Anda di halaman 1dari 25

Infertilitas

Setiap pasangan suami istri pada umumnya selalu mendambakan anak sebagai salah
satu penunjang kebahagiaan rumah tangga. Pasangan suami istri (Pasutri) yang belum
berhasil mendapatkan anak akan berusaha mendapatkannya demi mewujudkan
keluarga bahagia dan sejahtera. Namun harapan itu tidak semua dapat terpenuhi
karena adanya beberapa permasalahan antara lain sulit hamil. Masalah yang dikenal
sebagai infertilitas ini memang menjadi masalah serius pasangan suami istri. Oleh
karena itulah pasangan suami istri yang kesulitan hamil harus mendapat perhatian
dalam pelayanan medis demi kesejahteraan keluarganya (Sumapraja, 1999).
Angka infertilitas pasangan suami istri usia produktif di Indonesia terdapat
sebesar 12-15%. Persentase jumlah pasangan infertil di Indonesia bila diperhitungkan
dari banyaknya wanita yang pernah kawin dan tidak mempunyai anak yang hidup yang
berada di desa dan kota kira-kira sama. Penelitian sebelumnya juga menunjukkan
jumlah pasangan suami istri di Indonesia yang infertil terdapat sekitar 10-15%. Pada
tahun 1995 WHO melaporkan terdapat sekitar 8% pasangan suami istri di dunia
mengalami masalah infertilitas selama masa reproduksinya. Penyebab infertilitas bisa
berasal dari pihak suami maupun istri, atau keduanya. Infertilitas harus dikelola dalam
satu kesatuan pasangan, karena keberhasilan kehamilan tidak dapat diandalkan hanya
dari satu pihak saja. Penyebab infertilitas ada yang dengan mudah dapat dijelaskan
tetapi ada pula yang belum ataupun tidak dapat dijelaskan, meskipun kini telah tersedia
cara-cara diagnostik yang canggih dan teknik pengobatan yang maju (Vayena, 2002).
Kehamilan merupakan hasil dari pertemuan sel sperma dan sel telur (konsepsi) yang
kemudian berkembang menjadi janin. Konsepsi terjadi dengan syarat harus ada sel
telur dan sel sperma yang matang dan harus melakukan perjalanan melalui beberapa
organ reproduksi yang sehat. Permasalahan terjadi jika salah satu atau kedua alat
reproduksi pria maupun wanita mengalami gangguan, kalau yang terjadi demikian maka
konsepsi sulit terjadi. Oleh karena itu pemeriksaan pada pasangan infertil harus
dilakukan secara bersamaan dan satu kesatuan. Fertilitas adalah fungsi satu pasangan
yang sanggup untuk menjadi hamil dan melahirkan anak hidup. Infertilitas primer adalah
pasangan suami istri tidak pernah hamil meskipun bersenggama teratur selama 1 tahun
tanpa proteksi. Infertilitas sekunder adalah pasangan suami istri pernah hamil tetapi
kemudian tidak mampu untuk hamil lagi meskipun bersenggama teratur selama 1 tahun
tanpa proteksi (Speroff, 2005).

Fertilisasi In vitro
Fertilisasi in vitro adalah salah satu cara untuk mendapatkan keturunan dengan
cara menempatkan kembali hasil konsepsi yang dipertemukan di luar tubuh ibu ke
dalam rongga rahim (Pernoll, 2001). Semula fertilisasi in vitro diindikasikan untuk istri
yang mengalami kerusakan pada kedua tuba yang tidak dapat dilakukan reparasi atau
perbaikan. Setelah ternyata tingkat keberhasilannya meningkat, indikasi fertilisasi in
vitro diperluas tidak hanya faktor tuba saja, tetapi juga mencakup yang pertama adalah
faktor suami yaitu Konsentrasi spermatozoa. Pada inseminasi buatan dilakukan kontak
langsung antara spermatozoa dan oosit. Angka kejadian fertilisasi meskipun rendah
namun dapat diterima dengan konsentrasi sperma 1,5 x 10 6/ml setelah dilakukan
prosedur swim up. Faktor yang kedua adalah motilitas spermatozoa. Jenis motilitas
spermatozoa tergantung dari gerakan ekor, kemajuan, arah dan kecepatan
spermatozoa. Faktor yang ketiga yaitu Morfologi Spermatozoa. Spermatozoa normal
memiliki tiga bagian yaitu kepala, leher dan ekor. Bila salah satu bagian tersebut tidak
ada atau bentuknya abnormal menyebabkan kemampuan sel sperma untuk membuahi
akan menurun. Sel sperma dianggap normal jika bentuk sperma normal sekitar 30%
dalam setiap ejakulat (WHO, 1997)
Faktor infertilitas istri yang pertama adalah kerusakan kedua tuba. Indikasi klasik
fertilisasi in vitro adalah riwayat salpingektomi oleh karena kehamilan ektopik,
kegagalan operasi rekonstruksi tuba atau adanya obstruksi menetap pada tuba bagian
distal atau kornu (Amino, 2002). faktor kedua adalah servik abnormal. Infertilitas yang
berhubungan dengan faktor servik dapat disebabkan oleh sumbatan kanalis servikalis,
lendir servik abnormal, malposisi servik atau kombinasinya. Bila beberapa kali
didapatkan hasil pemeriksaan uji pasca sanggama yang buruk, faktor ini patut
dipertimbangkan. Pada pasien ini biasanya keadaan mukosa servik tidak dapat
diperbaiki dengan obat-obatan dan inseminasi intrauterin tidak berhasil sehingga harus
dilakukan fertilisasi in vitro. Faktor yang ketiga adalah Gangguan Ovulasi. Gangguan
perkembangan pematangan sel telur dan pecahnya sel telur antara lain merupakan
faktor penyebab ketidaksuburan. Saat akan dilakukan inseminasi buatan diperlukan
deteksi tepat waktu ovulasi. Waktu ovulasi digunakan untuk menentukan saat
sanggama atau bila siklus haid sangat panjang. Faktor yang keempat adalah imunologi.
Imunologi infertilitas dipengaruhi oleh aspek imunobiomolekuler. Adanya aktifitas sitokin
dan antibody mediated menunjukkan mekanisme yang saling berhubungan pada
proses fertilisasi awal sampai implantasi. Kerjasama jaringan reproduksi dan aktifitas
sistem imun ini dapat menimbulkan respon lingkungan yang harmonis antara sel-sel
sistem imun, sekresi produksi yang berefek normal pada jaringan reproduksi. Pada
sebagian kasus infertilitas, antibodi dalam tubuh wanita yang disebut antibodi
antisperma dapat menggumpalkan sperma yang akan mengurangi motilitas sperma.
Antibodi antisperma menghasilkan sistem imun yang dalam keadaan tertentu berperan
sebagai benda asing. Antibodi antisperma dapat mengakibatkan aglutinasi sperma atau
berpengaruh pada interaksi antara sperma dan sel telur. Kemampuan sperma untuk
membuahi sel telur berkurang terutama jika antibodi sperma menempel di kepala
sperma. Faktor selanjutnya adalah penyebab yang tidak terjelaskan.
Bila dari hasil pemeriksaan lengkap tidak dapat ditemukan kelainan yang dapat
menghambat kehamilan, keadaan ini dikategorikan sebagai unexplained factor.
Sebanyak 10% kasus infertilitas penyebabnya belum dapat dijelaskan. Hal ini dapat

