OLEH :
SHINTA ARDIANA PUSPITASARI
115070201111021
KELOMPOK 1
REGULER 1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Prevalensi gagal ginjal kronik menurut United State Renal Data System
(USRDDS) pada tahun 2009 adalah sekitar 10-13 % didunia. Dalam Kartika
(2013), berdasakan survei dari Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI)
menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara dengan prevalensi penyakit
gagal ginjal kronik yang cukup tinggi, yaitu sekitar 30,7 juta penduduk. Menurut
data PT Askes, ada sekitar 14,3 juta orang penderita gagal ginjal tahap akhir
saat ini menjalani pengobatan yaitu dengan prevalensi 433 perjumlah
penduduk, Jumlah ini akan meningkat hingga melebihi 200 juta pada tahun
2025 ( Febrian, 2009 ).
Data yang didapatkan di RSUD Tugurejo Semarang, pada arsip Rekam
Medik bulan Januari 2012- Februari 2013 menunjukkan bahwa sebanyak
100.368 pasien yang menjalani rawat jalan diataranya adalah pasien gagal
ginjal kronik yang menjalani hemodialisa yaitu sebanyak 4901 pasien ( Rekam
Medik, 2012).
Gagal Ginjal adalah suatu penyakit dimana ginjal tidak mampu
mengangkut sampah metabolic tubuh atau melakukan fungsi regulernya. Suatu
bahan yang biasanya dieliminasi di urin menumpuk dalam cairan tubuh akibat
gangguan ekskresi renal dan menyebabkan gangguan fungsi endokrin dan
metabolic, cairan, elektrolit, serta asam basa. Gagal ginjal merupakan penyakit
sistemik dan merupakan jalur akhir yang umum dari berbagai penyakit traktus
urinarius dan ginjal ( Yusuf Fikri, 2012 ).
Gagal ginjal kronik atau penyakit ginjal tahap akhir adalah destruksi
struktur ginjal yang progresif dan terus- menerus. Fungsi ginjal yang tidak dapat
pulih dimana kemampuan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan
metabolic, dan cairan elektrolit mengalami kegagalan, yang menyebabkan
uremia ( Elizabeth, 2009 ).
Menurut kresnawan (2005), Terapi pengganti yang paling banyak
dilakukan di Indonesia adalah Hemodialisa. Prosedur Hemodialisa dapat
menyebabkan kehilangan zat gizi, seperti protein, sehingga asupan harian
protein seharusnya juga ditingkatkan sebagai kompensasi kehilangan protein,
yaitu 1,2 g/kg BB ideal/ hari. Lima puluh persen protein hendaknya bernilai
biologi tinggi Protein seringkali dibatasi sampai 0,6/ kg/ hari bila GFR turun
sampai dibawah 50 ml/ menit untuk memperlambat progresi menuju gagal
ginjal Rubenstein, (2005).
Pembatasan protein dilakukan karena terjadinya disfungsi ginjal dengan
salah satu cirinya adalah terjadinya uremia. Pada keadaan normal ginjal akan
mengeluarkan produk sisa metabolisme protein (ureum) yang berlebihan
didalam tubuh dalam bentuk urin namun sebaliknya apabila terjadi kerusakan
pada ginjal maka akan terjadi penumpukan ureum didalam darah sehingga
ginjal tidak mampu mengeluarkannya dan menjadikannya semakin tinggi
(Bastiansyah,2008).
Penderita gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa juga
dapat mengalami anemia. Anemia muncul ketika kreatinin turun kirakira 40 ml/
mnt. Anemia akan menjadi lebih berat lagi apabila fungsi ginjal memburuk.
pada umumnya anemia pada penderita gagal ginjal kronik disebabkan oleh
berkurangnya hemoglobin dalam darah akibat pengambilan darah untuk
pemeriksaan laboratorium atau darah yang terperangkap atau tertinggal di alat
Hemodialisa sehingga produksi eritroprotein juga berkurang selain itu, asupan
pasien yang kurang juga dapat menyebabkan anemia menjadi lebih buruk
( Lewis, 2005 ).
Diet tinggi protein dapat menimbulkan keseimbangan nitrogen positif
atau netral, namun kadang-kadang diet tinggi protein dengan nilai biologi
rendah menimbulkan keseimbangan nitrogen negatif. Berdasarkan hasil
penelitian William, et al., (2004), terdapat hubungan antara asupan energi dan
protein yang rendah dengan menurunnya serum kreatinin, albumin, dan berat
badan pada sekelompok pasien HD
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
CRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)
Anatomi Ginjal
Ginjal terletak pada bagian dorsal dari rongga abdominal pada tiap sisi dari
aorta dan vena kava, tepat pada posisi ventral terhadap beberapa vertebra lumbal
yang
pertama.
peritoneal (Frandson, 1992). Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah daripada ginjal
kiri karena besarnya lobus hepatis kanan. Secara mikroskopis, sebuah ginjal dengan
potongan memanjang memberi dua gambaran dua daerah yang cukup jelas. Daerah
perifer/tepi yang beraspek gelap diebut korteks, dan selebihnya yang agak cerah
disebut medulla, berbentuk piramid terbalik. Secara mikroskopis, korteks yang gelap
tampak diselang dengan interval tertentu oleh jaringan medulla yang berwarna agak
cerah, disebut garis medulla (medullary rays).
medulla disebut labirin korteks. Medulla tampak lebih cerah dan tampak adanya jalurjalur yang disebabkan oleh buluh-buluh kemih yang lurus dan pembuluh darahnya
(Hartono, 1992).
