat dilakukan timektomi supaya bantuan
respirasi dapat diberikan pada saat pascabedah.
3. Pada pascabedah, terapi antikolinesterase dimulai dengan memberikan
dosis rendah dn disesuaikan dnegan kebutuhan penderita.

32

3.1 Thymectomy (Surgical Care)

Thymectomy telah digunakan untuk mengobati pasien dengan miastenia


gravis sejak tahun 1940 dan untuk pengobatan thymoma denga atau tanpa
miastenia gravis sejak awal tahun 1900. Telah banyak dilakukan penelitian
tentang hubungan antara kelenjar timus dengan kejadian miastenia gravis.
Germinal center hiperplasia timus dianggap sebagai penyebab yang mungkin
bertanggungjawab terhadap kejadian miastenia gravis. Penelitian terbaru
menyebutkan bahwa terdapat faktor lain sehingga timus kemungkinan
berpengaruh terhadap perkembangan dan inisiasi imunologi pada miastenia
gravis. Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah tercapainya perbaikan
signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi
pasien, serta idealnya adalah kesembuhan yang permanen dari pasien. Banyak ahli
saraf memiliki pengalaman meyakinkan bahwa thymektomi memiliki peranan
yang penting untuk terapi miastenia gravis, walaupun kentungannya bervariasi,
sulit untuk dijelaskan dan masih tidak dapat dibuktikan oleh standar yang
seksama. Secara umum, kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan dalam
waktu satu tahun setelah thymektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan remisi
yang permanen (tidak ada lagi kelemahan serta obat-obatan). Beberapa ahli
percaya besarnya angka remisi setelah pembedahan adalah antara 20-40%
tergantung dari jenis thymektomi yang dilakukan. Ahli lainnya percaya bahwa
remisi yang tergantung dari semakin banyaknya prosedur ekstensif adalah antara
40-60% lima hingga sepuluh tahu setelah pembedahan.
4. Penyulit
Ada 2 penyulit yang penting yaitu :
1. Krisis Kolinergik

33

Dapat terjadi bila kolinesterase dihambat secara berlebihan oleh obat-obat


antikolinesterase. Gejala kolinergik antara lain bingung, pucat, berkeringat
dan pupil miosis akan menyertai kelemahan otot yang progresif, terdapat
deteriorasi yang bersifat temporer.
Suatu krisis kolinergik timbul bila terjadi over dosis dari obat-obat
antikolinesterase, sehingga timbul depolarisasi blok Pada neuro-muscular
junction yang pada akhirnya akan menimbulkan kelemahan pada otot.
Dapat diketahui dengan anamnesa yang di peroleh yaitu bahwa penderita
sedang menggunakan obat-obat antikolinesterase, gejala gangguan
pernafasan timbul 15-45 menit setelah minum obat-obat antikolinesterase,
setelah penderita merasa kelemahan yang bertambah pada otot dan
penderita meminum obat lagi lalu keadaan semakin memburuk.
Ditemukan miosis, hiperhidrosis, hipersalivasi, terasa sdingin pada badan
bila diraba dan kesadaran sopor dan confused. Untuk menolong pernafasan
yang cepat dan dangkal secepatnya dipasang endotrakeal tube dan diberika
pula pernafasan buatan atau dipasang respirator dengan tekanan positif.
2. Krisis Miastenia
Terjadi akibat terapi yang tidak adekuat dan adanya deteriorasi, terutama
terjadi

pada

keadaan

pascabedah,

partus,

infeksi

atau

dengan

mempergunakan obat-obat yang memperberat keadaan miastenia. Bila


ragu-ragu dapat digunakan endofronium. Terdapat perbaikan yang bersifat
sempurna. Penderita miastenia gravis yang menderita krisis miastenik bila
kelemahan otot-otot penderita terus meluas sampai pula mengenai otototot pernafasan. Keadaan demikian dapat timbul apabila penderita terlalu
lelah atau mendapat penyakit infeksi lain. Suatu krisis miastenik dapat
pula timbul bial seorang penderita telah diberikan obat-obat seperti kinin,
luminal, diazepam, neomisin, sulfas magnesium. Penderita dengan krisis
miastenik dapat diberikan prostigmin 1-2 mgr (2-4 mgr) secara i.m.

