Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN KASUS

MYELORADIKULOPATI THORACAL SETINGGI MEDULA SPINALIS


VERTEBRA THORACAL X-XII ET CAUSA SPONDILITIS
TUBERCULOSA
Disusun untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Madya SMF Neurologi
Rumah Sakit Umum Jayapura

Disusun Oleh:
Cendraiin I Minangkabau, S.Ked
2008 52 011

Pembimbing :
dr. Nelly Y Rumpaisum Sp.S

SMF NEUROLOGI
RUMAH SAKIT UMUM JAYAPURA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA - PAPUA
2015

LEMBAR PENGESAHAN

Telah disetujui dan diterima oleh penguji Laporan Kasus dengan judul Radikulopati
Thorakal Setinggi Medula Spinalis Vertebra Thorakal IX-XII Et Causa Spondilitis
Tuberculosa, sebagai syarat untuk mengikuti ujian akhir Kepanitraan Klinik Madya pada
SMF Neurologi Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura, pada:
Hari

: Rabu

Tanggal

: 11 November 2015

Tempat: Ruang SMF Neurologi

Mengesahkan,

dr. Nelly Y Rumpaisum, Sp.S

LAPORAN KASUS PASIEN

I.

II.

IDENTITAS
NO.DM

: 01 31 35

NAMA

: Ny. Y. D

UMUR

: 42 Tahun

JENIS KELAMIN

: Perempuan

MRS

: 18-09-2015

KRS

: 15-10-2015

ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Lemah pada kedua kaki
1.RPS
:
3 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien merasakan lemah pada kedua kaki. Pasien
mengaku merasakanlemah pada kedua kaki, sehingga pasien tidak mampu untuk berjalan
sendiri dan apabila berjlana harus dibantu oleh orang lain. Awalnya pasien hanya merasakan
kram-kram pada kedua kaki namun pasien masih dapat beraktivitas seperti biasa, namun 1
minggu kemudian kedua kaki terasa seperti kaku dan 1 minggu kemudian lagi pasien sudah
tidak mampu menggerakkan kedua kaki.
2.RPD
:
- Riwayat trauma pada tulang belakang pada saat pasien masih SMP
- DM (-)
- Hipertensi (-)
- Jantung (-)
- Riw.putus OAT < 1 bulan pada tahun 2013
3.Vital Sign:
TekananDarah
Nadi
Respirasi
Suhu
Kesadaran
4. Pemeriksaan Fisik

: 120/80 mmHg
: 80 x/mnt
: 20 x/mnt
: 36,5oC
: compos mentis (E4V5M6)

Status Interna
Kepala/leher

Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), pembesaran KGB (-), oral

Thoraks

candidiasis (-)
Paru
: Simetris, retraksi (-), ikut gerak napas, Suara napas

vesikuler, Rhonki (+/+), Wheezing (-/-)


Jantung : Bunyi jantung I-II regular, Murmur (-), Gallop (-)
Datar, supel, BU (+), Nyeri tekan (+), hepar/lien (3 jari bawah arcus

costa/tidak teraba)
Akral hangat, udema(-), ulkus (-)

Abdomen
Ekstremitas

Status Neurologis
Rangsang
Meningeal
Saraf Otak
Motorik
Sensibilitas
Vegetatif
Refleks Fisiologis
Refleks Patologis

: Kaku kuduk (-), Lasengue/kerning (tt/tt),Brudzingki I,II,III (-/-/-)


: Mata :pupil bulat isokor, OD : 3 mm, reflex cahaya (+/-).
Wajah : simetris
:

5
:
:
:
:

1 2
Normostesia
BAB/BAK (+/+), Makan/Minum (+/+)
BTR (+/+), KPR (+/+), APR (+/+)
Babinski (-/-), Chaddock (-/-), Gonda (-/-), Gordon (-/-), Oppenheim
(-/-), Schaefer (-/-)

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Hematologi
Jenis Pemeriksaan
Hb
Leukosit
Trombosit
Hematokrit

