Anda di halaman 1dari 47

BAB III

DASAR TEORI
3.1 Pemboran
Pemboran merupakan langkah awal yang dilakukan sebelum peledakan dilakukan.
Pemboran dimaksudkan untuk membuat lubang bor yang nantinya akan diisi dengan bahan
peledak. Kegiatan ini dilakukan untuk memungkinkan terjadinya peledakan untuk memberai
material yang keras yang ada di tambang. Pemboran erat kaitannya dengan peledakan, sehingga
dalam kegiatan pemboran harus memperhitungkan juga pola peledakan yang akan digunakan.
Keberhasilan sebuah proses pemboran diukur dari kualitas lubang ledak yang dihasilkan,
untuk itu diperlukan proses pemboran yang tepat dan efisien untuk menghasilkan pemboran yang
optimal. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan pemboran lapisan
overburden adalah:
1) Kondisi lapangan
Metode tambang terbuka (surface mining) memungkinkan untuk digunakan alat bor
yang berukuran besar karena pengoperasiannya mudah, dibandingkan dengan metode
tambang bawah tanah (underground mining).
2) Jenis batuan yang akan dibor
Jenis batuan ini akan menentukan pemilihan alat bor yang akan dipakai. Pada batuan
keras lebih baik jika menggunakan alat bor yang menggabungkan gaya tumbukan
(percussive) dengan gaya putar (rotary). Alat bor dengan prinsip rotary cutting baik
digunakan pada batuan yang relatif lebih lunak.
3) Peraturan atau undang-undang yang berlaku
Pemboran untuk peledakan harus disesuaikan dengan peraturan peledakan yang ada,
sehingga hasil pemboran menjadi optimal untuk peledakan serta sesuai dengan aturanaturan yang berlaku seperti kedalaman lubang bor yang menentukan jumlah bahan
peledak yang dipakai. Jumlah penggunaan bahan peledak dibatasi oleh peraturanperaturan.
4) Fragmentasi yang diharapkan
Ukuran fragmentasi batuan hasil peledakan menentukan produktivitas dari proses
selanjutnya, sehingga proses pemboran yang optimal dan sesuai dengan peledakan harus
dipenuhi untuk mencapai laju produksi yang direncanakan.
3.1.1. Pola Pemboran (Drill Pattern)

Pola pemboran adalah suatu susunan letak lubang ledak dimana pengaturannya
disesuaikan dengan ukuran burden dan spacing dari geometri peledakan yang sudah
direncanakan. Beberapa macam pola pemboran yang biasa diterapkan pada suatu tambang
terbuka, yaitu:
1) Pola pemboran paralel
Pola pemboran paralel ini dibagi menjadi dua jenis (Gambar 3.1), yaitu:
a. Pola bujur sangkar (Square Pattern), yaitu jarak antara burden dan spacing
sama.
b. Pola persegi panjang (Rectangular Pattern), jarak spacing dalam satu baris lebih
besar daripada jarak burden.

Gambar 3.1 Pola Pemboran Paralel

2) Pola pemboran selang-seling (Staggered Pattern)


Bentuk pola pemboran staggered adalah letak baris pertama dan baris kedua tidak
sejajar, akan tetapi selang-seling dan baris ketiga sejajar dengan baris pertama. Pola
pemboran ini paling sering digunakan karena penyebaran energinya yang merata dan
optial sehingga diharapkan dapat menghasilkan fragmentasi ukurannya lebih seragam
(Gambar 3.2).

Gambar 3.2 Pola Pemboran Staggered


Pola pengeboran sejajar merupakan pola yang lebih mudah diterapkan di lapangan tetapi
perolehan fragmentasi batuannya kurang seragam. Sedangkan pola pengeboran selang-seling
lebih sulit penanganannya di lapangan namun fragmentasi batuannya lebih baik dan seragam.
Hal ini disebabkan karena distribusi energi peledakan yang dihasilkan lebih optimal bekerja di
dalam batuan (Gambar 3.3).

Gambar 3.3 Perbandingan distribusi energi peledakan

3.1.2. Arah Pemboran (Drill Direction)


Secara umum arah lubang ledak yang paling umum dipakai pada tambang terbuka adalah
arah vertikal dan miring (Gambar 3.4). Penggunaan arah pemboran miring memiliki beberapa
keuntungan dibandingkan dengan arah pemboran tegak, antara lain:
1) Hasil tumpukan (muck pile shape) yang tidak terlalu tinggi, sehingga memudahkan
proses penanganan berikutnya.
2) Mengurangi resiko timbulnya tonjolan pada lantai (toe) dan back break.
3) Menghasilkan jenjang yang lebih stabil.

4) Mengurangi terjadinya boulder.

Gambar 3.4 Arah Pemboran


Pada saat peledakan, posisi lubang ledak miring akan membantu meningkatkan efisiensi
reflektifitas gelombang kejut (shock wave) pada dasar lubang ledak, sehingga energi peledakan
akan termanfaatkan seluruhnya untuk memecahkan batuan. Dengan menggunakan pemboran
tegak, pada bagian atas jenjang akan kurang bagus karena terjadi back break. Pada lantai dasar
juga dihasilkan fragmentasi yang jelek akibat pengaruh tidak tersalurnya daya ledak secara
penuh.
Namun penggunaan lubang ledak dengan arah miring juga menimbulkan beberapa masalah,
yaitu:
1) Waktu pemboran lebih lama dibandingkan dengan pemboran vertikal.
2) Kesulitan dalam melakukan pemboran secara tepat khususnya apabila membor lebih
dalam akibat adanya perubahan arah pemboran (alignment error). Dengan adanya
perubahan arah ini akan memberikan pengaruh terhadap biaya pemboran dan
peledakan yang cenderung akan tinggi. Akibat yang lain adalah jarak spacing atau
burden akan berubah dari desain yang direncanakan.
3) Diperlukan pengawasan yang ketat agar kemiringan antar lubang sama.
4) Memerlukan operator dengan pengalaman khusus.
Keuntungan pemboran lubang ledak dengan arah vertikal (tegak), yaitu:

1) Waktu pemboran lebih cepat, karena kedalaman lubang bor cenderung lebih pendek
jika dibandingkan dengan arah pemboran miring untuk ketinggian jenjang yang
sama.
2) Penempatan alat bor cenderung lebih mudah, sehingga dapat mempercepat waktu
pemboran.
3) Pelemparan batuan (flyrock) lebih dekat.
Penggunaan arah lubang ledak vertikal (tegak) juga memiliki kekurangan, yaitu:
1) Menghasilkan lebih banyak boulder jika dibandingkan dengan pola miring karena
penyebaran energi yang tidak merata.
2) Menimbulkan tonjolan pada lantai jenjang, hal ini diakibatkan oleh gelombang tekan
terlalu kuat pada lantai jenjang, juga karena energi yang dipantulkan sebagian menuju
bidang bebas dan sebagian lagi menuju bawah lantai jenjang.
3) Lereng kurang stabil terhadap getaran, perlu analisis kestabilan lereng.
3.1.3. Produktivitas Pemboran
Produktivitas alat bor sangat mempengaruhi besar kecilnya lapisan tanah penutup yang
akan dibongkar dalam suatu tambang. Produktivitas alat bor ditentukan dengan menghitung
kecepatan pemboran, efisiensi kerja alat dan volume setara.
1. Kecepatan Pemboran
Kecepatan pemboran adalah kecepatan rata-rata pemboran termasuk adanya suatu
hambatan yang terjadi selama dilakukannya pemboran. Dalam menentukan
kecepatan pemboran harus diketahui waktu edar (cycle time) pemboran, yaitu waktu
yang diperlukan untuk membuat sebuah lubang ledak dari permukaan sampai dengan
kedalaman tertentu. Waktu edar pemboran dapat dihitung dengan cara menjumlahkan
setiap bagian waktu dari setiap tahapan dalam pemboran lubang ledak, yaitu:
Ct = Pt + Bt + St + Lt + Tt + Ht
Dimana:
Ct

= Waktu edar pemboran (mnt)

Pt

= Waktu mengambil posisi (mnt)

Bt

= Waktu bor dari permukaan sampai kedalaman tertentu (mnt)

St

= Waktu untuk menambah batang bor (mnt)

Lt

= Waktu untuk mengangkat dan melepas batang bor (mnt)

Ht

= Waktu untuk mengatasi hambatan (mnt)

Kecepatan pemboran untuk berbagai kedalaman lubang ledak dapat dihitung dengan
persamaan berikut:
Vt=H

60
Ct

Dimana:
Vt

= Kecepatan pemboran nyata pada kedalaman tertentu


(m/mnt)

= Kedalaman lubang ledak (m)

Ct

= Waktu edar pemboran (mnt)

Dalam pembuatan lubang ledak terdapat beberapa hambatan, yaitu:


a.

Hambatan tak terduga seperti terjepitnya batang bor, kerusakan pada alat bor, kompresor

b.

atau kerusakan pada sambungan selang udara.


Hambatan yang bisa dihindari seperti lokasi pemboran yang belum dipersiapkan serta
pengisian pelumas dan solar pada mesin bor atau kompresor dengan waktu yang sudah
teratur.
Cepat atau lambatnya laju pemboran sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

a.

Faktor yang berhubungan dengan alat bor dan pemberian tekanan udara dari kompresor, yaitu:
1) Tekanan udara yang diberikan
2) Konsumsi udara yang diberikan
3) Berat alat bor, dimana alat bor yang mempunyai konstruksi lebih berat akan
memberikan kecepatan pemboran yang lebih besar jika dibandingkan
dengan alat bor yang mempunyai konstrusi ringan.
4) Berkurangnya efisiensi alat bor, misalkan karena umur alat sudah tua
(depresiasi) atau berkurangnya ketajaman mata bor (bit).

b.

