Anda di halaman 1dari 28

Dari Redaksi

Assalaamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Alhamdulillah, hingga saat ini kita masih merasakan
rahmat dan nikmat-Nya, sebab tanpa rahmat dan
nikmat-Nya bisa jadi langkah-langkah kita tidak berjalan dengan lancar tanpa berkah. Sholawat dan
salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda nabi Muhammad saw yang kita nantikan
syafaatnya di yaumil akhir kelak. Di tengah hiruk
pikuk keorganisasian Masisir, akhirnya edisi perdana
kru baru kali ini bisa terbit dengan berbagai kendala
yang melanda. Aktifnya kru di organisasi lain berbenturan dengan deadline, namun usaha para kru
untuk meluangkan waktu demi menggoreskan pena
tetap menjadi kewajiban yang harus dijalankan walau harus mengurung nafsu istirahat semata.
Pasalnya kegiatan menjadi sorotan utama dalam
sebuah organisasi. Beragam kegiatan dalam
keorganisasian Masisir membuatnya demam
berkegiatan. Dengan wacana tersebut, PRESTSI
Edisi 105 kami beri tajuk Masisir Backpacker yang
menganalogikan sifat seorang backpacker yang
tanpa persiapan, menyerahkan diri pada nasib
secara berlebih dan seringkali orientasi tak tentu
arah pada diri sebagian Masisir yangbisa jadi
tersesat di tengah hiruk pikuk laju organisasi. Kami
menyajikan wacana-wacana kegiatan keorganisaian
di Masisir supaya Masisir dapat memilah dan memilih apa yang menjadi tujuan dan potensi Masisir itu
sendiri. Lalu bagaimana Masisir menyikapi kegiatan
yang beragam?
Terima kasih kami ucapkan kepada semua pihak
terkait yang membantu terbitnya edisi pertama kru
buletin PRESTSI yang baru ini.
Dan terakhir, selamat membaca!

Redaksi menerima tulisan dan artikel yang


sesuai dengan visi misi Buletin.
Kritik dan saran, kirim ke FB: Prestasi Ksw

Pelindung: Ketua KSWDewan Redaksi: Nashifudin Luthfi, Muhammad Fardan Satrio


Wibowo, Lc., Nanang Fahlevi, Fadhilah Rizqi, Iis Istianah, Wais Al-Qorny Pimpinan Umum: Laila Nur
Hidayati Pimpinan Redaksi: Muhammad Samsul Arifin Pimpinan Usaha: Muhammad Furqon Khoirudin
Sekretaris Redaksi: Izzatun Nafisyah Redaktur Pelaksana: Aminatuz Zuhriyah, Nimatul Majmuah,
Ayatullah El-Haqqi Reporter: Muna Niamy Dzurrohmah, Itta Raisah Fitriyani, Yusuf Fajri Distributor:
Ahmad Zuhdan Maimun, Muhammad Rifqi Syarifuddin Layouter: Ahmad Rikza Aufarul Umam Karikaturis:
Darmono Editor: Choiriya Safina, Zulfah Nur Alimah, Muhammad Faqih Dlofir

Banyak bermunculannya organisasi berikut


seluruh kegiatannya dimaksudkan memberi
kebebasan mahasiswa untuk memilih, namun
di sisi lain membuat mahasiswa menjadi
kehilangan orientasi. Membebek sana-sini, aktif
dalam kegiatan ini-itu, sampai-sampai seorang
mahasiswa lupa untuk mengukur porsi
kemampuan dan waktu yang dimiliki.

Mahmudi atau yang akrab disapa Gobe


mencanangkan
sebuah
program
yang
menurutnya sudah lama hilang nyawanya dari
tubuh Masisir; kembali berorganisasi. Tentu
saja, selain menggiring Masisir supaya menjadi
mahasiswa yang mendekati ideal (karena
tentunya yang benar-benar ideal itu tidak ada),
Gobe sendiri lebih menekankan pada poin
organisasi dibanding kedua poin lainnya. Hal ini
setidaknya
menunjukkan
bahwa
PPMI
menitikberatkan pada kembalinya Masisir
kepada organisasi.

Doktrin menjadi mahasiswa ideal yang


termasuk salah satu kualifikasi di dalamnya
yaitu aktif dalam kegiatan organisasi, sukses
menjadi iming-iming bagi sebagian orang untuk
rakus beraktifitas, melahap
Banyaknya organisasi yang ada
hampir semua kegiatan yang
berbanding
lurus
dengan
ada. Dan sudah menjadi hal
banyaknya
kegiatan
yang
yang jamak diketahui bahwa
diadakan. Organisasi-organisasi
tentunya setiap kegiatan
baik
itu
kekeluargaan,
menuntut
siapapun
almamater, afiliatif, maupun
anggotanya untuk maksimal.
organisasi
yang
bersifat
Maka kemudian muncul lah
independen saling berlomba
para
mahasiswa
yang
membuat kegiatan. Bahkan, jika
linglung;
kebingungan
satu organisasi mengadakan
memaksimalkan diri dalam
suatu kajian keilmuan, maka
kegiatan-kegiatan
yang
organisasi lain juga akan saling
diikuti,
kesulitan
berlomba membuat kegiatan
menyeimbangkan
antara
serupa.
kegiatan satu dengan kegiatan lainnya, maupun Maka ada baiknya jika kita kembali pada tujuan
menyeimbangkan antara kegiatan organisasi dibentuknya organisasi beserta seluruh
dengan aktifitas kuliah.
kegiatan yang menyertainya, supaya bebas
Jika kita menilik latar belakang organisasi yang memilah dan memilih mana yang tepat sesuai
muncul sepaket dengan seabrek kegiatannya, dengan potensi kita untuk kemudian kita
tentu saja hal ini diharapkan dapat menunjang kembangkan semaksimal mungkin. Tapi yang
potensi yang dimiliki setiap orang, supaya bisa kita jumpai justru sebuah realita yang
memaksimalkan potensi yang dimiliki. Hanya berbenturan dengan ekspektasi. Yang terjadi
saja, jika kegiatan-kegiatan ini bertemu dengan bukannya seorang mahasiswa yang fokus dan
penanaman mindset menjadi mahasiswa ideal benar-benar maksimal pada apa yang menjadi
maka yang akan lahir adalah anak-anak yang bidangnya, tapi seorang mahasiswa yang ingin
ingin menjadi serba bisa. Tak ayal, mereka akan menjadi serba bisa dan mengalami sebuah
muncul di hampir semua kegiatan, semua kecanduan organisasi yang cukup akut.
organisasi.
Dengan munculnya organisasi berikut kegiatanKeberadaan dan peran PPMI sebagai induk dari
semua organisasi yang ada di Masisir sangat
urgen di sini. Dengan jargonnya Back to Azhar,
back to campus dan back to organization,
PPMI di bawah kepemimpinan Abdul Ghofur

kegiatannya yang sebegitu banyak dengan


kapasitas waktu 24 jam perhari, masih
efektifkah keberadaan organisasi-organisasi
tersebut? Lalu bagaimana seharusnya peran
PPMI sebagai organisasi induk Masisir?*+

Editorial

Hilang Arah
Oleh Muna Niamy

Teras

Back To Azhar, Campus and Organization


Oleh Laila Nur Hidayati
Berorganisasi berarti berkelompok, kelompok
yang memiliki ideologi tertentu juga memiliki
karakter dan tujuan tertentu. Tak jarang, setiap
kelompok memiliki jargon ataupun slogan untuk
mengidentikkan visi misi suatu organisasi.
Seperti halnya dinamika Masisir takkan luput
dari keorganisasian yang dibentuk dalam ruang
ke PPMI-an. PPMI sebagai induk organisasi di
dunia Masisir membawa berbagai kegiatan yang
beragam. Dari kegiatan beragam inilah
mahasiswa terbentuk menjadi sosok jati diri
yang berkecimpung di dunia akademik ataupun
organisasi.
PPMI masa bakti 2015/2016 dalam visi misi-nya
mengagungkan tiga poin besar yang lebih
dikenal sebagai slogan PPMI: Back to Azhar,
campus dan organization. Apakah berarti
bahwa visi dan misi PPMI 2015/2016
mengharapkan setiap mahasiswa/i al-Azhar
Indonesia harus memiliki tiga bidang tersebut
supaya tercipta idealisme seorang mahasiswa
ataukah setiap mahasiswa diberi kebebasan
untuk memilih apa yang diprioritaskan mereka
dalam tiga bidang tersebut?
Kita lahir dari rahim yang berbeda, memiliki
pemikiran dan pendapat yang berbeda-beda,
seperti pepatah arab kullu rasin rayun.
Bahkan setiap orang pun memiliki tujuan yang
tidak sama satu sama lain. Ada dari kalangan
Masisir yang menghabiskan waktunya dengan
berorganisasi, namun tidak pula mengurangi
jam kuliahnya atau sebaliknya. Ada pula yang
rajin talaqi, namun mengurangi jam kuliahnya
dan sebaliknya. Ada pula yang hanya fokus
dalam dunia perkuliahan saja. Mereka merasa
bahwa kenyamanannya terdapat di sana. Kalau
ditelisik,
apakah
ada
Masisir
yang
mengoptimalkan waktunya untuk tiga bidang
tersebut?

Masjid Zahro, Hay Sadis PPMI mengadakan


kegiatan yang tidak lain merupakan aplikasi
program back to azhar, dengan dihadiri syaikh
Abdul Baits Al-Kattani dan syaikh Ala Musthofa
Naimah dari Alexandria. Begitu pula PPMI
mengundang syaikhuna Hisyam Kamil pada
majlis talim tersebut. Sebagaimana PPMI juga
melakukan silaturahmi kepada masyayikh azhar
guna menyambung tali silaturahmi dan dalam
rangka
mengundang
masyayikh
untuk
mengadakan majlis talim bersama Masisir.
Selain program back to Azhar, PPMI juga
memaparkan misi keduanya yaitu back to
campus, presiden PPMI yang ramah disapa
dengan sebutan bang Gobe memaparkan via
telepon bahwa langkah yang sedang diambil
PPMI untuk memajukan kehidupan kampus
yaitu dengan cara menelisik dan memantau
kinerja senat, selain itu bang Gobe dan
jajarannya juga mengajak mereka bekerja sama
dalam mem-posting jadwal pelajaran supaya
kegiatan kampus tidak bertabrakan dengan
kegiatan keorganisasian. Selain senat, PPMI juga
telah menjalin kerja sama dengan kekeluargaan,
almamater dan afiliatif lainnya untuk tidak
mengadakan kegiatan saat jam kuliah
berlangsung.

Namun seperti yang kita ketahui, begitu banyak


organisasi
di
bawah
pimpinan
PPMI
membuahkan kegiatan yang sangat padat. Tak
dapat dipungkiri bahwa pantauan PPMI kepada
kinerja senat dalam memosting jadwal kuliah
memiliki keganjalan saat kita menemukan
lembaga di bawah PPMI mengadakan acara saat
jam kuliah, baik itu lembaga yang independent
maupun yang dependent. Salah satu contohnya
ketika Senat Ushuluddin mengadakan seminar
Dauru Thalabah fi Taqdimil Ummah dengan
salah satu doktor Azhar yang dilaksanakan pada
tanggal 31 0ktober 2015. Acara tersebut
Kita lihat semangat PPMI sangat membara diadakan pada saat jam perkuliahan
untuk mewujudkan visi misi tersebut demi berlangsung, yaitu pukul 10.00 bertempat di
Masisir. PPMI sudah mulai melangkah sedikit Qoah Abdul Halim, Fakultas Ushuluddin putra.
demi sedikit. Pasalnya 1 Muharram 1437 H., di
Kembali kepada kegiatan Masisir, kalau dirujuk

Baik. Situasi yang


kita lihat saat ini
adalah
krisis
regenerasi
dalam
suatu
organisasi.
Ketika ditanya satu
sama lain banyak
yang
menjawab
selaras. Melihat hal
ini, kami merasa
butuh adanya riset
dan
evaluasi
kegiatan
keorganisasian di Masisir. Ada 163 kuesioner
yang kami bagikan kepada pelajar Darul Lughah
angkatan Imtiyaz dan angkatan Iltizam. Dari 163
kuesioner tersebut terdapat empat pertanyaan.
Pertanyaan pertama adalah inti, pertanyaan
kedua dan ketiga adalah proses dan pertanyaan
ke empat adalah kesimpulan. Penghitungan
riset dilakukan pada setiap pertanyaan.
Riset pada pertanyaan pertama mengenai
intensitas kegiatan keorganisasian di lingkungan
Masisir menuai hasil prosentase 3,7% kurang
padat, 30,1% biasa saja dan 66,2% padat. Pada
pertanyaan kedua tentang pengaruh kegiatan
terhadap kegiatan prioritas pribadi Masisir
menunjukkan
prosentase
25,8%
tidak
mengganggu, 51,5% biasa saja, dan 22,7%
mengganggu. Lalu pertanyaan ketiga seberapa
efektif kegiatan tersebut, menunjukkan efektif
dengan prosentase 30,5%, biasa saja 45%, dan
tidak efektif 24,5%. Selanjutnya pada
pertanyaan yang bersifat kesimpulan yaitu
mengenai
perlu
atau
tidak
kegiatan
keorganisasian di lingkungan Masisir dikurangi,
di sini menunjukkan bahwa yang mengatakan
tidak perlu sebanyak 34,4%, biasa saja 29,4%,
dan yang mengatakan perlu 36,2%.