Hasil
18/09/2015

Hasil
21/09/201

9,6 g/Dl
7,94/mm3
261 103/uL
26,8 %

5
9,1 g/dL
8,16 /mm3
275 103/uL
28,7 %

Nilai Rujukan

12,0 18,0
5.000 10.000/mm3
150-400/uL
35,0 % 54,0 %

LED I
LED II
Parasit Malaria

70
105
-

Negatif

P : 0-10 jam W: 0-20


P: 0-10 W: 0-20
+ : 1-10 parasit/100 lp
++ : 11-100 parasit/100 lp
+++ : 1-10 parasit/ lp
++++ : > 10 parasit/ lp

Pemeriksaan Kimia Klinik


Jenis Pemeriksaan
Albumin
Ureum
Kreatinin
SGOT
SGPT
Kolesterol total
Trigliserida
HDL Kolesterol
LDL Kolesterol

IV.

Hasil
21/09/2015
3,4 mg/dL
25 mg/dL
0,9 mg/dL
24 U/I
13 U/I
236 mg/dl
76 mg/dL
45
176

Nilai Rujukan
3,8 5,1 g/dl
10 50 mg/dl
P: 0,6-1,1 mg/dl, W :0,5- 0,9 mg/dl
P: 8-37 U/I, W :8 31 U/I
P: 6-42 U/I, W :6 32 U/I
<200 mg/dl
<150 mg/dL
Pria : 35-55 Wanita : 45-65
<150

DIAGNOSA KERJA :
Radikulopati Lumbal

V. TERAPI PADA SAAT MASUK RUMAH SAKIT :

VI.

IVFD RL 500cc + Neurosanbe 1amp/12 jam

Inj. Mecobalamin 3x1amp (iv)

Calc 2x1 tab (p.o)

FOLLOW UP RUANGAN
Tanggal
13/09/2015

Catatan
S : lemah pada kedua kaki

Kesadaran : compos mentis

Ketorolac 1amp +

15/09/2015

(E4V5M6)

Diazepam 1 amp /12

VS: TD : 120/70 mmHg, N :

jam

Tindakan
IVFD RL 500cc +

Keterangan
-

80x/mnt, R : 20x/mnt, SB :

36,5oC

Inj.Mecobalamin 3x1
amp (iv)

Status Interna

Calc 1x1 tab (p.o)

Glucosamin 2x1 tab

Kepala/leher : Conjungtiva
anemis -/-, Sklera ikterik -/-,
Pembesaran KGB (-)
Thoraks : simetris, retraksi (-),
ikut gerak nafas, Suara nafas
vesikuler +/+, Rho (-/-), Whe
(-/-), BJ I-II Regular, Murmur
(-), galop (-)
Abdomen: cembung supel, BU
(+), nyeri tekan (-)
Ekstremitas : akral hangat,
udema (-),ulkus (-)
Status Neurologis
Rangsang Meningeal : Kaku
kuduk (-),Lasegue/kernig (-/-),
Brudzinky I,II,III (-/-/-)
Saraf Otak : Mata : pupil bulat
isokor, OD : 3 mm, reflex
cahaya (+/+), reflex kornea (+/
+), Wajah : simetris
Motorik :
5

Sensibilitas : Normostesia
Vegetatif : Makan/Minum (+/
+), BAB/BAK (+/+)
Refleks Fisiologis : BTR (+/+),
KPR (+/+), APR (+/+)
Refleks Patologis : Babinsky
(-/-), chaddock (-/-), gonda

(p.o)
-

FDC OAT 1x4 tab

(-/-), Gordon (-/-), Oppenheim


(-/-), schaefer (-/-)
Diagnosa Kerja :
Radikulopati Thoracal
Setinggi Medula
Spinalis Vertebra
Thoracal X-XII e.c
Spondilitis TB

VII.

DIAGNOSA AKHIR :
Radikulopati Thoracal Setinggi Medula Spinalis Vertebra Thoracal X-XII e.c
Spondilitis TB

VIII. TERAPI SAAT PULANG


TERAPI FARMAKOLOGI
- Vip Albumin 2x1 tab (po)
- OAT (po)

IX.