Faktor yang berhubungan dengan lubang ledak, yaitu:


1) Kemiringan lubang ledak.
2) Ukuran dan diameter lubang ledak.

3) Kedalaman lubang ledak.


c.

Faktor yang berhubungan dengan struktur batuan, yaitu:


1) Adanya rekahan pada batuan.
2) Kemiringan dari struktur batuan.
3) Kemampuan batuan untuk menggerus mata bor akibat adanya suatu
kecepatan penembusan sehingga mata bor semakin tumpul.
4) Mudah tidaknya batuan untuk ditembus alat bor.
d.

Faktor yang berhubungan dengan operasi kerja, yaitu:


1) Ketinggian lokasi kerja
2) Keterampilan operator dalam mengoperasikan alat bor.
3) Penempatan alat bor.
2. Volume Setara
Volume setara merupakan angka yang menyatakan setiap satuan panjang kedalaman
lubang ledak setara dengan sejumlah volume batuan atau berat batuan yang
diledakkan. Volume setara mempunyai kegunaan untuk memperkirakan kemampuan
alat bor yang digunakan untuk membuat lubang ledak. Harga volume setara sangat
tergantung pada pola peledakan yang dipakai. Dalam penentuan volume setara dapat
digunakan persamaan berikut:
W
Veq= H
n
Dimana :
Veq

= Volume setara (m3/m atau ton/m)

= Volume batuan yang diledakkan (m3)

= Jumlah lubang ledak

= Kedalaman lubang ledak (m)

Dalam menghitung volume batuan yang diledakkan (W) dapat digunakan persamaan
berikut:
W= A L
Dimana:
A

= Luas daerah yang diledakkan (m2)

= Tinggi jenjang (m)

Harga volume setara sangat tergantung pada ukuran burden, spacing dan pola
peledakan yang dipakai serta metode peledakannya.

3. Efisiensi Pemboran
Efisiensi pemboran merupakan perbandingan antara kedalaman lubang ledak yang
dapat dicapai secara nyata dalam waktu kerja yang tersedia terhadap kedalaman
lubang ledak yang seharusnya dapat diperoleh dalam waktu kerja yang dinyatakan
dalam persen. Untuk menghitung efisiensi pemboran dapat menggunakan persamaan
berikut:

E=
100
Wt
Dimana:
E

= Efisiensi pemboran (%)

Wp

= Waktu produktif

Wt

= Waktu tersedia

4. Kemampuan Produksi Alat Bor


Selain menghitung efisiensi pemboran, kemampuan produksi alat bor juga harus
dihitung sehingga perencanaan tambang dapat berjalan dengan baik. Penentuan
kemampuan produksi suatu alat bor dapat diketahui melalui parameter efisiensi alat
bor, kecepatan pemboran, dan volume setara. Kemampuan produksi alat bor dapat
dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:
P=V t Veq E 60

Dimana:
P

= Produksi alat bor (m3/mnt)

Vt

= Kecepatan pemboran (m/mnt)

Veq

= Volume setara (ton/m atau m3/m)

= Efisiensi alat bor (%)

3.2 Peledakan
Peledakan merupakan proses yang bertujuan untuk memecah material (batuan) yang keras
dengan menggunakan bahan peledak agar dapat digunakan untuk proses selanjutnya.
Keberhasilan suatu peledakan sangat ditentukan oleh karakteristik batuan yang diledakkan dan
jenis bahan peledak yang digunakan serta metode peledakan yang diterapkan sesuai dari tujuan
peledakan tersebut. Proses peledakan biasanya diawali dengan pembuatan lubang ledak dan
pengisian bahan peledak yang sesuai dengan geometri peledakan yang telah direncanakan.
3.2.1. Proses Kegiatan Peledakan
Jenis bahan peledak yang digunakan dalam proses peledakan ditentukan dengan
mempertimbangkan kondisi batuan di lokasi peledakan, serta keadaan

lingkungan lokasi

peledakan seperti:
1) Keterdapatan air di dalam lubang ledak.
2) Perbedaan kekuatan lapisan batuan.
3) Adanya unsur kimia yang reaktif terhadap bahan peledak di dalam lubang ledak
atau adanya temperatur yang diperkirakan dapat memicu bahan peledak.
4) Jarak aman lemparan fragmentasi hasil peledakan.
Selain jenis bahan peledak, jumlah bahan peledak yang akan digunakan juga harus
diperhitungkan agar tidak terjadi kelebihan atau kekurangan energi ledak yang berdampak buruk
terhadap hasil peledakan. Adapun jenis pekerjaan persiapan peledakan meliputi:
1) Peramuan amonium nitrat dengan fuel oil (solar).
2) Penyambungan leg wire detonator listrik apabila diperlukan di lokasi tersendiri.
3) Pembuatan primer sesuai dengan metode yang akan digunakan dan dilakukan dekat
dengan lubang ledak.
4) Pengisian (charging) bahan peledak ke dalam lubang ledak.
5) Penutupan lubang ledak dengan stemming dan perangkaian peledakan.

Merujuk pada jenis pekerjaan persiapan peledakan tersebut, maka helper peledakan harus
pula dibekali pengetahuan tentang peledakan pada pertambangan bahan galian. Dengan demikan
setiap helper peledakan harus mempunyai sertifikat juru ledak atau Kartu Izin Meledakan (KIM).

Gambar 3.5 Contoh Kartu Izin Meledakan (KIM)


Setelah jumlah bahan peledak utama ditetapkan, langkah berikutnya adalah menentukan
jenis dan jumlah perlengkapan serta peralatan yang akan digunakan.
1. Perlengkapan Peledakan
a. Detonator listrik atau Nonel dengan waktu tunda tertentu dan jumlahnya
disesuaikan dengan jumlah lubang ledak.
b. Primer yang terbuat dari Dodol (catridge) dan jumlahnya sesuai perhitungan,
biasanya antara 1% sampai 10% berat bahan peledak utama per lubang. Primer
dapat pula terbuat dari satu buah Booster yang beratnya 250 gram sampai 400
gram dan pemilihannya disesuaikan dengan jenis bahan peledak utama serta
batuan yang akan diledakkan.
c. Kabel penghubung antar lubang (connecting wire) yang panjangnya diukur
sesuai spasi, burden, dan jumlah lubang yang akan diledakkan.
2. Peralatan Peledakan
a. Pemicu ledak (blasting machine) listrik yang kapasitasnya sesuai dengan
detonator yang akan diledakkan.
b. Blast Omh Meter (BOM) untuk mengukur tahanan kabel listrik peledakan.
c. Pencampur ammonium nitrat dengan solar bila menggunakan bahan peledak
ANFO yaitun Mobile Mixing Unit (MMU), dan bila menggunakan emulsi
diperlukan Mobile Manufacturing Unit (MMU).
d. Kabel utama (Lead wire) dengan minimum panjang 500m berfungsi sebagai
penghubung kabel pada rangkaian peledakan dengan pemicu ledak.
e. Kayu atau bambu yang cukup kuat untuk menekan bahan peledak dalam lubang

atau memampatkan material stemming.


3.2.2. Proses Pecahnya Batuan Akibat Peledakan
Konsep yang di pakai di sini adalah proses pemecahan dan reaksi-reaksi mekanik dalam
batuan homogen. Perlu ditekankan bahwa sifat mekanis dalam batuan yang homogen akan
berbeda dengan sifat mekanis batuan yang mempunyai rekahan dan heterogen seperti yang
sering di jumpai dalam pekerjaan peledakan. Proses pemecahan batuan akibat peledakan di bagi
menjadi tiga tahap sebagai berikut:
1) Proses pemecahan tingkat I (Dynamic Loading )
Pada saat bahan peledak meledak, terdapat tekanan sangat tinggi sehingga
menghancurkan batuan di daerah sekitar lubang ledak. Gelombang kejut (shock
wave) yang meningalkan lubang ledak merambat dengan kecepatan 30005000
m/det, akan mengakibatkan tegangan tangensial yang menimbulkan rekahan yang
menjalar (radial crack) dari daerah lubang ledak. Rekah pertama menjalar terjadi
dalam waktu 1- 2 ms.

Gambar 3.6. Pemecahan tingkat I


2) Proses pemecahan tingkat II (Quasi-static Loading)
Tekanan sehubungan dengan gelombang kejut yang meningkatkan lubang ledak pada
proses pemecahan tingkat I adalah positif. Apabila mencapai bidang bebas akan di
pantulkan, tekanan akan turun dengan cepat, kemudian berubah menjadi negatif dan
timbul gelombang tarik. Gelombang tarik (tensile wave) ini merambat kembali di
dalam batuan. Oleh karena batuan lebih kecil ketahanannya terhadap tarikan dari
pada tekanan, maka akan terjadi rekahan-rekahan primer (primary failure cracks)
disebabkan karena tegangan tarik (tensile stress) dari gelombang yang dipantulkan.
Apabila tegangan tarik cukup kuat akan menyebabkan slambing atau spalling pada

bidang bebas. Dalam proses pemecahan tingkat I dan tingkat II fungsi dari
gelombang kejut adalah menyiapkan batuan dengan sejumlah rekahan-rekahan kecil.
Secara teoritis energi gelombang kejut jumlahnya antara 5 15% dari energi total
bahan peledak. Jadi gelombang kejut menyediakan kesiapan dasar untuk proses
pemecahan tingkat akhir.