diketahui apabila dari pemeriksaan lengkap pasangan suami istri dinyatakan normal
namun setelah ditangani selama minimal 6 bulan istri belum berhasil hamil.
Keberhasilan fertilisasi in vitro pada pasien unexplained factor hampir sama dengan
kasus infertilitas yang disebabkan karena faktor tuba dan endometriosis (Soesatyo,
2003)
Perkembangan dunia kedokteran dengan adanya teknologi fertilisasi in vitro atau
bayi tabung telah memberikan harapan pada pasangan suami istri infertil untuk dapat
memiliki keturunan. Fertilisasi in vitro merupakan prosedur bantuan reproduksi yang
digunakan secara luas di dunia. Dalam pengertian sederhana, fertilisasi in vitro adalah
upaya mengambil sel telur dari ovarium kemudian disatukan dengan sel sperma di
laboratorium menjadi embrio. Embrio lalu ditempatkan ke dalam rahim untuk implantasi
dan kehamilan. Pada saat pemindahan embrio, keadaan lingkungan rahim, kualitas dan
jumlah embrio mempengaruhi implantasi dan kehamilan tersebut. Penelitian-penelitian
dilakukan untuk mendapatkan angka kehamilan yang tinggi berdasarkan keadaan
lingkungan rahim, kualitas embrio dan jumlah embrio yang diransfer. Kualitas dan
jumlah embrio dinilai secara langsung berdasarkan morfologi. Keberhasilan pertama
kali cara fertilisasi in vitro ditandai dengan lahirnya bayi tabung pada bulan juli 1978.
Proses suatu kehamilan didahului oleh adanya pertemuan antara ovum atau sel telur
dari pihak wanita dengan spermatozoa dari pihak pria yang disebut sebagai proses
fertilisasi. Setelah terjadi konsepsi barulah terjadi perkembangan sel yang disebut
sebagai embrio yang terdiri dari beberapa sel. Selanjutnya embrio ini akan tertanam di
rongga rahim ibu atau berimplantasi dan selanjutnya akan tumbuh dan berkembang
melalui diferensiasi hingga tumbuh menjadi janin. Peristiwa ketidakmampuan hamil
seringkali berasal dari kegagalan yang terjadi saat fertilisasi maupun implantasi.
Kehadiran teknik in vitro fertilization atau disebut juga teknologi bayi tabung sebagai
salah satu usaha untuk mengatasi problem infertilitas, ternyata hanya menghasilkan
kehamilan kurang dari 10% (Lopata, 1996).

dr I Nyoman Rudi Susantha SpOG


tiang keturunan "ARYA DAUH BALEAGUNG"tiang asli saking Banjar Jeroagung desa Gelgel
Klungkung Bali. Tugas di bagian kandungan dan kebidanan rsu sanjiwani gianyar,bali trims

Senin, 14 Juli 2008


male infertility
Dr. Nono Tondohusodo, M.Kes, Sp.And
Tim Bayi Tabung Graha Tunjung
Sub.Bag. Fertilitas Endokrinologi Reproduksi (FER)
BAG/SMF Obstetri & Ginekologi FK UNUD Denpasar
Pasangan disebut infertil jika belum terjadi kehamilan setelah menikah 1 tahun atau
lebih, dengan catatan pasangan tersebut melakukan hubungan seks secara teratur
tanpa alat kontrasepsi.Infertilitas pasangan suami istri kurang lebih merupakan 10 15 % dari pasangan usia subur. Kurang lebih setengah dari jumlah itu disebabkan
oleh faktor pria. Pada masa lalu kebanyakan anggapan menyebutkan bahwa yang
menjadi penyebab utama infertilitas pasangan adalah pihak wanita. Pandangan
tersebut akhir-akhir ini berubah bahwa infertiltas adalah problem pasangan yaitu
suami dan istri.
Penyebab infertiltas pria antara lain karena faktor potensi generandi dan potensi
coendi, yaitu kendala pada komponen untuk memproduksi sel-sel benih dan
kegagalan untuk dapat berhubungan seks. Maka dari itu penanganan infertilitas pria
diupayakan untuk meningkatkan kedua potensi tersebut.
Penyebab kegagalan potensi generandi meliputi faktor pre testikuler, testikuler dan
post testikuler. Faktor pre testikuler misalnya kelainan yang terjadi pada daerah
sebelum testis misalnya di hipotalamus dan hipofisa ( hipogonadisme sekunder).
Kelainan testikuler adalah kelainan yang terdapat di testis yaitu hipogonadisme
primer. Berbagai kelainan genetik, kelainan kongenital, infeksi, radiasi, obat-obatan,
trauma dan proses aging termasuk kausa primer pada gangguan testis. Kelainan
post testikuler yaitu kelainan pada daerah setelah testis misalnya epididimis, vesika
seminalis, prostat dan kelenjar seks asesoris.
Untuk melihat penyebab infertilitas pria dapat dilakukan dengan pemeriksaan
analisa sperma. Semua unsur dalam analisa sperma dapat berpotensi secara
tunggal atau bersama untuk berpengaruh pada status fertilitas seorang pria. Hasil
analisa sperma ditambah dengan anamnesis , pemeriksaan fisik, laboratorium
umum dan laboratorium andrologi dapat merupakan alat guna mengetahui kasus
infertilitas pria. Penyebab infertilitas pria karena disfungsi seksual dapat berupa
kelainan vaskuler, neurologis, penyakit sistemik, kelainan endokrin, penyakit pada
penis atau adanya gangguan psikologis. Beberapa jenis obat-obatan tertentu telah
diketahui mempunyai efek samping berupa disfungsi seksual.
Usaha-usaha untuk mengatasi infertilitas pria telah dilakukan oleh banyak pihak
dan WHO telah membuat suatu penuntun penatalaksanaan infertilitas pria. Tetapi

telah diketahui bahwa hampir separuh penyebab infertilitas pria tidak diketahui,
sehingga pengobatan tidak bisa diarahkan dengan tepat. Disamping itu banyak
kelainan-kelainan yang menyebabkan infertilitas pria sudah tidak dapat diobati atau
pengobatannya tidak terlalu efektif. Jadi secara umum sampai saat ini dapat
dikatakan hasil pengobatan infertilitas pria masih mengecewakan.
Misalnya untuk pengobatan biasa dengan faktor penyebab infertilitas pria, maka
angka kehamilan per siklus sekitar 3 %. Ini berarti dari 100 pria diobati maka dalam
bulan pertama yang berhasil menghamili istrinya adalah 3 orang. Tampaknya cukup
sedikit, tetapi ini adalah proses reproduksi alamiah sehingga akan berulang dan
bertambah terus tiap bulan. Secara kumulatif dalam setahun sekitar 30 orang
berhasil dan dalam 2 tahun secara keseluruhan 50 orang berhasil. Setelah 2 tahun
angka ini angka ini biasanya tidak akan banyak bertambah, sehingga masih ada 50
% pria yang belum berhasil walaupun telah dihilangkan penyebabnya. Oleh karena
itu ditempuh alternatif lain melalui rekayasa untuk meningkatkan kemampuan
reproduksi pria dengan teknologi yang secara umum disebut Assisted Reproductive
Technology (ART).
ART memegang peranan penting dalam penanganan infertilitas pria, bukan hanya
karena merupakan cara pengobatan yang cukup berhasil, tetapi juga mempunyai
nilai diagnostik untuk menguji kemampuan fertilitas spermatozoa seperti pada
metode fertilisasi in-vitro (IVF). Indikasi ART untuk faktor pria bisa meliputi
infertilitas imunologik, oligo-/ astheno-/ terato zoospermia idiopatik dan infertilitas
pria yang gagal dengan pengobatan kausal. Dengan berhasilnya injeksi sperma
intra sitoplasmik (ICSI) maka indikasinya meluas untuk hampir semua masalah
infertilitas pria termasuk OAT berat , kegagalan fertilisasi pada IVF bahkan untuk
azoospermia baik obstruktif maupun non obstruktif.
Ada beberapa macam metode ART dimana masing-masing metode memiliki
keunggulan dan keterbatasan sendiri-sendiri. Metode yang cukup sederhana adalah
IUI, membutuhkan biaya yang jauh lebih rendah dan dapat diulang beberapa kali,
tetapi angka keberhasilannya rendah serta syarat saluran telur tidak boleh buntu
dan kualitas sperma tidak terlalu jelek. Sedangkan pada metode IVF-ET bisa
dikerjakan pada saluran telur buntu dan kualitas sperma yang relatif kurang.
Keuntungan lain yaitu fertilisasi bisa diamati untuk menilai potensi fertilisasi sperma
dan sel telur. Angka kehamilannya tidak terlalu tinggi. Metode ICSI tentunya
merupakan pilihan untuk kelainan sperma yang sangat berat dengan keberhasilan
paling tinggi, tetapi keterbatasannya adalah memerlukan peralatan yang canggih
dan biaya mahal. ICSI dapat dilakukan pada pria azoospermia dengan
menggunakan spermatozoa berasal dari epididimis melalui prosedur MESA
(Microsurgically Epididymal Sperm Aspiration) dan juga dari testis melalui prosedur
TESE (Testicular Sperm Extraction). Angka keberhasilan pasangan biasanya
diungkapkan dengan angka kehamilan per siklus.
Dengan teknologi yang ada pada saat ini , tidak semua pasangan yang mengikuti
program ini akan menjadi hamil. Dilain pihak, banyak pasangan-pasangan yang
tidak mungkin hamil menjadi hamil dengan melalui proses rekayasa ini.
PENANGANAN INFERTILITAS PRIA

