Anda di halaman 1dari 43

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

LARYNGOPHARYNGEAL REFLUX (LPR)


Rini Rahma Wulandari, Sofjan Effendi
Bagian IKTHT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya /
Departemen IKTHT-KL RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang

Abstrak
Laryngopharyngeal reflux (LPR) adalah suatu kondisi gastrointestinal dan
otolaringologi yang saling berhubungan. Laryngopharyngeal reflux adalah aliran
balik isi lambung ke laring dan faring yang diyakini merupakan penyebab utama
gangguan inflamasi pada traktus aerodigestif bagian atas. Pasien dengan LPR
biasanya datang dengan gejala disfonia, batuk, excessive throat clearing
(mendehem yang berlebihan), sekret di belakang hidung, disfagia, halitosis, dan
globus pharyngeus (perasaan mengganjal di tenggorokan). Diagnosis LPR
ditegakkan dari gejala berdasarkan Reflux symptom index (RSI) dan pemeriksaan
laring berdasarkan Reflux Finding Score (RFS) dan 24-hour ambulatory doubleprobe pH monitoring, serta proton pump inhibitor test (PPI test). Penatalaksanaan
LPR dengan pemberian edukasi pada pasien dan perubahan perilaku, obat-obatan,
dan operasi.
Kata Kunci : Laryngopharyngeal reflux, diagnosis, dan tatalaksana

Abstract
Laryngopharyngeal reflux (LPR) is a gastrointestinal condition-related
Otolaryngology. Laryngopharyngeal reflux is backflow of gastric contents into the
larynx and pharynx that are believed to be a the most important aetiological
factors for many inflammatory disorders of the upper aerodigestive tract.The
symptoms of the LPR such as dysphonia, cough, excessive throat clearing, post
nasal drip, dysphagia, halitosis, and globus pharyngeus. Diagnosis is made from
the LPR symptoms by using reflux symptom index (RSI) and laryngeal
examination with Reflux Finding Score (RFS), and 24-hour ambulatory doubleprobe pH monitoring, proton pump inhibitori test (PPI test). LPR management
with patient education and behavioral changes, medications, and surgery.
Keywords: Laryngopharyngeal reflux, diagnosis, and management

BAB I
PENDAHULUAN
Istilah Laryngopharyngeal reflux (LPR) pertama kali diperkenalkan oleh
Kaufman pada tahun 1981.1 Laryngopharyngeal reflux (LPR) adalah variasi
ekstraesofageal dari penyakit refluks gastroesofageal yang melibatkan aliran balik
isi lambung ke laring dan faring. 1-5 Sinonim lain dari LPR yang sering digunakan
antara lain refluks supraesofageal, refluks ekstraesofageal, refluks atipikal, refluks
gastroesofagofaringeal, laringitis refluks dan posterior laringitis.3-5
LPR dapat dikaitkan dengan pola laringitis akut, kronis, atau intermiten.
LPR berperan terhadap terjadinya granuloma pada pita suara, stenosis laring,
spasme laring yang berulang, globus pharyngeus, disfagia, asma, karsinoma laring
dan batuk kronis. LPR merupakan suatu gangguan yang kurang terdiagnosis dan
tertatalaksana dengan baik, karena tanda-tanda, gejala dan mekanismenya berbeda
dari pasien gastroenterologi yang khas memiliki gejala berupa rasa terbakar di
dada, regurgitasi, dan esofagitis.

Pasien dengan LPR biasanya datang dengan

gejala disfonia, batuk, excessive throat clearing (mendehem yang berlebihan),


sekret di belakang hidung, disfagia, halitosis dan globus pharyngeus (perasaan
mengganjal di tenggorokan).3-6
Prevalensi pasien dengan manifestasi keluhan laryngopharyngeal reflux
(LPR) berkisar 4% - 10% dari semua pasien yang datang berobat ke dokter
spesialis THT (Koufman dkk, 1988, 1991, 2000; Toohill dkk., 1990; Ross dkk.,
1998).3 Lebih dari 50 % pasien yang datang dengan keluhan suara serak biasanya
berhubungan dengan penyakit refluks ini.3,5,7-10 LPR semakin diakui memiliki
kontribusi sebagai faktor penyebab asma nonalergi, dan berbagai keluhan telinga,
hidung, dan tenggorokan. Beberapa penelitian menunjukkan refluks asam
ditemukan pada 50%-80% pasien asma, 10%-20% pada pasien batuk kronis, dan
hingga 80% pasien dengan suara serak, dan 25%-50% pasien dengan rasa
mengganjal di tenggorokan.7 Wiener dkk (1989) melaporkan 78% dari 32 pasien
dengan keluhan gangguan pada suara memiliki LPR yang dibuktikan dengan
pemeriksaan monitoring pH. Koufman dkk (2000) menemukan LPR pada 78%