34

Terapi penyulit pada krisis kolinergik, obat-obat antikolinesterase dihentikan


sementara dan dimulai dengan dosis yang lebih kecil bila keadaan menjadi stabil.
Segera diberikan atropin 1,25 mg intravena dan diberikan 1,25 mg intramuskular
setiap jam sampai keringat berhenti dan pupil midriasis lebih dari 3 mm. Pada
krisis miastenia diberikan neostigmin 1-2,5 mg intramuskular. Ptosis yang
merupakan salah satu gejala kelumpuhan nervus okulomotorius sering menjadi
keluhan utama penderita miastenia gravis. Walaupun otot levator palpebra jelas
lumpuh pada miastenia gravis, otot-otot okular adakalanya masih bisa bergerak
normal, tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okuler kedua belah sisi akan
melengkapi ptosis. Ptosis miastenia gravis yang ringan dapat diperjelas dengan
test Wartenberg, dengan test tersebut pasien di suruh menatapkan kedua matanya
pada sesuatu yang berada sedikit lebih tinggi dari matanya. Pada ptosis miastenik,
kedua kelopak mata atas akan lebih tinggi dari matanya dan akan menurun 1-2
menit setelah menjalani test tersebut. Setelah bekerja secara bertenaga ptosis akan
timbul dengan jelas. Mula timbulnya dengan ptosis (90%) unilateral atau bilateral.
Setelah beberapa minggu sampai bulan ptosis dapat dilengkapi dengan diplopia
(paralisis okuler) dan suara sengau (paralisis palatum mole). Kelumpuhankelumpuhan bulbar itu timbul setiap hari menjelang sore. Tetapi lama kelamaan
kelumpuhan bulbar dapat bangkit juga pada pagi hari sehingga boleh dikatakan
sepanjang hari orang sakit tidak bebas dari kesulitan penglihatan (karena diplopia
dan ptosis) dan kesulitan menelan/mengunyah. Penderita berkunjung ke dokter
untuk pengobatan karena diplopia yang sangat mengganggu. Kelemahan otot non
bulbar baru dijumpai pada tahap yang sudah lanjut sekali. Yang pertama terkena
adalah otot-otot leher, sehingga kepala harus ditegakkan dengan tangan, kemudian
otot-otot anggota gerak berikut otot-otot interkostal. Atropi otot dapat ditemukan
pada permulaan, tetapi selanjutnya tidak lebih memburuk lagi.
2.10 PENYELESAIAN KASUS MYASTHENIA GRAVIS
CASE :

35

Mr.Jones, a reguler costumer in your shop,hands you over a prescription.


He has some dificulty with signing the back of the prescription as he cant focus
properly due to his eyelids drooping, and his hand is a bit shaky. He recently took
early retirement from his job as an office clerk as he was getting extreme fatigue
in all muscles, especially after a long day at work. The fatigue improved after
having a rest. He had spoken to you a few months ago about the fatigue and
thought that it may be due to stress or poor diet, as he had been working very long
hours to complete a contract time. He bought some multivitamins with ginseng.
But this tiredness did not improve except when he had a few days holiday.
Mr.Jones had been referred to neurologist at the local hospital who ran
some tests and has asked his GP the write him a prescription for pyridostigmine
bromide 60mg tablets with half a tablet to be token four times daily initially then
increased up to six tablets a day if the muscle weakness does not improve. The
GP also prescrible hyoscine butylbromide 10mg tablets, two of which where to be
token up to four times daily.
Terjemahan Kasus :
Mr.Jones, pelanggan tetap di toko Anda, tangan Anda lebih resep. Dia
memiliki beberapa kesulitan dengan menandatangani belakang resep karena dia
tidak bisa fokus dengan baik karena kelopak matanya terkulai, dan tangannya
sedikit gemetar. Dia baru-baru ini mengambil pensiun dini dari pekerjaannya
sebagai petugas kantor karena ia mendapatkan kelelahan ekstrim di semua otot,
terutama setelah hari yang panjang di tempat kerja. Kelelahan meningkat setelah
istirahat. Dia telah berbicara dengan Anda beberapa bulan yang lalu tentang
kelelahan dan berpikir bahwa mungkin karena stres atau diet yang buruk, karena
ia telah bekerja sangat panjang jam untuk menyelesaikan waktu kontrak. Dia
membeli beberapa multivitamin dengan ginseng. Tapi kelelahan ini tidak
membaik kecuali bila ia memiliki beberapa hari liburan.
Mr.Jones telah disebut ahli saraf di rumah sakit setempat yang berlari
beberapa tes dan telah meminta GP nya menulis dia resep untuk pyridostigmine