TERAPI NON FARMAKOLOGI


- Kembali kontrol ke polik saraf
-

Minum obat teratur

Istirahat yang cukup

Diet tinggi Albumin

RESUME
3 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien merasakan lemah pada kedua kaki.
Pasien mengaku merasakanlemah pada kedua kaki, sehingga pasien tidak mampu untuk
berjalan sendiri dan apabila berjlana harus dibantu oleh orang lain. Awalnya pasien hanya
merasakan kram-kram pada kedua kaki namun pasien masih dapat beraktivitas seperti
biasa, namun 1 minggu kemudian kedua kaki terasa seperti kaku dan 1 minggu kemudian
lagi pasien sudah tidak mampu menggerakkan kedua kaki. Kesadaran: compos mentis,
TD: 120/80 mmHg, N: 80x/m, R: 20x/m, SB: 36,50C. Kekuatan motorik extremitas
kanan 5/1, extremitas kiri 5/2,

X.

PERMASALAHAN
1. Bagaimana mendiagnosis Radiculopati Thoracal Setinggi Medula Spinalis
Thoracal X-XII e.c Spondilitis TB ?
2. Bagaimana penatalaksanaan pasien dengan Radiculopati Thoracal Setinggi
Medula Spinalis Thoracal X-XII e.c Spondilitis TB ?

PEMBAHASAN
A. Radikulopati
Kerusakan saraf yang dapat menyebabkan paralisis mungkin di dalam otak atau batang otak
( pusat sistem saraf ) atau mungkin di luar batang otak ( sistem saraf perifer ). Lebih sering
penyebab kerusakan pada otak adalah stroke, tumor, truma ( disebabkan jatuh atau pukulan ),
multiple sclerosis ( penyakit yang merusak bungkus pelindung yang menutupi sel saraf ),
serebral palsy ( keadaan yang disebabkan injuri pada otak yang terjadi sesaat setelah lahir ),
gangguan metabolik ( gangguan dalam penghambatan kemampuan tubuh untuk
mempertahankannya ).
Kerusakan pada batang otak lebih sering disebabkan trauma, seperti jatuh atau kecelakaan
mobil. Kondisi lainnya yang dapat menyebabkan kerusakan saraf dalam atau dengan segera
berdekatan pada tulang belakang termasuk : tumor, herniasi sendi ( juga disebut ruptur
sendi ), spondilosis, rematoid artrirtis pada tulang belakang atau multiple sklerosis.
Kerusakan pada saraf tepi mungkin disebabkan trauma, carpal tunel sindrom, Gullain Barre
Syndrom, radiasi, toksin atau racun, CIDP, penyakit dimielinisasi.
Tanda dan gejala

Distribusi paralisis memberikan syarat yang penting untuk bagian saraf yang rusak.
Hemiplegia disebabkan kerusakan otak pada sisi berlawanan dengan paralysis, biasanya dari
stroke. Paraplegia terjadi setelah injuri pada bagian bawah batang otak , dan quadriplegia
terjadi setelah kerusakan bagian atas batang otak pada tingkat bahu atau lebih tinggi ( saraf
yang mengontrol lengan sejajar tulang belakang ). Diplegia biasanya mengindikasikan
kerusakan otak, lebih sering karena serebral palsy. Monoplegia mungkin disebabkan
pemisahan kerusakan diantara system saraf pusat atau saraf perifer. Kelemahan atau paralysis
hanya dapat terjadi pada lengan dan kaki dapat mengindikasikan penyakit diemelinisasi.
Gejala berfluktuasi dalam membedakan bagian tubuh mungkin disebabkan multiple sclerosis.
Kejadian paralysis lebih sering disebabkan injuri atau stroke. Penjalaran paralysis
mengindikasikan penyakit degeneratif, penyakit infeski seperti GBS atau CIDP, gangguan
metabolisme . Gejala lain yang sering menyertai paralisis termasuk mati rasa dan perasaan
kesemutan, nyeri, perubahan penglihatan , kesulitan berbicara,atau masalah dengan
keseimbangan. Cedera pada batang otak sering menyebabkan menurunnya fungsi kandung
kemih, BAB dan organ sex. Injuri diatas batang otak dapat menyebabkan kesulitan dalam
bernafas.
Kelainan pada saraf bisa berupa kelainan pada:
1.

Korteks Cerebri: cirinya terjadi gangguan fungsi luhur yaitu gangguan dalam berbahasa,

gangguan fraksi, dan gangguan genosis.


2.

