PEMBIMBING
Rejiv Shankar
100100189
Pavithra Palani
100100293
Esther Lourdes
100100294
100100266
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan berkat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan judul
STEVENS JOHNSON SYNDROME.
Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen
Ilmu Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing, dr. Riki Muljadi, yang telah meluangkan waktunya dan memberikan
banyak masukan dalam penyusunan laporan kasus ini sehingga penulis dapat
menyelesiakan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai koreksi dalam penulisan
laporan kasus selanjutnya. Semoga makalah laporan kasus ini bermanfaat, akhir
kata penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN.....................................................................................1
Latar Belakang.......................................................................................................1
BAB 2 TINJAUAN PUSAKA...............................................................................3
2.1 Definisi............................................................................................................3
2.2 Etiologi.......................................................................................................3
2.3 Klasifikasi.......................................................................................................5
2.4 Patofisiologi....................................................................................................6
2.5 Gejala Klinis..........................................................................................7
2.6 Diagnosis Banding.........................................................................................8
2.7 Diagnosis........................................................................................................8
2.8 Penatalaksanaan...........................................................................................9
2.9 Komplikasi...................................................................................................11
2.10 Prognosis....................................................................................................12
BAB 3 LAPORAN KASUS.................................................................................13
BAB 4 KESIMPULAN........................................................................................29
DAFTAR PUSAKA.............................................................................................30
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Stevens Johnson Syndrome (SJS) pertama diketahui pada 1922 oleh dua
dokter, dr. Stevens dan dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun
dokter tersebut tidak dapat menentukan penyebabnya Stevens Johnson
Syndrome dijelaskan pertama kali pada tahun 1922, Stevens Johnson
Syndrome merupakan hipersensitivitas yang dimediasi kompleks imun
yang merupakan ekspresi berat dari eritema multiforme. Stevens Johnson
Syndrome
(SJS)
(ektodermosis
erosiva
pluriorifisialis,
sindrom
disadari pasien, jika tipe alergi tipe cepat yang seperti syok anafilaktik jika
cepat ditangani pasien akan selamat dan tak bergejala sisa, namun jika
Stevens Johnson Syndrome akan membutuhkan waktu pemulihan yang
lama dan tidak segera menyebabkan kematian seperti syok anafilaktik.3
Oleh itu, beberapa kalangan disebut sebagai eritema multiforme mayor
tetapi terjadi ketika setujuan dalam literatur. Sebagian besar penulis dan
ahli berpendapat bahwa Stevens Johnson Syndrome dan nekrolisis
epidermal toksik (NET) merupakan penyakit yang sama dengan
manifestasi yang berbeda. Dengan alasan tersebut, banyak yang
menyebutkan Stevens Johnson Syndrome /Nekrolisis Epidermal Toksik.
Stevens Johnson Syndrome secara khas mengenai kulit dan membran
mukosa.2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Definisi
Stevens-Johnson syndrome (SJS) atau sindrom Stevens-Johnson dan toxic
epidermal necrolysis (TEN) atau nekrolisis epidermal toksik adalah
penyakit kulit yang disebabkan oleh alergi atau infeksi. Sindrom tersebut
mengancam kondisi kulit yang mengakibatkan kematian sel-sel kulit
sehingga epidermis mengelupas dan memisahkan dari dermis. Sindrom ini
dianggap sebagai hipersensitivitas kompleks yang mempengaruhi kulit dan
selaput lendir. Stevens Johnson Syndrome adalah sindroma yang mengenai
kulit, selaput lendir orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi
dari ringan sampai berat. Kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel, bula
dapat disertai purpura.3
Stevens Johnson Syndrome adalah bentuk penyakit mukokutan dengan
tanda dan gejala sistemik yang parah berupa lesi target dengan bentuk
yang tidak teratur, disertai macula, vesikel, bula, dan purpura yang tersebar
luas terutama pada rangka tubuh, terjadi pengelupasan epidermis kurang
lebih sebesar 10% dari area permukaan tubuh, serta melibatkan membran
mukosa dari dua organ atau lebih.4
Sindrom Stevens Johnson umumnya terjadi pada anak-anak dan dewasa
muda terutama pria. Tanda-tanda oral sindrom Stevens Johnson sama
dengan eritema multiforme, perbedaannnya yaitu melibatkan kulit dan
membran mukosa yang lebih luas, disertai gejala-gejala umum yang lebih
parah, termasuk demam, malaise, sakit kepala, batuk, nyeri dada, diare,
muntah dan artralgia.5
2.2.
