MINI PROJECT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Gangguan jiwa merupakan masalah yang sangat serius, penting dan
berbahaya diseluruh dunia. Karena dapat menyangkut keselamatan dan
kerugian dari diri sendiri maupun seorang lain, tidak hanya itu gangguan jiwa
merupakan penyakit medis yang kompleks, meliputi segi fisik, pola hidup dan
juga riwayat kejiwaan seseorang (Videbeck, 2008). Penanganan penderita
gangguan jiwa bersifat holistic atau menyeluruh, tidak sekedar minum obat
saja, tetapi meliputi terapi psikologi, terapi psiko-religius dan terapi
psikososial yang melibatkan berbagai pihak sebagai oleh beberapa pendidikan
gaya yang dapat ditemui berbagai dunia (Hawari,2007). Peningkatan angka
gangguan jiwa ditimbulkan oleh beberapa hal dari perilaku penderita
gangguan jiwa yang aneh dan amarah (Videbeck, 2002). Sebagai konsekuensi
hal tersebut, menjadikan terkadang penderita gangguan jiwa tidak dibawa
berobat ke dokter melainkan hanya di bawa ke orang pintar (Hawari,
2007)
Keluarga adalah orang-orang yang sangat dekat dengan pasien dan
dianggap paling banyak tahu kondisi pasien serta dianggap paling banyak
memberi pengaruh pada pasien. Sehingga keluarga sangat penting artinya
dalam perawatan dan penyembuhan pasien. Oleh karena itu sangat penting
sekali bagi dokter dan tenaga kesehatan untuk mengenalkan pada keluarga dan
masyarakat bagaimana gejala gangguan jiwa dan tindakan apa yang harus
dilakukan bila menemui anggota masyarakat yang mengalami gangguan jiwa
1.2
Identifikasi Masalah
[Type text]
Jiwa ( RSJ ) yang ada di seluruh Indonesia menyebutkan hingga kini jumlah
penderita gangguan jiwa berat mencapai 2,5 juta orang. Penderita gangguan jiwa
berat dengan usia di atas 15 tahun di Indonesia mencapai 0,46%. Hal ini berarti
terdapat lebih dari 1 juta jiwa di Indonesia yang menderita gangguan jiwa berat.
Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa 11,6% penduduk Indonesia mengalami
masalah gangguan mental emosional ( Riset kesehatan dasar, 2007 ). Sedangkan
pada tahun 2013 jumlah penderita gangguan jiwa mencapai 1,7 juta (Riskesdas,
2013 ).
Prevalensi gangguan jiwa berat atau dalam istilah medis disebut
psikosis/skizofrenia di daerah pedesaan ternyata lebih tinggi dibanding daerah
perkotaan. Di daerah pedesaan, proporsi rumah tangga dengan minimal salah satu
anggota rumah tangga mengalami gangguan jiwa berat dan pernah dipasung
mencapai 18,2 persen. Sementara di daerah perkotaan, proporsinya hanya
mencapai 10,7 persen. Nampaknya, hal ini memberikan konfirmasi bahwa
tekanan hidup yang dialami penduduk pedesaan lebih berat dibanding penduduk
perkotaan. Dan mudah diduga, salah satu bentuk tekanan hidup itu, meski tidak
selalu adalah kesulitan ekonomi ( Riskesdas, 2013 ).
Puskesmas Denpasar Barat II telah mulai menjalankan kegiatan Posbindu
PTM, yang dilakukan tiap bulan pada 25 banjar di wilayah kerjanya. Posbindu ini
melibatkan kader-kader puskesmas di tiap banjar, perawat dan dokter yang
bertugas di bagian pemeriksaan dan pengobatan. Posbindu PTM di wilayah kerja
Puskesmas Denpasar Barat II melakukan senam lansia, penyuluhan penyakit tidak
menular, pengukuran tekanan darah, berat badan, lingkar perut, pemeriksaan gula
darah, pencatatan dan pelaksanaan rujukan ke puskesmas dan rumah sakit. Salah
satu banjar di wilayah kerja Puskesmas Denpasar Barat II yang rutin mengadakan
Posbindu PTM setiap bulan adalah Banjar Batu Bintang. Banjar Batu Bintang
memiliki lansia binaan sebanyak 50 orang. Beberapa kendala masih ditemukan
dalam penyelenggaraan Posbindu ini. Pada laporan ini hanya akan di bahas
mengenai posbindu penyakit tidak menular di Banjar Batu Bintang pada bulan
April 2013.
