Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN TUTORIAL

BLOK BIOETIKA DAN HUMANIORA SKENARIO III

KELOMPOK II
AFIFAH SYIFA KHAIRUNNISA

G0013007

AGUMILAR BAGUS B

G0013009

ANISA KUSUMA ASTUTI

G0013033

ARUM DESSY RAHMA S

G0013041

AYATI JAUHAROTUN NAFISAH

G0013051

BENING DEWI RUSLINA

G0013057

MUHAMMAD RIZKI KAMIL

G0013161

NAURA DHIA FADYLA

G0013173

NURCAHYA PURWO SUMBOGO

G0013181

OCHIKA ANINDA REFTIVITA

G0013185

SITARESMI RARAS NIRMALA

G0013219

YUYUN SUCI MEGAWATI

G0013243

ZAKA JAUHAR FIRDAUS

G0013245

TUTOR : ..
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2013

BAB I
PENDAHULUAN
Skenario 3 :
Bagian 1

Setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, vital sign menunjukkan panurunan


tekanan darah hingga 80/50 mmHg, denyut nadi 120x/ menit, respirasi 30x/menit,
dan suhu 40C. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan bahwa kaki kanan pasien
bengkak, kemerahan, dan mengeluarkan nanah. Pada pemeriksaan penunjang
ditemukan kadar gula darah 500 gr/dL. Dokter menduga pasien tersebut tidak
sadar dikarenakan syok sepsis. Setelah dokter melakukan stabilisasi,

dokter lalu

bersiap melakukan amputasi untuk menghilangkan fokus infeksi.


Dua hari kemudian, pasien sadarkan diri, dan keluarga pasien yang ternyata
tinggal di luar pulau mengunjunginya. Tetapi suatu peristiwa yang

menggemparkan terjadi.

Bagian 2

BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA
A. Seven Jump
1. Langkah I : Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa
istilah dalam skenario.
Dalam skenario ini kami mengklarifikasi istilah sebagai berikut:
a. Amputasi adalah pemotongan anggota badan, kaki, dan tangaN
untuk menyelamatkan jiwa seseorang (KBBI: 2008). Amputasi
adalah jenis pembedahan rekonstruksi drastis digunakan untuk
menghilangkan gejala,

memperbaiki

fungsi,

menyelamatkan/

memperbaiki kualitas hidup pasien (Susan dan Denda : 2001)


b. GDS adalah Gula Darah Sewaktu. Pemeriksaan kadar gula darah
pada waktu yang tidak ditentukan (Zein, Umar. 2008)
c. Infeksi adalah tertular penyakit/ kemasukan pathogen (Dorland :
2008)
d. Informed consent adalah persetujuan yang diberikan pada pasien
atau keluarga atas tindakan medis yang akan dilakukan (Permenkes
585 UU Praktik Kedokteran Tahun)
e. IV line adalah Intra Venous Line. Penyampaian cairan obat ke
dalam aliran darah selama periode waktu tertentu (Zainuri A, et al.
2012)
f. Kateter adalah alat bedah berbentuk tubula, lentur, yang
dimasukkan

ke

rongga

tubuh

untuk

mengeluarkan

atau

memasukkan cairan. (Dorland, Ed. 28)


g. Nanah adalah cairan berbau busuk berwana putih kehijauan yang
keluar dari luka, kudis, bisul, dsb. (KBBI, 2008)
h. Resusitasi adalah menghidupkan kembali seseorang yang tampak
mati (Dorland : 28).
i. Stabilisasi adalah usaha untuk menstabilkan/ menormalkan kembali

dengan adanya gejala yang timbul (KBBI, 2008)


Syok sepsis adalah gangguan mendadak pada keseimbangan mental

j.

yang

disebabkan

karena

adanya

mikroorganisme

patogenetik/toksinnya si dalam jaringan (Dorland, Ed. 28) (Nafisa


sama Afifah belum)
2.

LangkahII : Menentukan/mendefinisikan permasalahan.


1.

Apakah tindakan yang dilakukan dokter benar, bagaimana


prosedur rinciannya?

2. Bagaimana prosedur informed consent pada pasien dan apa


landasan hukumnya?
3. Apakah tindakan dokter yang tepat untuk peristiwa tersebut?
4. Bagaimana batasan-batasan tindakan yang boleh dilakukan
seorang dokter untuk menangani pasien Gawat Darurat, tidak
sadar, dan tidak ada pihak keluarga yang menemani?
5. Bagaimana pembayaran pasien Gawat Darurat, tidak sadar, dan
tidak pihak keluarga yang menemani?
6. Apa dasar hukum perlindungan dokter bila digugat?
3.

