Anda di halaman 1dari 13

Latar Belakang

D iantara persoalan masyarakat yang selalu menjadi bahan perbincangan para


agamawan, politisi maupun para pemimpin masyarakat lainnya adalah
perjudian. Persoalan judi bila dilihat dari sudut pandang agama, hukum maupun
sosial bisa menimbulkan perdebatan mulai dari pengertiannya, jenis-jenisnya,
dasar hukum yang digunakan untuk melarangnya, pandangan masyarakat
terhadapnya serta cara memperlakukan atau menanganinya. Itulah sebabnya
upaya-upaya yang dilakukan untuk menangani masalah judi sering menimbulkan
pro dan kontra di masyarakat.
Pada pertengahan April tahun lalu (2002) lokalisasi judi menjadi isu di
media masa karena dipicu oleh gagasan Gubernur DKI Sutiyoso yang mau
melokalisasi judi di Kepulauan Seribu. Mereka yang pro pada umumnya
mengajukan alasan-alasan sebagai berikut. Lokalisasi diperlukan agar judi tidak
dilakukan secara terselubung. Dengan adanya lokalisasi pemerintah akan lebih
mudah menarik pajak sehingga bisa menambah pemasukan pemerintah daerah
untuk membiayai pembangunan infrastruktur.1 Selain itu, judi untuk masyarakat
atau etnis tertentu merupakan budaya atau tradisi sehingga menjadi hak asasi
mereka untuk melakukannya. Dengan adanya lokalisasi pemerintah akan lebih
mudah menindak judi-judi yang dilakukan secara liar. Judi masuk katagori
wilayah moral, prinsipnya orang boleh melakukannya asal tidak mengganggu
yang lain. Merokok misalnya menurut sebagian ulama hukumnya haram, toh tetap
dibiarkan oleh pemerintah selama tidak mengganggu kepentingan orang lain.
Malaysia negara yang menjadikan Islam sebagai dasarnya mengadakan lokalisasi
judi.
Mereka yang kontra antara lain mengajukan argumentasi sebagai
berikut.. Judi adalah perbuatan dosa (maksiat) yang sudah jelas dilarang oleh
agama khususnya agama Islam sehingga judi apapun bentuknya dan dimanapun
lokasinya harus dibasmi dengan menggunakan prinsip amar ma’ruf nahi munkar.

1
Pemasukkan yang bisa diperoleh pemerintah DKI dari pusat perjudian diperkiraan bisa mencapai
satu triliyun tiap tahunnya . Satu sumbangan dinilai cukup berarti untuk membiayai budget DKI
yang totalnya mencapai 9,3 triliyun, Baca: The Jakarta Post, July 22, 2002

