Anda di halaman 1dari 16

TUGAS HUKUM PAJAK

I PUTU INDRA MANDHALA PUTRA


NIM. 1392461009

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Konsep otonomi daerah dewasa ini, diikuti dengan adanya perubahanperubahan, baik dalam peraturan perundang-undangan maupun sistem pemerintahan.
Sebelumnya sistem pemerintahan kita lebih bersifat sentralistik, dimana daerah tidak
diberi peluang dan kesempatan unruk mengembangkan urusan rumah tangganya
sendiri. Bertambahnya kewenangan yang diserahkan kepada daerah saat ini, secara
otomatis merubah sistem pemerintahan, kebijakan, program serta cara pandang dan
sikap para pelaksana pemerintahan di daerah. Peralihan dari sistem sentralisasi ke
sistem desentralisasi diartikan sebagai adanya suatu pelimpahan wewenang dan
tanggung jawab dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, sejalan dengan itu maka
daerah dengan sendirinya menentukan semua kewenangan terkait pengaturan
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dari hasil yang diperoleh daerahnya
sendiri.
Keberlakuan sistem sentralisasi yang diterapkan di Indonesia menyebabkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) disetiap daerah di Indonesia sangat kecil dan minim.
Hal tersebut disebabkan karena pendapatan yang diperoleh daerah harus terlebih
dahulu diserahkan kepada pemerintah pusat. Sistem sentralisasi yang digunakan
menyebabkan aparatur pemerintah pusat kurang dapat mengelola sumber daya yang
dimiliki dengan baik, sehingga banyak merugikan sebagian besar masyarakat
Indonesia. Besarnya sumber daya alam Indonesia tidak diiringi oleh mental dan moral
aparatur pemerintah yang baik dan bertanggung jawab terhadap pengelolaan kekayaan
Negara. Penyimpangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) terjadi hampir
disetiap departemen setiap tahunnya. Aparatur pemerintah yang seharusnya
melaksanakan tugas untuk melayani dan mengelola sumber daya yang ada, justru
sebaliknya

melakukan

tindakan-tindakan

yang

tidak

terpuji

yang

hanya

mementingkan diri pribadi.


Penerapan sistem desentralisasi atau otonomi daerah diharapkan daerah dapat
mengelola dan membangun daerahnya sendiri berkaitan dengan hasil yang diperoleh
dari pengelolaan sumber daya yang tersedia pada masing-masing daerahnya. Tindakan
aparatur dan kemampuan dana yang tersedia dari PAD akan secara konkrit terlihat
oleh masyarakat apabila terdapat hal-hal yang dilakukan oleh aparatur baik yang
2

sifatnya positif maupun negatif. Demikian juga pembangunan daerah, pasca


diberlakukannya otonomi daerah secara otomatis menjadi tanggung jawab penuh
masing-masing pejabat daerah yang melaksanakan pembangunan disegala aspek
kehidupan masyarakat. Pembangunan daerah akan dimonitor oleh masyarakat dengan
menilai besar PAD dengan hasil konkrit pembangunan di daerah tersebut. Pasca
diterapkannya konsep otonomi daerah, daerah diberikan keleluasaan untuk mengatur
dan mengurus sumber-sumber PAD nya. Krisis ekonomi dan kepercayaan yang
melanda Bangsa Indonesia pada masa lalu memberikan dampak positif dan negatif
bagi upaya peningkatan kesejahteraan rakyat. Sistem pemerintahan yang bersifat
sentralistis ternyata banyak membuat kesenjangan pembangunan dan terlalu
terpusatnya kekayaan negara di pemerintahan pusat sehingga mengalami masalah
yang sangat pelik. Untuk menjalankan pemerintahan di daerah, setiap daerah harus
selalu menunggu perintah dari pemerintah pusat baik itu dalam perencanaan maupun
pendanaan.
Salah satu aspek yang penting yang tercakup dalam agenda otonomi daerah
adalah diberlakukannya desentralisasi fiskal, khususnya dalam aspek desentralisasi
fiskal di sisi penerimaan. Kebijakan ini memberikan wewenang kepada daerah untuk
menarik pajak daerah. Pajak daerah merupakan pungutan wajib yang dikenakan oleh
pemerintah daerah kepada penduduk yang mendiami wilayah yurisdiksinya, tanpa
langsung memperoleh kontraprestasi yang diberikan oleh pemerintah daerah yang
memungut pungutan wajib yang dibayarkan tersebut. Pajak daerah ini diatur dalam
peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah yang disetujui oleh lembaga
perwakilan rakyat daerah serta dipungut oleh lembaga yang berada di dalam struktur
pemerintah daerah yang bersangkutan.
Dalam hal pajak daerah, pembagian kewenangan yang benar dalam struktur
jenjang pemerintahan sangat jelas secara prinsip, tetapi secara umum kontroversial
dalam prakteknya. Permasalahan mendasar ini dapat dilihat dari dua sudut. Pertama,
kemampuan yang melekat pada pusat untuk dapat memungut semua pajak secara
lebih efisien dari daerah. Kedua, basis-basis (objek) pajak potensial yang dapat
dijangkau daerah sangat beragam antara satu daerah dan daerah lainnya. Hal pertama
dari permasalahan ini terkait dengan ketidakseimbangan vertikal, dan hal yang kedua
ini terkait dengan ketidakseimbangan horizontal.1