Langkah III :Menganalisis permasalahan dan membuat pernyataan


sementara mengenai permasalahan.
1. Apakah tindakan yang dilakukan dokter benar, bagaimana
prosedurnya yang runtut ?

Dilakukan tindakan ABC (Airway, Breath, and Circulation)


terlebih dahulu agar stabil, jika mebutuhkan tindakan lanjut
agar tidak bertambah parah dan jika amputasi adalah tindakan
yang harus dilakukan maka dapat diamputasi, tetapi harus ada
informed consent.

Pasien harus distabilakan terlebih dahulu. Untuk melakukan


amputasi harus ada persetujuan dari pasien.

Melakukan tindakan-tindakan untuk mengurangi resiko

diperbolehkan, tetapi untuk melakukan amputasi pada pasien


seharusnya sebagai dokter tetap memperhatikan prinsip
Autonomy. Hal tersebut dikarenakan akan menyangkut masa
depan pasien dengan diamputasi tidaknya kaki sang pasien.

Prosedur yang benar untuk mendapat persetujuan dari pasien


adalah sebagai berikut :
1) Informed consent
Informed consent dapat dilakukan dengan pasien.
Informed Consent merupakan proses komunikasi antara
dokter dan pasien tentang kesepakatan tindakan medis
yang akan dilakukan dokter terhadap pasien yang
kemudian dilanjutkan dengan penandatanganan formulir
Informed Consent secara tertulis. Hal ini didasari atas hak
seorang pasien atas segala sesuatu yang terjadi pada
tubuhnya serta tugas utama dokter dalam melakukan
penyembuhan

terhadap

pasien.

Tujuan

pemberian

informasi secara lengkap mengenai penyakit serta


tindakan medis yang akan dilakukan adalah agar pasien
bisa menentukan sendiri keputusannya sesuai dengan
pilihannya sendiri.
2) Proxy consent
Jika terdapat situasi dimana pasien tidak sadarkan diri,
dapat dilakukan proxy consent. Proxy consent adalah
consent yang diberikan oleh orang yang bukan si pasien
itu sendiri, dengan syarat bahwa pasien tidak mampu
memberikan consent secara pribadi, dan consent tersebut
harus mendekati apa yang sekiranya akan diberikan oleh
pasien apabila ia mampu memberikannya (baik buat
pasien, bukan baik buat orang banyak). Umumnya urutan
orang yang dapat memberikan proxy consent adalah
suami/istri, anak yang sudah dewasa (umur 21 tahun atau

pernah menikah), orangtua, saudara kandung, dan lainlain.


3) Presumed consent
Presumed consent adalah jika pasien dalam keadaan
gawat darurat, dan dokter harus lakukan tindakan segera
sedangkan pasien dalam keadaan tidak bisa memberikan
persetujuan, dan keluargapun tidak ada di tempat, maka
dokter

segera

melakukan

tindakan

berdasarkan

Permenkes 585 tahun 1989, pasal 11 yang berbunyi


Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan
tindakan kedokteran, dokter yang akan melakukan
tindakan juga harus memberikan penjelasan. Dengan
arti bila pasien dalam keadaan yang sadar akan
menyetujui tindakan medik yang dilakukan.
2.

Bagaimana prosedur informed consent pada pasien dan apa


landasan hukumnya?
Perjanjian terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan
pasien yang memberikan kewenangan kepada dokter untuk
melakukan kegiatan memberikan pelayanan kesehatan kepada
pasien berdasarkan keahlian dan keterampilan yang dimiliki oleh
dokter tersebut. Dalam Mukadimah Kode Etik Kedokteran
Indonesia yang dilampirkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan
RI Nomor 434 /Men.Kes /X / 1983 tentang Berlakunya Kode Etik
Kedokteran

Indonesia

Bagi

Para

Dokter

di

Indonesia,

mencantumkan tentang transaksi terapeutik sebagai berikut :


