Anda di halaman 1dari 25

BAB II

ANATOMI DAN FISIOLOGI


FARING
Faring atau pharynx berasal dari bahasa yunani yang berarti tenggorok. Faring
digunakan sebagai saluran alat pernafasan. Pada manusia faring juga digunakan sebagai alat
artikulasi bunyi(8). Berdasarkan letaknya faring dibagi menjadi Nasofaring, Orofaring dan
laringofaring(7).

Nasofaring
Batas nasofaring bagian atas adalah dasar tengkorak, dibagian bawah adalah palatum
mole, ke depan adalah rongga hidung dan ke belakang adalah vertebra servikal(7).

Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan erta dengan beberapa
struktur penting seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring dengan resesus
faring yang disebut fossa rosenmuler, kantong rathke yang merupakan invaginasi struktur
embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan
kartilago tuba eustachius, koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh n.glossofaringeus,
n.vagus, dan n.asesorius spinal saraf kranial dan v.jugularis interna, bagian petrosus os
temporalis dan foramen laserum dan muara tuba eustachius(7).

Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring. Batas atasnya adalah palatum mole, batas
bawahnya adalah tepi atas epiglotis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke belakang
adalah vertebrae servikalis.
Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil
palatina, fosa tonsil, serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan
foramen sekum(7).

Laringofaring
Laringofaring atau hipofaring adalah bagian caudal dari faring, merupakan bagian
tenggorokan yang berhubungan dengan kerongkongan atau esofagus. Laringofaring terletak
dibawah epiglotis dan memanjang sampai pada perbatasan antara saluran nafas dan saluran
makanan. Seperti orofaring, laringofaring berfungsi sebagai jalan untuk makanan dan udara.
Laringofaring memiliki lapisan epitel berlapis skuamosa, dan dipersarafi oleh pleksus
faring(8).
Pada pemeriksaan laringoskopi indirek, maka pada struktur laringofaring akan
didapatkan yang pertama adalah valekula. Bagian ini merupakan dua buah cekungan yang
dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan lateral pada tiap sisi. Valekula disebut
juga pills pocket.

Dibawah valekula terdapat epiglotis, pada perkembangannya, epiglotis ini akan


tumbuh menjadi lebar dan tipis, sehingga pada pemeriksaan tidak langsung tampak menutupi
pita suara. Epiglotis berfungsi untuk melindungi glotis ketika menelan, saat makanan atau
minuman yang ditelan menuju ke sinus prirformis dan ke esofagus(7).

Fungsi Faring
Fungsi faring yang utama adalah untuk respirasi, pada waktu menelan, resonansi
suara dan artikulasi(7).

Fungsi menelan(7)
Terdapat tiga fase dalam menelan yaitu fase oral, fase faringeal, dan fase esofageal.
Pada fase oral, bolus makanan dari mulut menuju ke faring. Gerakan disini disengaja atau
volunter. Fase faringeal yaitu pada waktu transport bolus makanan melalui faring. Gerakan
disini tidak disengaja, yaitu pada waktu bolus makanan bergerak secara peristaltik di esofagus
menuju lambung atau fase esofageal.

1. Fase Oral
Fase oral terjadi secara sadar. Makanan yang telah dikunyah dan bercampur
dengan yang telah dikunyah membentuk bolus makanan. Bolus ini bergerak dari
rongga mulut melalui dorsum lidah, terletak di tengah lidah akibat kontraksi otot
intrinsik lidah(7).
Kontraksi dari m.levator veli palatini mengakibatkan rongga pada lekukan
dorsum lidah diperluas, palatum mole terangkat dan bagian atas dinding posterior
faring ternagkat pula. Bolus terdorong ke posterior karena lidah terangkat keatas.
Berasamaan dengan ini terjadi penutupannasofaring sebagai akibat dari kontraksi
m.levator veli palatini. Selanjutnya terjadi kontraksi m.palatofaring, sehingga bolus
makanan tidak akan berbalik ke rongga mulut.
4

2. Fase Faringeal
Fase ini terjadi secara refleks pada akhir fase oral, yaitu perpidahan bolus
makanan dari faring ke esofagus.
Faring

dan

laring

bergerak

keatas

oleh

kontraksi

m.stilofaring,

m.salfingofaring, m.tirohioid, dan m.palatofaring. Aditus laring tertutup oleh


epiglotis, sedangkan ketiga sfingter laring, yaitu plika ariepiglotika, plika ventrikularis
dan pika vokalis tertutup karena kontraksi dari m.ariepiglotika dan m.aritenoid
obliquus. Bersamaan dengan ini terjadi juga penghentian udara ke laring karena
refleks yang menghambat pernapasan, sehingga bolus makanan tidak akan sampai
masuk ke dalam saluran nafas. Selanjutnya bolus makanan akan meluncur ke arah
eofagus, karena valekula dan sinus piriformis sudah dalam keadaan lurus(7).
3. Fase Esofageal
Dalam keadaan istirahat introitus esofagus tertutup, namun dengan adanya
rangsangan bolus makanan pada akhir fase faringeal, maka terjadi relaksasi
m.krikofaring, sehingga introitus esofagus terbuka dan bolus makanan bisa masuk(7).
Setelah bolus lewat, maka SEA akan berkontraksi lebih kuat melebihi tonus
introitus esofagus saat istirtahat, sehingga makanan tidak akan kembali ke faring.
Dengan demikian refluks dapat dihindari(7).
Gerak bolus makanan di esofagus bagian atas masih dipengaruhi oleh
kontraksi m.konstriktor faring inferior pada akhir fase faringeal. Selanjutnya bolus
makanan akan didorong ke distal oleh peristaltik esofagus(7).
Dalam keadaan istirahat sfingter esofagus bagian bawah selalu tertutup dengan
tekanan rata2 8 mmHg lebih dri tekanan dalam lambung sehingga tidak akan terjadi
regurgitasi. Pada akhir fase esofageal, SEB ini akan terbuka secara refleks ketika
dimulainya peristaltik esofagus servikal untuk mendorong makanan ke distal.
Selanjutnya setelah bolus makanan lewat, maka sfingter ini akan menutup kembali(7).

