Editorial
Hilang Arah
Oleh Muna Niamy
Teras
Teras
Analisa Nusantara
Masisir Bercermin
Oleh Itta Raisah F.
Siapa yang tidak mengenal Jusuf Kalla? Wakil
Presiden kita saat ini. Atau Anies Baswedan?
Tokoh pendidikan dan figur intelektual Indonesia. Dua tokoh yang berjaya dengan lini masing
-masing ini merupakan segelintir orang yang
pernah menjadi aktivis kampus.
Jusuf Kalla, pernah menjabat sebagai ketua
Dewan Mahasiswa (DEMA) periode 1965-1966
ketika kuliah di Universitas Hasanudin
(UNHAS). Juga pernah menjadi ketua HMI
cabang Makassar tahun 1965-1966. Adapun
Anies Baswedan, pada tahun 1989-1995 dia
aktif di gerakan mahasiswa dan menjabat sebagai ketua Senat Mahasiswa (SEMA) Universitas Gajah Mada (UGM).
Melirik sejarah para tokoh yang tumbuh oleh
kegiatan-kegiatan organisasi, sangat gencar
dalam kalangan mahasiswa istilah kuliah tanpa
organisasi bagai sayur tanpa garam. Lalu yang
menjadi pertanyaan saat ini adalah apakah
organisasi sekarang masih bisa disebut sebagai
tempat tumbuh? Apakah ada kesadaran simbiosis mutualisme antara subjek (organisator)
dan objek (mahasiswa umum) dalam pelaksanaan kegiatan? Apakah benar-benar tepat
sasaran dan sesuai yang diharapkan pelaksana? Apa manfaatnya benar-benar dirasakan
oleh subjek dan objek? Itulah segelintir hal
yang akan mendukung terciptanya kegiatan
yang efektif. Sesuatu bisa dinilai ketika ada
standar atau minimal skala perbandingan.
Dalam konteks ini, kita akan melirik iklim
organisasi mahasiswa yang ada di tanah air
untuk mengambil apa yang baik sebagai cerminan bagi Masisir.
Budaya Disiplin Mahasiswa
Tidak bisa dipungkiri, budaya ngaret bukan lagi
menjadi hal yang tabu di kalangan Mahasiswa
Indonesia di Mesir. www.kswmesir.org pernah
meliput 5 hal di Mesir yang ontime. Diakui oleh
reporter, hal yang tepat waktu di Mesir bisa
dihitung jari. Kegiatan kemahasiswaan Indonesia jauh lebih tepat waktu dibandng kegiatan
di Mesir, meskipun tidak setepat waktu Jepang. Salah satu organisasi di salah satu
fakultas di Universitas Padjadjaran menerapkan kedisplinan dalam hitungan menit. Salah
satu hukuman yang diterapkan adalah denda
lima ribu rupiah jika telat lima menit pertama,
sepuluh ribu untuk lima menit kedua, belum
lagi pandangan salah dari rekan-rekan satu
tim. Jika ada yang menimpali, "uang mah yang
kaya bisa nelat, yang nggak punya uang kasian
dong". Jika standarnya uang, belum bisa disebut sebagai organisator. Integritas yang sangat
dijunjung tinggi dalam organisasi. Uang yang
diterapkan hanya salah satu cara pendisiplinan
dan punishment, serta penanaman kesadaran
betapa berharganya waktu.
Dalam sebuah acara yang juga dilaksanakan
oleh
mahasiswa,
seorang
pembicara
memprotes panitia di muka umum karena
keterlambatan acara selama tiga puluh menit:
"Kalau seperti ini saya buang-buang waktu
selama tiga puluh menit. Ada hal yang harus
saya kerjakan. Saya tidak akan menambah
waktu, karena kalian sendiri yang memotong
durasinya." Prinsip mereka begitu kuat, bahwa
organisasi adalah pembentukan karakter dalam kehidupan selanjutnya di masyarakat. Entah dari kedisplinan, komiten dan tanggungjawab. Kebiasaan disiplin juga dibentuk oleh
kampus, di mana tidak sedikit dosen memberlakukan peraturan melarang mahasisiwa masuk kelas jika telat dan jika dosen telat mencapai lima belas menit, maka kelas bubar.
Komitmen dua arah yang tanpa disadari membentuk karakter mahasiswa pelaku organisasi.
Kebiasaan tersebut menjadi salah satu faktor
terbentuknya kegiatan yang rapi. Jika dibanding kita, tidak diketahui lagi siapa yang harus
percaya kepada siapa. Peserta tidak lagi
percaya pada penyelenggara, sehingga akan
datang sampai dua jam setelah waktu yang
ditetapkan. Pelaksana pun tidak percaya kepada peserta, sehingga tidak jarang waktu dimu-
Analisa Nusantara
lai acara dicantumkan satu atau dua jam sebelum pelaksanaan yang sebenarnya. Mari dievaluasi, jika ada skala angka satu sampai
sepuluh untuk evektifitas waktu, kegiatan
Masisir berhak mendapat nilai berapa? Jangan
sampai kita yang menyandang gelar ngaret di
negeri sendiri ketika pulang kampung. Karena
kepribadian terbentuk oleh kebiasaan yang
berulang.