bahwa kegiatan Masisir padat, dan pengaruh


kegiatan keorganisasian terhadap kegiatan
prioritas pribadi biasa saja, lalu keefektifan
kegiatan tersebut juga biasa saja, namun pada
kesimpulan
prosentase
paling
banyak
mengatakan bahwa kegiatan keorganisasian
perlu dikurangi.
Mendengar kata biasa saja seperti melihat
Masisir yang berlalu
lalang
tanpa
semangat
yang
bergairah, tanpa ada
sesuatu
yang
ditunggu-tunggu
saat kegiatan. Beda
ketika mendengar
kata efektif. Ketika
mendengar
kata
efektif kita seperti
melihat
Masisir
enjoy
dengan
kegiatannya, senang, dan memilki gairah dan
semangat yang tinggi pada kegiatan yang
dilakukannya, baik itu bersifat pribadi maupun
umum. Lalu apakah yang diharapkan organisasi
induk atas Masisir adalah suatu yang biasa saja?
Hal ini menunjukkan bahwa Masisir cenderung
memilih titik aman pada kuesioner proses. Kata
biasa saja dengan realita kesimpulan yang
mengatakan kegiatan keorganisasian perlu
dikurangi menjadi rancu. Karena logisnya
kegiatan yang perlu dikurangi yaitu ketika
kegiatan tersebut bersifat menganggu kegiatan
prioritas pribadi dan kegiatan yang tidak efektif.
Jadi tiga poin yang dicancang PPMI
menggambarkan Masisir masih dalam proses
menuju mahasiswa ideal dan condong
mengarah pada kegiatan keMasisiran atau
organisasi. Beragam kegiatan yang ada di
Masisir mengalahkan kuantitas kegiatan
kampus dan berguru ke masyayikh azhar atau
talaqqi. Merupakan hal yang sangat bijak jika
PPMI menyaring kegiatan keorganisasian
Masisir menjadi kegiatan yang lebih ramping
dan memiliki nilai kualitas yang bisa
meningkatkan sumber daya Masisir di dunia
akademik maupun non akademik.*+

Jadi bisa dilihat dari prosentase mayoritas

Teras

pada tujuan awal Masisir datang ke Mesir


berarti kegiatan Masisir adalah belajar. Dan
belajar tidak harus didapatkan pada saat duduk
di bangku kuliah saja, namun dalam berkawan,
berinteraksi dengan suatu komunitas tertentu
atau berorganisasi juga memberi pelajaran yang
bersifat akademik maupun non akademik. Maka
dari itu disinilah organisasi berperan.

Analisa Nusantara

Masisir Bercermin
Oleh Itta Raisah F.
Siapa yang tidak mengenal Jusuf Kalla? Wakil
Presiden kita saat ini. Atau Anies Baswedan?
Tokoh pendidikan dan figur intelektual Indonesia. Dua tokoh yang berjaya dengan lini masing
-masing ini merupakan segelintir orang yang
pernah menjadi aktivis kampus.
Jusuf Kalla, pernah menjabat sebagai ketua
Dewan Mahasiswa (DEMA) periode 1965-1966
ketika kuliah di Universitas Hasanudin
(UNHAS). Juga pernah menjadi ketua HMI
cabang Makassar tahun 1965-1966. Adapun
Anies Baswedan, pada tahun 1989-1995 dia
aktif di gerakan mahasiswa dan menjabat sebagai ketua Senat Mahasiswa (SEMA) Universitas Gajah Mada (UGM).
Melirik sejarah para tokoh yang tumbuh oleh
kegiatan-kegiatan organisasi, sangat gencar
dalam kalangan mahasiswa istilah kuliah tanpa
organisasi bagai sayur tanpa garam. Lalu yang
menjadi pertanyaan saat ini adalah apakah
organisasi sekarang masih bisa disebut sebagai
tempat tumbuh? Apakah ada kesadaran simbiosis mutualisme antara subjek (organisator)
dan objek (mahasiswa umum) dalam pelaksanaan kegiatan? Apakah benar-benar tepat
sasaran dan sesuai yang diharapkan pelaksana? Apa manfaatnya benar-benar dirasakan
oleh subjek dan objek? Itulah segelintir hal
yang akan mendukung terciptanya kegiatan
yang efektif. Sesuatu bisa dinilai ketika ada
standar atau minimal skala perbandingan.
Dalam konteks ini, kita akan melirik iklim
organisasi mahasiswa yang ada di tanah air
untuk mengambil apa yang baik sebagai cerminan bagi Masisir.
Budaya Disiplin Mahasiswa
Tidak bisa dipungkiri, budaya ngaret bukan lagi
menjadi hal yang tabu di kalangan Mahasiswa
Indonesia di Mesir. www.kswmesir.org pernah
meliput 5 hal di Mesir yang ontime. Diakui oleh
reporter, hal yang tepat waktu di Mesir bisa
dihitung jari. Kegiatan kemahasiswaan Indonesia jauh lebih tepat waktu dibandng kegiatan

di Mesir, meskipun tidak setepat waktu Jepang. Salah satu organisasi di salah satu
fakultas di Universitas Padjadjaran menerapkan kedisplinan dalam hitungan menit. Salah
satu hukuman yang diterapkan adalah denda
lima ribu rupiah jika telat lima menit pertama,
sepuluh ribu untuk lima menit kedua, belum
lagi pandangan salah dari rekan-rekan satu
tim. Jika ada yang menimpali, "uang mah yang
kaya bisa nelat, yang nggak punya uang kasian
dong". Jika standarnya uang, belum bisa disebut sebagai organisator. Integritas yang sangat
dijunjung tinggi dalam organisasi. Uang yang
diterapkan hanya salah satu cara pendisiplinan
dan punishment, serta penanaman kesadaran
betapa berharganya waktu.
Dalam sebuah acara yang juga dilaksanakan
oleh
mahasiswa,
seorang
pembicara
memprotes panitia di muka umum karena
keterlambatan acara selama tiga puluh menit:
"Kalau seperti ini saya buang-buang waktu
selama tiga puluh menit. Ada hal yang harus
saya kerjakan. Saya tidak akan menambah
waktu, karena kalian sendiri yang memotong
durasinya." Prinsip mereka begitu kuat, bahwa
organisasi adalah pembentukan karakter dalam kehidupan selanjutnya di masyarakat. Entah dari kedisplinan, komiten dan tanggungjawab. Kebiasaan disiplin juga dibentuk oleh
kampus, di mana tidak sedikit dosen memberlakukan peraturan melarang mahasisiwa masuk kelas jika telat dan jika dosen telat mencapai lima belas menit, maka kelas bubar.
Komitmen dua arah yang tanpa disadari membentuk karakter mahasiswa pelaku organisasi.
Kebiasaan tersebut menjadi salah satu faktor
terbentuknya kegiatan yang rapi. Jika dibanding kita, tidak diketahui lagi siapa yang harus
percaya kepada siapa. Peserta tidak lagi
percaya pada penyelenggara, sehingga akan
datang sampai dua jam setelah waktu yang
ditetapkan. Pelaksana pun tidak percaya kepada peserta, sehingga tidak jarang waktu dimu-

da mahasiswa-mahasiswa yang keberadaannya tersebar. Kemungkinan istilah -nggak tau


infonya- pun semakin besar,
Diakui bahwa menjadi hal yang biasa mahasiswa di Indonesia terkenal dengan se-abreg
kegiatan. Sumber Daya Manusia (SDM) yang
berlimpah memunculkan organisasi-organisasi
yang sangat beragam. Tiap-tiap organisasi
akan memunculkan kegiatannya masingmasing. Jumlah kegiatan yang sangat banyak
akan menimbulkan kompetisi antar kelompok.
Mahasiswa non-organisator akan memilih,
acara kece yang bakal diikuti, maka pelaksana
akan berlomba-lomba menciptakan yang paling bagus. Dari cakupan, ada seminar regional
kampus sampai internasional. Ada yang
mendatangkan pembicara daerah, artis, penulis nasional, atau bahkan tokoh internasional.
Dihubungkan dengan peran kampus, ketika
kampus telah memiliki ikatan kerjasama
dengan suatu lembaga nasional ataupun internasional,
maka
akan
lebih
mudah
mengundang tokoh yang berada dalam lembaga tersebut.
Mahasiswa dan CV
Pendukung lain terciptanya kegiatan kemahasiswaan yang efektif adalah partisipasi besar
dari mahasiswa. Piagam menjadi salah satu
pendorong mahasiswa aktif dalam kegiatan,
entah sebagai pelaksana maupun sebagai peserta. Curiculum Vitae (CV) menjadi nilai yang
diperhatikan mahasiswa. Dikenalkan oleh kampus bahwa ketika lulus dari bangku perkuliahan, CV sangat penting untuk melanjutkan
karir. Salah satu nilai penting dalam CV adalah
adanya pengalaman-pengalaman organisasi
dan pelatihan yang dibuktikan dengan adanya
piagam. Semakin banyak pengalaman organisasi dan pelatihan-pelatihan yang diikuti, katanya- akan lebih meyakinkan Human Resource Development (HRD) ketika melamar
pekerjaan. Beberapa universitas bahkan mewajibkan mahasiswa memiliki sertifikat sebagai tiket pelaksanaan skripsi. Sehingga bagi
beberapa kegiatan atau organisasi, pengumpulan massa tidak lagi menjadi masalah. Yang
mereka lakukan adalah membuat target tinggi
massa yang berpartisipasi.*+

Analisa Nusantara

lai acara dicantumkan satu atau dua jam sebelum pelaksanaan yang sebenarnya. Mari dievaluasi, jika ada skala angka satu sampai
sepuluh untuk evektifitas waktu, kegiatan
Masisir berhak mendapat nilai berapa? Jangan
sampai kita yang menyandang gelar ngaret di
negeri sendiri ketika pulang kampung. Karena
kepribadian terbentuk oleh kebiasaan yang
berulang.
Mahasiswa dan Kampus
Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) atau Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari tingkat
fakultas sampai universitas merupakan organiasasi resmi universitas. Ketika organisasi berada dalam naungan fakultas atau universitas,
maka akan ada penyelarasan dan dukungan
dari pihak kampus. Akan diseleksi oleh kampus
apakah kegiatan benar-benar menunjang kompetensi mahasiswa, apakah kegiatan tidak
berbenturan dengan akademik mahasiswa.
Ketika kegiatan dinilai kurang sesuai, tidak
jarang proposal atau perizinan ditolak. Sedangkan kegiatan yang dilaksanakan dikampus
harus ada izin resmi dari kampus. Bahkan
kegiatan yang dilaksanakan di luar kampus,
namun membawa nama mahasiswa kampus,
surat izin menjadi nyawa terlaksananya
kegiatan. Ketika kegiatan dinilai gebrakan baru
dan menarik, kampus akan memberikan support dalam berbagai bentuk, entah dana atau
dukungan fasilitas yang memaksimalkan
pelaksanaan. Adanya kerjasama antara organisasi dan kampus, menjadi filter tersendiri,
sehingga aktivitas dan kegiatan-kegiatan yang
dimunculkan oleh mahasiswa merupakan
kegiatan yang terseleksi.
Dari bidang publikasi, kegiatan mahasiswa
yang berpusat di kampus, kewajiban kehadiran
mahasiswa masuk kelas, serta keberadaan
BEM-BEM fakultas menjadi faktor yang mempermudah. Penyebaran pamflet bisa dikirim
melalui BEM fakultas lalu ditempel di papan
pengumuman fakultas masing-masing atau
publikasi langsung menggunakan toa di
gerbang utama kampus. Jika seperti kita yang
kehadiran tidak semua ada absensi, tidak ada
organisasi mahasiswa resmi kampus, maka
perlu usaha lebih untuk penyebaran info kepa-