Etiologi
Penyebab yang pasti belum diketahui, dikatakan Multifaktorial. Ada yang
beranggapan bahwa sindrom ini merupakan eritema multiforme yang berat
dan disebut eritema multiforme mayor, sehinga dikatakan mempunyai
penyebab yang sama. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan timbulnya
sindrom ini antara lain: 4
1. Infeksi
a) Virus
Sindrom Stevens-Johnson dapat terjadi pada stadium permulaan
dari infeksi saluran nafas atas oleh virus Pneumonia. Hal ini dapat
terjadi pada Asian flu, Lympho Granuloma Venerium, Measles,
Mumps dan vaksinasi Smalpox virus. Virus-virus Coxsackie,
Echovirus dan Poliomyelits juga dapat menyebabkan Sindroma
Stevens-Johnson.
b) Bakteri
Beberapa bakteri yang mungkin dapat menyebabkan Sindroma
Stevens- Johnson ialah Brucelosis, Dyptheria, Erysipeloid,
Glanders,
Pneumonia,
Psitacosis,
Tuberculosis,
Klasifikasi
1. Sindrom Steven Johnson
- Surface area of epidermal detachment dibandingkan dengan
detached dermis iaitu sebanyak <10 %.3
2. Sindron Steven Johnson dan TEN
- Surface area of epidermal detachment dibandingkan dengan
detached dermis iaitu sebanyak <10-30%.3
3. TEN
- Surface area of epidermal detachment dibandingkan dengan
detached dermis iaitu sebanyak >30%.3
2.4.
Patofisiologi
Stevens Johnson Syndrome merupakan kelainan hipersensitivitas yang
dimediasi kompleks imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus
dan keganasan. Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh
reaksi hipersensitif tipe III dan IV.1
Reaksi hipersensitif tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek
antigen antibodi yang mikro presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem
komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian
melepaskan enzim dan menyebab kerusakan jaringan pada organ sasaran
( target organ ). Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang
bersirkulasi dalam darah mengendap di dalam pembuluh darah atau
jaringan.2
Antibiotik tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi
terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen
asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya komplek
antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe ini mengaktifkan
komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan
atau kapiler ditempat terjadinya reaksi tersebut. Neutrofil tertarik ke
daerah tersebut dan mulai memtagositosis sel-sel yang rusak sehingga
terjadi pelepasan enzim-enzim sel, serta penimbunan sisa sel. Hal ini
menyebabkan siklus peradangan berlanjut.1
Reaksi hipersensitifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang
tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian
limtokin dilepaskan sebagai reaksi radang. Pada reaksi ini diperantarai
oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T. Penghasil limfokin atau sitotoksik atau
suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan.
Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat ( delayed )
memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.5
2.5
Gejala klinis
1. Fase akut
Gejala awal dari toxic epidermal necrolysis (TEN) dan Stevens-Johnson
Syndrome (SJS) mungkin tidak spesifik dan termasuk gejala seperti
demam, mata menyengat dan ketidaknyamanan setelah menelan.
Biasanya, gejala-gejala ini mendahului manifestasi kulit oleh beberapa
hari. situs awal keterlibatan kulit adalah wilayah presternal dari batang dan
wajah, tetapi juga telapak tangan dan kaki. Keterlibatan (eritema dan erosi)
dari bukal, alat kelamin dan / atau mukosa mata terjadi pada lebih dari
90% dari pasien, dan dalam beberapa kasus pernapasan dan pencernaan
traktat juga dipengaruhi.6
Keterlibatan okular di timbulnya penyakit sering terjadi, dan dapat
berkisar dari akut konjungtivitis, edema kelopak mata, eritema, krusta, dan
okular
debit,
ke
membran
konjungtiva
atau
pseduomembrane
pembentukan atau erosi kornea, dan, pada kasus yang berat, untuk
cicatrizing lesi, symblepharon, forniks foreshortening, dan ulserasi
kornea.7
Pada fase kedua, sebagian besar kawasan pelepasan epidermal
berkembang. Dengan tidak adanya pelepasan epidermal, pemeriksaan kulit
yang lebih rinci harus dilakukan oleh mengerahkan tekanan mekanik
tangensial pada beberapa zona eritematosa (Nikolsky sign).
