Abstrak
Laryngopharyngeal reflux (LPR) adalah suatu kondisi gastrointestinal dan
otolaringologi yang saling berhubungan. Laryngopharyngeal reflux adalah aliran
balik isi lambung ke laring dan faring yang diyakini merupakan penyebab utama
gangguan inflamasi pada traktus aerodigestif bagian atas. Pasien dengan LPR
biasanya datang dengan gejala disfonia, batuk, excessive throat clearing
(mendehem yang berlebihan), sekret di belakang hidung, disfagia, halitosis, dan
globus pharyngeus (perasaan mengganjal di tenggorokan). Diagnosis LPR
ditegakkan dari gejala berdasarkan Reflux symptom index (RSI) dan pemeriksaan
laring berdasarkan Reflux Finding Score (RFS) dan 24-hour ambulatory doubleprobe pH monitoring, serta proton pump inhibitor test (PPI test). Penatalaksanaan
LPR dengan pemberian edukasi pada pasien dan perubahan perilaku, obat-obatan,
dan operasi.
Kata Kunci : Laryngopharyngeal reflux, diagnosis, dan tatalaksana
Abstract
Laryngopharyngeal reflux (LPR) is a gastrointestinal condition-related
Otolaryngology. Laryngopharyngeal reflux is backflow of gastric contents into the
larynx and pharynx that are believed to be a the most important aetiological
factors for many inflammatory disorders of the upper aerodigestive tract.The
symptoms of the LPR such as dysphonia, cough, excessive throat clearing, post
nasal drip, dysphagia, halitosis, and globus pharyngeus. Diagnosis is made from
the LPR symptoms by using reflux symptom index (RSI) and laryngeal
examination with Reflux Finding Score (RFS), and 24-hour ambulatory doubleprobe pH monitoring, proton pump inhibitori test (PPI test). LPR management
with patient education and behavioral changes, medications, and surgery.
Keywords: Laryngopharyngeal reflux, diagnosis, and management
BAB I
PENDAHULUAN
Istilah Laryngopharyngeal reflux (LPR) pertama kali diperkenalkan oleh
Kaufman pada tahun 1981.1 Laryngopharyngeal reflux (LPR) adalah variasi
ekstraesofageal dari penyakit refluks gastroesofageal yang melibatkan aliran balik
isi lambung ke laring dan faring. 1-5 Sinonim lain dari LPR yang sering digunakan
antara lain refluks supraesofageal, refluks ekstraesofageal, refluks atipikal, refluks
gastroesofagofaringeal, laringitis refluks dan posterior laringitis.3-5
LPR dapat dikaitkan dengan pola laringitis akut, kronis, atau intermiten.
LPR berperan terhadap terjadinya granuloma pada pita suara, stenosis laring,
spasme laring yang berulang, globus pharyngeus, disfagia, asma, karsinoma laring
dan batuk kronis. LPR merupakan suatu gangguan yang kurang terdiagnosis dan
tertatalaksana dengan baik, karena tanda-tanda, gejala dan mekanismenya berbeda
dari pasien gastroenterologi yang khas memiliki gejala berupa rasa terbakar di
dada, regurgitasi, dan esofagitis.
pasien dengan suara serak, dan kira-kira 50% dari semua pasien dengan keluhan
gangguan suara.1,3
Refluks laryngopharyngeal berbeda dari penyakit refluks gastroesofageal
(gastroesophageal reflux disease (GERD)), dimana LPR terjadi terutama di siang
hari, selama posisi ortostatis, tidak berhubungan dengan esofagitis dan tidak
dipengaruhi oleh fungsi motorik esofagus (tabel 1).6 Mukosa laringofaring rentan
terhadap asam lambung karena tidak mempunyai fungsi mekanisme pertahanan
sehingga pasien akan datang dengan keluhan laringofaring tanpa adanya
regurgitasi dan rasa terbakar di ulu hati.5,10,11
Tabel 1. Perbedaan manifestasi antara pasien LPR dengan GERD6
Manifestasi
Gejala respirasi
Rasa terbakar di ulu hati
Disfonia
Bersihan asam di esofagus
Proteksi mukosa yang bagus
Refluks posisi berdiri
Refluks posisi berbaring
LPR
Ya
Jarang
Ya
Normal
Tidak
Sering
kadang-kadang
GERD
tidak
ya
tidak
terlambat
ya
kadang-kadang
sering
BAB II
PATOFISIOLOGI LARYNGOPHARYNGEAL REFLUX
Laring merupakan bagian yang terbawah dari saluran nafas bagian atas.