pasien dengan suara serak, dan kira-kira 50% dari semua pasien dengan keluhan
gangguan suara.1,3
Refluks laryngopharyngeal berbeda dari penyakit refluks gastroesofageal
(gastroesophageal reflux disease (GERD)), dimana LPR terjadi terutama di siang
hari, selama posisi ortostatis, tidak berhubungan dengan esofagitis dan tidak
dipengaruhi oleh fungsi motorik esofagus (tabel 1).6 Mukosa laringofaring rentan
terhadap asam lambung karena tidak mempunyai fungsi mekanisme pertahanan
sehingga pasien akan datang dengan keluhan laringofaring tanpa adanya
regurgitasi dan rasa terbakar di ulu hati.5,10,11
Tabel 1. Perbedaan manifestasi antara pasien LPR dengan GERD6
Manifestasi
Gejala respirasi
Rasa terbakar di ulu hati
Disfonia
Bersihan asam di esofagus
Proteksi mukosa yang bagus
Refluks posisi berdiri
Refluks posisi berbaring

LPR
Ya
Jarang
Ya
Normal
Tidak
Sering
kadang-kadang

GERD
tidak
ya
tidak
terlambat
ya
kadang-kadang
sering

Kesalahan dalam mengenali LPR dapat berdampak buruk bagi


penderitanya, dimana penderita akan mengalami gejala LPR yang berkepanjangan
dan kesembuhan yang tertunda. Sementara itu overdiagnosis dapat menyebabkan
pengeluaran biaya yang berlebihan dan kesalahan dalam mendiagnosis. LPR juga
secara signifikan membawa dampak negatif bagi kualitas hidup penderitanya.5,7

BAB II
PATOFISIOLOGI LARYNGOPHARYNGEAL REFLUX

2.1 Anatomi Faring


Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong,
dimulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra
servikal ke-6. Ke atas faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana,
ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan
ke bawah berhubungan dengan laring melalui aditus laring dan juga esofagus
(gambar 1). Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14
cm yang merupakan dinding faring yang terpanjang.12-14

Gambar 1. faring terbagi menjadi nasofaring,


orofaring, dan laringofaring14

Otot-otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkular) dan


memanjang (longitudinal). Otot-otot sirkular terdiri dari m. konstriktor faring
superior, media, dan inferior, berfungsi untuk mengecilkan lumen faring dan
dipersyarafi oleh n. vagus. Otot-otot longitudinal adalah m. stilofaring dan m.
palatofaring. M. stilofaring berguna untuk melebarkan faring dan menarik laring,
dipersyarafi oleh n. glossofaringeus. M. palatofaring mempertemukan ismus
orofaring dan menaikkan bagian bawah faring dan laring, dipersyarafi oleh n.
vagus.12-14
2.2 Anatomi laring

Laring merupakan bagian yang terbawah dari saluran nafas bagian atas.
Batas atas laring adalah aditus laring sedangkan bagian bawahnya ialah batas
kaudal kartilago krikoid.12,15,16 Struktur kerangka laring terdiri dari satu tulang dan
beberapa kartilago yang berpasangan ataupun tidak. Tulang hioid berbentuk
seperti huruf U, yang permukaan atasnya dihubungkan dengan lidah, mandibula,
dan tengkorak oleh tendo dan otot-otot. Tulang rawan yang menyusun laring
adalah epiglotis, kartilago tiroid, kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago
kornikulata, kartilago kuneiformis dan kartilago tritisea (gambar 2).15,16

Gambar 2. Anatomi
laring (courtessy of Dailey SH)

Gerakan laring

dilaksanakan oleh kelompok otot-otot ekstrinsik dan

intrinsik. Otot-otot ekstrinsik terbagi menjadi 2 yaitu suprahioid dan infrahioid.