ESOFAGUS(9)

Esofagus (dari bahasa Yunani: i, oeso - "membawa", dan , phagus "memakan") atau kerongkongan adalah tabung (tube) berotot pada vertebrata yang dilalui
sewaktu makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam lambung. Makanan berjalan melalui
esofagus dengan menggunakan proses peristaltik.

Esofagus bertemu dengan faring yang menghubungkan esofagus dengan rongga


mulut pada ruas ke-6 tulang belakang. Menurut histologi, esofagus dibagi menjadi tiga
bagian: bagian superior (sebagian besar adalah otot rangka), bagian tengah (campuran otot
rangka dan otot halus), serta bagian inferior (terutama terdiri dari otot halus).
Esofagus merupakan suatu organ berongga dengan panajang sekitar 25 cm dan
diameter 2 cm. Terbentang dari hipofaring atao laringofaring hingga bagian kardia dari
lambung. Esofagus terletak posterior dari trakea dan jantung, anterior terhadap vertebrae.
Esofagus terutama befungsi menghantarkan bahan makanan dari faring ke lambung.
6

Pada Esofagus terdapat beberapa tempat penyempitan yang dapat dilihat pada saat
dilakukan esofagoskopi. Penyempitan di bagian proksimal disebabkan oleh otot krikofaring
dan kartilago krikoid. Diameter transversal 23 milimeter dan antero-posterior 17 milimeter.(3)
Penyempitan kedua adalah pada sebelah kiri setinggi arkus aorta yang mentilang
esofagus. Didaerah ini dapat terlihat pulsasi aorta saat di lakukan esofagoskopi. Penyempitan
ketiga adalah pada dinding anterior kiri yang disebabkan oleh penekanan bronkus kiri. Dan
penyempitan keempat adalah pada saat esofagus menembus diafragma.(3)
Pada kedua ujung esofagus terdapat sfingter. Dalam keadaan normal berada dalam
keadaan tonik atau kontraksi kecuali pada saat menelan. SEB (Sfingter esofagus bawah)
berfungsi sebagai sawar terhadap refluks isi lambung ke esofagus. Dalam keadaan normal
SEB menutup kecuali bila makanan masuk ke dalam lambung atau waktu bersendawa atau
muntah.
Dinding esofagus terdiri dari 4 lapisan, mukosa, submukosa, muskularis dan lapisan
luar. Mukosa esofagus terbentuk dari epitel berlapis gepeng bertingkat yang berlanjut ke
faring, epitel ini mengalami perubahan pada perbatasan esofagus dan lambung dan menjadi
epitel selapis toraks. Mukosa esofagus dalam keadaan normal bersifat alkalis dan tidak tahan
terhadap isi lambung yang asam. Lapisan submukosa mengandung sel sekretorius yang
mengandung mukus. Mukus ini mempermudah jalannya maknan sewaktu menelan dan
melindungi mukosa dai cedera kimia.
Lapisan otot luar tersusun longitudinal dan lapisan dalam tersusun sirkular. Otot pada
5 % bagian atas esofagus merupakan otot rangka sedangkan pada separuh bagian bawahnya
merupakan otot polos. Dan diantaranya campuran otot polos dan otot rangka. Bagian luar
esofagus tidak memiliki lapisan serosa, melainkan terdiri dari lapisan jaringan ikat jarang
yang menghubungkan esofagus dengan struktur yang berdekatan. Tidak adanya serosa
menyebabkan penyebaran sel tumor lebih cepat.
Persyarafan esofagus dilakukan oleh saraf simpatis dan parasimpatis. Serabut simpatis
dibawa oleh n.vagus yang merupakan saraf motorik esofagus. Fungsi serabut simpatis kurang
diketahui. Selain persarafn ekstrinsik tersebut, terdapat serabut saraf intramural intrinsik
diantara lapisan otot sirkular dan otot longitudinal (pleksus auerbach) yang berfungsi sebagai
mengatur peristaltik normal esofagus.
7

Bagian atas esofagus diperdarahi oleh cabang A.tiroidea inferior dan A,subklavia.
Bagian tengah dipendarahai oleh cabang segmental aorta dan A.bronchiale. sedangkan bagian
subdiafragma disuplai oleh A. Gastrica sinistra. Vena esofagus daerah leher mengalirkan
darah ke v.azygos dan hemiazygos dan dibawah diafragma V.esofagika ke dalam V.gastrika
sinistra.