Nabib (1987) menjelaskan secara histologi ginjal terdiri atas tiga unsur utama,
yaitu (1). Glomerulus, yakni suatu gulungan pembuluh darah kapiler yang
masuk
melalui aferen, (2). Tubuli sebagai parenkim yang bersama glomerulus membentuk
nefron, suatu unit fungsional terkecil dari ginjal, dan (3).Interstisium berikut pembuluhpembuluh darah, limfe dan syaraf.
kapsula bowman,
tubulus kontraktus
proksimal, lengkung henle dan tubulus kontraktus distal yang mengosongkan diri
ke duktus pengumpul. Glomerulus bersama Kapsul Bowman juga disebut badan
Malpigi.
Jalinan glomerulus merupakan kapiler-kapiler khusus yang berfungsisebagai
penyaring. Kapiler glomerulus dibatasi oleh sel-sel endotel mempunyai sitoplasma
yang sangat tipis, yang mengandung banyak lubang disebut fenestra dengan
diameter 500-1000A0.
Setiap korpus renal berdiameter 200 m dan terdiri atas seberkas kapiler
yaitu
(Alatas et al., 2002). kapsula Bowman. Lapisan luar membentuk batas luar
korpuskulus renal (lamina parietalis) yang terdiri atas epitel selapis gepeng yang
ditunjang lamina basalis dan selapis tipis serat retikulin. Lapisan dalam (lamina
visceralis) meliputi kapiler glomerulus yang terdiri dari sel-sel podosit. Pada kutub
urinarius dari korpuskulus renal, epitel gepeng dari lapisan parietal kapsula
Bowman, berhubungan langsung dengan epitel selindris dari tubulus kontraktus
proksimal. Tubulus ini lebih panjang dari tubulus kontraktus distal dan karenanya
tampak lebih banyak dekat korpuskulus renalis dalam labirin korteks.
Lengkung henle adalah struktur berbentuk U terdiri atas ruas tebal descenden
dengan struktur yang sangat mirip tubulus kontraktus proksimal; ruas tipis
descenden dan ruas tebal ascenden strukturnya sangat mirip dengan tubulus
kontraktus distal. Lebih kurang sepertujuh dari semua nefron terletak dekat batas
korteks-medula yang disebut dengan nefronjukstamedula. Nefron lainnya disebut
nefron kortikal. Semua nefron turut serta dalam proses filtrasi, absorpsi dan
sekresi.
Bila ruas tebal
ascend
dan
terlepasnya
granula
rennin
dari
jukstaglomerulus
yang
A. Definisi
Gagal ginjal kronis merupakan kegagalan fungsi ginjal (unit nefron) yang
berlangsung pelahan-lahan karena penyebab berlangsung lama dan menetap yang
mengakibatkan penumpukan sisa metabolit (toksik uremik)sehingga ginjal tidak
dapat memenuhi kebutuhan biasa lagi dan menimbulkan gejala sakit ( Hudak &
Gallo, 1996 ).
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan
gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh
gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam
darah).
(Brunner & Suddarth, 2001; 1448). Gagal ginjal kronis terjadi dengan
Kelainan patologik
Petanda
kerusakan
ginjal
seperti
proteinuria
atau
kelainan
pada
pemeriksaan pencitraan
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m selama > 3 bulan dengan atau
tanpa kerusakan ginjal
(Sumber: Chonchol, 2005)
B. Etiologi
Berdasarkan data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal
Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai
berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal
polikistik (10%) (Roesli, 2008).
a. Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang
etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran
histopatologi tertentu pada glomerulus (Markum, 1998). Berdasarkan sumber
terjadinya
kelainan,
glomerulonefritis
dibedakan
primer
dan
sekunder.
melitus
merupakan
suatu
kelompok
penyakit
metabolik
dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau kedua-duanya.
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini
dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan.
Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan
sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang
menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang
menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai
kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya
(Waspadji, 1996).
hiperfiltrasi
yang
menetap
yang
selanjutnya
mulai
menurun
Mikroalbuminuria 20 sampai 200ug/min yang setara dengan eksresi protein 30300mg/24j. Awal Hipertensi.