Capsula Interna: terdapat nervus VII dan XII yang bersifat kontralateral. bila ada

kelainan maka menyebabkan lesi pada otot-otot bicara yang mengakibatkan bicara pelo.
3.

Medulla Spinalis: bila lesi setinggi cervical terjadi kelumpuhan tangan dan kaki, bila

lesi setinggi thorakal terjadi kelumpuhan tungkai, bila lesi setinggi lumbosakral terjadi
kelumpuhan hanya tungkai. Perbedaan lesi pada thorakal dan lumbosakral yaitu pada letak
lesi motoriknya. kalo pada thorakal di upper motorneuron, sedangkan pada lumbosakral di
lower motorneuron.

4.

Batang otak: Lesi berupa kelumpuhan anggota gerak yang bersifat kontralateral (bila

lumpuh pada sebelah kanan maka lesi pada saraf sebelah kiri)

Pemeriksaan
a. Anamnesis dan Inspeksi :
1) Gambaran adanya penyakit sistemik : kehilangan berat badan, keringat
malam, demam yang berlangsung secara intermitten terutama sore dan malam
hari dan sakit (kaku) pada punggung. Pada pasien anak-anak, dapat juga
terlihat berkurangnya keinginan bermain di luar rumah. Demam (terkadang
demam tinggi), hilangnya berat badan dan berkurangnya nafsu makan akan
terlihat dengan jelas.
2) Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarah
disertai nyeri dada. Pada beberapa kasus terjadi pembesaran dari nodus
limfatikus, tuberkel di subkutan, dan pembesaran hati dan limpa.
3) Infeksi di regio torakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi kaku.
Bila berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari sendi
panggulnya. Saat mengambil sesuatu dari lantai ia menekuk lututnya
sementara tetap mempertahankan punggungnya tetap kaku mengelilingi
rongga dada dan tampak sebagai pembengkakan lunak dinding dada. Jika
menekan abses ini berjalan ke bagian belakang maka dapat menekan korda
spinalis dan menyebabkan paralisis.
4) Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis (gibbus/angulasi tulan
belakang, skoliosis, bayonet deformity, spondilolistesis, dan dislokasi.
5) Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit neurologis).
Terjadi pada kurang lebih 10-47% kasus. Insidensi paraplegia pada spondilitis
lebih banyak di temukan pada infeksi di area torakal dan servikal.
b. Palpasi :
Sesuai dengan inspeksi, keadaan tulang belakang terdapat adanya gibbus
pada area tulang yang mengalami infeksi.

Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
1) Pemeriksaan darah lengkap didapatkan leukositosis. Laju endap darah
meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari 100mm/jam.
2) Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein Derivative
(PPD) positif. Tuberculin skin test ini dikatakan positif jika tampak area

berindurasi, kemerahan dengan diameter 10mm di sekitar tempat suntikan


48-72 jam setelah suntikan.
3) Uji kultur biakan bakteri dan BTA ditemukan Mycobacterium tuberculosis.
4) Apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang
bersifat relative
Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis
tuberkulosa). Normalnya cairan serebrospinal tidak mengeksklusikan
kemungkinan infeksi TBC. Pemeriksaan cairan serebrospinal secara serial
akan memberikan hasil yang lebih baik.
Radiologi
a. Sinar Rontgen
Diperlukan pengambilan gambar dua arah ,antero-posterior (AP) dan lateral
(L). Pada fase awal, akan tampak lesi osteolitik pada bagian anterior korpus
vertebra

dan

osteoporosis

regional.

Penyempitan

ruang

diskus

intervertebralis, menujukkan terjadinya kerusakan diskus. Pembengkakan


jaringan lunak di sekitar vertebra menimbulkan bayangan fusiform.
Pada fase lanjut, kerusakan bagian anterior semakin parah. Korpus menjadi
kolaps dan terjadi fusi anterior yang menghasilkan angulasi yang khas disebut
gibbus. Bayangan opaque pada sisi lateral vertebra, memanjang kearah distal,
merupakan gambaran abses psoas pada torakal bawah dan torakolumbal yang
berbentuk fusiform.

Pada pasien ini didapatkan lesi pada medula spinalis setinggi thorakal IX-XII sehingga
terjadi kelumpuhan pada ekstremitas inferior. Pada anamnesis didapatkan pasien
pernah mengkonsumsi OAT namun terputus, pemeriksaan terdapat Gibbus dan pada
pemeriksaan penunjang didapatkan pada pemeriksaan Laboratorium: LED meningkat
yaitu LED I : 70 LED II 105, pada hasil roentgen thoracal terdapat destruksi pada
thoracal XII.

PENATALAKSANAAN
Kuman tuberkulosa pada umumnya dapat dibunuh atau dihambat dengan
pemberian obat-obat anti tuberkulosa, misalnya kombinasi INH, ethambutol,
pyrazinamid dan rifampicin. Namun karena vertebra yang terinfeksi mengalami
destruksi dengan pembentukan sekuester dan perkejuan, maka tindakan bedah
menjadi penting untuk dapat mengevakuasi sumber infeksi dan jaringan nekrotik.
Destruksi korpus vertebra dapat menyebabkan kompresi terhadap medulla spinalis
dan menyebabkan defisit neurologik, sehingga memerlukan tindakan bedah. Dasar
penatalaksanaan spondilitis tuberkulosa adalah mengistirahatkan vertebra yang sakit,
obat-oabat anti tuberkulosa dan pengeluaran abses.
a. Terapi Konservatif
Pengobatan konservatif yang ketat dapat memberikan hasil yang cukup baik.
5) Tirah baring (bed rest)
Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips terutama pada keadaan
akut atau fase aktif. Istirahat ditempat tidur dapat berlangsung 3 4 minggu,
sampai dicapai keadaan yang tenang secara klinis, radiologis dan laboratoris.
Nyeri akan berkurang, spasme otot-otot paravertebral menghilang, nafsu
makan pulih dan berat badan meningkat., suhu tubuh normal. Secara
laboratoris, laju endap darah menurun, tes mantoux diameter < 10 mm. Pada
pemeriksaan radiologis tidak dijumpai penambahan destruksi tulang, kavitasi
ataupun sekuester.
b. Anti Tuberkulosa
Obat

anti

rifamipicin (RMP),

tuberkulosa

yang

pyrazinamide

utama
(PZA),

adalah

isoniazid

streptomycin

(SM)

(INH),
dan

ethambutol (EMB).
Di bawah adalah penjelasan singkat dari obat anti tuberkulosa
yang primer:
I.

Isoniazid (INH)
Bersifat bakterisidal baik di intra ataupun ekstraseluler
Tersedia dalam sediaan oral, intramuskuler dan intravena.
Bekerja untuk basil tuberkulosa yang berkembang cepat.
Berpenetrasi baik pada seluruh cairan tubuh termasuk cairan
serebrospinal.

Efek samping : hepatitis pada 1% kasus yang mengenai lebih


banyak pasien berusia lanjut usia, peripheral neuropathy karena
defisiensi piridoksin

II.

secara

relatif

(bersifat

reversibel

pemberian suplemen piridoksin).


Relatif aman untuk kehamilan
Dosis INH adalah 5 mg/kg/hari 300 mg/hari
Rifampin (RMP)
Bersifat bakterisidal, efektif pada fase multiplikasi cepat ataupun

lambat dari basil, baik di intra ataupun ekstraseluler.


Keuntungan : melawan basil dengan aktivitas metabolik yang

paling rendah (seperti pada nekrosis perkijuan).


Lebih baik diabsorbsi dalam kondisi lambung kosong dan tersedia

dalam bentuk sediaan oral dan intravena.


Didistribusikan dengan baik di seluruh cairan tubuh termasuk cairan

serebrospinal.
Efek samping yang paling sering terjadi : perdarahan pada traktus
gastrointestinal,

cholestatic

jaundice,

trombositopenia

dan

dependent peripheral neuritis. Hepatotoksisitas meningkat

III.

dengan

dose
bila

dikombinasi dengan INH.


Relatif aman untuk kehamilan
Dosisnya : 10 mg/kg/hari 600 mg/hari.

Pyrazinamide (PZA)
Bekerja secara aktif melawan basil tuberkulosa dalam lingkungan
yang bersifat

asam

dan

paling

efektif

di

intraseluler

(dalam

makrofag) atau dalam lesi perkijuan.


