Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ensefalitis adalah infeksi jaringan otak yang dapat disebabkan oleh berbagai
macam mikroorganisme (virus, bakteri, jamur dan protozoa). Sebagian besar kasus
tidak dapat ditentukan penyebabnya. Angka kematian masih tinggi, berkisar 35%-50%
dengan gejala sisa pada pasien yang hidup cukup tinggi (20-40%). Penyebab tersering
dan terpenting adalah virus. Berbagai macam virus dapat menimbulkan ensefalitis
dengan gejala yang kurang lebih sama dan khas.
Ensefalitis mencakup berbagai variasi dari yang ringan sampai yang parah
sekali dengan koma dan kematian. Proses radangnya jarang terbatas pada jaringan
otak saja, tetapi hampir selalu mengenai selaput otak juga. Maka dari itu lebih tepat
untuk menyebutnya meningo-ensefalitis. Manifestasi utama meningo-ensefalitis virus
terdiri dari konvulsi, gangguan kesadaran (acute organic brain syndrome),
hemiparesis, paralisis bulbaris (meningo-encephalomyelitis), gejala-gejala serebelar
dan nyeri serta kaku kuduk.
Pada umumnya yang terjangkit adalah penderita yang berusia diatas 40 tahun
(2/3 kasus). Ensefalitis terjadi dalam 2 bentuk, yaitu bentuk primer dan bentuk
sekunder. Ensefalitis primer melibatkan infeksi virus langsung dari otak dan sumsum
tulang belakang. Sedangkan ensefalitis sekunder, infeksi virus pertama terjadi
ditempat lain di tubuh dan kemudian ke otak. Infeksi primer biasanya karena
stomatitis (HVS tipe I) atau erupsi genitalia (VHS tipe II). Virusnya menjalar ke
ganglion sensorik dan berdiam dalam keadaan laten kemudian sewaktu-waktu dapat
menjadi aktif kembali. VHS tipe I biasanya pada orang dewasa dan tipe II pada
neonatus.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ENSEFALITIS
2.1.1 Definisi
Ensefalitis merupakan suatu inflamasi parenkim otak yang biasanya disebabkan
oleh virus yang dapat mengenai selaput pembungkus otak dan medula spinalis.
Jaringan otak yang terinflamasi tersebut akan menyebabkan masalah pada fungsi otak.
2.1.2 Etiologi
Berbagai macam mikroorganisme dapat menimbulkan ensefalitis, misalnya
bakteria, protozoa, cacing, jamur dan virus. Penyebab yang tersering ialah virus
kemudian herpes simpleks, arbovirus dan jarang disebabkan oleh enterovirus, mumps
dan adenovirus. Infeksi dapat terjadi karena virus langsung menyerang otak atau
reaksi radang akut karena infeksi sistemik atau vaksinasi terdahulu, seperti campak,
influenza, varicella dan pasca infeksi pertusis.
Berbagai jenis virus dapat menimbulkan ensefalitis, meskipun gejala klinisnya
sama. Sesuai dengan jenis virus, serta epidemiologinya, diketahui berbagai macam
ensefalitis virus.
Klasifikasi ensefalitis didasarkan pada faktor penyebabnya. Ensefalitis
supuratif akut dengan bakteri penyebab ensefalitis adalah Staphylococus aureus,
Streptococcus, E-Coli, Mycobacterium dan T. Pallidium. Sedangkan ensefalitis virus
penyebabnya adalah virus RNA (Virus Parotitis), virus morbili, virus rabies, virus
rubella, virus dengue, virus polio, cockscakie A dan B, herpes zoster, herpes simpleks
dan varicella.

2.1.3 Patofisiologi
Virus / Bakteri

Mengenai CNS

Ensefalitis

Kejaringan susunan saraf pusat


TIK meningkat

Nyeri kepala

Kerusakan susunan saraf pusat

- gangguan penglihatan

kejang spastic

- gangguan bicara
mual, muntah

- gangguan pendengaran

resiko cedera

- kelemahan gerak
BB turun
- gangguan sensorik motorik
Nutrisi kurang
Gambar 1. Patofisiologi Ensefalitis

Virus dapat masuk tubuh pasien melalui kulit, saluran nafas dan saluran cerna.
Setelah masuk ke dalam tubuh, virus akan menyebar ke seluruh tubuh dengan
beberapa cara :

Setempat : virus hanya terbatas menginfeksi selaput lendir permukaan atau


organ tertentu.

