Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seseorang yang mengalami gangguan kesehatan pasti mendatangi seorang dokter untuk
mendapatkan penyembuhan penyakit yang dideritanya. Kemudian muncul hungungan antara dokter
dan pasien, yang menimbulkan hak dan kewajiban. Dalam melaksanakan kewajiban bagi dokter itulah
dapat menimbulkan penderitaan bagi pasien, akibat kelalaian atau kekurang hati-hatian dokter dalam
menjalankan profesinya. Dikelnal dengan istilah malpraktek (malpractice) medis dan dapat
membebani tanggung jawab hukum terhadap akibat buruk bagi pasien.
Semakin terdidiknya masyarakat dan banyaknya buku pengetahuan tentang kesehatan menjadikan
masyarakat semakin kritis terhadap pelayanan medis yang diterimanya. Perbuatan dalam pelayanan
medis yang dapat menjadi malpraktek medis terletak pada pemeriksaan, menarik diagnosis atas fakta
hasil pemeriksaan, wujud perlakuan terapi, maupun perlakuan untuk menghindari kerugian dari salah
diagnosis dan salah terapi serta tidak sesuai standar profesi.

BAB II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Malpraktek
Ada berbagai macam pendapat dari para sarjana mengenai pengertian malpraktek.
Disimpulkan malpraktek medik sebagai kesalahan tenaga kesehatan yang karena tidak
mempergunakan ilmu pengetahuan dan tingkat keterampilan sesuai dengan standar profesinya yang
akhirnya mengakibatkan pasien terluka atau cacat atau bahkan meninggal dunia. Permasalahan

malpraktek ataupun permasalahan yang berhubungan dengan kesehatan, yang dijadikan sebagai
patokan adalah profesi dokter. Akan tetapi menurut penulis, malpraktek medik tidak hanya
dilakukan oleh orang-orang dari kalangan profesi dokter saja.
Didalam Peraturan Pemerintah No.32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, yaitu dalam
pasal 2 ayat (1) ditentukan bahwa tenaga kesehatan terdiri dari :
a. Tenaga medis
b. Tenaga keperawatan
c. Tenaga kefarmasian
d. Tenaga kesehatan masyarakat
e. Tenaga gizi
f. Tenaga keterapian fisik
g.Tenaga keteknisan medis.
2.2 Jenis-Jenis Malpraktek
Malpraktek medik menjadi dua bentuk, yaitu malpraktek etik (ethical malpractice) dan
malpraktek yuridis (yuridical malpractice), ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum.17
a. Malpraktek Etik
Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah tenaga kesehatan melakukan tindakan yang
bertentangan dengan etika profesinya sebagai tenaga kesehatan.
b. Malpraktek Yuridis
Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridis ini menjadi tiga bentuk, yaitu malpraktek
perdata (civil malpractice), malpraktek pidana (criminal malpractice) dan malpraktek
administratif (administrative malpractice).
1) Malpraktek Perdata (Civil Malpractice)
Malpraktek perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak terpenuhinya isi
perjanjian (wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh tenaga kesehatan, atau terjadinya
perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad), sehingga menimbulkan kerugian kepada
pasien.
Dalam malpraktek perdata yang dijadikan ukuran dalam melpraktek yang disebabkan oleh
kelalaian adalah kelalaian yang bersifat ringan (culpa levis). Karena apabila yang terjadi
adalah kelalaian berat (culpa lata) maka seharusnya perbuatan tersebut termasuk dalam
malpraktek pidana.
2) Malpraktek Pidana
Malpraktek pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat tenaga
kesehatan kurang hati-hati. Atau kurang cermat dalam melakukan upaya perawatan terhadap
pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut.
Malpraktek pidana ada tiga bentuk yaitu:

a. Malpraktek pidana karena kesengajaan(intensional), misalnya pada kasus aborsi tanpa insikasi
medis, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal diketahui bahwa tidak ada
orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat keterangan yang tidak benar.
b. Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness), misalnya melakukan tindakan yang
tidak lege artis atau tidak sesuai dengan standar profesi serta melakukan tindakan tanpa
disertai persetujuan tindakan medis.
c. Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence), misalnya terjadi cacat atau kematian pada
pasien sebagai akibat tindakan tenaga kesehatan yang kurang hati-hati.
3) Malpraktek Administratif
Malpraktek administrastif terjadi apabila tenaga kesehatan melakukan pelanggaran terhadap
hukum administrasi negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek tanpa izin praktek,
melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan lisensi atau izinnya, menjalankan praktek
dengan izin yang sudah kadaluarsa, dan menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik.
2.3 Teori-Teori Malpraktek
Ada tiga teori yang menyebutkan sumber dari perbuatan malpraktek yaitu:
a. Teori Pelanggaran Kontrak
Teori pertama yang mengatakan bahwa sumber perbuatan malpraktek adalah karena
terjadinya pelanggaran kontrak. Ini berprinsip bahwa secara hukum seorang tenaga kesehatan
tidak mempunyai kewajiban merawat seseorang bilamana diantara keduanya tidak terdapat
suatu hubungan kontrak antara tenaga kesehatan dengan pasien. Hubungan antara tenaga
kesehatan dengan pasien baru terjadi apabila telah terjadi kontrak diantara kedua belah pihak
tersebut.
Sehubungan dengan adanya hubungan kontrak pasien dengan tenaga kesehatan ini, tidak
berarti bahwa hubungan tenaga kesehatan dengan pasien itu selalu terjadi dengan adanya
kesepakatan bersama. Dalam keadaan penderita tidak sadar diri ataupun keadaan gawat
darurat misalnya, seorang penderita tidak mungkin memberikan persetujuannya.
Apabila terjadi situasi yang demikian ini, maka persetujuan atau kontrak tenaga kesehatan
pasien dapat diminta dari pihak ketiga, yaitu keluarga penderita yang bertindak atas nama dan
mewakili kepentingan penderita. Apabila hal ini juga tidak mungkin, misalnya dikarenakan
penderita gawat darurat tersebut datang tanpa keluarga dan hanya diantar oleh orang lain yang
kebetulan telah menolongnya, maka demi kepentingan penderita, menurut perundangundangan yang berlaku, seorang tenaga kesehatan diwajibkan memberikan pertolongan

dengan sebaik-baiknya. Tindakan ini, secara hukum telah dianggap sebagai perwujudan
kontrak tenaga kesehatan-pasien.
b. Teori Perbuatan Yang Disengaja
Teori kedua yang dapat digunakan oleh pasien sebagai dasar untuk menggugat tenaga
kesehatan karena perbuatan malpraktek adalah kesalahan yang dibuat dengan sengaja
(intentional tort), yang mengakibatkan seseorang secara fisik mengalami cedera (asssult and
battery).
c. Teori Kelalaian
ketiga menyebutkan bahwa sumber perbuatan malpraktek adalah kelalaian (negligence).
Kelalaian yang menyebabkan sumber perbuatan yang dikategorikan dalam malpraktek ini
harus dapat dibuktikan adanya, selain itu kelalaian yang dimaksud harus termasuk dalam
kategori kelalaian yang berat (culpa lata). Untuk membuktikan hal yang demikian ini tentu
saja bukan merupakan tugas yang mudah bagi aparat penegak hukum.
2.4 Aspek Hukum Malpraktek
2.4.1. Pengaturan Aspek Hukum Perdata Malpraktek Medis
Dua kemungkinan yang dapat dipakai untuk dijadikan sebagai dasar yuridis gugatan
malpraktek medis yaitu:
a. Gugatan berdasarkan adanya wanprestasi terhadap suatu kontrak;
b. Gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad).
Apabila gugatan berdasarkan wanprestasi, diberlakukan ketentuan Pasal 1329 KUHP perdata
yang berbunyi:
Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu atau, untuk tidak berbuat sesuatu, apakah si berhutang
tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan
pergantian biaya, rugi dan bunga.
Hukum mensyaratkan setiap gugatan yang berdasarkan wanprestasi adalah adanya
perjanjian terapeutik yang dilanggar.Perjanjiannya meliputi perjanjian tertulis maupun tidak
tertulis.Menurut hukum yang berlaku asal syarat-syarat sahnya perjanjian dipenuhi maka perjanjian
tersebut sudah berlaku dan mempunyai konsekuensi yuridis. Syarat sahnya perjanjian tersebut,
terdapat dalam Pasal 1320 KUHP perdata, yaitu jika memenuhi unsur-usur: kesepakatan kedua belah

pihak, kecakapan berbuat, suatu hal tertentu, kausa yang diperbolehkan. (Salim H.S, 2003:33).
Gugatan yang didasari atas perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang
berbunyi:
Tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang
yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut
Salah satu unsur dari perbuatan melawan hukum adalah dokter yang melakukan malpraktek
medis haruslah benar-benar melanggar hukum, artinya dokter melanggar hukum dengan
kesengajaan atau kurang hati-hati, misal; salah memberikan obat atau tidak memberikan informed
consent.
Tuntutan Perdata harus memenuhi 5 (lima) unsur yaitu:.
1. Adanya suatu kontrak antara penggugat dan tergugat;
2. Salah atau pelaksanaan buruk dari kewajiban oleh penggugat;
3. Kegagalan tergugat untuk mempergunakan standar yang lazim dipakai;
4. Penggugat menderita kerugian karenanya; dan
5. Tindakan atau sikap tergugat menyebabkan timbulnya kerugian yang diderita penggugat. (Achmad
Biben, 1994: 31 dalam Agus Irianto, 2006:40)

2.4.2. Pengaturan Aspek Hukum Pidana Malpraktek Medis


Suatu perbuatan merupakan perbuatan pidana apabila memenuhi unsur-unsur yang telah
ditentukan secara limitatif dalam perundang- undangan pidana.Dalam hukum pidana maka
kesalahan dapat disebabkan karena kesengajaan atau karena kelalaian (culpa).
Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran mengenai
perbuatan yang dapat dipidana antara lain:
1. Melakukan praktek kedokteran tanpa memiliki Surat Tanda Register (Pasal 75 ayat (1));
2. Melakukan praktek kedokteran tanpa memiliki Surat Ijin Praktek (Pasal 76);
3. Menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat
seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi (Pasal 77);
4. Menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang

menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi (Pasal 78);
5. Tidak memasang papan nama (Pasal 79 huruf a);
6. Tidak membuat rekam medis (Pasal 79 huruf b);
7. Tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan Pasal 51 (Pasl 79 huruf c), dan;
8. Korporasi atau perseorangan yang mempekerjakan dokter atau dokter gigi tanpa tidak memiliki
surat tanda registrasi dan ijin praktek (Pasal 80).
Ketentuan perbuatan yang dapat dipidana diatur juga dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan antara lain:
1. Melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan (Pasal 80
ayat 1);
2. Melakukan perbuatan dengan tujuan komersial dalam pelaksanaan transplantasi organ tubuh atau
jaringan tubuh atau transfusi darah (Pasal 80 ayat 3);
3. Tanpa keahlian dan kewengangan melakukan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh (pasal 81
ayat 1 huruf a);
4. Tanpa keahlian dan kewenangan melakukan implan alat kesehatan (Pasal 81 ayat 1 huruf b);
5. Tanpa keahlian dan kewenangan melakukan bedah plastik dan rekontruksi (pasal 81 huruf c);
6. Mengambil organ dari seorang donor tanpa memperhatikan kesehatan donor atau tanpa persetujuan
donor dan ahli waris dan keluarganya (Pasal 82 ayat 2 huruf c);
7. Tanpa keahlian atau kewenangan untuk melakukan pengobatan dan perawatan (pasal 82 ayat 1
huruf a);
8. Tanpa keahlian dan kewenangan melakukan transfusi darah (Pasal 62 ayat 1 huruf b);
9. Tanpa keahlian dan kewenangan melakukan implan obat (Pasal 82 ayat 1 huruf c);
10. Tanpa keahlian dan kewenangan melakukan bedah mayat (Pasal 82 ayat 1 huruf e);
11.Melakukan upaya kehamilan di luar cara lain yang tidak sesuai ketentuan (Pasal 82 ayat 2 huruf a);
12. Menyelenggarakan sarana kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan (Pasal 84 point 5).

Pengaturan yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang terkait
malpraktek medis antara lain:

1. Menipu pasien (pasal 378);


2. Membuat surat keterangan palsu (Pasal 263, 267);
3. Abortus Provokatus Kriminalis (Pasal 299, 348, 349, 350);
4. Melakukan kealpaan (culpa) yang mengakibatkan kematian atau luka (Pasal 359, 360, 361);
5. Melakukan pelanggaran kesopanan (Pasal 290 ayat (1), 294 ayat (2), pasal 285 dan Pasal 286);
6. Membocorkan rahasia pasien dengan pengaduan pasien (Pasal 322);
7. Tidak memberikan pertolongan atau bantuan (Pasal 351);
8. Memberikan atau membuat obat palsu (Pasal 386);
9. Euthanasia (Pasal 344).

2.4.3. Pengaturan Aspek Hukum Administrasi Malpraktek Medis


Hukum Administrasi memandang seorang dokter melakukan pelanggaran bila:
a. Melakukan praktek kedokteran tanpa ijin yang sah dan masih berlaku
b. Melanggar wajib simpan rahasia kedokteran yang tidak dapat dikenakan.
Kelalaian/kealpaan dalam arti luas dalam melakukan tindakan profesi medis antara lain: (Agus
Irianto, 2006:41-43)
1. Keahlian tidak merujuk
Apabila dokter mengetahui seharusnya kondisi atau kasus pasien itu berada di luar kemampuannya
dan dengan merujuknya kepada dokter spesialis akan dapat menolongnya maka ia wajib
melakukannya. Hal ini sesuai Kode Etik Kedokteran Indonesia dalam Pasal 11 yang berbunyi:
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan ketrampilannya
untuk kepentingan penderita. Dalam hal ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau
pengobatan maka ia wajib merujuk penderita kepada dokter lain yang mempunyai keahlian penyakit
tersebut Seorang dokter dianggap telah melakukan wanprestasi dimana lalai merujuk kepada dokter
spesialis apabila ia mengetahui bahwa kasus tersebut diluar jangkauan kemampuannya, bahwa ilmu
pengetahuan yang dimilikinya tidak cukup untuk dapat memberikan pertolongan kepada pasien dan
seorang spesialis akan dapat melakukannya.
2. Lalai tidak konsultasi dengan dokter terlebih dahulu

Terkadang pasien sudah pernah mendapat pengobatan dari seorang dokter atau beberapa dokter,
maka dokter berikutnya dianjurkan untuk mengadakan konsultasi kepada dokter-dokter terdahulu
guna mencegah salah penerapan pengobatan berikutnya.
3. Lalai Tidak Merujuk Pasien Ke Rumah Sakit dengan Peralatan/Tenaga yang Terlatih Seorang dokter
bukan saja harus sadar akan ilmu pengetahuannya secara pribadi dan keterbatasannya, tetapi juga
akan peralatan yang sesuai dalam mengobati pasien. Dalam praktik kedokteran memerlukan
instrumen khusus dan prosedur yang tidak dipunyainya. Dalam keadaan ini dokter dituntut untuk
merujuk ke rumah sakit yang
4. Tidak Mendeteksi adanya Infeksi
Kegagalan dokter untuk mendeteksi bahwa pasien menderita semacam infeksi tidaklah berarti
kelalaian.Apabila tidak ditemukan infeksi tersebut disebabkan karena keadaan yang tidak
memungkinkan untuk melakukan pemeriksaan yang singkat, maka tanpa adanya justifikasi yang
dapat diterima dapat dipersalahkan karena kurang ketelitian.
5. Lalai karena kurang pengalaman
Kurangnya pengalaman tidak dapat dipakai sebagai pemaaf kelalaian, karena adanya standar profesi
yang harus dilakukan dokter dalam merawat/mengobati pasien. Bentuk pelanggaran lain yang dapat
dikategorikan sebagai kesalahan dokter yaitu penelantaran, tindakan dokter dengan tanpa
memberikan kesempatan kepada pasien untuk mencari dokter lain sehingga menyebabkan pasien
menderita cedera atau meninggal dunia. Hal ini dapat dikenakan Pasal 304 KUHP, yang
menyatakan: Barang siapa yang dengan sengaja terhadap siapapun ia berkewajiban untuk
memelihara, merawat atau mengurusnya berdasarkan peraturan yang berlaku padanya atau
berdasarkan perjanjian, menyebabkan orang tersebut dalam keadaan tidak berbahaya, dihukum
penjara selama-lamanya dua tahu delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-
Tindakan yang dapat dikategorikan sebagai penelantaran antara lain:
1. Penolakan dokter untuk mengobati sesudah ia memeriksa pasien;
2. Menolak untuk memegang suatu kasus dan ia sudah menerima tanggungjawab;
3. Tidak memberikan perhatian;
4. Tidak menyediakan dokter pengganti pada waktu dokter tidak ada atau tidak dapat dihubungi.

2.5 Alur Penanganan Malpraktek Medis dan Sistem Perundang-undangan yang Mengatur
2.5.1

Penanganan melalui MKDKI

Mahkamah Agung melalui Surat Edarannya (SEMA) tahun 1982 telah memberikan arahan
kepada para Hakim, bahwa penanganan terhadap kasus dokter atau tenaga kesehatan lainnya yang
diduga melakukan kelalaian atau kesalahan dalam melakukan tindakan atau pelayanan medis agar
jangan langsung diproses melalui jalur hukum, tetapi dimintakan dulu pendapat dari Majelis
Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK).

Saat ini MKEK fungsinya digantikan oleh Majelis

Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) suatu lembaga independen yang berada
dibawah Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Prosedur Penyelesaian Kasus Sengketa Medis Melalui
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia sesuai dengan UU No. 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran dalam pasal 64 ayat (a) mengatur salah satu kewenangan MKDKI yaitu menerima
pengaduan memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin Dokter dan Dokter Gigi yang
diajukan. Dalam hal pengaduan diatur dalam pasal 66 ayat (1) menyatakan bahwa yang dapat
mengadukan ke MKDKI adalah setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas
tindakan Dokter atau Dokter Gigi dalam menjalankan praktik kedokteran. Dalam hal pengaduan
dinyatakan pasal 66 ayat (2) dinyatakan harus memuat identitas pengadu, nama dan alamat tempat
praktik Dokter dan Dokter Gigi dan waktu tindakan dilakukan serta alasan pengaduan serta ayat (3)
menyatakan pengaduan kepada MKDKI tidak menghilangkan hak untuk melaporkan adanya dugaan
tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.
Dalam penyelesaian sengketa medik melalui MKDKI tidak ada prosedur untuk diselesaikan
dengan cara mediasi, rekonsiliasi maupun negosiasi antara Dokter dan Dokter Gigi dengan pasien dan
atau kuasanya (pasal 11 ayat 2), dan MKDKI tidak berwenang untuk memutuskan ganti rugi kepada
pasien (pasal 12).
Berdasarkan peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 16/KKI/Per/VIII/2006 dalam
pasal 8 menyatakan Majelis Pemeriksa Disiplin ditetapkan MKDKI dapat berjumlah tiga atau lima

orang, salah satunya adalah sarjana hukum yang tidak berasal dari tenaga medis. Proses pemeriksaan
oleh Majelis Pemeriksa Disiplin adalah 14 hari atau jika Dokter dan Dokter Gigi alamatnya jauh,
maka dapat ditetapkan 28 hari sejak tanggal penetapan sebagaimana yang dinyatakan pasal 9. Adapun
tuntutan ganti rugi pasien bukan kewenangan MKDKI berdasarkan pasal 12. Dalam pemeriksaan
Dokter dan Dokter Gigi yang diadukan dapat didampingi pendamping (pasal 14 ayat 1), selanjutnya
jika yang bersangkutan dua kali dipanggil berturut turut tetapi tidak hadir, maka Ketua Pemeriksa
Disiplin dapat meminta bantuan Kepala Dinas atau Ketua Organisasi Profesi (pasal 14 ayat 2).
Bukti-bukti yang akan diperiksa antara lain surat-surat/dokumen tertulis, keterangan saksi,
pengakuan teradu, keterangan ahli dan barang bukti (pasal 19). Bukti surat/dokumen tertulis yang
berkaitan dengan tindakan medis harus dibuktikan dalam persidangan Majelis Pemeriksa Disiplin
(pasal 20). Bilamana keterangan saksi yang dipanggil, setelah tigakali berturut-turut tidak hadir tanpa
alasan yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan, maka Majelis Pemeriksa Disiplin dapat minta
bantuan kepada Dinas Kesehatan setempat, ketua organisasi profesi maupun ketua kolegium (pasal
21 ayat 1). Bahwa tidak setiap orang dapat menjadi saksi, antara lain keluarga sedarah atau semenda
menurut garis keturunan lurus ke atas atau kebawah sampai derajat ke dua dari Dokter atau Dokter
Gigi yang diadukan, istri atau suami Dokter atau Dokter Gigi yang diadukan, meskipun telah bercerai,
orang yang belum dewasa maupun orang dibawah pengampuan (pasal 20 ayat 2). Sedangkan
keterangan saksi tersebut, wajib didengar, dilihat dan dialami sendiri (pasal 20 ayat 3). Saksi tersebut
harus disumpah dan didengar janjinya dalam sidang Majelis Pemeriksa Disiplin (pasal 24 ayat 1).
Pasal 27 ayat (1) menyatakan keputusan Majelis Pemeriksa Disiplin adalah keputusan MKDKI atau
MKDKI provinsi yang mengikat Konsil Kedokteran Indonesia, Dokter atau Dokter Gigi terkait,
pengadu, Depertemen Kesehatan, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota serta instansi terkait, sedangkan
dalam ayat (2) dinyatakan putusan tersebut dapat berbunyi tidak terbukti bersalah melakukan
pelanggaran disiplin kedokteran atau bersalah sehingga diberikan sanksi disiplin. Pemberian sanksi
disiplin antara lain peringatan secara tertulis, rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau
Surat Izin Praktik serta kewajiban melakukan pendidikan atau pelatihan di institusi kedokteran atau
kedokteran gigi dalam pasal 28, yang putusannya tersebut terbuka untuk umum dan bersifat final
dalam pasal 30. Dalam putusan tersebut jika Dokter atau Dokter Gigi tidak puas, dapat melakukan

upaya keberatan kepada Ketua MKDKI atau Ketua MKDKI Propinsi dalam tenggat waktu tiga puluh
hari, selanjutnya diadakan sidang peninjauan kembali terhadap putusan yang terbuka untuk umum
sebagaimana dinyatakan pasal 31.
Dalam pelaksanaan putusan, Majelis Pemeriksa Disiplin menyampaikan kepada Ketua
MKDKI atau Ketua MKDKI Propinsi dalam waktu empat belas hari, selanjutnya Ketua MKDKI atau
Ketua MKDKI Propinsi menyampaikan kepada pihak-pihak terkait (pasal 33). Apabila putusannya
tersebut bersalah, maka disampaikan oleh Sekretariat MKDKI kepada Dokter atau Dokter Gigi yang
bersangkutan (pasal 34), dan jika pengaduan kepada Ketua MKDKI atau Ketua MKDKI Propinsi
ditolak karena merupakan pelanggaran etika, maka diteruskan pengaduannya kepada organisasi
profesi

yang

bersangkutan

(pasal

35).

Berdasarkan pedoman organisasi dan tatalaksana kerja MKEK IDI mengatur, jika belum
terbentuk MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) dan MKDKI-P (Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia Propinsi), maka sengketa medik tersebut dapat diperiksa
di MKEK IDI pada masing-masing propinsi di Indonesia. Sebagaimana termuat dalam kata pengantar
pedoman organisasi dan tata laksana kerja MKEK IDI yang menerangkan MKEK saat itu bahkan
hingga kini dibanyak propinsi, merupakan satu-satunya lembaga penegak etika kedokteran sejak
berdirinya IDI. MKEK dalam peran kesejarahannya mengemban juga sebagai lembaga penegak
disiplin kedokteran yang sebelumnya kini dipegang oleh MKDKI. Termasuk dalam masa transisi
ketika MKDKI Propinsi belum terbentuk.
2.5.2. Prosedur melalui pidana ke kepolisian atau penyidik
Berdasarkan pasal 66 ayat 3 (tiga) UU. No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran yang
menyatakan: pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (satu) dan 2 (dua) tidak menghilangkan
hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang
dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan. Berdasarkan ketentuan pasal 6 ayat 1 (satu)
KUHAP, salah satu instansi yang diberi kewenangan melakukan penyidikan ialah pejabat polisi

negara. Memang dari segi referensi fungsional, KUHAP telah meletakkan tanggung jawab fungsi
penyidikan kepada instansi kepolisian.
Adapun kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan adalah penyidik,
yaitu pejabat POLRI atau pejabat negeri tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undangundang. Sedangkan penyidikan berarti serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat penyidik sesuai
dengan cara yang diatur oleh Undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti guna
menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya.
2.5.3. Prosedur melalui pidana ke peradilan umum
Perbuatan pidana atau tindak pidana atau delik (strafbaarfeit, crime, offence) agak mirip
dengan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatigedaad, a tort) dalam hukum perdata. Sehingga
terkadang agak sulit membedakan keduanya, karena keduanya adalah suatu perbuatan yang salah
(wrong), dan keduanya merupakan pelanggaran terhadap larangan hukum (commission), terhadap
kewajiban hukum (ommision), atau terhadap aturan hukum (rule). Hanya saja apabila perbuatan
tersebut berakibat pidana, maka pelakunya dapat dituntut secara pidana dan dijatuhi hukuman pidana
jika terbukti bersalah.
Dalam sistem hukum Indonesia dikenal berlakunya suatu asas, yaitu asas legalitas tiada
pidana tanpa kesalahan. Asas itu dianut oleh KUHP Indonesia dan juga negara-negara lain. Asas
tersebut mengandung arti, bahwa suatu perbuatan merupakan suatu perbuatan pidana atau tindak
pidana atau perbuatan melanggar hukum pidana, hanyalah apabila suatu ketentuan pidana yang telah
menentukan bahwa perbuatan tersebut merupakan suatu perbuatan pidana. Hal ini tercantum pada
pasal 1 ayat (1) KUHP yang bunyinya adalah sebagai berikut Tiada suatu perbuatan dapat dipidana
kecuali berdasarkan aturan pidana dalam perundang-undangan yang sebelum perbuatan itu dilakukan
telah ada.
Berkaitan dengan penegakan hukum terhadap kasus-kasus malpraktik, mengingatkan kita
untuk perlu kehati-hatian dalam menentukan suatu tindakan medis sebagai sebuah malpraktik, atau
hanya pelanggaran kode etik atau pelanggaran hukum. Oleh karena itu peradilan kasus-kasus

malpraktik yang dilakukan secara gegabah sangat merugikan dan salah-salah dapat mengganggu
program pembangunan yang melibatkan banyak profesional.
Dalam kasus medikal malpraktik, khususnya yang dilakukan oleh Dokter atau Dokter Gigi,
maka terhadap para dokter tersebut dapat dikenakan tuntutan pidana berdasarkan beberapa peraturan
perundang-undangan yang berlaku (hukum positif). Baik pada perundangundangan yang bersifat
umum (lexgeneralis) yaitu KUHP, maupun yang terdapat pada perundang-undangan yang bersifat
khusus (lex spesialis) seperti dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan
UndangUndang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.

BAB III
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Agus Irianto, Analisis Yuridis Kebijakan Pertanggungjawaban Dokter Dalam Malpraktik.
2006. Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
J. Guswandi. Dugaan Malpraktek Medis dan Draft RPP Perjanjian Terapetik Antara Dokter
dan Pasien. 2006. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Kayus Koyowuan Lewloba. Malpraktek Dalam Pelayanan Kesehatan (Malpraktek Medis).


Bina Widya. Vol. 19, No 3.

2008. http://jurnal.pdii.go.id/index.php/Search.html?

act=tampil&id=53789&idc=21 [14 Novemver 2015 pukul 13.00].


Mankey MD, Perlindungan hukum terhadap dokter dalam memberikan pelayanan medis. Lex
et Societatis, Vol. II/No. 8/Sep-Nov/2014.
Sarijowan F, Mekanisme penyelesaian hukum korban malpraktik pelayanan medis oleh

dokter. Lex et Societatis, Vol. III/No. 9/Okt/2015.

Anda mungkin juga menyukai