Otot-otot suprahioid ialah m. digastrikus, m. geniohioid, m. stilohioid, dan m.
milohioid. Otot-otot infrahioid ialah m. omohioid, m. tirohioid, m. sternohioid.
Otot-otot intrinsik terdiri dari m. krikoaritenoid lateral, m. tiroepiglotika, m.
vokalis, m. tiroaritenoid, m. ariepiglotika dan m. krikotiroid yang terletak di
bagian lateral laring, sedangkan di bagian posterior laring terdapat m. aritenoid
transverum, m. aritenoidnoblik dan m. karikoaritenoid posterior.13,15,16
Otot-otot ekstrinsik laring yang suprahioid berfungsi mengangkat laring di
bawah dasar lidah, sedangkan yang infrahioid menarik laring ke bawah. Otot-otot
intrinsik sebagian besar adalah otot adduktor (kontraksi yang akan mendekatkan
pita suara ke tengah) kecuali m. krikoaritenoid posterior yang merupakan otot

abduktor (kontraksinya akan menjauhkan kedua pita suara ke lateral). Fungsi otototot intrinsik adalah untuk mempertahankan dan mengontrol jalan udara
pernapasan melalui laring, mengontrol tahanan terhadap udara ekspirasi selama
fonasi dan membantu fungsi sfingter dalam mencegah aspirasi benda asing selama
proses menelan.13,16
Persyarafan laring berasal dari cabang-cabang nervus vagus, yaitu n.
laringis superior dan n. laringis inferior. Kedua syaraf ini merupakan campuran
syaraf mototrik dan sensorik. Sedangkan perdarahan untuk laring terdiri dari 2
cabang, yaitu a. laringis ruperior dan a. laringis inferior.15,16
2.3 Anatomi Esofagus
Esofagus merupakan saluran otot vertikal antara hipofaring sampai ke
lambung.17-19 Panjangnya 23 sampai 25 cm pada orang dewasa. Dimulai dari batas
bawah tulang rawan krikoid atau kira-kira setinggi vertebra servikal ke-6, berjalan
sepanjang leher, mediastinum superior dan mediastinum posterior, didepan
vertebra servikal dan torakal, melintas melalui hiatus esofagus diafragma setinggi
vertebra torakal 10, berakhir pada orifisium kardia lambung setinggi vertebra
torakal 11.

18,19

Empat tempat penyempitan esofagus : (1) pada sfingter esofagus

atas, (2) pada tempat dimana esofagus kontak dengan aorta, (3) pada persilangan
dengan bronkus sinistra, dan (4) setinggi sfingter esofagus bawah dan diafragma.17
Esofagus berada di garis tengah, sedikit agak ke kiri. Di dalam
mediastinum kembali ke tengah setinggi vertebra torakal 5. Di bagian inferior
mediastinum, membelok ke kiri sewaktu menuju anterior dan masuk ke dalam
hiatus esofagus diafragma. Penting untuk diperhatikan adalah lengkungan pada
bidang anterior superior yang sesuai dengan bagian cembung dari korpus vertebra
servikal dan bagian cekung korpus vertebra torakal. Bagian esofagus abdominal
yang panjangnya hanya 1,25 cm, berada pada permukaan posterior lobus kiri
hepar. Permukaan kiri dan depan esofagus abdominal diliputi oleh peritonium.18
Di dalam leher, esofagus berada di belakang trakea, berdekatan dengan arteri
karotis komunis. Nervus laring rekurens terletak di sudut antara esofagus dan
trakea. Duktus torasikus berada pada sisi kirinya. Kedua lobus kelenjar tiroid

berdekatan dengan esofagus, tetapi daerah kontak tersebut lebih besar pada sisi
kiri, karena di leher, esofagus letaknya agak ke kiri. Di mediastinum superior,
esofagus berjalan ke posterior ke sisi kanan arkus aorta, untuk kemudian turun ke
sisi kanan aorta desendens sampai mencapai bagian inferior mediastinum,
kemudian berjalan ke anterior dan sedikit ke sisi kiri aorta. Bronkus kiri
menyilang dan membuat lekukan pada esofagus di anterior, inferior terhadap
arkus aorta. Vena azygos berada di sisi kanan esofagus di dalam torak (gambar
3).18-21