4. Stadium IV (Overt Nephroathy Stage) Stadium ini ditandai dengan: Proteinuria
menetap(>0,5gr/24j). Hipertensi Penurunan laju filtrasi glomerulus.
5. Stadium V (End Stage Renal Failure) Pada stadium ini laju filtrasi glomerulus
sudah mendekati nol dan dijumpai fibrosis ginjal.Rata-rata dibutuhkan waktu1517 tahun untuk sampai pada stadium IV dan5-7tahun kemudian akan sampai
stadiumV.
Salah satu penyebab gagal ginjal kronis adalah diabetes melitus, suatu kondisi
yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa darah, seiring waktu tingginya kadar
gula dalam darah aka merusak jutaan unit penyaringan kecil dalam setiap
ginjal.Pada DM yang tidak terkontrol akan terjadi komplikasi, komplikasi yang terjadi
adalah nefropati diabetikum. Nefropati diabetikum sendiri terjadi akibat terdapat
gangguan pada fungsi ginjal akibat terdapatnya kebocoran yang memungkinkan
protein lolos dan bercampur dengan air seni. Kondisi ini menyebabkan fungsi
penyaringan, pembuangan, dan hormonal ginjal terganggu. Pada DM juga bisa
terjadi penyumbatan pada pembuluh darah halus (glomerulus) ginjal akibat kadar
glukosa darah yang tinggi sedangkan kepekaan sel terhadap insulin menurun, hal
ini menyebabkan secara otomatis tubuh akan langsung membuang kelebihan
glukosa dalam darah melalui urine. Kemudian ginjal harus menyaring glukosa dalam
STADIUM 1
Terjadi apabila kadar gula tidak terkontrol, maka glukosa akan dikeluarkan
lewat ginjal secara berlebihan. Keadaan ini membuat ginjal hipertrofi dan
hiperfiltrasi. Pasien akan mengalami poliuria. Perubahan ini diyakini dapat
menyebabkan glomerulusklerosis fokal, yang terdiri dari penebalan difus matriks
masangeal dengan bahan eosinofilik disertai penebalan membrane basalis
kapiler. Bila penebalan semakin meningkat GFR juga akan semakin meningkat,
maka anak masuk pada stadium 2.
STADIUM 2
Ekskresi albumin relative normal (<30mg/24 jam) pada beberapa
penderita mungkin masih terdpat hiperfiltrasi yang mempunyai resiko lebih
tinggi dalam berkembang menjadi nefropati diabetic.
STADIUM 3
Pada stadium 3 glomerulus dan tubulus sudah mengalami beberapa
kerusakan. Tanda khas stadium ini adalah mikroalbuminuria yang menetap dan
terjadi hipertensi. Pada stadium 3 terdapat mikroalbuminuria (30-300mg/24 jam).
STADIUM 4
Stadium 4 diatandai dengan proteinuria dan penurunan GFR. Retinopati
dan hipertensi hamper selalu ditemui. Stdium 4 difstick positif proteinuria,
ekskresi albumin >300mg/24 jam.
STADIUM 5
Stadium 5 adalah stadium akhir ditandai dengan peningkatan BUN dan
Creatinin plasma yang disebabkan oleh penurunan GFR yang cepat. Dialisa
biasanya dimulai ketika GFRnya sudah turun sampai 15ml/mnt.
Mekanisme gagal ginjal kronik akibat DM ada 3 yaitu :
1. Penderita DM memiliki sistem imun yang rendah sehingga mudah terjadi infeksi
pada ginjal.
2. Pada DM terjadi peningkatan VLDL dan kecenderungan pembekuan darah
sehingga akan mendorong terbentuknya makroangiopati yang akan merusak
ginjal.
3. Peningkatan asam amino akibat proteolisis yang akan meningkat akan
menyebebkan
hiperfiltrasi
pada
ginjal
sehingga
menyebabkan
d. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material
yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan
kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain
oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau
penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering
didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik
dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar baru
bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat ditemukan
pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal lebih tepat
dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa (Suhardjono, 1998).
Faktor risiko
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes melitus
atau hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan individu
dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam
keluarga (National Kidney Foundation, 2009).
C. Klasifikasi
Terdapat 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis yang ditentukan melalui
penghitungan nilai Glumerular Filtration Rate (GFR). Untuk menghitung GFR dokter
akan memeriksakan sampel darah penderita ke laboratorium untuk melihat kadar
kreatinin dalam darah. Kreatinin adalah produk sisa yang berasal dari aktivitas otot
yang seharusnya disaring dari dalam darah oleh ginjal yang sehat.
