Anda di halaman 1dari 11

TUGAS MIP

Kukuh Hanna Prapanca 06/05412

JALAN BERLIKU PERJUANGAN HAK ATAS TANAH

JAKARTA – Risma, sebut saja begitu, terisak di ruang redaksi Sinar


Harapan beberapa pekan lalu. Dalam bahasa Bugis, ia bertutur soal
suaminya yang kembali sebagai mayat usai pamit untuk pergi
berladang. Jenazah itu dibawa pulang oleh aparat kepolisian
setempat, diletakkan di rumah begitu saja, tanpa menyebut
penyebab kematiannya.

Empat tahun setelah kematian itu, Risma juga harus kehilangan


empat orang anaknya. Kali ini bukan karena kematian, tapi Risma
harus meninggalkan keempat buah hatinya setelah aparat
keamanan memasukkannya sebagai target operasi (TO) pasca-
demonstrasi damai yang ia gelar bersama rakyat Bulukumba lain
untuk memperjuangkan hak atas tanah yang direbut oleh PT London
Sumatra (Lonsum) bulan Juli lalu.

Halka, Sekretaris Dewan Rakyat Bulukumba (DRB) mengatakan, apa


yang dilakukan rakyat Bulukumba adalah menuntut hak atas tanah
yang mereka garap sejak zaman Belanda yang kini diambil alih oleh
PT Lonsum. Rakyat berpegang pada sejarah, sementara PT Lonsum
berpegang pada selembar kertas yang menerangkan kepemilikan
mereka atas tanah tersebut. Guna menghindari konflik pemerintah
memutuskan tidak boleh ada gangguan terhadap tanah sengketa.
Namun yang terjadi kemudian, PT Lonsum yang tak sabar
berhadapan dengan rakyat yang marah. Konflik pun tak
terhindarkan dan para penggelar aksi damai pun harus hijrah hingga
ke Jakarta untuk mengadukan nasibnya dan menyelamatkan diri
untuk sementara.

kukuh hp 06/05412
Kasus Bulukumba bukan satu-satunya. Konflik serupa terjadi hampir
di seluruh penjuru tanah air. Di Sumatera Utara, rentang waktu
1970-1990, tanah rakyat yang dikonversi menjadi perkebunan dan
lahan baru mencapai 500.000 ribu hektare. Dari jumlah tersebut
masyarakat yang menjadi korban penggusuran berjumlah 250.000
kepala keluarga. Pasca Mei 1998, tercatat 554 kasus tanah di Sumut
yang terkonsentrasi di semua tingkatan. Dari jumlah tersebut, 97
persen di antaranya persoalan tanah antara rakyat dengan pihak
perkebunan.

Di Jawa Barat, sekitar 150 ribu ha tanah statusnya masih


bermasalah. Data di LBH Bandung menyebutkan, sejak tahun 1984-
2003, tercatat sekitar 40 kasus pertanahan.Dari jumlah ini, 17 kasus
dipicu oleh Hak Guna Usaha (HGU). Hal sama terjadi di Jawa Tengah.
Mayoritas kasus tanah yang selalu meruncing pada konflik
kekerasan itu dipicu oleh terbitnya HGU atas tanah garap petani
tersebut. Menurut Sugandi, Ketua Forum Perjuangan Petani Nelayan
Batang, Pekalongan (FPPNBP), konflik di lapangan meliputi
persoalan pertanahan, sumber daya air, perburuhan perkebunan
serta lingkungan hidup.
Sementara Ketua Pansus Sengketa Tanah DPR, Nyoman
Gunawan mengatakan, jumlah sengketa tanah di Indonesia
mencapai 1000 kasus. Dari jumlah tersebut, kasus terbesar berada
di Jawa Timur, Lampung, dan Papua.

Artikel permasalahan pertanahan berikut dikutip dari


Harian Umum Sore SINAR HARAPAN tanggal 29 September 2003,
dengan judul:“ JALAN BERLIKU PERJUANGAN HAK ATAS TANAH

kukuh hp 06/05412
Diperoleh dari situs resmi harian tersebut
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0309/29/nas02.html

kukuh hp 06/05412
Terkait artikel tersebut juga terdapat beberapa point penting terkait
permasalahan pertanahan dan merupakan gambaran kondisi umum
tata masalah pertanahan yang terjadi hampir diseluruh pelosok
Indonesia, terangkum sebagai berikut :

• Dalam setiap kasus tanah, posisi rakyat selalu lemah.


Sejumlah kasus menunjukkan, rakyat biasanya tidak memiliki
dokumen legal seperti sertifikat. Rakyat mengklaim tanah
hanya berdasarkan kepada fakta historis belaka. Berdasarkan
UU No 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) ada
ketentuan yang menyebutkan jaminan bagi setiap individu
memiliki tanah.
Ketentuan ini tercantum dalam pasal 9 ayat 2. Bila mengacu
pada ketentuan tersebut semestinya Badan Pertanahan
Nasional (BPN) dapat menerbitkan dokumen legal untuk
kepentingan rakyat.

• Implementasi UUPA 1960 hingga saat ini masih lemah.


Sekarang ini belum ada pengukuran tanah yang dilakukan
secara nasional dan menyeluruh oleh pemerintah pusat, padahal
pengukuran itu sangat penting sebagai upaya mengurangi
masalah sengketa. Begitu juga pembuktian surat tanah melalui
sertifikasi, ternyata juga belum bisa menyelesaikan masalah
karena seringkali sebuah tanah mempunyai sertifikat lebih
dari satu.
PP Nomor 24/97, menurut menyebutkan, setelah terbitnya
sertifikat selama lima tahun dan tidak ada keberatan dari pihak
mana pun, maka tidak boleh dibuat sertifikat baru atas tanah yang
sama. Nyatanya, pengadilan dalam menangani kasus tanah
sering mengesampingkan PP ini. Alasannya, jika ada bukti baru atas
sebuah tanah bersertifikat, maka BPN berhak mengeluarkan
sertifikat baru. Dengan demikian, sertifikat itu bukan sesuatu
yang mutlak sebagai tanda kepemilikan tanah.

kukuh hp 06/05412
• Indonesia memiliki regulasi pertanahan yang masih
saling bertentangan dan tumpang tindih
Keluarnya Keppres 34/2003 tentang Kebijakan Nasional di
Bidang Pertanahan yang memberikan mandat kepada Badan
Pertanahan Nasional (BPN) untuk menyempurnakan UUPA 1960
diharapkan bisa membenahi sengketa agraria yang tak pernah
berakhir.
Namun terkait dengan UU Nomor 22/1999 tentang Otonomi
Daerah (Otda). Dalam UU ini, tanah ternyata tidak berada di
tangan otoritas pemerintah pusat.
Sehingga menurut Pansus Sengketa Tanah DPR, Nyoman
Gunawan sebenarnya, UU Otda itu bertentangan dengan
pasal 33 UUD 1945. Selain itu UU Otda ini juga bertentangan
dengan Tap MPR Nomor 9/2001 tentang Pembaruan
Agraria.Ketidakjelasan aturan perundangan membuat posisi
rakyat terpinggirkan.
• Konflik agraria memang kompleks karena sebenarnya
ini tak semata masalah hukum.
Direktur LBH Medan yang juga dosen Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Sumut, Irham Buana Nasution
mengatakan, corak dan watak sengketa agraria
berhubungan erat dengan tiga faktor.
1. Proses ekspansi dan perluasan skala akumulasi modal,
baik modal domestik maupun internasional.
2. Watak otoritarian dari Pemerintahan Orde Baru.
3. Berubahnya strategi dan orientasi pengembangan
sumber-sumber agraria dari strategi agraria yang
populis (membangun masyarakat sosialis) menjadi
agraria yang kapitalistik (mengintegrasikan masyarakat
Indonesia sebagai bagian dari perkembangan
kapitalisme internasional).

kukuh hp 06/05412
Jika pemerintah tak segera merealisasikan UUPA 1960 dengan
semangat populistik, maka aksi-aksi reclaiming (klaim balik) yang
dilakukan petani atas tanah yang digarapnya akan semakin
marak.
Bukan tak mungkin, rakyat akan menganggap tindakan
reclaiming jauh lebih efektif dibanding menunggu ”molornya”
realisasi UUPA 1960. ***

kukuh hp 06/05412
Bahasan, kajian dan alternatif solusi masalah tersebut
diatas menurut pendapat saya pribadi adalah sebagai
berikut :

Masalah pertanahan adalah masalah klasik namun selalu saja


muncul disegala sendi dan perikehidupan manusia. Tanah adalah
sebuah objek yang dapat dipandang dari sekian banyak perspektif,
tanah sebagai sebuah ruang space), alam (nature), faktor produksi
(factor of production), barang konsumsi (consumption good), situasi
(situation), properti (property dan sebagai odal (capital). Setiap
perspektif akan memberikan pengertian dan makna tersendiri
sesuai dengan kapasitas yang diinginkan oleh pemilik maupun oleh
pengambil manfaat dari tanah tersebut.

Konflik muncul dari perbedaan kepentingan antara rakyat banyak


yang membutuhkan tanah sebagai sumber pokok kehidupan,
dengan pihak-pihak lain yang membutuhkan tanah tersebut untuk
kegiatan ekonomi dalam skala besar. Sebagai sumber daya alam
yang jumlahnya terbatas, tanah akan selalu menjadi primadona,
karena kemanfaatannya dan karena keterbatasan jumlahnya.
Terutama di Indonesia yang agraris. Penataan kepemilikan dan
pengelolaan tanah adalah suatu keharusan, agar statusnya jelas
dan tidak menimbulkan permasalahan.

Masalah yang sering muncul adalah masalah sertifikat tanah. Masih


banyak masyarakat yang belum memahami pentingnya sertifikat
tanah, atau di sisi lain ada juga masalah double sertifikat atas
sebidang tanah. Hal yang disebut terakhir, penyelesaiannya
dianggap memberatkan masyarakat karena biaya dan prosesnya
harus sampai ke meja pengadilan. Efek Domino yang terjadi adalah
masyarakat lebih memilih untuk memperjuangkan haknya dengan
caranya sendiri seperti demonstrasi, reclaiming, pendudukan lahan
dan lain sebagainya.

kukuh hp 06/05412
Mencegah masalah tersebut, sebenarnya sejak tahun 1981,
Pemerintah telah mencanangkan Proyek Nasional Agraria (Prona),
tetapi hasilnya belum efektif. Program ini ditujukan untuk mereka
yang tingkat ekonominya lemah, yaitu berpenghasilan kurang atau
sama dengan UMR, anggota Pepabri, Warakawuri dan Wredatama
yang tinggal di tanah di desa miskin atau tertinggal, daerah
pertanian yang subur-berkembang, daerah pinggiran miskin kota
serta daerah pengembangan ekonomi rakyat. Biaya yang
ditanggung negara dalam program ini meliputi penetapan hak atau
penerbitan sertifikat, Biaya Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) dan PPh. Selain itu juga biaya ukur dan biaya administrasi.

Selain Prona, ada juga pengurusan sertifikat yang sifatnya massal


dan biasa disebut Sertifikat Massal Swadaya atau SMS. Biaya yang
dibebankan pada masyarakat meliputi biaya administrasi sertifikat,
BPHTB, biaya ukur dan panitia. Tapi dalam praktek, oleh desa sering
dipungut biaya membuat surat keterangan tanah. Padahal ini adalah
sekedar tambahan dan bukan kewajiban.

Merunut pada berita yang diturunkan harian Sinar Harapan diatas,


sengketa kepemilikan tanah adalah kasus yang paling sering terjadi.
Peristiwa yang sering timbul dan bahkan sekarang cenderung
menjadi hal biasa adalah Reclaiming, Pendudukan lahan dan
Penggusuran bangunan diatas sebidang tanah. Berita di televisi,
radio, dan media massa lainnya semakin sering dihiasi dengan
masalah sengketa kepemilikan tanah.

kukuh hp 06/05412
Menurut saya pribadi, solusi terkait sekian banyak masalah
permasalahan pertanahan diatas, antara lain adalah sebagai
berikut :

1. Akomodasi pemerintah terhadap kepentingan penguasaan tanah oleh


petani dan masyarakat kecil.
Setidaknya terdapat beberapa hal pokok yang dapat dilakukan
oleh pemerintah dalam menyusun dan melaksanakan regulasi di
bidang pertanahan, yaitu :

a. Sosialiasi pentingnya sertifikasi pertanahan dan memberikan waktu


peralihan bukti kepemilikan tanah oleh rakyat kecil serta memperbolehkan
bukti non-dokumenter sebagai basisnya. Pengakuan atas kepemilikan
berdasar penempatan lahan, serta berbagai bukti informal lainnya, seperti
bukti pembayaran pajak ditambah dengan pengakuan dari para tetangga,
misalnya, dapat meningkatkan jaminan terhadap kepemilikan oleh
masyarakat miskin.

b. Memperbolehkan kepemilikan lahan bersama (communal property)


Tanah adat dan tanah yang dimiliki secara turun temurun, selama ini adalah
potensi konflik dan pemicu aksi reclaiming oleh sebagian kecil masyarakat.
Kepemilikan lahan bersama dapat mengakomodir dan memberikan
perlindungan bagi tanah adat yang dikuasai secara bersama dan turun temurun
dari peralihan hak secara dokumenter oleh pemilik modal besar dengan cara
yang tidak benar. Untuk hal ini tentunya, aspek hukum sosio kultural dan
historis juga harus diperhatikan dengan tanpa mengesampingkan asas keailan
bagi semua.

2. Meningkatkan efektifitas dan efisiensi tertib pendaftaran tanah


Pencatatan pertanahan merupakan kunci dari manajemen pertanahan oleh
pemerintah, sistem pendaftaran yang pasti dan baku tanpa pilih kasih harus selalu
ditunjukkan oleh pemerintah sebagai itikad baik pembangunan, yaitu meliputi :

kukuh hp 06/05412
a. Penegakan aturan penguasaan hak atas tanah yang sudah ada.
Dari sisi hukum, sebenarnya mekanisme dan prosedur pendaftaran tanah di
Indonesia sudah cukup jelas dan baku, hanya saja SDM yang
melakukannya tidak memanifestasikan peraturan perunangan tersebut
dengan jelas.
b. Minimalisasi celah pemalsuan, sertifikat ganda pungutan liar
Ketiga hal tersebut terakhir adalah sumber konflik, harus sepenuhnya
dihindari. Penggunaan sistem administrasi yang bersih dan pemanfaatan
teknologi modern mutlak harus dilaksanakan.

3. Mempercepat pelaksanaan program pemerintah dibidang pertanahan untuk


kepentingan bersama dan peningkatan taraf hidup rakyat.
Program-program pemerintah yang tealah ada seperti Prona, Proda, SMS dan
program lain yang populis harus lestarikan meskipun dengan bentuk lain dan
mekanisme dan prosedur yang baru dan lebih baik. Salah satu program baru
pemerintah dan sangat prospektif bagi kemajuan bersama adalah program
pembagian tanah telantar dan tanah negara.

Keberadaan tanah telantar selama ini telah menjadi persoalan pelik pemicu konflik
agraria (sengketa tanah). Penelantaran tanah kerap mengandung motif spekulasi
untuk mendapatkan keuntungan mudah atas selisih jual beli tanah. Dalam banyak
kasus rakyat mencoba masuk dan menggarap tanah-tanah yang secara fisik
telantar. Namun, secara legal formal rakyat disalahkan karena menggarap tanah
yang secara hukum masih hak pihak lain.

Penggarapan tanah-tanah "telantar" oleh rakyat yang memicu persoalan hukum


hendaknya disikapi secara arif dan bijaksana. Menyalahkan langsung tindakan
rakyat harus dihindari. Penggunaan dasar-dasar juridis formal semata tak akan
menjawab persoalan sengketa ini. Alasan-alasan sosio-historis dan sosio-ekonomis
hendaknya dipertimbangkan dalam penanganan sengketa tanah telantar.

Percepatan prosedur dan mekanisme pembagian dan pendayagunaan tanah telantar


dan tanah negara yang tidak difungsikan akan memastikan keberadaan tanah-

kukuh hp 06/05412
tanah-tanah tersebut sebagai objek potensial reforma agraria demi kemajuan
bersama

kukuh hp 06/05412

Anda mungkin juga menyukai