Timur Tengah

Kerancuan Pendidikan Mesir


Oleh Izzatun Nafsiyah

Setiap negara yang maju identik dengan sistem


pendidikan yang maju. Dalam artian, semakin
berkualitas pendidikan suatu negara maka semakin maju pula peradaban yang dimiliki oleh
negara tersebut. Selain itu, kualitas sumber
daya manusia yang dihasilkan pun memuaskan.
Dan tentunya SDM yang berkualitas akan lebih
bisa memberikan kontribusi bagi perkembangan sebuah negara. Meskipun begitu, agar
bisa merealisasikan keberhasilan pendidikan
maju ini, tentu banyak hal yang harus dipenuhi
secara sempurna mulai dari sistem pembelajaran, tenaga pengajar dan metode pendidikannya. Inilah sebenarnya yang membedakan mutu
antara negara maju dengan negara berkembang.
Membaca sistem pendidikan yang maju,
teringat dengan sistem pendidikan Mesir.
Sebab Mesir tercatat atau dianggap sebagai
negara maju yang meraih peringkat keenam di
dunia sebagai penghasil doktor berkualitas.
Terbukti dari banyaknya peraih nobel yang
berasal dari Mesir, beberapa di antaranya adalah Naguib Mahfouz (sastra, 1988) dan Ahmed
Hasan Zewail (Kimia, 1999). Mesir juga
mempunyai satu slogan pendidikan yang fenomenal, yaitu Pendidikan adalah hak setiap
masyarakat, seperti air dan udara. Tidak
heran, pendidikan di Mesir sangatlah murah,
contoh al-Azhar. Di samping itu, setiap tahun
Mesir juga mengadakan pameran buku internasional, yang diselenggarakan oleh Menteri
Pendidikan yang bekerjasama dengan penerbit
-penerbit dari berbagai negara.
Secara kelembagaan, sistem pendidikan Mesir
adalah tanggungjawab kementrian pendidikan.
Kementrian pendidikan bertanggungjawab
mulai dari pendidikan sekolah dasar sampai ke
pendidikan tinggi dalam aspek perencanaan,
kebijakan, koordinasi dan pengembangannya.

Ringkasnya, pemerintah lah yang bertanggungjawab atas segala sesuatu untuk menjamin
terselenggaranya operasional dengan efisien.
Namun menyoroti fenomena pendidikan Mesir
saat ini, ternyata kenyataan yang ada dengan
slogan yang dipopulerkan tidaklah sepadan.
Masih banyak kekurangan yang sifatnya elementer di dalam lembaga pendidikan Mesir
seperti tidak memadainya fasilitas sekolah;
bangku, perpustakaan, ruang kelas dan sistem
pendidikan. Akibatnya, permasalahan yang
seharusnya sudah dapat ditanggulangi sejak
masih dalam perancangan meluap dan menjamur dalam tubuh masyarakat. Lebih jauh
permasalahan pendidikan tersebut bertanggung jawab atas
masih banyaknya
masyarakat yang buta huruf dan membengkaknya jumlah pengangguran yang mencapai 12,7% dari total angkatan kerja di Mesir
tahun 2015. Bandingkan dengan Singapura,
yang tingkat penganggurannya hanya 2% pada
tahun 2015. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas sumber daya penduduk Mesir masih sangat
rendah. Kenyataan di atas menunjukan kurangnya dukungan atau
motivasi dari
pemerintah dalam bidang pendidikan. Padahal
kedua hal inilah yang menjadi basis perubahan
dalam meningkatkan pembangunan suatu
negara.
Bukti lain rendahnya kualitas pendidikan Mesir
dapat dilihat dari hasil penelitian The Global
Competitiveness Forum. Menurut The Global
Competitiveness Index 2014-2015, Mesir berada di peringkat 116 dari 140 negara. The
Global Competitiveness Index 2014-2015 merupakan indeks komposit yang mencakup kualitas
kesehatan, tingkatan pendidikan dan kondisi
ekonomi. Merujuk kenyataan saat ini, pencapaian kinerja sistem pendidikan Mesir bisa
dikatakan masih kurang optimal.

di Mesir, anak-anak belum secara merata


mendapat pendidikan karakter seperti halnya
di atas. Terbukti saat ini masih sering
ditemukan kenakalan-kenalan anak Mesir seperti membentak orangtuanya, mencuri, membuat onar, tidak suka absen sekolah dan lainlain.

Wacana pendidikan kultural ini, bukanlah sekadar omong kosong belaka, sebab banyaknya
keberhasilan negara maju dalam membangun
pendidikannya juga memasukkan nilai kultural
di dalam sistem pendidikan dan kurikulumnya.
Dan di Mesir sendiri wacana tersebut seringkali
hadir di rubrik opini koran-koran Mesir. Seperti
yang dituliskan oleh Muhammad Khithab daUntuk merespon fenomena ini, merekonstruksi lam artikelnya yang berjudul Perkembangan
pendidikan nasional adaPendidikan Mesir dan
lah solusi awal dalam
Alla Al-Ilmi yang berjudul
mengentaskan buta huWacana Pengembangan
ruf, kemiskinan
dan
Masyarakat dan Pendidipengangguran. Caranya
kan Keluarga bahwa
adalah dengan menerappendidikan itu juga harus
kan pendidikan kultural
dimulai dari keluarga dan
dan pendidikan yang
tidak hanya mengandalsesuai dengan esensi
kan pendidikan sekolah,
negara itu sendiri, bukan
serta memasukkan ajajustru menerapkan penran-ajaran moral-etika,
didikan asing yang tidak
nasionalisme, agama di
sesuai dengan nilai-nilai
silabus pendidikan nabudaya atau memaksasional. Hal ini menunjukkan konsep pendidikan
kan
adanya
bentuk
yang otoriter. Peran penkepedulian masyarakat
didikan kultural yang beMesir terhadap permasarasal dari pendidikan
lah-permasalahan penkeluarga
sangatlah
didikan yang ada di
penting, karena hal tersebut merupakan faktor negaranya.
pembangun karakter anak sejak dini.
Dari sana, kita bisa belajar bahwa pendidikan
Contoh pembangunan karakter anak sejak dini nasional yang baik harus mampu mengbisa dilakukan dengan mengajarkan anak un- gabungkan nilai kultural masyarakat dalam
tuk selalu berprilaku baik, mengasah kre- silabus pendidikan dan ajaran di sekolahatifitasnya, mengajarkan bagaimana etika ber- sekolah negara. Agar generasi mudanya bisa
sosialisasi, mengenalkan mana yang baik dan menjadi manusia bertanggungjawab dalam
tidak, menceritakan kisah-kisah teladan dan moral dan kelimuan secara seimbang. Sehingga
lain sebagainya sehingga nilai-nilai etika, pendidikan nasional tidak merampas kebebamoral, agama, sosialisasi dan budi pekerti san seorang manusia yang merdeka. *+
meresap dalam diri anak sejak dini. Sedangkan

Timur Tengah

Seperti yang diberitakan akhir-akhir ini,


pengangguran di Mesir masih merajalela, begitu juga dengan gelandangan. Hal ini disampaikan oleh Izzudin, ketua Persatuan Wilayah
untuk Universitas. Bahkan dia menambahkan
bahwa fenomena ini sudah terjadi sejak sembilan tahun yang lalu. Ini menunjukkan bahwa
pendidikan di Mesir belum menyentuh setiap
lapisan masyarakat dan fenomena pengangguran, buta huruf adalah bukti nyata tentang
belum adanya keberhasilan pendidikan di Mesir. Dan lahirnya para doktoral di Mesir, pada
kenyataannya, belum bisa banyak membantu
mengentaskan kemiskinan, pengangguran dan
buta huruf.

Opini

Membaca Ulang Proyek Tri Agenda PPMI


Oleh M. Furqon Khoiruddin
Saat itu Bang Gobe baru saja resmi menjabat
sebagai presiden PPMI. Kebetulan, saya dan
kawan-kawan ditugaskan mewawancarai beliau tentang program-program yang akan digalakkan PPMI di bawah kepemimpinannya.
Walhasil, ada tiga agenda besar yang diusung
Bang Gobe: back to Azhar, back to campus dan
back to organization. Dari Tri Agenda PPMI,
saya menduga-duga kenapa harus demikian.
Mungkinkah gara-gara Masisir belum memiliki
tiga unsur tadi? Pun dalam pelaksanaannya,
mungkinkah Tri Agenda PPMI terealisasi
dengan sempurna?
Sebelum membahas lebih dalam, kita cermati
bahwa ketiga pengembalian (back) itu berkaitan dengan kegiatan pembelajaran bagi diri
seseorang. Dipahami secara dewasa belajar
adalah sebuah keniscayaan tanpa harus
mengembalikannya pada latar belakang
seseorang. Sedang di lingkungan Masisir kita
akan menemukan fenomena ruang belajar adalah sesuatu yang bersifat privasidalam artian
mau belajar ataupun tidak bukan urusan orang
lain, lalu menimbulkan kesan bagi yang mem
-publikasikan kegiatan belajarnya telah
mendapat sebuah prestasi. Setidaknya berupa
pujian dari Masisir.
Jumhur Masisir sepakat kalau tujuan di Mesir
adalah belajar. Tapi terjadi perbedaan pandangan dalam soal belajar apa? Pertama,
melihat bahwa belajar adalah tujuan, sehingga
posisi mahasiswa di Mesir harus memiliki porsi
belajar yang lebih dan meninggalkan kegiatan
sekunder yang tidak berbau ilmiah. Pemahaman kaku inilah yang selalu dipromosikan oleh
mantan Atdik. Kedua, belajar memang sudah
menjadi satu keharusan, dalam artian, sejak
kita dilahirkan manusia memang memiliki kodrat wajib belajar. Dalam kapasitasnya sebagai
mahasiswa, Masisir sudah seharusnya bertolak
menuju suatu dinamika sosial yang lebih luas,
yaitu belajar bermasyarakat dan berkebudayaantidak melulu berkutat pada proses

10

belajar akademik.
Namun dua hal di atasyang sudah jamak
dipahami Masisir, alih-alih mampu membuatnya keluar dari dilema status yang disandangnya, mereka malah masih terjebak pada
kejumudan pikir dengan saling ejek satu sama
lain.
Manusia memang mudah luput. Tekadang,
ketika kita menginginkan suatu kemajuan, akan
terjadi kemunduran pada hal lain. Katakanlah,
bagi mahasiswa yang menyatakan diri fokus
pada pendalaman agama, bisa jadi ia tak memiliki sense bermasyarakat yang apik, ia hanya
akan senang dalam hal belajar dan belajar.
Adapun bagi kelompok yang meyakini bahwa
belajar adalah murni urusan pribadi, kemudian
mereka menjajaki dinamika kehidupan bermasyarakat dan berbudaya, terkadang belajarnya akan ketinggalan. Lalu dimanakah concern belajar Masisir yang sesungguhnya?
Tentang kemungkinan terealisasinya Tri Agenda PPMI sebagai program solutif bagi dinamika
Masisir yang sedemikan rupa, pada suatu obrolan terjadi dua perbedaan pendapat. Pertama,
adanya kemungkinan Tri Agenda tersebut terjadi. Sebab kelompok ini memandang Tri Agenda tadi sebagai sebuah cita-cita luhur. Pun
demikian, tantangan masa depan menuntut
kemampuan mahasiswa untuk menguasai tiga
aspek tersebut. Seperti yang diungkapkan
Soedjatmoko (1991:97), selain tantangan masa
depan bangsa yang menuntut mahasiswa
memiliki kemampuan akademis, juga memiliki
kepekaan sosial. Karenanya, agenda PPMI dirasa cukup tepat mengantarkan Masisir untuk
memiliki sifat dan kemampuan manusia Indonesia di masa mendatang. Dengan demikian,
benar jika Tri Agenda PPMI diartikan sebagai
cita-cita.
Kedua, tidak mungkin. Berbeda dengan kelompok pertama yang memandang Tri Agenda
sebagai cita-cita, kelompok ini memandang Tri

tuntunan dinamis ke arah mana suatu pergerakkan, sebagaimana diungkapkan Bung Karno.
Memang, Tri Agenda tidak akan bisa disamakan
substansinya dengan dasar NKRI, tapi yang kita
ambil pelajarannya bukan itu, melainkan prosesnya. Wajar saja jika ada kalangan yang tidak
sepakat dengan paket agenda PPMI, mengingat
ia sebatas program normatif suatu organisasi.
Selain itu, ketika Tri Agenda dianggap sebagai
satu paket cita-cita atau satu keharusan bagi
Masisir, belum tentu akan sesuai dengan
keyataan insan Masisir saat berada di tanah
air. Bisa jadi suatu kampung membutuhkan
alumnus al-Azhar yang mampu
menjadi pemersatu ukhuwah di
masyarakat, tidak hanya berilmu
tinggi tapi tak peka sosial. Ada juga
yang hanya membutuhkan sosok
alumnus yang menguasai banyak
kitab agama, sehingga bisa
menghidupkan suasana peradaban
Islam yang telah lama lekang dan kebutuhankebutuhan membumi lainnya.
Itulah mengapa, makna dari Tri Agenda PPMI
yang tepat adalah sebagai sebuah peringatan
agar Masisir memiliki identitasnya sendirisendiri, ya, setidaknya satu keunggulan. Tidak
harus individu Masisir menguasai tiga agenda
tadi, tapi cukup masing-masing memainkan
peran sesuai bidangnya. Bagi yang suka talaqqi,
biarlah mereka mendalami ilmu agama dengan
tenang. Tapi jangan sampai melupakan peran
sosialnya. Bukankah banyak media untuk
berbagi ilmu? Bagi pegiat organisasi juga harus
berusaha agar tidak menomorduakan soal belajar. Bukankah itu cukup membuat orang tua
kita senang?
Dengan demikian akan terjadi suatu keseimbangan dalam tatanan Masisir sebagai suatu
masyarakat. PPMI jangan lagi terkungkung dalam kotak berpikir mahasiswa ideal. Mari kita
lebih memahami arti bermasyarakat. Karena
tidak ada satu kampung yang berisi para pemimpin. Dan sebagai Ibu, selayaknya PPMI bisa
mewujudkan sebuah meja statis dengan tuntunan dinamis. Demi Masisir.*+