[Type text]
1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Meningkatnya pengetahuan keluarga dan masyarakat tentang
gangguan jiwa dan peran keluarga dalam perawatan pasien dengan
gangguan jiwa dan dapat merawat anggota keluarganya yang mengalami
gangguan jiwa dengan tepat serta mencegah kekambuhan gejala gangguan
jiwa yang dialami pasien
1.4. Manfaat
1.4.1 Menurunnya angka kekambuhan gejala pasien dengan gangguan jiwa
di wilayah kerja Puskesmas Denpasar Barat II.
1.4.2 Meningkatkan pengetahuan pasien, keluarga, dan masyarakat tentang
gangguan jiwa
1.4.3 Mengetahui gambaran gangguan jiwa di wilayah kerja Puskesmas
Denpasar Barat II.
BAB II
[Type text]
PELAKSANAAN KEGIATAN
2.1. Strategi
Sebelum dilaksanakan kegiatan penyuluhan kesehatan jiwa ini,
koordinasi dilakukan dengan petugas puskesmas untuk menjadwalkan
penyuluhan kesehatan jiwa di banjar yang terpilih. Penyuluh bertugas
menyiapkan diri dengan penguasaan materi penyuluhan, cara penyampaian
pesan, dan pengadaan media penyuluhan (lembar balik). Penguasaan materi
dilakukan dengan membaca buku atau mencari tulisan di internet. Melatih
cara penyampaian informasi yaitu dengan membaca pedoman penyuluhan
dan
simulasi.
Dalam
kesempatan
wawancara
medis
perorangan,
[Type text]
Hasil Pemeriksaan
[Type text]
BAB III
PEMBAHASAN
1.1 Profil Puskesmas II Denpasar Barat
[Type text]
masyarakat.
Tujuan
pengembangan
kesehatan
adalah
untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang
agar terwujud derajat kesehatan yang optimal. Pemerintah telah menetapkan
strategi nasional menuju Indonesia Sehat 2010 dan Denpasar Sehat 2010 yaitu
salah satunya melalui puskesmas. Salah satu puskesmas di Kecamatan Denpasar
Barat yaitu Puskesmas II Denpasar Barat.
1.2 Data Geografis
Puskesmas II Denpasar Barat berdiri sejak tahun 1984 yang terletak di
Jalan Gunung Soputan Gang Puskesmas No. 3 Denpasar Barat. Luas Wilayah
kerja Puskesmas II Denpasar Barat yaitu 13,52 km2, dengan batas wilayah
sebagai berikut:
Sebelah Utara
: Kelurahan Pemecutan
Sebelah Timur
Sebelah Selatan
Sebelah Barat
: 11 Banjar
: 5 Banjar
: 7 Banjar
: 15 Banjar
: 8 Banjar, 5 Ling
[Type text]
: 21.022 jiwa
: 10.905 jiwa
: 20.015 jiwa
: 29.855 jiwa
: 17542 jiwa
: 9.411 jiwa
Jumlah KK Miskin
: 2.766 jiwa
Jumlah Posyandu
: 66 posyandu
persentase kehadiran lansia binaan di Banjar Buagan masih kurang bahkan tidak
mencapai setengah dari jumlah lansia binaan. Hal ini menunjukkan masih
kurangnya antusias masyarakat lansia binaan untuk terlibat dalam kegiatan
posyandu. Kondisi ini merupakan hal yang harus diperhatikan dan memerlukan
evaluasi lebih lanjut untuk mengetahui penyebab rendahnya tingkat kehadiran.