BAB III
PENYAKIT REFLUKS GASTROESOFAGEAL
(GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE)
DEFINISI
Penyakit refuks gastroesofageal adalah suatu keadaan patologis sebagai akibat dari
refluks kandungan lambung ke dalam esophagus, dengan berbagai gejala yang timbul akibat
keterlibatan esofagus, faring, laring dan saluran nafas. Manifestasi klini dari Penyakit refluks
gastroesofageal sendiri terdiri atas esofagus dan ekstraesofagus (3) .
EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini umumnya ditemukan pada populasi negara negara barat, namun
dilaporkan relatif rendah insidennya di negara Asia- Afrika. Di amerika di laporkan satu dari
lima orang dewasa mengalami gejala heartburn atau regurgutasi sekali dalam seminggu serta
lebih dari 40 % mengalaminya sekali dalam sebulan. Prevalensi esofagitis di amerika sekitar
7%, sementara negara non-western prevalensinya lebih rendah (1,5% di China dan 2,7% di
Korea). Sementara di Indonesia belum ada data epidemiologinya (3).
GERD dapat diderita oleh laki-laki dan perempuan, tidak ada predileksi seksual.
Rasio laki-laki dan wanita untuk terjadinya GERD adalah 2:1 sampai 3:1 (4). GERD pada
negara berkembang sangat dipengaruhi oleh usia, usia dewasa antara 60-70 tahun merupakan
usia yang seringkali mengalami GERD (5).
ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Penyakit GERD bersifat multifaktorial(2,3). GERD dapat merupakan gangguan
fungsional (90%) dan gangguan struktural (10%)(7). Gangguan fungsional lebih pada
8

disfungsi SEB dan gangguan struktural pada kerusakan mukosa esofagus(7). Esofagitis dapat
terjadi sebagai akibat dari GERD apabila terjadi kontak yang cukup lama dengan bahan yang
refluksat dengan mukosa esofagus. Selain itu juga akibat dari resistensi yang menurun pada
jaringan mukosa esofagus walaupun kontak dengan refluksat tidak terlalu lama (3). Selain itu
penurunan tekanan otot sfingter esofagus bawah oleh karena coklat, obat-obatan, kehamilan
dan alkohol juga ditengarai sebagai penyebab terjadinya refluks(2).
Esofagus dan gaster terpisah oleh suatu zona tekanan tinggi yang dihasilkan oleh
kontraksi Sfingter esofagus bawah. Pada orang normal, pemisah ini akan dipertahankan,
kecuali pada saat terjadinya aliran antergrard (menelan) atau retrogard (muntah atau sendawa)
(3)

.
Aliran balik gaster ke esofagus hanya terjadi bila terdapat hipotoni atau atoni sfingter

esofagus bawah(2,3). Beberapa keadaan seperti obesitas dan pengosongan lambung yang
terlambat dapat menyebabkan hipotoni pada sfingter esofagus bawah(2). Tonus SEB dikatakan
rendah bila berada pada < 3 mmHg (3). Sedangkan pada orang normal 25-35 mmHg(7).
Episode refluks bervariasi tergantung kandungan isinya, volume, lamanya, dan
hubungannya dengan makan. Pada proses terjadinya refluks, sfingter esofagus bawah dalam
keadaan relaksasi atau melemah oleh peningkatan tekanan intraabdominal atau sebab lainnya
sehingga terbentuk rongga diantara esofagus dan lambung. Isi lambung mengalir atau
terdorong kuat ke dalam esofagus. Jika isi lambung mencapai esofagus bagian proksimal dan
sfingter esofagus atas berkontraksi, maka isi lambung tersebut tetap berada di esofagus dan
peristaltik akan mengembalikannya ke dalam lambung. Jika sfingter esofagus atas relaksasi
sebagai respon terhadap distensi esofagus maka isi lambung akan masuk ke faring, laring,
mulut atau nasofaring(2).
Refluks yang terjadi pada pasien penderita GERD melalui 3 mekanisme (3) :
1. Refluks spontan pada saat relaksasi SEB yang tidak adekuat,
2. Aliran retrogard yang mendahului kembalinya tonus SEB setelah menelan,
3. Meningkatnya tekanan intraabdomen.
Dengan begitu dapat diakatakan bahwa patogenesis terjadinya refluks menyangkut
keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus dan faktor ofensif dari bahan refluksat (3).
Yang termasuk faktor defensif dari refluks adalah:
Pemisah antirefluks.

Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus dari SEB. Meurunnya tonus SEB
dapat menyebabkan timbulnya refluks retrogard pada saat terjadi peningkatan tekanan
intraabdomen (3).
Sebagian besar pasien GERD ternyata memiliki tonus SEB yang normal. Yang dapat
menurunkan tonus SEB antara lain (2,3,4),
1.
2.
3.
4.

Adanya hiatus hernia


Panjang SEB. Semakin pendek semakin rendah tonusnya.
Obat-obatan seperti antikolinergik, beta adrenergik, theofilin, opiat dan lain-lain.
Kehamilan. Karena terjadi peningkatan progesteron yang dapat menurunkan tonus

SEB
5. Makanan berlemak dan alkohol.
Dengan berkembangnya teknik pemeriksaan manometri, tampak bahwa pada kasus
GERD dengan tonus normal pada SEB lebih banyak disebabkan oleh terjadinya transient
LES relaxation (TLESR), yaitu relaksasi SEB yang bersifat spontan dan berlangsung kurang
lebih 5 detik tanpa didahului proses menelan. Belum jelas diketahui bagaimana mekanisme
terjadinya TLESR. Tetapi pada beberapa individu diketahui adanya kaitan dengan
keterlambatan pengosongan lambung dan dilatasi lambung (2,3,4).