Gambar 3. Traktus
dan struktur anatomi yang

digestivus bagian
berdekatan.21

Otot esofagus
sirkuler

di

atas

terdiri dari lapisan

bagian

dalam dan lapisan

longitudinal di bagian

luar. Lapisan sirkuler

merupakan

otot

lanjutan

inferior pada faring.17-

19

bagian atas berotot

lurik,

konstriktor
Pada sepertiga
sepertiga

tengah sebagian berotot lurik dan sebagian otot polos, dan pada sepertiga bawah
hampir semua berotot polos. Lapisan luar atau fibrosa terdiri atas jaringan
fibroelastik longgar. Setinggi tulang rawan krikoid lapisan otot sirkuler agak lebih
tebal, dan membentuk muskulus krikofaring, yang melekat pada bagian posterior
kartilago krikoid yang lebar. Sfingter esofagus atas merupakan daerah bertekanan
tinggi pada pemeriksaan manometri esofagus, dan daerah ini berhubungan dengan
muskulus krikofaring. Sfingter esofagus bawah panjangnya kira-kira 3 cm, dapat
turun hingga 1 sampai 3 cm pada pernapasan normal dan naik sampai 5 cm pada
pernapasan dalam. Belum ditemukan suatu otot tunggal tertentu yang berperan
pada sfingter esofagus bawah, tetapi otot polos sirkuler pada daerah ini berperan
pada kerja sfingter.17-20

Aliran darah esofagus mengikuti segmen-segmen dari esofagus, ada


banyak variasi pada tiap individu. Sepertiga atas esofagus dialiri arteri dan vena
tiroid inferior yang berasal dari arteri dan vena subklavia. Sepertiga tengah dialiri
oleh arteri yang berasal dari aorta torakika, venanya terdiri dari pleksus venosus
dan azigos yang berlanjut ke vena cava inferior. Sepertiga bawah dialiri arteri
prenikus inferior sebelah kiri yang berasal dari aorta sedangkan venanya
merupakan vena porta.17-20
Esofagus dipersarafi oleh nervus vagus (parasimpatis dan simpatis).
Esofagus bagian servikal menerima persarafan dari nervus laringis rekuren.
Serabut saraf ini kemudian bergabung membentuk dua jalan utama yaitu nervus
vagus anterior kiri dan nervus vagus pesterior kanan. Secara motoris esofagus
dikontrol oleh nervus vagus meskipun fungsi saraf simpatis dari esofagus tidak
begitu diketahui.17-20
2.4 Fisiologi Esofagus
Esofagus berperan dalam proses menelan, dimana proses ini di bagi
menjadi 3 fase, yaitu fase oral, fase faringeal, dan fase esofageal. Esofagus
terutama berfungsi pada fase esofageal yaitu menghantarkan bahan yang dimakan
dari faring ke lambung. Fungsi esofagus dapat dinilai melalui rekaman
manometri. Ini untuk mengevaluasi mekanisme kerja yang diselaraskan secara
halus, yang akan menghasilkan proses menelan yang nyaman.19
Pada fase esofageal masuknya bolus makanan dari faring ke lambung
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara laian :
1. Sfingter esofagus atas
Badan esofagus ditutup di proksimal oleh sfingter esofagus atas
(UES = upper esophageal sphincter). Sfingter esofagus atas merupakan
zona tekanan tinggi yang terjadi akibat kerja muskulus krikofaringius,
yang melekat ke ujung posterior kartilago krikodea. Melalui rangsangan
vagus dan glossofaringius, muskulus krikofaringius dipertahankan dalam
keadaan tonik saat istirahat dengan akibat tekanan 20 sampai 80 mmHg.
Selama menelan, penghambatan persarafan tonik ke sfingter

terjadi

dengan relaksasi zona tekanan tinggi ke tekanan istirahat esofagus pars


servikalis sekelilingnya. Relaksasi ini timbul serentak dengan kontraksi
faring, suatu koordinasi yang memungkinkan akomodasi normal bolus
yang didorong oleh faring. Kontraksi pasca menelan menutup sfingter,
yang menciptakan tekanan yang sering dua kali tekanan sfingter istirahat.
Lalu tekanan istirahat normal dimulai lagi dalam sfingter esofagus atas.
Dengan penutupan sfingter esofagus atas, kontraksi peristaltik mulai
berjalan ke esofagus servikalis. Kedua mekanisme ini mencegah
regurgitasi bolus yang ditelan dari esofagus servikalis kembali ke dalam
faring.17-19,22