36

bromida 60 mg tablet dengan setengah tablet menjadi tanda empat kali sehari
awalnya kemudian meningkat hingga enam tablet yang hari jika kelemahan otot
tidak membaik. GP juga meresepkan hiosin tablet butylbromide 10mg, dua di
antaranya di mana menjadi tanda sampai empat kali sehari.
Subjek
Nama : Mr.Jones
Umur : Jenis kelamin : laki-laki
Riwayat penyakit : Keluhan : penurunan kelopak mata, tangan gemetar, kelelahan otot.
Objek
Data laboratorium: Asessment/Kajian
1. Berdasarkan keluhan pasien,dan resep yang diberikan, pasien mengalami
Myasthenia Gravis.
2. Untuk terapi awal, Pasien telah menerima terapi pyridostigmine bromide
60 mg sebanyak empat kali sehari setengah tablet. Jika keluhan tidak
berkurang maka dinaikkan menjadi enam kali sehari. Dan pasien juga akan
mendapat terapi hyoscine butylbromide 10mg.
3. Seharusnya, pasien tidak dibenarkan untuk mendapatkan terapi hyoscine
butylbromide, karena kontra indikasi dengan keluhan pasien.
Plan
a. Tujuan Terapi :
- menetralkan Gejala Myathenia Gravis.
- memperbaiki keadaan fisiologis tubuh.
b. Sasaran Terapi
- mencegah pecahnya/lepasnya Asetilkolin.

37

- Imunosupresi
c. Terapi Farmakologis :
1. Pasien diberikan terapi Acetylcholinesterase inhibitors, yaitu dengan
pemberian Pyridostigmine Bromide 60 mg.
Indikasi : Myastheneia Gravis
Kontra Indikasi : Hipersensitif terhadap bromide, obstruksi GI atau salarun
kemih, dan asma bronchial.
Efek Samping : gangguan pncernaan, mual, muntah kram perut dan diare,
peningkatan air liur dan air mata, peningkatan sekresi
bronchial, peningkatan keringat, kejang otot,

otot

fasciculations (berkedut), kelemahan otot, Sakit kepala


Dosis : Dewasa : 30-120mg/hari, Anak 6-12 tahun : 60mg/hari, <6 tahun
: 30mg/hari. Dosis sebaiknya ditingkatkan bertahap sebesar 1530mg/hari.
Terapi : 30 mg (setengah tablet) setiap 6 jam sekali/hari.
Farmakologi : Pyridostigmine mencegah penguraian acetylcholine pada
sambungan syaraf otot. Acetylcholine melintasi jarak
menuju serat otot yang berada di sambungan syaraf otot
dan mengikat reseptor. Kontrak otot terjadi ketika
acetycholine

mengaktifkan

Pyridostigmine

memungkinkan

cukup
lebih

reseptor.
banyak

acetycholine tetap berada di sambungan syaraf otot lebih


lama dari pada biasanya sehingga reseptor bisa
diaktifkan. Lebih banyak acetycholine pada sambungan
syaraf otot menghasilkan kontraksi otot yang lebih kuat
dan mengurangi kelemahan MG. Pyridostigmine tidak
menyembuhkan myasthenia Gravis tetapi membantu
mengurangi gejala.
Perhatian : Sangat penting untuk meminum pyridostigmine tepat waktu
dan sesuai dengan apa yang telah diresepkan. Jika
terlewatkan satu dosis dalam satu jam dosis yang telah
diresepkan, pasien harus meminum dosis yang terlewat dan

38

melanjutkan dosis yang lain sesuai dengan jadwal. Jika dosis


terlewatkan lebih dari satu jam, pasien harus segera
meminum dosis dengan segera dan menunggu antara 3 atau 4
jam sebelum mengkonsumsi dosis yang berikutnya. Dosis
yang berikutnya harus diminus sesuai dengan interval yang
telah diresepkan. Sebagai contoh, jika dosis pyridostigmine
lewat pada siang hari dan baru di minum pada pukul 2 siang,
dosis yang selanjutnya akan diminum pada pukul 5 atau 6
sore atau sesuai petunjuk dokter. Jangan pernah mengambil
dosis dobel untuk mengganti dosis yang telah lewat.