Berpenetrasi baik ke dalam cairan serebrospinalis.
Efek samping :
1. Hepatotoksisitas dapat timbul akibat dosis tinggi obat ini yang
dipergunakan dalam jangka yang panjang tetapi bukan suatu masalah
bila diberikan dalam jangka pendek.
2. Asam urat akan meningkat, akan tetapi kondisi gout jarang
tampak. Arthralgia dapat timbul tetapi tidak berhubungan dengan

IV.

kadar asam urat.


Dosis : 15-30mg/kg/hari
Ethambutol (EMB)
Bersifat bakteriostatik intraseluler dan ekstraseluler
Tidak berpenetrasi ke dalam meningen yang normal

Efek samping : toksisitas okular (optic neuritis) dengan timbulnya


kondisi buta warna, berkurangnya ketajaman penglihatan dan adanya

V.

central scotoma.
Relatif aman untuk kehamilan
Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal
Dosis : 15-25 mg/kg/hari
Streptomycin (STM)
Bersifat bakterisidal
Efektif dalam lingkungan ekstraseluler yang bersifat basa sehingga

dipergunakan untuk melengkapi pemberian PZA.


Tidak berpenetrasi ke dalam meningen yang normal
Efek samping : ototoksisitas (kerusakan syaraf VIII), nausea dan

vertigo (terutama sering mengenai pasien lanjut usia)


Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal
Dosis : 15 mg/kg/hari 1 g/kg/hari
OAT berdasarkan berat ringannya penyakit;

1) Kategori I adalah tuberkulosis yang berat, termasuk tuberkulosis paru yang


luas, tuberkulosis milier, tuberkulosis disseminata, tuberkulosis disertai
diabetes mellitus dan tuberkulosis ekstrapulmonal termasuk spondilitis
tuberkulosa.
2) Kategori II adalah tuberkulosis paru yang kambuh atau gagal dalam
pengobatan.
3) Kategori III adalah tuberkulosis paru tersangka aktif.
c. Immobilisasi
Pemasangan gips bergantung pada level lesi, pada daerah servikal dapat
dilakukan immobilisasi dengan jaket minerva , pada daerah torakal, torakolumbal
dan lumbal atas immobilisasi dengan body jacket atau gips korset disertai fiksasi
pada salah satu panggul. Immobilisasi pada umumnya berlangsung 6 bulan,
dimulai sejak penderita diizinkan berobat jalan. Selama pengobatan penderita
menjalani kontrol berkala dan dilakukan pemeriksaan klinis, radiologis dan
laboratoris. Bila dalam pengamatan tidak tampak kemajuan, maka perlu difikirkan
kemungkinan resistensi obat, adanya jaringan kaseonekrotik dan sekuester, nutrisi
yang kurang baik, makan obat tidak berdisiplin.
c. Terapi Operatif

Tujuan terapi operatif adalah menghilangkan sumber infeksi, mengkoreksi


deformitas, menghilangkan komplikasi neurologik dan kerusakan lebih lanjut.
Salah satu tindakan bedah yang penting adalah debridement yang bertujuan
menghilangkan sumber infeksi dengan cara menbuang semua debri dan jaringan
nekrotik, benda asing dan mikro-organisme.
Indikasi operasi:
1) Jika terapi konservatif tidak memberikan hasil yang memuaskan, secara klinis
dan radiologis memburuk.
2) Deformitas bertambah, terjadi destruksi korpus multipel.
3) Terjadinya kompresi pada medula spinalis dengan atau tidak dengan defisit
neurologik, terdapat abses paravertebral
4) Lesi terletak torakolumbal, torakal tengah dan bawah pada penderita anak.
Lesi pada daerah ini akan menimbulkan deformitas berat pada anak dan tidak
dapat ditanggulangi hanya dengan OAT.
5) Radiologis menunjukkan adanya sekuester, kavitasi dan kaseonekrotik dalam
jumlah banyak.
Pada pasien ini penatalaksanaan yang diberikan yaitu dengan pemberian
OAT Kategori I dan tidak dilakukan tindakan operatif karena tidak
ketersediaan alat namun pada pasien ini ada indikasi untuk dilakukan
tindakan operatif.

Anda mungkin juga menyukai