Peranan Hiatus hernia pada patogenesis GERD masih kontroversi, karena banyak
pasien GERD yang pada endoskopik didapatkan hiatus hernia tidak menampakan gejala
GERD yang signifikan. Hiatus hernia dapat memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk
bersihan asam dari esofagus serta menurunkan tonus SEB(3).
Bersihan asam dari lumen esofagus
Faktor yang berperan pada bersihan asam dari esofagus adalah gravitasi, peristaltik,
eksresi air liur dan bikarbonat. Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan refluksat akan
10

kembali ke lambung dengan dorongan peristaltik yang dirangsang oleh proses menelan.
Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar
esofagus (3) .
Mekanisme bersihan asam ini sangat penting sebab, semakin lama waktu bersihan
maka semakin lama kontak mukosa lambung dengan refluksat, dan makin besar pula
kemungkinan terjadinya esofagitis. Pada sebagian pasien GERD memiliki waktu transit
refluksat yang normal, sehingga penyebab terjadinya refluks adalah peristaltik esofagus yang
minimal(3).
Refluks pada malam hari lebih berpotensi meimbulkan kerusakan pada esofagus,
karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esofagus tidak aktif(3).
Ketahanan Epitelial Esofagus.
Berbeda dengan lambung dan duodenum, esofagus tidak memiliki lapisan mukus
untuk melindungi mukosa esofagus (3).
Mekanisme ketahanan epitelial esofagus terdiri dari(3) :
1. Membran sel
2. Intraseluler junction yang membatasi difusi H+ ke jaringan esofagus.
3. Aliran darah esofagus yang menyuplai nutrisi, oksigen dan bikarbonat, serta
mengeluarkan ion H+ dan CO2
4. Sel-sel esofagus mempunyai kemampuan untuk mentransport ion H+ dan Cl- intrasel
dengan Na+ dan bikarbonat ekstrasel.
Nikotin dari rokok menyebabkan transport ion Na+ melalui epitel esofagus.
Sedangkan alkohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion H. Yang
dimaksud dengan faktor ofensif adalah potensi daya rusak refluksat. Kandungan lambung
yang juga ikut berpengaruh dalam kerusakan mukosa gaster (menambah daya rusak refluksat)
antar lain HCl, pepsin, garam empedu, enzim pankreas(3).
Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung pada bahan yang dikandungnya.
Derajat kerusakan mukosa esofagus makin meningkat pada Ph < 2, atau adanya pepsin dan
garam empedu. Namun efek asam menjadi yang paling memiliki daya rusak tinggi(3).
Faktor lain yang ikut berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan
lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain : dialatasi lambung atau
obstruksi gastric outlet dan lambatnya pengosongan lambung. Sedangkan peranan
Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan tidak banyak didukung oleh
data yang ada (3).
11

Lambatnya pengosongan lambung ditengarai juga menjadi penyebab GERD . Pada


kondisi pengosongan lambung yang lambat, maka isi dari lambungpun juga banyak. Hal ini
berakibat meningkatnya tekanan intragaster. Tekanan intragaster yang meningkat ini akan
berlawanan dengan kerja dari SEB. Pada keadaan ini, biasanya SEB akan kalah oleh tekanan
intragaster dan terjadilah refluks(5).

Peran Sfingter Atas Esofagus(7)


SEA merupakan pertahanan akhir untuk mencegah refluksat masuk ke larinofaring.
Studi menyatakan bahwa tonus SEA yang meninggi sebagai reaksi terhadap refluksat
menimbulkan distensi pada esofagus. Relaksasi pada SEA menyebabkan terjadinya pajanan
asam ke faring atau laring.
Patofisiologi Refluks Ekstraesofagus(7)
Dua mekanisme dianggap sebagai penyebab Refluks ekstraesofagus. Mekanisme
tersebut antara lain.
1. Kontak langsung refluksat (asam lambung dan pepsin) ke esofagus proximal dan SEA
yang berlanjut dengan kerusakan mukosa faring, laring dan paru.

12

2. Pajanan esofagus distal akan merangsang vagal refleks yang menyebabakan spasme
bonkus, batuk, sering meludah dan menyebabkan inflamasi pada faring dan laring.
MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis yang khas pada penderita GERD adalah nyeri atau rasa tidak enak di
dada atau epigastrium

(1,2,3,4,5)

