kukuh hp 06/05412
Kasus Bulukumba bukan satu-satunya. Konflik serupa terjadi hampir
di seluruh penjuru tanah air. Di Sumatera Utara, rentang waktu
1970-1990, tanah rakyat yang dikonversi menjadi perkebunan dan
lahan baru mencapai 500.000 ribu hektare. Dari jumlah tersebut
masyarakat yang menjadi korban penggusuran berjumlah 250.000
kepala keluarga. Pasca Mei 1998, tercatat 554 kasus tanah di Sumut
yang terkonsentrasi di semua tingkatan. Dari jumlah tersebut, 97
persen di antaranya persoalan tanah antara rakyat dengan pihak
perkebunan.
kukuh hp 06/05412
Diperoleh dari situs resmi harian tersebut
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0309/29/nas02.html
kukuh hp 06/05412
Terkait artikel tersebut juga terdapat beberapa point penting terkait
permasalahan pertanahan dan merupakan gambaran kondisi umum
tata masalah pertanahan yang terjadi hampir diseluruh pelosok
Indonesia, terangkum sebagai berikut :
kukuh hp 06/05412
• Indonesia memiliki regulasi pertanahan yang masih
saling bertentangan dan tumpang tindih
Keluarnya Keppres 34/2003 tentang Kebijakan Nasional di
Bidang Pertanahan yang memberikan mandat kepada Badan
Pertanahan Nasional (BPN) untuk menyempurnakan UUPA 1960
diharapkan bisa membenahi sengketa agraria yang tak pernah
berakhir.
Namun terkait dengan UU Nomor 22/1999 tentang Otonomi
Daerah (Otda). Dalam UU ini, tanah ternyata tidak berada di
tangan otoritas pemerintah pusat.
Sehingga menurut Pansus Sengketa Tanah DPR, Nyoman
Gunawan sebenarnya, UU Otda itu bertentangan dengan
pasal 33 UUD 1945. Selain itu UU Otda ini juga bertentangan
dengan Tap MPR Nomor 9/2001 tentang Pembaruan
Agraria.Ketidakjelasan aturan perundangan membuat posisi
rakyat terpinggirkan.
• Konflik agraria memang kompleks karena sebenarnya
ini tak semata masalah hukum.
Direktur LBH Medan yang juga dosen Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Sumut, Irham Buana Nasution
mengatakan, corak dan watak sengketa agraria
berhubungan erat dengan tiga faktor.
1. Proses ekspansi dan perluasan skala akumulasi modal,
baik modal domestik maupun internasional.
2. Watak otoritarian dari Pemerintahan Orde Baru.
3. Berubahnya strategi dan orientasi pengembangan
sumber-sumber agraria dari strategi agraria yang
populis (membangun masyarakat sosialis) menjadi
agraria yang kapitalistik (mengintegrasikan masyarakat
Indonesia sebagai bagian dari perkembangan
kapitalisme internasional).
kukuh hp 06/05412
Jika pemerintah tak segera merealisasikan UUPA 1960 dengan
semangat populistik, maka aksi-aksi reclaiming (klaim balik) yang
dilakukan petani atas tanah yang digarapnya akan semakin
marak.
Bukan tak mungkin, rakyat akan menganggap tindakan
reclaiming jauh lebih efektif dibanding menunggu ”molornya”
realisasi UUPA 1960. ***
kukuh hp 06/05412
Bahasan, kajian dan alternatif solusi masalah tersebut
diatas menurut pendapat saya pribadi adalah sebagai
berikut :
kukuh hp 06/05412
Mencegah masalah tersebut, sebenarnya sejak tahun 1981,
Pemerintah telah mencanangkan Proyek Nasional Agraria (Prona),
tetapi hasilnya belum efektif. Program ini ditujukan untuk mereka
yang tingkat ekonominya lemah, yaitu berpenghasilan kurang atau
sama dengan UMR, anggota Pepabri, Warakawuri dan Wredatama
yang tinggal di tanah di desa miskin atau tertinggal, daerah
pertanian yang subur-berkembang, daerah pinggiran miskin kota
serta daerah pengembangan ekonomi rakyat. Biaya yang
ditanggung negara dalam program ini meliputi penetapan hak atau
penerbitan sertifikat, Biaya Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) dan PPh. Selain itu juga biaya ukur dan biaya administrasi.
kukuh hp 06/05412
Menurut saya pribadi, solusi terkait sekian banyak masalah
permasalahan pertanahan diatas, antara lain adalah sebagai
berikut :
kukuh hp 06/05412
a. Penegakan aturan penguasaan hak atas tanah yang sudah ada.
Dari sisi hukum, sebenarnya mekanisme dan prosedur pendaftaran tanah di
Indonesia sudah cukup jelas dan baku, hanya saja SDM yang
melakukannya tidak memanifestasikan peraturan perunangan tersebut
dengan jelas.
b. Minimalisasi celah pemalsuan, sertifikat ganda pungutan liar
Ketiga hal tersebut terakhir adalah sumber konflik, harus sepenuhnya
dihindari. Penggunaan sistem administrasi yang bersih dan pemanfaatan
teknologi modern mutlak harus dilaksanakan.
Keberadaan tanah telantar selama ini telah menjadi persoalan pelik pemicu konflik
agraria (sengketa tanah). Penelantaran tanah kerap mengandung motif spekulasi
untuk mendapatkan keuntungan mudah atas selisih jual beli tanah. Dalam banyak
kasus rakyat mencoba masuk dan menggarap tanah-tanah yang secara fisik
telantar. Namun, secara legal formal rakyat disalahkan karena menggarap tanah
yang secara hukum masih hak pihak lain.
kukuh hp 06/05412
tanah-tanah tersebut sebagai objek potensial reforma agraria demi kemajuan
bersama
kukuh hp 06/05412