Dibawah ini 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis sebagai berikut :
Stadium 1, dengan GFR normal (> 90 ml/min)
Stadium 2, dengan penurunan GFR ringan (60 s/d 89 ml/min)
Stadium 3, dengan penurunan GFR moderat ( 30 s/d 59 ml/min )
Stadium 4, dengan penurunan GFR parah ( 15 s.d 29 ml/min)
Stadium 5, penyakit ginjal stadium akhir/ terminal (>15 ml/min)
Untuk menilai GFR ( Glomelular Filtration Rate ) / CCT ( Clearance Creatinin
Test ) dapat digunakan dengan rumus :
Clearance creatinin ( ml/ menit ) = ( 140-umur ) x berat badan ( kg )
72 x creatini serum
Kelebihan cairan : Seiring dengan menurunnya fungsi ginjal membuat ginjal tidak
dapat lagi mengatur komposisi cairan yang berada dalam tubuh. Hal ini membuat
penderita akan mengalami pembengkakan sekitar kaki bagian bawah, seputar
wajah atau tangan. Penderita juga dapat mengalami sesak nafas akaibat teralu
banyak cairan yang berada dalam tubuh.
Perubahan pada urin : urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan adanya
kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami perubahan
menjadi coklat, orannye tua, atau merah apabila bercampur dengan darah.
Kuantitas urin bisa bertambah atau berkurang dan terkadang penderita sering
trbangun untuk buang air kecil di tengah malam.
Rasa sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal berada dapat
dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal seperti polikistik
dan infeksi.
Sulit tidur : Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur disebabkan
Perubahan pada urin : urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan
adanya kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami
perubahan menjadi coklat, orannye tua, atau merah apabila bercampur dengan
darah. Kuantitas urin bisa bertambah atau berkurang dan terkadang penderita
sering trbangun untuk buang air kecil di tengah malam.
Rasa sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal berada dapat
dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal seperti
polikistik dan infeksi.
Perubahan cita rasa makanan : dapat terjadi bahwa makanan yang dikonsumsi
tidak terasa seperti biasanya.
Bau mulut uremic : ureum yang menumpuk dalam darah dapat dideteksi melalui
bau pernafasan yang tidak enak.
Sulit berkonsentrasi
Nausea.
Sakit kepala.
Merasa lelah.
Gatal gatal.
Keram otot
D. Prognosis
Pada penyakit gagal ginjal dini (mikro albuminuria)sudah mempunyai
prognostik morbiditas dan mortalitas kardio vaskuler. Dengan memberatnya
kelainan ginjal, disertai dengan penurunan fungsi ginjal, prognosis terbukti semakin
buruk,menuju gagal ginjal yang memerlukan dialisis, komplikasi organ target yang
mengurangi kualitas hidup dan meningkatkan angka kematian ( Suhardjono, 2001 ).
E. Patofisiologi
Penyebab yang mendasari CKD bermacam-macam seperti penyakit glomerulus
baik primer maupun sekunder, penyakit vaskular, infeksi, nefritis interstisial,
obstruksi saluran kemih. Patofisiologi penyakit ginjal kronik melibatkan 2 mekanisme
kerusakan : (1) mekanisme pencetus spesifik yang mendasari kerusakan
selanjutnya seperti kompleks imun dan mediator inflamasi pada glomerulo nefritis,
atau pajanan zat toksin pada penyakit tubulus ginjal dan interstitium; (2) mekanisme
kerusakan progresif yang ditandai dengan adanya hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron
yang tersisa.
Ginjal kita memiliki 1 juta nefron, dan masing masing memiliki kontribusi
terhadap total GFR. Pada saat terjadi renal injury karena etiologi seperti yang telah
dijelaskan di atas, pada awalnya ginjal masih memiliki kemampuan untuk
mempertahankan GFR. Namun pada akhirnya nefron sehat yang tersisa ini akan
mengalami kegagalan dalam mengatur autoregulasi tekanan glomerular, dan akan
menyebabkan
hipertensi
sistemik
dalam
glomerulus.
Peningkatan
tekanan
glomerulus ini akan menyebabkan hipertrofi nefron yang sehat sebagai mekanisme
kompensasi. Pada tahap ini akan terjadi poliuria, yang bisa menyebabkan dehidrasi
dan hiponatremia akibat ekskresi Na melalui urin meningkat. Peningkatan tekanan
glomerulus ini akan menyebabkan proteinuria. Derajat proteinuria sebanding
dengan tingkat progresi dari gagal ginjal. Reabsorpsi protein pada sel tubuloepitelial
dapat menyebabkan kerusakan langsung terhadap jalur lisosomal intraselular,
meningkatkan stres oksidatif, meningkatkan ekspresi lokal growth faktor, dan
melepaskan faktor kemotaktik yang pada akhirnya akan menyebabkan inflamasi
dan fibrosis tubulointerstitiel melalui pengambilan dan aktivasi makrofag.