Richard M. Bird & Francois Vaillancourt (Ed.)., Desentralisasi Fiskal di


Negara-negara Berkembang. Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2000, h. 15.

Dalam

rangka

meningkatkan

kemampuan

keuangan

daerah

untuk

melaksanakan otonomi, pemerintah melakukan berbagai kebijakan perpajakan daerah.


Diantaranya dengan menetapkan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 tahun 1997 tentang pajak daaerah dan
retribusi daerah. Pemberian kewenangan dalam pengenaan pajak dan retribusi daerah
diharapkan dapat lebih mendorong pemerintahan daerah untuk terus berupaya
mengoptimalkan PAD, khususnya yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah.
Kebijakan pungutan pajak daerah berdasarkan Perda diupayakan tidak berbenturan
dengan pungutan pusat (pajak maupun bea dan cukai) karena hal tersebut akan
menimbulakan duplikasi pungutan yang pada akhirnya akan mendistorsi kegiatan
perekonomian. Hal tersebut sebetulnya sudah diantisipasi dalam Undang-Undang
Nomor 18 tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana di ubah
dengan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 pasal 2 ayat (4) yang antara lain
menyatakan bahwa objek pajak daerah bukan merupakan objek pajak pusat. Di
negara-negara yang menganut paham hukum, segala sesuatu yang menyangkut pajak
harus

ditetapkan

dalam

peraturan

perundang-undangan.

Dengan

demikian,

pemungutan pajak kepada rakyat tentunya harus diseratai dengan perangkat peraturan
perundang-undangan yang di sebut dengan hukum pajak. Di Indonesia, UndangUndang Dasar 1945 Pasal 23A mengatur dasar hukum pemungutan pajak oleh negara.
Pasal ini menyatakan bahwa pajak dan pungutan lain bersifat memaksa untuk
keperluan negara di atur dengan Undang-Undang. Penyelenggaraan otonomi daerah
akan dapat dilaksanakan dengan baik apabila didikung sumber-sumber pembiayaan
yang memadai. Salahsatunya adalah dengan meningkatkan kemampuan keuangan
daerah bagi penyelenggara rumah tangganya. Sekalipun demikian, otonomi daerah
dalam kerangka Negara Republik Indonesia, bukan hanya diukur dari jumlah PAD
yang dapat dicapai, tetapi lebih dari itu yaitu sejauh mana pajak daerah dan retribusi
daerah dapat berperan dalam mengatur perekonomian masyarakat agar dapat
bertumbuh kembang, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat di daerah.

1.2 Rumusan Masalah

a.

Apa manfaat dari pajak daerah dan retribusi daerah?

b.

Apa saja jenis pajak yang dapat ditarik pemerintah daerah pasca otonomi
daerah?