Yang dimaksud transaksi terapeutik adalah hubungan antara
dokter dengan pasien dan penderita yang dilakukan dalam
suasana saling percaya (konfidensial), serta senantiasa diliputi
oleh segala emosi, harapan dan kekhawatiran makhluk insani
Dari hubungan hukum dalam transaksi terapeutik tersebut
timbullah hak dan kewajiban masing-masing pihak, baik bagi

pihak pasien maupun pihak dokter. Suatu perjanjian dikatakan sah


bila memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 1321
KUHPerdata yang berbunyi :
Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena
kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.
Sesuai pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa secara
yuridis keabsahan suatu perjanjian ditentukan oleh kesepakatan
para pihak yang mengikatkan dirinya, dengan tanpa adanya
kekhilafan, paksaan ataupun penipuan. Sepakat ini merupakan
persetujuan yang dilakukan oleh kedua belah pihak dimana kedua
belah pihak mempunyai persesuaian kehendak yang dalam
transaksi terapeutik sebagai pihak pasien setuju untuk diobati oleh
dokter, dan dokterpun setuju untuk mengobati pasiennya. Agar
kesepakatan ini sah menurut hukum, maka didalam kesepakatan
ini para pihak harus sadar (tidak ada kekhilafan)terhadap
kesepakatan yang dibuat, tidak boleh ada paksaan dari salah satu
pihak, dan tidak boleh ada penipuan didalamnya. Untuk itulah
diperlukan adanya Informed Consent atau yang juga dikenal
dengan istilah Persetujuan Tindakan Medik.
3. Apakah tindakan dokter yang tepat untuk peristiwa tersebut?
i.

Tindakan dokter tersebut kurang tepat karena dokter


melakukan amputasi tanpa persetujuan dari pasien atau
dari keluarga/kerabat pasien. Seharusnya ketika akan
dilakukan amputasi, dokter melakukan informed consent
terlebih dahulu.

ii.

Seharusnya amputasi tidak dilakukan, dokter cukup


memberikan obat untuk meminimalisir infeksi yang terjadi
pada pasien. Untuk penanganan medis lebih lanjut seperti
amputasi perlu dilakukan informed consent setelah pasien
sadar atau setelah ada keluarga yang datang.

4. Bagaimana batasan-batasan tindakan yang boleh dilakukan

seorang dokter untuk menangani pasien gawat darurat, tidak sadar,


dan tidak ada pihak keluarga yang menemani?
Dokter tidak perlu melakukan persetujuan oleh siapapun jika

i.

pasien dalam keadaan gawat darurat, tidak sadar, dan tidak


ada keluarga yang mendampingi
Bisa digugat dokternya jika tanpa persetujuan karena

ii.

dianggap penganiayaan, jadi dokter hanya melakukans


secukupnya untuk mengurangi resiko infeksi pada pasien.
5. Bagaimana pembayaran pasien Gawat Darurat, tidak sadar, dan
tidak pihak keluarga yang menemani?

Seorang dokter tetap mengutamakan keselamatan pasien


terlebih dahulu, misalnya dilakukan pemeriksaan vital sign
lalu dilakukan tindakan ABC pada pasien. Seorang dokter
atau karyawan kesehatan lainnya dapat menghubungi
keluarga melalu identitas pasien atau dari barang bawaan
paien, misalnya handphone, KTP, atau kartu identitas
lainnya.

Jika pada akhirnya pasien tidak mampu untuk membayar,


maka dapat dimintai surat-surat keterangan seperti KK,
askeskin, asuransi, dan lain-lain. Selanjutnya diserahkan ke
pihak rumah sakit.

Langkah IV :Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan

4.

pernyataan sementara mengenai permasalahan pada langkah III.


Langkah V : Merumuskan tujuan pembelajaran.

5.
a.

Mengetahui batasan tindakan medis yang harus dilakukan dokter


pada pasien Gawat Darurat
b.Mengetahui jenis-jenis malpraktek diikuti dengan penangan kasus
dan solusi.

6.

Langkah VI :Mengumpulkan informasi baru.

7.

Langkah VII : Melaporkan, membahas, dan menata kembali informasi


baru yang diperoleh.