Inflamasi kronik pada glomerulus dan tubuli akan meningkatkan sintesis matriks
ektraseluler
dan
mengurangi
degradasinya,
dengan
akumulasi
kolagen
inaktif
Ca,
menyebabkan
penurunan
produksi
eritropoetin
(EPO),
menurunkan fungsi insulin, meningkatkan produksi lipid, gangguan sistem imun, dan
sistem reproduksi. Angiotensin II memiliki peran penting dalam pengaturan tekanan
intraglomerular. Angiotensin II diproduksi secara sistemik dan secara lokal di ginjal
dan merupakan vasokonstriktor kuat yang akan mengatur tekanan intraglomerular
dengan cara meningkatkan irama arteriole efferent. Angiotensin II akan memicu
stres oksidatif yang pada akhirnya akan meningkatkan ekspresi sitokin, molekul
adesi, dan kemoaktraktan, sehingga angiotensin II memiliki peran penting dalam
patofisiologi CKD.
Gangguan tulang pada CKD terutama stadium akhir disebabkan karena banyak
sebab, salah satunya adalah penurunan sintesis 1,25-dihydroxyvitamin D atau
kalsitriol, yang akan menyebabkan kegagalan mengubah bentuk inaktif Ca sehingga
terjadi penurunan absorbsi Ca. Penurunan absorbsi Ca ini akan menyebabkan
hipokalsemia dan osteodistrofi. Pada CKD akan terjadi hiperparatiroidisme sekunder
yang terjadi karena hipokalsemia, hiperfosfatemia, resistensi skeletal terhadap PTH.
Kalsium
dan
kalsitriol
merupakan
feedback
negatif
inhibitor,
sedangkan
Terjadi
peningkatan
hormon
parathormon. Akhirnya
akan
timbul
membuat
ammonia
yang
cukup
pada
tubulus
proksimal
untuk
pada
CKD
terjadi
karena
depresi
sumsum
tulang
pada
terganggu oleh bakteri usus sering pula faktor uremikum akibat bau amoniak dari
mulut. Disamping itu sering timbul stomatitis, cegukan juga sering yang belum jelas
penyebabnya. Gastritis erosif hampir dijumpai pada 90 % kasus Gagal Ginjal
Kronik, bahkan kemungkinan terjadi ulkus peptikum dan kolitis uremik.
Kulit
Kulit berwarna pucat, mudah lecet, rapuh, kering, timbul bintik-bintik hitam dan
gatal akibat uremik atau pengendapan kalsium pada kulit.
Hematologi
Anemia merupakan gejala yang hampr selalu ada pada Gagal Ginjal Kronik.
Apabila terdapat penurunan fungsi ginjal tanpa disertai anemia perlu dipikirkan
apakah suatu Gagal Ginjal Akut atau Gagal Ginjal Kronik dengan penyebab
polikistik ginjal yang disertai polistemi. Hemolisis merupakan sering timbul anemi,
selain anemi pada Gagal Ginjal Kronik sering disertai pendarahan akibat gangguan
fungsi trombosit atau dapat pula disertai trombositopeni. Fungsi leukosit maupun
limposit dapat pula terganggu sehingga pertahanan seluler terganggu, sehingga
pada penderita Gagal Ginjal Kronik mudah terinfeksi, oleh karena imunitas yang
menurun.
Sistem Saraf Otot
Penderita sering mengeluh tungkai bawah selalu bergerak-gerak
(restlesslessleg syndrome), kadang tersa terbakar pada kaki, gangguan syaraf
dapat pula berupa kelemahan, gangguan tidur, gangguan konsentrasi, tremor,
kejang sampai penurunan kesadaran atau koma.
Sistem Kardiovaskuler
Pada gagal ginjal kronik hampir selalu disertai hipertensi, mekanisme terjadinya
hipertensi pada Gagal Ginjal Kronik oleh karena penimbunan garam dan air, atau
sistem renin angiostensin aldosteron (RAA). Sesak nafas merupakan gejala yang
sering dijumpai akibat kelebihan cairan tubuh, dapat pula terjadi perikarditis yang
disertai efusi perikardial. Gangguan irama jantung sering dijmpai akibat gangguan
elektrolit.
Sistem Endokrin
Gangguan seksual seperti penurunan libido, ion fertilitas sering dijumpai pada
Gagal Ginjal Kronik, pada wanita dapat pula terjadi gangguan menstruasi sampai
aminore. Toleransi glukosa sering tergangu paa Gagal Ginjal Kronik, juga gangguan
metabolik vitamin D.
Gangguan lain
Akibat hipertiroid sering terjadi osteoporosis, osteitis, fibrasi, gangguan elektrolit
dan asam basa hampir selalu dijumpai, seperti asidosis metabolik, hiperkalemia,
hiperforfatemi, hipokalsemia.
Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat
kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis,
saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan
kardiovaskular (Sukandar, 2006).
G. Pemeriksaan Penunjang
Urine
- Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine tak keluar
-
(anuria)
Warna : Secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus bakteri,
lemak, partikel koloid, forfat atau urat. Sedimen kotor, kecoklatan
ginjal berat).