1
Lokalisasi judi akan memicu merebaknya judi-judi liar di luar yang telah
dilokalisir. Lokalisasi judi sama artinya dengan legalisasi judi. Kalaupun ada
manfaatnya , seperti pajak dan lain sebagainya madlaratnya pasti lebih besar dari
manfaatnya. Lokalisasi judi akan ditolak oleh masyarakat Indonesia, yang dikenal
sebagai masyarakat religious. Hukum Pidana Indonesia telah menyatakan bahwa
judi adalah perbuatan kriminal. Kita tidak bisa meniru Malaysia sebab Malaysia
dinilai lebih baik ketimbang Indonesia dalam Law enforcement-nya.2
Secara kultural sebagaimana ajaran yang diwariskan dari nenek moyang,
masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa dan juga masyarakat Sunda
menerima dan memperlakukan judi sebagai perbuatan keji dan tercela. Ia
termasuk lima M yang mesti dijauhi yakni main (berjudi), minum (minum
minuman keras), madon(berzina), madat (mengkonsumsi hal-hal yang merusak
badan seperti narkotika dan obat-obatan terlarang dan maling ( mencuri). Akan
tetapi kenyataan sosial memperlihatkan bahwa judi selalu menjadi bagian dari
masyarakat, termasuk masyarkat Jawa Barat yang dikenal sebagai masyarakat
religious.
Para ulama atau agamawan pada umumnya sepakat bahwa judi itu haram.
Akan tetapi pada saat mereka mendefinisikan apa itu judi bisa timbul perbedaan
pandangan di antara mereka. Terhadap undian berhadiah, sumbangan dana sosial
berhadiah (SDSB) atau sejenisnya , sebagain ulama memasukkannya kedalam
katagori judi sementara ulama yang lain tidak memasukkannya. Dari aspek
hukum positip yang berlaku di Indonesia, hukum pidana kita tidak terlalu tegas
melarangnya. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, judi termasuk
perbuatan illegal kecuali yang jelas-jelas mendapat izin dari penguasa. Adanya
‘celah’ dari KUHP inilah yang kemudian digunakan oleh Ali Sadikin, Gubernur
DKI pada tahun tujuh puluhan untuk melokalisir judi dan sekaligus
‘memanfaatkannya’ sebagai sumber income bagi pemerintah DKI.
Bila dirunut kebelakang pada masa penjajahan Belanda, judi dibolehkan
berdasarkan peraturan pemerintah atau Staatsblad 1912 No.250 dan Staatsblad
1935 No.526. Belakangan Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-undang
Darurat No.11 tahun 1957 tentang Pajak Regional yang menyatakan bahwa
2
Nurrohman, Judi dan Penanganannya, Makalah disampaikan dalam meeting antara DISPENDA
Kota Bandung dengan Pakar Fiqih tgl.4-7-2002 di Hotel Horison Bandung

2
pemerintah propinsi memiliki kewenangan untuk mengatur bisnis di daerah
masing-masing. Sungguhpun demikian tak seorangpun Gubernur DKI yang
berani menghadapi kuatnya oposisi dari pemimpin agama dan pemimpin partai
yang berorientasi agama. Walikota Jakarta Pusat, Sudiro, yang menjabat dari
tahun 1953 sampai 1960 pernah mempublikasikan rencananya untuk melegalisir
kasino di pulau Edam di wilayah Jakarta tapi gagal. Kegagalan serupa juga
dialami oleh Sumarno Sosroatmodjo yang menjabat Gubernur DKI dari tahun
1960 sampai tahun 1965. Terlepas ada atau tidaknya izin dari pemerintah, judi
illegal tetap terus beroperasi dimana-mana. Judi punya pasar tersendiri dan
konsumen akan terus mencari dimanapun ia dibuka, meskipun di kolong
jembatan, kata Usman salah seorang penduduk Jakarta. Itulah sebabnya Gubernur
Ali Sadikin pada akhirnya melegalisir perjudian dan menyediakan beberapa
tempat sebagai pusat judi setelah melihat maraknya judi illegal yang pada
umumnya di back up oleh oknum pejabat. “Saya sengaja menangani judi sejak
tahun 1967. Dalam rangka mengatur usahanya, pemerintahan Kota menetapkan
fee sehingga usaha itu bisa menjadi sumber pendapatan bagi pemerintahan kota”
kata Ali Sadikin dalam wawancaranya dengan Ramadhan KH dalam buku yang
berjudul Bang Ali ,Demi Jakarta 1966-1977, Sinar Harapan (1992.)
Izin perjudian diberikan melalui tender. Bisnis ini diawasi secara ketat
oleh Tim dari pemerintah DKI dan oleh polisi agar terus bisa memberikan
kontribusi bagi negara dan untuk mencegah dampak negatif dari bisnis ini
terhadap penduduk lokal. Sesuai dengan Keputusan Gubernur
No.805/A/K/BKD/1967 tertanggal 21 September 1967, pemerintah DKI diizinkan
untuk mengoperasikan kasino di Petak Sembilan yang oleh para penjudi dikenal
dengan sebutan “PIX”, di Jakarta Teatre, di Copacabana (di Kota) yang berlokasi
di Jakarta Pusat. Keputusan itu juga membolehkan dibukanya stand mainan di
Jakarta Fair, Projek Senin, Lotto Fair dan Krekot. Pacuan kuda di Pulo Mas
Jakarta Timur, Hai Lai Toto di Ancol Jakarta Utara dan greyhound racing di
Senayan, Jakarta Pusat.
Ali mengklain bahwa fee yang dikumpulkan dari bisnis ini bisa digunakan
untuk membiayai program rehabilitasi termasuk kontruksi, perawatan, perluasan
jalan, pasar tradisional, pusat kesehatan masyarakat dan subsidi keuangan untuk