11

Opini

Agenda sebagai satu paket keseharusan sehingga timbul pemahaman yang kontradiktif dari
mereka dan mengatakan tidak mungkin ketiganya terwujud ketika dihadapkan pada realita
saat ini. Mulai dari aktif kuliah, sesama Masisir
pasti memaklumi ihwal perkuliahan di Azhar
yang sangat moody. Belum lagi dengan back to
organization, hal tersebut justru lebih masuk ke
ranah passion. Dalam artian tidak bisa
seseorang didorong terus-menerus agar terjun
dalam organisasi. Kenyataan inilah, yang menjadikan Tri Agenda terkesan naif dan memaksakan.
Di -lain sisi, saya heran dengan Masisir, iyakah
tidak memiliki label di mata
masyarakat Indonesia sana? Misalnya, kritis dengan perkembangan
fiqh kontemporer atau dapat merangkul segenap umat walaupun
dalam perbedaan dan lain-lain.
Sampai-sampai PPMI menggelorakan paket agenda agar Masisir
kembali ke jalan lurus versi PPMIseakan-akan
Masisir telah keluar dari jalur utamanya. Tapi
saya juga ragu bagaimana PPMI melahirkan Tri
Agendanya. Jika Tri Agenda lahir hanya lantaran keadaan Masisir yang dianggap belum
membanggakan, seperti jarang kuliah dan sulit
diajak terjun dalam organisasi, maaf, maka nilai
Tri Agenda ini tidak memiliki nilai berarti. Karena, agenda ini merupakan hasil dari paradigma
apa yang baik atau ideal bagi Masisir tidak
ada bedanya dengan program yang diusulkan
banyak organisasi pada umumnya.
Dalam kapasitasnya sebagai organisasi induk
Masisir, PPMI seharusnya sudah menggali
dengan sedalam-dalamnya jiwa Masisir untuk
menemukan pijakan universal. Mengapa harus? Dengan adanya penggalian jiwa, hasilnya
tentu berbeda. Ia akan lebih diterima, hidup
dan merakyat, sebagaimana lahirnya Pancasila.
Dulu, Bung Karno menggali nilai-nilai jiwa bangsa dalam lautan sejarah, bahkan sampai pada
kerajaan kuno di Indonesia. Sampai akar nilai
bangsa ia gali. Melalui proses itulah, pancasila
menjadi suatu meja statis yang dapat mempersatukan segenap elemen, tetapi mempunyai

Kajian

Menyegarkan Kembali Fungsi dan Identitas Mahasiswa; Sebuah Upaya


Pembacaan Genealogis1
Oleh Nimatul Majmuah
Pendidikan adalah syarat mutlak untuk meraih
kehidupan yang beradab. Sebabnya, hal tersebut telah menjadi ukuran mengenai seberapa
maju berkembangnya sebuah negara dan
masyarakat. Karena melalui pedidikan akan
dihasilkan sumber daya manusia yang berkualitas, peka, dan paham akan kebutuhan zaman.
Sehingga, diharapkan dari mereka, mampu
membangun sebuah pemikiran untuk solusi
setiap problematika yang ada. Sedangkan di
lain hal, jamak diketahui bahwa mahasiswa
sebagai kaum terdidikadalah garda terdepan
sebuah masyarakat. Ia mempunyai dua fungsi
yang harus dijalankan. Pertama, menciptakan
perubahan pada negara dan masyarakat agar
lebih peka pada lingkungan dan dunia. Kedua,
sebagai pengawas terhadap sistem organisasi
di masyarakat dan negara agar selalu stabil.
Dengan memahami dua fungsi yang dimiliki,
mahasiswa sebagai agen perubahan; sebagai
bibit unggul generasi terdepan, haruslah
memilik idealisme yang tidak bisa dijual
dengan kepentingan apapun. Karena melihat
realita kekinian, banyak dari mahasiswa yang
menjadi kacung sebuah organisasi tertentu.
Dan, idealisme yang seharusnya ia jaga, pada
akhirnya harus tenggelam dalam banjir visi dan
misinya. Sehingga pertanyaannya kemudian, di
mana idealisme mahasiswa yang murni? Idealisme kaum intelektual yang harus memikirkan
pembaharuan dalam setiap langkahnya? Karena
setiap pelajarsekalipun ia bukan
mahasiswadalam proses belajarnya, ia akan
memprioritaskan apa yang lebih dibutuhkan
oleh masyarakat dan lingkup sosialnya. Bukan
mengamini secara buta rayuan para aktivis
organisasi yang notabenya dibayangi dengan

12

target, visi dan kalkulasi kesuksesan program


kerja.
Dari hal tersebut, menulusuri dan mengkaji
mengenai genealogi mahasiswa ini akan
membawa pada konsepsi yang matang tentang
fungsi mahasiswa di atas. Tujuannya, mahasiswa harus mampu mengemban tanggung
jawab dan mempertahankan idealismenya
sebagai seorang intelektual. Yaitu sebagai pelajar yang membawa harkat dan martabat bangsa, mengemban amanah sosial, melakukan
perubahan dan berkhidamat untuk masyarakat
sekitarnya.
Langkah awal yang harus diambil dalam
penelusuran ini adalah mendeteksi kedudukan
mahasiswa di masyarakat. Bahwa arti yang
terberi padanya, bukanlah sekedar permainan
bahasa sebagai kaum terdidik dan terpelajar,
tapi juga menemukan pendakuannya secara
eksistensial. Fungsinya, agar bisa memahami
spirit kaum terdidik paling natural. Yaitu aura
intelektual yang dipenuhi dengan nilai ketulusan dan keikhlasan untuk mengentaskan
manusia dari jurang amoral dan kebodohan.
Hal ini akan dijadikan titik pijak sebelum melangkah untuk menemukan sebuah perubahan
dan perkembangan di masa-masa selanjutnya.
Yaitu masa, dimana mahasiswaatau kita sebut sebagai kaum terdidikmulai bersifat
pragmatis dan lupa akan tanggungjawabnya
sebagai kaum idealis.
Di lain hal, penelusuran jejak eksistensial
mahasiswa dan kandungan makna terberinya,
diharapkan mampu mengembalikan nilai proporsional terhadap bentuk aplikatif peran
seorang mahasiswa secara intelektual.
Mengembalikan kesadaran mahasiswa sebagai

Kemudian, perlu mendedah ulang kata mahasiswa secara leksikal agar esensi makna awal
yang terbentuk tidak ternafikan dalam realitas
sosial. Sehingga dua fungsi di atas tadi bisa
terjaga dan terealisasikan secara maksimal ke
depannya. Terutama di dalam membangun
kembali nilai kemanusiaan dan kebangsaan
yang saat ini banyak tercederai kepentingan
sesaat oleh para pemodal, partai dan aktifis
pragmatis. Tentu, artikulasi ini menjadi awal
penting topik ke-mahasiswa-an di Masisir
dewasa kali ini. Yakni sebuah usaha untuk
membangun dinamisasi progesif dalam tradisi
intelektual dan organisasi. Sehingga tidak
sekedar mengejar kesibukan program tanpa
pencapaian
karakterifikasi
mahasiswa
menuju manusia kreatif.
Secara leksikal, kata mahasiswa memiliki arti
sebagai seseorang yang memiliki pendidikan
hingga jenjang paling tinggi. Pendidikan yang
tidak hanya mengejar titel, tapi juga
pengentahuan yang luas beserta kepribadian
yang tangguh. Hal ini bisa dilihat dari
penggabungan kata maha dengan siswa. Maha
artinya sesuatu yang luar bisa dan siswa adalah
seseorang yang menuntut ilmu di manapun
berada. Dari arti ini jelas kata mahasiswa
mengandung arti pelajar yang mempunyai
pengetahuan luas dan mendalam.
Sedangkan penerjemahan sebagai pelajar atau
seseorang yang memiliki pendidikan bermakna
sebagai orang yang menerima arti ajaran,
latihan dalam hal akhlak dan kecerdasan.3 Sedangkan dalam tradisi Arab kita akan
menemukan kata mutaalim atau thalabah.
Sedang kata yang berbahasa Arab tersebut
juga memiliki banyak relasi makna yang

menunjukan substansi yang sama. Di antaranya adalah al-Ishlah, ar-Riayah, atTanmiayah.4 Dari berbagai relasi makna yang
dihadirkan, penulis mencari pembenaran
dengan melihat tradisi intelektual paling awal.
Di sana, makna dari kata tersebut telah teraplikasikan dengan apik, walaupun tanpa pendakuan secara resmi dan terstruktur. Seperti di
era Nabi Muhammad, pelajar setingkat
mahasiswa mendapat pelajaran dari Nabi di
madrasah-madrasah tentang tanggungjawab,
berprilaku yang baik, berbuat baik, tekun,
bekerja keras dan menjaga kemaslahatan
bersama serta mengetahui prioritas orang
banyak.
Akan tetapi pada kenyataannya, pendidikan
mengalami polarisasi makna dari makna dasar
ke makna relasional yang sangat luas sekali
maksudnya. Bisa diperhatikan, sampai pada
tataran masa kini, telah menunjukkan sebuah
pengembangan makna pendidikan dan
transformasi
kesadaransebagai
bentuk
aplikatifnyakaum terdidik. Artinya, kalau
seandainya pendidikan dalam tradisi awal
dengan makna dasarnyadipahami sebagai
sebuah usaha membangun moral dan mendalami sebuah ajaran, maka dalam masa
setelahnya, pendidikan dipahami dengan
tekstur yang berbeda. Sehingga, hal ini tentu
saja akan berpengaruh terhadap bentuk
kesadaran untuk memahami bentuk pendidikan yang berbeda tersebut. Singkatnya, boleh
kita katakan bahwa bentuk kesadaran yang
terbilang mereduksi dari tataran idealisme
awal sebagai mahasiswa (kaum terdidik) adalah dampak yang harus ditanggung ketika
melihat makna pendidikan mulai memendar
dari tataran makna awal menjadi bentuk pendidikan formal, institutif, terstruktur. Karena
dengan demikian kesadaran yang sudah
terbangun di masa-masa awal sebagai sebuah
kesadaran idealis, natural menjadi kesadaran

13

Kajian

kaum idealis yang memiliki prinsip dan keteguhan dalam membawa perubahan di setiap lingkungan ia berada. Bukan sekedar menjadi kacung sebuah program, visi misi dan tugas kerja
suatu organisasi tertentu.2