Gambar 4. Area sfingter esofagus atas.21

2. Badan Esofagus
Dalam respon terhadap rangsangan kolinergik, kontraksi badan
esofagus berjalan dengan kecepatan 2 sampai 3 cm per detik. Bagian
esofagus bergaris memperlihatkan aktivitas lebih rendah. Kontraksi
dipercepat pada bagian otot polos untuk melambat lagi pada esofagus
bagian bawah, tepat sebelum sfingter bawah. Tekanan istirahat pada badan
esofagus mencerminkan tekanan intratoraks negatif. Pada setengah bagian
atas esofagus, tekanan kontraksi bisa bervariasi antara 20 dan 70 mmHg,
sedangkan kontraksi ini menimbulkan tekanan 50 sampai 100 mmHg

dalam setengah bagian bawah esofagus. Kontraksi berlangsung dari 4


sampai 6 detik.
Proses menelan menginduksi gelombang peristaltik yang berjalan
menuruni esofagus dan disebut kontraksi primer. Tanpa menelan, distensi
atau iritasi esofagus bisa memulai gelombang propulsif normal. Ini
merupakan peristaltik sekunder, suatu respon terhadap rangsangan lokal
dinding esofagus normal. Kontraksi tersier nonpropulsif dan ditandai pada
bacaan manometri oleh tekanan yang meningkat serentak pada tingkat
bacaan berbeda. Mekanisme ini timbul spontan atau sebagai respons
terhadap menelan. Kontraksi tersier biasanya dianggap abnormal, tetapi
kadang-kadang ia dapat terlihat pada individu sehat.17-19,22
3.

Sfingter esofagus bawah


Esofagus dipisahkan dari lambung oleh sfingter fisiologi yang
menyebabkan adanya zona tekanan tinggi sepanjang 2 sampai 4 cm.
Mekanisme miogenik dan neurogenik membantu mempertahankan tonus
istirahat sfingter esofagus bawah (lower esophageal sphincter = LES)
dengan kemungkinan pengaruh hormon.Tonus istirahat bagian esofagus
lain bervariasi dengan teknik rekaman. Biasanya berkisar antara 15 dan 25
mm Hg dan menyebabkan barier dalam bentuk tekanan positif terhadap
refluks gastroesofagus. Dengan menelan dan sementara gelombang
peristaltik esofagus berlanjut pada badan esofagus, relaksasi terhadap
tekanan intragaster istirahat timbul, yang memungkinkan pemindahan
bolus pencernaan dari esofagus ke lambung. Relaksasi ini penting untuk
fungsi sfingter normal dan masa pembukaan sfingter harus disesuaikan
dengan lama kontraksi badan esofagus. Karena menyilang area sfingter,
maka gelombang peristaltik menciptakan kontraksi menutup, kemudian
sfingter esofagus bawah kembali ke tekanan istirahat normal.
Tekanan sfingter bawah bisa bervariasi dari saat ke saat dalam
individu mana pun. Pengaruh neurologi, miogenik dan hormon telah
disebutkan. Penting pengaruh mekanik dan emosi (walaupun sulit