Infertilitas
Infertilitas adalah kegagalan menjadi hamil setelah 1 tahun dengan koitus normal (Dr. Lynda
Saputra, 2009: 383).
Infertilitas adalah ketidakmampuan untuk hamil setelah 12 bulan hubungan seksual yang sering
tanpa kontrasepsi (Errol Morwitz & John Schorge, 2008: 53).
Infertilitas adalah tidak terjadinya kehamilan pada pasangan yang telah berhubungan intim tanpa
menggunakan kontrasepsi secara teratur minimal 1-2 tahun (WHO).
Pasangsan mandul (infertil) adalah pasangan yang telah kawin dan hidup harmonis serta telah
berhubungan seks selama satu tahun tetapi belum terjadi kehamilan (Manuaba, 2009 ).
Infertilitas didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk mengandung setelah paling tidak 1
tahun dalam hubungan yang normal dan tidak menggunakan kontrasepsi apapun (Hamilton,
persis. 2006).
2.2

Macam- Macam Infertilitas

Infertilitas primer jika istri belum pernah hamil walaupun bersenggama dan
dihadapkan kepada kemungkinan kehamilan selama 12 bulan.

Infertilitas sekunder jika istri pernah hamil akan tetapi kemudian tidak terjadi
kehamilan lagi walaupun bersenggama dan dihadapkan kepada kemungkinan
kehamilan selama 12 bulan (Sarwono, 2005:497).

2.3

Penyebab Infertilitas

Infertilitas dapat terjadi dari sisi pria, wanita maupun kedua-duanya (pasangan). Disebut
infertilitas pasangan bila terjadi penolakan sperma suami oleh istri sehingga sperma tidak dapat
bertemu dengan sel telur. Hal ini biasanya disebabkan oleh ketidaksesuaian antigen / antibodi
pasangan tersebut (Joko Suryo. 2010: 51-52 ).
2.3.1

Faktor Pria

Azoospermia (tidak terdapat spermatozoa)

Mungkin akibat spermatogenesis yang abnormal (perkembangan testis yang abnormal;


kriptokismus atau terlambat turun; orkitis akibat parotikis) atau kerusakan ductus spermatikus
oleh infeksi, terutama gonorea.

Oligosperma (jumlah spermatozoa kurang)

Berkaitan dengan defisiensi spermatogenesis; temperatur dalam skrotum meningkat ( iklim yang
panas, pakaian ketat, varikokel).

Impotensi

Mungkin bersifat psikologik, hormonal, berkaitan dengan ejakulasi prematur, ejakulasi retrograd
atau impotensi erektil.
(Dr. Lyndon Saputra, 2009: 383)

Sumbatan pada saluran vas deferens.

Sperma terhalang pengiriannya dari testis ke seminal vesikel untuk diolah lebih lanjut menjadi
cairan semen, sehingga semen yang dihasilkan tidak mengandung sperma sama sekali, atau
dalam jumlah tidak cukup.

Kegagalan menghasilkan sperma berkualitas

Penyebab dari terjadinya sperma yang buruk adalah


-

Cacat bawaan sejak lahir.

Kegagalan testis untuk turun ke kantong buah pelir (scrotum) sebelum pubertas.

Beberapa penyakit masa kanak-kanak dan penyakit lainnya, seperti penyakit gondong
(mumps) yang terjadi pada usia dewasa.
Pemaparan berbahaya seperti sinar-x, radioaktivitas, beberapa zat kimia dan logam beracun,
dan gas karbonmonoksida dari asap rokok dan knalpot mesin.
Beberapa gangguan genital, seperti jaringan parut (varikokel) yang dapat menyumbat
saluran sperma, dan infeksi tuberkulosa pada prostat.
Kondisi panas di sekitar testis (biji kemaluan), misalnya karena pakaian yang terlalu ketat,
obesitas, atau kondisi pekerjaan.

Faktor vitalitas umum yang tidak baik, misalnya kesehatan yang buruk, nutrisi yang tidak
mencukupi (adekuat), tidak berolahraga, merokok, dan minum alkohol berlebihan.
-

Stres emosional

Tidak melakukan hubungan seksual (abstinensi) dalam waktu yang terlalu lama, dapat
menimbulkan jumlah sperma abnormal.
(Syamsir Alam dan Iwan Hadibroto, 2007:37-38)

Usia

Berdasarkan penilitian yang ada maka jumlah dan kualitas sel spermatozoa akan menurun ketika
pria berusia diatas 50 tahun. Perbedaan masing-masing individu sangat terkait erat dengan faktor
genetik.

Hormon

Adanya gangguan fungsi hormonal yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisis sepeti
hipogonadotropin atau hiperprolaktin dapat menjadi penyebab terjadinya infertilitas pada pria

Penyakit autoimun

Adanya antibodi terhadap spermatozoa dapat menurunkan kualitas sel spermatozoa.

Faktor genetik

Adanya kelainan kromosom atau kerusakan genetik dapat menyebabkan infertilitas pria.

Penyakit metabolik seperti diabetes melitus dapat menyebabkan infertilitas


pria.

Keganasan atau kanker juga dapat mejadi penyebab infertilitas pria

(Andon Hestiantoro, dkk, 2008:31-32)


2.3.2

Faktor Wanita

Spasme tuba falopii (bermacam- macam penyebab, termasuk psikogenik)


atau obstruksi (kelainan kongenital atau infeksi)

Gangguan getah serviks, malinformasi uterus, perkembangan endometrium


yang kurang sempurna, hiperprotaktinemia, faktor endokrin yang
menyebabkan kegagalan terjadinya menstruasi dan / atau ovulasi.

Endometriosis adalah istilah untuk menyebutkan kelainan jaringan


endometrium yang tumbuh diluar diluar rahim. Jaringan abnormal tersebut
biasanya terdapat pada ligamen yang menahan uterus, ovarium, tuba fallopi,
rongga panggul,usus dan berbagai tempat lain. Sebagaimana jaringan
endometrium normal,jaringan ini mengalami siklus yang menjadi respon
terhadap perubahan hormonal sesuai siklus menstruasi perempuan.

(Dr. Lyndon Saputra, 2009: 383)

Anoreksia nervosa

Adalah suatu gangguan kejiwaan dimana seseorang (umumnya remaja putri dan wanita muda)
enggan makan karena alasan yang tidak masuk akal, yaitu takut gemuk. Akibatnya terjadinya
penyusutan berat badan yang membahayakan, gangguan hormonal, dan berhenti haid pada masa
subur (amenorea), bahkan dapat pula terjadi kematian.

Sumbatan pada saluran telur

Infertilitas dapat dikaitkan dengan gangguan lain pada organ reproduksi wanita, terasuk akibat
infeksi penyakit menular sesual tertentu, sistitis (cystitis), dan sebagainya. Akibat kondisi yang
disebut endometriosism menyebabkan peradangan dan terjadinya jaringan parut, yang selain
mempengaruhi indung telur juga menyumbat saluran telur. Biasanya gangguan tersebut sering
tidak langsung menunjukkan gejalanya, sehingga terabaikan. Kenyataannya infeksi saluran telur
sekarang ini menjadi penyebab utama dari terjadinya penyebab kemandulan.
(Syamsir Alam dan Iwan Hadibroto, 2007:30-31)

Kegagalan implantasi embrio di rahim

Tumor (kista, kanker) atau jaringan fibrosa (fibroid, polip), dan pemaparan radiasi dosis tinggi
dapat menghalangi terjadinya implantasi (penanaman) sel telur yang telah dibuahi di dinding
rahim.
(Syamsir Alam dan Iwan Hadibroto, 2007:30-31)
2.3.3

Faktor lain:

a.

penyakit menular seksual tanpa pengobatan memadai.

b.

kebiasaan merokok yang dapat menyebabkan kualitas sperma menurun.

c.

kebiasaan minum- minuman keras.

d.

penggunaan NAPZA.

e.
f.
g.

usia pasangan yang semakin tua, yang dapat menyebabkan fertilitas menurun.
terdapat kolerasi antara frekuensi dan waktu coitus.
terdapat infeksi pada organ reproduksi.
(Aprilia, Yesie. 2010)

2.4
2.4.1

Pemeriksaan Pasangan Infertilitas


Syarat- Syarat Pemeriksaan Infertilitas

Setiap pasangan infertil harus diperlakukan sebagai satu kesatuan. Itu berarti, kalau istri saja
sedangkan suaminya tidak mau diperiksa, maka pasangan itu tidak diperiksa.
Adapun syarat- syarat pemeriksaan pasangan infertil adalah sebagai berikut:
a)
Istri berumur antara 20-30 tahun baru akan diperiksa setelah berusaha untuk mendapatkan
anak selama 12 bulan. Pemeriksaan dapat dilakukan lebih dini apabila :
-

Pernah mengalami keguguran berulang.

Diketahui mengidap kelainan endokrin.

Pernah mengalami peradangan rongga panggul atau rongga perut.

Pernah mengalami bedah ginekologi.

b)
Istri berumur antara 31- 35 tahun dapat diperiksa pada kesempatan pertama pasangan itu
datang ke dokter.
c)
Istri pasangan infertil yang berumur antara 36-40 tahun hanya dilakukan pemeriksaan
infertilitas kalau belum mempunyai anak dari perkawinan ini.
d)
Pemeriksaan infertilitas tidak dilakukan pada pasangan infertil yang salah satu anggota
pasangannya mengidap penyakit yang dapat membahayakan kesehatan istri atau anaknya.
(Sarwono, 2005: 500)
2.4.2

Pemeriksaan Masalah Masalah Infertilitas

1.

Pemeriksaan mikroskopik

Bagi orang yang berpengalaman, memeriksa setetes air mani dibawah mikroskop sudah
memungkinkannya menaksir konsentrasi, jenis gerakan dan morfologi spermatozoa dengan
ketepatan yang tidak jauh berbeda dari kenyataan. Sel- sel radang menunjukkan adanya
peradangan. Kadang-kadang tampak pula trikomonas vaginalis atau candida albicans. Air mani
yang dibiarkan lama akan membentuk kristal spermin fosfat.
Kadang-kadang tampak pula pulau pulau aglutinasi spermatozoa, berkisar antara jarang sampai
banyak. Terdapat 3 jenis aglutinasi: kepala dengan kepala, kepala dengan ekor, ekor dengan ekor.
Spermatozoa dibagian luar aglutinasi itu biasanya masih tampak bergerak, akan tetapi dipusatnya
sudah tidak bergerak lagi.
Air mani tanpa spermatozoa (azoospermia) atau sedikit sperma akan segera tampak pada
pemeriksaan mikroskop. Sumbatan duktus dapat disingkirkan apabila tampak sel-sel muda yang
bulat. Sebelum menyatakan tidak adanya sel-sel muda, sebaiknya air mani disentrifugasikan
dahulu 3000 putaran per menit selama 5 menit, kemudian sedimennya diperiksa kemballi. Semua
air mani yang azospermia, harus diperiksa akan adanya fruktosa yang dihasilkan oleh vesikula
seminalis. Pada tidak tumbuhnya kedua vas deferens dan vesikula seminalis, air maninya tidak
mengandung fruktosa dan tidak dapat berkoagulasi setelah ejakulasi. Demikian pula kalau kedua
duktus ejakulatoriusnya tersumbat atau pada ejakulasi retrogard.
( Sarwono, 2005 : 503 505)
2.

Uji ketidakcocokan imunologik

Uji kontak air mani dengan lendir serviks (sperm cervical mucus contact test- SCMC test) yang
dikembangkan oleh kremer dan jager dapat mempertunjukkan adanya antibody local pada pria
atau wanita.
( Sarwono, 2005 : 505)
3.

Uji pascasenggama

Walaupun uji Sims Huhner atau uji pascasenggama telah lama dikenal di seluruh dunia, tetapi
ternyata nilai kliniknya belum diterima secra seragam. Salah satu penyebabnya adalah karena
belum adanya standarisasi cara melakukannya. Kebanyakan peneliti sepakat untuk
melakukannya pada tengah siklus haid, yang berarti 1 2 hari sebelum meningkatnya suhu basal
badan yang diperkirakan. Akan tetapi, belum ada kesepakatan berapa hari abstinensi harus
dilakukan sebelumnya, walaupun kebanyakan menganjurkan 2 hari. Demikian pula belum
terdapat kesepakatan kapan pemeriksaan itu dilakukan setelah senggama. Menurut kepustakaan,
ada yang melakukannya setelah 90 detik sampai setelah 8 hari. Sebagaimana telah diuraikan,

spermatozoa sudah dapat dampai pada lendir serviks segera setelah senggama, dan dapat hidup
di dalamnya sampai 8 hari. Menurut Denezis uji pascasenggama baru dapat dipercaya kalau
dilakukan dalam 8 jam setelah senggama. Perloff melakukan penelitian pada golongan fertil dan
infertil, dan berkesimpulan tidak ada perbedaan hasil yang antara kedua golongan itu kalau
pemeriksaannya dilakukan lebih dari 2 jam setelah senggama. Jika kesimpulan ini benar, maka
uji pascasenggama dilakukan secepatnya setelah senggama. Davajan menganjurkan 2 jam setelah
senggama, walaupun penilaian secepat itu tidak akan sempat menilai ketahanan hidup
spermatozoa dalam lendir serviks.
Berapa banyak spermatozoa harus tampak dalam 1 LPB, belum terdapat kesepakatan pula. Jetre
dan Glass menemukan peningkatan presentase kehamilan yang secara statistik bermakna kalau
terdapat lebih dari 20 spermatozoa/LPB; dan tidak berbeda bermakna pada golongan dengan 1
5, 6 10 atau 11 20 spermatozoa/LPB.
Cara pemeriksaan : setelah abstinensi selama 2 hari, pasangan dianjurkanmelakukan senggama 2
jam sebelum saat ditentukan untuk datang ke dokter. Dengan spkulum vagina kering, serviks
ditampilkan, kemudian lendir serviks yang tampak dibersihkan dengan kapas kering pula. Jangan
menggunakan kapas basah oleh antiseptik karena dapat mematikan spermatozoa. Lendir serviks
diambil dengan isapan semprit tuberkulin, kemudian disemprotkan keluar pada gelas objek, lalu
ditutup dengan gelas penutup. Pemeriksaan mikroskopik dilakukan dengan lapangan pandangan
besar ( LPB ).
( Sarwono, 2005 : 506 507)
4.

Uji In Vitro

a)

Uji gelas objek

Miller dan Kurzok pada tahun 1932 memakai teknik yang sangat sederhana untuk mengatur
kemampuan spermatozoa masuk ke dalam lendir serviks. Caranya dengan menempatkan setetes
air mani dan setetes lendir serviks pada gelas objek, kemudian kedua bahan itu disinggungkan
satu sama lain dengan meletakkan sebuah gelas penutup diatasnya. Spermatozoa akan tampak
menyerbu ke dalam lendir serviks, didahului oleh pembentukan phalanges air mani ke dalam
lendir serviks. Menurut Perloff dan Steinberger, pembentukan phalanges itu bukan merupakan
kegiatan spermatozoa, melainkan fenomena fisik kalau dua cairan yang berbeda viskositas,
tegangan permukaan dan reologinya bersinggungan satu sama lain di bawah gelas penutup.
b)

Uji kontak air mani dengan lendir serviks

Menurut Kremer dan Jager, pada ejakulat dengan autoimunisasi, gerakan maju spermatozoa akan
berubah menjadi terhenti atau gemetar di tempat kalau bersinggungan dengan lendir serviks.

Perangai gemetar ditempat ini terjadi pula kalau air mani yang normal bersinggungan dengan
lendir serviks dari wanita yang serumnya mengandung antibodi terhadap spermatozoa.
Kremer dab Jager melakukan uji tersebut dengan dua cara :
Cara pertama. Setetes lendir serviks praovulasi dengan tanda tanda pengaruh esterogen yang
baik dan pH lebih dari 7 diletakkan pada sebuah gelas objek di samping setetes air mani. Kedua
tetesan itu dicampur dan diaduk dengan sebuah gelas penutup, yang kemudian dipakai untuk
menutup camuran itu. Setetes mani yang sama diletakkan pada gelas objek itu juga, kemudian
ditutup dengan gelas penutup. Penilaian dilakukan dengan membandingkan motilitas
spermatozoabdari kedua sediaan itu. Sediaan itu keudian di simpan ke dalam tatakan petri yang
lembab, pada suhu kamar, selama 30 menit untuk kemudian diamati lagi.
Cara kedua. Setetes besar lendir serviks diletakkan pada sebuah gelas obyek, kemudian
dilebarkan sampai diameternya 1 cm. Setetes air mani diletakkan di tengah tengah lendir
serviks itu, kemudian lendir serviks dan air mani di tutup dengan sebuah gelas penutup, sambil
ditekan sedikit supaya air maninya dapat menyebar tipis diatas lendir serviks. Setetes air mani
yang sama diletakkan pula pada gelas objek itu, kemudian ditutup dengan sebuah gelas penutup.
Penilaian dilakukan seperti cara pertama
jika ini sangat berguna untuk menyelidiki adanya faktor imunologi apabila ternyata uji
pascasenggama selalu negatif atau kurang baik, sedangkan kualitas air mani dan lendir serviks
normal. Perbandingan banyaknyabspermatozoa yang gemetar di tempat, yang maju pesar dan
yang tidak bergerak mungkin menentukan prognosis fertilisasi pasangan itu.
5.

Biopsi Endometrium

Barang kali tidak ada satu alasan yang paling penting untuk melakukan biopsi, kecuali untuk
menilai perubahan khas yang terjadi pada alat yang dibiopsi itu. Gambaran endometriun itu
merupakan bayangan cermin dari pengaruh hormon hormon ovarium. Akan tetapi, sebgaimana
juga berlaku bagi setiap prosedur kedokteran, keterangan yang ingin diperoleh harus seimbang
dengan resiko melakukan prosedur itu.
Kapan biopsi itu dilakukan dari keterangan yang ingin diperoleh. Apabila ingin memperoleh
keterangan tentang pengaruh esterogen atau yang lain yang bukan hormonal, maka biopsi
endometrium dilakukan pada hari ke-14. Apabila yang ingin diketahui adalah peradangan
menahun ( Tuberkulosis ), ovulasi atau neoplasia maka biopsinya dilakukan setelah ovulasi. Pada
umunnya , waktu yang terbaik untuk melakukan biopsi adalah 5 6 hari setelah ovulasi yaitu
sesaat sebelum terjadinya implantasi blastosis pada permukaan endometrium. Biopsi yang
dilakukan sebelum hari ke-7 setelah ovulasi itu akan mengurangi kemungkinan terganggunya
kehamilan yang sedang terjadi. Biopsi yang dilakukan dalam 12 jam stelah haid masih dapat

menilai endometrium yang bersekresi, malahan granuloma tuberkulosis akan tampak lebih jelas.
Walaupun biopsi ini maksudnya untuk menghindarkan kemungkinan terganggunya kehamilan,
akan tetapi perdarahan hari pertama itu mungkin bukan haid melainkan perdarahan intervilus.
Tredway et al. Memperlihatkan adanya hubungan tepat antara perubahan endometrium yang
terjadi dengan penanggalan yang dihitung mulai ovulasi. Pengetahuan ini sangat penting untuk
mendiagnosis defek fase luteal. Moyer sangat menganjurkan pemakaian penganggalan yang
dimulai pada hari pertama haid.
Defek fase luteal berarti korpus luteum tidak menghasilkan cukup progresteron. Diagnosisnya
ditegakkan dengan kurva suhu basal badan, sitologi vagina hormonal, biopsi endometrium dan
pemeriksaan progresteron plasma. Kalau kurva suhu basal badan memperlihatkanpeningkatan
suhu yang hanya dapat dipertahankan kurang dari 10 hari, diagnosis defek fase luteal dapat
ditegakkan. Menurut Israel et al. , pemeriksaan progresteron plasma sekali pada fase luteal yang
bernilai 3 ng/ml lebih dianggap sebagai patokan terjadinya ovulasi. Menurut Abraham et al.,
kalau 3 kali pemeriksaan progresteron pada 4 11 hari sebelum haid berjumlah 15 ng/ml lebih,
hal itu haruslah dianggap sebagai patokan telah terjadinya ovulasi dengan fungsi korpus luteum
yang normal.
Siklus haid dengan defek fase luteal tidak selalu berulang. Menurut Speroff et al., siklus haid
dengan defek luteal yang berulang hanya terjadi pada kurang dari 4 % pasangan infertil. Oleh
karena itu, indikasi pengobatannya hanya kalu defek fase luteal itu berulang.
6.

Histerosalpingografi

Sejak Rubin dan Carey melakukan histerosalpingografi untuk pertama kalinya, banyak
pembaharuan telah terjadi dalam hal peralatan dan media kontras yang dipakai. Prinsip
pemeriksaannya sama dengan pertubasi, hanya peniupan gas diganti dengan penyuntikan menia
kontras yang akan melimpah ke dalam kavum peritonei kalau tubanya paten, dan penilaiannya
dilakukan secara radiografik.
Kini alat yang dianggap terbaik utuk menyuntikkan media kontras ialah kateter pediatrik Foley
nomor 8, sebgaimana diuraikan oleh Ansari, untuk menghindarkan perlukan dan perdarahan
serviks, menghindarkan preforasi uterus, mengurangi rasa nyeri dan karena mudah mengatur
sikap pasien. Kateter dimasukkan kedalam kavum uteri dengan bantuan klem, kemudian
dipertahankan pada tempatnya dengan menyuntikkan 2 ml air. Setelah spekulum vagina
dilepaskan, media kontras disuntikkan ke dalam kavum uteri secukupnya dengan pengawasan
fluoroskopi. Untuk mendapat gambaran segmen bawah uterus dan kanalis servikalis, balon
dikempiskan sebentar sambil menyuntukkan media kontras. Keuntungan memakai madia kontras
larut air ialah penyebarannya rata dalam kavum periotonei, cepat diserap ( dalam 60 menit ),

menghindarkan kemungkinan terjadinya emboli, dan menimbulkan reaksi peritoneal yang tidak
berarti.
Kadang kadang terjadi kejang tuba, sebagai reaksi terhadap nyeri atau ketakutan sewaktu
dilakukan histerosalpingografi, yang akan memberikan gambaran palsu seperti sumbatan. Usaha
menghindarkannya ialah antara lain dengan obat nitrogliserin dibawah lidah, obat penenang,
anestesi para servikal atau pemberian parenteral isoksuprin yang tidak selalu akan berhasil.
Histerosalpingografi yang dilakukan dengan baik dapat memberikan keterangan tentang seluk
beluk kavum uteri, patensi tuba, dan kalau tubanya paten tentang peritoneumnya juga. Kalau
memakai alat fluoroskopi penguat bayangan, setiap penyuntikan cairan kontras ke dalam kavum
uteri dapat diikuti dengan seksama lewat layar televisi sehingga pemotretannya tidak membuta.
Dengan teknik ini biasanya tidak lebih dari 3 potret yang dibuat yaitu potret pendahuluan, potret
yang menggambarkan perlimpahan kontras ke dalam rongga perut dan potret 24 jam kemudian,
kalau tubanya paten dan memakai kontras larut minyak, untuk memeriksa penyebarannya di
dalam kavum peritonei. Pemotretan dari berbagai sudut tidak perlu karena tidak menambah
pengetahuan, hanya akan menambah bahaya radiasi saja.
Kebolehan hiterosalpingografi memang tidak dapat disangkal, tetapi hanya dapat dilakukan di
rumah sakit. Tidak jarang, wanita yang baru menjalani histerosalpingografi menjadi hamil.
Khasiat terapeutik ini kalau memang ada, dapat diterangkan karena pemeriksaannya dapat
membilas sumbatan sumbatan tuba yang ringan atau menjadi kontras ( yodium ) yang
berkhasiat bakteriostatik sehingga memperbaiki kualitas lendir serviks.
Pemakaian media kontras larut minyak pernah dikutuk karena lambat diserap, dapat
menimbulkan granuloma, dan bahaya emboli. Akan tetapi, ternyata komplikasi itu dapat terjadi
pula pada pemakaian media kontras larut air. Pembentukan granuloma ternyata lebih
berhubungan dengan terdapatnya kelainan tuba sebelumnya daripada dengan jenis media kontras
yang dipakai.
Saat percobaan dan indikasi kontra hipersalpingongafi sama dengan pertubasi. Pengulangan
pemeriksaan histerosalpingografi yang tidak memuaskan akan menghadapkan pasien kepada
bahaya radiasi yang tidak perlu, seandainya terdapat pemeriksaan lain yang lebih baik, misalnya
laparoskopi. Laju endap darah yang senantiasa tinggi yang diduga karena peradangan alat alat
panggul, tidak serta merta harus melaksanakan histerisalpingografi dengan segala
kemungkinan bahaya radiasi, langsung saja dengan laparoskopi diagnostik.
( Sarwono, 2005 : 511 512 )
7.

Histeroskopi

Histeroskopi adalah peneropongan kavum uteri yang sebelumnya telah digelembungkan dengan
media dekstran 32%, glukosa 5%, garam fisiologik, atau gas CO2. Dalam infertilitas,
pemeriksaan histeroskopi dilakukan apabila terdapat :
a)

Kelainan pada pemeriksaan histerosalpingografi.

b)

Riwayat abortus habitualis.

c)

Dugaan adanya mioma atau polip submukosa.

d)

Perdarahan abnormal dari uterus.

e)
Sebelum dilakukan bedah plastik tuba, untuk menempatkan kateter sebagai splint pada
bagian proksirnal tuba.
Histeroskopi tidak dilakukan kalau diduga terdapat infeksi akut rongga panggul, kehamilan atau
perdarahan banyak uterus.
Pemeriksaan histeroskopi yang dapat langsung melihat kavum uteri dapat menghindarkan
kesalahan diagnostik seperti yang dapat terjadi pada kuretase atau biopsi endometrium yang
membuta. Lagi pula, melalui histeroskopi dapat dilakukan pembedahan ringan seperti
melepaskan perlekatan, mengangkat polip dan mioma submukosa.
( Sarwono, 2005 : 512 513 )
8.

Pemeriksaan Hormonal

Hasil pemeriksaan hormonal dengan RIA harus selalu dibandingkan dengan nilai normal masing
masing laboratorium.
Pemeriksaan FSH berturut turut untuk memeriksa kenaikan FSH tidak selalu mudah, karena
perbedaan kenaikannya tidak sangat nyata, kecuali pada tengah tengah siklus haid ( walaupun
masih kurang nyata dibandingkan dengan puncak LH). Pada fungsi ovarium tidak aktif, nilai
FSH yang rendah sampai normal menunjukkan kelainan pada tingkat hipotalamus atau hipofisis.
Sedangkan nilai yang tinggi menunjukkan kelainan primernya pada ovarium.
Pemeriksaan LH setiap hari pada wanita yang berovulasi dapat sangat nyata menun jukkan
puncak LH, yang biasanya dipakai sebagai patokan saat ovulasi. Akan tetapi, karena hipofisis
mengeluarkan LH nya secara berkala, penentuan saat ovulasi dengan pemeriksaan ini dapat
keliru 1 hari. Kekeliruan ini dapat dikurangi dengan melakukan pemeriksaan LH serum atau
urin beberapa kali setiap hari, yang tidak selalu mudah dilakukan. Penentuan saat ovulasi dengan
pemeriksaan LH ini baru dapat diyakinkan kalau pemeriksaan berikutnya menghasilkan nilai

yang lebih rendah dengan nyata. Pada fungsi ovarium yang tidak aktif, nilai LH yang rendah atau
tinggi, interpretasinya sama dengan untuk FSH.
Pemeriksaan Estrogen serum atau urin dapat memberikan banyak informasi tentang aktivitas
ovarium dan penentuan saat ovulasi. Kalau pemeriksaan ini tidak ditujukan untuk penentuan saat
ovulasi yang tepat, pemeriksaannya cukup seminggu sekali. Nilai esterogen urin yang tetap di
bawah 10 mikrogram/24 jam menunjukkan tidak adanya aktivitas ovarium. Nilai diatas 15
mikrogram/24 jam menunjukkan adanya aktivitas folikular ovarium. Pemeriksaan perangai
sekresi esterogen dan pregnandiol dalam 4 minggu dapat mempertunjukkan adanya siklus
anovulasi dengan ekskresi estrogen terus menerus (20 50 mikrogram/24 jam ) atau dengan
ekskresi esterogen yang berfluktuasi ( puncak 40 200 mikrogram/24jam ) atau dengan nilai
prenandiol rendah ( kurang dari 1 mikrogram/24 jam ).
Pemeriksaan progresteron plasma atau pregnandiol urin berguna untuk menunjukkan adanya
ovulasi. Terjadinya ovulasi akan diikuti oleh peningkatan progresteron, yang sudah dapat diukur
mulai 2 hari sebelum ovulasi, akan tetapi sangat nyata dalam 3 hari setelah ovulasi. Nilainya 20
40 kali lebih tinggi daripada nilai pada fase folikular. Akan tetapi, ;puncak estrogen dan LH
masih dapat terjadi, sekalipun siklusnya anovulasi. Oleh sebab itu, pemeriksaan estrogen dan LH
yang ditujukan untuk mengetahui telah terjadinya ovulasi harus disertai pemeriksaan
progresteron plasma atau pregnandiol urin kira kira seminggu setelah ovulasi diperkirakan
terjadi. Pregresteron plasma di atas 10 nanogram/ml atau pregnandiol urin di atas 2 mg/24 jam
menunjukkan bahwa ovulasi telah terjadi. Nilai seperti itu di pertahankan kira kira selama
seminggu.
( Sarwono, 2005 : 516 517 )
9.

Laparoskopi Diagnostik

Laparoskopi diagnostik telah menjadi bagian integral terakhir pengolahan infertilitas untuk
memeriksa masalah peritoneum. Pada umumnya untuk mendiagnosis kelainan yang samar,
khususnya pada istri pasangan infertil yang berumur 30 tahun lebih, atau yang telah mengalami
infertilitas selama 3 tahun lebih. Esposito menganjurkan agar laparoskopi diagnostik dilakukan 6
8 bulan setelah pemeriksaan infertilitas dasar selesai dilakukan. Lebih terperinci lagi, menurut
Albano, indikasi untuk melakukan laparaskopi diagnostik adalah :
a)

Apabila selama 1 tahun pengobatan belum juga terjadi kehamilan.

b)

Kalau siklus haid tidak teratur, atau suhu basal badan monofasik.

c)
Apabila isteri pasangan infertil berumur 28 tahun lebih, atau mengalami infertilitas
selama 3 tahun lebih.

d)

Kalau terdapat riwayat laparotomi

e)

Kalau pernah dilakukan histerosalpingografi dengan media kontras larut minyak.

f)

Kalau terdapat riwayat apendisitis.

g)

Kalau pertubasi berkali kali abnormal.

h)

Kalau disangka endometrium.

i)

Kalau akan dilakukan inseminasi buatan.

Saat terbaik untuk melakukan laparoskopi diagnostik ialah segera setelah ovulasi. Segera setelah
ovulasi akan tampak korpus rubrum, sedangkan sebelum ovulasi akan tampak folikel Graaf. Pada
siklus haid 28 hari laparoskopi dilakukan antara hari ke-14 dan 21. Pada kesempatan ini dapat
pula diperiksa biopsi endometrium, pregnandiol, 17-ketosteroid urin 24 jam dan fungsi tiroid.
Pada siklus haid yang tidak berovulasi ( amenore ), laparoskopi dapat dilakukan setiap saat.
Cacat bawaan uterus biasanya didiagnosis dengan histerosalpingografi; dilakukan laparaskopi
kalau akan meyakinkan uterus septus dari uterus ganda, dan untuk menilai kelayakan operasi
metroplastik. Endometriosis dapat ditemukan pada 30% istri pasangan infertil dan kejadiannya
akan lebih meningkat dengan beretambahnya usia istri. Kelainan tuba seperti hidrosalping tuba
fimosis, perlekatan perituber, hanya dapat diyakini dengan laparoskopi diagnostik. Kelayakan
untuk melakukan operasi plastik tuba dilakukan dengan laparoskopi diagnostik.
Kalau hasil laparoskopi sangat meragukan, dapat dilakuka pemeriksaan histeroskopi. Hasil
positif palsu dapat terjadi pada hidroturbasi, karena larutan warna itu dapat lolos melalui suatu
lubang pada dinding uterus sehingga dalam kavum douglasi tampak penggumpalan larutan
warna. Hasil negatif palsu dapat terjadi karena kegagalan untuk dapat menggelembungkan
uterus, yang berarti kegagalan untuk meningkatkan tekanan, agar larutan warna dapat mengalir
lewat tuba.
Kalau pemeriksaan laparoskopi tidak dapat dilakukan karena banyak perlekatan, maka satu
satunya cara untuk memeriksa alat alat rongga panggul ialah laparotomi.
( Sarwono, 2005 :519 520 )
10.

Sitologi Vagina Hormonal

Sitologi vagina hormonal menyelidiki sel sel yang terlepas dari selaput lendir vagina, sebagai
pengaruh hormon hormon ovarium (estrogen dan progesteron). Pemeriksaan ini sangat

sederhana, mudah dan tidak menimbulkan nyeri, sehingga dapat dilakukan secara berkala pada
seluruh siklus haid.
Tujuan pemeriksaan sitologi vagina hormonal ialah :
a)
Memeriksa pengaruh estrogen dengan mengenal perubahan sitologik yang khas pada fase
proliferasi.
b)

Memeriksa adanya ovulasi dengan mengenal gambaran sistologik pada fase luteal lanjut.

c)

Menentukan saat ovulasi dengan mengenal gambaran sitologik ovulasi yang khas.

d)

Memeriksa kelainan fungsi ovarium pada siklus haid yang tidak berovulasi.

Sitologi vagina hormonal tidak mengenal indikasi kontra. Walaupun demikian, pengenalan
gambaran sitologi dapat dipersulit kalau terdapat perdarahan atau peradangan traktus genitalis.
Pemeriksaan sitologi vagina sebagai berikut :
a)
Sebuah tablet nimorazol dimasukkan ke dalam vagina 2 hari sebelum setia kali
pemeriksaan, agar sediaan tidak dikotori oleh sel sel radang.
b)

Pemeriksaan direncanakan pada hari ke-8, 12, 18, dan 24 dari siklus haid.

c)
Pasien dilarang bersenggama, diperiksa dalam, atau membilas kedalam vagina, dalam 24
jam sebelum pemeriksaan.
d)

Dengan spukulum vagina yang bersih, fornises lateralis ditampilkan.

e)
Lendir vagina dari fornises lateralis itu diusap dengan spatel kayu atau plastik yang
bersih, kemudian dioleskan pada sebuah gelas objek yang baru.
f)

Difiksasi dengan alkohol 95%.

g)

Diwarnai dengan pulasan harris-Shorr.


(Sarwono, 2005: 516)

Pria

Penentu kelainan pada pria harus dilakukan segera, karena kira- kira 40%
kasus dapat ditemukan penyebabanya. Analisis faktor-faktor pada pria lebih
murah dan mudah.

Anamnesis dan pemeriksaan lengkap (fisik, seksual, sosial, dan psikologik),


pemeriksaan klinik genetalia untuk ukuran testis, varikokel, dan lain- lain.

Analisis semen termasuk volume semen (lebih dari 2 ml dengan lebih dari 20
jutaspermatozoa/ ml), motilitas ( lebih dari 40%, 4 jam setelah semen
dikeluarkan) dan morfologi (60% spermatozoa harus mempunyai morfologi
normal).

Wanita

Anamnesis dan pemeriksaan lengkap (fisik, seksual, sosial, dan psikologik),


pemeriksaan pelvis untuk kelainan traktus genitalis.

Tes untuk ovulasi (pengukuran temperatur basal tubuh dan lain- lain).

Insuflasi tuba, histerosalfingografi, laparoskopi (kira- kira 30% penyebab


infertilitas berkaitan dengan gangguan atau anomali tuba).

Pemeriksaan endokrin (kira- kira 20% infertilitas pada wanita disebabkan oleh
gangguan hormonal).

Pemeriksaan getah serviks, biopsi endometrium (kira- kira 10% infertilitas


pada wanita adalah akibat lingkungna serviks yang tidak menunjang).

(Dr. Lyndon Saputra, 2009: 383- 384)


2.5

Penanggulangan Beberapa Masalah Infertilitas

2.5.1

Air Mani yang Abnormal

Air mani disebut abnormal kalau pada tiga kali pemeriksaan berturut turut hasilnya tetap
abnormal. Nasihat terbaik bagi pasangan dengan air mani abnormal adalah melakukan senggama
berencana pada saat saat subur istri.
Adapun air mani abnormal yang masih dapat diperbaiki itu kalau disebabkan oleh varikokel,
sumbatan, infeksi, defisiensi gonadotropin atau hiperprolaktinemia.
Verikokel
Motilitas spermatozoa yang kurang hampir selalu terdapat pada pria dengan varikokel. Menurut
McLeod, motilitas spermatozoa yang kurang itu dapat ditemukan pada 90% pria dengan
verikokel, sekalipun hormon gonad dan varikokelektomi tidak berhubungan dengan besar
kecilnya varikokel. Adanya varikokel disertai motilitas spermatozoa yang kurang hampir selalu
dianjurkan untuk dioperasi. Kira kira dua pertiga pria dengan varikokel yang dioperasi akan
mengalami perbaikan dlaam motilitas spermatozoanya.

Sumbatan Vasdifferen
Pria yang tersumbat vasnya akan mempertunjukkan azoospermia, dengan besar testikel dan
kadar FSH yang normal. Dua tanda terakhir ini sangat konsisten untuk spermatogenesis yang
normal. Operasi vasoepididimostomi belum memuaskan hasilnya. Walaupun 90% dari
ejakulasinya mengandung spermatozoa, akan tetapi angka kehamilannya berkisar 5 30%.
Infeksi
Infeksi akut traktus genitalis dapat menyumbat vas atau merusak jaringan testis, sehingga pria
yang bersangkutan menjadi steril. Akan tetapi infeksi yang menahun mungkin hanya
menurunkan kualitas spermatozoa dan masih dapat diperbaiki menjadi seperti semula dengan
pengobatan. Air mani yang selalu mengandung banyak lekosit, apalagi kalau disertai gejala
disuria, nyeri pada waktu ejakulasi, nyeri punggung bagian bawah, patut diduga karena infeksi
menahun traktus genitalis. Antibiotika yang terbaik adalah yang akan terkumpul dalam traktus
genetalis dengan jumlah besar, seperti eritromisisn, dimetil klortetrasiklin, dan
trimetoprimsulfametoksazol. Nitrofurantoin janganpakai karena dapat menghambat
spermatogenesis.
Defisiensi Gonadotropin
Walaupun penyebab infertilitas ini jarang sekali terjadi, akan tetapi sangat penting untuk
diketahui ada tidaknya penyebab ini, karena pengobatannya dengan gonadotropin dapat
mengembalikan fertilitasnya. Pria dengan defisiensi gonadotropin bawaan sering kali mengalami
pubertas yang lambat, yang biasanya pernah mendapat pengobatan dengan testosteron. Kalau
sudah diobati sebelumnya, tanda tanda seks sekundernya biasanya tampak jelas. Kalu belum
pernah mendapat pengobatan, air maninya biasanya azoospermia dengan volum yang rendah,
tubuhnya jangkung, testikelnya kecil
( kurang dari 4 ml ) mungkin juga terdapat
ginekomastia. Pasien ini mungkin juga mengidap kelainan bawaan lain seperti, anosmia sebagian
atau seluruhnya. Adanya hipogonadismus dengan anosmis mengacu kepada sindroma
hipogonadismus-hipogonadotrofik
( sindroma Kallman ).
Sebagian besar pasien ini memerlukan pengobatan dengan LH dan FSH. Biasanya dimulai
dengan LH dalam bentuk HCG selama 3 bulan dengan dosis 1000 dan 3000 UI, dua atau tiga
kali seminggu. Pengobatan ini akan merangsang pengembangan ciri ciri seks sekunder, dan
menambah besar testis. Libido seksualis, potensi dan volum ejakulat akan bertambah pula
walaupun ejakulatnya tidak mengandung spermatozoa. Pada permulaan pengobatan dengan
HCG, ada baiknya diperiksa kadar plasma testosteron 48 jam setelah penyuntikan. Menurut
Rosenberg, kalau testosteron plasmanya tetap subnormal, besarnya atau frekuensi dosis obat itu
harus ditambah.

Walaupun pada beberapa orang pengobatan dengan HCG saja dapat berhasil baik, akan tetapi
biasanya memerlukan pengobatan HCG dan FSH untuk merangsang spermatogenesis. Preparat
FSH biasa dipakai, yang juga mengandung LH ialah yang bersal dari urin. Satu ampulnya
mengandung 75 UI FSH san 75 UI LH. Biasanya diperlukan 3 4 ampul setiap minggu, itu
berarti antara 225 300 UI FSH setiap minggu, yang diberikan dibagi bagi. Keperluan akan
HCG yang diberikan dalam bentuk LH bersama FSH, ternyata sangat individual. Lama
pengobatan bervariasi antara 4 bulan sampai 2 tahun, untuk mendapatkan spermatozoa dan
ejakulatnya, oleh karena itu pengobatannya harus dimonitor dengan pemeriksaan air mani
sebulan sekali. Pengobatan standard tidak mungkin dibuat.
Dengan ditemukannya GnRH untuk pemakaian dalam klinik, pengobatan sindroma Kallman
memberikan harapan lebih banyak berhasil, akan tetapi hormon ini masih sangat mahal
harganya.
Hiperprolaktinemia
Hiperprolaktinemia pada pria dapat mengakibatkan impoten, testikel yang mengecil dan kadang
kadang galaktorea. Analisis air mani biasanya normal atau sedikit berkurang. Akan tetapi,
Segal, et al. Dan Saidi, et al., melaporkan adanya hubungan hiperprolaktinemia dengan
oligospermia yang kalau diobati dengan dopamin agonis 2-bromo-alfaergo-kriptin dapat
memperbaiki spermatogenesisnya.
( Sarwono, 2005 : 521 523 )
2.5.2

Uji pasca senggama yang abnormal

Disebabkan oleh saat pemeriksan yang tidak tepat, baik terlampau dini maupun terlamapau
lambat dalam siklus haid. Sekalipun ada wanita yang fertil, terdapat kesempatan 2 hari saja untuk
melakukan uji pascasenggama yang tepat, yaitu sekitar tengah siklus haidnya. Oleh karena itu,
apabila diperoleh hasil uji pascasenggama yang abnormal, sebaiknya diulang beberapa kali lagi
pada saat yang tepat.
Penyebab uji pascasenggama yang abnormal:

Air mani yang abnormal seperti azoospermia, oligospermia,kelainan morfologi


spermatozoa yang tinggi atau leufaksi air mani yang lambat.

Hasil uji pascasenggama yang terus menerus abnormal harus menjadikan perhatian.

Bila hasil uji penetrasi sperma in vitro baik : berarti kurangnya kontak antara
air mani dan lender serviks, seperti pada kelainan alat intravaginal yang
kurang baik.

Bila hasil uji penetrasi sperma in vitro abnormal, sedangkan terdapat


nonspermia dan sifat fisik kimia lendir serviks yang normal, mungkin seklai
disebsbkan oleh faktor imunologi.

( Sarwono, 2005 : 523 524 )


2.5.3

Mioma uteri

Ada istri yang tidak dapat hamil dan satu-satunya kelainan yang dapat ditemukan adalah Mioma
Uteri. Mekanisme mioma uteri dapat menghambat terjadinya kehamilan belum diketahui.
Mungkin disebabkan oleh tekanan pada tuba, distorsi atau elongsi kavum uteri, iritasi
miometruim, atau torsi oleh mioma yang bertangkai. Waktu yang diperlukan untuk menjadi
hamil setelah dilakukan miomektomi kira-kira 18 bulan.
( Sarwono, 2005 : 524 525 )
2.5.4

Masalah tuba yang tersumbat

Istri dengan riwayat infekasi pelvic yang berulang dapat dicoba dengan pemberian antibiotic
dalam jangka panjang. Pemberian antibiotik secukupnya selang 6-12 bulan dapat lebih
memungkinkan terjadinya potensi tuba. Terapi kimia pada tuberculosis pelvic yang sangat sedikit
membawa hasil. Kalaupun ada, akan dihadapkan kepada kehamilan di luar kandungan yang
sangat tinggi. Kemungkinan terjadinya kehamilan sangat tergantung kepada kerusakan yang
ditimbulkan pada endosalping.
Indikasi pembedahan tuba: tersumbatnya seluruh atau sebagian tuba sebagaimana diperiksa
dalam histerosalpingografi dan laparoskopi, tekukan tuba yang patologik, sakulasi tuba,
perlekatan peritubular dan periovarial khususnya untuk membebaskan gerakan tuba dan ovarium.
Pembedahan tuba tidak dapat dilakukan kalau hasil analisis air mani suaminya abnormal dan
penyakit pada istri yang tidak memperbolehkan dia hamil.
Tujuan pembedahan tuba: adalah untuk memperbaiki dan mengembalikan anatomi tuba dan
ovarium seperti semula, dengan sangat memperhatikan kemungkinan gerakan otot dan silia tuba,
sekresi tuba dan daya tangkap ovum yang efektif.
( Sarwono, 2005 : 525 527 )
2.5.5

Endometriosis

Adalah tumbuhnya kalenjar dan stroma endometrium yang masih berfungsi diluar tempatnya
yang biasa, yaitu rongga uterus. Laparoskopi diagnostic pada isteri pasangan infertile, Cohen
mendapatkan 23% mengidap penyakit itu.
Gejala dan tanda :
a. Wanita dengan endometriosis ringan, dapat menderita nyeri nyeri panggul hebat, dan
sebaliknya wanita dengan endometriosis hebat keluhannya dapat ringan sekali, nyeri panggul
dalam bentuk dysmenorhea sering sekali dianggap sebagai gejala khas.
b. Dispareunia
Bila penyakit telah menjalar ke ligamentum sakrouterina dan kavem douglasi
c.

Perdarahan abnormal dari uterus

Dara prahaid yang berwarna coklat dan infertilitas primer atau sekunder
d. Pada periksa dalam terdapat benjolan-benjolan kecil pada ligamentum sakrouterina dan
uterus retrofleksi atau adneksa yang sukar digerakkan
Terapi Endometriosis
a.

Menunggu sampai terjadi kehamilan sendiri

b. Pengobatan hormonal
c.

Pembedahan konservatif

Apabila pengobatan ditujukan untuk infertilitas karena endometriosis, harus ada pertimbangan
umur pasien, tahap penyakitnya, lama infertilitas, dan kehebatan keluhannya. Oleh karena itu,
pada pasien yang sudah lanjut usia dan sudah lama infertilitasnya, sebaiknya dianjurkan untuk
menempuh pembedahan keonservatif.
( Sarwono, 2005 : 527 528 )
2.5.6

Induksi ovulasi dengan klomifen sitrat

Pengobatan induksi ovulasi pada istri pasangan infertile yang tidak berovulasi berkisar antara
klomifen sitrat, bromokriptin, dan gonadotropin dari manusia. Banyak pasien dengan
oligomenorea atau amenorea kurang dari 12 bulan, biasanya akan berovulasi sendiri selagi dalam

pemeriksaan, mungkin sekali akibat ketenangan yang diperolehnya setelah mereka


memeriksakan diri. Dalam hal ini ovulasi dapat dipercepat dengan pemberian plasebo
Klomifen Sitrat merupakan obat pilihan pertama untuk pasien dengan siklus haid yang tidak
berovulasi dan oligomenorhea, amenorrhea sekenuder yang kadar FSH, LH, dan prolaktinnya
normal.
Terdapat empat kemungkinan hasil pengobatan Klomifen :
a.

Terjadinya ovulasi : pengobatan diulangi dengan dengan dosis yang sama

b.
Hanya terjadi pematangan folikel, mungkin dengan ovulasi yang terjadi lambat atau dengan
defek korpus luteum : pengobatan diulangi dengan dosis yang sama, kalau tetap dosis
ditingkatkan
c.
Terjadi pematangan folikel tanpa terjadinya ovulasi : pengobatan diulangi dengan dosis
yang sama ditambah suntikan HCG (3000-5000 ui) selama 5-7 hari setelah dosis klomifen
terakhir dimakan
d. Tak ada reaksi sama sekali : dosis klomifen ditingkatkan setiap siklus, dimulai dengan 100
mg perhari selama 5 hari dan berakhir dengan dosis maksimal 200 mg perhari selama lima hari.
( Sarwono, 2005 : 528 530 )

Anda mungkin juga menyukai