2. Imunosupresif
Dengan pemberian Kortikosteroid, yaitu Prednison 5 mg.
Indikasi : Terapi tambahan pada rematoid artitis untuk pemberian jangka
pendek

pada

lupus

eritematosus,

periartitis

nodosa,

dermatomiositis berat, dan lain-lain.


Kontraindikasi : Infeksi Jamur Sistemik, dan hipersensitif terhadap obat
ini.
Efek Samping : sakit perut atau gangguan pencernaan, merasa mual,
infeksi jamur, mudah merasakan kebingungan, susah
tidur, berat badan bertambah, kekuatan otot melemah
dan merasa letih atau lemah, menstruasi tidak teratur.
Dosis : 1-4 kali sehari.
Terapi : 4 kali sehari 1 tablet

39

d. Terapi Non Farmakologis


a. Istirahat
Dengan istirahat, banyaknya ACh dengan rangsangan saraf akan
bertambah sehingga serat-serat otot yang kekurangan AChR di bawah
ambang rangsang dapat berkontraksi.
b. Alat bantuan non medikamentosa
Pada Miastenia gravis dengan ptosis diberikan kaca mata khusus yang
dilengkapi dengan pengkait kelopak mata. Bila otot-otot leher yang
kena, diberikan penegak leher. Juga dianjurkan untuk menghindari
panas matahari, mandi sauna, makanan yang merangsang, menekan
emosi dan jangan minum obat-obatan yang mengganggu transmisi
neuromuskuler.

40

BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Myasthenia Gravis (MG) adalah penyakit autoimun kronis dari transmisi
neuromuskular yang menghasilkan kelemahan otot. Istilah Myasthenia
adalah bahasa Latin untuk kelemahan otot, dan Gravis untuk berat atau
serius.
Myasthenia Gravis disebabkan oleh adanya antibodi yang merintangi,
merubah bahkan merusak penerimaan zat asetilkolin, sehingga hal ini
menghalangi terjadinya kerja otot.
Gejala utama pada penyakit ini adalah timbulnya kelemahan otot bila otot
tersebut digunakan terus menerus. Otot mata yang sering terkena sehingga
timbul ptosis dan strabismus. Selain itu juga dapat timbul kelemahan pada
otot masseter, sehingga mulut penderita sukar untuk menutup. Selain itu
juga dapat pula timbul kelemahan faring, lidah, palatum molle dan laring
sehinggatimbulnya kesukaran untuk menelan dan kesukaran untuk bicara.
Parese dari palatum molle akan menimbulkan suara sengau, selain itu
bicaranya juga menjadi kurang jelas. Biasanya gejala-gejala miastenia
gravis seperti ptosis dan strabismus akan tampak dengan jelas pada sore hari
dan pada cuaca panas, pada pemeriksaan tonus otot tampak agak menurun.
Secara garis besar, pengobatan Miastenia gravis berdasarkan 3 Prinsip,
yaitu :
1. Mempengaruhi transmisi neuromuskuler
2. Mempengaruhi proses imunologik
3. Penyesuaian penderita terhadap kelemahan otot

41

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. 1995. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan:


Diagnosa Keperawatan dan Masalah Kolaboratif. Edisi 2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Endang Thamrin dan P. Nara. 1986. Cermin Dunia Kedokteran. No. 41, 1986.
Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan PT. Kalbe Farma
Engel, A. G. MD.1984. Myasthenia Gravis and Myasthenic Syndromes. Ann
Neurol.
Lewis, R.A, Selwa J.F, Lisak, R.P. 1995. Myasthenia Gravis: Immunological
Mechanisms and Immunotherapy. Ann Neurol.
Ngoerah, I. G. N. G, 1991. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Surabaya : Airlanga
University Press.

42

Anda mungkin juga menyukai