Penyebaran hematogen primer : virus masuk ke dalam darah kemudian


menyebar ke organ dan berkembang biak di organ tersebut.

Penyebaran hematogen sekunder : virus berkembang biak di daerah


pertamakali masuk (permukaan selaput lendir) kemudian menyebar ke
organ lain.

Penyebaran melalui saraf : virus berkembang biak di permukaan selaput


lendir dan menyebar melalui sistem saraf.

Pada keadaan permulaan timbul demam, tetapi belum ada kelainan neurologis.
Virus akan terus berkembang biak, kemudian menyerang susunan saraf pusat dan
akhirnya diikuti kelainan neurologis.
Kelainan neurologis pada ensefalitis disebabkan oleh :
-

Invasi dan perusakan langsung pada jaringan otak oleh virus yang sedang
berkembang biak.

Reaksi jaringan saraf pasien terhadap antigen virus yang akan berakibat
demielinisasi, kerusakan vaskular, dan paravaskular. Sedangkan virusnya
sendiri sudah tidak ada dalam jaringan otak.

Reaksi aktivasi virus neurotropik yang bersifat laten.

Seberapa berat kerusakan yang terjadi pada SSP tergantung dari virulensi virus,
kekuatan teraupetik dari system imun dan agen-agen tubuh yang dapat menghambat
multiplikasi virus.
Banyak virus yang penyebarannya melalui manusia. Nyamuk atau kutu
menginokulasi virus Arbo, sedang virus rabies ditularkan melalui gigitan binatang.
Pada beberapa virus seperti varisella-zoster dan citomegalo virus, pejamu dengan
sistem imun yang lemah, merupakan faktor resiko utama.

Pada umumnya, virus bereplikasi diluar SSP dan menyebar baik melalui
peredaran darah atau melalui sistem neural (virus herpes simpleks, virus varisella
zoster). Patofisiologi infeksi virus lambat seperti subakut skelosing panensefalitis
(SSPE) sampai sekarang ini masih belum jelas.
Setelah melewati sawar darah otak, virus memasuki sel-sel neural yang
mengakibatkan fungsi-fungsi sel menjadi rusak, kongesti perivaskular dan respons
inflamasi yang secara difus menyebabkan ketidakseimbangan substansia abu-abu
(nigra) dengan substansia putih (alba).
Adanya patologi fokal disebabkan karena terdapat reseptor-reseptor membran
sel saraf yang hanya ditemukan pada bagian-bagian khusus otak. Sebagai contoh,
virus herpes simpleks mempunyai predileksi pada lobus temporal medial dan inferior.
Patogenesis dari ensefalitis herpes simpleks sampai sekarang masih belum jelas
dimengerti. Infeksi otak diperkirakan terjadi karena adanya transmisi neural secara
langsung dari perifer ke otak melaui saraf trigeminus atau olfaktorius.
Virus herpes simpleks tipe I ditransfer melalui jalan nafas dan ludah.Infeksi
primer biasanya terjadi pada anak-anak dan remaja.Biasanya subklinis atau berupa
somatitis, faringitis atau penyakit saluran nafas.Kelainan neurologis merupakan
komplikasi dari reaktivasi virus.Pada infeksi primer, virus menjadi laten dalam
ganglia trigeminal.Beberapa tahun kemudian,rangsangan non spesifik menyebabkan
reaktivasi yang biasanya bermanifestasi sebagai herpes labialis.
Plasmodium falsiparun menyebabkan eritrosit yang terifeksi menjadi
lengket.Sel-sel darah yang lengket satu sama lainnya dapast menyumbat kapilerkapiler dalam otak. Akibatnya timbul daerah-daerah mikro infark. Gejala-gejala
neurologist timbul karena kerusakan jaringan otak yang terjadi. Pada malaria serebral
ini, dapat timbul konvulsi dan koma.
Pada toxoplasmosis kongenital, radang terjadi pada pia-arakhnoid dan tersebar
dalam jaringan otak terutama dalam jaringan korteks.