Kajian

Kajian
yang pragmatis. Pendidikan menjadi tidak
cukup dengan ajaran dan aplikatif, tapi juga
membutuhkan
sebuah
legalisir
dan
pengakuan. Dan akhirnya, idealisme mahasiswa yang seharusnya dipegang teguh harus
terlebur bersama wacana formalitas yang bermacam variannya.
Dari hal di atas, akan ditemukan adanya sebuah pertautan yang erat antara makna, realita sejarah dan kesadaran yang kemudian
akan memunculkan paradigma yang berbedabeda di benak masyarakat. Ketika pendidikan
hanya dimaknai sebagai sekedar masalah administrasi, maka mahasiswa pun juga menjadikan idealismenya menjadi barang barteran
pemerintahan. Sehingga, perlu mengurai absurditas kuadrat demi menjumpai pemaknaan
dan kesadaran awal dan proporsional dari mahasiswa.
Dalam kasus yang lebil nyata, mari melihat
sekeliling kita, Masisir. Setelah melihat polarisasi pemaknaan awal kata pendidikan serta
perbedaan tekstur kesadaran yang mengikutinya, maka akan menjadi mudah untuk melihat
bentuk kesadaran seperti apa yang telah
mengakar dalam pola pikir masahasiswa di
sini. Bukan salah atau benar yang menjadi
topik di sini, namun kita berusaha membaca
dan mencari bentuk genealogi yang patut dijadikan rujukan. Andaikata di sana ada ketidaksesuaian, maka saatnya-lah disesuaikan, ataupun ketidak-benaran, maka sudah saatnya
mahasiswa bercermin dan memahami dirinya
sendiri untuk kembali menjadi kaum idealis
yang dipenuhi ambisi dan mimpi sesuai
kesadaran awal sebagai kaum terdidik.
Pada dasarnya kita hidup sebagai makhluk
sosial tidak akan mampu menafikan sisi pragmatis dalam setiap sendi kehidupan. Yang terpenting, bagaimana seorang manusia
terkhusus mahasiswa dengan melihat fungsi

14

dan perannya harus mampu menyeimbangkan


diri dalam menghadapi arus-arus yang
demikian itu. Mahasiswa yang menjadi
pensukses progam kerja, visi dan misi pragmatis dianggap gagal dalam mendalami perannya
sebagai kaum terdidik. Karena sesuai pemaknaan yang diperoleh melalui sudut pandang
genealogi di atas, mahasiswa adalah kaum
terdidik, idealis, progresif dan mampu membawa dirinya dalam pembelajaran yang dibutuhkan. Tujuannya untuk dipraktekan dalam lingkungan sosialnya. Sebagaimana yang dilakukan
oleh Rasulullah SAW., sebagai pendidik paling
proposional selalu menghargai dan memepertimbangkan kondisi anak-anak didiknya melalui
metode-metode pengajaran yang berbeda
sesuai karakter mereka. Hal ini menandakan
bahwa hak dan idealisme seorang penuntut
ilmu, agaknya menjadi hal yang urgen dan harus tetap dipegang teguh. Karena dengan
demikian, manusia akan memahami dan
mengenali dirinya, lingkungannya sesuai kemampuannya. Adalah ia yang mampu
mengenali dirinya, adalah dirinya yang mampu
mengenali lingkungannya. Adagium ini
agaknya menjadi renungan bagi badan organisasi kemahasiswaan yang telah menjadikan
mahasiswa sebagai tim sukses program kerjanya. Yaitu menjadikan mahasiswa sebagai penggenap kalkulasi target kuantitas sebuah program, visi dan misinya.
Mahasiswa seakan mati gaya. Karena eksistensisnya berubah menjadi tempat perdagangan
para aktivis organisasi. Banyak program yang
disuguhkan, menjadikannya lupa akan jati
dirinya. Sedangkan sukses dan tidaknya sebuah
kegiatansekarang inimulai diukur dari
kalkulasi peserta, kalkulasi daftar hadir dan
demikian seterusnya. Mahasisiwa mempunyai
hak dan wilayah privasi yang perlu dipertimbangkan. Banyak tawaran visi, misi dan program kerja tidak membantu mereka untuk

Kajian
pihak manapun. Karena pada sejarahnya, mahasiswa dan kaum muda yang menjadi dalang
di setiap pergerakan, perubahan. Baik itu dari
masa Nabi, kolonialisme, bahkan sampai reformasi. Mahasiswa selalu menjadi garda terdepan di setiap langkah perubahan, bukan menjadi kacung yang siap merealisasikan program,
visi dan misi sebuah komunitas tertentu.

Seharusnya, pengembangan makna pendidikan yang telah termaterialkan menjadi formal,


terlembagakan, tetap menjaga unsur-unsur
idealnyadalam ranah kognitif dan moral
agar tetap dalam kadar yang pas. Walaupun, di
lain hal, perubahan tersebut tidak selamanya
buruk, jika ditanggapi dan dipahami dengan
apik oleh kaum pejabat maupun kaum
terdidiknya. Sehingga kesadaran yang terbentuk dalam diri mahasiswa tetap dalam
pemahaman awal sebagai kaum intelektual
yang idealis dan tidak butuh intervensi dari

Demikianlah kenapa dianggap perlu menelusuri secara genealogis jati diri mahasiswa
sebagai kaum terdidikuntuk memberikan
refleksi bagaimana sebenarnya sikap dan
idealisme yang harus diteguhkan. Berusaha
melihat transformasi pemaknaan pendidikan
di setiap masa yang berbeda serta melihat
kesadaran yang terbentuk menjadikan manusia akan mafhum akan adanya perubahan.
Mafhum disertai sikap yang apik dan tidak
tenggelam dalam arus industrialisasi, bursa visi
Jika demikian adanya, lalu bagaimana bisa misi kaum pejabat dan aktivis.*+
mereka kaum aktivisPPMI misalnya
mengekang mereka dalam ambisi kesuksesan
program kerjanya. Membatasi mereka dengan
1
pilihan kegiatan yang bisa jadi tidak masuk Kata genealogi secara leksikal digunakan untuk menelusuri
garis silsilah keturunan, namun dalam kajian ini akan
dalam daftar kebutuhan. Hal ini akan menjadi digunakan dalam ranah sosial guna melacak otentisitas fungsi
kesenjangan yang teramat jauh, ketika melihat mahasiswa. Artinya, kajian ini akan berusaha mengembalikan
cerminan seperti apa sikap mahasiswa yang sepatutnya dalam
bagaimana pola pengembangan makna pen- menghadapi arus pragmatis sebuah komunitas tertentu.
didikan dan kesadaran kaum terdidik dari Sehingga mahasiswa yang sejak dari awal telah memiliki
idealisme dan kepentingan naturalnya, tidak akan tenggelam
tradisi awal sampai sekarang ini.
dalam pengaruh pihak manapun.
Pijakan sudut pandang genealogi diadopsi dari tokoh Friedrich
Nietzsche dalam buku On The Genealogy of Morality. Dalam
pengenalannya, disebutkan bahwa Nietzsche mengalami
kegusaran dalam menerima wacana moralitas saat itu, yang
terlihat cenderung terdominasi otoritas tertentu. Sehingga
dengan spirit dekonstruksi, ia berusaha menghadirkan kembali
hakikat moralitas paling awal sebagai tolak ukur penilain akan
isu-isu yang berkembang saat itu mengenai moralitas. Hal ini
akan diterapkan dalam membaca hakikat fungsi mahasiswa
dan identitasnya paling awal sabagai kaum terdidik.
3

Lihat KBBI dan lihat juga PRESTSI Edisi 103 pada Rubrik
Kajian, hal. 13, oleh Saudara Nasifuddin Lufhfi digunakan
sebagai pemaknaan dasar dari kata ini.
4

Lihat buku karangan Jaser Barakat yang berjudul Tarbiyatu alAulad, buku ini memuat makna pendidikan dan derifasi makna.
Di antara makna-maknanya adalah at-Talim, ar-Riayah, atTanmiyah.

15

Kajian

menemukan jati dirinya. Karena setiap dari


mereka memiliki kepentingan yang berbeda.
Dan pada akhirnya, mereka akan merasa
terkekang dan capek dengan banyaknya
kegiatan yang seluruhnya mengharuskan dipenuhi secara kuantitas. Sedangkan di lain hal
mereka mengemban tanggung jawab yang
besar. Sebagai generasi bangsa, mereka memikul masa depan kampungnya. Bagaimana
yang dibutuhkan hanya mereka yang paling
tahu. Jadi, tidaklah bisa mengumpulkan mereka dalam satu program, visi dan misi. Seperti
halnya melingkari mereka dengan jargon
kembali ke Azhar, kampus, dan organisasi.
Bisa jadi kepentingan mereka, bukan di antara
ketiganya. Kaum aktivis terlalu angkuh untuk
memahami hal ini. Terlalu sulit mengendapkan
ambisinya untuk menyukseskan program
kerjanya.

Lensa KSW

KSW; Antara Peran sebagai Organisasi dan Perkumpulan Individu-Individu Masisir


Oleh Fadhilah Rizqi*
Suatu ketika, KSW kedatangan tamu. Tamu
tersebut ingin meminjam tambang untuk
kegiatan komunitasnya, namun ia belum membawa surat peminjaman secara resmi. Kemudian dijanjikan akan saling membuat kesepakatan esok siangnya. Hanya telat sedikit, ada
tamu lain yang kebetulan membutuhkan barang yang sama. Maka tambang itu tak bersambut bersama peminjam yang pertama.
Sedikit gambaran akan keruwetan bertumpuknya kegiatan di lingkungan Masisir.
Mungkin naif mengatakan agenda-agenda
Masisir tidak berlebih diadakan, karena sejak
awal Masisir memang diarahkan pada keaktifan mengikuti kegiatan-kegiatan. Mulai dari
orientasi dari setiap komunitas yang tiap individu bisa terdaftar di tiga sampai empat
macam organisasi, hingga pernak-pernik
setelahnya yangbisa jaditidak ada
habisnya. Tapi sebagai KSW, menilai begitu
sepihak tentu sangat tidak fair. Sebagai
kekeluargaan yang juga mengadopsi dinamisnya aktifitas-aktifitas dalam berbagai kecenderungan tentu KSW juga punya andil dalam tumpang tindih-nya kegiatan Masisir.
Bagi KSW sendiri, kehidupan semerta dinilai
dari jalan-tidaknya kegiatan yang sudah diprogramkan. Tidak kurang tidak lebih. Dan pun
dengan kenyataan tersebut tentu saja KSW
memaklumi kepadatan agenda yang terjadi
pada dirinya sendiri pula. Tidak salah jika KSW
sebagai salah satu dari macam organisasi mendukung tambahan kepercayaan diri PPMI untuk mengembalikan Masisir tidak hanya pada
Azhar tapi juga organisasi. Memang merupakan sebuah keharusan bagi organisasi induk
untuk bersikap konsisten pada representasi
komunitasnya, sehingga tentu saja kembali
berorganisasi adalah kelumrahan yang perlu
dicapai.
Hakikat memprioritaskan kegiatan organisasi,
selain lesunya minat organisasi Masisir
menurut PPMIdengan contoh banyak ang-

16

gota yang loyal dan siap sekalipun belum


berani mencalonkan diri sebagai ketua baik
kekeluargaan maupun PPMI sendiri, juga
merupakan solusi terhadap masalah tersebut.
Yaitu menjaring kader sebanyak-banyaknya
dan harap-harap cemas komunitasnya tidak
mati. Maka masing-masing organisasi berlomba menciptakan seabrek kegiatan yang mereka
harap menarik perhatian dan tidak membosankan agar tak lekas ditinggalkan.
Namun, mungkin akan menjadi lebih efektif
jika setiap organisasi yang berkuasa di lingkungan Masisir saling menyamakan jadwal
sejak awal kepengurusan. Sehingga porsi
kegiatan Masisirkhususnya anak-anak barutidak saling bertumpuk antar satu komunitas dengan komunitas lainnya yang (cukup
banyak) mereka ikuti. Seperti berbagai macam
event bakat minat baik olahraga maupun
kesenian mungkin bisa dikoordinir oleh satu
jenis organisasi saja dengan didukung oleh
macam-macam organisasi lainnya dan tentu di
bawah organisasi induk yang berarti PPMI di
sini. Alangkah lebih baik lagi antar hierarki organisasi ini tidak saling berlomba berebut momen untuk unjuk kelihaiannya dalam berorganisasi. Seperti sepak bola dan musik oleh
jajaran kekeluargaan saja, kajian keilmuan oleh
afiliatif dan senat saja, misalnya, dan organisasi
induk bertugas mengawasi semua kegiatan
tersebut tanpa berebut hari dengan organisasiorganisasi di bawahnya. Meski demikian sebuah pemikiran tercipta, itu akan menjadi auto
-kritik tersendiri bagi KSW yang konsen menjalani tradisi Masisir apa adanya. Tapi begitulah, kritik disampaikan bahkan pada diri sendiri
sekalipun yang terkadang mewakili keseluruhan yang belum tentu berpikiran demikian.
Dalam hal ini, kita dapat menelaah garis besar
akar permasalahannya dari dua sudut pandang
yang cukup mendalam. Yaitu antara Masisir
sebagai organisasi dengan Masisir sebagai individu. Apa pengaruh terbesar bagi masing-

sesungguhnya) selain organisasi, maka


perkumpulannya akan menjadi luwes dan
tidak membebani.
Masisir sebagai Individu
Ruang ini bisa jadi paling urgen untuk
dilestarikan. Sebagai seorang yang menghargai idealisme pribadi, saya yakin Masisir perlu
untuk tidak meninggalkan ruang privasinya
agar kebanggaannya sebagai mahluk berpemikiran tidak terinterupsi. KSW sendiri berusaha memperhatikan agar ruang itu tidak
diapa-apakan. Setiap warga KSW akan
menyadari ke-KSW-annya dengan sendirinya
tanpa
harus
digesa-gesa
olehsemacampendaftaran Temus, misalnya. Ruang individu ini adalah tempat prioritas digodog sungguhan. Tanpa ada intervensi
dari kegiatan dari organisasi manapun,
komunitas apapun. Meski KSW sendiri tetap
akan berjalan seperti biasanya, mengikuti
bahkan menciptakan setiap kegiatan dan
melibatkan setiap warganya, KSW tetap mendukung ruang individu setiap Masisir untuk
dikembangkan dan diwujudkan. Tidak terlalu
menyusahkan, bukan?*+
*Sekretaris DP-KSW 2015/2016