Gambar 3.7 Pemecahan tingkat II


3) Proses pemecahan tingkat III (Release of Loading)
Dibawah pengaruh tekanan sangat tinggi dari gas - gas hasil peledakan maka rekahan
radial utama (tahap II) akan diperbesar secara cepat oleh efek kombinasi dari tegangan
tarik (tensile stress) yang disebabkan kompresi radial dan pembajian. Apabila massa
batuan di depan lubang ledak gagal mempertahankan posisinya dan bergerak ke depan
maka tegangan tekan (compressive stress) tinggi yang berada dalam batuan akan
dilepaskan, seperti spiral kawat yang ditekan kemudian dilepaskan (Gambar 3.8).
Akibat pelepasan tegangan tekan ini akan menimbulkan tegangan tarik yang besar di
dalam massa batuan.
Tegangan tarik inilah yang melengkapi proses pemecahan batuan yang sudah dimulai
pada tahap II. Rekahan yang terjadi dalam proses pemecahan tahap II merupakan
bidang - bidang lemah yang membantu menghasilkan fragmentasi utama pada proses

peledakan.
Gambar 3.8 Pemecahan tingkat III

3.2.3. Karakteristik Massa Batuan


Batuan adalah material yang sifatnya sangat bervariasi. Kekuatan tarik, tekan, dan
geseknya berbeda - beda untuk bermacam jenis batuan. Batuan akan pecah apabila
kekuatannya dilampaui. Karakteristik penting yang mempengaruhi kemampuboran dan
kemampugalian suatu massa batuan pada dasarnya dikelompokkan atas dua kategori, yaitu
batuan utuh dan massa batuan.
1. Sifat - sifat Batuan Utuh
a. Sifat Fisik Batuan
Beberapa sifat fisik batuan yang berpengaruh terhadap peledakan antara lain bobot
isi, porositas, dan kandungan air. Sifat yang paling berpengaruh adalah sifat bobot isi
dari batuan tersebut. Semakin kecil bobot isi suatu batuan maka semakin mudah batuan
tersebut untuk diledakkan dan relatif memerlukan energi peledakan yang kecil.
Banyaknya jumlah pori dalam suatu batuan disebut dengan porositas. Batuan dengan
porositas tinggi akan meningkatkan jumlah retakan batuan dan mengurangi tekanan gas
dalam retakan itu. Contohnya pada batuan yang berkekar, energi yang ditimbulkan oleh
bahan peledak akan tidak optimal karena energi tersebut akan menghilang melalui
retakan tersebut. Air yang terdapat di dalam rongga batuan akan menyerap energi yang
digunakan untuk menghancurkan batuan sehingga energinya akan berkurang.
b. Sifat Mekanik Batuan
Salah satu sifat mekanik batuan yang mempengaruhi proses peledakan adalah
Uniaxial Compressive Strength (UCS). UCS suatu batuan merupakan ukuran
kemampuan batuan untuk menahan beban atau gaya yang bekerja pada arah

uniaksial. Klasifikasi kuat tekan uniaksial batuan utuh dapat dilihat sebagai berikut
(Tabel 3.1) :

Tabel 3.1
Klasifikasi umum jenis penggalian massa batuan berdasarkan ucs
Metode

UCS
(MPa)

Alat

Free digging

1 10

Shovel, loader, BWE

Ripping

10 25

Ripper

Rock cutting

10 50

Rock cutter

Blasting

> 25

Pengeboran dan peledakan

Dari tabel tersebut terlihat bahwa batuan yang memerlukan proses pengeboran dan
peledakan dalam pemberaian adalah batuan dengan UCS > 25 MPa. Kekerasan dapat dipakai
dalam menyatakan besarnya tegangan yang diperlukan untuk menyebabkan kerusakan pada
batuan. Tabel 3.2 menunjukkan derajat kekerasan sebagai fungsi dari skala Mohs dan kuat tekan
uniaksial (uniaxial compressive strength, Protodyakonov classification).
Tabel 3.2
Hubungan antara ucs dengan kekerasan batuan
Kekerasan

Mohs

UCS
(MPa)

Very strong

>7

> 200

Strong

6-7

120 200

Moderately strong

4,5 - 6

60 120

Moderately weak

3 - 4,5

30 60

Weak

2-3

10 30

Very weak

1-2

< 10

2. Sifat - sifat Massa Batuan


a. Rock Quality Designation (RQD)
RQD merupakan parameter yang digunakan untuk menunjukkan kualitas
massa batuan dengan menggunakan data yang diperoleh dari pengeboran inti. RQD
dihitung dari persentase bor inti yang diperoleh dengan panjang minimum 10 cm
ditunjukkan oleh persamaan berikut :
RQD

Panjang potongan core 10cm


100%
total panjang core run

RQD dapat dihitung secara tidak langsung melalui pengukuran orientasi dan
jarak antar kekar pada singkapan batuan (scanline). Nilai RQD dapat ditentukan
melalui persamaan Priest & Hudson (1976).

RQD 100 e -0,1 (0,1 1)


Dengan adalah frekuensi bidang lemah per meter. Hubungan antara RQD dan
frekuensi bidang lemah juga ditunjukkan oleh Hobbs (1975) sebagai berikut (Tabel
3.3) :

Tabel 3.3
Hubungan antara rqd dengan frekuensi Bidang lemah per meter
Deskripsi
RQD (%)
Frekuensi bidang lemah (m-1)
Sangat buruk

0 25

> 15

Buruk

25 50

15 8

Sedang

50 75

85

Baik

75 90

51

Sangat baik

90 - 100

<1

b. Jarak Antar Bidang Lemah (Joint Plane Spacing)


Jarak antar bidang lemah adalah jarak tegak lurus antar dua bidang lemah yang
berurutan. Dari nilai RQD dapat diperoleh jarak antar bidang lemah dengan cara
menghitung nilai frekuensi bidang lemah per meter () menggunakan persamaan :
JS

Attewel, 1993, mengklasifikasikan jarak antar bidang lemah seperti terlihat


pada Tabel 3.4. Semakin jauh jarak antar bidang lemah (> 2000 mm), batuan dapat
dikatakan memiliki perlapisan yang sangat tebal. Sedangkan bila jarak antar bidang
lemah kecil (< 20 mm), maka batuan dapat dikatakan terdiri dari laminasi tipis
(sedimentasi).

Deskripsi

Tabel 3.4
Klasifikasi Jarak Antar Bidang Lemah
Struktur Bidang Lemah
Jarak (mm)

Spasi sangat lebar

Perlapisan sangat tebal

> 2000

Spasi lebar

Perlapisan tebal

600 2000

Spasi moderat lebar

Perlapisan tebal

200 600

Spasi dekat

Perlapisan tipis

60 200

Spasi sangat dekat


Spasi ekstrim dekat

Perlapisan sangat tipis

20 60

Laminasi tipis

< 20

(Sedimentasi)

c. Orientasi Bidang Lemah (Joint Plane Orientation)


Dalam kegiatan peledakan, orientasi bidang lemah utama pada massa batuan
dapat mengakibatkan hal - hal berikut :
1. Untuk orientasi bidang lemah utama dengan kemiringan mengarah kedalam pit,
blok batuan pada crest berpotensi mengakibatkan ketidakmantapan lereng
(Gambar 3.9a).
2. Orientasi bidang lemah utama dengan kemiringan mengarah ke dalam massa
batuan (Gambar 3.9b), kegiatan peledakan berpotensi meninggalkan toe yang
tidak hancur serta batuan menggantung pada crest. Batuan yang menggantung
tersebut dapat membahayakan keselamatan pekerja tambang dan alat gali - muat.
3. Kedudukan bidang lemah utama yang sejajar dengan bidang bebas atau tegak
lurus arah peledakan (Gambar 3.9c), akan menghasilkan lereng yang mantap
setelah peledakan dan arah lemparan dapat terkontrol.
4. Dan untuk orientasi bidang lemah utama yang membentuk sudut terhadap bidang
bebas (Gambar 3.9d), hasil pemberaian akan mengakibatkan muka jenjang
berblok - blok dan hancuran yang berlebih.

Gambar 3.9
Pengaruh kekar pada kegiatan peledakan

3.2.4. Bahan Peledak


Bahan peledak adalah suatu bahan kimia senyawa tunggal atau campuran berbentuk
padat, cair, gas atau campurannya yang apabila dikenai suatu aksi panas, benturan, gesekan atau
ledakan awal akan mengalami suatu reaksi kimia eksotermis sangat cepat yang hasil reaksinya
sebagian atau seluruhnya berbentuk gas dan disertai panas dan tekanan sangat tinggi yang secara
kimia lebih stabil.
Tabel 3.6. Klasifikasi Bahan Peledak Menurut Anon (1997)
Jenis Bahan

Reaksi

Contoh

Low Explosives

Deflagrate (terbakar)

Black Powder

High Explosives

Detonate (meledak)

Nitroglycerin,

Peledak

Dinamit
Blasting Agent

Detonate (meledak)