10

ditentukan jumlahnya) bisa mempunyai suatu efek atas fungsi sfingter


esofagus bawah maupun atas.19-22

Gambar 5. Area sfingter esofagus bawah.21


2.5 Patofisiologi laryngopharyngeal reflux
RLF merupakan aliran balik isi lambung ke dalam laring, faring, dan
traktus aerodigestif atas. Beberapa keadaan atau faktor yang dapat menyebabkan
aliran balik asam lambung antara lain hiatal hernia, obesitas, kehamilan, olah raga
berat, diet, gaya hidup yang salah dan obat-obatan. Diet yang dimaksudkan antara
lain konsumsi makanan yang berlemak dan berminyak, mengandung mint, coklat,
alkohol dan minuman bergas, citrus, bawang dan tomat. Gaya hidup yang salah
seperti merokok, berbaring setelah makan, menggunakan pakaian yang terlalu
ketat dan kebiasaan makan sebelum tidur. Obat-obatan yang dapat menyebabkan
aliran balik asam lambung antara lain teofilin, kodein, benzodiazepin, calcium
chanel blocker, ibuprofen (nonsteroid anti inflamasi drugs) dan erythromycin.
Pada traktus aerodigestif terdapat 4 pertahanan fisiologis yang
melindunginya dari trauma akibat refluks, yaitu : sfingter esofagus bawah, fungsi
motorik esofagus dengan bersihan asam , pertahanan jaringan mukosa esofagus,
dan sfingter esofagus atas.5 Dalam keadaan normal, sfingter esofagus atas dan
sfingter esofagus bawah bekerja sama untuk mencegah aliran balik isi lambung
11

sampai esofagus. Sfingter esofagus atas yang lemah merupakan faktor patologis
utama dalam LPR sehingga bahan refluks dapat mencapai faring dan laring. Dari
beberapa penelitian yang menggunakan cairan asam yang diberikan pada bagian
distal dari esofagus pada orang normal dan penderita yang mengalami
peradanganesofagus, maka terjadi peningkatan tonus dari sfingter esofagus bagian
atas. Keadaan ini tidak dijumpai pada pasien dengan LPR. 1,21
Epitel pernafasan yang halus pada posterior laring dalam keadaan normal
berfungsi untuk membersihkan lendir yang berasal dari trakeobronkial, akan
berubah

saat

pertahanan-pertahanan

ini

gagal.

Disfungsi

silier

akan

mengakibatkan penumpukan lender. Penumpukan ini selanjutnya menimbulkan


sensasi post nasal drip dan throat clearing (mendehem). Iritasi akibat material
refluks secara langsung, dapat menyebabkan batuk dan rasa tercekik (spasme
laring) karena sensitifitas dari ujung persyarafan laring di regulasi oleh
peradangan lokal. Kombinasi faktor-faktor ini dapt menyebabkan edema pita
suara, ulkus, dan granuloma yang menimbulkan gejala lain yang masih
berhubungan dengan LPR, antar lain suara serak, globus pharingeus, dan nyeri
tenggorokan.5
Penelitian lain menyatakan bahwa jaringan di laring di lindungi dari
kerusakan akibat refluks oleh efek regulasi pH dari karbonik anhidrase pada
mukosa posterior laring. Karbonik anhidrase mengkatalisasi hidrasi karbon
dioksida untuk menghasilkan biokarbonat yang berfungsi melindungi jaringan
dari material refluks. Dalam esofagus, terdapat produksi aktif bikarbonat pada
ruang ekstraseluler yang berfungsi menetralisir refluks asam lambung, sedangkan
pada epitel laring tidak dijumpai pompa aktif bikarbonat. Selain itu terdapat
penurunan karbonat anhidrase isoenzim III (CA-III) yang mungkin berhubungan
dengan peningkatan konsentrasi pepsin, dimana kondisi ini ditafsirkan sebagai
penurunan jumlah anion bikarbonat yang berfungsi menetralisir asam lambung,
dan sebagai buffer untuk melindungi mukosa laring.1,2,5
Mekanisme lain yang diajukan adalah refleks vagal. Refleks vagal ini
diaktivasi di esofagus distal oleh kandungan refluks, yang menyebabkan

12

bronkokonstriksi, batuk kronis dan throat clearing berulang yang dianggap


bertanggung jawab terhadap gejala dan kelainan klinis yang timbul.1,23

Gambar 6. Patofisiologi LPR (courtessy Bula IC)

Beberapa ahli menduga refluks non-asam seperti pepsin dan cairan empedu juga
dapat merusak mukosa laring sehingga kedua zat ini diduga berperan penting
dalam penyebab LPR. Namun pendapat lain menyatakan bahwa pepsin hanya
aktif dalam lingkungan asam, karena itu tidak berbahaya bila terdapat dalam
lingkungan netral (pH 6,8) seperti di laring.1,9
BAB III
DIAGNOSIS LARYNGOPHARYNGEAL REFLUX
Diagnosis refluks laringofaringeal biasanya ditegakkan berdasarkan :
1.