SJS
SJS-TEN
TEN
lesi merah Dusky lesi merah Dusky lesi merah Dusky
Target
atipikal Target
datar
atipikal buruk
datar
digambarkan plak
eritematosa
Distribusi
Terisolasi
Pertemuan
lesi
lesi terisolasi
(+) Pertemuan
lesi
merah
Dusky
Target
atipikal
datar
lesi
terisolasi
(++) (jarang)
bagasi
pada
wajah,
batang,
dan
di
lain
tempat
Keterlibatan
Ya
Ya
Ya
mukosa
Gejala sistemik
Detasemen
Biasanya
<10
Selalu
10-30
Selalu
>30
(permukaan tubuh
%
luas area)
2.6
Diagnosis Banding
Diagnosis diferensial utama dari SJS / TEN adalah penyakit autoimun
blistering, termasuk linear IgA dermatosis dan pemfigus paraneoplastic
tetapi juga vulgaris pemfigus dan pemfigoid bulosa, exanthematous umum
akut pustulosis (AGEP), disebarluaskan obat bulosa tetap erupsi dan
scalded skin syndrome staphyloccocal (SSSS). SSSS adalah salah
diferensial yang paling penting diagnosa di masa lalu, tapi kejadian yang
saat ini sangat rendah dengan 0,09 dan 0,13 kasus per satu juta penduduk
per tahun.8
2.7
Diagnosis
Semua kasus dugaan SJS dan TEN harus dikonfirmasi oleh biopsi kulit
untuk histologis dan pemeriksaan imunofluoresensi. Awal menunjukkan
lesi lapisan suprabasal keratinosit apoptosis. kemudian lesi menunjukkan
ketebalan penuh epidermal nekrosis dan pemisahan dari epidermis dari
dermis. Sejak 90% SJS keterlibatan membran mukus tidak adanya tersebut
harus meminta seseorang untuk mempertimbangkan alternatif diagnosis.8
Sejumlah kondisi penting duga SJS karenanya bukti histologis penting:
1. Erythema multiforme major
2. Staphylococcal scalded skin syndrome
3. Purpura fulminant
4. Disseminated intravascular coagulation with skin necrosis
5. Acute generalised exanthematous pustulosis
6. Generalised bullous fixed drug eruption
7. Chemical toxicity (methotrexate, colchicines etc)
8. Burns
9. Graft-versus-host disease
10. Pemphigus
Hasil pemeriksaan lab
Kelainan hematologi, khususnya anemia dan limfopenia, yang umum di
TEN.9
SEPULUH dengan
dapat
menyebabkan
demarginalization
dan
10
2.8
Penatalaksaan
Penanganan terhadap penderita Sindrom Stevens-Johnson memerlukan
tindakan yang tepat dan cepat. Penderita biasanya memerlukan perawatan
di rumah sakit. Penanganan yang perlu dilakukan meliputi:11
1. Kortikosteroid
Penggunaan obat Kortikosteroid merupakan tindakan life-saving. Pada
Sindrom Stevens Johnson yang ringan cukup diobati dengan
Prednison dengan dosis 30-40mg / hari. Pada bentuk yang berat,
ditandai dengan kesadaran yang menurun dan kelainan yang
menyeluruh,digunakan Dexametason intravena dengan dosis awal 4-6
x 5 mg / hari. Setelah beberapa hari (2-3 hari) biasanya mulai tampak
perbaikan (masa kritis telah teratasi), ditandai dengan keadaan umum
yang membaik,lesi kulit yang baru tidak timbul sedangkan lesi yang
lama mengalami Involusi. Pada saat ini dosis Dexametason diturunkan
secara cepat, setiap hari diturunkan sebanyak 5mg. Setelah dosis
mencapai 5 mg sehari lalu diganti dengan tablet Prednison yang
diberikan pada keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari. Pada hari
berikutnya dosis diturunkan menjadi 10 mg, kemudian obat tersebut
dihentikan. Jadi lama pengobatan kira-kira 10 hari.