ANFO, Slurry

Karena pertimbangan keamanan, ekonomi, kemudahan penanganan dan sebagainya,


maka saat ini diberbagai kegiatan pertambangan sering digunakan blasting agent jenis ANFO.
ANFO merupakan singkatan dari Ammonium Nitrat Fuel Oil atau istilah sehari-hari ANFO
adalah campuran urea dan solar. Sedangkan blasting agent adalah bahan peledak yang di buat
dari campuran bahan-bahan yang sifat dasarnya bukan bahan peledak (seperti urea dan solar
pada campuran ANFO).
1) Komposisi Kimia Bahan Peledak
Dalam menentukan komposisi kimia dari bahan peledak, maka perlu diperhatikan
Oxygen Balance atau neraca oksigen. Campuran bahan peledak sedapat mungkin
mencapai Zero Oxygen Balance, yaitu kondisi dimana reaksi dari campuran
menghasilkan energi yang maksimun dan panas (heat of explosion) yang setinggi

mungkin. Artinya kondisi Zero Oxygen Balance dicapai jika reaksi berlangsung
sempurna. Berikut salah satu reaksi kesetimbangan untuk ANFO:
94,5% AN + 5,5% FO
3 NH4NO3 + CH2 = 7H2O + CO2 + 3N2 + 930 Kcal/kg
Perbandingan Amonium dan Fuel Oil (94,5 : 5,5) ini sering di jadikan pedoman
dalam mencampur ANFO, karena memberikan energi terbesar dan tidak
menghasilkan unsur beracun seperti gas CO dan NO.
2) Sifat Bahan Peledak
Sifat-sifat bahan peledak yang mempengaruhi hasil peledakan yaitu:
a. Kekuatan (Strength)
Kekuatan suatu bahan peledak adalah ukuran yang dipergunakan untuk
mengukur energi yang terkandung pada bahan peledak dan kerja yang dapat
dilakukan oleh bahan peledak tersebut. Pada umumnya semakin besar bobot isi
dan kecepatan detonasi suatu bahan peledak maka kekuatannya juga semakin
besar.
b. Kecepatan Detonasi
Kecepatan detonasi (Velocity of Detonation = VOD) adalah kecepatan
gelombang detonasi yang melalui sepanjang kolom isian bahan peledak, yang
dinyatakan dalam meter/detik. Hal ini tergantung pada beberapa faktor yaitu
bobot isi bahan peledak, diameter bahan peledak, derajat pengurungan, ukuran
partikel dari bahan penyusunnya dan bahan-bahan yang terkandung dalam bahan
peledak.
c. Kepekaan (Sensitivity)
Kepekaan adalah ukuran besarnya impuls yang diperlukan oleh suatu bahan
peledak untuk memulai beraksi dan menyebarkan reaksi peledakan ke seluruh
isian. Kepekaan bahan peledak tergantung pada komposisi kimia, ukuran butir,
bobot isi, pengaruh kandungan air, dan temperatur.
d. Bobot Isi Bahan Peledak
Bobot isi bahan peledak adalah perbandingan antara berat dan volume bahan
peledak, dinyatakan dalam gr/cm3. Bobot isi biasanya juga dinyatakan dengan
istilah Spesific Gravity (SG), Stick Count (SC), ataupun loading density (de).
e. Tekanan Detonasi
Tekanan detonasi adalah penyebaran tekanan gelombang ledakan dalam kolom
isian bahan peledak, dinyatakan dengan kilobar (kb). Tekanan akibat ledakan di

sekitar dinding lubang ledak intensitasnya tergantung pada jenis bahan peledak
(kekuatan, bobot isi, VOD), derajat pengurungan, jumlah, dan temperatur gas
hasil ledakan.
f. Ketahanan Terhadap Air (Water Resistance)
Ketahanan terhadap air suatu bahan peledak adalah kemampuan bahan peledak
itu dalam menahan rembesan air dalam waktu tertentu tanpa merusak,
mengurangi, merubah kepekaannya. Sifat ini sangat penting, sebab untuk
sebagian besar jenis bahan peledak, adanya air dalam lubang ledak
mengakibatkan ketidakseimbangan kimia dan memperlambat reaksi pemanasan.
g. Sifat Gas Beracun (Fumes)
Bahan peledak yang meledak menghasilkan dua kemungkinan jenis gas, yaitu
smoke atau fumes. Smoke tidak berbahaya karena hanya mengandung uap air
(H2O) dan asap berwarna putih (CO2). Sedangkan fumes bewarna kuning dan
berbahaya karena sifatnya beracun, yang terdiri dari karbon monoksida (CO) dan
oksida nitrogen (NOx). Fumes terjadi karena tidak terjadi kesimbangan oksigen
dalam pembakaran, hal ini dikarenakan bahan peledak tersebut dalam keadaan
rusak.
3.2.5. Geometri Peledakan
Geometri peledakan sangat berpengaruh dalam mengontrol hasil peledakan, karena jika
geometri peledakannya baik akan menghasilkan fragmentasi batuan yang sesuai dengan ukuran
alat gali-muat, tanpa terdapat adanya bongkah, kondisi jenjang yang lebih stabil, serta keamanan
alat-alat mekanis dan keselamatan para pekerja yang bekerja lebih terjamin. Ada tujuh standar
dasar geometri peledakan yaitu: burden, spacing, stemming, subdrilling, kedalaman lubang
ledak, panjang kolom isian dan tinggi jenjang. Dan beberapa teori tentang geometri peledakan
adalah dengan Geometri Peledakan Rules of Thumb (Dyno Nobel) dan Geometri Peledakan
R.L. Ash. Dasar dari penggunaan Teori Rules of Thumb adalah dari percobaan para engineer
di lapangan maupun dari produsen bahan peledak yang tujuannya untuk mempermudah dalam
menentukan geometri peledakan karena penggunaan Teori Rules of Thumb dilapangan lebih
sederhana saat akan disesuaikan dengan kondisi lapangan.

Adapun cara yang diterapkan untuk menentukan geometri peledakan dengan metode
yang dikemukakan RL. Ash (gambar 3.10) adalah sebagai berikut:
1)

Burden (B)
Burden merupakan jarak tegak lurus terpendek antara lubang tembak yang diisi
bahan peledak dengan bidang bebas atau ke arah mana batuan hasil peledakan akan
terlempar.

Gambar 3.10 Geometri Peledakan


Jarak burden yang baik adalah jarak dimana energi ledakan bisa menekan batuan
secara maksimal sehingga pecahnya batuan dapat sesuai dengan fragmentasi batuan
yang direncanakan dengan mengupayakan sekecil mungkin terjadinya batu terbang,
bongkah, dan retaknya batuan pada batas akhir jenjang (Gambar 3.11).

Gambar 3.11 Pengaruh Burden Terhadap Hasil Peledakan


Batuan standard mempunyai bobot isi 160 lb/ft 3, bahan peledak standard memiliki
berat jenis 1,2, kecepatan detonasi 12000 fps, dan Kb standard (burden ratio) yaitu
30. Jika batuan dan bahan peledak yang akan diledakkan tidak sama dengan ukuran
standard maka harga Kb standard itu harus dikoreksi menggunakan faktor
penyesuaian (adjustment factor).
B ( Burden ) =

Kb De
12

Burden dihitung berdasarkan diameter lubang ledak dengan mempertimbangkan


konstanta KB yang tergantung pada jenis atau grup batuan dan bahan peledak.
Persamaan untuk menghitung KB, AF1, AF2:

AF 1=

AF 2=

(
3

SG . Ve 2
S Gstd .Ve std

( DDstd )
3

Kb=Kb . std AF 1 AF 2
Dimana:

= Burden (ft)

Kb

= Burden ratio

De

= Diameter lubang tembak (inchi)

AF1

= Faktor yang disesuaikan untuk batuan yang akan diledakkan

SG

= Berat jenis bahan peledak yang dipakai (ANFO = 0,85)

SGstd

= Berat jenis bahan peledak standard (1,20)

Ve

= VOD bahan peledak yang dipakai (ANFO = 11.803 fps)

Vestd

= VOD bahan peledak standard (12.000 fps)

AF2

= Faktor yang disesuaikan untuk bahan peledak yang dipakai

= Bobot isi batuan yang diledakkan (lb/ft3)

Dstd

= Bobot isi batuan standard (160 lb/ft3)

Kbstd

= Burden ratio standard (30)

Tabel 3.7. Burden standar (KB.std) menurut R.L. Ash


Type of explosives

Soft

Low density (0,8 -0,9 g/cc) and low strength


Medium density (1,0 1,2 g/cc) and medium strength
High density (1,3 1,6 g/cc) and high strength

(< 2 t/m3)
30
35
40

2)

Rock Group
Medium
(2-2,5t/m3)
25
30
35

Hard
(>2,5 t/m3)
20
25
30

Spasi (S)
Spasi adalah jarak terdekat antara dua lubang tembak yang berdekatan di dalam satu
baris (row) dan diukur sejajar terhadap pit wall. Apabila jarak spasi terlalu kecil akan
menyebabkan batuan hancur menjadi halus, tetapi bila spasi lebih besar daripada
ketentuan akan menyebabkan banyak terjadi bongkah (boulder) dan tonjolan (stump)
diantara dua lubang ledak setelah diledakkan.
S=Ks B

Dimana:
S

= Spasi (meter)

Ks

= Spacing ratio (1.00 2.00)

= Burden (meter)

Berdasarkan cara urutan peledakannya, pedoman penentuan spasi adalah sebagai


berikut:
a.
b.
c.
d.

Peledakan serentak, S = 2B.


Peledakan beruntun dengan delay interval lama (second delay) S = B.
Peledakan dengan millisecond delay, S antara 1B hingga 2B.
Peledakan terdapat kekar yang tidak saling tegak lurus, S antara 1.2B hingga

1.8B.
e. Peledakan dengan pola equilateral dan beruntun tiap lubang ledak dalam baris
yang sama, S = 1.15B
3)

Stemming (T)
Stemming adalah tempat material penutup di dalam lubang bor, yang letaknya di atas
kolom isian bahan peledak. Fungsi stemming adalah supaya terjadi keseimbangan
tekanan dalam lubang tembak dan mengurung gas-gas hasil ledakan sehingga dapat
menekan batuan dengan energi yang maksimal. Panjang pendeknya serta padat atau
tidaknya stemming sangat mempengaruhi hasil dari peledakan, hal ini dilihat dari
segi ground vibration, flying rock, air blast, dan hasil fragmentasi batuannya.
a. Apabila stemming terlalu panjang, akan menyebabkan:

Ground vibration tinggi.