17

Lensa KSW

masing kepribadian tersebut ketika perihal


prioritas disentuh secara mendasar dan berbenturan dengan realita. Jujur saja, saat kita
berada dalam ruang kontribusikatakanlah,
di kekeluargaankita seringkali menjadi
pribadi yang berbeda. Bahkan untuk orang
yang paling egois sekalipun akan luluh oleh
permintaan-tolong senior atau kawan dekatnya untuk membantu perihal keorganisasian. Maka ada ruang tersendiri untuk
mencurahkan perasaan yang sesungguhnya
terhadap kepadatan kegiatan di lingkungan
Masisir, sebagai pelaku sekalipun, akan ada
waktu-waktu tertentu kita merasa lelah
dengan ketergesaan dan keterburuan agenda
-agenda itu. Oleh karenanya, menurut penulis, Masisir sebagai pelaku organisasi dan
Masisir sebagai individu adalah dua
kepribadian yang berbeda.
Masisir sebagai Pelaku Organisasi
Saat melaku organisasi, seorang akan meluruhkan semua idealismenya demi idealisme
organisasi. Maka yang sangat tepat dan menyenangkan adalah saat berorganisasi dengan
yang satu idealisme. Bisa jadi, dari sekian
ketepatan yang dapat terjadi hanya sedikit
yang berorganisasi dengan hati. Meski
terdengar aneh, namun berkegiatan yang
sungguh-sungguh memang tidak akan
mempengaruhi secara besar-besaran pada
kehilangan fokus prioritas seseorang. Berdasarkan pengalaman pribadi, banyak yang
asal-asalantermasuk penulismenjalankan
perannya di organisasi tertentu. Apalagi bila
tanggungjawab itu muncul dari perasaan tidak enak. Masisir sendiri berperan sebagai
banyak hal di lingkungan ini, namun untuk
menyadari pada taraf mana peran
terbesarnya akan sangat sulit. Oleh karenanya, standar penilaiannya akan kembali pada
kebutuhan masing-masing.
Organisasi di sini dibatasi pada kepentingan
umum, yang mana seringkali itu tidak ada
kaitannya dengan minat para pelakunya. Tapi
justru eksistensi yang dikejar dalam penggarapan organisasi, lebih-lebih sekedar untuk narsis. Namun saat kekeluargaan, seperti halnya
KSW, disadari sebagai keluarga (dalam arti

Wawancara

Wawancara dengan Bapak Muhlashon Jalaluddin, Lc., MM.


Saat orientasi Masisir terkesan mulai tak tentu arah, dipecah-pecah
fokusnya ke kampus atau ke pengajian-pengajian informal Azhar atau juga ke
organisasi, dan atau ketiga-tiganya, kita harus membangun wacana kritis akan efektifitas upaya
penyeimbangan tiga pilihan kegiatan tersebut. Oleh karenanya, kami dari Kru Buletin PRESTSI
(P) berinisiatif untuk berbincang dengan salah seorang senior Masisir yang sangat berpengalaman di dinamika kampus, pengajian-pengajian Azhar dan tentunya organisasi, Bapak Muhlashon
Jalaluddin, Lc. MM. (M), mantan Pemimpin Redaksi Buletin PRESTSI sejak edisi pertama pada
tahun 1991 serta mantan Ketua KSW Mesir.
P: Apa pendapat Bapak tentang dinamika organisasi di lingkungan Masisir? Apakah sudah
Efektif?
M: Organisasi di Masisir ini bermula dari kurangnya kesibukan mereka di kampus. Karena
banyak dari mahasiswa tidak masuk kampus. Hal ini disebabkan oleh banyak keadaan yang
memicu mahasiswa tidak mau masuk kuliah. Mungkin karena tidak adanya absen, bangku yang
sudah penuh, ataupun karena hal lain yang disebabkan mahasiswa itu sendiri. Sehingga mereka
merasa tidak tertuntut untuk datang ke kampus. Karena kegiatan itu berkurang dan merasa
kosong, mereka yang punya gagasan dan ide mencoba membuat kegiatan untuk mengisi waktu
dengan tujuan menambah kualitas diri. Kebetulan yang dipilih adalah bidang organisasi. Ini
sebenarnya tidak negatif, cuma akan lebih baik apabila memilih skala prioritas. Mungkin ini yang
perlu dipetakan ke depan. Namun kenyataannya banyak yang merangkap peran di dalam
organisasi. Misal aktif di PPMI, kekeluargaan, almamater, senat bahkan di afiliatif. Kadangkadang kita temukan orang yang sama, sehingga yang kelihatan sibuk ada banyak, padahal tidak
banyak. Saya lihat di sini yang tidak aktif dimana-mana, mungkin mereka yang hanya membaca
saja tidak kedengaran karena tidak ikut mengurusi. Di kegiatan yang sifatnya masif, mereka
hanya sebagai hadirin. Saat undangan rapat yang seperti ini tidak tersentuh karena bukan
pengurus di sana-sini. Hal ini yang perlu disinergikan sehingga yang aktif tidak hanya itu-itu saja.
Hal ini tidak membuat personal sibuk, sedangkan yang lain tidak kebagian. Hal ini perlu
dikordinasikan agar tidak terjadi ketimpangan di dalam berorganisasi.
P: Bagaimana pengalaman Bapak selama masih aktif di Masisir dan Bagaimana dinamika
organisasinya?
M: Saya kira perkembangan itu bersamaan dengan berjalannya waktu dan media yang ada.
Kalau dari ide-idenya, saya kira tidak banyak yang jauh berbeda. Tujuan organisasi untuk
mencapai tujuan bersama selama studi di sini (Mesir_red). Antara lain adalah mengembangkan
bakat dan kemampuan masing-masing. Sebenarnya banyaknya kegiatan juga tidak terlalu
banyak berbeda. Dulu mahasiswa tidak terlalu banyak tentunya. Dulu biaya organisasi juga tidak
sebesar seperti sekarang. Sekarang kan ada banyak kucuran dana.
Kemudian kegiatan tulis-menulis juga tergolong masih baru. Dulu juga belum ada handphone.
Komunikasi masih sangat terbatas. Hanya beberapa mahasiswa yang rumahnya ada telepon
untuk dihubungi. Itu juga merupakan perbedaan yang sangat mendasar. Jadi, kalau merancang
suatu kegiatan harus benar-benar akurat. Tidak bisa seperti sekarang yang sudah harinya saja
masih mungkin untuk dirubah. Acara pada saat itu harus sudah matang untuk dilaksanakan.
Jadi, kecanggihan teknologi itu hanya sebuah sarana saja, manusianya tetap sama. Pada waktu
itu informasi masih langka. Kita dapat berita tentang Indonesia dari KBRI. Yaitu berupa koran
yang sudah diklipingkan sedemikian rupa. Ini mempengaruhi dinamika tentunya, karena di sini
kita tidak dapat merespon informasi begitu cepat. Sehingga misalkan dalam kajian isu yang
berkembang hanya berputar.

18

19

Wawancara

P: Bentuk organisasinya seperti apa?


M: Iya, sama. Cuma dulu HPMI (nama awal PPMI_red) berdiri tahun 1987. Waktu saya datang
itu tergolong baru, sementara organisasi kekeluargaan sudah lama. Sehingga bisa dikatakan
HPMI kesulitan untuk mengurusi kekeluargaan karena kekeluargaan merasa mempunyai
organisasi yang lebih tua dari pada HPMI itu sendiri. Jadi sistem organisasinya itu sampai
sekarang tidak bisa dianggap bawahan dan atasan, karena memang tidak memiliki garis
struktural. Paling tidak bisa dianggap hanya sebagai koordinasi. Hal ini dikarenakan waktu itu
kekeluargaan yang mengirim perwakilan MPA untuk PPMI, malah bukan orang yang tahu
menahu banyak tentang kekeluargaannya. Ini mengakibatkan keputusan yang digodok dalam
MPA tidak mewakili kekeluargaannya. Sampai pada tahun 1994, rapat yang saya ikuti dan waktu
itu saya dicalonkan menjadi ketua HPMI, saya mengusulkan supaya ketua kekeluargaan adalah
anggota MPA. Untuk apa? Untuk mempermudah koordinasi. Jadi tidak bisa serta merta HPMI
membawahi kekeluargaan-kekeluargaan. Maka dari itu seperti yang saya katakan tadi, dibuatlah
ikatan supaya terjalin komunikasi yang baik dengan sistem koordinasi. Kemudian dari sisi
pendanaan waktu itu tidak mudah seperti sekarang. Dalam mencari dana ada yang mengadakan
bazar, tour, dan lain sebagainya.
P: Apa perbedaan dinamika organisasi yang dulu dengan sekarang? Apakah mengalami
kemajuan atau kemunduran atau stagnan?
M: Saya kira sekarang lebih maju. Artinya, kesibukan itu lebih banyak. Apalagi semakin
banyaknya media, mahasiswa terus bertambah kreativitasnya, idenya banyak dan
implementasinya lebih banyak. Tapi ya seperti halnya tadi, dalam berorganisasi harus diberi
porsi agar tidak mengganggu studi. Saya singgung kecenderungan kawan-kawan yang suka
talaqqi itu salah satu fenomena yang positif karena mungkin mereka belum siap untuk
membaca sendiri, jadi kalau ada kesempatan seperti itu akan datang. Ini juga patut diapresiasi
karena selain berorganisasi, mereka juga menyempatkan waktunya di tempat-tempat yang
mendukung pembelajarannya. Tapi pokoknya yang namanya kuliah tidak harus ditinggalkan,
karena ini yang utama. Jadi kalau sekarang lebih maju ya tentu saja, mengingat dinamikanya
lebih banyak, prasarana lebih maju dan komunikasi lebih baik.
P: Apa pendapat Bapak tentang slogan PPMI 'Back to Azhar, Back to Campus, Back to
Organization'?
M: Menurut saya dari ketiga ini harus ada yang diprioritaskan yaitu back to Azhar dan back to
campus, setelah itu baru back to organization. Saya kira tidak muluk-muluk apabila di-manage
dengan sungguh-sungguh. Yang perlu diperkuat, menurut saya adalah di kampus. Dulu kita
pernah ada kesepakatan untuk menghentikan semua kegiatan keorganisasian begitu kegiatan
kuliah sudah aktif. Agaknya kesepakatan itu kini tidak lagi berlaku. Maka kalau bisa hal ini
diperhatikan lagi, agar slogan itu tidak hanya mimpi. Back to Azhar kalau bisa di luar jam kuliah,
back to campus artinya kita berada di kampus. Seandainya ini tercapai, energi mahasiswa untuk
menuntut ilmu di al-Azhar tidak terkuras untuk organisasi. Perlu diingat, kuantitas kegiatan yang
sedikit tapi kualitasnya besar ini lebih baik daripada kuantitasnya besar tapi kualitasnya sedikit.
P: Apakah kegiatan di Masisir bisa dirampingkan?
M: Bisa dirampingkan. Menurut saya, jika ada kegiatan yang sudah ter-cover oleh kegiatan lain,
ini tidak perlu diadakan lagi. Cara merampingkannya adalah dengan menggabungkan kegiatan
yang kiranya senada agar tidak wasting time, membuang-buang waktu. Makanya ini perlu
management yang kuat atas kegiatan organisasi. Cara merampingkan kegiatan ada banyak.
Salah satunya dengan misalnya ada kegiatan yang pada waktu musim liburan berjalan
mingguan, ketika sudah aktif kuliah, bisa dibuat dua-mingguan.
P: Apa yang harus dilakukan oleh organisasi, agar kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan
mendukung kreatifitas mahasiswa?...Selengkapnya hal. 26