2. Antibiotika
Penggunaan Antibiotika dimaksudkan untuk mencegah terjadinya
infeksi akibat efek Imunosupresif Kortikosteroid yang dipakai pada
dosis tinggi. Antibiotika yang dipilih hendaknya yang jarang
menyebabk analergi, berspektrum luas dan bersifat bakterisidal. Di RS
Cipto mangunkusumo dahulu biasa digunakan Gentamisin dengan
dosis 2 x 60-80 mg / hari. Sekarang dipakai Netilmisin Sulfat dengan
dosis 6mg / kg BB / hari, dosis dibagi dua. Alasan menggunakan obat
ini karena pada beberapa kasus mulai resisten terhadap Gentamisin,
selain itu efek sampingnya lebih kecil dibandingkan Gentamisin.12
11
12
2.9
Komplikasi
Komplikasi yang tersering ialah Bronchopneumonia (16%) yang dapat
menyebabkan kematian. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau
darah ,gangguan keseimbangan elektrolit sehingga dapat menyebabkan
shock .Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan Lakrimasi.14
2.10
Prognosis
Dengan penanganan yang tepat dan cepat maka prognosis Sindrom
Stevens-Johnson sangat baik. Dalam ke pustaka anangka kematian
berkisar antara 5-15 %. Dibagian kulit dan kelamin RS Cipto
mangunkusumo angka kematian hanya sekitar 3,5%. Kematian biasanya
terjadi akibat sekunder infeksi.14
BAB 3
LAPORAN KASUS
STATUS ORANG SAKIT
13
Tanggal Masuk
: 04 Februari 2015
Jam
: 2300 WIB
ANAMNESE PRIBADI
Nama
: Rusmiati
Umur
: 30 tahun
Jenis kelamin
: Perempuan
Status perkawinan
: Menikah
Pekerjaan
: IRT
Suku
: Batak
Agama
: Islam
Alamat
ANAMNESE PENYAKIT
Keluhan utama
Telaah
lalu, awalnya timbul bintik bintik kemerahan disertai dengan rasa gatal sehingga
lama kelamaan terkelupas.Riwayat demam tidak dijumpai. Riwayat batuk tidak
dijumpai. Os mengeluhkan nyeri menelan dan nyeri ulu hati. BAK nyeri dijumpai.
BAK berpasir tidak dijumpai. BAK berdarah tidak dijumpai. BAB normal. Mual
dijumpai dan muntah tidak dijumpai. Hal ini terjadi setelah os mengkonsumsi obat
Cefadroxil dan Paracetamol setelah menjalani operasi patah tulang di kaki kanan
os. . Lalu os berobat ke seorang dokter dan diberikan obat hidrokortison, gabiten
dan cetirizine. Riwayat kulit melepuh sebelum ini disangkal os.Riwayat penyakit
gula dan tekanan darah tinggi disangkal os.