Flying rock kurang, artinya lemparan batuannya tidak banyak terjadi.

Air blast (suara) yang dihasilkan tidak keras.

Fragmentasi daerah hasil peledakan kurang bagus atau jelek.

b. Sedangkan apabila stemming terlalu pendek, maka:

Kemungkinan terjadinya flying rock.

Air blast (suara/noise) yang dihasilkan besar.

Fragmentasi di daerah bawah hasil peledakan kurang bagus.

Ground vibration rendah.


Rumus yang digunakan adalah:
T =Kt B

Dimana:
T

= stemming (meter)

Kt

= stemming ratio (0.75 1.00)

B
4)

= burden (meter)

Sub Drilling (J)


Subdrilling merupakan bagian dari panjang lubang tembak yang terletak lebih rendah
dari lantai jenjang. Subdrilling diperlukan agar batuan dapat meledak secara
keseluruhan dan terbongkar tepat pada batas lantai jenjang, sehingga tonjolantonjolan pada lantai jenjang (toe) dapat dihindari. Tujuan dari sub drilling adalah
supaya batuan bisa meledak secara full face sebagaimana yang diharapkan, selain itu
tujuan dibuatnya sub drilling agar tidak terjadi tonjolan pada lantai dasar bench.
Rumusan yang digunakan adalah:
J =Kj B
Dimana:

5)

= Subdrilling (meter)

Kj

= Subdrilling ratio (0.2 0.3)

= Burden (meter)

Kedalaman Lubang Tembak (H)


Kedalaman lubang ledak merupakan jumlah total antara tinggi jenjang dengan
besarnya subdrilling. Kedalaman lubang ledak biasanya disesuaikan dengan tingkat
produksi (kapasitas alat muat) dan pertimbangan geoteknik, baik dari ketinggian
bench, burden, maupun arah pemborannya.
Rumus yang digunakan adalah:
H=Kh B

Dimana:

6)

= Kedalaman lubang tembak (meter)

Kh

= Hole depth ratio (1.5 - 4.0)

= Burden (meter)

Panjang Kolom Isian (PC)

Panjang kolom isian merupakan panjang kolom lubang tembak yang akan diisi bahan
peledak. Panjang kolom ini merupakan kedalaman lubang tembak dikurangi panjang
stemming yang digunakan.
PC=H T
Dimana:

7)

PC

= Panjang kolom isian (meter)

= Kedalaman lubang tembak (meter)

= Stemming (meter)

Tinggi Jenjang (L)


Secara spesifik tinggi jenjang maksimum ditentukan oleh peralatan lubang bor dan
alat muat yang tersedia. Tinggi jenjang berpengaruh terhadap hasil peledakan seperti
fragmentasi batuan, ledakan udara, batu terbang, dan getaran tanah. Berdasarkan
perbandingan ketinggian jenjang dengan jarak burden yang diterapkan (Stiffness
Ratio), maka akan diketahui hasil dari peledakan tersebut. Penentuan ukuran tinggi
jenjang berdasarkan Stiffness Ratio digunakan rumus sebagai berikut:
L=5 De

Dimana:
L

= Tinggi jenjang minimum (ft)

De

= Diameter lubang tembak (inchi)

Sedangkan perhitungan geometri peledakan sesuai Teori Rules of Thumb adalah


sebagai berikut:
1) Burden (B)
Burden = (25 40) x Blast Hole Diameter
2) Spacing (S)
Spasi = 1,15 x Burden
3) Blast Hole Diameter (De)
Blast hole diameter 15 x Bench Height (m)
4) Sub Drilling (J)

Sub drilling

= ( 3 15 ) x Blast hole diameter


= ( 3 15 ) x 171,45 mm

5) Stemming (T)
Untuk mencari stemming, dapat dihitung dengan dua cara, yaitu:
a. Stemming 20 x Blast Hole diameter,
b. Stemming (0,7 1,2) x Burden
6) Blast Hole Dept (H)
Blast Hole Depth = Bench Height + Subdrilling
7) Bench Height (L)
Bench Height Blast Hole Diameter / 15
Bench Height 171.45 mm / 15
Bench Height 11.43 mm
8) Charge Length (PC)
Charge Length 20 x Blast Hole Diameter
Charge Length 20 x 171.45 mm
Charge Length 3429 mm
Dalam penggunaanya baik teori RL. Ash maupun Rules of Thumbs sangat ditentukan oleh
keterbatasan dan ketersediaan alat bor, yaitu ukuran bit yang mampu dibuat oleh alat bor
tersebut.

3.2.6. Pola Peledakan


Pola peledakan merupakan urutan waktu peledakan antara lubang bor yang satu dengan
yang lainnya, baik dalam satu baris/kolom ataupun berlainan. Pola peledakan ditentukan
berdasarkan urutan waktu peledakan serta arah runtuhan material yang diharapkan. Agar
peledakan berjalan dengan baik, maka perlu perencanaan yang teliti dalam menentukan pola

peledakan. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam merencanakan pola peledakan,
yaitu:
1)
2)
3)
4)
5)

Kuat tekan batuan yang akan diledakkan.


Fragmentasi hasil peledakan yang diinginkan.
Bidang bebas yang ada serta arah jatuhnya batuan.
Jenis bahan peledak yang akan digunakan.
Jumlah baris yang didasarkan pada lebar daerah yang akan diledakkan sesuai untuk
kebutuhan produksi.

Ada dua macam pola peledakan yang dibagi berdasarkan arah runtuhan batuan (hasil
peledakan) dan waktu peledakan. Pola peledakan yang berdasarkan arah runtuhan batuan dibagi
menjadi tiga pola (Gambar 3.12):
1) Box Cut, adalah pola peledakan yang dimulai dari bagian tengah suatu jenjang dan
mempunyai dua bidang bebas. Arah runtuhan peledakan pola box cut adalah kedepan
dan membentuk kotak.
2) V Cut, adalah pola peledakan yang arah runtuhan batuannya kedepan dan membentuk
huruf V.
3) Corner Cut, adalah pola peledakan yang dimulai dari sudut suatu jenjang dan
mempunyai tiga bidang bebas. Dengan adanya tiga bidang bebas ini maka
diharapkan proses peledakan berlangsung sempurna. Arah runtuhan peledakan pola
corner cut adalah kesalah satu sudut dari bidang bebasnya.
Berdasarkan urutan waktu peledakan, maka pola peledakan diklasifikasikan sebagai
berikut:
1) Pola peledakan serentak, yaitu suatu pola yang menerapkan peledakan secara
serentak untuk semua lubang tembak.
2) Pola peledakan beruntun, yaitu suatu pola yang menerapkan peledakan dengan waktu
tunda antara baris yang satu dengan baris lainnya.

Gambar 3.12 Pola Peledakan Berdasarkan Arah Runtuhan


Setiap lubang ledak yang akan diledakkan harus memiliki ruang yang cukup kearah
bidang bebas terdekat agar energi terkonsentrasi secara maksimal sehingga lubang tembak akan
terdesak, mengembang, dan pecah.
3.2.7. Arah Peledakan
Arah peledakan merupakan suatu penunjukan arah dimana terjadi pemindahan
(displacement) batuan ataupun runtuhan batuan hasil peledakan yang kemudian membentuk
tumpukan. Arah peledakan dipengaruhi oleh struktur batuan, posisi alat-alat dan jalan tambang
serta posisi bangunan-bangunan maupun lingkungan sekitar. Dari segi kekar batuan, maka arah
peledakan yang baik untuk menghasilkan fragmentasi batuan yang seragam digunakan arah
peledakannya menuju sudut tumpul perpotongan antara arah umum kedua kekar utama. Apabila
arah peledakannya menuju sudut runcing, maka akan terjadi penerobosan energi peledakan
melalui rekahan yang ada. Hal ini mengakibatkan pengurangan energi ledakan untuk
menghancurkan batuan, sehingga terbentuk fragmentasi batuan yang tidak seragam dan
cenderung menghasilkan banyak overbreak (Gambar 3.13). Sedangkan dari segi perlapisan
batuan, untuk mendapatkan fragmentasi batuan yang baik, diterapkan arah lubang tembak yang
berlawanan arah dengan bidang perlapisan batuan karena energi ledakan akan menekan batuan
secara maksimal. Secara teoritis, bila lubang tembak arahnya berlawanan dengan arah pelapisan
batuan, maka kemungkinan terjadinya backbreak akan lebih rendah, lantai jenjang tidak rata,
tetapi fragmentasi hasil peledakan akan lebih seragam dan akan membentuk tumpukan material

(muckpile) yang lebih tinggi dengan lemparan batuan tidak terlalu jauh. Sedang jika arah lubang
tembak searah dengan arah kemiringan bidang perlapisan, maka kemungkinan yang terjadi
adalah timbul backbreak lebih besar, fragmentasi batuan tidak seragam dan tumpukan material
hasil peledakan (muckpile) akan lebih rendah dengan terlemparnya batuan akan lebih jauh, serta
kemungkinan terhadap terjadinya longsoran akan lebih besar, namun akan menghasilkan lantai
jenjang yang lebih rata.