Resensi

Angka 21 dan Revitalisasi Kebutuhan Belajar


Oleh Aminatuz Zuhriyah
Judul Film
Sutradara
Produksi
Tahun Rilis
Durasi Film
Pemain

: 21
: Robert Lucetic
: Sony Pictures
: 2008
: 123 menit
: Ben Sturgess, Kevin Spacey, Kate Boswort, Aaron
Yoo, Liza Lapira, Jacob Pitts, Josh Gad, Sam Golzari

Umumnya sebuah cerita, ia disuguhkan ke


publik dengan mempertimbangkan aspek yang
menonjol dari dirinya. Begitupun dengan film.
Tak terkecuali film ini. Dan saya, dengan satu
kali tonton, hanya mendapati satu hal yang
menonjol dari film ini; peruntuhan sistem perjudian Las Vegas besar-besaran yang dilakukan
oleh beberapa mahasiswa. Namun, tulisan ini
tidak akan menyoroti hal tersebut, menimbang
hal tersebut langsung kentara hanya dengan
satu kali bacatonton. Dan akan lebih membahas ihwal tokoh sentral dalam film 21, yang
akhir-akhir ini marak menjadi objek berita media Indonesia; mahasiswa miskin yang jenius
dan mampu merampungkan studinya dengan
nilai yang memuaskan.
Adalah Ben (Jim Strugess), tokoh sentral film
21 yang digambarkan miskin namun jenius.
Kemiskinannya di awal film ditampilkan melalui
kesehariannya pergi ke kuliah dengan mengayuh sepeda kesayangannya. Dilanjut permohonan beasiswanya kepada pihak Universitas
Harvard dengan memperlihatkan curriculum
vitae yang berisikan prestasi-prestasi akademiknya. Pun masih diimbuhi rengekan memelas. Secara sekilas, dengan bukti-bukti prestasi akademik yang ia ajukan pada pihak Universitas Harvard itu cukup mampu membuktikan kepantasannya mendapatkan beasiswa
Robinson tersebut. Namun, Prof. Phillips (Jack
Gilpin) menanggapinya dengan biasa saja
tanpa ada ketakjuban sama sekali. Menurut-

20

nya, prestasi akademiknya bukanlah hal yang


istimewa. Kau harus menceritakan kepada
kami apa yang membuatmu istimewa. Pengalaman hidup apa yang membedakanmu dari
yang lain. Di titik ini, beasiswa Robinson tidak
tertarik dengan orang miskin meski jenius. Dan
nahasnya, tipe orang demikian bukanlah hal
yang istimewa di mata Prof. Phillips.
Biaya kuliahnya sebesar tiga ratus ribu dolar.
Dan bagi Ben, itu adalah jumlah yang begitu
besar. Di menit ketujuh, keinginan Ben untuk
dapat kuliah di universitas ternama tersebut
ditegaskan dengan tekunnya ia bekerja di toko
pakaian, sehingga ia dipromosikan menjadi
asisten manajer dengan gaji delapan dolar perjam. Dengan demikian, butuh 37500 jam bagi
Ben untuk bisa mengumpulkan uang sebanyak
300.000 dolar.
Tiga adegan di atas berhasil menginformasikan
kepada penonton ihwal keadaan Ben yang
benar-benar membutuhkan beasiswa atau
dana untuk menghidupkan keinginanya, kuliah
di Universitas Harvard.
Keinginan yang membabi-buta setidaknya menumbuhkan dua reaksi; ketekunan atau
menghalalkan segala cara. Dan Ben, dengan
latar belakang kemiskinannya, mengambil sikap yang keduatentu dengan diselimuti kebimbangan dan kegalauan. Hal ini tergambar
saat ia ditawari seorang dosen dan beberapa
teman barunya untuk bergabung dalam sebuah tim penghitungan kartu Blackjack. Awal

Banyak hal lain yang seharusnya Ben tampakkan sebagai seorang mahasiswa jenius di universitas ternama itu.
Kegagalan Sang Sutradara, Robert Luketic, di
atas nampak terang di detik-detik terakhir film
ini. Ben, yang dalam film ini hanya diceritakan
bolak-balik ke Las Vegas sampai 17 kali, tibatiba lulus dengan nilai yang memuaskan.
Selain kegagalan di atas, penulis juga
menemukan cacat lain dalam film ini. Ambiguitas dalam pemberian judul. Entah dari mana
Sang Produser mendapatkan angka 21 dan
memutuskannya sebagai judul film. Memang
ada beberapa scene yang mempunyai kaitan
dengan angka 21 dan berkemungkinan menjadi
rujukan dalam pengambilan judul film, setidaknya penulis menemukan dua scene. Yang
pertama, usia tokoh utama yang diceritakan
baru merayakan ulang tahunnya ke 21. Sedangkan angka 21 ini dalam scene tersebut
diterangkan sebagai bagian dari bilangan fibonaccientah apa maksudnya. Yang kedua, penjelasan Micky (Kevin Spacy) yang mengatakan
bahwa ketika ada angka yang mendekati 21,
maka angka itu akan menjadi angka kemenangan dalam hitungan kartu Blackjack.
Untuk kemungkinan yang pertama, pengambilan judul film ini dari scene tersebut tidak memiliki dasar yang kuat. Sedangkan pengambilan
judul dari scene kedua kurang mewakili isi cerita. Oleh sebab itu, saya merasa kedua adegan
tersebutyang di dalamnya terdapat angka
21hanya dibuat semata-mata untuk melegitimasi pemberian judul pada film ini. Sebab, perlu diketahui bahwa film ini diadaptasi dari novel
dengan judul yang berbeda, Bringing Down The
House: The Inside Story of Six M.I.T Students
Who Took Vegas for Millions karangan Ben
Mezrich. Entah motif apa yang mendasari
Robert mengubah judul aslinya. Yang jelas, alihalih mewakili isi ceritaseperti lazimnya sebuah judul, penggantian tersebut malah
menambah list cacat film ini.*+

21

Resensi

mula, dengan berbagai pertimbangan, ia menolak dengan tegas. Namun saat Jill (Kate Boswort), perempuan yang ia idamkan, berkunjung
ke tempat ia bekerja dan mengajukan penawaran ulang disertai iming-iming uang yang
bakal dihasilkan dari penghitungan kartu blackjack tersebut membuat keputusannya goyah. Di
satu sisi, ia baru saja naik jabatan, dari karyawan biasa menjadi asisten manajer. Selain itu,
ia juga mempunyai proyek yang sedang ia kembangkan dengan dua sahabatnya, Miles (Josh
Gad) dan Cam (Sam Golzari). Dan juga ia masih
merasa tabu dengan tawaran yang diajukan
padanya, karena ia belum pernah bersentuhan
dengan Blackjack sebelumnya. Di lain sisi, ia
sangat membutuhkan uang yang begitu banyak
guna mencukupi semua kebutuhannya. Dengan
berbagai pertimbangan, akhrinya ia memutuskan untuk bergabung dalam tim. Ia merasa hal
ini cukup mudah untuk ia jalani, mengingat
hitung menghitung adalah kepiawaiannya.
Orang tidak dapat berhati-hati setiap saat buat
seumur hidupnya. Pernyataan Pram tersebut
senada untuk menggambarkan tingkah Ben
setelah ia masuk ke dalam tim. Setelah ia masuk dalam tim dan mendapatkan uang yang ia
targetkan, 300.000 dolar, alih-alih merasa
cukup dan keluar dari tim ia terus melanjutkan
permainan kartunya sampai lupa dengan urusan kuliahnya. Ia pun terlilit kasus yang cukup
serius dengan pihak perjudian, sebab permainannya sangat merugikan sang bandar.
Seperti yang saya kemukakan di atas, sedari
awal, dalam penceritaannya, film ini lebih menyoroti proses beberapa mahasiswa jenius dalam meruntuhkan sistem perjudian di Las Vegas. Namun dengan latarbelakang mahasiswa,
ditambah scene awal yang terpusat pada Ben
yang dalam pengakuannya saat ia mengajukan
permohonan beasiswa mengatakan, ... sebagian anak-anak bercita-cita untuk bermain Red
Sox, yang lainnya ingin menjadi pemadam kebakaran. Sedangkan aku hanya ingin sekolah di
Harvard Medical, 21 gagal menopang latarbelakang para tokoh dalam keseluruhan cerita.

Oase

Belajar dari Sitta Uktbar; Misi Transformasi Mental Rakyat Mesir


Oleh A. Rikza Aufarul U.
Semenanjung Sinai, satu kawasan strategis
yang amat dielu-elukan rakyat Mesir, ternyata
sempat jatuh di tangan bangsa lain. Meski tak
lebih dari 7 tahun. Namun bukan Mesir namanya, kalau lantas berpangku tangan begitu
saja. Mesir dengan anugerah alamnya yang
demikian mempesona, memang sudah semestinya sedikit agresif terhadap pihak-pihak yang
mengusik, mengeksploitasi atau bahkan mencoba mengambil alih kekayaan dan potensi
yang ada. Bukan sebatas soal memperkaya diri
atau mempertahankan kekayaan, hal itu juga
berkaitan erat menyangkut jati diri suatu bangsa. Yakni sejauh mana bangsa itu berdaulat,
baik di mata rakyatnya sendiri, maupun di
mata Dunia.
Tahun 1967, koalisi negara-negara Arab, termasuk di antaranya Mesir, gencar menyerbu
Israel
yang
kala
itu
baru
saja
memproklamirkan kemerdekaannya. Meski
belum sepenuhnya dilegalkan, terutama oleh
sekelompok negara Arab. Ya, penyerbuan itu
memang merupakan sebentuk invasi mereka
terhadap wilayah yang dikuasai Israel. Namun
nahas, pasukan koalisi mampu dipukul mundur
hingga wilayah masing-masing. Tak berhenti
sampai di situ, Israelyang ternyata turut
menggandeng negara adidaya (baca: Amerika)
bahkan mampu mencomot beberapa kawasan strategis negara-negara koalisi. Tak
terkecuali Mesir yang kecolongan semenanjung Sinai-nya.
Tidak sesederhana kasus kecolongan yang
masih bisa diupayakan untuk diselidiki, lalu
direbut kembali. Kekalahan Mesir kala itu juga
berdampak pada mental dan kepribadian
rakyat Mesir, karena juga mencederai jati diri
mereka. Sehingga, wajar saja kalau semenjak
kekalahan itu, Mesir tampak agresif. Ia
bertekad mencari celah kelengahan musuh
untuk menuntut balas, demi mengobati cideranya. Berbagai ekspedisi ia lancarkan, di
bawah komando Presiden kala itu, Gamal Abdul Nasser. Meski hingga akhir usianya, belum

22

juga membuahkan hasil signifikan. Tapi setidaknya, Mesir banyak belajar dari kegagalankegagalannya setiap kali berekspedisi. Sehingga bisa dibilang, keberhasilan rakyat Mesir
dalam perang Yom Kippur tahun 1973, adalah
buah perjuangan mereka selama tak kurang
dari 7 tahun, terhitung sejak tahun 1967.
Tahun 1972, setahun sebelum perang Yom
Kippur bergejolak, rakyat Mesir semakin dibuat geram, lantaran Israel menolak mentahmentah tawaran Anwar El-Sadat dalam suatu
forum perundingan, untuk melepas semenanjung Sinai. Menyadari upaya damainya di meja
perundingan tak membuahkan hasil apapun,
Anwar El-Sadat memustuskan angkat senjata.
Terlebih melihat desakan rakyat Mesir yang
demikian
berhasrat
untuk
bertempur,
menuntut balas atas kekalahan bertubi dalam
beberapa pertempuran sebelumnya.
Tak ingin turut tersulut emosi publik, Anwar ElSadat terlebih dahulu membenahi kakuatan
militer Mesir, terkhusus Angkatan Udara,
dengan membeli pesawat tempur, rudal dan
roket dalam jumlah besar. Berkaca dari kekalahan-kekalahan selama berekspedisi, Ia menyadari titik kelemahannya terletak pada lini
udara. Sehingga, berbekal pengalaman itulah,
ia bertekad untuk tidak lagi terjembab pada
lubang yang sama.
Menariknya, tidak sekedar persiapan materil,
Anwar El-Sadat juga menggencarkan persiapan
dari sisi moril, dengan menggalang dukungan
dari beberapa negara sahabat di Afrika ataupun Eropa. Pun pula persiapan spiritual, di
antaranya mengunjungi para tokoh berpengaruh pada masa itu, lalu meminta siraman
rohani dan memohon doa kemenangan. Ia
juga menziarahi makam-makam Auliy` Mesir,
seperti syeikh Mutawalli Syarawi, syeikh
Badawi dan lain sebagainya. Sehingga banyak
asumsi beredar, hal semacam itulah yang
secara langsung ataupun tidakmenjadi
faktor kemenangan Mesir dalam tragedi Yom
Kippur.