1.3 Landasan Teoritis


Berikut ini landasan teoritik diselenggarakannya pemungutan pajak:
1. Teori Asuransi: Negara melindungi jiwa, raga, harta dan hak-hak rakyat
karenanya rakyat harus membayar pajak yang diibiratkan premi asuransi
atas jaminan perlindungan.
2. Teori Kepentingan: Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan
pada kepentingan (misalnya perlindungan) masing-masing orang,
semakin besar kepentingan seseorang terhadap negara, makin tinggi
pajak yang harus dibayar.
3. Teori Daya Pikul: Beban pajak harus sama berat bagi semua individu
sesuai daya pikulnya. Pendekatan untuk mengukur daya pikul: a). Unsur
obyektif; besarnya penghasilan. b) Unsur subyektif; besarnya kebutuhan
materiil yang harus dipenuhi.
4. Teori Bakti: Dalam teori ini dikatakan bahwa sebagai warga negara
yang berbakti, maka rakyat harus sadar bahwa pembayaran pajak adalah
kewajiban setiap warga.
5. Teori Asas Daya Beli: Menurut teori ini Pajak adalah penarikan daya
beli masyarakat, maka akibat dari pemungutan pajak harus merupakan
pemeliharaan kesejahteraan.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Manfaat Dari Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah
5

2.1.1 Pajak Daerah


Pajak dapat diartikan sebaga iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan
undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal
(kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk
membayar pengeluaran umum.[3] Pajak diartikan pula sebagai peralihan kekayaan
dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan
surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk
membiayai public investment. Sementara menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani, pajak
adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh
yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang)
dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang
gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas
negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.2
Dalam perspektif hukum menurut Soemitro3, pajak diartikan sebagai suatu
perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang menyebabkan timbulnya
kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada
negara, negara mempunyai kekuatan untuk memaksa dan uang pajak tersebut harus
dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan. Dari pendekatan hukum ini
memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus berdasarkan undang-undang
sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik bagi fiskus sebagai pengumpul
pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar pajak.
Ada beberapa definisi pajak daerah diantaranya pajak daerah dapat diartikan
sebagai pajak yang dipungut daerah berdasarkan peraturan pajak yang ditetapkan oleh
daerah untuk kepentingan pembiayaan rumah tangga pemerintah daerah tersebut. Atas
dasar ketentuan tersebut, maka dalam memungut pajak harus berdasarkan peraturan
daerah. Sementara Pratikno mendefinisikan pajak daerah sebagai pungutan wajib
yang dikenakan pada kelompok pembayar tertentu (wajib pajak) yang tidak berkaitan
langsung dengan pelayanan yang dipungut oleh pemerintah daerah. Pajak daerah
selain berfungsi sebagai sumber keuangan daerah juga merupakan instrument
pemerintah daerah untuk menjalankan peran-peran pemerintah, antara lain dalam hal
distribusi atau pemerataan pendapatan, regulasi, stabilitatif, dan alokatif. Davey

R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak , PT. Refika


Aditama, Bandung. Cet Pertama Edisi Keempat, 2003, h.2.
3
Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan I, Bandung : PT. Eresco,
1991, h. 27.