Riwayat penyakit terdahulu: Riwayat penggunaan obat : paracetamol, cefadroxil, gabiten, hidrokortison dan
cetirizin
ANAMNESE ORGAN
Jantung
Endokrin
: (-)
14
Sesak napas
: (-)
Edema
: (-)
Poliuri
: (-)
Polifagi
: (-)
Palpitasi
Gugup
: (-)
: (-)
Lain-lain
: (-)
Sal. Pernapasan
Batuk batuk
: (-)
Sakit kepala
: (-)
Asma,bronkitis
: (-)
Hoyong
: (-)
Dahak
: (-)
Lain-lain
: (-)
Lain-lain
: (-)
Sal. pencernaan
Nafsu makan
Pucat
: normal
: (-)
Perdarahan : (-)
Keluhan perut
Ptechiae
: (-)
Purpura
: (-)
Lain lain
Lain-lain
Sal. Urogenital
:
Sirkulasi perifer
Sakit BAK
: (+)
Claudicatio
BAK tersendat
: (-)
Intermittent : (-)
: (-)
Penurunan BB
: (-)
Lain-lain
: (-)
: (-)
: (-)
Lain-lain
Sendi dan tulang
Sakit pinggang
: (-)
Kel.persendian
: (-)
: (-)
Keadaan Penyakit
Keadaan Gizi
Sensorium
Pancaran wajah
TB : 150 cm
: Compos
:lemah
15
Mentis
Sikap Paksa
: (-)
BB : 50 kg
RBW
Nadi
: 80x/mnt
(normoweight)
Pernapasan
: 24x/mnt
Anemia
Temperatur
: 36,6 C
(-),
ikterus
100
(-),
: dbn
Hidung
: dbn
Mulut
: mukosa hiperemis,
Ditemukan ulkus oral
LEHER
Posisi trakea: medial
THORAKS
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Depan
Simetris fusiformis
SF Ki = Ka, kesan normal
Sonor pada kedua lapangan paru
SP: Vesikuler
Belakang
Simetris fusiformis
SF Ki = Ka, kesan normal
Sonor pada kedua lapangan paru
SP: Vesikuler
ST: (-)
ST: (-)
16
JANTUNG
ABDOMEN
Inspeksi
: Simetris Membesar
Gerakan
sinistra ICS V
lambung/usus(+)
Palpasi
: soepel
Perkusi
: timpani
Peranjakan : 1 cm
PINGGANG
INGUINAL
EKSTREMITAS
GENITALIA LUAR
Superior
Inferior
: udem (-/-)
NEUROLOGI
Refleks Fisiologis : (+)
Reflek Patologis : (-)
Urinalisa
Tinja
(+)
17
Hb : 12,8 gr%
Warna
Reduksi
: kuning kekeruhan
Warna
: kekuningan
: (-)
Bau
: Biasa
Protein
: (+)
Konsistensi : lunak
Ht :36.7%
Bilirubin
: (+)
Eritrosit
:-
Trombosit : 157x103/mm2
Urobilinogen : (-)
Lekosit
:-
Hitung jenis
Sedimen
N/L/M/E/B
20/12,6 / 10,9 / 0/ 0
Glukosa : (-)
Askaris
:-
Keton : (-)
Ankilos
:-
pH : 7.0
T.Trichiura : -
-Eritrosit : 0/lbp
Kremi
-Lekosit :5-10/lbp
-Epitel : (-)
-Kristal (-)
RESUME
1. KELUHAN UTAMA
Telur Cacing
:-
18
2. ANAMNESA : Keluhan ini dialami os lebih kurang satu minggu yang lalu, awalnya timbul
bintik bintik kemerahan (+) disertai dengan rasa gatal (+) sehingga lama kelamaan terkelupas.
Hal ini terjadi setelah dioperasi karena fraktur tulang kaki dan mengkonsumsi obat Cefadroxil
dan Paracetamol. Lalu os berobat ke seorang dokter dan diberikan obat hidrokortison, gabiten
dan cetirizine. Os juga mengeluhkan disfagia (+) dan nyeri ulu hati (+).