Gambar 3.13 Arah peledakan keluar sudut tumpul perpotongan kekar


3.2.8. Pengisian Bahan Peledak
Jumlah pemakaian bahan peledak sangat mempengaruhi hasil peledakan, terutama tingkat
fragmentasi yang dihasilkan. Hal yang berpengaruh dalam pengisian bahan peledak dalam
lubang tembak yaitu:
1) Konsentrasi Isian (loading density)
Konsentrasi isian merupakan jumlah isian bahan peledak yang digunakan dalam
kolom isian (PC) lubang tembak. Untuk menghitung lubang tembak maka harus
ditentukan dulu jumlah isian bahan peledak tiap meter panjang kolom isian (loading
density). Untuk menghitung loading density dapat digunakan rumusan sebagai
berikut:
de=0.508 De 2 ( SG )
Dimana:
de
= loading density (kg/m)
De
= diameter lubang tembak (inchi)
SG
= specific gravity bahan peledak yang digunakan

Sehingga jumlah bahan peledak yang digunakan dalam satu lubang tembak dapat
dicari dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
E=de PC
Dimana:
E
= jumlah bahan peledak tiap lubang ledak (kg)
de
= loading density dari handak yang digunakan (kg/m)
PC
= panjang kolom isian (m)
2) Powder Factor (Pf)
Powder factor atau specific charge merupakan perbandingan antara jumlah bahan
peledak yang digunakan terhadap jumlah batuan yang diledakkan.
E
Pf =
V
Dimana:
Pf
= powder factor (kg / ton)
V
= berat batuan yang diledakkan (ton)
E
= berat bahan peledak yang digunakan (kg)
Dalam menentukan powder factor ada 2 macam satuan yang dapat digunakan, yaitu:
a.

Berat bahan peledak per volume batuan yang diledakkan


(kg/m3).

b. Berat bahan peledak per berat batuan yang diledakkan (kg/ton).


Nilai powder factor dipengaruhi oleh jumlah bidang bebas, geometri peledakan,
struktur geologi, dan karakteristik massa batuan itu sendiri. Pada tabel 3.3 dapat
diketahui hubungan antar densitas batuan dengan nilai powder factor, dan pada tabel
3.4 diketahui hubungan powder factor dengan beberapa jenis batuan.
Bila pengisian bahan peledak terlalu banyak akan mengakibatkan jarak stemming
menjadi kecil sehingga menyebabkan terjadinya batuan terbang (flyrock) dan ledakan
tekanan udara (airblast). Sedangkan bila pengisian terlalu kecil maka jarak stemming
menjadi besar sehingga menimbulkan bongkah dan backbreak di sekitar dinding
jenjang.
Tabel 3.8 Hubungan Nilai Powder Factor dengan Tipe Batuan

Types Of Rock

Powder Factor (kg / m3)

Massive high strength rocks

0,60 1,50

Medium strength rocks

0,30 0,60

Highly fissured rocks, weathered or soft

0,10 0,30

Tabel 3.9 Hubungan Nilai Powder Factor dengan Densitas Batuan.


Powder Factor
Class Limit (kg/m3)

Average Value (kg/m3)

Rock Density (ton/m3)

0.12 0.18

0.150

1.40 1.80

0.18 0.27

0.225

1.75 2.35

0.27 0.38

0.320

2.25 2.55

0.38 0.52

0.450

2.50 2.80

0.52 0.68

0.600

2.75 2.90

0.68 0.88

0.780

2.85 3.00

0.88 1.10

0.990

2.95 3.20

1.10 1.37

1.235

3.15 3.40

1.37 1.68

1.525

3.35 3.60

1.68 2.03

1.855

>3.35

3.2.9. Waktu Tunda


Waktu tunda merupakan penundaan waktu peledakan untuk peledakan antara baris yang depan
dengan baris di belakangnya dengan menggunakan delay detonator. Keuntungan melakukan
peledakan dengan waktu tunda ialah:

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Fragmentasi batuan hasil peledakan akan lebih seragam dan baik.


Mengurangi timbulnya getaran tanah dan flyrock.
Mengurangi jumlah muatan yang meledak secara bersamaan.
Menyediakan bidang bebas baru untuk peledakan berikutnya.
Arah lemparan dapat diatur.
Mengurangi airblast.
Batuan hasil peledakan (muckpile) tidak menumpuk terlalu tinggi.

Penentuan waktu tunda peledakan dapat digunakan rumusan sebagai berikut:


Tr=T R B
Dimana:
Tr
TR
B

= Waktu tunda (ms).


= Konstanta waktu antar baris.
= Burden (m).

Konstanta waktu tunda didasarkan pada hasil peledakan yang diinginkan. Nilai konstanta
waktu tunda dapat dilihat pada tabel 3.5.
Tabel 3.10. Waktu tunda antar row
Konstanta TR (ms/m)

Hasil

6,5

Violet, air blast yang berlebihan, backbreak.

8,0

Tumpukan tinggi dekat face, air blast sedang,


backbreak.

11,5

Rata-rata tumpukan tinggu, dan rata-rata


adanya air blast & backbreak.

16,5

Tumpukan berserak dengan backbreak yang


minimum.

3.3 Energi Peledakan


Setiap

peledakan

akan

menghasilkan

energi

yang

menyebabkan terjadinya

berbagai jenis gelombang yang merambat di dalam bumi, dipermukaan bumi maupun
di udara. Salah satu penyebab pecahnya batuan dari bergetarnya
adalah

adanya

rambatan

gelombang tersebut.

Reaksi

bumi

karena

peledakan

peledakan
tidak

saja

menghasilkan gelombang energi yang mampu menghancurkan massa batuan padat, tetapi
masih ada tersisa energy yang

menghasilkan

gelombang

dan

terus

merambat

dengan

kecepatan yang kian melemah seiring dengan semakin jauh jarak rambatannya dari
pusat ledakan. Tetapi dalam kasus yang khusus semakin jauh ternyata getaran yang ditimbulkan
lebih besar. Energi peledakan akan membentuk gelombang tekan yang menghasilkan deformasi
plastis terhadap batuan, sehingga batuan akan pecah atau hancur. Sebagian dari gelombang
tersebut terus merambat menembus bumi atau batuan membentuk gelombang tegangan-regangan
di dalam batas zona elastis batuan. Gelombang

yang

menjalar

di

dalam

batas

zona

elastis batuan disebut pula gelombang seismik yang tidak akan memecahkan batuan
tetapi

hanya menggetarkannya.Dari

peledakan

dapat dikategorikan

ke

uraian

di

dalam

dua

atas,

maka

bagian,

energi

yang

yaitu energi

dihasilkan

terpakai (work

energy) dari energi sisa (waste energy). Energi terpakai adalah energi yang menghasilkan
tenaga atau daya yang betul-betul digunakan untuk menghancurkan batuan.Energi ini
terdiri dari 2 jenis, yaitu energi kejut dan energi gas
3.3.1 Work Energy
Pada peledakan suatu media padat akan timbul tekanan detonasi (detonation pressure)
dan tekanan peledakan (explosion pressure)yang merupakan efek dari

shock energy

dan gas energy hasil dari perubahan kimia bahan peledak. Untuk bahan peledak dari jenis high
explosive, pertama kali akan terjadi tekanan detonasiyang kemudian diikuti tekanan peledakan,
sedangkan untk bahan peledak Low explosive hanya terjadi tekanan peledakan. Hal ini
dikarenakan adanya perbedaankecepatan penjalaran reaksi kimia dalam kolom bahan
peledak.Bahan peledak high explosive mempunyai kecepatan penjalaran reaksi yang lebih besar
dari kecepatan penjalaran suara dalam bahan peledak, yang dikenal sebagaikecepatan detonasi.
Kecepatan detonasi ini menyebabkan timbulnya gelombangkejut ( shock wave) atau gelombang
detonasi (detonation wave) yang terletak didepan daerah reaksi utama (primary reaction zone)
dalam kolom bahan peledak.Gelombang kejut ini yang menyebabkan timbulnya tekanan
detonasi. Tekanandetonasi ini dinyatakan sebagai fungsi dari bobot isi bahan peledak kali
kuadratdari kecepatan detonasi bahan peledak (Calvin J. Konya, et. al).
Pd = 2.5 x x VOD2

Dimana :
Pd = Tekanan detonasi (MPa)
= Bobot isi bahan peledak (Kg/m3)
VOD = Kecepatan detonasi (m/detik)

3.3.2 Waste Energy


Bahan peledak melepaskan energi dan menghasilkan rock fracturing , plasticdeformation,
dan elastic deformationpada batuan. Energi peledakan yangmenyebabkan terjadinyaelastic
deformation dapat menghasilkan stress waves(body wave) yang merambat melalui massa
batuan.Energi peledakan membutuhkan sejumlah energi yang cukup sehingga melebihiatau
melampaui kekuatan batuan atau melampaui batas elastik batuan untuk memecahkan suatu
batuan. Proses pemecahan batuan ini akan berlangsung terushingga energi yang dihasilkan oleh
bahan peledak makin lama makin berkurangdan menjadi lebih kecil dari kekuatan batuan,
sehingga proses pemecahan batuan berhenti. Energi yang tersisa ( seismic energy) akan menjalar
melalui batuan,mengakibatkan deformasi dalam batuan tetapi tidak memecahkan batuan,
karenamasih di dalam batas elastiknya. Hal ini akan menghasilkan gelombang seismik.
Gelombang ini pada batas tinggi tertentu dapat menyebabkan kerusakan padastruktur bangunan
dan juga dapat sangat mengganggu manusia. Gelombangseismik ini dirasakan oleh manusia
sebagai getaran.