Batasan tindakan medis yang harus dilakukan dokter pada pasien Gawat Darurat
Dalam melakukan tindakan medis pada pasien gawat darurat,
sesuai dengan Kepmenkes No 129 Tahun 2008 dijelaskan bahwa
tindakan operasional yang perlu dilakukan pada pasien Gawat Darurat
adalah sebatas ABC, yaitu meliputi Airway, Breath, and Circulation)
Dijelaskan lagi bahwa penanganan pasien gawat darurat meliputi
sebagai berikut:
1) Mempertahankan jiwa penderita
2) Mengurangi penyulit yang mungkin timbul
3) Meringankan penderitaan
4) Melindungi kemungkinan penularan penyakit dari pasien
(yang ngomong anisa, belum ada sumber)
Dalam Konsil Kedokteran Indonesia berbunyi:
Tindakan medis tidak dapat dilakukan pada pasien, meskipun
dalam keadaan gawat darurat
Maksud dari pernyataan tersebut adalah bahwa penanganan pada
pasien gawat darurat cukup dengan ABC, untuk tindakan medis
selanjutnya seperti amputasi, pembedahan, dan lain-lain harus dengan
persetujuan yaitru dengan cara menunggu pasien sadar atau menunggu
kerabat pasien datang.
Dalam KODEKI juga berbunyi :
Setiap

dokter

wajib

melakukan

penanganan

darurat,

pertolongan yang dilakukan sesuai dengan kemampuan masingmasing dan alat yang tersedia.
Dapat diartikan bahwa dokter dalam menangani pasien gawat
darurat tidak boleh mengindahkan prinsip autonomy, yaitu pasien
berhak membuat keputusannya sendiri, jadi bila ada rencana tindakan
amputasi dokter harus melakukan persetujuan terlebih dahulu dengan
pasien atau kerabat dari pasien.

Adapaun kriterianya, gawat darurat memilik criteria sebagai


berikut :
1) Shock
2) Pendarahan
3) Patah tulang
4) Kesakitan
(Adi,P(2010). Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Rangka
Penanggulangan Tindak Pidana Malpraktik Kedokteran.Universitas
Diponegoro.Tesis) (ini aku bingung nulis sumbernya gimana)
Jenis-jenis malpraktek diikuti dengan penangan kasus dan solusi
Malpraktek dibedakan menjadi Malpraktek etik dan malpraktek
yuridis. Berikut adalah penjelasannya :
1) Malpraktek Etik
Disebut demikian karena melanggar KODEKI. Sanksinya berupa
sanksi moral, seperti tidak direkomendasikan mengikuti organisasi
kedokteran di daerahnya.
Contoh malpraktek etik: berebut pasien; menjelekkan teman
sejawat; dan lain-lain.
2) Malpraktek Yuridis
Disebut demikian karena melanggar hukum. Dibagi menjadi tiga
yaitu:
(i)

Malpraktek Administrasi (Administrative Malpractice)


Dikatakan demikian jika dokter melanggar hukum tata usaha
Negara. Sanksinya dicabut SIP dokter tersebut. Contoh
malpraktek administrasi:
a. Menjalankan praktek kedokteran tanpa lisensi atau izin
b. Melakukan tindakan medik yang tidak sesuai lisensi yang
dimiliki
c. Melakukan praktek kedokteran dengan menggunakan izin yang
sudah tidak berlaku

d. Tidak membuat rekam medic


(ii)

Malpraktek Perdata (Civil Malpractice)


Terjadi jika dokter tidak menjalankan kewajiban atas persetujuan
yang telah disepakati. Sifatnya individual atau kooperasi.
Sanksinya berupa ganti rugi. Dalam pemberian sanksi, Rumah
Sakit dapat bertanggung jawab atas karyawannya. Contoh
malpraktek perdata:
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib
dilakukan.
b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan
tetapi
terlambat .
c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan
tetapi
tidak sempurna.
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya
dilakukan.

(iii)

Malpraktek Pidana (Criminal Malpractice)

Dibagi menjadi dua yaitu: berbuat tercela dan sikap batin


(kesengajaan, kelalaian, kecerobohan). Sanksinya berupa denda
dan atau kurungan penjara. Sanksi tidak dapat dialihkan ke
siapapun, yang menanggung yaitu orang yang melakukan.
Contoh dari criminal malparactice yang sifatnya kesengajaan
adalah:
a. Melakukan aborsi tanpa indikasi medik
b. Membocorkan rahasia kedokteran
c. Tidak melakukan pertolongan kepada seseorang yang dalam
keadaan
emergensi meskipun tahu tidak ada dokter lain yang akan
menolongnya.
d. Menerbitkan surat keterangan dokter yang tidak benar

e. Membuat visum et repertum yang tidak benar.