Batas atas laring adalah aditus laring sedangkan bagian bawahnya ialah batas
kaudal kartilago krikoid.12,15,16 Struktur kerangka laring terdiri dari satu tulang dan
beberapa kartilago yang berpasangan ataupun tidak. Tulang hioid berbentuk
seperti huruf U, yang permukaan atasnya dihubungkan dengan lidah, mandibula,
dan tengkorak oleh tendo dan otot-otot. Tulang rawan yang menyusun laring
adalah epiglotis, kartilago tiroid, kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago
kornikulata, kartilago kuneiformis dan kartilago tritisea (gambar 2).15,16
Gambar 2. Anatomi
laring (courtessy of Dailey SH)
Gerakan laring
abduktor (kontraksinya akan menjauhkan kedua pita suara ke lateral). Fungsi otototot intrinsik adalah untuk mempertahankan dan mengontrol jalan udara
pernapasan melalui laring, mengontrol tahanan terhadap udara ekspirasi selama
fonasi dan membantu fungsi sfingter dalam mencegah aspirasi benda asing selama
proses menelan.13,16
Persyarafan laring berasal dari cabang-cabang nervus vagus, yaitu n.
laringis superior dan n. laringis inferior. Kedua syaraf ini merupakan campuran
syaraf mototrik dan sensorik. Sedangkan perdarahan untuk laring terdiri dari 2
cabang, yaitu a. laringis ruperior dan a. laringis inferior.15,16
2.3 Anatomi Esofagus
Esofagus merupakan saluran otot vertikal antara hipofaring sampai ke
lambung.17-19 Panjangnya 23 sampai 25 cm pada orang dewasa. Dimulai dari batas
bawah tulang rawan krikoid atau kira-kira setinggi vertebra servikal ke-6, berjalan
sepanjang leher, mediastinum superior dan mediastinum posterior, didepan
vertebra servikal dan torakal, melintas melalui hiatus esofagus diafragma setinggi
vertebra torakal 10, berakhir pada orifisium kardia lambung setinggi vertebra
torakal 11.
18,19
atas, (2) pada tempat dimana esofagus kontak dengan aorta, (3) pada persilangan
dengan bronkus sinistra, dan (4) setinggi sfingter esofagus bawah dan diafragma.17
Esofagus berada di garis tengah, sedikit agak ke kiri. Di dalam
mediastinum kembali ke tengah setinggi vertebra torakal 5. Di bagian inferior
mediastinum, membelok ke kiri sewaktu menuju anterior dan masuk ke dalam
hiatus esofagus diafragma. Penting untuk diperhatikan adalah lengkungan pada
bidang anterior superior yang sesuai dengan bagian cembung dari korpus vertebra
servikal dan bagian cekung korpus vertebra torakal. Bagian esofagus abdominal
yang panjangnya hanya 1,25 cm, berada pada permukaan posterior lobus kiri
hepar. Permukaan kiri dan depan esofagus abdominal diliputi oleh peritonium.18
Di dalam leher, esofagus berada di belakang trakea, berdekatan dengan arteri
karotis komunis. Nervus laring rekurens terletak di sudut antara esofagus dan
trakea. Duktus torasikus berada pada sisi kirinya. Kedua lobus kelenjar tiroid
berdekatan dengan esofagus, tetapi daerah kontak tersebut lebih besar pada sisi
kiri, karena di leher, esofagus letaknya agak ke kiri. Di mediastinum superior,
esofagus berjalan ke posterior ke sisi kanan arkus aorta, untuk kemudian turun ke
sisi kanan aorta desendens sampai mencapai bagian inferior mediastinum,
kemudian berjalan ke anterior dan sedikit ke sisi kiri aorta. Bronkus kiri
menyilang dan membuat lekukan pada esofagus di anterior, inferior terhadap