bukunya dalam bukunya Financing Regional Government mengklasifikasikan


pengertian pajak daerah kedalam beberapa jenis, yakni : 4
1. Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dengan pengaturan daerah
sendiri.
2. Pajak yang dipungut berdasarkan peraturan nasional tetapi pengaturan tarifnya
dilakukan oleh pemerintah daerah.
3. Pajak yang ditetapkan dan dipungut oleh pemerintah daerah.
4. Pajak yang dipungut dan diadministrasikan oleh pemerintah daerah tetapi hasil
pungutan diberikan kepada, dibagi hasilkan dengan, atau dibebani pungutan
tambahan oleh pemerintah daerah.
Menurut Davey pajak memiliki beberapa jenis, dan pengklasifikasiannya berdasarkan
pengaturan dan pemungutannya. Untuk menilai pajak daerah, Davey menggunakan
ukuran sebagai berikut :
1. Hasil (yield) : memadai tidaknya suatu pajak dalam kaitan dengan berbagai
layanan yang dibiayainya, stabilitas dan mudah tidaknya memperkirakan besar
hasil itu, dan elastisitas hasil pajak terhadap inflasi, pertumbuhan penduduk,
dan sebagainya, juga perbandingan hasil pajak dengan biaya pungut.
2. Keadilan (equity) : dasar pajak dan kewajiban membayar harus jelas dan tidak
sewenang-wenang, pajak bersangkutan harus adil secara horizontal, artinya
beban pajak haruslah sama besar antara berbagai kelompok yang berbeda
tetapi dengan kedudukan ekonomi yang sama, harus adil secara vertikal,
artinya kelompok yang memiliki sumber lebih besar memberikan sumbangan
lebih besar daripada kelompok yang tidak banyak memiliki sumber daya
ekonomi.
3. Daya guna ekonomi (economic efficiency) : pajak hendaknya mendorong
penggunaan sumber daya secara berdaya guna dalam kehidupan ekonomi.
4. Kemampuan melaksanakan (ability to implement) : suatu pajak haruslah dapat
dilaksanakan, dari sudut kemauan politik dan kemauan tata usaha.
5. Kecocokan sebagai sumber penerimaan daerah (suistability as a local revenue
source) artinya harus ada kejelasan kepada daerah mana suatu pajak harus
4

K.J Davey, Pembiayaan Pemerintahan Daerah: Praktek-praktek


Internasional dan Relevansinya bagi Dunia Ketiga, Jakarta: UI-Press, 1998, h. 39.

dibayarkan dan tempat memungut pajak sedapat mungkin sama dengan tempat
akhir beban pajak, pajak tidak mudah dihindari, dan pajak hendaknya tidak
menimbulkan beban yang lebih besar dari kemampuan tata usaha pajak
daerah.
Apabila memperhatikan prinsip umum perpajakan baik bertitik tolak pada pendapat
Adam Smith dan ekonom-ekonom Inggris yang lain, maka menurut Musgrave pajak
juga haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut :5
1. Penerimaan/ pendapatan harus ditentukan dengan tepat;
2. Distribusi beban pajak harus adil artinya setiap orang harus dikenakan
pembayaran pajak sesuai dengan kemampuannya;
3. Yang menjadi masalah penting adalah bukan hanya pada titik mana pajak
tersebut harus dibebankan, tetapi oleh siapa pajak tersebut akhirnya harus
ditanggung.
4. Pajak harus dipilih sedemikian rupa untuk meminimumkan terhadap
keputusan perekonomian dalam hubungnnya dengan pasar efisien.
5. Struktur pajak harus memudahkan penggunaan kebujakan fiskal untuk
mencapai stabilitasi dan pertumbuhan ekonomi.
6. Sistem pajak harus menerapkan administrasi yang wajar dan tegas/ pasti serta
harus dipahami oleh wajib pajak.
7. Biaya administrasi dan biaya-biaya lain harus serendah mungkin jika
dibandingkan dengan tujuan-tujuan lain.
2.1.2 Retribusi Daerah
Pengertian retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas
jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh
Pemerintah Daerah untuk kepentingan pribadi atau badan. Menurut Undang-undang
Nomor 34 Tahun 2000 Perubahan atas Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang dimaksud dengan Retribusi Daerah adalah
Pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang
khusus diediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan
orang pribadi atau badan.
5

Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan I, Bandung : PT. Eresco,


1991, hal 15-16.

Retribusi daerah juga diartikan sebagai pembayaran atas jenis tertentu yang
disediakan oleh pemerintah daerah yang bersangkutan, dan jasa tersebut digunakan
untuk kepentingan pribadi atau badan. Pendapat lain dikemukakan oleh Munawir,
bahwa retribusi ialah iuran kepada pemerintah yang dapat dipaksakan dan jasa baik
secara langsung dapat ditunjuk . Menurut Munawir bahwa retribusi dapat dipaksakan
oleh pemerintah dan jasa baik secara langsung dapat ditunjuk. Pengertian retribusi
daerah secara khusus dikemukakan oleh Panitia Nasrun, Pungutan daerah sebagai
pembayaran pemakaian atau karena memperoleh jasa pekerjaan, usaha atau milik
daerah untuk kepentingan umum, atau karena jasa yang diberikan oleh daerah baik
langsung maupun tidak langsung.
Retribusi merupakan pembayaran atas jasa baik jasa pekerjaan, jasa usaha
maupun milik daerah yang diberikan secara langsung maupun tidak langsung. Ciriciri mendasar retribusi daerah, adalah sebagai berikut :