. Rasa nyeri biasanya dideskripsikan sebagai rasa terbakar atau

heartburn(1,3). Selain itu, keluhan lainnya adalah regurgitasi dan disfagia atau water brash(1,2).
Regurgitasi yaitu pergerakan kembali isi lambung (material refluks) sampai esofagus atau
faring yang menimbulkan keluhan sering sendawa dan/ atau mulut rasa asam atau pahit (1,3).
Pada beberapa kasus, timbul juga keluhan disfagia atau sulit menelan saat memakan makanan
padat. Hal ini mungkin sudah terjadi striktur atau keganasan yang berkembang dari Barretts
esophagus. Odinofagia mungkin bisa terdapat pada pasien GERD oleh karena sudah
terbentuk ulserasi esofagus yang berat.(3)
GERD juga dapat berakibat manifestasi klinis non esofagus yang atipik seperti
laringitis, suara serak, batuk karena aspirasi sampai timbul asma (3). Manifestasi non esofagus
pada GERD dapat disimpulkan antara lain gangguan pada Paru (Astma, pneumonia aspirasi),
Suara (Laringitis), Telinga (Otitis media), Gigi (Enamel decay) (5). Di lain pihak, penyakit paru
juga dapat memicu timbulnya GERD oleh karena penatalaksanaan berupa obat yang dapat
menurunkan tonus SEB. Misalnya theofilin.(3)
Pada pasien GERD yang datang ke dokter THT, seringkali tidak mengeluhkan gejala
tipikal, melainkan gejala atipikal seperti, suara serak pagi hari, mulut berbau, lendir kental,
mulut kering, sering meludah. Bila hal ini terjadi maka beri tatalaksana PPI selama 8 minggu,
bila gejala hilang maka merupakan kasus GERD sekunder dengan manifestasi THT(7).
DIAGNOSIS
Disamping anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama, beberapa pemeriksaan
penunjang lainnya dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis GERD, yaitu :
Endoskopi saluran cerna bagian atas(3)
Pemeriksaan ini merupakan standar baku untuk diagnosis GERD dengan
ditemukannya mucosal break di esofagus (esofagitis refluks).
Dengan endoskopik dapat dinilai perubahan makroskopik dari mukosa esofagus, serta
dapat menyingkirkan keadaan patologis lain yang dapat menimbulkan gejala GERD. Jika

13

tidak ditemukan muscosal break pada pasien GERD dengan gejala yang khas, keadaan ini
disebut non erosive reflux disease (NERD).
Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang dipastikan
dengan pemeriksaan histopatologi, dapat mengonfirmasi bahwa gejala heartburn atau
regurgutasi memang karena GERD.
Pemeriksaan histopatologi juga dapat memastikan adanya Barretts esophagus,
displasia atau keganasan. Tidak ada bukti yang mendukung perlunya pemeriksaan
histopatologi/biopsi pada NERD.(3)
Ada beberapa klasifikasi kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi pasien
GERD, antara lain klasifikasi Los Angeles dan Savary-Miller.
a. Klasifikasi Los Angeles(3)
Derajat kerusakan
A
B

Endoskopi
Erosi kecil pada mukosa esofagus dengan diameter <5 mm
Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter >5mm

tanpa saling berhubungan


Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai atau mengelilingi

seuruh lumen
Lesi mukosa esofagus yang bersifat sirkumferensial/
mengelilingi seluruh lumen esofagus.

b. Klasifikasi Savary-Miller(6)
GRADE
I
II
III
IV
V

Deskripsi endoskopi
Erosi sebagian dari satu lipatan mukosa esofagus
Erosi sebagian dari beberapa lipatan mukosa esofagus.
Erosi dapat bergabung
Erosi meluas pada sirkumferesnsia esofageal
Ulkus, striktura dan pemendekan esofagus
Barretts ephitelium

Esofagografi dengan Barium(1,3)


Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak
menunjukan kelainan terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan yang lebih berat,
gambar radiologi dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus atau
peneympitan lumen. Pada beberapa kasus, pemeriksaan memiliki nilai lebih dari endoskopi,
misal pada stenosis esofagus dan hiatus henia.
14

Pemantauan pH 24 jam.(2,3)
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal esofagus.
Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan mikroelektroda pH pada
bagian distal esofagus. Pengukuran pH pada esofagus distal dapat memastika ada tidaknya
refluks gastroesofageal. ph dibawah 4 pada jarak 5 cm diatas SEB dianggap diagnostik untuk
refluks gastroesofageal(2,3).
Tes Bernstein(3).
Tes ini ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal dan
melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCl 0,1 M dalam waktu kurang dari satu
jam. Tes ini bersifat pelengkap dari pemantauan ph 24 jam pada pasien dengan gejala yang
tidka khas. Tes ini dianggap positif bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada pada pasien,
sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan nyeri. Hasil negatif tidak menutup kemungkinan
adanya gangguan pada esofagus(3).
Pemeriksaan manometri (2,3).
Tes ini akan memberi manfaat yang berarti jika pada pasien dengan gejala nyeri
epigastrium dan regurgitasi yang nyata didapatkan esofagografi barium dan endoskopi yang
normal.
Scintigrafi Gastroesofageal (2,3).
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai pengosongan esofagus dengan menggunakan
cairan atau makanan yang dilabel dengan radioisotop (biasanya technetium) dan bersifat non
invasif. Selanjutnya sebuah penghitung gamma eksternal akan memonitor transit dari cairan
atau makanan yang dilabel tersebut. Sensitivitas dan spesifisitas tes ini masih diragukan.
Tes supresi asam(3)
Pada dasarnya tes ini merupakan terapi empiris untuk menilai gejala dari GERD.
Dengan memberikan PPI dosis tinggi selama 1-2 minggu sambil melihat respon yang terjadi.
Tes ini terutama dilakukan jika modalitas lainya seperti endoskopi dan ph metri tidak
tersedia. Tes ini dianggap positif jika terdapat perbaikan dari 50&-75% gejala yang terjadi.
Dewasa ini tes ini merupakan salah satu langkah yang dianjurkan dalam algoritme tatalaksana
GERD Pada pelayanan kesehatan lini pertama pada pasien yang tidak memiliki alarm
15