Osmolalitas : Kurang dari 350 mosm/kg menunjukan kerusakan tubular, dan
mereabsorbsi natrium.
Protein : Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukan kerusakan
azotemia.
GDA : pH : Penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2) terjadi karena
kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksresi hydrogen dan amonia atau
EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 MPq atau lebih besar.
Magnesium/Fosfat : Meningkat
Kalsium : Menurun
Protein (khususnya Albumin) : Kadar serum menurun dapat menunjukkan
kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan
Piolegram Intravena
- Piolegram Retrograd : Menunujukkan abnormallitas pelvis ginjal dan ureter.
- Arteriogram Ginjal : Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskular massa.
Sistouretrogram Berkemih : Menunjukan ukuran kandung kemih, refluks ke
dalam ureter, terensi.
Ultrasono Ginjal : Menentukan ukuran ginjal dan adanya massa, kista,
obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
Biopsi Ginjal : Mungkin dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel
jaringan untuk diagnosis histoligis.
Endoskopi Ginjal, Nefroskopi : Dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal,
keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif.
EKG : Mungkin abnormal menunjukan ketidakseimbangan elektrolit dan
asam/basa.
Foto Kaki, Tengkorak, Kolmna Spiral dan Tangan : Dapat menunjukan
demineralisasi.
H. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin timbul akibat gagal ginjal kronis antara lain :
1. Hiperkalemia
2. Perikarditis
3. Hipertensi
4. Anemia
5. Penyakit tulang
(Smeltzer & Bare, 2001)
I.
Penatalaksanaan
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal
secara
progresif,
azotemia,
meringankan keluhan-keluhan
memperbaiki
metabolisme
secara
akibat
optimal
akumulasi
dan
toksin
memelihara
f.
Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal
ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan
indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu
perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan
kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter,
muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan
kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8
mL/menit/1,73m, mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar,
2006).
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai
sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya
dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapilerkapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang
diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang
14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal (Rahardjo, 2006).
1. Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal
Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia.
Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur
lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit
sistem
kardiovaskular,
mengalami
perdarahan
pasien-pasien
bila
dilakukan
yang
cenderung
hemodialisis,
akan
kesulitan
A. PENGKAJIAN
Pengkajian fokus yang disusun berdasarkan pada Gordon dan mengacu pada
Doenges (2001), serta Carpenito (2006) sebagai berikut :
1. Demografi.
j.
k. Pola kepercayaan
Gejalanya pasien tampak gelisah, pasien mengatakan merasa bersalah
meninggalkan perintah agama. Tandanya pasien tidak dapat melakukan kegiatan
agama seperti biasanya.
4. Pengkajian fisik
a. Penampilan / keadaan umum
Lemah, aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas nyeri. Kesadaran
pasien dari compos mentis sampai coma.
b. Tanda-tanda vital.
TD naik, respirasi naik, dan terjadi dispnea, nadi meningkat dan reguler.
c. Antropometri.
Penurunan berat badan selama 6 bulan terahir karena kekurangan nutrisi,
atau terjadi peningkatan berat badan karena kelebian cairan.
d. Kepala
Rambut kotor, mata kuning / kotor, telinga kotor dan terdapat kotoran
telinga, hidung kotor dan terdapat kotoran hidung, mulut bau ureum, bibir kering
dan pecah-pecah, mukosa mulut pucat dan lidah kotor.
e. Leher dan tenggorok : peningkatan kelenjar tiroid, terdapat pembesaran tiroid
pada leher.
f.
Dada
Dispnea sampai pada edema pulmonal, dada berdebar-debar. Terdapat
otot bantu napas, pergerakan dada tidak simetris, terdengar suara tambahan
pada paru (rongkhi basah), terdapat pembesaran jantung, terdapat suara
tambahan pada jantung.
Ekstremitas.
Kelemahan fisik, aktifitas pasien dibantu, terjadi edema, pengeroposan
tulang, dan Capillary Refil lebih dari 1 detik.
j.
Kulit : turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik dan mengkilat /
uremia, dan terjadi perikarditis.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah:
1. Intoleransi aktivitas b.d keletihan/kelemahan, anemia, retensi produk sampah
dan prosedur dialysis.
2. Kelebihan volume cairan b.d penurunan haluan urin, retensi cairan dan natrium.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake makanan
yang inadekuat (mual, muntah, anoreksia dll).