1. Retribusi dipungut oleh Negara;


2. Dalam pemungutan terdapat paksaan secara ekonomis
3. Adanya kontra prestasi yang secara langsung dapat ditunjuk;
4. Retribusi dikenakan pada setiap orang/badan yang menggunakan atau
mengenyam

Retribusi berbeda dengan pajak dilihat dari sifat-sifat khususnya :


1. Retribusi daerah bersifat kembar, artinya dari satu jenis sumber retribusi dapat
dikenakan pembayaran untuk dua atau tiga jasa instansi dan hal ini berbeda
dengan pajak yang hanya oleh satu instansi atasnya.
2. Pungutan retribusi didasarkan pada pemberian jasa kepada pemakai jasa.
3. Pemungutan retribusi dapat dikenakan kepada siapa saja yang telah
mendapatkan jasa dari pemerintah daerah, baik anak-anak maupun orang
dewasa sementara pajak dibayar oleh orang-orang tertentu, yaitu wajib pajak.
4. Pemungutan retribusi dilakukan berulangkali terhadap seseorang sepanjang ia
mendapatkan jasa dari pemerintah daerah sehubungan jumlahnya relatif kecil
maka pembayarannya jarang diangsur.

Pada dasarnya retribusi sama dengan pajak, yang membedakan adalah imbalan
atau kontraprestasi dalam retribusi langsung dapat dirasakan oleh pembayar. Unsurunsur yang melekat dalam retribusi antara lain :6

1. Pungutan retribusi harus berdasarkan undang-undang;


2. Pungutannya dapat dipaksakan;
3. Pemungutannya dilakukan oleh Negara;
4. Digunakan sebagai pengeluaran masyarakat umum;
5. Imbalan atau prestasi dapat dirasakan secara langsung oleh pembayar retribusi.

Obyek Retribusi Daerah adalah berbagai jenis jasa tertentu yang disediakan
oleh Pemerintah Daerah. Jenis jasa-jasa tertentu yang menurut pertimbangan sosial
ekonomi layak untuk dijadikan obyek retribusi maka oleh Pemerintah Daerah
dipungut retribusi. Jasa-jasa tersebut dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) golongan,
yakni :
1. Retribusi Jasa Umum, obyeknya adalah pelayanan yang disediakan oleh
Pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta
dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.
2. Retribusi Jasa Usaha, obyeknya adalah pelayanan yang diberikan oleh
Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial.
3. Retribusi Perizinan Tertentu, obyeknya adalah kegiatan tertentu Pemerintah
daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang priadi atau badan yang
dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawsan atas
kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang
prasarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan
menjaga kelestarian lingkungan.
Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu bentuk peran serta
masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Pajak daerah dan retribusi daerah

Wirawan B. Ilyas & Richard Burton, Hukum Pajak Edisi 3, Jakarta : Salemba
Empat, 2007, h. 6

10

merupakan

sumber

pendapatan

daerah

yang

penting

untuk

membiayai

penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.