symptom (BB turun, anemia, hematemesis, melena, disfagia, odinofagia, riwayat keluarga
dengan keganasan esofagus atau lambung dan umur diatas 40 tahun.
Diagnosis Refluks Ekstraesofagus
Diagnosis REE dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis terarah mengenai riwayat
penyakit GERD, pemeriksaan fisik, pemeriksaan hipofaring, laring dan tes diagnosis.
Memonitor ph 24 jam dengan double/trople probe pada esofagus bagian atas (minimal 1
probe). Pemeriksaan laringoskopi fleksible fiberoptik, videolaringoskopi, video stroboskopi
dan

laringoskopi

kaku

merupakan

pemeriksaan

yang

sensitif

terhadap

refluks

ekstraesofagus(7).
PENATALAKSANAAN
Pada prinsipnya terapi GERD ini dibagi beberapa tahap, yaitu terapi modifikasi gaya
hidup, terapi medikamentosa dan terapi pembedahan serta akhir-akhir ini mulai dipekenalkan
terapi endoskopik (2,3,5)
Target penatalaksanaan GERD ini antara lain, menyembuhkan lesi esofagus,
menghilangkan gejala, mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah
timbulnya komplikasi(3,5).
Modifikasi gaya hidup
Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu penatalaksanaan GERD,namun
demikian bukan merupakan pengobatan primer(3). Usaha ini bertujuan untuk mengurangi
refluks serta mencegah kekambuhan(3,5).
Hal yang perlu dilakukann dalam modifikasi gaya hidup antara lain(2,3,4,5) :
1. Meninggikan posisi kepala pada saat tidur dan menghindari makan sebelum tidur,
dengan tujuan meningkatkan bersihan asam lambung selama tidur serta mencegah
refluks asam lambung ke esofagus.
2. Berhenti merokok dan mengonsumsi alkohol karena berpengaruh pada tonus SEB.
3. Mengurangi konsumsi lemak dan mengurangi jumlah makanan yang di makan karena
dapat menimbulkan distensi lambung.
4. Menurunkan berat badan dan menghindari memakai pakaian ketat untuk mengurangi
tekanan intrabdomen.
5. Menghindari makanan dan minuman seperti coklat, tehm kopi dan minuman soda
karena dapat merangsang aam lambung.

16

6. Jika memugkinkan, hindari pemakaian obat yang dapat meningkatkan menurunkan


tonus SEB, antara lain antikolinergik, tefilin, diazepam, antagonis kalsium,
progesteron.
Modifikasi gaya hidup merupakan penatalaksanaan lini pertama bagi wanita hamil
dengan GERD(5).
Terapi Medikamentosa(2,3,5)
Terdapat dua alur penatalaksanaan GERD, yaitu step up dan step down. Pada
pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat yang kurang kuat dalam menekan
sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik. Bila gagal baru diberikan
yang lebih kuat menekan sekresi asam dengan masa terapi lebih lama yaitu penghambat
pompa proton. Sedangkan untuk pendekatan step down diberikan tatalaksana berupa PPI
terlebih dahulu, setelah terjadi perbaikan,baru diberi obat dengan kerja yang kurang kuat
dalam menekan sekresi asam lambung, yaitu antagonis H2 atau prokinetik atau bahkan
antasid.
Dari beberapa studi, dilaporkan bahwa pendekatan step down lebih ekonomis
dibandingkan dengan step up. Menurut Genval statement ((1999) dan konsensus asia pasifik
tahun 2003 tentang tatalaksana GERD, disepakati bahwa terapi dengan PPI sebagai terapi lini
pertama dan digunakan pendekatan step down.
Antasid
Pengobatan ini digunakan untuk gejala ringan GERD sejak tahun 1971, dan masih
dinilai efektif hingga sekarang dan tidak menimbulkan esofagitis (3,4,5). Selain sebagai penekan
asam lambung, obat ini dapat memperkuat tekanan SEB(3,4).
Kelemahan obat golongan ini adalah. Rasanya kurang enak. Dapat menimbulkan diare
terutama yang mengandung magnesium serta konstipasi terutama antasid yang mengandung
aluminium, Selain itu penggunaannya sangat terbatas untuk pasien dengan ganghuan fungsi
ginjal. Dosis sehari 4x1 sendok makan.
Antagonis Reseptor H2
Obat ini dilaporkan berhasil pada 50% kasus GERD (4). Yang termasuk obat golongan
ini adalah ranitidin, simetidin, famotidin dan nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam,
golongan obat ini efektif dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan

17

dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus (2,3). Pengguanaan obat ini dinilai efektif
bagi keadaan yang berat, misalnya dengan barretts esophagus(5).
Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan sampai
sedang serta tanpa komplikasi. Dosis rantidin 4x150 mg(3).
Obat prokinetik
Secara teoritis, obat ini dianggap paling sesuai untuk pengobatan GERD karena
penyakit ini dianggap lebih condong kearah gangguan motilitas. Namun praktiknya,
pengobatan GERD sangat bergantung pada penekanan sekresi asam(3). Obat ini berfungsi
untuk memperkuat tonus SEB dan mempercepat pengosongan gaster (4).
1. Metoklopramid(3)
a. Efektifitasnya rendah dalam mengurangi gejala, serta tidak berperan dalam
penyembuhan lesi di esofagus kecuali dikombinasikan dengan antagonis
reseptor H2 atau PPI.
b. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat tumbuh efek terhadap saraf
pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor, dan diskinesia
c. Dosis 3x 10 mg sebelum makan dan sebelum tidur(2).
2. Domperidon(3)
a. Obat ini antagonis reseptor dopamin (sama dengan metoklopramid) hanya saja
obat ini tidak melewati sawar darah otak, sehingga efek sampingnya lebih
jarang.
b. Walaupun efektifitasnya belum banyak dilaporkan, namun obat ini diketahui
dapat menigkatkan tonus SEB dan percepat pengosongan lambung.
c. Dosis 3x10-20 mg sehari
3. Cisapride(3)
a. Obat ini merupakan suatu antagonis reseptor 5HT4, obat ini dapat
memperkuat tonus SEB dan mempercepat pengosongan lambung.
b. Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi lebih
bagus dari domperidon.
c. Dosis 3x10 mg
Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat) (2,3)
Obat ini tidak memiliki efek langsung terhadapa asam lambung, melainkan berefek
pada meningkatkan pertahanan mukosa esofagus, sebagai buffer terhadap HCl di esofagus
serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini cukup aman karen bersifat
topikal. Dosis 4x1 gram