3.4 Getaran dan Gelombang


Fenomena getaran banyak sekali ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari getaran
yang sederhana sampai getaran yang sangat kompleks. Getaran adalah gerak bolak-balik secara
periodik yang selalu melewati kedudukan setimbang. Titik kedudukan setimbang adalah
kedudukan benda pada saat tidak mengalami getaran (diam). Kedudukan ini terletak di antara
dua titik terjauh bila benda tersebut bergetar. Gelombang adalah gejala dari perambatan usikan
(gangguan) di dalam suatu medium. Pada peristiwa perambatan tersebut tidak disertai dengan
perpindahan tempat yang permanen dari materi-materi medium, tetapi membentuk suatu osilasi

sehingga gelombang dapat bergerak dari satu tempat ke tempat lainya. Rambatan usikan tersebut
tidak lain merupakan rambatan energi. Berdasarkan mediumnya gelombang dapat dibagi menjadi
dua, yaitu gelombang mekanik dan gelombang elektromagnetik. Gelombang mekanik adalah
gelombang yang merambat melalui suatu medium elastis (medium yang dapat berubah bentuk),
sedangkan gelombang elektromagnetik adalah gelombang yang di dalam perambatanya. tidak
memerlukan medium. Gelombang mekanik terjadi ketika sebagian dari medium diganggu dari
posisi keseimbanganya. Akibat sifat elastis medium, gangguan dapat diteruskan dan merambat
sebagai gelombang, contohnya gelombang pada tali, gelombang pada pegas, gelombang bunyi,
dan gelombang permukaan air.
3.4.1 Getaran Tanah(Ground Vibration)
Getaran Tanah (Ground Vibration) adalah gerakan bumi yang terjadi akibat perambatan
gelombang seismik di bawah tanah. Kegiatan peledakan selalu menghasilkan gelombang sismik.
Tujuan peledakan umumnya untuk memecahkan batuan. Kegiatan ini membutuhkan sejumlah
energi yang cukup sehingga melebihi atau melampaui kekuatan batuan atau melampaui batas
elastis batuan.Apabila hal tersebut terjadi maka batuan akan menjadi pecah.Proses pemecahan
batuan akan terus berlangsung ,sampai energi yang di hasilkan bahan peledak makin lama makin
berkurang,dan menjadi lebih kecil dari kekuatan batuan.Sehingga proses pemecahan batuan
terhenti,dan energi yang tersisa akan menjalar melalui batuan,karena masih dalam batas
elastisitasnya.Hal ini akan menghasilkan gelombang seismik.
Tingkat getaran dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu : Jumlah bahan peledak / waktu
tunda (Charge Weight Per Delay), Jarak Pengukuran. Semakin banyak bahan peledak maka
semakin tinggi nilai kecepatan partikel puncak,dan semakin jauh jarak pengukuran peledakan
maka semakin rendah nilai partikel puncak. Dengan menggunakan uji berbagai scale distance
disuatu daerah maka akan diperoleh persamaan yang akan digunakan untuk memperkirakan
tingkat getaran yang akan terjadi.
3.4.1.1 Faktor yang mempengaruhi getaran
Beberapa penelitian telah dilakukan dalam usaha menentukan hubungan antara faktorfaktor tersebut dengan tingkat getaran. Ground vibration peledakan dipengaruhi oleh dua faktor
utama, yaitu faktor yang dapat dikontrol dan yang tidak dapat dikontrol. Yang dimaksud faktor

yang tak dapat dikontrol adalah faktor geologi dan geomekanik batuan. Dan berikut ini adalah
faktor yang dapat dikontrol yang mempengaruhi ground vibration :
1.

Jumlah muatan bahan peledak perwaktu tunda Besarnya vibrasi yang dihasilkan
peledakan dipengaruhi oleh jumlah muatan total bahan peledak per waktu
tunda. Besar kecilnya Intensitas Ground Vibration akan tergantung kepada
jumlah berat bahan peledak maksimum yang meledak bersamaan pada interval
waktu. (lamanya interval waktu adalah 8 millisecond). Jadi lubanglubang
tembak yang mempunyai selisih waktu meledak kurang dari sama dengan 8 ms,
dianggap meledak bersamaan. Jumlah muatan total handak yang dianggap
meledak bersamaan ini merupakan muatan bahan peledak per waktu tunda.
Semakin besar muatan bahan peledak per waktu tunda, besaran vibrasi yang
dihasilkan akan semakin meningkat tetapi hubungan ini bukan merupakan
hubungan yang sederhana, misalnya muatan dua kali lipat jumlahnya tidak

2.

menghasilkan getaran yang dua kali lipat


2. Jarak dari lokasi peledakan Jarak dari titik atau lokasi peledakan, juga
memberikan pengaruh yang besar terhadap besaran vibrasi yang dihasilkan,
seperti juga muatan maksimal bahan peledak per waktu tunda. Semakin dekat
suatu titik pengukuran vibrasi ke titik atau lokasi peledakan, maka vibrasi yang
terukur akan semakin besar.

3.

Waktu tunda (delay period) Interval waktu tunda antar lubang ledak sangat
mempengaruhi tingkat vibrasi yang dihasilkan. Jika interval waktu tunda
tersebut makin besar, maka kemungkinan jumlah bahan peledak yang dianggap
meledak bersamaan (selisih waktu meledak kurang dari sama dengan 8 ms)
akan makin kecil, sehingga tingkat vibrasi yang dihasilkan akan makin kecil.
Tetapi perlu diperhatikan pula bahwa agar tingkat vibrasi yang dihasilkan kecil,
maka jumlah lubang ledak yang memiliki interval delay kurang dari sama
dengan 8 ms harus diusahakan sedikit mungkin agar jumlah bahan peledak
yang meledak per waktu tundanya sedikit pula. Dan variabel - variabel yang
tidak dapat dikontrol adalah faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan oleh
kemampuan manusia, hal ini disebabkan karena prosesnya terjadi secara
alamiah. Contoh variabel yang tidak dapat dikontrol, antara lain :

a. Karakteristik massa batuan


b. Struktur geologi
c. Pengaruh air
3.4.1.2 Prinsip pengukuran getaran peledakan
Getaran tanah adalah gerakan bumi (ground motion) yang terjadi akibat perambatan
gelombang seismik. Kegiatan peledakan akan selalu menghasilkan getaran atau gelombang
seismik. Tujuan peledakan umumnya adalah untuk memecahkan batuan. Kegiatan ini
membutuhkan sejumlah energi yang cukup sehingga melebihi atau melampaui kekuatan batuan
atau melampaui batas elastis batuan. Apabila hal tersebut terjadi maka batuan akan pecah. Proses
pemecahan akan berjalan terus sampai energi yang dihasilkan oleh bahan peledak makin lama
makin berkurang dan menjadi lebih kecil dari kekuatan batuan, sehingga proses pemecahan
batuan berhenti. Energi yang tersisa akan menjalar melalui batuan, karena masih di dalam
elastisnya. Hal ini akan menghasilkan gelombang seismic .Tingkat getaran dari hasil peledakan
dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu Jumlah bahan peledak/waktu tunda (charge weight per
delay) dan jarak pengukuran (lenght of delay). Semakin banyak bahan peledak yang digunakan
maka semakin tinggi nilai kecepatan partikel puncak.
3.4.1.3 Alat ukur getaran tanah
Pengukuran getaran peledakan dilapangan yang digunakan adalah Blasmate III
(gambar )Sebelum pengukuran, blastmateIII disetting terlebih dahulu (lampiran A).
BlastmateIII didesain untuk mengukur dan mencatat getaran tanah dengan tepat.
Peralatan ini disebut dengan seismograf dan terdiri dari 2 bagian penting, yaitu sensor
dan recorder. Kotak sensor mempunyai 3 unit independent sensor yang letaknya saling
tegak lurus antara satu unit dengan unit lain. Dua unit terletak horisontal dan saling tegak
lurus dan unit yang lain dipasang secara vertikal. Ketiga sensor tersebut mencatat 3 arah
komponen getaran peledakan yaitu longitudinal, vertikal, dan transversal. Gerakan
longitudinal adalah gerakan partikel ke/dari depan dan belakang. Gerakan vertikal adalah
gerakan partikel ke/dari atas dan bawah. Gerakan transversal adalah gerakan partikel
tanah atau batuan dari satu sisi ke sisi yang lain.

Gambar 3.14.BlasmateIII
Mekanisme Pengukuran Kebisingan dan Getaran :
Getaran tanah yang dihasilkan dalam proses peledakan umumnya dinyatakan dalam peak
vector sum (PVS) serta biasanya menggunakan satuan mm/sec. Menurut arah gerakan partikel,
komponen ground vibration hasil kegiatan peledakan digolongkan menjadi 3 jenis (Gambar
4.2.), yaitu :

a. Gerakan Longitudinal (radial) adalah gerakan partikel maju dan mundur sesuai dengan arah
rambatan gelombang yang biasanya bergerak dari sumber ledak ke arah alat perekam.
b. Gerakan Transverse (tangensial) adalah gerakan partikel tanah atau batuan ke kiri dan kanan
dan tegak lurus arah rambatan gelombang.
c. Gerakan Vertikal adalah gerakan partikel naik turun.

Gambar 3.15. Variasi Pergerakan Partikel Karena Bentuk Gelombang Getaran


(a) Tekan-Longitudinal (b) Geser-Transversal (c) Rayleigh-mewakili vertikal

3.5

Metode untuk Mengurangi Tingkat Ground Vibration

Desain peledakan merupakan kunci dasar untuk mengurangi tingkat getaran tanah akibat
kegiatan peledakan. Adapun beberapa cara yang dapat diterapkan untuk mengurangi tingkat
getaran, antara lain:
a.

Peledakan dengan Waktu Tunda


Cara pertama adalah menggunakan metode peledakan dengan waktu tunda. Secara

teoritis, lubang yang meledak dalam satu waktu dibandingkan lubang yang meledak
menggunakan waktu tunda dengan perbandingan jumlah/berat lubang yang sama dan jumlah
bahan peledak yang sama akan menghasilkan tingkat getaran yang berbeda. Pada peledakan
waktu tunda, jumlah/berat bahan peledak yang meledak akan dibagi-bagi sesuai dengan
penggolongan waktu tundanya. Hal tersebut membuat daya ledak akan terbagi oleh waktu tunda,
sehingga tingkat getaran yang dihasilkan kecil jika dibandingkan dengan peledakan tanpa waktu
tunda.