3
beberapa rumah sakit di Jakarta. Semua ini bisa dilakukan karena adanya lonjakan
pemasukan ke pemerintah DKI. Pada tahun 1979 (1969), kasino di P IX dan Hai
Lai saja telah memberikan kontribusi sebesar 10 Milyar3 ke pemerintah DKI atau
sekitar 10 % dari pemasukan domestik terlepas dari adanya Instruksi Menteri
tahun 1973 untuk menstop praktek perjudian. Pada waktu itu budget DKI Rp 132
Milyar.
Akan tetapi mengingat meningkatnya kritik dari para ulama dan para
pemimpin agama, praktek perjudian pada akhirnya dilarang. Melalui instruksi
Menteri No.7 tahun 1973, semua praktek perjudian seperti mesin slot, roulette,
lotto , hwa hwe dll dilarang. Hukum yang lebih keras kemudian dikeluarkan untuk
mencegah perjudian melalui Undang-Undang No.7 tahun 1974. Menurut undang-
undang ini , semua jenis perjudian merupakan tindakan kriminal. Dan barang
siapa melanggar ketentuan hukum ini akan dipenjara maksimun 10 tahun atau
denda Rp.10 juta. Bagaimanapun praktek judi masih terus menyebar dimana-
mana sampai pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1981
yang menjadi kata akhir bagi bisnis perjudian. Sejak tahun 1981 sampai sekarang
4
judi dianggap perbuatan illegal tapi perjudian terus berjalan secara diam-diam.
Adanya perjudian illegal yang terus merebak secara diam-diam inilah yang ikut
melatarbelakangi munculnya gagasan Wali Kota Bandung, Aa Tarmana, untuk
mengadakan rembug dengan sejumlah ulama atau pakar hukum Islam tentang
cara-cara menangani perjudian. Dari rangkuman pokok-pokok pikiran para pakar
yang hadir pada pertemuan yang diadakan di Hotel Horison Bandung itu terdapat
kalimat sebagai berikut.
Sebagai suatu kebatilan, judi dipastikan tidak mungkin hilang dari muka
bumi. Sebab pertarungan antara yang hak dan batil merupakan sunnatullah yang
dengan itu manusia menjadi dinamis, maju dan semakin berkualitas. Sehingga bila
dilarang di suatu tempat pasti ia mencari tempat yang lain. Di basmi di suatu
negara pasti ia pindah ke negara lainnya. Sepanjang masih ada orang kafir dan
pelaku maksiat di muka bumi, perjudian dipastikan akan selalu ada. Oleh karena
itu masyarakat perlu terus menerus ditingkatkan kualitas iman dan takwanya.

3
Pada waktu itu anggaran (budget) Pemda DKI sekitar 132 Milyar rupiah.
4
Lihat, The Jakarta Post, 15 April 2002.

4
Sebab selagi moral dan akhlak masyarakat masih belum baik, maka kesadaran
mereka terhadap bahaya perjudian akan rendah pula. 5
Itulah sebabnya penanganan judi memerlukan pemahaman yang
komprehensif. Ia tidak bisa dipandang semata-mata dari sudut agama, tapi juga
dari sudut pandang hukum positip dan juga dari sudut pandang masyarakat atau
sosiologis. Agama menuntut kesadaran moral pemeluknya sementara hukum
positip akan bisa efektif bila rumusannya sejalan dengan kesadaran masyarakat.
Hukum yang tidak didukung oleh kesadaran masyarakat hanya akan menjadi
rumusan diatas kertas saja dan hanya akan melahirkan sikap atau prilaku yang
hipokrit. Atas dasar inilah maka judi perlu diteliti bukan hanya dari sudut
pandang agama tapi juga dari sudut pandang hukum serta masyarakat termasuk
masyarakat penjudi sendiri.