arkus aorta. Vena azygos berada di sisi kanan esofagus di dalam torak (gambar
3).18-21
Gambar 3. Traktus
dan struktur anatomi yang
digestivus bagian
berdekatan.21
Otot esofagus
sirkuler
di
atas
bagian
longitudinal di bagian
merupakan
otot
lanjutan
19
lurik,
konstriktor
Pada sepertiga
sepertiga
tengah sebagian berotot lurik dan sebagian otot polos, dan pada sepertiga bawah
hampir semua berotot polos. Lapisan luar atau fibrosa terdiri atas jaringan
fibroelastik longgar. Setinggi tulang rawan krikoid lapisan otot sirkuler agak lebih
tebal, dan membentuk muskulus krikofaring, yang melekat pada bagian posterior
kartilago krikoid yang lebar. Sfingter esofagus atas merupakan daerah bertekanan
tinggi pada pemeriksaan manometri esofagus, dan daerah ini berhubungan dengan
muskulus krikofaring. Sfingter esofagus bawah panjangnya kira-kira 3 cm, dapat
turun hingga 1 sampai 3 cm pada pernapasan normal dan naik sampai 5 cm pada
pernapasan dalam. Belum ditemukan suatu otot tunggal tertentu yang berperan
pada sfingter esofagus bawah, tetapi otot polos sirkuler pada daerah ini berperan
pada kerja sfingter.17-20
terjadi
2. Badan Esofagus
Dalam respon terhadap rangsangan kolinergik, kontraksi badan
esofagus berjalan dengan kecepatan 2 sampai 3 cm per detik. Bagian
esofagus bergaris memperlihatkan aktivitas lebih rendah. Kontraksi
dipercepat pada bagian otot polos untuk melambat lagi pada esofagus
bagian bawah, tepat sebelum sfingter bawah. Tekanan istirahat pada badan
esofagus mencerminkan tekanan intratoraks negatif. Pada setengah bagian
atas esofagus, tekanan kontraksi bisa bervariasi antara 20 dan 70 mmHg,
sedangkan kontraksi ini menimbulkan tekanan 50 sampai 100 mmHg
10
sampai esofagus. Sfingter esofagus atas yang lemah merupakan faktor patologis
utama dalam LPR sehingga bahan refluks dapat mencapai faring dan laring. Dari
beberapa penelitian yang menggunakan cairan asam yang diberikan pada bagian
distal dari esofagus pada orang normal dan penderita yang mengalami
peradanganesofagus, maka terjadi peningkatan tonus dari sfingter esofagus bagian
atas. Keadaan ini tidak dijumpai pada pasien dengan LPR. 1,21
Epitel pernafasan yang halus pada posterior laring dalam keadaan normal
berfungsi untuk membersihkan lendir yang berasal dari trakeobronkial, akan
berubah
saat
pertahanan-pertahanan
ini
gagal.
Disfungsi
silier
akan
12
Beberapa ahli menduga refluks non-asam seperti pepsin dan cairan empedu juga
dapat merusak mukosa laring sehingga kedua zat ini diduga berperan penting
dalam penyebab LPR. Namun pendapat lain menyatakan bahwa pepsin hanya
aktif dalam lingkungan asam, karena itu tidak berbahaya bila terdapat dalam
lingkungan netral (pH 6,8) seperti di laring.1,9
BAB III
DIAGNOSIS LARYNGOPHARYNGEAL REFLUX
Diagnosis refluks laringofaringeal biasanya ditegakkan berdasarkan :
1.
Gejala klinis
Gejala klinis LPR bermacam-macam diantaranya disfonia, chronic
14
0 = No problem
5 = Severe problem
0 1 2 3 4
0
0
1
1
2
2
3
3
4
4
5
5
RSI ini telah terbukti berguna dalam menegakkan diagnosis awal dari LPR,
menilai tingkat keparahan penyakit, dan memantau keberhasilan terapi. Nilai
RSI sampai dengan 10 adalah normal, sedangkan nilai lebih dari 13 dianggap
LPR.1,3-5,24
2.
Pemeriksaan laringoskopi
Pada pemeriksaan laringoskopi tanda-tanda nonspesifik sebagai akibat
iritasi laring dan inflamasi biasanya terlihat, tetapi beberapa temuan biasanya
mengarahkan ke LPR. Walaupun temuan tersebut tidak khas, penebalan,
hiperemis, dan edema yang terkonsentrasi pada posterior laring yang
15
1,5,11,25
skoring ini merupakan skala klinis yang sederhana pada semua penyebab
inflamasi laring termasuk infeksi, alergi, neoplasma, gangguan akibat polusi
dan autoimun, penggunaan pita suara yang salah dan berlebihan, dan
penyebab potensial inflamasi laring lainnya.4,25 Dengan demikian skoring ini
bukan merupakan standar utama pemeriksaan LPR.
16
Granuloma/granulation
Thick endolaryngeal mucus/other
0 = absent
1 = mild
2 = moderate
0 = absent
0 = absent
3 = severe
4 = obstructing
2 = present
2 = present
17
Gambar 7 .
Reflux
finding
score26
Thick
endolaryng
eal mucus
Hipertrofi komisura posterior
sering
ditemukan
pada
menegakkan
diagnosis
LPR
secara
pasti.
Beberapa
penelitian
18
19
20
pemberian secara empirik PPI (omeprazol) 40 mg, sehari dua kali selama dua
minggu, pasien mengisi kuesioner gejala refluks (reflux symptom index)
sebelum terapi empirik omeprazol, setelah 2 minggu terapi empirik omeprazol
pasien diharuskan mengisi kembali kuesioner gejala refluks. Tes PPI positif
apabila terdapat perbaikan dari gejala tersebut > 50%.27
Diagnosis banding
Laryngopharyngeal reflux merupakan suatu kondisi kronis, yang sering
berulang sebagai akibat paparan dari material lambung. Kondisi lain yang
menyebabkan laringitis kronis harus dimasukkan dalam diagnosis banding yang
tergantung pada tampilan klinis pasien. Jika pasien dengan demam, lesu, dan
onset yang tiba-tiba, gejala, penyebab infeksi harus dipertimbangkan, seperti
infeksi bakteri supraglotik (kelompok A streptokokus, Hemofilus influenza), atau
infeksi virus (parainfluenza, influenza, rhinovirus, adenovirus, herpes simpleks).
Dalam bentuk yang lebih kronis dari laringitis, diferensial harus mencakup alergi,
penyakit granulomatosa, penyakit autoimun, cedera inhalansi, dan terapi radiasi.2
Komplikasi
Jika tidak diobati, LPR dapat mengakibatkan manifestasi pada faring dan
laringotrakea. LPR dapat mengakibatkan obstruksi jalan napas antara lain karena
spasme laring, gangguan pergerakan pita suara, granuloma, stenosis, degenerasi
polipoid, dan bahkan karsinoma laring. Gangguan gerakan pita suara dan spasme
laring sering dapat dikelola dengan terapi agresif antirefluks dikombinasikan
dengan terapi wicara. Lesi laring seperti granuloma dan stenosis subglotik sering
menunjukkan peningkatan yang drastis atau resolusi dengan terapi antirefluks.
Pasien yang memerlukan intervensi bedah seperti degenerasi polipoid, karsinoma
laring, granuloma, dan stenosis, harus dimulai dengan terapi antirefluks preoperasi
dan pemeliharaan paska operasi untuk mencegah tingkat kekambuhan yang
tinggi.2
21
BAB IV
PENATALAKSANAAN LARYNGOPHARYNGEAL REFLUX
4.1
otot sfingter esofagus bawah seperti gorengan, makanan berlemak, kopi, alkohol,
cokelat, peppermint, minuman bersoda, buah citrus, saus tomat, kecap, mustard,
dan cuka. Beberapa macam obat yang turut berpengaruh juga harus dihindari,
seperti ibuprofen, teofilin, dan kodein. Porsi makanan tidak boleh terlalu banyak.
Menghindari makan selama 2-3 jam sebelum tidur atau berbaring dan tidak boleh
makan terlalu cepat.2,5,23,29
Pengaturan gaya hidup yang dianjurkan adalah mengurangi berat badan
bila kegemukan, berhenti merokok, menghindari pakaian terlalu ketat dan bagian
kepala tempat tidur ditinggikan 4-6 inchi. Giachi dkk29 menyatakan bahwa
menghindari makan dan minum sebelum tidur dan elevasi bagian kepala tempat
tidur menunjukkan hubungan yang bermakna dengan perbaikan gejala LPR.29
Steward dkk29 mendapati bahwa modifikasi gaya hidup selama 2 bulan dengan
atau tanpa terapi medikamentosa secara signifikan dapat memperbaiki gejalagejala laringitis kronis, walaupun beberapa penelitian lain menyatakan masih
kontroversi.5
4.2
Terapi farmakologik
Dalam pengobatan LPR, ada 4 jenis obat-obatan yang digunakan, yaitu :
proton pump inhibitor (PPI), antagonis reseptor H2, prokinetik, dan obat-obat
proteksi mukosa.5,29 Sama seperti GERD, proton pump inhibitor merupakan terapi
22
awal yang dianjurkan untuk LPR. Namun terapi untuk LPR membutuhkan waktu
dan frekuensi yang lama daripada pasien GERD. Proton pump inhibitor saat ini
merupakan obat antirefluks untuk LPR yang paling efektif. PPI juga dapat
menekan produksi asam lambung. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa PPI
lebih efektif pada pengobatan LPR jika dibandingkan dengan H2 reseptor
antagonis. Obat PPI mempunyai efek langsung terhadap H+, K+, ATPase yang
merupakan enzim pompa proton di jalur akhir produksi asam dari sel parietal yang
menyebabkan penghambatan enzim tersebut. PPI mengeliminasi dan mengurangi
produksi asam dengan cara menaikkan pH lambung di atas 5, kondisi dimana
pepsin menjadi inaktif. Dianjurkan meminum obat 30-60 menit sebelum makan,
bukan sebelum tidur.
Terdapat lima jenis PPI yaitu: omeprazol, esomeprazol, lansoprazol,
pantoprazol, dan rabeprazol. Berdasarkan penelitian tentang respon terapi PPI
didapatkan rabeprazol cara kerjanya cepat, esomeprazol paling poten untuk
menurunkan kadar asam, sementara omeprazol, lansoprazol, dan pantoprazol
mempunyai efektivitas yang sama untuk menurunkan kadar asam. Dosis yang
digunakan biasanya untuk omeprazol 2x20 mg, lansoprazol 2x30 mg, pantoprazol
2x40 mg, rabeprazol 2x20 mg, dan esomeprazol 2x40 mg. Jenis yang biasa
dipakai adalah omeprazol dan lansoprazol. Terapi PPI ini di berikan selama 8-12
minggu (tabel 4) , jika terdapat perbaikan maka dosis di turunkan, namun jika
tidak ada respon terapi dilanjutkan sampai 6 bulan atau dilakukan pemeriksaan
lain seperti monitoring pH, manometri atau pemeriksaan barium (dapat dilihat
pada bagan penilaian dan manajemen RLF).5,28,29 Menurut Federal Drug
Administration, omeprazol dan lansoprazol aman digunakan pada anak-anak
kecuali anak usia di bawah 1 tahun. Omeprazol (0,7-3,5 mg/kgBB/hari) dan
lansoprazol (1,4 mg/kgBB/hari) memiliki keamanan jangka pendek dan panjang,
yaitu 6 bulan untuk lansoprazol dan sampai 2 tahun untuk omeprazol.30
Obat-obatan antagonis reseptor H2 antara lain cimetidine (2x400mg),
ranitidine (2x150 mg), famotidine (2x20 mg), dan nizatidine (2x150 mg). Semua
antagonis reseptor bekerja dengan cara menempati reseptor histamin H 2 pada sel
23
parietal lambung sehingga dapat mencegah efek stimulasi sekresi asam lambung
oleh histamin.
Obat-obatan prokinetik seperti metoclopropamide, domperidon dan
cisaprid. Metoclopropamid dan domperidon berupa antagonis dopamine, dapat
memperbaiki pengosongan lambung, peristaltik esofagus, dan meninggikan
tekanan sfingter esofagus bawah. Metoclopropamid mempunyai efek samping
ekstrapiramidal dan sedatif. Sedangkan cisaprid obat kolinergik pilihan yang
dapat melepaskan acethylcoline dari pleksus myenterik, menghilangkan efek
ekstrapiramidal dan sedatif dari metoclopramid, dapat menekan produksi asam
lambung.29 Namun cisaprid tidak lagi tersedia karena dapat menyebabkan aritmia
yang mengancam jiwa bila dikombinasi dengan beberapa obat. 30 Obat-obat
proteksi mukosa seperti antasida, dan sukralfat dapat menetralisir refluksat asam,
mengurangi kerusakan mukosa dan mencegah aktivitas pepsin, mempunyai efek
samping paling sedikit tetapi memerlukan pemberian dosis berulang.29
Tabel 4. Kesimpulan dari beberapa penelitian yang menilai efek terapi PPI pada
pasien denga gejala-gejala LPR 9
24
25
Tujuan
pembedahan
adalah
untuk
memperbaiki kemampuan dari sfingter esofagus bawah, dan pada pasien LPR
diharapkan dapat mengurangi episode refluks faringeal. Hasil yang baik pernah
dilaporkan pada 85% - 90% pasien-pasien refluks tetapi hasil pada pasien dengan
LPR
tidak
begitu
memuaskan.
5,11,23
26
BAB V
KESIMPULAN
1. Laryngopharyngeal reflux (LPR) adalah suatu keadaan dimana aliran balik
isi lambung masuk ke dalam laring, faring, dan traktus aerodigestif atas.
Keadaan tersebut dapat menimbulkan kerusakan pada mukosa faring dan
laring akibat iritasi bahan-bahan yang terkandung dalam refluks tersebut.
27
2. Sinonim lain dari LPR yang sering digunakan antara lain refluks
supraesofageal,
refluks
ekstraesofageal,
refluks
atipikal,
refluks
2011
reflux
disease.
Des
10].
GI
Motility
Available
http://www.nature.com/gimo/contents/pt1/full/gimo46.html
28
online.
from:
29
14. Liston SL. Embriologi, anatomi dan fisiologi rongga mulut, faring,
esofagus dan leher. Dalam : Adams GL, Boies LR, Highler PA. Buku ajar
Edisi keenam. Jakarta. Penerbit buku kedokteran EGC,1997:263-267
15. Hermani B, Hutauruk SM. Disfonia. Dalam : Soepardi BA, Iskandar N.
eds Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher.
Edisi keenam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2009. Hal : 231-36
16. Ballenger JJ. Anatomi laring. Dalam : Penyakit telinga, hidung, tenggorok
kepala dan leher Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher. Edisi 13. Jilid 2. Alih bahasa/Editor : Staf ahli
bagian THT RSCM-FKUI Jakarta-Indonesia. Binarupa Aksara,2009. hal :
424-434
17. Shockley WW, Rose AS. Esophageal Disorders. In: Bailey BJ, ed. Head
and Neck Surgery-Otolaryngology. Philadelphia: JB Lippincott Company,
1993: 690-693.
18. Ballenger JJ, MS, MD. Esofagologi. Penyakit telinga hidung tenggorok
kepala dan leher. Edisi 13. Jilid 2. Alih bahasa/Editor : Staf ahli bagian
THT RSCM-FKUI. Jakarta-Indonesia. Binarupa Aksara, 2009. Hal: 645651.
19. Duranceu A, MD, Lafontaine E, MD. Esophagus. Dalam : Sabiston DC, Jr,
MD, eds. Buku ajar bedah. Alih bahasa : Andrianto P, dr, I.S Timan, dr.
Editor : Oswari J, dr. Penerbit buku kedokteran EGC ; 1992 : 460-465.
20. Caparas, Lim, Ejercito, Chiong, Enriques, Jamir. Anatomy of trachea,
bronchus and esophagus. Eds. Basic otolaryngology. Editor : Enriques AE,
MD. Publications committee of the college of medicine, University of the
Philippines.1993 : 194-196.
21. Ahuja V, Yencha MW, Lassen LF. Head and neck manifestations of
gastrofaryngeal
reflux
desease.
[cited
2011
Des
05].
30
M.
Penyakit
refluks
gastroesofagus
dengan
manifestasi
double-probe,
triple
sensor
catheter
in
patients
with
hepatology 2010;8;770776
Stavroulaki P. Diagnostic
and
management
problems
of
clinically
diagnosed
31
Tinjauan Pustaka
32
Oleh :
Pembimbing :
33.
34.
35.
36. Barry DW, Vaezi MF. Laryngopharyngeal reflux : more questions than
answers. 2010. Cleveland clinic journal of medicine, Vol 77, No 5, p. 32734
33
34
35
Outcomes (1)
Patients with LPR often take several months to resolve their symptoms and
laryngeal abnormalities once appropriate therapy is initiated. Although many
patients have symptomatic improvement after 2 months of therapy, laryngeal
examination findings continue to improve for up to 6 months after initiation of
antireflux therapy. One study showed that approximately 50% of LPR patients on
twice-daily PPI therapy have symptomatic improvement at 2 months, and an
additional 22% improve from 2 to 4 months after initiating therapy.13 Even
fundoplication surgery does not result in immediate improvement in LPR, and
symptoms and examination findings continue to show improvement from 4 to 14
months after fundoplication.
37
Pasien dengan tes HPSA positif dibagi menjadi 2 kelompok, dimana kelompok
pertama hanya mendapat terapi esomeprazol tunggal dengan perbaikan klinis
hanya pada 40%, sedangkan kelompok kedua diterapi dengan esomeprazol
ditambah amoksisilin sodium dan clarithromycin (triple therapy) dan hasilnya
menunjukkan 90% populasi memperoleh perbaikan gejala. Sebagai kesimpulan
penggunaan triple therapy (esomeprazole magnesium 40 mg, ditambah
amoksisilin sodium 1 g, dan clarithromycin 500 mg) dalam penatalaksanaan LPR
dengan infeksi HP menunjukkan tingkat kesembuhan yang tinggi.
Treatment of Clinically
Diagnosed
Laryngopharyngeal
Disease
Tarek Fouad Youssef, MD; Mohamed Rifaat Ahmed, MD
Esophageal Physiology
Esophageal Body
Esophageal Transport by Gravity
38
Reflux
In the resting condition, the esophageal body has a small amount of tone, but it is
largely quiescent and may contain small amounts of air and reflect intrathoracic
pleural pressures. Upon swallowing a bolus of liquid or barium in the upright
position, the bolus is pumped back by the tongue into the pharynx. The bolus then
travels quickly from the pharynx to the esophagus, and then through the
esophagus into the stomach. The radiologic examination reveals that the head of a
liquid barium bolus normally enters the stomach within a few seconds of initiating
the swallow. This bolus transport through the esophagus is largely due to gravity.
Such a fast movement of the liquid bolus does not occur in the supine posture.
The tail of the bolus, however, is swept down by a progressive peristaltic
contraction. Bolus of solid food also requires peristaltic contraction for its
propulsion into the stomach. It takes approximately 8 to 10 seconds from
initiation of the swallow to entry into the stomach (Figure 6). Thus, the head of
the liquid barium bolus moves much faster than its tail in the upright posture, but
the two move at about the same speed in the recumbent posture. Thus, careful
attention to the movement of the tail of the bolus would be most relevant in
assessing disorders of esophageal peristalsis.
Figure 6: Simultaneous manometry and fluoroscopy of barium swallow in a normal subject.
Fluoroscopy shows that on swallowing, the barium column moves down the
esophagus. Such barium movement occurs largely due to passive forces in the
esophagus and is very marked in the upright position. The tail of the barium
column moves down the esophagus by the peristaltic contraction. Note that the
onset of peristalsis corresponds with the tail of the barium column. Also note that
onset of peristaltic contraction at level 1 occurred at 8.5 sec after a swallow, at
which time the barium column is pushed down to the lower 1 cm of the
esophagus. (Source: Modified from Dodds WJ, Christensen J, Dent J, Arndorfer
RC, Wood JD. Pharmacologic investigation of primary peristalsis in smooth
muscle portion of opossum esophagus. Am J Physiol 1979;237(6):E561E566,
with permission from the American Physiological Association.)
Primary Peristalsis
39
40
The term tertiary contraction is no longer used and it is not seen normally. In the
past, it was applied to nonperistaltic contractions, which are contractions that lose
their progressive character and occur simultaneously throughout the esophagus.
On barium swallow, the nonperistaltic contractions may give the appearance of a
corkscrew or a beaded esophagus.
Esophageal Propulsive Force
41
Note that the subject is making repeated swallows every 1 to 2 seconds. During
the swallows there is no activity in the esophagus. The last swallow was followed
by a peristatic contraction.
42
Refractory Period
43