Gejala klinis
Gejala klinis LPR bermacam-macam diantaranya disfonia, chronic

throat clearing, sekret di tenggorokan yang berlebihan, batuk, sensasi post


nasal drip, halitosis, nyeri tenggorokan, dan rasa mengganjal di tenggorokan
(globus pharyngeus).4 Berdasarkan International survey of American
13

Bronchoesophagological Association gejala LPR yang paling sering adalah


throat clearing (98%), batuk yang persisten (97%), globus pharyngeus (95%),
dan suara serak (95%).5 Namun demikian gejala-gejala ini bukan merupakan
gejala khusus LPR karena bisa ditimbulkan oleh alergi, penyakit neurologi
degeneratif, infeksi, gangguan perilaku, obat-obatan, dan neoplasma.4,5
Dikarenakan gejala-gejala ini tidak spesifik, maka untuk mendapatkan
diagnosis yang akurat harus dikombinasi dengan pemeriksaan laringoskopi,
pH monitoring, dan percobaan empiris penghambat pompa proton (proton
pump inhibitor).5
Sekret di tenggorok yang berlebihan dan chronic throat clearing
merupakan dua gejala LPR yang paling sering. Asam lambung yang masih
berada dalam esofagus menyebabkan peningkatan saliva yang cepat. Salivasi
yang berlebihan menyebabkan perasaan penuh di faring yang dapat
merangsang penderita untuk mengosongkan tenggorokannya. Pengosongan
yang berlebihan ini dapat menyebabkan edema pada hipofaring.5 Sensasi post
nasal drip merupakan gejala lain yang sering ditemukan pada LPR, dimana
biasanya penderita tidak mempunyai gejala rinitis alergi yang lain seperti
rinorea, hidung tersumbat, bersin-bersin, mata gatal atau berair dan sakit
kepala. Pasien dengan rinitis alergi biasanya sadar akan warna dan bau dari
post nasal drip, sedangkan pada pasien LPR tidak.
LPR dapat menyebabkan sensasi benda asing di tenggorokan (globus).
Prevalensinya pada populasi umum sekitar 16%. Walaupun terdapat penyebab
lain dari globus (seperti keganasan laringofaringeal, kista valekula, disfungsi
krikofaringeal), refluks merupakan faktor penyebab pada duapertiga individu
dengan globus. Mayoritas pasien dengan globus yang berhubungan dengan
refluks akan membaik dengan terapi antirefluks. Laringoskopi diindikasikan
pada semua penderita dengan rasa mengganjal di tenggorokan, karena 25%
penderita dengan globus memiliki penyebab yang mendasarinya.4
Disfonia yang disebabkan LPR biasanya bersifat intermiten. Pasien
dengan suara serak yang kronis dan terus menerus, atau disfonia yang

14

progresif biasanya bukan disebabkan oleh

LPR. Dengan demikian

pemeriksaan endoskopi yang dini sangat diperlukan.4


Belafsky dkk (2002) mengembangkan suatu penilaian yang dilakukan
sendiri oleh penderita yaitu Reflux Symptom Index (RSI), yang terdiri dari
skala tingkatan 0 5 poin (tabel 2).
Tabel 2. Reflux Symptom Index1,4,5
How do the following problems
affect you?
1. Hoarseness or a problem with your
voice
2. Clearing your throat
3. Excess throat mucous or postnasal
drip
4. Difficulty swallowing food, liquids, or
pills
5. Coughing after you ate or after lying
down
6. Breathing difficulties or choking
episodes
7. Troublesome or annoying cough
8. Sensations of something sticking in
your throat or lump in your throat
9. Heartburn, chest pain, indigestion, or
stomach acid coming up
TOTAL

0 = No problem
5 = Severe problem
0 1 2 3 4

0
0

1
1

2
2

3
3

4
4

5
5

RSI ini telah terbukti berguna dalam menegakkan diagnosis awal dari LPR,
menilai tingkat keparahan penyakit, dan memantau keberhasilan terapi. Nilai
RSI sampai dengan 10 adalah normal, sedangkan nilai lebih dari 13 dianggap
LPR.1,3-5,24
2.