Sangatlah sukar untuk menentukan etiologi dari ensefalitis, bahkan pada


postmortem.Kecuali pada kasus-kasus non viral seperti malaria falsifarum dan
ensefalitis fungal, dimana dapat ditemukan indentifikasi morfologik.
Pada kasus viral, gambaran khas dapat dijumpai pada rabies (badan negri) atau
virus herpes (badan inklusi intranuklear).
2.1.4 Manifestasi Klinis
Secara umum gejala berupa trias ensefalitis, yaitu :
Demam
Kejang
Kesadaran menurun
Bila berkembang menjadi abses serebri akan timbul gejala-gejala infeksi
umum, tanda-tanda meningkatnya tekanan intrakranial, yaitu nyeri kepala yang kronik
dan progresif, muntah, penglihatan kabur, kejang, kesadaran menurun, pada
pemeriksaan mungkin terdapat edema papil. Tanda-tanda defisit neurologis tergantung
pada lokasi dan luas abses.
Manifestasi klinis tergantung kepada :
1. Berat dan lokasi anatomi susunan saraf yang terlibat, misalnya :
-

Virus Herpes simpleks yang kerapkali menyerang korteks serebri,


terutama lobus temporalis

Virus ARBO cenderung menyerang seluruh otak.

2. Patogenesis agen yang menyerang.


3. Kekebalan dan mekanisme reaktif lain penderita.
Umumnya diawali dengan suhu yang mendadak naik, seringkali ditemukan
hiperpireksia. Kesadaran dengan cepat menurun, sebelum kesadaran menurun, sering
mengeluh nyeri kepala. Muntah sering ditemukan. Pada bayi, terdapat jeritan dan
perasaan tak enak pada perut. Kejang-kejang dapat bersifat umum atau fokal atau

hanya twitching saja. Kejang dapat berlangsung berjam-jam. Gejala serebrum yang
beraneka ragam dapat timbul sendiri-sendiri atau bersama-sama, misalnya paresis atau
paralisis, afasia dan sebagainya.
Gejala batang otak meliputi perubahan refleks pupil, defisit saraf kranial dan
perubahan pola pernafasan.Tanda rangsang meningeal dapat terjadi bila peradangan
mencapai meningen.
Pada kelompok pasca infeksi, gejala penyakit primer sendiri dapat membantu
diagnosis. Pada japanese B ensefalitis, semua bagian susunan saraf pusat dapat
meradang, gejalanya yaitu nyeri kepala, kacau mental, tremor lidah bibir dan tangan,
rigiditas pada lengan atau pada seluruh badan, kelumpuhan dan nistagmus.
Rabies memberi gejala pertama yaitu depresi dan gangguan tidur, suhu
meningkat, spastis, koma pada stadium paralisis.
Ensefalitis herpes simpleks dapat bermanifestasi sebagai bentuk akut atau
subakut. Pada fase awal, pasien mengalami malaise dan demam yang berlangsung 1-7
hari. Manifestasi ensefalitis dimulai dengan sakit kepala, muntah, perubahan
kepribadian dan gangguan daya ingat. Kemudian pasien mengalami kejang dan
penurunan kesadaran. Kejang dapat berupa fokal atau umum. Kesadaran menurun
sampai koma dan letargi. Koma adalah faktor prognosis yang sangat buruk, pasien
yang mengalami koma sering kali meninggal atau sembuh dengan gejala sisa yang
berat. Pemeriksaan neurologis sering kali menunjukan hemiparesis. Beberapa kasus
dapat menunjukan afasia, ataksia, paresis saraf cranial, kaku kuduk dan papil edema.
2.1.5 Diagnosis
Anamnesis :
Demam tinggi mendadak, sering ditemukan hiperpireksia
Penurunan kesadaran dengan cepat. Anak agak besar sering mengeluh nyeri
kepala, ensefalopati, kejang dan kesadaran menurun
Kejang bersifat umum atau fokal, dapat berupa status konvulsius. Dapat
ditemukan sejak awal ataupun kemudian dalam perjalanan penyakitnya.