alutsistanya, mampu meluluhlantakkan markas


besar militer Israel di tengah gurun pasir, berikut puluhan tank yang menjadi simbol arogansi
mereka menindas Palestina dan negara-negara
Arab.
Hasrat seluruh rakyat Mesir demikian menggebu untuk bersatu, menggalang kekuatan demi
mewujudkan misi bersamamemulihkan harga diri masyarakat Mesir, setelah terjembab
dalam satu titik terendah, yakni saat dibekuk
Israel pada perang 6 hari, tahun 1967 dan
merebut kembali semenanjung Sinaisudah
barang tentu, tak lepas dari peran sosok
Anwar El-Sadat. Dengan kepiawaian melobinya, ia berhasil merangkul seluruh elemen
rakyat Mesir, termasuk Ikhwanul Muslimin
(IM), yang kala itu memainkan peran cukup signifikan
di medan perang. Dukungan
dari dalam saja tak cukup
baginya, ia pun berhasil
melobi lebih dari 100 negara, hingga kesemuanya itu
memberikan support kepada Mesir.
Demikian sejarah panjang
kemenangan Mesir, yang
hingga kini masih dan akan
terus diperingati setiap tahunnya, pada tanggal 6 Oktober, atau yang biasa
dikenal dengan peringatan
Sitta Uktbar. Sayangnya,
menjadi ironis ketika kita
menilik realita saat ini. Di mana penindasan
Israel terhadap masyarakat Palestina khususnya, semakin tak terkendali dan banyak
menerobos batas norma kemanusiaan. Di
pihak yang berseberangan, negara-negara
tetangga justru disibukkan dengan konflik internal yang tak berkesudahan. Namun setidaknya, sejarah telah membuktikan. Selama
mau bersatu, bahu membahu menghimpun
kekuatan, semerta menepis jauh-jauh arogansi
dan egoisme individu atau kelompok, niscaya
sukses di medan perang akan terwujud. Perang
mengikut pada arti tekstualnya, pun juga
perang dalam arti yang seluas-luasnya.*+

23

Oase

Rupanya, gerak-gerik Anwar El-Sadat mempersiapkan pertempuran tercium oleh musuh.


Kendati demikian, Israel yang ketika itu tengah
memperingati hari suci terbesar mereka, Yom
Kippur, justru berasumsi bahwa sikap Anwar El
-Sadat tersebut tak lebih dari gertak sambel
semata. Mereka menilai, kedua belah pihak,
baik Mesir ataupun Israel sendiri tidak sedang
dalam kondisi siap tempur. Karena keduanya
memang sedang memperingati hari suci masing-masing. Yom Kippur bagi rakyat Israel dan
Ramadhan bagi rakyat Mesir. Hal inilah yang
melatarbelakangi penamaan perang 6 Oktober
sebagai perang Yom Kippur ataupun perang
Ramadhan.
Di saat Israel merehatkan banyak tentaranya,
untuk
sekedar
bercuti
merayakan hari suci mereka,
Mesir secara tak disangka,
menyerbu garis pertahanan
Israel di sisi timur Terusan
Suez. Ya, tepat pada tanggal
6 Oktober 1973, Presiden
Anwar El-Sadat menyerukan
perang
kepada
seluruh
rakyat Mesir, sebagai respon
atas desakan mereka yang
semakin menjadi-jadi. Sehingga hari itu, bertemulah
dua kubu yang sama-sama
tengah berpuasa; memperingati hari suci masingmasing. Miris memang, tapi
demikianlah sejarah mencatat.
Diawali dengan gempuran meriam-meriam air,
Mesir dapat dengan mudah menjebol benteng
pasir Israel. Tak lama berselang, ratusan pesawat tempur Mesir diluncurkan untuk membombardir jaringan pertahanannya. Disusul
puluhan ribu pasukan darat Mesir yang berhasil menerobos garis pertahanan Israel,
dengan menyeberangi Terusan Suez. Mereka
berhasil menyusup masuk ke dalam lini pertahanan Israel di kawasan Sinai. Setelah sukses
memporak-porandakan pasukan Israel, akhirnya, Mesir dapat kembali menduduki Semenanjung Sinainya. Tak hanya itu, Mesir dengan

Sastra

Ketukan Tak Bertuan


Oleh Darmono*

24

Sastra

25

Serba-Serbi

(Sambungan halaman 19, Wawancara dengan Bapak Muhlashon Jalaluddin, Lc., MM.)
M: Sudah sifat manusia untuk bersemangat jika ada harapan. Semakin besar harapannya, maka
dia semakin semangat melakukan sebuah kegiatan. Maka, menuntut organisasi agar
kegiatannya menghasilkan produktifitas anggota adalah antara lain dengan memberi dorongan
harapan. Kalau kegiatan itu kajian, maka ia harus sering didorong dengan menerbitkan karya.
Begitu juga dalam studi, KBRI telah memberikan dorongan berupa pemberian apresiasi untuk
mahasiswa berprestasi. Harapan-harapan seperti ini membuat orang semakin produktif.
Meskipun seharusnya produktifitas itu harus dorongan yang tanpa pamrih, tapi dalam organisasi
hal yang harus dilakukan adalah dengan memberikan dorongan dan harapan. Lalu, saya ada
keinginan untuk sedikit memperingan tugas kekeluargaan agar bidang akademik ini diserahkan
kepada Senat. Kalau bisa, kita mengadakan prioritas jangka panjang akan hal ini, sehingga Senat
benar-benar optimal dalam menjalankan fungsinya, yaitu kegiatan akademik. Hal ini nanti akan
membantu kekeluargaan dalam hal akademik agar kekeluargaan tidak lagi terbebani dengan hal
-hal semacam itu karena sudah ditangani oleh senat. Peran dari kekeluargaan lebih bersifat
mendorong, tidak perlu terjun langsung. Keuntungan lain yang akan kita dapat dari hal di atas
adalah pembauran, yaitu anggota kekeluargaan satu dengan lainnya tidak hanya membaur
dengan kekeluargaannya saja, sehingga kita bisa meminimalisir premordialisme.
P: Tadi Bapak sudah berpesan untuk organisasi. Mungkin sekarang bapak bisa memberikan
pesan bagi para pelajar Indonesia di Mesir?
M: Tujuan kita di sini adalah untuk belajar. Tapi, jangan apriori dengan organisasi. Pesan saya,
dibuatlah skala prioritas: berapa untuk akademik, berapa untuk organisasi. Silahkan diukur
masing-masing. Kalau saya menghabiskan 20 menit untuk menghabiskan 50 halaman, maka
saya butuh berapa waktu untuk belajar setiap hari. Dari situ kita bisa menghitung, berapa waktu
yang harus dihabiskan untuk organisasi. Skala prioritas ini harus diterapkan dan yang paling tahu
akan hal ini adalah pelajar yang bersangkutan. Menurut saya, kuliah dan organisasi sama-sama
kita butuhkan. Saya tidak mengatakan bahwa yang tidak berorganisasi tidak bisa hidup. Karena
mayoritas kawan-kawan di sini tidak berorganisasi. Menurut saya, yang tidak meluangkan
sedikitpun waktu di organisasi, agar memberikan sedikit waktu untuk menghadiri acara
keorganisasian jangan sama sekali menjauhkan diri. Terakhir, sukses studi harus dibarengi
dengan sukses kompetensi. Pelajar al-Azhar jelas harus berbeda dengan pelajar di Indonesia. Di
sini, tugas kita tidak hanya sukses di akademik tapi kita harus memahami budaya di sini,
mempraktekkan bahasa Arab dan memiliki keterampilan yang lebih dibanding pelajar di
Indonesia.*+ (A. Zuhdan Maimun & M. Rifqy Syarifuddin)
(Sambungan halaman 25, Ketukan Tak Bertuan)

*+

26

Oleh M.S. Arifin


Saya yakin bin percaya bahwa tokoh Fahri dalam Ayat-Ayat Cinta sungguh ada; ya, ada
hanya dalam ide El-Shirazy. Dalam ranah sastra,
perdebatan mengenai apakah penciptaan
tokoh harus realis atau idealis sebenarnya telah
ada, jauh sebelum Fahri lahir. Terutama sekali
bagi para sastrawan aliran Realisme Sosial,
tokoh sastra musti dilibatkan sedekat mungkin
dengan realitas yang dapat dijangkau; yaitu
berupa materialisme sebagai kontra idealisme.
Tapi tentu tulisan ini tak akan bergeser ke
perdebatan tersebut, mengingat bahwa buletin
ini (PrestsiRed) bukanlah buletin sastra.
Menyangkut ideal, kita tak akan pernah bisa
lepas dari paham filsafat. Ialah Plato, bapak
idealis purba itu. Republik ciptaan Plato
sungguh ada dan justru nyata; ya, nyata dan
ada hanya dalam idenya sendiri. Menurut Engels, kolega Karl Marx itu, filsafat secara keseluruhan bisa diterjemahkan menggunakan dua
kata: idealisme dan materialisme. Plato, Hume,
Hegel masuk pada partai idealisme, sementara
Demokritus, Epikurus, Marx-Engels masuk pada
partai materialisme. Penyebutan paham filsafat
ini hanyalah syarat atribut untuk masuk lebih
dalam pada masalah sosial. Dan kita tak akan
terjerumus lebih jauh pada perdebatan di atas
karena buletin ini (PrestsiRed) bukanlah
buletin Filsafat.
Masuklah kita pada keadaan semestinya dari
sebuah sistem kemasyarakatan, sistem sosial.
Ada beberapa istilah yang berganti baju dan
mengalami penyempitan maupun pelebaran
makna. Idea tidak lagi dipahami sebagai paham
filsafat yang rumit seperti yang pernah
diungkapkan David Hume. Tetapi maknanya
terkadang mengalami alienasi di telinga kita:
ideal adalah bla bla bla. Ideal menyusuri
berbagai ranah, baik yang fisik ataupun metafisik (keduanya tidak diarahkan pada paham
filsafat). Yang fisik, orang sering berkata bahwa
perempuan cantik adalah yang bla bla bla. Yang
metafisik, orang sering berkata bahwa lelaki
yang baik adalah yang bla bla bla. Di sini kita

melihat adanya jagal-menjagal, tumpang-tindih


pemahaman mengenai ideal; ia akan patuh
pada hukum relativitas (law of relativity) Einstein.
Tan Malaka menggambarkan hukum relativitas
Einstein dengan contoh sederhana. Sebuah
kereta api melaju ke arah selatan dengan kecepatan yang tinggi. Di dalam kereta, seorang
Gipsi tekencing-kencing mencari toilet di bagian pantat gerbong. Si Gipsi itu berjalan berlawanan arah dengan kereta, ke arah utara. Di
sini hukum relativitas bekerja. Jika dilihat dari
satu titik di luar kereta, Si Gipsi tetaplah berjalan ke selatan mengikuti arah kereta. Tapi jika
dilihat dari titik yang lain di dalam kereta, Si
Gipsi itu berjalan ke arah utara.
Masyarakat paling mikro sekalipun acapkali
dihadapkan pada dilema tentang status ideal.
Mau tidak mau, ideal harus bereaksi dengan
keadaan sosial. Dalam kenyataannya, banyak
hal yang justru menjadi dominan dalam ideal
tapi terjepit dalam kenyataannya; banyak hal
yang tidak mampu dijawab dengan logika.
Lelaki ideal menurut orang pedalaman Afrika
adalah yang tangkas memburu binatang, sedangkan lelaki ideal menurut perkotaan di Jakarta adalah yang berduit banyak. Lantas
dengan demikian, ideal hanya bertahan dalam
pikiran kita. Sementara itu, realitas tetap berjalan sebagaimana adanya. Persepsi kitalah
yang menentukan suatu hal dianggap ideal
atau tidak.
Tapi lepas dari sana, kita perlu diberi hasrat
untuk mencapai taraf ideal; dengan relativismenya sendiri-sendiri. Fahri nyatanya memang ada meskipun tidak nyata. Ia ada di
pikiran El-Shirazy sebagai puncak pencapaian
manusia yang nyaris melampaui malaikat. Kita
bisa menciptakan fahri-fahri yang lain; dengan
karakter yang lain dan dengan idealisme yang
berbeda. Tentu kita akan tenang jika kita tidak
pernah mendengar sindiran dari Marx: Sibuk
menafsiri dunia, atau merubahnya?*+

27

Catatan Pojok

Ideal

Anda mungkin juga menyukai