Ada dua jenis tipe peledakan waktu tunda, yaitu:


1. Hole by hole yaitu Peledakan dengan waktu tunda yang didesain untuk meledak lubang per
lubang.
2. Row by row yaitu dengan waktu tunda yang didesain untuk meledak baris per baris.
b.

Mengurangi Diameter Lubang Ledak


Cara lain yang digunakan untuk mengurangi tingkat getaran akibat peledakan adalah

dengan mengurangi ukuran diameter lubang ledak. Hal ini bertujuan untuk mengurangi
jumlah/berat peledak yang digunakan, sehingga terjadi daya ledak menjadi berkurang dan
mengurangi tingkat getaran yang dihasilkan. Perubahan ukuran diameter juga akan
mempengaruhi ukuran burden dan spasi serta secara langsung akan merubah nilai powder factor.
c.

Benching
Benching merupakan cara lain yang digunakan untuk mengurangi tingkat getaran. Cara

ini dilakukan dengan mengecilkan atau mengurangi tingkat kedalaman yang didesain untuk
tinggi jenjang dari total rencana final kedalaman. Contoh, jika final kedalaman yang
direncanakan adalah 60 ft, maka jika menggunakan cara benching kedalaman tersebut
dipotong/dikurangi 30 ft atau lebih. Dalam contoh tersebut, untuk mencapai target final
kedalaman maka peledakan jenjang direncanakan menjadi 2 (dua) tahap. Hal tersebut akan
mengurangi jumlah/berat bahan peledak sehingga daya ledak dan tingkat getaran menjadi
berkurang.

d.

Decking
Decking juga salah satu cara untuk mengurangi tingkat getaran hasil kegiatan peledakan.

Decking dilakukan dengan cara membagi total kolom isian dengan menempatkan stemming di
dalam kolom isian sehingga kolom isian terbagi menjadi beberapa segmen. Masing-masing
bagian di dalam kolom isian dipisah dengan waktu tunda, sehingga membuat bahan peledak
tidak meledak pada waktu yang sama. Hal tersebut menyebabkan penuruan tingkat getaran yang
dihasilkan.
e.

Line Drilling
Merupakan cara untuk mengurangi tingkat getaran dengan membuat baris lubang yang

berdiameter kecil (tidak lebih dari 3 inchi), dengan spasi yang cenderung rapat dan tidak diisi
bahan peledak. Biasanya untuk meredam tingkat getaran pada massa batuan yang tidak stabil
(gambar 4.4.).

Gambar 3.16 Line Drilling


3.6

Kontrol Vibrasi

Peledakan tunda (delay blasting) adalah suatu teknik peledakan dengan cara meledakkan
sejumlah besar muatan bahan peledakan tidak sebagai satu muatan (single charge) tetapi sebagai
suatu seri dari muatan-muatan yang lebih kecil. Maka getaran yang dihasilkan terdiri seri
kumpulan getaran kecil, bukan getaran besar. Dengan mempergunakan delay, pengurangan
tingkat getaran dapat dicapai. Untuk mengetahui mengapa peledakan delay adalah efektif dalam
pengurangan tingkat getaran perlu mengerti perbedaan antara kecepatan partikel (particle
velocity) dan kecepatan perambatan (propagation velocity atau transmission velocity). Yang

dimaksud dengan kecepatan perambatan adalah kecepatan gelombang seismik merambat melalui
batuan, berkisar antara 2000 20.000 feet per detik, tergantung pada jenis batuan. Untuk suatu
daerah dengan batuan tertentu, kecepatan relatif konstan. Kecepatan perambatan tidak
dipengaruhi oleh besarnya energi (input energy). Peledakan delay mengurangi tingkat getaran
sebab setiap delay menghasilkan masingmasing gelombang seismik yang kecil yang terpisah.
Gelombang hasil delay pertama telah merambat pada jarak tertentu sebelum delay selanjutnya
meledak. Kecepatan perambatan tergantung pada jenis batuannya.
1. Scaled Distance
Cara yang praktis dan efektif untuk mengontrol tingkat getaran adalah dengan
menggunakan Scaled Distance. Scaled Distance memungkinkan pelaksana lapangan menentukan
jumlah bahan peledak yang diperlukan atau jarak aman untuk muatan bahan peledak yang
jumlahnya telah ditentukan. Dengan menggunakan sistem metrik, Scaled Distance dapat di
rumuskan sebagai berikut (Hustrulid, 1999).
SD
V =H

SD=

dimana:

D
W 0,5

= Kecepatan partikel

= Konstanta proporsionalitas

= Jarak titik pengukuran ke titik peledakan

= Muatan bahan peledak yang dianggap meledak bersamaan

= Konstanta (1,6)

SD = Scaled Distance
Analisis dengan Scaled Distance Pelemahan getaran tanah dalam hal komponen
kecepatan puncak dan intensitas getaran udara dievaluasi berdasarkan scaled distance. Faktor

Scaled Distance untuk pergerakan tanah dan getaran udara diketahui, berturut-turut, sebagai
berikut:
Square-root scaled distance SRSD = R / W
Cube-root scaled distance CRSD = R / W
Dimana:
R = jarak dari gelombang ke seismograf
W = berat isian maksimum bahan peledak dalam setiap 8 ms tiap satuan waktu (1 kali periode
tunda).
Scaled distance sebagai alat penggabung dua faktor-faktor paling penting
meningkatkan intensitas gerakan tanah dan getaran udara sebagai penurunan sebanding dengan
jarak dan berbanding terbalik dengan berat bahan peledak dalam 1 kali tunda. Dalam kasus
pergerakan tanah, digunakan nilai SRSD sebagai pergerakan tanah telah ditunjukkan untuk
mengkorelasikan dengan . Pada Kasus getaran udara, tekanan udara berkorelasi terbaik dengan
(CRSD).
2. Peak Particle Velocity (PPV)
Peak particle velocity (PPV) merupakan kecepatan maksimum yang digunakan untuk
menghitung besarnya getaran pada suatu lokasi yang tergantung pada jarak lokasi tersebut dari
pusat peledakan dan dari jumlah bahan peledak yang dipakai per periode (delay). Berdasarkan
penelitian yang dilakukan dalam usaha menentukan besarnya kecepatan partikel puncak (PPV)
yang dihasilkan dalam sebuah peledakan, maka dapat ditentukan persamaan seperti pada
persamaan 3.9.
D
PPV =k
W

( )

Dimana :
PPV

= Ground Vibration as Peak Particle Velocity (mm/s)

= Jarak muatan maksimum terhadap lokasi pengamatan (m)

= Muatan bahan peledak maksimum per periode tunda (kg)

k, n

= Konstanta yang harganya tergantung dari kondisi lokal dan kondisi peledakan.

Persamaan diatas berlaku untuk satuan Internasional (mm/sec) Menurut Dupont untuk
mengestimasi PPV, nilai k harus disesuaikan dengan panjang dari stemming yang digunakan
(tabel 2.1).
Tabel 3.11 Nilai Konstanta K

3.7

Kondisi

underconfined

100

Normal Confinement

160

Overconfined

220

Standar Vibrasi

Standart vibrasi adalah besar/kuat getaran yang diijinkan akibat dari kegiatan peledakan
dimana tidak melewaati batas aman. Ada beberapa pihak/negara telah melakukan standarisasi
vibrasi peledakan yaitu acuan kriteria kerusakan, seperti :
1. Badan Standardisasi Nasional (SNI)
2. US Bereau of Mines (USBM)
3. Langefors, Kihlstrom Westerberg (1957)
4. Edwards & Northwood (1959)
5. Nicholls, Johnson & Duval (1971)
Agar diketahui pengaruh getaran peledakan terhadap lingkungan sekitar lokasi peledakan,
maka hasil pengukuran dibandingkan dengan baku tingkat getaran nasional sesuai dengan
kondisi lingkungan dan bangunan yang ada di Indonesia.
Di Indonesia, parameter khusus yang digunakan untuk kontrol tingkat getaran hasil
peledakan, diatur dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 7571:2010. Adapun standar baku
tingkat tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.12 dan Tabel 3.13

Tabel 3.12.Kelas dan Jenis Bangunan Serta Peak Vektor Sum


Kela
s

Jenis Bangunan

Peak Vector
Sum (mm/detik)

Bangunan kuno yang dilindungi


Undang-Undang benda cagar
budaya (Undang-Undang No.6
Tahun 1992).

Bangunan dengan pondasi,


pasangan bata dan adukan semen
saja, termasuk bangunan dengan
pondasi dari kayu dan lantainya
diberi adukan semen

Bangunan dengan pondasi,


pasangan bata dan adukan semen
diikat dengan slope beton

Bangunan dengan pondasi,


pasangan bata dan adukan semen
slope beton, kolom dan rangka diikat
dengan ring baik

7-20

Bangunan dengan pondasi,


pasangan bata dan adukan semen,
slope beton, kolom dan diikat dengan
rangka baja

12-40

Sumber: SNI 7571-2010; 3

Tabel 3.13.Jenis Kelas, Frekuensi Maksimum dan PPV Maksimum


Kelas

Sumber : SNI 7571-2010; 4

Frekuensi

PPV (mm/s)

0-5

5-20

20-100

0-5

5-20

20-100

0-5

5-20

20-100

12

0-5

5-20

12

20-100

20

0-5

12

5-20

24

20-100

40

Anda mungkin juga menyukai