2.2 Penarikan Pajak dan Retribusi Pasca Otonomi Daerah


Perkembangan masyarakat Indonesia dalam memasuki era globalisasi dan
reformasi telah memberikan pengalaman yang cukup berarti, antara lain kebijakan di
daerah yang diputuskan dari pusat berdasarkan pendekatan Top Down sudah tidak
sesuai lagi dengan keadaan di daerah. Salah satu cara mengatasi ketidaksesuaian
antara kebijakan yang diputuskan dari pusat dengan kondisi daerah adalah harus
segera dibuat sebuah kerangka kebijakan yang sangat strategis. Salah satu kebijakan
yang sangat strategis sesuai dengan kondisi saat ini adalah otonomi daerah.7
Sejalan dengan hal tersebut pemerintah juga telah mengeluarkan beberapa
kebijakan melalui Perundang-undangan tentang otonomi daerah yaitu UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan kemudian
dilengkapi dengan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah. Kedua regulasi tersebut telah meletakkan perubahan
mendasar dengan melaksanakan kebijakan desentralisasi.
Merujuk pada Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
yang dimaksud dengan pemerintahan daerah ialah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD, menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Adapun asas
diberlakukannya otonomi daerah adalah bahwa pemberian hak, wewenang dan
kewajiban kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai peraturan perundangundangan.8
Pemberlakuan daerah otonom dimaksudkan agar daerah dapat berkembang sesuai
dengan kemampuannya sendiri dan tidak bergantung pada Pemerintah Pusat, sehingga
daerah harus mampu mengatur pendapatan dan pengeluarannya sendiri. Melalui
sistem desentralisasi, pemerintah daerah diberi kewenangan untuk membuat kebijakan
dalam rangka mengatur rumah tangganya sendiri. Selain kebijakan desentralisasi juga
7

Syaukani, Menatap Harapan Masa Depan Otonomi Daerah, Gerbang


Dayaku, Yogyakarta, 2000, h. 139-140
8
Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Jakarta :
Sinar Grafika, 2008, h. 6.

11

bertumpu pada tujuan dalam rangka efisiensi alokasi arus barang publik ke daerah,
serta untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat lokal guna mendorong
demokratisasi, mengakomodasi aspirasi dan partisipasi masyarakat daerah.
Dalam konteks kebijakan otonomi daerah, pemerintah daerah yang memiliki derajat
otonomi tertentu memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menarik pajak daerah.
Sering kali pajak-pajak daerah yang dipungut pemerintah daerah terkadang kurang
cocok untuk diterapkan sebagai bagian dari penerimaan daerah. Bird mengemukakan
beberapa ciri pajak daerah (sub national tax) diantaranya :9
(i) assesed by sub national government, (ii) at rates decided by sub national
government, and that (iii) it also collected by sub national government, with of course
(iv) its proceeds acruing to sub national government.
Ciri-ciri tersebut diatas jelas terlihat bahwa peranan pemerintah daerah sangat
signifikan dalam penetapan dan pemungutan pajak daerah. Namun demikian, pada
prakteknya, banyak pajak daerah yang hanya memiliki satu atau dua karakteristik
seperti tersebut diatas, karena kepemilikan kewenangan memungut terkadang masih
belum jelas. Sebab, adakalanya, pajak daerah ini dipungut oleh pemerintah pusat,
tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi, namun hasilnya diberikan atau
dibagihasilkan kepada pemerintah daerah sesuai dengan potensi pajak daerah yang
dimiliki oleh daerah tersebut.
Pemerintah daerah sejatinya dapat menetapkan dan memungut beragam jenis
pajak daerah sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Hal ini sangat dimungkinkan
jika pemerintah daerah memiliki kemampuan untuk menetapkan sendiri jenis-jenis
pajak daerah yang dapat dipungutnya, tanpa ada intervensi dari tingkatan
pemerintahan yang lebih tinggi. Agar pemerintah daerah memiliki kemampuan
optimal untuk memungut pajak daerah yang ada di daerahnya, perlu kiranya
mempertimbangkan pajak-pajak daerah yang memang sesuai untuk dijadikan sumber
pendapatan agar tercipta efisiensi dan efektivitas dalam pemungutan pajak daerah
tersebut.
Hal lainnya yang penting diperhatikan dalam penetapan pajak daerah adalah
perlunya dihindari masalah-masalah yang timbul akibat penetapan suatu jenis pajak
daerah oleh pemerintah daerah. Hal yang terakhir ini terkait dengan masalah
harmonisasi pemungutan pajak yang dilakukan antar tingkat pemerintahan daerah
yang setingkat dan antara pemerintah daerah yang lebih rendah dengan tingkatan
pemerintahan yang lebih tinggi serta kompetisi pemungutan pajak antar tingkat
9

Richard M. Bird & Francois Vaillancourt (Ed.), Desentralisasi Fiskal di


Negara-negara Berkembang. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2000, h. 20