18

Penghambat Pompa Proton (Proton pump inhibitor/PPI)


Merupakan obat terkuat dalam penatalaksanaan GERD, sehingga dijadikan drug of
choice(3,4,5). Golongan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan
memperngaruhi enzim H, K ATP ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses
pembentukan asam lambung. Pengobatan ini sangat efektif dalam menghilangkan keluhan
serta penyembuhan lesi esofagus, bahkan pada esofagitis erosiva derajat berat yang refrakter
dengan antagonis reseptor H2.
Dosis untuk GERD adalah dosis penuh, yaitu :
-

Omeprazole : 2x20 mg
Lansoprazole: 2x30 mg
Pantoprazole: 2x40 mg
Rabeprazole : 2x10 mg
Esomeprazole: 2x40 mg

Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) berikutnya


dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan selama 4 bulan , tergantung esofagitisnya. Efektivitas
obat ini semakin bertambah jika dikombinasi golongan prokinetik.
Skema 1. Algoritma tatalaksana GERD pada pelayanan kesehatan lini pertama.

Gejala khas GERD


Umur <40 tahun
Umur >40 tahun
PPI tes/ terapi empiris
Gejala menetap/berulang

Respon baik

Esofagitis ringan
NERD

Skema
2. Algoritma tatalaksana GERD pada pusat pelayananTerapi
yang minimal
memiliki4minggu
fasilitas
Endoskopi
Terduga kasus GERD

diagnostik memadai.

kekambuhan

Terapi on demand

Tidak diselidiki

Diselidik
Keluhan menetap

Terapi empiris/Tes PPI

Terapi awal

PPI test 1-2 minggu dosis ganda (sensitivitas 60-80%)

Esofagitis sedang dan berat G

19
On demand therapy

Terapi Maintenance

Terapi Bedah
Beberapa keadaan dapat menyebabkan terjadinya kegagalan terapi medikamentosa
pada pasien GERD, antara lain : Diagnosa yang tidak benar, pasien GERD sering disertai
gejala lain seperti rasa kembung, cepet kenyang dan mual-mual yang lebih lama
menyembuhkan esofagitisnya. Pada kasus Barretts esofagus kadang tidak memberikan
respon terhadap terapi PPI, begitu pula dengan adenokarsinoma dan bila terjadi striktura.
Pada disfungsi SEB juga memiliki hasil yang tidak memuaskan dengan PPI(3).
Terapi bedah merupakan terapi alternatif yang penting jika terapi modifikasi gaya
hidup dan medikmentosa tidak berhasil. Umumnya pembedahan yang dilakukan adalah
fundoplikasi(2,3,4,5).
Fundoplikasi Nissen (4,6)
Fundoplikasi Nissen adalah suatu tindakan bedah untuk tatalaksana penyakit GERD
bila tatalaksana Modifikasi gaya hidup dan medikamentosa tidak berhasil. Pada Hiatus
hernia, Fundoplikasi Nissen justru menjadi terapi lini pertama. Teknik operasi ini dilakukan
dengan laparoskopi. Tujuan dari teknik ini adalah memperkuat esofagus bagian bawah untuk
mencegah terjadinya refluks dengan cara membungkus bagian bawah esofagus dengan bagian
lambung atas.

20

Indikasi Fundoplikasi
1. Kasus resisten dan kasus refluks esofagitis dengan komplikasi yang tidak sepenuhnya
responsif terhadap terapi medis atau pada pasien dengan terapi medis jangka panjang
yang tidak menguntungkan.
2. Pasien dengan gejala yang tidak sepenuhnya tekontrol oleh terapi PPI, Pada pasien ini
dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan. Pada pasien dengan penyakit yang
tekontrol dengan baik juga dapat dilakukan pertimbangan pembedahan.
3. Terjadinya esofagus barrret adalah indikasi untuk pembedahan. Asam lambung
meningkatkan terjadinya barrett esofagus berkembang kearah keganasan, tetapi
kebanyakan ahli menyarankan tindakan mensupresi asam lambung secara lengkap
untuk pencegahan pada pasien yang terbukti secara histologis menderita esofagus
barret.
Terapi Endoskopi
Walaupun laporannya masih terbatas serta masih dalam penelitian, akhir-akhir ini mulai
dikembangkan pilihan terapi endoskopi pada pasien GERD, yaitu, penggunaan energi
radiofrekuensi, plikasi gastrik endoluminal, implantasi endoskopik dengan menyuntikan zat
implan di bawah mukosa esofagus bagian distal sehingga lumennya menjadi lebih kecil(3).