Beberapa hal yang mungkin menjadi penyebab antara lain komunikasi informasi
dan edukasi kepada lansia dan keluarga yang masih kurang sehingga kesadaran
untuk memeriksakan kesehatan. Mengingat usia lansia membutuhkan keluarga
sebagai pendamping maka kader posyandu dan posbindu PTM diharapkan
melakukan pendekatan yang lebih kepada keluarga yang memiliki anggota
keluarga lansia. Pendekatan secara aktif dapat pula dilakukan dengan bantuan
tokoh masyarakat yang disegani.
Dalam pelaksanaan posyandu lansia di Banjar Batu Bintang, kegiatan yang
dilakukan adalah diawali dengan senam lansia, pembagian makanan tambahan,
penyuluhan dan dilanjutkan dengan pengukuran BB, tekanan darah, lingkar perut,
pemeriksaan gula darah dan pengobatan dasar yang dilanjutkan dengan pencatatan
[Type text]
oleh kader dan petugas puskesmas pada lembar KMS lansia. Kegiatan ini jika
dilihat dari kelompok tingkatan Posbindu PTM telah mencakup kegiatan yang
dilakukan kelompok Posbindu PTM dasar yang telah disertai dengan pemeriksaan
kadar gula darah yang merupakan bagian dari kelompok Posbindu PTM plus.
Namun kegiatan ini masih memerlukan penyempurnaan agar kegiatan yang
dilakukan dapat mencapai program posbindu PTM yang ideal. Ketersediaan
sarana alat-alat kesehatan untuk keperluan Posbindu PTM serta sumber daya
manusia dalam hal ini kader yang terlatih dan petugas puskesmas merupakan
bagian penting yang harus terus ditingkatkan.
Berdasarkan data yang tercatat saat kegiatan Posbindu di Banjar Batu
Bintang maka dari 24 orang lansia binaan yang datang ditemukan sebanyak 54 %
atau 13 orang memiliki tekanan darah diatas normal dan 10 orang yang
mengkonsumsi obat hipertensi. Dari pengukuran lingkar perut ditemukan 4% atau
1 orang lansia binaan dengan lingkar perut di atas normal. Dari pengukuran IMT,
ditemukan 29% atau 7 orang overweight, 4% atau 1 orang dengan obese, dan
12,5% atau 3 orang dengan gizi kurang. Setelah penyuluhan mengenai diabetes
mellitus sebanyak 62,5% atau 15 orang lansia binaan melakukan pemeriksaan
gula darah dan 2 orang di dapatkan dengan diabetes. Selanjutnya jika dimasukkan
ke dalam kriteria pengendalian faktor risiko PTM maka sebanyak 36% termasuk
pengendalian faktor risiko kategori buruk, 18% termasuk kategori sedang, dan
46% termasuk kategori baik.
Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa tingkat pengendalian faktor risiko
penyakit tidak menular lansia binaan masih rendah. Hal ini dapat disebabkan oleh
berbagai faktor antara lain tingkat pendidikan dan pengetahuan lansia yang rendah
mempengaruhi kesadaran untuk menjaga dan mengontrol kesehatan secara rutin.
Tingkat ekonomi masyarakat, keterlibatan anggota keluarga lain untuk
memotivasi, serta kurangnya KIE dari kader maupun petugas kesehatan
melakukan promosi pentingnya Posbindu sebagai lini pertama deteksi dini,
pengobatan, dan pengendalian penyakit tidak menular merupakan faktor yang
turut mempengaruhi.
Pada pelaksanaan Posbindu PTM di Banjar Batu Bintang dilakukan
penyuluhan mengenai diabetes melitus bagi para lansia binaan. Selama
[Type text]
BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan
[Type text]
[Type text]