4. Ketidak efektifan pola nafas b/d hiperventilasi
5. Risiko infeksi b.d penurunan daya tahan tubuh primer, tindakan invasive
6. Gangguan perfusi jaringan b/d suplai O2 jaringan menurun
7. Penurunan Curah Jantung b/d penurunan COP
8. Kerusakan integritas kulit b/d peningkatan ureum
9. Nyeri akut b/d insisi pada lengan
10. Resiko perdarahan
11. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b/d akumulasi secret pada tindakan
anestesi (transplantasi ginjal)
12. Kerusakan integritas jaringan b/d tindakan hecting
Tujuan/KH
Intervensi
Setelah
dilakukan Manajemen jalan nafas
bersihan jalan nafas askep ... jam risiko infeksi 1. Berikan O2 l/m
2. Posisikan
klien
untuk
terkontrol dg KH:
memaksimalkan ventilasi
Menunjukkan jalan nafas 3. Auskultasi suara nafas, catat
yang paten
2 Pola
nafas
efektif
tidak
Setelah
dilakukan
Monitor Pernafasan:
b.d
Tidak
dada
ada
/
retraksi
penggunaan
otot
bantuan
pernafasan
posisi
tidur
klien
untuk
maximalkan ventilasi
6. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
7. Monitor status pernafasan dan
oksigenasi sesuai kebutuhan
8. Auskultasi bunyi nafas
9. Bersihhkan skret jika ada dengan
3 Kelebihan
cairan
mekanisme
pengaturan
volume
b.d.
Setelah
askep .....
dilakukan
melemah
Kriteria hasil:
Bebas
dari
3. Monitor
edema
indikasi
overload/retraksi
4. Kaji daerah edema jika ada
anasarka, efusi
Tanda
vital
adanya
dalam
Fluit monitoring:
5. Monitor intake/output cairan
batas normal
urine
Manajemen Nutrisi
Masukan
adekuat
informasi
tentang
Monitor Nutrisi
8. Monitor
BB
setiap
hari
jika
memungkinkan.
9. Monitor
respon
klien
terhadap
pengobatan
dan
mastikasi/input
makanan
perdarahan,
bengkak
misalnya
dsb.
invasive,
daya
Pasien
tahu
tanda
infeksi
4. Batasi pengunjung
tanda-
merawat ps
gejala 6. Tingkatkan
masukan
gizi
yang
cukup
7. Anjurkan istirahat cukup
8. Pastikan
penanganan
aseptic
daerah IV
9. Berikan
PEN-KES
tentang
infeksi
Proteksi infeksi:
10. Monitor tanda dan gejala infeksi
11. Pantau hasil laboratorium
risk
12. Amati
faktor-faktor
yang
bisa
meningkatkan infeksi
Intoleransi aktivitas
b.d
jam
ketidakseimbangan
suplai & kebutuhan
O2
Klien
Kriteria Hasil:
Berpartisipasi
aktivitas
bertahap,
biarkan
Warna
berpartisipasi
dapat
kulit
normal,hangat&kering
aktivitas
pentingnya
latihan
& istirahat
Nyeri Akut
Peningkatan
perubahan
Mengekspresikan
keseimbangan
klien
intoleransi aktivitas
secara bertahap
pengertian
secara
Memverbalisasikan
pentingnya
klien sehari-hari
toleransi
aktivitas
Setelah dilakukan askep ...
Klien
nyeri berkurang
Mampu
mengenali
nyeri
Menyatukan
rasa
berkurang
TTV dalam
normal
Tidak
rentang
mengalami
gangguan tidur
Resiko Perdarahan
Bleeding reduction
Klien
Kriteria Hasil:
Kerusakan
integritas jaringan
telah digunakan
4. Monitor TTV
Wound Care
Klien
dengan luka
5. Monitor TTV
6. Kolaborasi diet untuk klien
HEMODIALISIS
A. Definisi
Hemodialisis adalah suatu proses memisahkan sisa metabolisme yang
tertimbun dalam darah dan mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit juga
asam basa melalui sirkulasi ekstrakorporeal dengan menggunakan ginjal buatan.
Beberapa aspek yang mempunyai hubungan erat dengan masalah keperawatan
antara lain : Ginjal buatan, Dialisat, Pengolahan Air, AksesDarah, Antikoagulan,
tekhnik
Hemodialisa,
Perawatan
Pasien
Hemodialisa,
Kompliokasi
akut
buatan
sangat
sedikit
sekitar
60-80
cc,
disamping
cara
2. Dialisat
Adalah cairan yang terdiri dari air, elektrolit dan zat-zat lain supaya
mempunyai tekanan osmotik yang sama dengan darah.
Fungsi Dialisat pada dialisit:
a. Untuk mengeluarkan dan menampung cairan dan sisa metabolisme
b. Untuk mencegah kehilangan zat-zat vital dari tubuh selama dialisa
Tabel perbandingan darah dan dialisat :
Komponen
Darah
Dialisat
136mEq/L
134mEq/L
Kalium/potassi
4,6mEq/L
2,6mEq/L
Kalsium
Chloride
Magnesium
4,5mEq/L
106mEq/L
1,6mEq/L
2,5mEq/L
106mEq/L
1,5mEq/L
elektrolit
Natrium/sodiu
m
um
akan
efektif
jika
dialisme
dilakukan
sekitar
2-6
jam/minggu pada pasien baru, sedangkan pada pasien yang sudah stabil dan
menjalani kronik hemodialisa sekitar 6 18 jam /minggu. Untuk mendapatkan
aliran darah yang besar ( sekitar 200 -300 cc/menit) selama 2jam sangatlah
sulit. Biasannya pada pasien akut kita lakukan pada vena vemoralis, sehingga
dapat diperoleh aliran darah yang besar. Pada pasien dengan program HD
berkala yaitu 2 -3 kali/minggu harus disiapkan penyambungan pembuluha
darah arteri dan vena.
Ada 2 macam cara :
a. Pintas (shunt) eksternal
Kanula khusus yang mengalirkan darah arteri langsung ke vena yang
berdekatan. Kanula arteri dan vena dihubungan dengan konektor sehingga
pada saat dialisa konektor dibuka lalu kanula arteri dihubungkan ke slang
c. Antikoagulan
Selama hemodialisa berlangsung diperlukan antikoagulan agar tidak
terjadi pembekuan darah, yang biasanya digunakan heparin.
Pemakaian heparin ini dikenal dengan heparinisasi, macam heparinisasi :
1) Heparinisasi sistemik
Digunakan pada hemodialisa kronik yang stabil. Bolus heparin 1000
5000 unit tiap jam. Pada jam terakhir tidak diberikan lagi.
2) Heparinisasi regional(sedang haid) bolus heparin tetap diberikan sebanyak
1000 5000 unit, selanjutnya diinfuskan sebelum ginjal buatan dan
protamine sulfat, sesudah ginjal buatan, sebelum darah masuk kedalam
tubuh penderita. Jadi heparin diberikan pada sirkulasi ekstrakorporeal saja.
3) Heparinisasi minimal
Diberikan hanya 500 unit saja pada awal tusukan karena penderita
cenderung berdarah selanjutnya tidak diberikan lagi.
5. Teknik hemodialisa
Sebelum berbicara tentang tekhnik hemodialisa terlebih dahulu menjelaskan
beberapa istilah :
a. Sirkulasi ekstrakorporeal
b. Sirkulasi diluar tubuh selama terjadi hemodialisa.
c. Sirkulasi sistemik
d. Sirkulasi dalam tubuh
e. Selaput semipermiabel
f.
Selaput yang sangat tipis mempunyai pori-pori halus, hanya dapa dilihat
dengan mikroskop.
g. Blood pump (Roller Pump)
h. Pompa mesin hemodialisa yang gunanya mengalirkan darah dari sirkulasi
sistemik ke sirkulasi ekstrakorporea dan kembali lagi ke sirkulasi sistemik
i.
disebut
arteria
blood
lines/inlet,
sedangkan
selang
yang
7. Persiapan Penderita :
Indikasi hemodialisa
a. Segera/ indikasi mutlak : over hidrasi atau edema paru, hiperkalemi, aliguri
berat atau anuria, asidosis, hipertensi maligma.
b. Dini/ profilaksis : gejala uremia (mual muntah) perubahan mental, penyakit
tulang, gangguan pertumbuhan dan seks, perubahan kualitas hidup.
Bila penderita baru yang datang di ruang HD, sebelum kita melakukan
HD terlebih dahulu periksa kembali hasil-hasil pemeriksaan yang penting (Hb,
hematokrit, ureum, kreatinin, dan HbsAg), hal ini perlu untuk menentukan tindak
lanjut sperlu untuk menentukan tindak lanjut suatu HD.
Langkah-langkah HD
a. Timbang dan catat BB
b. Ukur dan catat tekanan darah (dapat digunakan untuk menginterpretasikan
kelebihan cairan)
c. Tentukan akses darah yang akan ditusuk.
d. Bersihkan daerah yang akan ditusuk dengan betadine 10% lalu alcohol 70%
kemudian ditutup pakai duk steril.
e. Sediakan alat-alat yang steril didalam bak spuit kecil :spuit 2,5cc sebanyak
f.
g.
h.
i.
1, spuit 1 cc 1 buah, mangkok kecil berisi saline 0,9% dan kasa steri
Sediakan obat-obatan yang perlu yaitu lidonestdan heparin.
Pakai masker dan sarung tangan steril.
Lakukan anestesi local didaerah akses darah yang akan ditusu
Tusuk dengan AV fistula lalu berikan heparin sebanyak 2000unit pada inlet
memperhatikan
factor
for
planning
and
documenting
patients
care.
Alih
Smeltzer, S dan Brenda G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Sundarth. Edisi 8. Jakarta : EGC.
Suyono, Slamet. 2001. Buku Ajar ilmu Penyalit Dalam. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI
Sukandar, Enday. 2006. Gagal Ginjal dan Panduan Dialisis. Bandung : PPI FK UNPAD