Rumusan Masalah

5
Dikutip dari Rangkuman Pokok-pokok Pikiran dari Pertemuan Para pakar Fikih (Hukum Islam)
tentang Penanganan Judi di Kota Bandung yang diadakan oleh IRHAS pada tanggal 4 July 2002 di
Hotel Horison Bandung.

5
Mengingat banyak dan luasnya masalah yang ada hubungannya dengan
judi, maka penelitian akan difokuskan pada judi yang ada di Kota Bandung.
Untuk mempertajam kajian, masalah akan dibatasi pada rumusan pertanyaan
yang akan diajukan berikut ini:
1. Apa saja dan bagaimana peredaran perjudian di Kota Bandung?
2. Bagaimana judi di Kota Bandung menurut pandangan para
agamawan ?
3. Bagaimana posisi judi di Kota Bandung menurut peraturan
perundangan yang berlaku?
4. Bagaimana masyarakat Kota Bandung memandang persoalan judi ?

Tujuan dan Kegunaan Penelitian

6
B erdasarkan latar belakang dan rumusan masalah sebagaimana disebutkan di
atas maka tujuan penelitian adalah untuk :
1. Mengetahui dan mengkaji jenis-jenis judi yang ada di Kota Bandung serta
peredarannya.
2. Mengetahui dan mengkaji pandangan para agamawan tentang perjudian di
Kota Bandung.
3. Mengetahui dan mengkaji dasar hukum dan peraturan perundang-
undangan yang mengatur perjudian.
4. Mengetahui dan mengkaji pandangan masyarakat di Kota Bandung
tentang judi.
Penelitian ini diharapkan akan memiliki kegunaan baik secara teoretis
maupun secara praktis. Secara teoretis penelitian ini diharapkan akan bisa
menambah bahan bacaan tentang Hukum Islam dan Pranata Sosial atau Sosiologi
Hukum. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan bisa dijadikan bahan
masukan bagi Pemerintah Daerah Kota Bandung khususnya dan kota-kota besar
pada umumnya dalam menangani perjudian.

Kerangka Konseptual

7
Judi bisa dipersoalkan melalui berbagai dimensi. Ia bisa menjadi persoalan
agama, persoalan hukum maupun persoalan masyarakat. Oleh karena itu kajian
tentang judi secara konseptual bisa dilakukan melalui pendekatan agama,
pendekatan hukum atau pendekatan sosial budaya. Dilihat dari pendekatan agama,
khususnya agama Islam, sebagaimana yang telah disinggung pada pembahasan di
atas, judi memang merupakan perbuatan yang diharamkan. Oleh karena itu secara
moral, orang yang mengaku beragama Islam dituntut untuk menjauhinya. Akan
tetapi pada saat judi itu didefinisikan secara akademis dengan menitikberatkan
pada unsur sepekulasinya, maka hal itu bisa menimbulkan sejumlah pertanyaan
lanjutan.
Hukum pidana positip Indonesia mengklasifikasikan judi ini sebagai suatu
kejahatan yang masuk dalam kelompok kejahatan terhadap kesopanan. Sebelum
dihapuskan oleh UU No.7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian, judi ini
diatur dalam dua pasal yakni pasal 303 dan 542 KUHP. Setelah UU No.7/1974
lahir, pasal 542 KUHP dihapuskan dan diganti dengan pasal 303 bis KUHP.
Berdaarkan ketentuan pasal 303 dan 303 bis KUHP, mereka yang dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana adalah. Pertama, mereka yang
mengadakan atau memberi kesempatan main judi sebagai mata pencaharian, yakni
mereka yang bertindak sebagai bandar atau mereka yang membuka perusahaan
khusus untuk main judi. Terlepas apakah ini dilakukan di tempat tertutup atau
terbuka, pelakunya dapat dipidana hanya jika tidak dilengkapi izin dari
pemerintah. Kedua, mereka yang mengadakan atau memberi kesempatan main
judi kepada khalayak tidak sebagai pencaharian. Bagi kelompok ini, syarat dapat
dipidananya pelaku adalah jika kegiatan mereka mengadakan atau memberi
kesempatan main judi tersebut dilakukan di tempat terbuka yang dapat dikunjungi
khalayak. Sehingga secara a contrario, apabila main judi itu dilakukan di tempat
tertutup yang sangat kecil kemungkinannya didatangi setiap orang, kegiatan
perjudian ini diperkenankan. Demikian halnya jika telah ada izin dari pemerintah,
kegiatan ini menjadi legal dan pelaku berubah statusnya menjadi pengusaha
perjudian. Ketiga, mereka yang turut berjudi dan terbukti menjadikan judi
sebagai mata pencahariannya.