Mahasiswa dan Kampus
Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) atau Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari tingkat
fakultas sampai universitas merupakan organiasasi resmi universitas. Ketika organisasi berada dalam naungan fakultas atau universitas,
maka akan ada penyelarasan dan dukungan
dari pihak kampus. Akan diseleksi oleh kampus
apakah kegiatan benar-benar menunjang kompetensi mahasiswa, apakah kegiatan tidak
berbenturan dengan akademik mahasiswa.
Ketika kegiatan dinilai kurang sesuai, tidak
jarang proposal atau perizinan ditolak. Sedangkan kegiatan yang dilaksanakan dikampus
harus ada izin resmi dari kampus. Bahkan
kegiatan yang dilaksanakan di luar kampus,
namun membawa nama mahasiswa kampus,
surat izin menjadi nyawa terlaksananya
kegiatan. Ketika kegiatan dinilai gebrakan baru
dan menarik, kampus akan memberikan support dalam berbagai bentuk, entah dana atau
dukungan fasilitas yang memaksimalkan
pelaksanaan. Adanya kerjasama antara organisasi dan kampus, menjadi filter tersendiri,
sehingga aktivitas dan kegiatan-kegiatan yang
dimunculkan oleh mahasiswa merupakan
kegiatan yang terseleksi.
Dari bidang publikasi, kegiatan mahasiswa
yang berpusat di kampus, kewajiban kehadiran
mahasiswa masuk kelas, serta keberadaan
BEM-BEM fakultas menjadi faktor yang mempermudah. Penyebaran pamflet bisa dikirim
melalui BEM fakultas lalu ditempel di papan
pengumuman fakultas masing-masing atau
publikasi langsung menggunakan toa di
gerbang utama kampus. Jika seperti kita yang
kehadiran tidak semua ada absensi, tidak ada
organisasi mahasiswa resmi kampus, maka
perlu usaha lebih untuk penyebaran info kepa-
Timur Tengah
Ringkasnya, pemerintah lah yang bertanggungjawab atas segala sesuatu untuk menjamin
terselenggaranya operasional dengan efisien.
Namun menyoroti fenomena pendidikan Mesir
saat ini, ternyata kenyataan yang ada dengan
slogan yang dipopulerkan tidaklah sepadan.
Masih banyak kekurangan yang sifatnya elementer di dalam lembaga pendidikan Mesir
seperti tidak memadainya fasilitas sekolah;
bangku, perpustakaan, ruang kelas dan sistem
pendidikan. Akibatnya, permasalahan yang
seharusnya sudah dapat ditanggulangi sejak
masih dalam perancangan meluap dan menjamur dalam tubuh masyarakat. Lebih jauh
permasalahan pendidikan tersebut bertanggung jawab atas
masih banyaknya
masyarakat yang buta huruf dan membengkaknya jumlah pengangguran yang mencapai 12,7% dari total angkatan kerja di Mesir
tahun 2015. Bandingkan dengan Singapura,
yang tingkat penganggurannya hanya 2% pada
tahun 2015. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas sumber daya penduduk Mesir masih sangat
rendah. Kenyataan di atas menunjukan kurangnya dukungan atau
motivasi dari
pemerintah dalam bidang pendidikan. Padahal
kedua hal inilah yang menjadi basis perubahan
dalam meningkatkan pembangunan suatu
negara.
Bukti lain rendahnya kualitas pendidikan Mesir
dapat dilihat dari hasil penelitian The Global
Competitiveness Forum. Menurut The Global
Competitiveness Index 2014-2015, Mesir berada di peringkat 116 dari 140 negara. The
Global Competitiveness Index 2014-2015 merupakan indeks komposit yang mencakup kualitas
kesehatan, tingkatan pendidikan dan kondisi
ekonomi. Merujuk kenyataan saat ini, pencapaian kinerja sistem pendidikan Mesir bisa
dikatakan masih kurang optimal.
Wacana pendidikan kultural ini, bukanlah sekadar omong kosong belaka, sebab banyaknya
keberhasilan negara maju dalam membangun
pendidikannya juga memasukkan nilai kultural
di dalam sistem pendidikan dan kurikulumnya.
