Pendahuluan
Tuberkulosis, terutama TB paru, merupakan masalah yang timbul tidak hanya
di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap merupakan salah
satu penyebab tingginya angka kesakitan dan kematian, baik di negara berkembang
maupun di negara maju. Ada 3 hal yang mempengaruhi epidemiologi TB setelah
tahun 1990, yaitu perubahan strategi pengendalian, infeksi HIV dan pertumbuhan
populasi yang cepat.1
Jumlah kasus baru diperkirakan mencapai 11,9 juta kasus di tahun 2005. Total
insidensi TB selama 10 tahun, 1990-1999, diperkirakan sebanyak 88,2 juta penderita
dan 8 juta diantaranya berhubungan dengan infeksi HIV. Pada tahun 2000 terdapat 1,8
juta kematian akibat TB dan 226.000 di antaranya berhubungan dengan HIV.1
Peningkatan jumlah kasus TB di berbagai tempat pada saat ini diduga
disebabkan oleh berbagai hal, yaitu :1
1. Diagnosis yang tidak tepat
2. Pengobatan yang tidak adekuat
3. Program penanggulangan yang tidak dilaksanakan dengan tepat
4. Infeksi endemik human immuno-deficiency virus (HIV)
5. Migrasi penduduk
6. Pengobatan sendiri (self treatment)
7. Meningkatnya kemiskinan
8. Pelayanan kesehatan yang kurang memadai.
Pada anak, terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TB
maupun timbulnya penyakit TB. Faktor resiko tersebut dibagi menjadi faktor resiko
infeksi dan faktor resiko progresi infeksi menjadi penyakit (resiko penyakit). 1
A. Risiko Infeksi TB
Faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah sebagai berikut :1
1. Kontak dengan orang dewasa yang TB aktif
2. Daerah endemis
pada
infeksi
HIV,
keganasan,
transplantasi
organ,
pengobatan
imunosupresi), diabetes melitus, gagal ginjal kronik, dan silikosis. Faktor yang tidak
kalah penting adalah status sosioekonomi yang rendah, penghasilan yang kurang,
kepadatan hunian, dan pendidikan yang rendah.1
Bakteriologi
Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosae, sejenis kuman
yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/m dan tebal 0,3-0,6/m.
Sebagian kuman terdiri atas asam lemak (lipid), kemudian peptidoglikan dan
arabinomanan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam (asam
alkohol) sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan ia juga lebih tahan terhadap
gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat tahan hidup dalam udara kering maupun
udara dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena
kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit
kembali dan menjadi tuberkulosis aktif kembali.2
Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraseluler yakni dalam
sitoplasma makrofag. Makrofag yang seharusnya mengfagositasi malah disenangi
karena banyak mengandung lipid. Sifat lain dari kuman ini adalah aerob. Sifat ini
menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan
oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apikal paru-paru lebih tinggi
daripada bagian lain, sehingga bagian apikal ini merupakan predileksi penyakit
tuberkulosis.2
Patogenesis
Paru merupakan port dentree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percikan renik (droplet nuklei) yang
terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh
mekanisme imunologis nonspesifik. Makrofag alveolus akan segera menfagosit
kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian kuman TB. Akan tetapi,
pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan
kuman akan bereplikasi pada makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus
berkembang biak, akhirnya akan menyebabkan makrofag mengalami lisis, dan kuman
TB membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di
jaringan paru disebut fokus primer Ghon.1,2
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus
primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer
terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang terlibat adalah kelenjar limfe
parahilus, sedangkan bila fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terkena
adalah kelenjar paratrakheal. Komplek primer merupakan gabungan antara fokus
primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis), dan saluran limfe yang
meradang (limfangitis).1
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
komplek primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Masa inkubasi TB
biasanya berlangsung antara 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu.
Dalam masa inkubasi tersebut kuman dapat tumbuh hingga mencapai jumlah 10 3-104,
yaitu jumlah yang dapat merangsang respon imun seluler.1
Selama minggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik
kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap
tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuk komplek
primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal ini ditandai dengan oleh
terbentuknya hiprsensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons
positif terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi, tes tuberkulin negatif. Setelah
kompleks primer terbentuk, imunitas seluler tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada
sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, begitu sistem imun
seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB
masih dapat hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB
yang baru masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan.1
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB tetap dapat hidup dan menetap
selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.1
Komplek primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi
dapat disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di
paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi
nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui
bronkus dan meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau
paratrakeal yang awalnya berukuran normal akan membesar karena reaksi inflamasi
yang berlanjut dan bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat
tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru. Obstruksi total
dapat menimbulkan atelektasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis
perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga
menimbulkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Masa kiju dapat
menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan
pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut lesi segmental kolaps-konsolidasi.1
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuk imunitas seluler, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
Kuman mati
Kuman hidup
Masa inkubasi
(berkembang biak)
2-12 minggu
Kompleks Primer
____
Sakit TB
Infeksi TB
Imunitas optimal
Reaktivasi
Sembuh
Sakit TB
Reaktivasi/infeksi
Bergantung dari jumlah kuman, virulensinya dan imunitas pasien, sarang dini ini
dapat menjadi :2
1. Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.
2. Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan sebukan
jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan
perkapuran. Sarang dini yang meluas sebagai granuloma menghancurkan
jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis, menjadi
lembek membentuk jaringan keju. Bila jaringan keju dibatukkan keluar akan
terjadilah kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding tipis, lama-lama
dindingnya akan menebal karena infiltrasi jaringan fibroblast dalam jumlah
besar, sehingga menjadi kavitas sklerotik kronik. Terjadinya perkijuan dan
kavitas adalah karena hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh enzim
yang diproduksi oleh makrofag.
Secara keseluruhan akan terdapat 3 macam sarang yaitu :2
1. Sarang yang sudah sembuh. Sarang bentuk ini tidak perlu lagi pengobatan.
2. Sarang aktif eksudatif. Sarang bentuk ini perlu pengobatan yang lengkap dan
sempurna.
3. Sarang yang berada dalam aktif dan sembuh. Sarang bentuk ini dapat sembuh
spontan, tetapi mengingat terjadinya kemungkinan terjadi eksaserbasi kembali,
sebaiknya diberi pengobatan yang sempurna juga.
Respon imun terhadap M.tuberculosae adalah dengan pembentukan IgM
dalam waktu 4-6 minggu setelah infeksi TB kemudian menurun, diikuti oleh IgG dan
IgA. Selanjutnya bakteri yang telah diikat oleh imunoglobulin akan mengalami
fagositosis oleh makrofag. Pada pasien TB baru yang belum pernah mendapatkan
pengobatan, kadar antibodi terhadap M.tuberculosae seringkali tidak begitu tinggi bila
dibandingkan dengan 1-2 bulan setelah pengobatan atau bila dibandingkan dengan
pasien yang kambuh. Puncak pembentukan antibodi terjadi pada bulan kedua setelah
pengobatan yang berhasil, kemudian menurun sampai mencapai batas yang normal
bila pasien telah sembuh.2
Klasifikasi Tuberkulosis
Tuberkulosis minimal
Terdapat sebagian kecil infiltrat non kavitas pada satu paru maupun
kedua paru, tetapi jumlahnya tidak melebihi satu lobus paru.
Kasus kambuh
Manifestasi Klinis
A. TB pada anak
Karena patogenesis TB sangat kompleks, manifestasi klinis TB sangat
bervariasi dan tergantung pada beberapa faktor. Faktor yang berperan adalah kuman
TB, pejamu, serta interaksi antara keduanya. Faktor kuman bergantung pada jumlah
dan virulensi, sedangkan faktor pejamu bergantung pada usia dan kompetensi imun
serta kerentanan pejamu pada awal terjadinya infeksi.1
Manifestasi klinis TB dapat muncul secara berurut sehingga dari studi
Wallgren dan peneliti lain, dapat disusun suatu timetable terjadinya TB di berbagai
organ. Uji Tuberkulin biasanya positif dalam 4-8 minggu setelah kontak awal dengan
kuman TB. Pada awal terjadinya infeksi TB, dapat dijumpai demam yang tidak terlalu
tinggi dan eritema nodusum, tetapi kelainan kulit ini jarang dijumpai pada anak. Sakit
TB primer dapat terjadi kapan pun dalam tahap ini. Demam biasanya tidak tinggi dan
hilang timbul dalam jangka waktu cukup lama.1
TB milier dapat terjadi kapan saja tetapi biasanya 3-6 bulan pertama setelah
infeksi TB, begitu juga meningitis TB. TB pleura terjadi dalam 3-6 bulan pertama
setelah infeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi dalam tahun pertama walaupun dapat
terjadi pada tahun kedua atau tahun ketiga. TB ginjal biasanya lebih lama, yaitu 5-25
tahun kemudian.1
Secara singkat, gejala umum atau nonspesifik pada TB anak adalah sebagai
berikut :1
1. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1 bulan dengan
penanganan gizi.
2. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan berat badan
tidak naik dengan adekuat (failure to thrive).
3. Demam lama ( 2 minggu) dan / atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan
demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain), yang dapat
disertai keringat malam. Demam pada umumnya tidak tinggi.
4. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan biasanya multipel.
5. Batuk lama lebih dari 3 minggu, dan sebab lain telah disingkirkan.
6. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan diare.
Secara ringkas, gejala spesifik sesuai organ yang terkena adalah sebagai
berikut :1
1. TB kelenjar
Kelenjar limfe yang sering terkena adalah kelenjar limfe kolli anterior atau
posterior, juga dapat terjadi di aksila, inguinal, submandibula, dan
supraklavikula. Secara klinis kelenjar yang terkena biasanya multipel,
unilateral, tidak nyeri tekan, tidak panas pada perabaan, dan dapat saling
melekat (confluence) satu sama lain. Perlekatan ini akibat adanya inflamasi
pada kapsul kelenjar limfe (perifocal inflammation).
2. TB otak dan saraf
Umumnya akibat penyebaran hematogen generalisata. Mekanismenya
dapat berupa pecahnya suatu fokus TB lama ke dalam saluran vaskular
ataupecahnya fokus lama di selaput meningeal yang terbentuk ke dalam
ruang subarachnoid. Gejala biasanya berhubungan dengan gangguan saraf
kranial, nyeri kepala, penurunan kesadaran, kaku kuduk, dan kejang.
Bentuk TB saraf pusat lainnya adalah tuberkuloma, yang manifestasi
kliniknya lebih samar daripada meningitis TB. Manifestasi klinisnya
sesuai dengan lesi fokal otak (proses desak ruang) yang tumbuh secara
lambat, misalnya nyeri kepala, muntah.
3. TB tulang dan sendi
Tulang punggung (spondilitis) : gibbus
Tulang panggul (koksitis) : pincang
Tulang lutut (gonitis) : pincang dan / atau bengkak
Tulang kaki dan tangan
Dengan gejala berupa pembengkakan sendi, gibbus, pincang, lumpuh atau
sulit membungkuk.
4. TB kulit : skrofuloderma
5. TB mata
Konjungtivitis fliktenularis
Tuberkel koroid
B. TB dewasa
1. Demam
Pemeriksaan Radiologis
Pada saat ini pemeriksaan rontgen dada merupakan pemeriksaan yang praktis
untuk menemukan lesi tuberkulosis. Pada awal penyakit, gambaran radiologis berupa
bercak-bercak seperti awan dengan batas yang tidak tegas. Bila lesi telah diliputi
jaringan ikat maka akan tampak bulatan dengan batas yang tegas. Lesi ini dikenal
dengan nama tuberkuloma.2
Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang berdinding tipis. Lama-lama
dinding akan mengalami sklerotik dan tampak menebal. Bila telah terjadi fibrosis
akan tampak bayangan yang bergaris-garis. Pada kalsifikasi akan tampak bayangan
bercak bercak padat dengan densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis
yang luas disertai penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau pada satu lobus
ataupun pada satu bagian paru.2
Pemeriksaan Laboratorium
1. Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting, karena dengan ditemukannya kuman BTA
maka diagnosis TB sudah dapat ditegakkan. Di samping itu pemeriksaan sputum
juga dapat sebagai evaluasi atas pengobatan yang telah diberikan. Kadang tidak
mudah mendapatkan sputum, terutama pada pasien yang tidak batuk atau batuk
non produktif. Dalam hal ini dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum,
pasien minum air sebanyak 2 liter dan diajarkan untuk refleks batuk. Bila masih
sulit, dapat diberi tambahan mukolitik atau obat batuk ekspektoran. Sputum dapat
juga diperoleh dengan bronkoskopi diambil dengan brushing atau bronchial
washing atau BAL (broncho alveolar lavage). BTA sputum juga bisa diperoleh
dari bilas lambung, biasanya dikerjakan pada anak-anak. Sebaiknya sputum yang
akan diperiksa haruslah sesegar mungkin.2
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang
kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5000 kuman dalam 1
mL sputum.2
2. Tes Tuberkulin
Biasanya dilakukan pada anak-anak (balita). Dipakai test Mantoux yaitu dengan
menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin PPD (purified protein derivative) intrakutan
berkekuatan 5 TU (intermediate strength). Tes ini hanya menyatakan apakah
seseorang tersebut sedang atau pernah terinfeksi M.tuberculosae, M.bovis, atau
vaksinasi BCG. Dasar tes ini adalah reaksi alergi tipe lambat. Setelah 48-72jam
tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi kemerahan yang terdiri
dari infiltrat limfosit yaitu persenyawaan yang terjadi antara reaksi antibodi
dengan antigen tuberkulin. Berdasarkan hal tersebut maka hasil tes mantoux
dibagi dalam :
1. Indurasi 0-5 mm (diameternya) : tes mantoux negatif = no sensitivity. Di sini
peran antibodi humoral paling menonjol.
2. Indurasi 6-9 mm : hasil meragukan = low grade sensitivity. Di sini peran
antibodi humoral masih menonjol.
3. Indurasi 10 -15 mm : hasil positif = normal sensitivity. Di sini peran kedua
antibodi seimbang.
4. Indurasi lebih dari 15 mm : hasil positif kuat = hipersensitivity. Di sini peran
antibodi seluler paling menonjol.
Diagnosis
Diagnosis pasti TB ditegakkan dengan ditemukannya M.tuberculosae pada
pemeriksaan sputum atau bilasan lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura, atau
pada biopsi jaringan. Pada anak, kesulitan menegakkan diagnosis pasti disebabkan
oleh 2 hal, yaitu sedikitnya jumlah kuman dan sulitnya pengambilan spesimen
(sputum). Kuman BTA baru dapat dilihat dengan mikroskop bila jumlahnya paling
sedikit 5000 kuman dalam 1 mL dahak. Pada anak, walaupun batuknya berdahak,
biasanya dahak akan ditelan sehingga diperlukan bilasan lambung yang diambil
melalui NGT. Dahak yang representatif untuk dilakukan pemeriksaan mikroskopis
adalah dahak yang kental dan purulen, berwarna hijau kekuningan dengan volume 3-5
mL. Diagnosis TB anak ditentukan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan
penunjang seperti tes Tuberkulin, pemeriksaan laboratorium dan foto rontgen dada.
Adanya riwayat kontak dengan pasien TB dewasa BTA positif, uji Tuberkulin positif,
dan foto paru yang mengarah pada TB (sugesti TB) merupakan bukti kuat yang
menyatakan anak telah sakit TB.1
WHO tahun 1991 memberikan kriteria pasien tuberkulosis paru yaitu :2
1. Pasien dengan sputum BTA positif, yaitu :
Kasus baru, yaitu pasien yang tidak mendapat obat anti TB lebih dari 1
bulan.
2.
3.
4.
Kasus kronik, yaitu pasien dengan BTA sputumnya tetap positif setelah
diberikan terapi ulang lengkap dengan supervisi yang baik.
Panduan Obat
Sebelum ditemukan rifampisin, metode terapi tuberkulosis paru dengan
metode terapi jangka panjang yaitu INH (H) + streptomisin (S) + PAS atau etambutol
(E) tiap hari dengan fase initial selama 1-3 bulan dan dilanjutkan INH + PAS atau
etambutol selama 12-18 bulan. Setelah rifampisin (R) ditemukan, terapi menjadi INH
+ rifampisin + streptomisin atau etambutol setiap hari (fase initial) dilanjutkan INH +
rifampisin atau etambutol (fase lanjut).2
Panduan ini kemudian berkembang menjadi terapi jangka pendek, dengan
memberikan INH + rifampisin + streptomisin atau etambutol atau pirazinamid (Z)
setiap hari sebagai fase initial selama 1-2 bulan dilanjutkan dengan INH + rifampisin
atau etambutol atau streptomisin 2-3 kali seminggu selama 4-7 bulan, sehingga lama
pengobatan seluruhnya menjadi 6-9 bulan. Panduan obat yang digunakan di Indonesia
dan dianjurkan juga oleh WHO adalah 2 RHZ / 4 RH dengan variasi 2 RHS / 4 RH
atau 2 RHZ / 4 R3H3 atau 2 RHS / 4 R2H2, dll.Untuk tuberkulosis yang berat seperti
TB milier fase lanjutan sampai dengan 7 bulan. Dengan panduan 2 RHZ / 7 RH.2
Daftar Pustaka :
1. Nastiti N, dkk. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. Unit Kerja Koordinasi
Pulmonologi. PP Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 2005.
2. Asril Bahar. Tuberkulosis Paru. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit dalam Indonesia. Balai Penerbit
FKUI. Jakarta. 2001.