21

Endoskopi bukan merupakan pemeriksaan rutin sebagai pemeriksaan awal pasien suspek
PRGE dengan manifestasi otolaringologi dan bukan prasyarat untuk terapi medik(7).
KOMPLIKASI
Dengan penanganan yang tidak adekuat, beberapa komplikasi dapat terjadi pada
GERD. Komplikasi yang kerap terjadi pada GERD antara lain Esofagitis, Striktura esofagus
dan esofagus Barret (2,3).
Esofagitis
Merupakan peradangan pada mukosa esofagus, ini terdapat pada lebih dari 50%
pasien GERD. Dapat menyebabkan ulkus pada daerah perbatasan antara lambung dan
esofagus(2).
Striktura Esofagus
Suatu penyempitan lumen oleh karena inflamasi yang timbul akibat refluks (2). Hal ini
ditimbulkan karena terbentuk jaringan parut pada gastroesophageal junction. Striktur timbul
pada 10-15% pasien esofagitis yang bermanifestasi sulit menelan atau disfagia pada makanan
padat. Seringkali keluhan heartburn berkurang oleh karena striktura berperan sebagai barier
refluks. Biasanya striktur terjadi dengan diameter kurang dari 13 mm. Komplikasi ini dapat
diatasi dengan dilakukan dilatasi bougie, bila gagal dapat dilakukan operasi (3).
Barretts Esophagus
Pada keadaan ini terjadi perubahan dimana epitel skuamosa berganti menjadi epitel
kolumnar metaplastik

(2)

. Keadaan ini merupakan prekursor Adenokarsinoma esofagus (4).

Esofagus Barrett ini terjadi pada 10% pasien GERD dan adenokarsinoma timbul pada 10%
pasien dengan esofagus Barrett.
Gejala dari kelainan ini adalah gejala dari GERD yaitu heartburn dan regurgutasi.
Pada 1/3 kasus, gejala GERD tidak tampak atau minimal, hal ini diduga karena sensitivitas
epitel Barrett terhadap asam yang menurun.
Pada endoskopi kelainan ini dapat dikenaldengan mudah dengan tampaknya segmen
yang panjang dari epitel kolumnar yang berwarna kemerahan meluas ke proksimal
melampaui gastroesophageal junction dan tampak kontras sekali dengan epitel skuamosa

22

yang pucat dan mengkilat dari esofagus. Penyakit ini dapat ditatalaksana dengan
medikamentosa(3).
Komplikasi lain(7)
Asma gaster merupakan salah satu komplikasi GERD pada paru. Selain pada paru,
kelainan laringofaring juga dapat terjadi, seperti laringitis posterior, globus faringeus, stenosis
laring atau trakea, spasme laring dan nyeri tenggorok. Komplikasi ekstra esofagus lainnya
adalah sinusitis, otalgia dan erosi dental.

23

BAB IV
KESIMPULAN

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) atau yang dikenal dengan Penyakit


Refluks Gastroesofageal (PRGE) merupakan suatu keadaan dimana terjadi gerakan retrogard
atau naiknya isi lambung sampai pada esofagus secara patologis. Keadaan berakibat
kandungan lambung yang asam dapat mengiritasi mukosa esofagus. Manifestasi klinis dari
PRGE adalah rasa nyeri dada retrosternal atau rasa panas (heartburn) di dada, regurgutasi,
disfagia, mual bahkan sampai suara serak karena mengiritasi laring, menyebabkan laringitis.
Penatalaksanaan pada kasus PRGE ini terdapat beberapa jenis yang dilakukan bertahap yaitu
modifikasi gaya hidup, medikamentosa dan terapi bedah. Pada sebagian besar kasus PRGE
pasien sembuh dengan terapi medikamentosa.

24

DAFTAR PUSTAKA

1. Susanto A, Sawitri N, Wiyono W, Yunus F, Prasetyo S. Gambaran klinis dan


endoskopi penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) pada pasien asma persisten sedang
di RS Persahabatan, Jakarta. Jurnal Respirologi. 2005
2. Asroel H. Penyakit Refluks Gastroesofagus. Cited July 18 2011. Available :
http://library.usu.ac.id/download/fk/tht-hary.pdf
3. Makmun D. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1, Edisi
keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007.
4. Gastroesophageal Reflux Disease. July 15 2011 [cited July 18 2011]. Available :
http://en.wikipedia.org/wiki/Gastroesophageal_reflux_disease
5. Patti M, Kantz J,editor. Gastroesophageal Reflux Disease Treatment &
Management.

June

2011

[cited

July

18

2011].

Available:

http://emedicine.medscape.com/article/176595-treatment#aw2aab6b6b4aa
6. Gastroesophageal reflux disease : Savary Miller classification. Cited July 18 2011.
Available : http://www.gastrolab.net/pa-113.htm
7. Iskandar N, Soepadrdi E, Bashiruddin J, Restuti R. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga
Hidung Tenggorokan Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta: Balai penerbit FKUI.
2007.
8. Human

pharynx.

July

17

2011

[cited

http://en.wikipedia.org/wiki/Human_pharynx
9. Esofagus.
April
1
2011
[cited
July
http://id.wikipedia.org/wiki/Esofagus

25

July
19

19

2011].
2011].

Available
Available

:
:

Anda mungkin juga menyukai