Pemeriksaan fisis :
Seringkali ditemukan hiperpireksia, kesadaran menurun sampai koma dan
kejang. Kejang dapat berupa status konvulsius
Ditemukan gejala peningkatan intracranial
Gejala serebral lain dapat beraneka ragam, seperti kelumpuhan tipe upper
motor neuron ( spastic, hiperrefleks, reflex patologis dan klonus).
Pemeriksaan Penunjang :
1. Pencitraan/ Radiologi
Pencitraan diperlukan untuk menyingkirkan patologi lain sebelum melakukan
LP (lumbal punksi) atau ditemukan tanda neurologis fokal. Pencitraan mungkin
berguna untuk memeriksa adanya abses, efusi subdural, atau hidrosefalus.
Pada CT-scan dapat ditemukan edema otak dan hemoragik setelah satu minggu.
Pada virus Herpes didapatkan lesi berdensitas rendah pada lobus temporal, namun
gambaran tidak tampak tiga hingga empat hari setelah onset.CT-scan tidak membantu
dalam membedakan berbagai ensefalitis virus.
MRI (magnetic resonance imaging) kepala dengan peningkatan gadolinium
merupakan pencitraan yang baik pada kecurigaan ensefalitis. Temuan khas yaitu
peningkatan sinyal T2-weighted pada substansia grisea dan alba. Pada daerah yang
terinfeksi dan meninges biasanya meningkat dengan gadolinium.Pada infeksi herpes
virus memperlihatkan lesi lobus temporal dimana terjadi hemoragik pada unilateral
dan bilateral.
Gambaran EEG memperlihatkan proses inflamasi yang difus (aktivitas lambat
bilateral). Pada Japanese B encephalitis dihubungkan dengan tiga tanda EEG:
1. Gelombang delta aktif yang terus-menerus
2. Gelombang delta yang disertai spike (gelombang paku)
3. Pola koma alpha.
Pada St Louis ensefalitis karakteristik EEG ditandai adanya gelombang delta
yang difus dan gelombang paku tidak menyolok pada fase akut.Dengan asumsi bahwa
biopsi otak tidak meningkatkan morbiditas dan mortalitas, apabila didapat lesi fokal

pada pemeriksaan EEG atau CT-scan, pada daerah tersebut dapat dilakukan biopsi
tetapi apabila pada CT-scan dan EEG tidak didapatkan lesi fokal, biopsi tetap
dilakukan dengan melihat tanda klinis fokal. Apabila tanda klinis fokal tidak
didapatkan maka biopsi dapat dilakukan pada daerah lobus temporalis yang biasanya
menjadi predileksi virus Herpes simpleks.
1. Laboratorium
Biakan

dari darah ,viremia berlangsung hanya sebentar saja sehingga

sukar mendapatkan hasil yang positif dari cairan likour srebrospinalis atau jaringan
otak ; dari feces untuk jenis enterovirus,sering didapatkan hasil positif.
Analisis CSS (cairan serebrospinal) menunjukkan pleositosis (yang didominasi
oleh sel mononuklear) sekitar 5-1000 sel/mm 3 pada 95% pasien. Pada 48 jam pertama
infeksi, pleositosis cenderung didominasi oleh sel polimorfonuklear, kemudian
berubah menjadi limfosit pada hari berikutnya. Kadar glukosa CSS biasanya dalam
batas normal dan jumlah ptotein meningkat. PCR (polymerase chain reaction) dapat
digunakan untuk menegakkan diagnosis ensefalitis.
Pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) pada cairan serebrospinal
biasanya positif lebih awal dibandingkan titer antibody. Pemeriksaan PCR mempunyai
sensitivitas 75% dan spesifisitas 100% dan ada yang melaporkan hasil postif pada
98% kasus yang telah terbukti dengan biposi otak.Tes PCR untuk mendeteksi West
Nile virus telah dikembangkan di California.PCR digunakan untuk mendeteksi virusvirus DNA.Herpes virus dan Japenese B encephalitis dapat terdeteksi dengan PCR.
2.1.6 Tatalaksana
Terapi Suportif
Tujuannya untuk mempertahankan fungsi organ, dengan mengusahakan jalan
nafas tetap terbuka (pembersihan jalan nafas, pemberian oksigen, pemasangan
respirator bila henti nafas, intubasi, trakeostomi) , pemberian makanan enteral atau

parenteral, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, koreksi gangguan asam basa
darah.
Untuk pasien dengan gangguan menelan, akumulasi lendir pada tenggorok,
dilakukan drainase postural dan aspirasi mekanis yang periodic.
Medikamentosa
Tatalaksana tidak ada yang spesifik. Terapi berupa tata laksana hiperpireksia,
keseimbangan cairan dan elektrolit, peningkatan tekanan intracranial, serta tatalaksana
kejang. Pasien sebaiknya di rawat di ruang rawat intensif.
Pemberian pengobatan dapat berupa antipiretik, cairan intravena, obat anti
epilepsy, kadang diberikan kortikosteroid. Untuk mencegah kejang berulang dapat
diberikan fenitoin atau fenobarbital sesuai standard terapi. Peningkatan tekanan
intracranial dapat diatasi dengan pemberian diuretic osmotic manitol 0,5-1
gram/kg/kali atau furosemid 1mg/kg/kali.
Pada anak dengan neuritis optika, mielitis, vaskulitis inflamasi, dan acute
disseminated encephalomyelitis (ADEM) dapat diberikan kortikosteroid selama 2
minggu. Diberikan dosis tinggi metal-prednisolon 15 mg/kg/hari dibagi setiap 6 jam
selama 3-5 hari dan dilanjutkan prednisone oral 1-2 mg/kg/ hari selama 7-10 hari.
Jika keadaan umum pasien sudah stabil, dapat dilakukan konsultasi dengan
department rehabilitasi medic untuk mobilisasi bertahap, mengurangi spastisitas serta
mencegah kontraktur.
Pada pasien herpes ensefalitis (EHS) dapat diberikan Adenosine Arabinose 15
mg/kgBB/hari IV diberikan selama 10 hari. Pada beberapa penelitian dikatakan
pemberian Adenosine Arabinose untuk herpes ensefalitis dapat menurunkan angka
kematian dari 70% menjadi 28%. Saat ini Acyclovir IV telah terbukti lebih baik
dibandingkan vidarabin, dan merupakan obat pilihan pertama. Dosis Acyclovir 30
mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis selama 10 hari.