8
Secara sosial budaya bisa dijumpai perbuatan-perbuatan yang sudah
menjadi bagian dari tradisi masyarakat tapi sering dinilai sebagai judi dalam
pandangan para ulama atau agamawan. Oleh karena itu penelitian untuk
mengetahui judi dalam perspektif ulama atau agamawan, hukum pidana positif
dan dari perspektif masyarakat itu sendiri menjadi penting.

Metode Penelitian

9
P enelitian ini akan menggunakan pendekatan teologis, yuridis dan sosiologis.
Pendekatan teologis digunakan untuk mengungkap dan mengkaji pandangan
para tokoh agama di Bandung seputar persoalan judi. Pendekatan yuridis dalam
penelitian ini digunakan untuk mengkaji kaidah-kaidah hukum positif yang
mendasari dan atau terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan
persoalan judi. Sementara pendekatan sosiologis digunakan untuk mengkaji
pandangan-pandangan masyarakat seputar persoalan judi.
Untuk mencapai tujuan yang diharapkan, maka penelitian ini akan
didesain melalui tahapan-tahapan sebagai berikut: Tahap pertama, sesuai dengan
dengan rumusan masalah akan diteliti jenis-jenis judi yang ada di Kota Bandung
penyebaran, serta para pelakunya.
Tahap kedua, akan diteliti pandangan para pemuka agama yang ada di
Kota Bandung, baik mereka yang berasal dari agama Islam maupun di luar Islam
terhadap perjudian. Target yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah
jawaban atas pertanyaan apakah yang dimaksud dengan judi. Ada berapa jenis-
jenis judi, bagaimana cara memperlakukan atau menangani perjudian, serta
bagaimana pandangan mereka tentang kemungkinan dilokalisirnya perjudian.
Tahap ketiga, akan diteliti peraturan perundang-undangan yang mengatur
perjudian di Indonesia serta penafsiran-penafsiran dari pakar hukum terhadapnya.
Pada tahap ini target yang ingin dicapai adalah jawaban atas pertanyaan apakah
yang dimaksud dengan judi, apakah yang dimaksud dengan judi menurut hukum
positif, jenis-jenisnya, cara memperlakukan atau menanganinya, serta
kemungkinan dilokalisirnya perjudian. Untuk melengkapi kajian yuridis akan
dilakukan wawancara terhadap pakar hukum maupun praktisi hukum yang ada di
Kota Bandung.
Tahap keempat, akan diteliti pandangan-pandangan masyarakat Kota
Bandung tentang perjudian. Target yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah
jawaban dari masyarakat atas pertanyaan apakah yang dimaksud dengan judi, ada
berapa jenis-jenis judi, bagaimana cara memperlakukan atau menangani
perjudian, lalu tentang kemungkinan dilokalisirnya perjudian. Di sini masyarakat
Bandung yang akan dijadikan responden adalah mereka yang terlibat atau yang