3. STATUS PRESENS
Keadaan Umum : sedang
Keadaan penyakit: sedang
Keadaan gizi
: kurang
4. PEMERIKSAAN FISIK
Mata
Leher
: Palpasi = SP = vesikuler
ST = Abdomen
: Inspeksi = simetris
Perkusi = timpani
Palpasi = soepel
Auskultasi = normoperistaltik (N)
6. DIAGNOSA BANDING
1) Steven Johnson Syndrome dd TEN
19
Darah lengkap
KGD ad random
Cek elektrolit
Urinalisa
RFT/LFT
Biopsi kulit
Konsul kulit
FOLLOW UP
04/02/2015
20
S
O
A
P
05/02/2015
S
O
21
06/02/2015
S
O
22
peristatik + normal
Extremitas : superior : edema -/A
P
07/02/2015
S
Gatal
berkurang(+),
kulit
mengelupas
23
peristatik + normal
Extremitas : superior : edema (-/-)
A
P
08/02/2015
S
membaik (+)
sensorium : compos mentis
Tekanan darah : 120/80mmHg
Nadi : 80x /menit
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36,5oC
Mata : konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/Mulut : mukosa hiperemis(+)
Kulit : skuama (+)
Thorax : SP : vesikuler, ST:Abdomen : soepel, H/L/R tidak teraba,
24
peristatik + normal
Extremitas : superior : edema -/A
P
09/02/2015
S
(+)
sensorium : compos mentis
Tekanan darah : 120/80mmHg
Nadi : 80x /menit
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36,5oC
Mata : konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/Mulut : mukosa hiperemis(+)
Kulit : skuama (+)
Thorax : SP : vesikuler, ST:Abdomen : soepel, H/L/R tidak teraba,
25
peristatik + normal
Extremitas : superior : edema -/Inferior : edema -/- Stevenson Johnson Syndrome
-tirah baring
A
P
-diet MB
-IVFD RL 20gtt/i makro
- Inj Dexamethason 5 mg/12 jam/IV
- Inj Ranitidine 50 mg / 12 jam/IV
- Cetirizin 3x1
- Ulsicral syr 3x C II
- Kompres NaCl 0,9% selama 15 menit setiap
4 jam daerah lesi yang basah
- Tupepe cream 2x sehari (seluruh tubuh
kecuali wajah , habis mandi)
- hidrocortisone 2,5% cream ( seluruh tubuh
setelah 20 menit pemakaian tupepe cream)
- Betazine gargle
BAB 4
KESIMPULAN
26
DAFTAR PUSTAKA
27
India.
http://mka.fk.unand.ac.id/images/articles/No_2_2011/hal_92-97-isi.pdf
2. Hamzah M.:Sindroma Stevens-Johnson ,Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin, Balai Penerbit FKUI, Jakarta,edisi kedua, 193,halaman 127-129.
3. Djuanda A.:Sindroma Stevens-Johnson,MDK,vol.9 no.4, Mei
190,halaman 50.
4. V.K Sharma GGS. Adverse cutaneous reaction to drugs; an overview. J
Postgard
Med.
1996;42((1))
http://mka.fk.unand.ac.id/images/articles/No_2_2011/hal_92-97-isi.pdf
5. A Mansjoer S, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat.. Kapita
Selekta Kedokteran Edisi ketiga Jilid 2. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas
Indonesia.
Media
Aesculapius;
2000.
http://mka.fk.unand.ac.id/images/articles/No_2_2011/hal_92-97-isi.pdf
6. Lebargy F, Wolkenstein P, Gisselbrecht M, Lange F, Fleury-Feith J,
Delclaux C, Roupie E, Revuz J, Roujeau JC: Pulmonary complications in
toxic epidermal necrolysis: a prospective clinical study. Intensive Care
Med 1997, 23:1237-1244.
7. Chang YS, Huang FC, Tseng SH, Hsu CK, Ho CL, Sheu HM: Erythema
multiforme, Stevens-Johnson syndrome, and toxic epidermal necrolysis:
acute ocular manifestations, causes, and management. Cornea 2007,
26:123-129.
8. Mockenhaupt M, Messenheimer J, Tennis P, Schlingmann J: Risk of
Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis in new users of
antiepileptics. Neurology 2005, 64:1134-1138.)
9. Roujeau, JC, Chosidow, O, Saiag, P, Guillaume, JC. Toxic epidermal
necrolysis (Lyell syndrome). J Am Acad Dermatol 1990; 23:1039
10. Westly, ED, Wechsler, HL. Toxic epidermal necrolysis. Granulocytic
leukopenia as a prognostic indicator. Arch Dermatol 1984; 120:721
11. R.P Langlais CSM. Colour Atlas of Common Oral Diseases. Philadelpia:
Lea &Febiger; 2003
12. Siregar RS.Sindrom Stevens Johnson. Saripati Penyakit Kulit 2nd edition.
Jakarta: EGC; 2004.p. 141-2.
13. Adithan C. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert. JIPMER.
2006;2(1). India
28