Pemantauan pasca rawat


Gejala sisa yang sering ditemukan adalah gangguan pengelihatan, palsi
serebral, epilepsy, retardasi mental maupun gangguan perilaku. Pasca rawat pasien
memerlukan pemantauan tumbuh kembang, jika terdapat gejala sisa dilakukan
konsultasi ke departemen terkait sesuai indikasi.
2.1.6 Komplikasi
Ensefalitis virus berat bisa menyebabkan gagal nafas, koma dan kematian. Ini
juga membuat mental impairment termasuk kehilangan memori, ketidakmampuan
bicara, kurang koordinasi otot, paralisis, atau defek dengan penglihatan dan
pendengaran.
2.1.7 Prognosis
Prognosis tergantung dari keparahan penyakit klinis, etiologi spesifik, dan
umur anak. Jika penyakit klinis berat dengan bukti adanya keterlibatan parenkim maka
prognosisnya jelek dengan kemungkinan defisit yang bersifat intelektual, motorik,
psikiatri, epileptik, penglihatan atau pendengaran. Sekuele berat juga harus dipikirkan
pada infeksi yang disebabkan oleh virus Herpes simpleks.
Angka kematian untuk ensefalitis berkisar antara 35-50%. Pasien yang
pengobatannya terlambat atau tidak diberikan antivirus (pada ensefalitis Herpes
Simpleks) angka kematiannya tinggi bisa mencapai 70-80%. Pengobatan dini dengan
asiklovir akan menurukan mortalitas menjadi 28%.
Sekitar 25% pasien ensefalitis meninggal pada stadium akut. Penderita yang
hidup 20-40%nya akan mempunyai komplikasi atau gejala sisa. Gejala sisa lebih
sering ditemukan dan lebih berat pada ensefalitis yang tidak diobati. Keterlambatan
pengobatan yang lebih dari 4 hari memberikan prognosis buruk, demikian juga koma.
Pasien yang mengalami koma seringkali meninggal atau sembuh dengan gejala sisa
yang berat.

Banyak kasus ensefalitis adalah infeksi dan recovery biasanya cepat ensefalitis
ringan biasanya pergi tanpa residu masalah neurologi. Dan semuanya 10% dari
kematian ensefalitis dari infeksinya atau komplikasi dari infeksi sekunder .
Beberapa bentuk ensefalitis mempunyai bagian berat termasuk herpes
ensefalitis dimana mortality 15-20% dengan treatment dan 70-80% tanpa treatment.
2.1.7 Pencegahan

Early treatment (pengobatan awal) pada demam tinggi atau infeksi

Hindari menghabiskan waktu di luar rumah pada waktu senja ketika serangga
aktif menggigit.

Pengendalian nyamuk atau surveilans melalui penyemprotan

Indikasi seksio sesar jika ibu memiliki lesi aktif herpes untuk melindungi bayi
baru lahir

Imunisasi/vaksin anak terhadap virus yang dapat menyebabkan ensefalitis


(mumps, measles/campak.
Japanese Encephalitis dapat dicegah dengan 3 dosis vaksin ketika akan
berpergian ke daerah dimana virus penyebab penyakit ini berada. Menurut
CDC (Centers for Disease Control and Prevention), vaksin ini dianjurkan pada
orang yang akan menghabiskan waktu satu bulan atau lebih di daerah penyebab
penyakit ini dan selama musim transmisi. Virus Japanese Encephalitis dapat
menginfeksi janin dan menyebabkan kematian.

BAB III
KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai