Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

EMERGENCY DAN KRITIS CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)


DI RUANG HCU INTERNA RSUD Dr.MOEWARDI SURAKARTA

Oleh:
Nama : Alif Fitriana N.R
NIM

: 070114B003

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NGUDI WALUYO
Jl. Gedongsongo, Candirejo Ungaran-Semarang
Tahun Ajaran 2015
1

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)


GAGAL GINJAL
A. Defenisi
Gagal ginjal kronik merupakan perkembangaan gagal ginjal yang progresif
dan lambat, biasanya berlangsung berapa tahun. Ginjal kehilangan kemampuan
asupan diet normal. Gagal ginjal kronik terjadi setelah berbagai macam penyakit
merusak nefron ginjal. (Price, Sylvia Anderson,2004).
Chronic kidney disease (CKD) merupakan gangguan fungsi renal yang
progresif

dan

irreversible

dimana

kemampuan

tubuh

gagal

untuk

mempertahankan metabolism dan keseimbangan cairan dan elektrolit,


menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah)
(Smeltzer, 2005).
Chronik Kidney Desease adalah : kerusakan ginjal progresif yang
berakibat fatal dan ditandai dengan uremia (urea dan limbah nitrogen lainnya
yang beredar dalam darah serta komplikasinya jika tidak dilakukan dialisis atau
transplantasi ginjal). (Nursalam. 2006)
CKD

didefinisikan

sebagai

adanya

kerusakan

ginjal

yang

dimanifestasikan oleh ekskresi albumin yang menurun atau penurunan fungsi


ginjal yang secara kuantitatif diukur dengan GFR (Glomerular Filtration Rate),
dan terjadi lebih dari 3 bulan (Thomas et al., 2008).
CKD

didefinisikan

sebagai

adanya

kerusakan

ginjal

yang

dimanifestasikan oleh ekskresi albumin yang menurun atau penurunan fungsi


ginjal yang secara kuantitatif diukur dengan GFR (Glomerular Filtration Rate),
dan terjadi lebih dari 3 bulan (Thomas et al., 2008).
Berdasarkan kelima pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
gagal ginjal kronik adalah suatu keadaan dimana ginjal mengalami kerusakan
sehingga tidak mampu lagi mengeluarkan sisa-sisa metabolisme yang ada di
dalam tubuh dan menyebabkan penumpukan urea dan sampah metabolisme
lainnya serta ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.
B. Etiologi
1. Infeksi saluran kemih (ISK)
ISK dibagi dalam dua subkatagori yaitu ISK bagian bawah (pielonefritis
2

akut). Pielonefritis kronik adalah cedera ginjal yang progresif berupa kelainan
ginjal disebabkan oleh infeksi yang berulang dan menetap pada ginjal, yang
menyebabkan kelainan anatomi pada ginjal dan saluran kemih seperti
refluks vesikoureter, obstruksi, kalkuli atau kandung kemih neurogenik.
Kerusakan ginjal

pada pielonefritis akut / kronik atau disebut juga nefropati

refluks diakibatkan refluks urin yang terinfeksi ke uretra dan masuk kedalam
parinkim ginjal. (refluks internal). Piolonefritis kronik yang disertai refluks
vesikoureter merupakan penyebab utama gagal ginjal pada anak-anak.
2. Nefrosklerosis Hipertensif
Hipertensi dan gagal ginjal kronik memiliki kaitan yang erat. Hipertensi
mungkin merupakan penyakit primer atau penyakit ginjal kronik merupakan
pemicu hipertensi melalui mekanisme retensi Na dan air, pengaruh vaso presor
dari system renin- angiotensin mungkin juga melalui defisiensi prostaglandin.
Nefrosklerosis menunjukan adanya perubahan patologis pada pembuluh darah
ginjal sebagai akibat hipertensi. Keadaan ini merupakan salah satu penyebab
utama gagal ginjal kronik, terutama pada populasi yang bukan orang kulit putih.
3. Glomerulonefritis
Glomerulonepritis merupakan penyakit peradangan ginjal bilateral.
Peradangan dimulai dalam glomerulus dan bermanifestasi sebagai proteinuria dan
atau hemoturia. Meskipun lesi terutama pada glomerulus, tetapi seluruh nefron
pada akhirnya akan mengalami kerusakan, mengakibatkan gagal ginjal kronik.
4. Penyakit ginjal kronik
Penyakit ginjal polikistik dintandai dengan kista-kista multiple bilateral
yang mengadakan ekspansi dan lambat laun mengganggu dan menghancurkan
parenkim ginjal normal akibat penekanan.ginjal dapat membesar dan terisi oleh
klompok- klompok kista yang menyarupai anggur. Perjalanan penyakit progresif
cepat dan mengakibatkan kematian sebelum mencapai usia 2 tahun. Tanda
dan gejala yang sering tampak adalah rasa sakit didaerah pinggang,
hematuria, poliuria, proteinuria dan

ginjal

membesar

teraba

dari

luar.

Komplikasi yang sering terjadi adalah hipertansi dan infeksi saluran kemih.
Penyakit ginjal polikistik merupakan penyebab ketiga tersering gagal ginjal
stadium akhir.
5. Gout
Gout merupakan

suatu

penyakit metabolik
3

yang

ditandai

oleh

hiperurisemia (peningkattan kadar asam urat plasma). Lesi utama pada gout
terutama berupa endapan dan kristalisasi urat dan dalam cairan tubuh.
Pada gout kronik endapan kristal urat dalam interstisium ginjal dapat
menyebabkan nefritis interstisial, nefrosklerosis dan gagal ginjal yang berjalan
progresif lambat.
6. Diabetes mellitus
Nefropati diabetika merupakan penyebab kematian dan kecacatan
yang umum pada
dijumpai

penderita

diabetes

militus.

Lesi

ginjal

yang

sering

adalah nefrosklerosis akibat lesi pada arteriola, pielonefritis dan

nekrosis papila ginjal dan glomerulus sklerosis. Lesi tersebut disebabkan oleh
peningkatan endapan matriks mesingeal. Membrane basalis perifer juga lebih
menebal. Mula-mula lumen kapiler masih utuh tetapi lambat laun mengalami
obliterasi bersamaan dengan berlanjutnya penyakit.
7. Hiperparatirodisme
Hiperparatiroidisme primer akibat hipersekresi hormone paratiroid
merupakan penyakit yang dapat menyebabkan nefrokalasinosis dan selanjutnya
dapat menyebutkan gagal ginjal. Penyebab yang paling sering adalah adenoma
kelenjar paratiroid.
8. Nefropati toksik
Ginjal rentan terhadap efek toksik, karena ginjal menerima 25 %
dari

curah jantung dan ginjal merupakan jalur ekskresi obligatorik untuk

kebanyakan obat. Sehingga insufiensi ginjal mengakibatkan peninbunan obat


dan meningkatkan konsentrasi dalam cairan tubulus.
C. Stadium Gagal Ginjal
Penyakit gagal ginjal kronik umumnya dibagi menjadi 5 stadium, Nilai
normal GFR adalah 100-140 mL/min bagi pria dan 85-115 mL/min bagi wanita.
pembagiannya dilakukan berdasarkan nilai GFR (Glomerular filtration rate)
http://spiritia.or.id/cst/dok, www.ikcc.or.id diakses 2 Agustus 2009, yaitu :

Stadim
Stadium 1

GFR
> 90 ml / menit / 1,73 m2
GFR masih normal
4

Keterangan
kelainan ginjal yang ditandai
dengan albuminaria persisten

Stadium II

Penurunan ringan
GFR antara 60-89

Kelainan

ginjal

dengan

albuminaria persisten

mL/menit/1,73 m2
Stadium III

Penurunan sedang
GFR
antara

Saat CKD sudah berlanjut


30-59

mL/menit/1,73m2

pada stadium ini, anemia dan


masalah

tulang

menjadi

semakin umum
Stadium IV

Penurunan berat
GFR antara 1529mL/menit/1,73m2

Kreatinin serum dan kadar


blood

ureum

nitrgen

meningkat sangat mencolok


dan timbul oliguri.

Stadium V

Gagal ginjal terminal


GFR < 15mL/menit/1,73m2

Membutuhkan dialisis atau


pencangkokan ginjal.

D. Manifestasi Klinis
1. Sistem gastrointestinal
a. Anoreksia, nausea, vomitus yang berhubungan dengan gangguan
metabolisme protein.
b. Foter uremik disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air liur diubah
oleh bakteri di mulut menjadi amonia sehingga nafas berbau amonia.
2. Kulit
a. Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning-kuningan akibat
penimbunan urokrom. Gatal-gatal dengan ekskoriasi akibat toksik uremik
dan pengendapan kalsium di pori-pori kulit.
b. Ekimosis akibat gangguan hematologis.
c. Urea frost akibat kristalisasi urea yang ada pada keringat
3. Sistem hematologi
a. Berkurangnya produksi eritropoitin, sehingga rangsangan eritropoisis
pada sumsum tulsng menurun.
b. Hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritroosit dalam suasana
uremia toksik.
c. Difisiensi besi, asam folat akibat nafsu makan yang kurang.
d. Perdarahan pada saluran cerna dan kulit
5

e. Fibrosis sumsum tulang akibat hiperparatiroidismesekunder


f. Gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia akibat agregasi dan
adhesi trombosit yang berkurang serta menurunnya faktor trombosit III
dan adenosis difosfat.
4. Sistem saraf dan otot
a. Resties leg syndrome: Pasien merasa pegal pada kakinya sehingga selalu
digerakkan.
b. Burning feet syndrome: Rasa semutan dan seperti terbakar terutama
ditelapak kaki.
c. Ensefalopati

metabolik:

Lemah

tidak

bisa

tidur,

gangguan

terutama

otot-otot

konsentrasi tremor, miokionus dan kejang.


d. Miopati:

Kelemahan

dan

hipotropi

otot-otot

ekstremitas proksimal.
5. Sistem kardiovaskuler
a. Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam atau peningkatan
aktifitas system renin-angiotensin-aldosteron.
b. Nyeri dada dan sesak nafas akibat perikarditis, efusi pericardial, penyakit
jantung koroner akibat arterosklerosis dan gagal jantung akibat
penimbunan cairan dan hipertensi.
6. Sistem endokrin
a. Gangguan seksual: libido, fertilitas dan ereksi menurun akibat penurunan
sekresi testosterone dan spermatogenesis.
b. Gangguan metabolisme glukosa, resistensi insulin dan sekresi dan insulin.
c. Gangguan metabolisme.
d. Gangguan metabolisme vitamin D.
7. Gangguan system lain
a. Tulang:

osteodistrofi

renal

yaitu

osteomalasia,

osteofibfosa,

osteoskerosis dan kalsifikasi metastatik.


b. Asidosis

metabolic

akibat

penimbunan

asam

organic

hasil metabolisme
c. Elektrolit: hiperfosfatemia, hiperkalsemia, hipokalsemia.
E. Patofisiologi
6

sebagai

Menurut Brunner dan Suddarth(2002),Slamet Suyono(2001) dan Sylvia A. Price,


(2000) adalah sebagai berikut : Gagal ginjal merupakan suatu keadaan klinis
kerusakan ginjal yang progresif dan irreversibel dari berbagai penyebab diantaranya
infeksi, penyakiy peradangan, penyakit vaskular hipertensif, gangguan jaringan
penyambung, gangguan kongenital dan herediter, penyakit metabolik (DM,
Hipertiroidisme),

Nefropati

toksik

(penyalahgunaan

analgesik),

nefropati

obstruktif(saluran kemih bagian atas dan saluran kemih bagian bawah).


Pada saat fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein yang
normalnya di ekskresikan kedalam urine menjadi tertimbun didalam darah, sehingga
terjadinya uremia dan mempengaruhi sistem sistem tubuh, akibat semakin
banyaknya tertimbun produk sampah metabolik, sehingga kerja ginjal akan semakin
berat.
Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dan penurunan jumlah
glomeruli yang dapat menyebabkan penurunan klirens. Substansi darah yang
seharusnya dibersihkan, tetapi ginjal tidak mampu untuk memfiltrasinya. Sehingga
mengakibatkan kadar kreatinin serum, nitrogen, urea darah (BUN) meningkat. Ginjal
juga tidak mampu mengencerkan urine secara normal. Sehingga tidak terjadi respon
ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan elektrolit sehingga terjadi
tahanan natrium dan cairan. (Brunner & Suddarth, 2002).
Asidosis.

Dengan berkembangnya penyakit renal, terjadi asidosis

metabolik seiring dengan ketidakmampuan ginjal mengekskresikan muatan asam


(H+)

yang

berlebihan.Penurunan

ketidakmampuan

tubulus

sekresi

asam

terutama

akibat

ginjal untuk mensekresi amonia (NH3-) dan

mengabsorbsi natrium bikarbonat (HCO3)-)


Anemia.

Anemia terjadi sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang

tidak adekuat, memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi, dan
kecenderungan untuk mengalami perdarahan akibat status uremik pasien,
terutama dari saluran gastrointestinal. Eritropoetin, suatu substansi normal yang
diproduksi oleh ginjal menstimulasi sumsum tulang untuk menghasilkan sel
darah merah.

Pada gagal ginjal, produksi eritropoetin menurun dan anemia

berat terjadi, disertai keletihan, angina dan napas sesak.


Ketidak seimbangan kalsium dan posfat.

Abnormalitas utama yang

lain pada gagal ginjal kronik adalah gangguan metabolisme kalsium dan posfat.
7

Kadar serum kalsium dan posfat tubuh memiliki hubungan saling timbal balik,
jika salah satunya meningkat, yang lain akan turun. Dengan menurunnya filtrasi
melalui glomerulus ginjal, terdapat peningkatan kadar posfat serum dan
sebaliknya penurunan kadar serum kalsium. Penurunan kadar kalsium serum
menyebabkan sekresi parathormon dan akibatnya kalsium di tulang menurun,
menyebabkan perubahan pada tulang dan penyakit tulang.
Selain itu, metabolit aktif vitamin D (1,25 dihidrokolekasiferol) yang
secara normal dibuat di ginjal menurun seiring dengan berkembangnya gagal
ginjal.
Penyakit tulang uremik, sering disebut osteodistrofi renal, terjadi dari
perubahan kompleks kalsium, posfat dan keseimbangan parathormon.

Laju

penurunan fungsi ginjal dan perkembangan gagal ginjal kronik berkaitan dengan
gangguan yang mendasari, ekskresi protein dalam urin, dan adanya hipertensi.
Pasien yang mengekskresikan secara signifikan sejumlah protein atau mengalami
peningkatan tekanan darah cenderung akan cepat memburuk daripada mereka
yang tidak mengalami kondisi ini.
Stadium akhir timbul pada sekitar 90 % dari masa nefron telah hancur.
Nilai GFR nya 10 % dari keadaan normal dan kadar kreatinin mungkin sebesar 510 ml/menit atau kurang. Pada keadaan ini kreatnin serum dan kadar BUN akan
meningkat dengan sangat mencolok sebagai penurunan. Pada stadium akhir gagal
ginjal, penderita merasakan gejala yang cukup parah karene ginjal tidak sanggup
lagi mempertahankan homeostatis cairan dan elektrolit dalam tubuh. Penderita
biasanya menjadi oliguri (pengeluaran kemih) kurang dari 500/hari karena
kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula-mula menyerang tubulus
ginjal. Kompleks menyerang tubulus ginjal, kompleks perubahan biokimia dan
gejala-gejala yang dinamakan sindrom uremik memepengaruhi setiap sistem
dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan meninggal
kecuali ia mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialisi
(Sudoyo, 2006)
F. Komplikasi
1. Jantung: edema paru, aritmia, efusi pericardium, tamponade jantung
2. Gangguan

elekrolit:

hiponatremia,

asidosis,

hiperkalemia

(akibat

penuruan ekskresi, asidosis mertabolik, katabolisme dan masukan diet yang


berubah)
8

3. Neurology: iritabilitas, neuromuscular, flap, tremor, koma, gangguan


kesadaran, kejang
4. Gastrointestinal:

nausea,

muntah,

gastritis,

ulkus

peptikum,

pendarahan gastrointestinal
5. Hematologi: anemia (akibat penurunan eritropeitin penurunan tentang usia
sel darah merah, perdarahan gastrom testinal akibat iritasi diet toxin, dan
kehilangan darah selama hemodialisis), diatesis, hemoragik
6. Infeksi: pneumonia, septicemia, infeksi nosokomial
7. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system
rennin angiotensin aldosteron.
8. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatik akibat refensi

fosfat, kadar

kalsium peningkatan kadar aluminium


G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Dilakukan untuk menetapkan adanya CKD, adanya kegawatan,
menentukan derajat CKD, menentukan gangguan system dan membantu
menentukan etiologi.
Uji laboratorium yang biasa dilakukan adalah ulji filtrasi glomerulus.
a. Urine:
1) Volume biasanya kurang dari 400 ml/ 24 jam (oliguria) atau urine
tidak ada (anuria)
2) Warna secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus
bakteri; sedimen kotor, kecoklatan menunjukkan adanya darah, Hb,
mioglobin porfirin.
3) Berat jenis kurang dari 1,015 (menetap pada 1.010 menunjukkan
kesusakan berat); natrium lebih besar dari 40 meq/l; derajat tinggi
proteinuria (3 4 +).
4) Osmolalitas kurang dari 350 m osm/kg menunjukan kerusakan tubular
dan rasio urine: serum sering 1:
5) Klirens Kreatinin: mungkin agak menurun
6) Natrium; lebih besar dari 40 meq IL karena ginjal tidak mampu
meriabson natrium.
b. Darah:
9

1) BUN atau Creatinin; meningkat, biasanya meningkat dalam proporsi.


Kadar kreatinin 10 mg/dl, diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu
5).
2) Darah

Lengkap:

Hematokrit

menurun

pada

adanya

anemia,

Hemoglobin kurang dari 7-8 mg/dl,


3) Sel darah merah (SDM); menurun pada defisiensi eritropoetin seperti
azotemia
4) Analisa gas darah (AGD); pH asidosis metabolik (pH kurang dari
7,2)

terjadi

karena

kehilangan

kemampuan

ginjal

untuk

mengekskresikan hydrogen dan ammonia atau hasil akhir katabolisme


protein, bikarbonat (HCO3) menurun, PC02 menurun.
5) Natrium serum; mungkin rendah (bila ginjal kehabisan natrium atau
normal), memungkinkan status delusi, hipernatremi.
6) Kalium; terjadi peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai
dengan perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan
(hemolisis SDM), pada tahap akhir, perubahan EKG mungkin tidak
terjadi sampai kalium 6,5 mEq atau lebih besar.
7) Magnesium atau fosfat meningkat.
8) Kalsium menurun
9) Protein

(khususnya

albumin);

kadar

serum

menurun

dapat

menunjukkan kehilangan protein melalui urin, terjadinya perpindahan


cairan dan penurunan pemasukan atau penurunan sintesis karena
kurang asam amino esensial.
2. Pemeriksaan EKG
Untuk melihat kemungkinan hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis (misalnya voltase rendah), aritemia, dan ganggguan elektrolit
(hiperkalemia, hipokalsemia).
3. Ultrasonografi (USG)
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal kortek ginjal, kepadatan
parenkim ginjal, anatomi saluran kemih dan prostat. Pemeriksaan ini
bertujuan untuk mencari adanya factor yang reversible seperti obstruksi oleh
batu atau masa tumor, juga untuk menilai proses penyakit sudah lanjut.
4. Foto polos Abdomen
Menilai bentuk dan besar ginjal dan apakah ada batu atau obstruksi
10

lain, sebaiknya tanpa puasa karena dehidrasi akan memperburuk fungsi


ginjal.
5. Pemeriksaan Pielografi Retrograd
Dilakukan apabila dicurigai ada obstruksi reversible.
6. Pemeriksaan Foto Dada
Dapat terlihat bendungan paru akibat kelebihan cairan, efusi fleura,
kardio megali efusi pericardial.
7. Pemeriksaan Radiologi tulang
Mencari ostodistrofi (terutama falang atau jari) dan klasifikasi
metastatik.
8. Pielografi Intra-vena (PIV)
Pada CKD lanjut tidak bermanfaat lagi karena ginjal tidak dapat
mengeluarkan kontras dan pada CKD ringan mempunyai resiko penurunan
faal ginjal lebih berat terutama pada usia lanjut, DM dan nefropati asam urat.
9. Renogram
Pemeriksan yang digunakan untuk melihat fungsi ginjal kanan dan kiri.
10. CT Scan
Dapat melihat adanya perdarahan dan atau iskemik pada otak.
H. Penatalaksanaan Konservatif Gagal Ginjal Kronik
1. Memperlambat Progresi Gagal Ginjal.
a. Pengobatan

hipertensi

target

penurunan

tekanan

darah

yang

dianjurkan lebih dari 140/90 mmHg.


b. Pembatasan

asupan

protein

bertujuan

untuk

mengurangi

hiperfiltrasi glomerulus.
c. Restriksi fosfor untuk mencegah hiperparatiroidisme sekunder.
d. Mengurangi proteinurea.
e. Mengendalikan hiperlipidemia.
2. Mencegah Kerusakan Ginjal Lebih Lanjut.
a. Pencegahan kekurangan cairan, dehidrasi dan kehilangan elektrolit
dapat menyebabkan gagal ginjal. Kelainan yang dapat ditemukan
adalah penurunan tugor kulit, kulit dan mukosa kering, gangguan
sirkulasi ortostatik, penurunan vena jugularis, dan penurunan tekanan
vena sentral merupakan tanda-tanda yang membantu menegakkan
11

diagnosis.
b. Sepsis. ISK akan memperburuk faal ginjal.
c. Hipertensi yang tidak terkendali. Kenaikan tekanan yang lanjut akan
memperburuk fungsi ginjal. Tetapi penurunan tekanan darah yang
berlebihan juga aakan memperburuk fungsi ginjal. Obat-obatan yang
dapat diberikan adalah furosemial, obat penyekat beta, vasodilator,
antagonis kalsiumdan penghambat alfa. Dosis obat disesuaikan dengan
GFR karena kemungkinan adanya akumulasi obat.
d. Obat-obat nefrotoksik seperti amino-glikosid, OAINS (obat anti inflamasi
nonsteroid), kontras radiology harus dihindari.
e. Kehamilan dapat memperburuk fungsi ginjal, memperburuk hipertensi
dan meningkatkan kemungkinan terjadinya eklamsia.
Resiko kehamilan meningkat apabila kreatinin serum > 1.5 mg/dl dan
apabila kadar kreatinin serum > 3 mg/dl dianjurkan tidak hamil.
3. Pengelolaan Uremia dan Komplikasinya.
a. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Pasien dengan gagal ginjal
lanjut mengalami peningkatan jumlah cairan ekstraseluler karena
retensi

cairan

dan

natrium.

Peningkatan

cairan

intravaskuler

menyebabkan hipertensi,sementara ekspansi cairan ke ruang interstisial


menyebabkan edema. Hiponatremi sering juga ditemukan pada kasus
CKD

lanjut

akibat

ekskresi

air

yang

menurun

oleh

ginjal.

Penatalaksanaan meliputi retraksi asupan cairan dan natrium serta


pemberian terapi diuretic. Jenis diuretic yang menjadi pilihan adalah
furosemid karena efek furosemid tergantung pada sekresi aktif ditubulus
proksimal. Asupan cairan dibatasi < 1000ml/hari pada keadaan berat
< 500 ml/hari. Natrium diberikan < 2-4 gram/hari.
b. Asidosis metabolic. Manifestasi timbul apabila GFR < 25 ml/menit. Diet
rendah protein 0,6 gram/hari membantu mengurangi kejadian asidosis.
Bila bikarbonat serum turun sampai < 15-17 mEq/L harus diberikan
substitusi alkali (tablet natrium bikarbonat).
c. Hiperkalemia terjadi akibat ekskresi kalium melalui urin berkurang,
keadaan metabolic, makanan (pisang) dapat meningkatkan kadar kalium.
Hiperkalemia dapat menimbulkan kegawatan jantung dan kematian
mendadak akibat aritmia kordis yang fatal. Untuk mengatasi kegawatan
12

akibat hiperkalemi dapat diberikan obat-obat berikut ;


1) Kalsium glukosa 10%, 10 ml darah waktu 10 menit IV.
2) Bikarbonat natrikus 50-150 mEq IV dalam waktu 15-30 menit.
3) Insulin dan glukosa 6 U insulin dan glukosa 50 g dalam waktu 1 jam.
4) Kayexalate (resim pengikat kalsium) 25-50 gram oral atau rectal.
d. Diet rendah protein.
Diet rendah proten akan mengurangi akumulasi hasil akhir
metabolisme protein yaitu ureum dan toksik uremik.
Selain itu diet tinggi protein akan mempercepat

timbulnya

glomerulosklerosis akibat meningkatnya beban kerja glomerulus


(hiperfiltrasi glomerulus) dan fibrosis interstisial. Kalori diberikan 35
kal/kg BB, protein 0,6 gram/kg BB/hari.
e. Anemia, penyebab utama anemia pada CKD adalah defisiensi
eritropoetin. Penyebab lainnya adalah perdarahan gastrointestinal, umur
eritrosit yang pendek dan adanya hambatan eritropoisis, malnutrisi dan
defisiensi besi. Transfusi darah yang

baik

apabila

hemoglobin

kurang dari 8gram% dengan pemberian eritropoetin.


4. Kalsium dan Fosfor.
Untuk mencegah terjadinya hiperparatiroidisme sekunder, kadar fosfor
serum harus dikendalikan dengan diet rendah fosfor (daging dan susu).
Apabila GFR < 30 ml/menit,

diperlukan

pemberian

pengikat fosfor

seperti kalsium karbonat atau kalsium asetat serta pemberian vitamin D


yang bekerja meningkatkan abssorbsi kalsium di usus. Vitamin D juga
mensupresi sekresi hormone paratiroid.
5. Hiperuresemia.
Alopurinol sebaiknya diberikan 100-300 mg apabila kadar asam urat
>10mg/dl atau apabila adaa riwayat penyakit gout. Penatalaksanaan
konservatif dihentikan apabila pasien sudah memerlukan dialysis tetap atau
transplantasi. Pada tahap ini biasanya GFR sekitar 5-10 mL/ menit dan
ditemukan keadaan berikut:
a. Asidosis metabolic yang tidak dapat diatasi denngan obat-obatab
b. Hiperkallemia yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan
c. Overload cairan (edema paru)
d. Ensefalopati uremik, penurunan kesadaran
e. Efusi pericardial
f. Sindrom uremia: mual, muntah, anereksia dan neuropati yang memburuk
6. Indikasi penatalaksanaan konservatif
a. Pada CRF dan tahap insufisiensi ginjal
b. Faal ginjal 10-50% atau kreatinin serum 2mg%-10mg%
I. Penatalaksanaan Diet Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Dengan Terapa
13

Konservatif.
Untuk mengatur makanan diperlukan zat-zat gizi yang terdiri dari sumber
protein, energi, lemak, vitamin, dan mineral yang jumlahnya tidak sama/
berbeda dengan orang sehat. Tujuannya agar status gizi optimal, tidak ada
katabolisme protein, serta menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit.
Diet pasien gagal ginjal kronik engan terapi konservatif diberikan
apabila

tes kliren

kreatinin

<

25

ml/menit.

Beberapa

penelitian

menyimpulkan untuk diet pasien CKD yang belum dialysis adalah rendah
protein. Protein yang diberikan 0,6 gr/kg BB ideal dapat mempertahankan status
gizi. Energi yang dibutuhkan dapat diperoleh dari sumber karbohirat 60%,
lemak 30% dan sisanya dari protein 10%.
Selain kebutuhan diatas perlu juga diperhatikan kebutuhan kalium,
natrium, pospor, dan kalium.pasien harus membatasi kalium apabila kadar
kalium darah 5,5 meq. Pada pasien gagal ginjal kronik dengan terapi
konservatif kasus hiperkalemi jarang terjadi apa bila urin pasien masih cukup
banyak (> 400 ml). garam dan cairan dibatasi apabila pasien mengalami
hipertensi dan ada penumpukan cairan. Pembatasan garam berkisar 2,5-7,6
gram, rata-rata 5 gr, serta menghindari makanan yang tinggi garam. Anjurkan
kon

bnnnsi air adalah urine output 24 jam + 500 ml. fosfor yang

dianjurkan adalah < 10 mg/kg BB/hari dan kalsium 1200 mg/hari.

KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian Keperawatan
a. Pengkajian Primer
Pengkajian
cepat
untuk
mengidentifikasi

dengan

segera

masalahaktual/potensial dari kondisi life threatening (berdampak terhadap


kemampuan pasien untuk mempertahankan hidup).
14

Pengkajian tetap berpedoman pada inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi


jika hal tersebut memungkinkan. Prioritas penilaian dilakukan berdasarkan :
A = Airway dengan kontrol servikal
Kaji :

Bersihan jalan nafas

Adanya/tidaknya sumbatan jalan nafasDistress pernafasan


Tanda-tanda perdarahan di jalan nafas, muntahan, edema laring

B = Breathing dan ventilasi


Kaji :

Frekuensi nafas, usaha dan pergerakan dinding dada

Suara pernafasan melalui hidung atau mulut


Udara yang dikeluarkan dari jalan nafas

C = Circulation
Kaji :

Denyut nadi karotis

Tekanan darah
Warna kulit, kelembaban kulit
Tanda-tanda perdarahan eksternal dan internal

D = Disability
Kaji :

Tingkat kesadaran

Gerakan ekstremitas
GCS atau pada anak tentukan respon :
A = Alert
V = Verbal,
P = Pain/respon nyeri
U = Unresponsive
Ukuran pupil dan respon pupil terhadap cahaya.

E = Eksposure
Kaji :

Tanda-tanda trauma yang ada

b. Pengkajian Sekunder (secondary survey)


Pengkajian sekunder dilakukan setelah masalah ABC yang ditemukan pada
pengkajian primer diatasi. Pengkajian sekunder meliputi pengkajian obyektif dan
subyektif dari riwayat keperawatan (riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit
terdahulu, riwayat pengobatan, riwayat keluarga) dan pengkajian dari kepala
sampai kaki.
1) Pengkajian Riwayat Penyakit :
Keluhan utama dan alasan pasien datang ke rumah sakit
Lamanya waktu kejadian samapai dengan dibawa ke rumah sakit
Tipe cedera, posisi saat cedera dan lokasi cedera
Gambaran mekanisme cedera dan penyakit yang ada (nyeri)
15

Waktu makan terakhir


Riwayat pengobatan

yang

dilakukan

untuk

mengatasi

sakit

sekarang,imunisasi tetanus yang dilakukan dan riwayat alergi klien.


Metode pengkajian yang sering dipakai untuk mengkaji riwayat klien :
S

(signs and symptoms)


tanda dan gejala yang di observasi dan dirasakan klien

(Allergis)
alergi yang dimiliki klien

(medications)
tanyakan obat yang telah diminum klien untuk mengatasi keluhan

(pertinent past medical hystori)


riwayat penyakit yang di derita klien

(last oral intakesolid or liquid)


makan/minum terakhir, jenis makanan

(event leading toinjury or illnes)


pencetus/kejadian penyebab keluhan

Metode yang sering dipakai untuk mengkaji nyeri :


P

(provoked) :
pencetus nyeri, tanyakan hal yang menimbulkan dan mengurangi
nyeri

(quality)
kualitas nyeri

(radian)
arah perjalan nyeri

(Skala)
skala nyeri 1-10

(Time)
lamanya nyeri sudah dialami klien

c. Pemeriksaan Fisik
16

1) Kepala
: edema muka terutama daerah orbita, mulut bau khas urine
2) Dada
: pernafasan cepat dan dalam, nyeri dada
3) Perut
: adanya edema anasarka (ascites)
4) Ekstremitas : edema pada tungkai, spatisitas otot
5) Kulit
: sianosis, akral dingin, turgor kulit menurun
d. Pemeriksaan diagnostic
1) Pemeriksaan Urine
a) Volume : Biasanya kurang dari 400 ml / 24 jam atau urine tak ada
(anuria)
b) Warna : Secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus
bakteri, lemah, partikel koloid, fosfat atau urat.
c) Berat jenis : Kurang dari 1,05 (menetap pada 1,010 menunjukkan
kerusakan ginjal berat).
d) Osmolaritas : Kurang dari 300 mosm / kg menunjukkan kerusakan
tubular dan rasio urine serum sering 1 : 1.
e) Klirens Kreatinin : Mungkin agak menurun.stadium satu CCT(4070ml/menit), stadium kedua, CCT (20-40ml/menit) dan stadium ketiga,
CCT(5 ml/menit)
f) Natrium : Lebih besar dari 40 g/dl, karena ginjal tidak mampu
mereabsorpsi natrium. (135-145 g/dL)
g) Protein : Derajat tinggi proteinuria (3 4 + ) secara kuat menunjukkan
kerusakan glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada.
2) Darah
a) BUN/Kreatinin : Meningkat, biasanya meningkat dalam proporsi, kadar
kreatinin 10 mg/dl. Diduga batas akhir mungkin rendah yaitu 5
b) Hitung darah lengkap : Ht namun pula adanya anemia Hb : kurang dari
7 8 9/dl, Hb untuk perempuan (13-15 g/dL), laki-laki (13-16 g/dL)
c) SDM : Waktu hidup menurun pada defesiensi eriropoetin seperti pada
azotemia.
3) GDA :
a) PH : penurunan asidosis (kurang dari 7,2) terjadi karena kehilangan
kemampuan ginjal untuk mengekskresi hidrogen dan amonia atau hasil
akhir katabolisme protein. Bikarbonat menurun PCo2 menurun natrium
serum mungkin rendah (bila ginjal kehabisan natrium atau normal
(menunjukkan status difusi hipematremia)
b) Kalium : Peningkatan normal (3,5- 5,5 g/dL) sehubungan dengan rotasi
sesuai dengan perpindahan selular (asidosis) atau pengeluaran jaringan
(hemolisis SDM) pada tahap akhir pembahan EKG mungkin tidak terjadi
sampai umum gas mengolah lebih besar.
c) Magnesium / fosfat meningkat di intraseluler : (27 g/dL), plasma (3
g/dL), cairan intersisial (1,5 g/dL).
17

d) Kalsium : menurun. Intra seluler (2 g/dL), plasma darah (5 g/dL), cairan


intersisial (2,5 g/dL)
e) Protein (khususnya albumin 3,5-5,0 g/dL) : kadar semua menurun dapat
menunjukkan kehilangan protein melalui urine pemindahan cairan
penurunan pemasukan atau penurunan sintesis karena asam amino
esensial.
f) Osmolalitas serum : lebih besar dari 285 mos m/kg. Sering sama dengan
urine Kub Foto : menunjukkan ukuran ginjal / ureter / kandug kemih dan
adanya obstruksi (batu)
g) Pielogram retrograd : Menunjukkan abnormalitas pelvis ginjal dan
ureter
4) Arteriogram ginjal :
Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravakuler massa.
Sistrouretrografi berkemih : menunjukkan ukuran kandung kemih, refiuks
kedalam ureter, rebonsi.
5) Ultrasono ginjal :
Menentukan ukuran ginjal dan adanya massa. Kista obstruksi pada saluran
kemih bagian atas.
6) Biopsi ginjal :
mungkin dilakukan secara endoskopik untuk menentukan pelvis ginjal :
keluar batu hematuria dan pengangkatan tumor selektif
7) EKG :
Mungkin abnormal menunjukan ketidak keseimbangan elektrolit asam/basa.
8) Foto kaki, tengkorak, kolumna spinal, dan tangan : Dapat menunjukkan
deminarilisasi, kalsifikasi.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluan urin, retensi
cairan dan natrium.
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan edema paru, asidosis metabolic,
pneumonitis, perikarditis
c. Gangguan Perfusi jaringan berhubungan dengan perubahan ikatan O2 dengan
Hb, penurunan konsentrasi Hb dalam darah.
d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake makanan yang inadekuat (mual, muntah, anoreksia dll).
e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan/kelemahan, anemia, retensi
f.

produk sampah dan prosedur dialysis .


Gangguan integritas kulit berhubungan dengan penumpukan ureum di kulit

3. Intervensi Keperawatan
18

Diagnosa 1 : Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran


urin, retensi cairan dan natrium.
Kriteria Hasil :
Terbebas dari edema,efusi,anasarka
Bunyi nafas bersih, tidak adanya dipsnea
Terbebas dari distensi vena jugularis
Memelihara tekanan vena sentral,tekanan kapiler paru,aoutput jantung dan vital
sign DBN
Intervensi :
a. Kaji status cairan ; timbang berat badan,keseimbangan masukan dan haluaran,
turgor kulit dan adanya edema
R/ : pengkajian merupakan data dasar berkelanjutan untuk memantau perubahan
dan mengevaluasi intervensi.
b. Batasi masukan cairan
R/ : pembatasan cairan akan menentuka berat tubuh ideal, haluaran urin,dan
respon terhadap terapi.
c. Identifikasi sumber potensial cairan
R/ : sumber kelebihan cairan yang tidak diketahui dapat diidentifikasi.
d. Jelaskan pada pasien dan keluarga rasional pembatasan cairan
R/ : pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam pembatasan
cairan.
e. Kolaborasi pemberian cairan sesuai terapi
R/ : mempercepat pengurangan kelebihan cairan
Diagnosa 2 : Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan edema paru, asidosis
metabolic, pneumonitis, perikarditis
Kriteria Hasil :

Tidak ada dispnea


Kedalaman nafas normal
Tidak ada retraksi dada / penggunaan otot bantuan pernafasan

Intervensi :
a. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles
R/ : Menyatakan adanya pengumpulan secret
b. Ajarkan pasien nafas dalam
R/ : Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2
c. Atur posisi senyaman mungkin
R/ : Mencegah terjadinya sesak nafas
d. Batasi untuk beraktivitas
R/ : Mengurangi beban kerja dan mencegah terjadinya sesak atau hipoksia
e. Kolaborasi pemberian oksigen
R/ : mengurangi sesak
19

Diagnosa 3 : Gangguan Perfusi jaringan berhubungan dengan perubahan ikatan O2


dengan Hb, penurunan konsentrasi Hb dalam darah.
Criteria Hasil :

Membran mukosa merah muda


Conjunctiva tidak anemis
Akral hangat
TTV dalam batas norma

Intervensi :
a. Lakukan penilaian secara komprehensif fungsi sirkulasi periper. (cek nadi
b.
c.
d.
e.
f.
g.

priper,oedema, kapiler refil, temperatur ekstremitas).


Kaji nyeri
Inspeksi kulit dan Palpasi anggota badan
Atur posisi pasien, ekstremitas bawah lebih rendah untuk memperbaiki sirkulasi.
Monitor status cairan intake dan output
Evaluasi nadi, oedema
Berikan therapi antikoagulan.

Diagnosa 4 : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake


makanan yang inadekuat (mual, muntah, anoreksia dll).
Kriteria hasil :

Nafsu makan meningkat


Tidak terjadi penurunan BB
Masukan nutrisi adekuat
Menghabiskan porsi makan
Hasil lab normal (albumin, kalium)

Intervensi :
a. Awasi konsumsi makanan / cairan
R/ : Mengidentifikasi kekurangan nutrisi
b. Perhatikan adanya mual dan muntah
R/ : Gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang dapat mengubah atau
menurunkan pemasukan dan memerlukan intervensi
c. Berikan makanan sedikit tapi sering
R/ : Porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan makanan
d. Berikan perawatan mulut sering
R/ : Menurunkan ketidaknyamanan stomatitis oral dan rasa tak disukai dalam
mulut yang dapat mempengaruhi masukan makanan
e. Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian diet sesuai terapi
R/ : memenuhi nutrisi pasien secara adekuat

20

Diagnosa 5 : Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan/kelemahan,


anemia, retensi produk sampah dan prosedur dialysis.
Kriteria Hasil :

Klien mampu beraktivitas minimal


Kemampuan aktivitas meningkat secara bertahap
Tidak ada keluhan sesak nafas dan lelah selama dan setelah aktivits minimal

Intervensi :
a.
b.
c.
d.

Kaji kemampuan pasien melakukan aktivitas


Jelaskan pada pasien manfaat aktivitas bertahap
Evaluasi dan motivasi keinginan pasien untuk meningktkan aktivitas
Tetap sertakan oksigen saat aktivitas

Diagnosa 6 : Gangguan integritas kulit berhubungan dengan penumpukan ureum di


kulit
Kriteria Hasil :

Kulit tidak kering


Hiperpigmentasi berkurang
Memar pada kulit berkurang

Intervensi :
a. Kaji terhadap kekeringan kulit pruritus, ekskoriasi, dan infeksi
R/ : perubahan mungkin disebabkan oleh penurunan aktivitas kelenjar keringat
atau pengumpulan kalsium dan fosfat pada lapiran kutaneus
b. Kaji terhadap adanya ptekie dan purpura
R/ : perdarahan yang abnormal sering dihubungkan dengan penuruna jumlah dan
fungsi platelet akibat uremia
c. Monitor lipatan kulit dan area yang edema
R/ : area-area ini sangat mudah terjadi injury
d. Gunting kuku dan pertahankan kuku terpotong pendek dan bersih
R/ : mencegah infeksi
e. Kolaborasi dalam pemberian obat antipruritis sesuai pesanan
R/ : mengurangi stimulus gatal pada kulit
4. Implementasi Keperawatan
Pelaksanaan merupakan langkah keempat dalam tahap proses keperawatan
dengan melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan) yang
telah direncanakan dalam rencana tindakan keperawatan. Dalam pelaksanaan rencana
tindakan keperawatan terdapat dua jenis tindakan, yaitu tindakan jenis mandiri dan
tindakan kolaborasi (Hidayat, 2008)
21

5. Evaluasi Keperawatan
Hasil yang diharapkan setelah pasien gagal ginjal kronis mendapatkan intervensi
adalah sebagai berikut :
a. Tidak terjadi kelebihan volume cairan
b. Pola nafas kembali efektif
c. Peningkatan perfusi jaringan
d. Asupan nutrisi tubuh terpenuhi
e. Terpenuhinya aktivitas sehari-hari
f. Peningkatan integritas kulit

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Anatomi Fisiologi Ginjal. http://nursingbegin.com/anatomi-fisiologiginjal/. Diakses pada 27/05/2013 pukul 20.00
Anonym.
2012.
Askep
CKD
(Chronic
Kidney
Disease).
http://sumbberilmu.blogspot.com/2012/12/askep-ckd-chronik-kidneydesease.html. diakses pada 27/05/2013 pukul 20.00
Doenges E, Marilynn, dkk. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman
Untuk Perancanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3.
Jakarta : EGC
Mugenz, Elix. 2013. Askep CKD. http://askepsnh.blogspot.com/2013/03/askepckd.html. diakses pada 27/05/2013 pukul 20.15
NANDA. 2009. Nursing Diagnoses-Definitions & Classificaions. Philadelphia :
Mosby Company
Price, Sylvia A..2004. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta:
EGC
22

Suyono, Salmet. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2. Edisi III. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI
Syahbandi,
Reza.
2013.
Askep
CKD
(Chronic
Kidney
Disease).
http://nersrezasyahbandi.blogspot.com/2013/02/askep-ckd-chronic-kidneydisease.html. diakses pada 27/05/2013 pukul 20.00

23

Anda mungkin juga menyukai