Dan di Mesir sendiri wacana tersebut seringkali
hadir di rubrik opini koran-koran Mesir. Seperti
yang dituliskan oleh Muhammad Khithab daUntuk merespon fenomena ini, merekonstruksi lam artikelnya yang berjudul Perkembangan
pendidikan nasional adaPendidikan Mesir dan
lah solusi awal dalam
Alla Al-Ilmi yang berjudul
mengentaskan buta huWacana Pengembangan
ruf, kemiskinan
dan
Masyarakat dan Pendidipengangguran. Caranya
kan Keluarga bahwa
adalah dengan menerappendidikan itu juga harus
kan pendidikan kultural
dimulai dari keluarga dan
dan pendidikan yang
tidak hanya mengandalsesuai dengan esensi
kan pendidikan sekolah,
negara itu sendiri, bukan
serta memasukkan ajajustru menerapkan penran-ajaran moral-etika,
didikan asing yang tidak
nasionalisme, agama di
sesuai dengan nilai-nilai
silabus pendidikan nabudaya atau memaksasional. Hal ini menunjukkan konsep pendidikan
kan
adanya
bentuk
yang otoriter. Peran penkepedulian masyarakat
didikan kultural yang beMesir terhadap permasarasal dari pendidikan
lah-permasalahan penkeluarga
sangatlah
didikan yang ada di
penting, karena hal tersebut merupakan faktor negaranya.
pembangun karakter anak sejak dini.
Dari sana, kita bisa belajar bahwa pendidikan
Contoh pembangunan karakter anak sejak dini nasional yang baik harus mampu mengbisa dilakukan dengan mengajarkan anak un- gabungkan nilai kultural masyarakat dalam
tuk selalu berprilaku baik, mengasah kre- silabus pendidikan dan ajaran di sekolahatifitasnya, mengajarkan bagaimana etika ber- sekolah negara. Agar generasi mudanya bisa
sosialisasi, mengenalkan mana yang baik dan menjadi manusia bertanggungjawab dalam
tidak, menceritakan kisah-kisah teladan dan moral dan kelimuan secara seimbang. Sehingga
lain sebagainya sehingga nilai-nilai etika, pendidikan nasional tidak merampas kebebamoral, agama, sosialisasi dan budi pekerti san seorang manusia yang merdeka. *+
meresap dalam diri anak sejak dini. Sedangkan
Timur Tengah
Opini
10
belajar akademik.
Namun dua hal di atasyang sudah jamak
dipahami Masisir, alih-alih mampu membuatnya keluar dari dilema status yang disandangnya, mereka malah masih terjebak pada
kejumudan pikir dengan saling ejek satu sama
lain.
Manusia memang mudah luput. Tekadang,
ketika kita menginginkan suatu kemajuan, akan
terjadi kemunduran pada hal lain. Katakanlah,
bagi mahasiswa yang menyatakan diri fokus
pada pendalaman agama, bisa jadi ia tak memiliki sense bermasyarakat yang apik, ia hanya
akan senang dalam hal belajar dan belajar.
Adapun bagi kelompok yang meyakini bahwa
belajar adalah murni urusan pribadi, kemudian
mereka menjajaki dinamika kehidupan bermasyarakat dan berbudaya, terkadang belajarnya akan ketinggalan. Lalu dimanakah concern belajar Masisir yang sesungguhnya?
Tentang kemungkinan terealisasinya Tri Agenda PPMI sebagai program solutif bagi dinamika
Masisir yang sedemikan rupa, pada suatu obrolan terjadi dua perbedaan pendapat. Pertama,
adanya kemungkinan Tri Agenda tersebut terjadi. Sebab kelompok ini memandang Tri Agenda tadi sebagai sebuah cita-cita luhur. Pun
demikian, tantangan masa depan menuntut
kemampuan mahasiswa untuk menguasai tiga
aspek tersebut. Seperti yang diungkapkan
Soedjatmoko (1991:97), selain tantangan masa
depan bangsa yang menuntut mahasiswa
memiliki kemampuan akademis, juga memiliki
kepekaan sosial. Karenanya, agenda PPMI dirasa cukup tepat mengantarkan Masisir untuk
memiliki sifat dan kemampuan manusia Indonesia di masa mendatang. Dengan demikian,
benar jika Tri Agenda PPMI diartikan sebagai
cita-cita.
Kedua, tidak mungkin. Berbeda dengan kelompok pertama yang memandang Tri Agenda
sebagai cita-cita, kelompok ini memandang Tri
tuntunan dinamis ke arah mana suatu pergerakkan, sebagaimana diungkapkan Bung Karno.
Memang, Tri Agenda tidak akan bisa disamakan
substansinya dengan dasar NKRI, tapi yang kita
ambil pelajarannya bukan itu, melainkan prosesnya. Wajar saja jika ada kalangan yang tidak
sepakat dengan paket agenda PPMI, mengingat
ia sebatas program normatif suatu organisasi.
Selain itu, ketika Tri Agenda dianggap sebagai
satu paket cita-cita atau satu keharusan bagi
Masisir, belum tentu akan sesuai dengan
keyataan insan Masisir saat berada di tanah
air. Bisa jadi suatu kampung membutuhkan
alumnus al-Azhar yang mampu
menjadi pemersatu ukhuwah di
masyarakat, tidak hanya berilmu
tinggi tapi tak peka sosial. Ada juga
yang hanya membutuhkan sosok
alumnus yang menguasai banyak
kitab agama, sehingga bisa
menghidupkan suasana peradaban
Islam yang telah lama lekang dan kebutuhankebutuhan membumi lainnya.
Itulah mengapa, makna dari Tri Agenda PPMI
yang tepat adalah sebagai sebuah peringatan
agar Masisir memiliki identitasnya sendirisendiri, ya, setidaknya satu keunggulan. Tidak
harus individu Masisir menguasai tiga agenda
tadi, tapi cukup masing-masing memainkan
peran sesuai bidangnya. Bagi yang suka talaqqi,
biarlah mereka mendalami ilmu agama dengan
tenang. Tapi jangan sampai melupakan peran
sosialnya. Bukankah banyak media untuk
berbagi ilmu? Bagi pegiat organisasi juga harus
berusaha agar tidak menomorduakan soal belajar. Bukankah itu cukup membuat orang tua
kita senang?
Dengan demikian akan terjadi suatu keseimbangan dalam tatanan Masisir sebagai suatu
masyarakat. PPMI jangan lagi terkungkung dalam kotak berpikir mahasiswa ideal. Mari kita
lebih memahami arti bermasyarakat. Karena
tidak ada satu kampung yang berisi para pemimpin. Dan sebagai Ibu, selayaknya PPMI bisa
mewujudkan sebuah meja statis dengan tuntunan dinamis. Demi Masisir.*+
11
Opini
Agenda sebagai satu paket keseharusan sehingga timbul pemahaman yang kontradiktif dari
mereka dan mengatakan tidak mungkin ketiganya terwujud ketika dihadapkan pada realita
saat ini. Mulai dari aktif kuliah, sesama Masisir
pasti memaklumi ihwal perkuliahan di Azhar
yang sangat moody. Belum lagi dengan back to
organization, hal tersebut justru lebih masuk ke
ranah passion. Dalam artian tidak bisa
seseorang didorong terus-menerus agar terjun
dalam organisasi. Kenyataan inilah, yang menjadikan Tri Agenda terkesan naif dan memaksakan.
Di -lain sisi, saya heran dengan Masisir, iyakah
tidak memiliki label di mata
masyarakat Indonesia sana? Misalnya, kritis dengan perkembangan
fiqh kontemporer atau dapat merangkul segenap umat walaupun
dalam perbedaan dan lain-lain.
Sampai-sampai PPMI menggelorakan paket agenda agar Masisir
kembali ke jalan lurus versi PPMIseakan-akan
Masisir telah keluar dari jalur utamanya. Tapi
saya juga ragu bagaimana PPMI melahirkan Tri
Agendanya. Jika Tri Agenda lahir hanya lantaran keadaan Masisir yang dianggap belum
membanggakan, seperti jarang kuliah dan sulit
diajak terjun dalam organisasi, maaf, maka nilai
Tri Agenda ini tidak memiliki nilai berarti. Karena, agenda ini merupakan hasil dari paradigma
apa yang baik atau ideal bagi Masisir tidak
ada bedanya dengan program yang diusulkan
banyak organisasi pada umumnya.
Dalam kapasitasnya sebagai organisasi induk
Masisir, PPMI seharusnya sudah menggali
dengan sedalam-dalamnya jiwa Masisir untuk
menemukan pijakan universal. Mengapa harus? Dengan adanya penggalian jiwa, hasilnya
tentu berbeda. Ia akan lebih diterima, hidup
dan merakyat, sebagaimana lahirnya Pancasila.
Dulu, Bung Karno menggali nilai-nilai jiwa bangsa dalam lautan sejarah, bahkan sampai pada
kerajaan kuno di Indonesia. Sampai akar nilai
bangsa ia gali. Melalui proses itulah, pancasila
menjadi suatu meja statis yang dapat mempersatukan segenap elemen, tetapi mempunyai
Kajian
12
Kemudian, perlu mendedah ulang kata mahasiswa secara leksikal agar esensi makna awal
yang terbentuk tidak ternafikan dalam realitas
sosial. Sehingga dua fungsi di atas tadi bisa
terjaga dan terealisasikan secara maksimal ke
depannya. Terutama di dalam membangun
kembali nilai kemanusiaan dan kebangsaan
yang saat ini banyak tercederai kepentingan
sesaat oleh para pemodal, partai dan aktifis
pragmatis. Tentu, artikulasi ini menjadi awal
penting topik ke-mahasiswa-an di Masisir
dewasa kali ini. Yakni sebuah usaha untuk
membangun dinamisasi progesif dalam tradisi
intelektual dan organisasi. Sehingga tidak
sekedar mengejar kesibukan program tanpa
pencapaian
karakterifikasi
mahasiswa
menuju manusia kreatif.
Secara leksikal, kata mahasiswa memiliki arti
sebagai seseorang yang memiliki pendidikan
hingga jenjang paling tinggi. Pendidikan yang
tidak hanya mengejar titel, tapi juga
pengentahuan yang luas beserta kepribadian
yang tangguh. Hal ini bisa dilihat dari
penggabungan kata maha dengan siswa. Maha
artinya sesuatu yang luar bisa dan siswa adalah
seseorang yang menuntut ilmu di manapun
berada. Dari arti ini jelas kata mahasiswa
mengandung arti pelajar yang mempunyai
pengetahuan luas dan mendalam.
Sedangkan penerjemahan sebagai pelajar atau
seseorang yang memiliki pendidikan bermakna
sebagai orang yang menerima arti ajaran,
latihan dalam hal akhlak dan kecerdasan.3 Sedangkan dalam tradisi Arab kita akan
menemukan kata mutaalim atau thalabah.
Sedang kata yang berbahasa Arab tersebut
juga memiliki banyak relasi makna yang
menunjukan substansi yang sama. Di antaranya adalah al-Ishlah, ar-Riayah, atTanmiayah.4 Dari berbagai relasi makna yang
dihadirkan, penulis mencari pembenaran
dengan melihat tradisi intelektual paling awal.
Di sana, makna dari kata tersebut telah teraplikasikan dengan apik, walaupun tanpa pendakuan secara resmi dan terstruktur. Seperti di
era Nabi Muhammad, pelajar setingkat
mahasiswa mendapat pelajaran dari Nabi di
madrasah-madrasah tentang tanggungjawab,
berprilaku yang baik, berbuat baik, tekun,
bekerja keras dan menjaga kemaslahatan
bersama serta mengetahui prioritas orang
banyak.
Akan tetapi pada kenyataannya, pendidikan
mengalami polarisasi makna dari makna dasar
ke makna relasional yang sangat luas sekali
maksudnya. Bisa diperhatikan, sampai pada
tataran masa kini, telah menunjukkan sebuah
pengembangan makna pendidikan dan
transformasi
kesadaransebagai
bentuk
aplikatifnyakaum terdidik. Artinya, kalau
seandainya pendidikan dalam tradisi awal
dengan makna dasarnyadipahami sebagai
sebuah usaha membangun moral dan mendalami sebuah ajaran, maka dalam masa
setelahnya, pendidikan dipahami dengan
tekstur yang berbeda. Sehingga, hal ini tentu
saja akan berpengaruh terhadap bentuk
kesadaran untuk memahami bentuk pendidikan yang berbeda tersebut. Singkatnya, boleh
kita katakan bahwa bentuk kesadaran yang
terbilang mereduksi dari tataran idealisme
awal sebagai mahasiswa (kaum terdidik) adalah dampak yang harus ditanggung ketika
melihat makna pendidikan mulai memendar
dari tataran makna awal menjadi bentuk pendidikan formal, institutif, terstruktur. Karena
dengan demikian kesadaran yang sudah
terbangun di masa-masa awal sebagai sebuah
kesadaran idealis, natural menjadi kesadaran
13
Kajian
kaum idealis yang memiliki prinsip dan keteguhan dalam membawa perubahan di setiap lingkungan ia berada. Bukan sekedar menjadi kacung sebuah program, visi misi dan tugas kerja
suatu organisasi tertentu.2
Kajian
Kajian
yang pragmatis. Pendidikan menjadi tidak
cukup dengan ajaran dan aplikatif, tapi juga
membutuhkan
sebuah
legalisir
dan
pengakuan. Dan akhirnya, idealisme mahasiswa yang seharusnya dipegang teguh harus
terlebur bersama wacana formalitas yang bermacam variannya.
Dari hal di atas, akan ditemukan adanya sebuah pertautan yang erat antara makna, realita sejarah dan kesadaran yang kemudian
akan memunculkan paradigma yang berbedabeda di benak masyarakat. Ketika pendidikan
hanya dimaknai sebagai sekedar masalah administrasi, maka mahasiswa pun juga menjadikan idealismenya menjadi barang barteran
pemerintahan. Sehingga, perlu mengurai absurditas kuadrat demi menjumpai pemaknaan
dan kesadaran awal dan proporsional dari mahasiswa.
Dalam kasus yang lebil nyata, mari melihat
sekeliling kita, Masisir. Setelah melihat polarisasi pemaknaan awal kata pendidikan serta
perbedaan tekstur kesadaran yang mengikutinya, maka akan menjadi mudah untuk melihat
bentuk kesadaran seperti apa yang telah
mengakar dalam pola pikir masahasiswa di
sini. Bukan salah atau benar yang menjadi
topik di sini, namun kita berusaha membaca
dan mencari bentuk genealogi yang patut dijadikan rujukan. Andaikata di sana ada ketidaksesuaian, maka saatnya-lah disesuaikan, ataupun ketidak-benaran, maka sudah saatnya
mahasiswa bercermin dan memahami dirinya
sendiri untuk kembali menjadi kaum idealis
yang dipenuhi ambisi dan mimpi sesuai
kesadaran awal sebagai kaum terdidik.
Pada dasarnya kita hidup sebagai makhluk
sosial tidak akan mampu menafikan sisi pragmatis dalam setiap sendi kehidupan. Yang terpenting, bagaimana seorang manusia
terkhusus mahasiswa dengan melihat fungsi
14
Kajian
pihak manapun. Karena pada sejarahnya, mahasiswa dan kaum muda yang menjadi dalang
di setiap pergerakan, perubahan. Baik itu dari
masa Nabi, kolonialisme, bahkan sampai reformasi. Mahasiswa selalu menjadi garda terdepan di setiap langkah perubahan, bukan menjadi kacung yang siap merealisasikan program,
visi dan misi sebuah komunitas tertentu.
Demikianlah kenapa dianggap perlu menelusuri secara genealogis jati diri mahasiswa
sebagai kaum terdidikuntuk memberikan
refleksi bagaimana sebenarnya sikap dan
idealisme yang harus diteguhkan. Berusaha
melihat transformasi pemaknaan pendidikan
di setiap masa yang berbeda serta melihat
kesadaran yang terbentuk menjadikan manusia akan mafhum akan adanya perubahan.
Mafhum disertai sikap yang apik dan tidak
tenggelam dalam arus industrialisasi, bursa visi
Jika demikian adanya, lalu bagaimana bisa misi kaum pejabat dan aktivis.*+
mereka kaum aktivisPPMI misalnya
mengekang mereka dalam ambisi kesuksesan
program kerjanya. Membatasi mereka dengan
1
pilihan kegiatan yang bisa jadi tidak masuk Kata genealogi secara leksikal digunakan untuk menelusuri
garis silsilah keturunan, namun dalam kajian ini akan
dalam daftar kebutuhan. Hal ini akan menjadi digunakan dalam ranah sosial guna melacak otentisitas fungsi
kesenjangan yang teramat jauh, ketika melihat mahasiswa. Artinya, kajian ini akan berusaha mengembalikan
cerminan seperti apa sikap mahasiswa yang sepatutnya dalam
bagaimana pola pengembangan makna pen- menghadapi arus pragmatis sebuah komunitas tertentu.
didikan dan kesadaran kaum terdidik dari Sehingga mahasiswa yang sejak dari awal telah memiliki
idealisme dan kepentingan naturalnya, tidak akan tenggelam
tradisi awal sampai sekarang ini.
dalam pengaruh pihak manapun.
Pijakan sudut pandang genealogi diadopsi dari tokoh Friedrich
Nietzsche dalam buku On The Genealogy of Morality. Dalam
pengenalannya, disebutkan bahwa Nietzsche mengalami
kegusaran dalam menerima wacana moralitas saat itu, yang
terlihat cenderung terdominasi otoritas tertentu. Sehingga
dengan spirit dekonstruksi, ia berusaha menghadirkan kembali
hakikat moralitas paling awal sebagai tolak ukur penilain akan
isu-isu yang berkembang saat itu mengenai moralitas. Hal ini
akan diterapkan dalam membaca hakikat fungsi mahasiswa
dan identitasnya paling awal sabagai kaum terdidik.
3
Lihat KBBI dan lihat juga PRESTSI Edisi 103 pada Rubrik
Kajian, hal. 13, oleh Saudara Nasifuddin Lufhfi digunakan
sebagai pemaknaan dasar dari kata ini.
4
Lihat buku karangan Jaser Barakat yang berjudul Tarbiyatu alAulad, buku ini memuat makna pendidikan dan derifasi makna.
Di antara makna-maknanya adalah at-Talim, ar-Riayah, atTanmiyah.
15
Kajian
Lensa KSW
16
17
Lensa KSW
Wawancara
18
19
Wawancara
Resensi
: 21
: Robert Lucetic
: Sony Pictures
: 2008
: 123 menit
: Ben Sturgess, Kevin Spacey, Kate Boswort, Aaron
Yoo, Liza Lapira, Jacob Pitts, Josh Gad, Sam Golzari
20
Banyak hal lain yang seharusnya Ben tampakkan sebagai seorang mahasiswa jenius di universitas ternama itu.
Kegagalan Sang Sutradara, Robert Luketic, di
atas nampak terang di detik-detik terakhir film
ini. Ben, yang dalam film ini hanya diceritakan
bolak-balik ke Las Vegas sampai 17 kali, tibatiba lulus dengan nilai yang memuaskan.
Selain kegagalan di atas, penulis juga
menemukan cacat lain dalam film ini. Ambiguitas dalam pemberian judul. Entah dari mana
Sang Produser mendapatkan angka 21 dan
memutuskannya sebagai judul film. Memang
ada beberapa scene yang mempunyai kaitan
dengan angka 21 dan berkemungkinan menjadi
rujukan dalam pengambilan judul film, setidaknya penulis menemukan dua scene. Yang
pertama, usia tokoh utama yang diceritakan
baru merayakan ulang tahunnya ke 21. Sedangkan angka 21 ini dalam scene tersebut
diterangkan sebagai bagian dari bilangan fibonaccientah apa maksudnya. Yang kedua, penjelasan Micky (Kevin Spacy) yang mengatakan
bahwa ketika ada angka yang mendekati 21,
maka angka itu akan menjadi angka kemenangan dalam hitungan kartu Blackjack.
Untuk kemungkinan yang pertama, pengambilan judul film ini dari scene tersebut tidak memiliki dasar yang kuat. Sedangkan pengambilan
judul dari scene kedua kurang mewakili isi cerita. Oleh sebab itu, saya merasa kedua adegan
tersebutyang di dalamnya terdapat angka
21hanya dibuat semata-mata untuk melegitimasi pemberian judul pada film ini. Sebab, perlu diketahui bahwa film ini diadaptasi dari novel
dengan judul yang berbeda, Bringing Down The
House: The Inside Story of Six M.I.T Students
Who Took Vegas for Millions karangan Ben
Mezrich. Entah motif apa yang mendasari
Robert mengubah judul aslinya. Yang jelas, alihalih mewakili isi ceritaseperti lazimnya sebuah judul, penggantian tersebut malah
menambah list cacat film ini.*+
21
Resensi
mula, dengan berbagai pertimbangan, ia menolak dengan tegas. Namun saat Jill (Kate Boswort), perempuan yang ia idamkan, berkunjung
ke tempat ia bekerja dan mengajukan penawaran ulang disertai iming-iming uang yang
bakal dihasilkan dari penghitungan kartu blackjack tersebut membuat keputusannya goyah. Di
satu sisi, ia baru saja naik jabatan, dari karyawan biasa menjadi asisten manajer. Selain itu,
ia juga mempunyai proyek yang sedang ia kembangkan dengan dua sahabatnya, Miles (Josh
Gad) dan Cam (Sam Golzari). Dan juga ia masih
merasa tabu dengan tawaran yang diajukan
padanya, karena ia belum pernah bersentuhan
dengan Blackjack sebelumnya. Di lain sisi, ia
sangat membutuhkan uang yang begitu banyak
guna mencukupi semua kebutuhannya. Dengan
berbagai pertimbangan, akhrinya ia memutuskan untuk bergabung dalam tim. Ia merasa hal
ini cukup mudah untuk ia jalani, mengingat
hitung menghitung adalah kepiawaiannya.
Orang tidak dapat berhati-hati setiap saat buat
seumur hidupnya. Pernyataan Pram tersebut
senada untuk menggambarkan tingkah Ben
setelah ia masuk ke dalam tim. Setelah ia masuk dalam tim dan mendapatkan uang yang ia
targetkan, 300.000 dolar, alih-alih merasa
cukup dan keluar dari tim ia terus melanjutkan
permainan kartunya sampai lupa dengan urusan kuliahnya. Ia pun terlilit kasus yang cukup
serius dengan pihak perjudian, sebab permainannya sangat merugikan sang bandar.
Seperti yang saya kemukakan di atas, sedari
awal, dalam penceritaannya, film ini lebih menyoroti proses beberapa mahasiswa jenius dalam meruntuhkan sistem perjudian di Las Vegas. Namun dengan latarbelakang mahasiswa,
ditambah scene awal yang terpusat pada Ben
yang dalam pengakuannya saat ia mengajukan
permohonan beasiswa mengatakan, ... sebagian anak-anak bercita-cita untuk bermain Red
Sox, yang lainnya ingin menjadi pemadam kebakaran. Sedangkan aku hanya ingin sekolah di
Harvard Medical, 21 gagal menopang latarbelakang para tokoh dalam keseluruhan cerita.
Oase
22
juga membuahkan hasil signifikan. Tapi setidaknya, Mesir banyak belajar dari kegagalankegagalannya setiap kali berekspedisi. Sehingga bisa dibilang, keberhasilan rakyat Mesir
dalam perang Yom Kippur tahun 1973, adalah
buah perjuangan mereka selama tak kurang
dari 7 tahun, terhitung sejak tahun 1967.
Tahun 1972, setahun sebelum perang Yom
Kippur bergejolak, rakyat Mesir semakin dibuat geram, lantaran Israel menolak mentahmentah tawaran Anwar El-Sadat dalam suatu
forum perundingan, untuk melepas semenanjung Sinai. Menyadari upaya damainya di meja
perundingan tak membuahkan hasil apapun,
Anwar El-Sadat memustuskan angkat senjata.
Terlebih melihat desakan rakyat Mesir yang
demikian
berhasrat
untuk
bertempur,
menuntut balas atas kekalahan bertubi dalam
beberapa pertempuran sebelumnya.
Tak ingin turut tersulut emosi publik, Anwar ElSadat terlebih dahulu membenahi kakuatan
militer Mesir, terkhusus Angkatan Udara,
dengan membeli pesawat tempur, rudal dan
roket dalam jumlah besar. Berkaca dari kekalahan-kekalahan selama berekspedisi, Ia menyadari titik kelemahannya terletak pada lini
udara. Sehingga, berbekal pengalaman itulah,
ia bertekad untuk tidak lagi terjembab pada
lubang yang sama.
Menariknya, tidak sekedar persiapan materil,
Anwar El-Sadat juga menggencarkan persiapan
dari sisi moril, dengan menggalang dukungan
dari beberapa negara sahabat di Afrika ataupun Eropa. Pun pula persiapan spiritual, di
antaranya mengunjungi para tokoh berpengaruh pada masa itu, lalu meminta siraman
rohani dan memohon doa kemenangan. Ia
juga menziarahi makam-makam Auliy` Mesir,
seperti syeikh Mutawalli Syarawi, syeikh
Badawi dan lain sebagainya. Sehingga banyak
asumsi beredar, hal semacam itulah yang
secara langsung ataupun tidakmenjadi
faktor kemenangan Mesir dalam tragedi Yom
Kippur.
23
Oase
Sastra
24
Sastra
25
Serba-Serbi
(Sambungan halaman 19, Wawancara dengan Bapak Muhlashon Jalaluddin, Lc., MM.)
M: Sudah sifat manusia untuk bersemangat jika ada harapan. Semakin besar harapannya, maka
dia semakin semangat melakukan sebuah kegiatan. Maka, menuntut organisasi agar
kegiatannya menghasilkan produktifitas anggota adalah antara lain dengan memberi dorongan
harapan. Kalau kegiatan itu kajian, maka ia harus sering didorong dengan menerbitkan karya.
Begitu juga dalam studi, KBRI telah memberikan dorongan berupa pemberian apresiasi untuk
mahasiswa berprestasi. Harapan-harapan seperti ini membuat orang semakin produktif.
Meskipun seharusnya produktifitas itu harus dorongan yang tanpa pamrih, tapi dalam organisasi
hal yang harus dilakukan adalah dengan memberikan dorongan dan harapan. Lalu, saya ada
keinginan untuk sedikit memperingan tugas kekeluargaan agar bidang akademik ini diserahkan
kepada Senat. Kalau bisa, kita mengadakan prioritas jangka panjang akan hal ini, sehingga Senat
benar-benar optimal dalam menjalankan fungsinya, yaitu kegiatan akademik. Hal ini nanti akan
membantu kekeluargaan dalam hal akademik agar kekeluargaan tidak lagi terbebani dengan hal
-hal semacam itu karena sudah ditangani oleh senat. Peran dari kekeluargaan lebih bersifat
mendorong, tidak perlu terjun langsung. Keuntungan lain yang akan kita dapat dari hal di atas
adalah pembauran, yaitu anggota kekeluargaan satu dengan lainnya tidak hanya membaur
dengan kekeluargaannya saja, sehingga kita bisa meminimalisir premordialisme.
P: Tadi Bapak sudah berpesan untuk organisasi. Mungkin sekarang bapak bisa memberikan
pesan bagi para pelajar Indonesia di Mesir?
M: Tujuan kita di sini adalah untuk belajar. Tapi, jangan apriori dengan organisasi. Pesan saya,
dibuatlah skala prioritas: berapa untuk akademik, berapa untuk organisasi. Silahkan diukur
masing-masing. Kalau saya menghabiskan 20 menit untuk menghabiskan 50 halaman, maka
saya butuh berapa waktu untuk belajar setiap hari. Dari situ kita bisa menghitung, berapa waktu
yang harus dihabiskan untuk organisasi. Skala prioritas ini harus diterapkan dan yang paling tahu
akan hal ini adalah pelajar yang bersangkutan. Menurut saya, kuliah dan organisasi sama-sama
kita butuhkan. Saya tidak mengatakan bahwa yang tidak berorganisasi tidak bisa hidup. Karena
mayoritas kawan-kawan di sini tidak berorganisasi. Menurut saya, yang tidak meluangkan
sedikitpun waktu di organisasi, agar memberikan sedikit waktu untuk menghadiri acara
keorganisasian jangan sama sekali menjauhkan diri. Terakhir, sukses studi harus dibarengi
dengan sukses kompetensi. Pelajar al-Azhar jelas harus berbeda dengan pelajar di Indonesia. Di
sini, tugas kita tidak hanya sukses di akademik tapi kita harus memahami budaya di sini,
mempraktekkan bahasa Arab dan memiliki keterampilan yang lebih dibanding pelajar di
Indonesia.*+ (A. Zuhdan Maimun & M. Rifqy Syarifuddin)
(Sambungan halaman 25, Ketukan Tak Bertuan)
*+
26
27
Catatan Pojok
Ideal