10
menjalani praktek-praktek perjudian, serta masyarakat yang tidak menjalani
praktek-praktek perjudian. Masyarakat yang akan dijadikan sample adalah
masyarakat yang tinggal dan menyaksikan praktek-praktek perjudian yang ada di
Kota Bandung, yang jumlahnya akan ditentukan kemudian secara purposif.
Kendatipun desain penelitian ini disusun secara bertahap, namun dalam
pelaksanaannya keempat tahapan tersebut dapat ditempuh secara bersama-sama.
Untuk tahap pertama, teknik pengumpulkan data dilakukan dengan cara observasi
dan wawancara mendalam melalui instrumen pedoman wawancara. Untuk tahap
kedua, pengumpulan data akan dilakukan dengan wawancara mendalam.
Sedangkan tahap ketiga, pengumpulkan data digunakan dengan metode analisa
isi, yakni mengkaji dan mengkritisi peraturan yang mengatur perjudian. Untuk
tahap keempat, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi dan
wawancara, dan bila perlu digunakan juga teknik pengumpulan data melalui
angket.

Anggaran Penelitian

11
No. Jenis Pengeluaran Rincian (Rp)
1 Gaji dan upah pelaksana 22.500.000
2 Bahan pustaka penelitian 4.500.000
3 Bahan habis pakai 3.500.000
4 Akomodasi dan Tranportasi selama riset 8.000.000
5 Seminar untuk cross-chek/penajaman data 8.000.000
6 Editing dan Laporan 3.000.000
7 Lain-lain (tak terduga) 500.000
Total Anggaran 50.000.000

Daftar Pustaka

Afif Muhammad, Pokok Pikiran Tentang Penanganan Judi di Kota Bandung,


Makalah disampaikan dalammeeting antara Dispenda Kota Bandung dengan
Pakar Fiqh, tanggal 11-7-2002, di Hotel Horison Bandung.

12
Anton Athoillah, Penanganan Judi di Kota Bandung, Makalah disampaikan
dalam meeting antara Dispenda dengan Pakar Fiqh, tanggal 11-7-2002, di
Hotel Horison Bandung.
Anonimous, Laporan Hasil Meeting Para Pakar Fiqh dengan Dispenda Kota
Bandung tentang Penanganan Judi di Kota Bandung, IRHAS, Bandung,
2002.
Ayat Dimyati, Lokalisasi Kemaksiatan, Makalah disampaikan dalam meeting
antara Dispenda Kota Bandung dengan Pakar Fiqh, tanggal 11-7-2002, di
Hotel Horison Bandung.
Hendra Ahkdiat, Judi Sebagai Tindak Pidana, Makalah disampaikan dalam
meeting antara Dispenda Kota Bandung dengan Pakar Fiqh, tanggal
11-7-2002, di Hotel Horison Bandung.
Nurrohman, Judi dan Penanganannya, Makalah disampaikan dalam meeting
antara Dispenda Kota Bandung dengan Pakar Fiqh, tanggal 11-7-2002, di
Hotel Horison Bandung.
Rachmat Syafe’i, Penanganan Judi di Kota Bandung Ditinjau dari Aspek
al-Siyasah al-Syar’iyah, Makalah disampaikan dalam meeting antara
Dispenda Kota Bandung dengan Pakar Fiqh, tanggal 11-7-2002, di Hotel
Horison, Bandung.
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepastian Hukum, Rajawali Pers,
Jakarta,1982.
_______, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Jakarta,1992.
________, Hukum, Masyarakat dan Pembangunan, Alumni, Bandung,1980.
The Jakarta Post 15 April 2002
The Jakarta Post 22 Juli 2002

13

Anda mungkin juga menyukai