12

pemerintahan daerah yang setingkat dan antara pemerintah daerah yang lebih rendah
dengan tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi.
Eksistensi pajak daerah sejatinya tidak terlepas dari terciptanya hubungan fiskal
antara pemerintah pusat dan daerah. Hal yang terkait dengan hubungan fiskal antar
tingkat pemerintahan ini meliputi penetapan jenis-jenis pajak pusat dan pajak daerah
dengan memungkinkan terciptanya suatu mekanisme bagi hasil atas pajak yang
dipungut oleh tingkatan daerah yang lebih tinggi kepada tingkatan pemerintah yang
lebih rendah.
Pada beberapa negara berkembang, pemerintah-pemerintah daerah maupun
unit-unit administratif memiliki kewenangan secara legal untuk membebankan pajak,
tetapi basis pengenaan pajak yang dimilikinya terlalu lemah serta mereka masih
sangat tergantung terhadap subsidi-subsidi yang diberikan oleh pemerintah pusat,
sehingga kewenangan yang dimilikinya untuk membebankan pajak tersebut seringkali
juga tidak dapat dilakukan. Pajak daerah yang baik pada prinsipnya harus dapat
memenuhi dua kriteria. Pertama, pajak daerah harus memberikan pendapatan yang
cukup bagi daerah sesuai dengan derajat otonomi fiskal yang dimilikinya. Kedua,
pajak daerah harus secara jelas berdampak pada tanggung jawab fiskal yang dimiliki
oleh pemerintah daerah yang bersangkutan. Cara yang mudah dan mungkin, yang
merupakan cara terbaik untuk mencapai tujuan ini adalah dengan membiarkan daerah
untuk menetapkan jenis pajak daerahnya sendiri sekaligus tarifnya dengan tetap
memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Komponen pajak daerah di Indonesia merupakan salah satu bentuk
penerimaan pemerintah daerah yang termasuk dalam komponen Pendapatan Asli
Daerah (PAD) yang telah disebutkan mulai dari peraturan perundang-undangan yang
pertama mengenai pemerintahan daerah sampai peraturan yang berlaku saat ini. Pajak
daerah merupakan pungutan daerah yang diberikan oleh seseorang atau badan hukum
tanpa mendapatkan imbalan langsung dari pemerintah, ditetapkan berdasarkan
perundang-undangan yang berlaku, dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan daerah.
Pada tahun 1997, pemerintah secara resmi telah melakukan reformasi
perpajakan daerah yang cukup fundamental. Dalam rangka perubahan yang
fundamental ini, pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Undang-undang ini merupakan suatu
bentuk reformasi (pembentukan kembali) format perpajakan, serta retribusi, yang

13

dapat dipungut di daerah. Pada peraturan perundang-undangan ini, Propinsi Daerah


Tingkat I memiliki kewenangan untuk memungut tiga jenis pajak daerah, yaitu :

1. Pajak kendaraan bermotor;


2. Bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air;
3. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor.

Sedangkan untuk Kabupaten/Kota Daerah Tingkat II (Dati II), jenis pajak daerah yang
dapat dipungut oleh tingkatan pemerintahan ini adalah:
1. Pajak hotel dan restoran;
2. Pajak hiburan;
3. Pajak reklame;
4. Pajak penerangan jalan;
5. Pajak pengambilan bahan galian golongan C;
6. Pajak pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan.
Sebagai

operasionalisasi

dari

peraturan

ini,

pemerintah

pusat

juga

mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1997 sebagaimana kemudian


diubah menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 1998 tentang pajak daerah.
Sangat jelas terlihat perubahan yang sangat fundamental dalam pengaturan perpajakan
setelah diundangkannya UU No. 18/1997 ini. Perubahan yang sangat terlihat ketika
muncul klausul bahwa masing-masing tingkatan pemerintahan yang ada hanya
diperkenankan untuk memungut jenis-jenis pajak yang secara eksplisit ditetapkan
untuk dipungut sesuai dengan tingkatan pemerintahannya.
Sejalan dengan berubahnya kedua undang-undang yang mendasari praktek
ketatanegaraan di level daerah, pemerintah juga melakukan revisi peraturan
perundang-undangan yang mengatur pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah.
Perubahan ini ditandai dengan diamandemen dan disempurnakannya Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 1997 menjadi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. hal yang
menarik dalam peraturan perundang-undangan terakhir ini adalah diterapkannya
konsep desentralisasi fiskal dalam bidang perpajakan daerah. Konsep ini
memperkenankan daerah (Pemerintahan Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota),
untuk berkreasi dan memungut jenis pajak daerah baru sepanjang belum menjadi
lapangan pajak tingkatan pemerintahan lainnya. Meskipun ada peluang untuk
memungut jenis-jenis pajak baru dalam UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan

14

Retribusi Daerah juga tetap menyebutkan secara eksplisit jenis-jenis pajak Daerah
yang dapat dipungut oleh Daerah. Sebagaimana peraturan perundang-undangan
sebelumnya, undang-undang ini juga dilengkapi oleh peraturan pemerintah, yaitu
Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah.
Selain mempraktekkan konsep desentralisasi fiskal seraya tetap menentukan
secara eksplisit jenis-jenis pajak yang dapat dapat dipungut oleh pemerintahan
Daerah, peraturan yang terakhir ini juga tetap mempraktekkan bagi hasil perolehan
pajak daerah. Hasil perolehan Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air
dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air yang dipungut
oleh Pemerintah Daerah Propinsi diserahkan hasilnya paling sedikit 30 % kepada
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang ada di Propinsi yang bersangkutan. Untuk
Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan, hasilnya
paling sedikit 70 % diserahkan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang ada
di Propinsi yang bersangkutan.
Pada tanggal 18 Agustus 2009, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
telah menyetujui dan mengesahkan Rancangan Undang-undang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (RUU PDRD No. 28 Tahun 2009) menjadi Undang-undang, sebagai
pengganti dari Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 dan Undang-undang Nomor 34
Tahun 2000. Pengesahan Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU
PDRD) ini sangat strategis dan mendasar di bidang desentralisasi fiskal, karena
terdapat perubahan kebijakan yang cukup fundamental dalam penataan kembali
hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah. Undang-undang yang baru ini mulai
berlaku pada tanggal 1 Januari 2010.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
3.1 Kesimpulan yang dapat saya tarik dari pembahasan di atas adalah bahwa pajak
daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu cara meningkatkan APBD tapi
pajak dan retribusi daerah itu harus dilaksanakan dengan benar dan adil oleh
pemerintah maupun pembayar pajak, dikenakannya sanksi terhadap orang yang
menunggak ataun menyalahkan aturan adalah hal yang benar, seperti yang
terdapat pada Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 tentang pajak daerah dan
15

retribusi daerah. seperti juga dijelaskan di atas bahwa terdapat kategori-kategori


atau kriteria-kriteria pajak. Berapa tarif pajak yang di tetapkan yang harus
sesuai tidak menjadi beban bagi pembayar pajak. Diharapkan dengan adanya
pembayaran pajak dan retribusi daerah yang tidak membebani masyarakat
pembayar pajak dapat berperan mengatur perekonomian masyarakat agar dapat
bertumbuh kembang yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat di daerah.
3.2

Dalam sejarah kepemerintahan daerah di Indonesia, pemungutan pajak daerah


terbukti berjalan seiring dengan sejauh mana daerah diberi kewenangan oleh
pemerintah pusat untuk mengatur dirinya. Pola pemberian kemampuan
keuangan, baik yang tercakup dalam topik alokasi keuangan antar tingkatan
pemerintahan maupun pemberian kemampuan bagi daerah untuk secara
langsung menerima penerimaan (komponen PAD, dimana termasuk di
dalamnya pajak daerah), sangat terkait erat dengan kewenangan yang dimiliki
dan dijalankan daerah dalam rangka status otonom yang diembannya. Melalui
penetapan UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
diharapkan struktur APBD menjadi lebih baik, iklim investasi di daerah
menjadi lebih kondusif karena Perda-Perda pungutan daerah yang membebani
masyarakat secara berlebihan dapat dihindari, serta memberikan kepastian
hukum bagi semua pihak.

16

Anda mungkin juga menyukai