f. Memberikan keterangan yang tidak benar disidang pengadilan
dalam kapasitasnya sebagai ahli
Contoh dari crimanal malpractice yang bersifat kecerobohan :
a. Melakukan tindakan medik yang tidak lege artis
b. Melakukan tindakan medik tanpa informed consent
Contoh dari criminal malpractice yang bersifat kealpaan :
a. Kurang hati hati sehingga meninggalkan gunting dalam perut
pasien
b. Kurang hati hati sehingga menyebabkan pasien luka luka.
c. Kurang hati hati sehingga menyebabkan pasien meninggal
dunia.
(unknown + tak tambahi dari Adi,P(2010). Kebijakan Formulasi
Hukum Pidana Dalam Rangka Penanggulangan Tindak Pidana
Malpraktik Kedokteran.Universitas Diponegoro.Tesis)
Di Indonesia terdapat Majelis Kehormatan Etik Kedokteran
(MKEK) untuk pengajuan kasus malpraktek etik sebelum ke
pengadilan. Kemudian pada tahun 1982 dibentuk P3EK, yang
bertugas untuk menangani kasus yang tidak dapat ditangani oleh
MKEK. (NAURA)
UU No.29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran Bab I Pasal 1 poin
14, menyebutkan bahwa:
MKDKI menentukan kesalahan yang dilakukan dokter/dokter gigi
dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi dan
menerapkan sanksinya. Sanksinya yaitu: a) Pemberian peringatan
tertulis kepada dokter
b) Rekomendasi pencabutan STR dan SIP
c) Kewajiban mengikuti pendidikan kedokteran
Upaya menghadapi tuntutan hukum

Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak


memuaskan sehingga dokter,bidan dan ahli kesehatan lainnya
menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga bidan,dokter dan ahli
kesehatan lainnya seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau
keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian bidan,dokter dan ahli
kesehatan lainnya.
Apabila tuduhan kepada bidan,dokter dan ahli kesehatan lainnya
merupakan criminal malpractice, maka tenaga bidan,dokter dan ahli
kesehatan lainnya apat melakukan :
a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/
menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak
menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan
bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko
medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak
mempunyai sikap batin (men rea)sebagaimana disyaratkan dalam
perumusan delik yang dituduhkan.
b.

Formal/legal

defence,

yakni

melakukan

pembelaan

dengan

mengajukan atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan


menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung
jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari
pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan
adalah pengaruh daya paksa.
UU No.36 Tahun 2009 Pasal 29, menyebutkan bahwa:
Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam
menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih
dahulu melalui mediasi.
Solusi:

Sebelum melakukan tindakan medis, harus melakukan


Informed Consent

Tenaga medis dituntut untuk berhati-hati dalam menjalankan

tugasnya serta tidak menjanjikan atau memberi garansi akan


keberhasilan upayanya

Mencatat semua tindakan dalam Rekam Medis, apabila ragu


harap konsul ke dokter senior

Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan


memperhatikan kebutuhannya

Menjalin komunikasi dengan pasien, keluarga, dan masyarakat

BAB III
KESIMPULAN

Dalam mengambil sebuah keputusan, seorang dokter harus selalu jeli,


jangan sampai tindakan dokter justru merugikan pasien. Keputusan yang diambil
seorang dokter, terlebih lagi dalam keadaan gawat darurat, harus benar-benar
mempertimbangkan asas beneficience, nonmalefficience, autonomy, dan justice
secara hati-hati. Informed consent juga harus dilakukan sebisa mungkin. Tindakan
gawat darurat hanya sebatas tindakan ABC, selebihnya dengan informed consent.
Selain itu seorang dokter harus memahami betul aturan Kodeki dan sumpah
dokter yang diucapkannya sehingga dapat memberikan yang terbaik untuk pasien.
Mengenai jalur untuk menuntut seorang dokter dengan tuduhan malpaktik,
seorang pasien tidak bisa begitu saja langsung menuntut dokter ke pengadilan.
Sebelum itu harus melewati langkah prosedural yang cukup panjang, yang salah
satunya adalah mediasi.

BAB IV
SARAN

DAFTAR PUSTAKA

Adi,P.2010. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Rangka


Penanggulangan Tindak Pidana Malpraktik Kedokteran.Universitas
Diponegoro.Tesis
Alwi, Hasan et al. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta: Balai Pustaka
Ameln,F.. 1991. Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Jakarta:Grafikatama Jaya.
Dahlan, S.2002.Hukum Kesehatan. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro.
Dorland, W. A. Newman.2008.Kamus Saku Kedokteran Dorland Edisi
28.Jakarta:ECG
Guwandi, J.1993.Malpraktek Medik. Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai