Oleh :
DWI YUDIANTO
K 6410020
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Rumusan Masalah
Di dalam makalah ini, terdapat beberapa hal yang akan dibahas untuk kelengkapan
suatu tulisan yang dibuat oleh penulis.
1.
2.
3.
C.
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah demi mendapatkan suatu ilmu yang
berharga untuk pengalaman dari contoh kasus-kasus yang terjadi di masyarakat.
Dengan makalah ini lah penulis bisa lebih mengerti akan suatu hal yang terjadi
dalam masyarakat sekarang ini yaitu mengenai sengketa tanah dengan pihak
pemerintah atau lembaga negara. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi, maupun
langkah hukum yang dilakukan akan dibahas di makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
Hukum air (hukum pengairan), yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak
penguasaan atas air,
Hukum kehutanan, yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan
atas hutan dan hasil hutan,
Hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa, yaitu
bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur
dalam ruang angkasa.[5]
2.
3.
4.
Kurangnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat atas tanah (hak
ulayat);
5.
Lemahnya posisi tawar masyarakat pemegang hak atas tanah dalam
pembebasan tanah.[7]
Mengenai konflik pertanahan adalah merupakan bentuk ekstrim dan keras dari
persaingan. Secara makro sumber konflik besifat struktural misalnya beragam
kesenjangan. Secara mikro sumber konflik/sengketa dapat timbul karena adanya
perbedaan/benturan nilai (kultural), perbedaan tafsir mengenai informasi, data atau
gambaran obyektif kondisi pertanahan setempat (teknis), atau perbedaan/benturan
kepentingan ekonomi yang terlihat pada kesenjangan struktur pemilikan dan
penguasaan tanah. Masalah tanah dilihat dari segi yuridis merupakan hal yang tidak
sederhana pemecahannya. Timbulnya sengketa hukum tentang tanah adalah
bermula dari pengaduan satu pihak (orang/badan) yang berisi tentang keberatankeberatan dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap status tanah ataupun prioritas
kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara
administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
Menurut Maria S.W. Sumardjono secara garis besar peta permasalahan tanah
dikelompokkan yaitu :
1.
Masalah penggarapan rakyat atas tanah areal perkebunan, kehutanan, proyek
perumahan yang ditelantarkan dan lain-lain.
2.
3.
4.
5.
Melihat penjelasan di atas, maka alasan sebenarnya yang menjadi tujuan akhir dari
sengketa bahwa ada pihak yang lebih berhak dari yang lain atas tanah yang
disengketakan oleh karena itu penyelesaian sengketa hukum terhadap sengketa
tanah tersebut tergantung dari sifat permasalahannya yang diajukan dan prosesnya
akan memerlukan beberapa tahap tertentu sebelum diperoleh sesuatu keputusan.
Tanah mempunyai posisi yang strategis dalam kehidupan masyarakat Indonesia
yang bersifat agraris. Sedemikian istimewanya tanah dalam kehidupan masyarakat
Indonesia telihat dan tercermin dalam sikap bangsa Indonesia sendiri yang juga
memberikan penghormatan kepada kata tanah, dengan penyebutan istilah seperti
Tanah air, Tanah tumpah darah, Tanah pusaka dan sebagainya. Bahkan dalam UUPA
juga dinyatakan adanya hubungan abadi antara bangsa Indonesia dengan tanah
(Pasal 1 ayat (3) UUPA).
Tanah tidak hanya sebagai tempat berdiam, juga tempat bertani, lalu lintas,
perjajian, dan pada akhirnya tempat manusia dikubur. Akan tetapi, selama kurun
waktu 52 tahun usia Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960,
masalah tanah bagi manusia tidak ada habis-habisnya. Konflik pertanahan ini
ditimbulkan karena laju penduduk yang sangat signifikan. Berdasarkan laju
penduduk tersebut, maka menyebabkan kebutuhan penduduk akan tanah seperti
Yang pertaman yaitu konflik pertanahan yang terjadi akhir-akhir ini, terutama dalam
13 tahun terakhir sejak reformasi bergulir, cukup banyak yang melibatkan warga
dan TNI. Salah satu persoalan sengketa tanah antara warga dan anggota TNI
tersebut yaitu terjadi antara warga Desa Harjokuncaran dengan Pusat Koperasi
Angkatan Darat KODAM V Brawijaya terhadap lahan di Desa Harjokuncaran,
Kecamatan Sumber Majing, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Sejauh pemberitaan di
media sampai saat ini belum mencapai titik penyelesaian. Warga mengklaim lahan
tersebut milik warga setempat, sementara TNI menyatakan milik negara. Akibat
peristiwa tersebut, sebanyak 8 warga menjadi korban, sementara 5 personel TNI AD
mengalami luka di kepala.
Sengketa warga Harjokuncaran dengan TNI sudah berlangsung sekitar 34 tahun.
Konflik itu juga sudah memakan korban berkali-kali. Lahan yang menjadi sengketa
tersebut awalnya bekas perkebunan karet C.O. Telogorejo milik Belanda. Begitu
Belanda hengkang dari Indonesia, para petani menggarap lahan seluas sekitar
1.118 hektare itu. Pada 1964-1973, tanah yang digarap warga dan masuk wilayah
Harjokuncaran dijadikan obyek land reform. Harjokuncaran resmi menjadi desa
definitif pada 1974 lewat surat keputusan Gubernur Jawa Timur. Wilayahnya
dinyatakan seluas 650 hektare yang diambil dari tanah perkebunan.
Persoalan terjadi saat Kodam Brawijaya mengklaim tanah yang selama ini digarap
dan dihuni warga itu sebagai milik mereka. Dasar hukumnya Surat Keputusan
Menteri Pertanian 2 Juni 1973, yang menyerahkan perkebunan Telogorejo kepada
mereka. Menurut juru bicara Kodam, Letnan Kolonel Totok Sugiharto, Kodam juga
sudah membayar uang ganti rugi ke negara untuk pengambilalihan tanah tersebut.
akan tetapi warga menolak klaim tersebut. Mereka menunjuk dasar kepemilikan
Kodam cacat hukum. Menurut Fathurozi, warga Harjokuncaran-lah pemilik sah
lahan tersebut. Dia menunjuk Surat Keputusan Direktorat Jenderal Agraria 1
Desember 1981, yang menyatakan tanah sengketa itu obyekland reform dengan
verponding (tanda hak milik zaman Belanda) yang seharusnya diberikan kepada
warga di Desa Harjokuncaran. Desa ini memiliki empat dusun: Banaran, Wonosari,
Margomulyo, dan Mulyosari.
Sementara itu, TNI yang merupakan lembaga pemerintah di bawah Departemen
Pertahanan yang bertugas sebagai alat utama sistem pertahanan negara dalam
melaksanakan tugasnya TNI memerlukan sumber daya alam. Yang dimaksud
sumber daya alam dalam hal ini adalah potensi yang terkandung dalam bumi, air,
dan dirgantara yang dapat digunakan untuk kepentingan pertahanan negara. Salah
satu sumber daya alam yang penting adalah tanah. Tanah merupakan unsur yang
digunakan untuk pembangunan kekuatan pertahanan yang meliputi perkantoran,
tempat latihan, dan tempat beraktivitas bagi kegiatan pertahanan negara.
Sebagaimana tertuang didalam Pasal 1 Undang-Undang No. 3 tahun 2002 tentang
pertahanan negara disebutkan bahwa pertahanan negara mempunyai komponen
utama, komponen cadangan dan komponen pendukung dalam pelaksanaannya.
Komponen utama pertahanan negara adalah Tentara Nasional Indonesia yang siap
digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas pertahanan. Sedangkan komponen
cadangan adalah sumber daya nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan
melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan
komponen utama. Komponen pendukung adalah sumber daya nasional yang dapat
digunakan untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama dan
komponen cadangan. Sedangkan sumber daya nasional adalah sumber daya
manusia, sumber daya alam, dan sumber daya buatan.
Sementara itu, permasalahan yang terjadi diakibatkan oleh belum optimalnya
pelaksanaan administrasi pertanahan di Indonesia serta ketidakpahaman pihak
masyarakat dan pihak TNI mengenai sumber hukum pertanahan yang berlaku di
Indonesia khususnya tentang hak atas tanah. Pihak masyarakat tidak mengetahui
pengaturan penguasaan dan pemanfaatan tanah yang diatur dalam UndangUndang No. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria, atau yang
dikenal dengan istilah UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) sebagai salah satu
hukum pertanahan nasional.
Pada dasarnya baik pihak TNI maupun pihak masyarakat menggunakan satu
sumber peraturan pertanahan yang sama yaitu UUPA, namun pada pelaksanaannya
masih terdapat perbedaan penafsiran atas peraturan tersebut yang mengakibatkan
munculnya konflik tanah yang menimbulkan korban dari kedua belah pihak. Untuk
menghindari konflik pertanahan yang terjadi antara TNI dan masyarakat umum ini,
maka perlu dilaksanakan identifikasi status tanah TNI terlebih dahulu dalam hukum
pertanahan nasional yang mengatur seluruh hak atas tanah TNI. Disamping itu,
untuk memperkuat bukti hukum atas penggunaan tanah TNI tersebut maka TNI
memerlukan suatu bukti hukum hak atas tanah yang digunakannya.[9]
Contoh sengketa yang kedua yaitu sama dengan kasus yang diatas yaitu antara TNI
Angkatan Udara Pangkalanbun, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah dengan
bupati Ujang Iskandar. Memperebutkan tanah seluas 30,2 hektar yang berada di
sekitar tanah milik Lanud Iskandar Pangkalanbun.
Dengan sengketa yang dari pertengahan tahun 2012 setelah bupati ujang diangkat
dan setelah kerusuhan yang terjadi, tanah sengketa ini akan dibangun sebuah
kompleks pertokoan, tetapi ternyata sudah ada yang memiliki lebih dahulu yaitu TNI
dengan akta tanah tahun 1980an serta terdapat beberapa patok tanah yang masih
menancap milik Lanud. Karena keadaan lokasi yang semi hutan, di Kalimantan itu
kebanyakan tanah bentuknya yaitu seperti hutan dan seperti alam liar yang tidak
ada yang mengurusnya.
Karena pemanfaatan yang kurang dari pihak TNI AU, tanah sengketa menjadi
seperti tanah terlantar dan di daftarkan kepada sekertaris PPAT dan mendapat
nomor pendaftaran akta tanah tahun 2005 tanpa melihat secara langsung di lokasi
yang di sengketakan tersebut. Kesalahan pada masalah ini yaitu tentang
pendaftarannya dari pihak pembuat akta tanah yang tidak serta merta mengecek
lahan yang menjadi sengketa ke lapangan secara langsung. Dengan kelalaian
tersebut maka terjadilah pemilik ganda dari tanah tersebut.
Tujuan pendaftaran tanah yaitu untuk menjamin kepastian hukum dan kepastian
hak atas tanah. Dengan diselenggarakannya pendaftaran tanah, maka fihak-fihak
yang bersangkutan dengan mudah dapat mengetahui status atau kedudukan
hukum daripada tanah tertentu yang dihadapinya, letak, luas dan batas-batasnya,
siapa yang empunya dan beban-beban apa yang ada diatas tanahnya.[10]
Dengan begitu maka cara untuk mendaftarkan tanah sudah benar yaitu melalui
notaris didaftarkan melalui kantor pendaftaran tanah setempat tetapi pegawai
pembuat akta tanah tersebut kurang cermat dalam pembuatan serta tidak teliti
dalam mengecek apakah tanah itu sudah ada yang punya atau belum, begitu juga
pihak lanud yang tidak serta merta dengan merawat tanah tersebut dan alasannya
yaitu mereka memiliki tanah yang sangat luas dan belum mampu untuk selalu
merawat tanahnya. Tetapi sering tanah-tanah tersebut dibuat latihan bagi para
prajurit TNI AU yang bertugas.
Dengan alasan yang kuat dari pihak lanud yaitu tanah akan digunakan sebagai
lahan untuk latihan prajurit tentara serta mereka juga melaksanakan tugas negara
sudah ada kewajiban untuk menggunakannya karena merupakan amanah dari
negara untuk memperkuat kesatuan wilayah Indonesia. Akirnya pihak dari TNI
menggugat di pengadilan untuk memperkarakan secara hukum sengketa tanah ini.
Hak atas tanah yang dilekatkan pada tanah-tanah yang dimanfaatkan oleh TNI
adalah hak pakai. Pasal 41 UUPA menerangkan definisi hak pakai, yaitu hak
menggunakan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara
atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban
yangditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan
perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal
tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini.
Hak pakai dapat diberikan selama jangka waktu yang tertentu atau selama
tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu, dengan cuma-cuma,
dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun. Pemberian hak pakai
tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.
Jangka waktu hak pakai ini diterangkan dalam Pasal 43 UUPA, yaitu:
Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai oleh negara maka hak pakai hanya
dapat dialihkan kepada pihak lain dengan ijin pejabat yang berwenang.
Hak pakai atas tanah hak milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain,jika
hal itu dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Negeri. Dalam sengketa tanah antara Sipil dengan TNI maka, di sini jelaslah bahwa
TNI sebagai lembaga atau institusi tidak boleh mempunyai hak milik atas tanah.
Namun sebagai Warga Negara Indonesia, anggota TNI boleh mempunyai hak milik
atas tanah. Sebagai lembaga atau institusi, TNI hanya boleh mempunyai hak pakai
atas tanah sebagai mana diatur dalam Pemanfaatan Tanah oleh TNI. Kemudian
penentuan di setiap keputusan Pengadilan Negeri dalam setiap sengeketa tanah
antara Sipil dengan TNI, sudah seharusnya hakim memperhatikan kepentingan
umum. Alapagi, apabila sengketa tersebut yang melibatkan TNI yang notabene
dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 3 tahun 2002 tentang pertahanan negara
menyebutkan bahwa tanah merupakan komponen utama dalam pertahanan
negara. Pasal ini hendaknya menjadi bahan pertimbangan bagi keputusan hakim.
Hal ini bertujuan agar isi amar putusan hakim tidak merugikan para pihak yang
bersengketa.
Tanah milik negara digunakan demi kepentingan negara, begitu juga dengan kasus
diatas yang merupakan sengketa dengan masyarakat tetapi hukum itu milik negara
dan haruslah kembali pada negara dengan berlandaskan untuk kepentingan umum
dan untuk kepentingan negara.
B.
Saran
Dari kasus-kasus yang telah di kemukakan di atas, maka dapat disarankan bahwa
semua hukum yang ada pada negara ini, telah dimasuki kepentingan negara dalam
rangka mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara. Jadi hukum tersebut bisa
dikatakan sebagai salah satu cara yang dilakukan pemerintah untuk mencapai citacita bangsa dan tujuan negara Indonesia yang sudah tertera pada Pembukaan
Undang-undang Dasar 1945. Salah satunya yaitu mensejahterakan rakyat.
Menjadi warga negara yang baik harus tahu akan hukum serta tidak hanya tahu,
juga haruslah melaksanakan hukum tersebut. Untuk menjadi warga negara
Indonesia yang baik (good citizen), maka harus taat dan mengerti akan hukum. Hal
itulah yang ditujukan untuk penulisan makalah ini tentang penanaman kesadaran
hukum haruslah ditingkatkan di Indonesia agar tidak terjadi konflik-konflik dari yang
ditimbulkan oleh penyelewengan hukum, atau pelanggaran hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Adrian, Sutedi, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, Jakarta: Penerbit
Sinar Grafika, 2009
H. Ali, Achmad C., Hukum Agraria(pertanahan Indonesia) jilid 1, Jakarta: Prestasi
Pustaka, 2004
Boedi, Harsono, Hukum Agaria Indonesia; Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria,isi dan pelaksanaannya, Jakarta: penerbit Djambatan, 2005
C.S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 1986
Efendi, Perangin, Hukum Agraria di Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada;
1994
Mahfud ,Moh. MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2012
Maria, Rita R., Sesat Pikir (Politik Hukum Agraria), Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2000
Maria, SW Sumardjono, Mediasi Sengketa Tanah, Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2009
Soedigdo, Hardjosudarmo, Masalah Tanah di Indonesia, Jakarta: Penerbit
Bhratara, 1970
Urip, Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah, Jakarta: Prenada Media,
2005
Kontributor malang, Yatimul Ainun, Warga dan TNI ngotot tempuh jalur hukum,
KOMPAS.com, 6 Juli 2012
[1] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2012, hal. 2
[2] C.S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka,1986 hal. 34
[3] Boedi Harsono, Hukum Agaria Indonesia; Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria,isi dan pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan,2005 hal.5
[4] H. Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria(pertanahan Indonesia) jilid 1, Jakarta:
Prestasi Pustaka, 2004 hal.4-5
[5] Ibid, hal.4.
[6] Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah, Jakarta: Prenada Media,
2005, hal 23
[7] Adrian Sutedi, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, Jakarta: Penerbit
Sinar Grafika, 2009, hal 35
[8] Maria SW sumardjono, Mediasi Sengketa Tanah, Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2009,hal 18
[9] Kontributor malang, Yatimul Ainun,Warga dan TNI ngotot tempuh jalur hukum,
KOMPAS.com, 6 Juli 2012
[10] Efendi Perangin, Hukum Agraria di Indonesia, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,
1994, hal. 95
[11] Soedigdo Hardjosudarmo, Masalah Tanah di Indonesia, Jakarta: Penerbit
Bhratara, 1970, hal. 51
[12]Maria Rita Ruwiastuti, Sesat Pikir (Politik Hukum Agraria), Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2000, hal.94-95