Pemeriksaan laringoskopi
Pada pemeriksaan laringoskopi tanda-tanda nonspesifik sebagai akibat

iritasi laring dan inflamasi biasanya terlihat, tetapi beberapa temuan biasanya
mengarahkan ke LPR. Walaupun temuan tersebut tidak khas, penebalan,
hiperemis, dan edema yang terkonsentrasi pada posterior laring yang

15

selanjutnya disebut laringitis posterior paling sering ditemukan. 5 Berdasarkan


analisis warna, Hanson dan Jiang4 memperhitungkan derajat eritema untuk
menilai laringitis posterior. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ford dkk
tahun 20055 menyatakan bahwa temuan laringoskopi lain yang berhubungan
dengan LPR seperti granuloma yang dikonfirmasi dengan monitoring pH
ditemukan pada 65% sampai 75% pasien. Pseudosulcus pita suara yang
biasanya dijumpai pada tepi medial dari pita suara, dijumpai hampir pada 90%
kasus dengan LPR.5
Belafsky dkk (2001) mengembangkan 8 item skala derajat keparahan
berdasarkan temuan laringoskopi yang disebut sebagai Reflux Finding Score
(RFS) , yang berguna dalam pemeriksaan dan follow up pasien. Nilai yang
didapat berkisar dari 0 (normal) sampai 26 (parah) dimana jumlah nilai lebih
dari 7 menunjukkan LPR (tabel 3).

1,5,11,25

Sangatlah penting dicatat bahwa

skoring ini merupakan skala klinis yang sederhana pada semua penyebab
inflamasi laring termasuk infeksi, alergi, neoplasma, gangguan akibat polusi
dan autoimun, penggunaan pita suara yang salah dan berlebihan, dan
penyebab potensial inflamasi laring lainnya.4,25 Dengan demikian skoring ini
bukan merupakan standar utama pemeriksaan LPR.

Tabel 3. Reflux Finding Score (RFS)1,25


Videolaryngoscopic findings
Scoring points
Subglottic edema
0 = absent
2 = present
Ventricular obliteration
0 = absent
2 = partial
4 = complete
Erythema/hyperemia
0 = absent
2 = arytenoids only 4 = diffuse
Vocal cord edema
0 = absent
3 = severe
1 = mild
4 = polypoid
2 = moderate
Diffuse laryngeal edema
0 = absent
3 = severe
1 = mild
4 = obstructing
2 = moderate

16

Posterior comissure hypertrophy

Granuloma/granulation
Thick endolaryngeal mucus/other

0 = absent
1 = mild
2 = moderate
0 = absent
0 = absent

3 = severe
4 = obstructing
2 = present
2 = present

Koufman di 1995 pertama kali menggambarkan edema subglottik


sebagai pseudosulcus vocalis, Hal ini mengacu pada subglottik edema yang
meluas dari komisura anterior ke posterior laring dimana keberadaannya
memberikan nilai 2. Obliterasi ventrikuler sering ditemukan pada pasien LPR
(80%). Pembengkakan pada pita suara asli dan palsu menyebabkan ruang ini
sulit dinilai (obliterasi). Pada obliterasi ventrikuler parsial, ruang ventrikuler
menjadi berkurang dan tepi pita suara palsu sulit dinilai. Sedangkan pada
obliterasi ventrikuler komplit, pita suara asli dan palsu saling bersentuhan
sehingga ruang ventrikuler menghilang. Nilai 2 untuk obliterasi parsial, dan 4
untuk obliterasi komplit.26
Laring hiperemis merupakan temuan yang tidak spesifik yang
bergantung pada temuan endoskopik. Nilai 2 dimana eritema yang hanya
terbatas pada aritenoid, dan nilai 4 pada eritema laring yang difus. Edema pita
suara memiliki tingkatan ringan (nilai 1) jika hanya terdapat edema ringan,
sedang ( nilai 2) dimana edema menjadi lebih jelas. Edema berat (nilai 3)
dimana pembengkakan pita suara menjadi lebih berat dan merata. Terakhir
nilai 4 jika sudah terdapat degenerasi polipoid pada pita suara. Edema laring
difus dinilai dengan ukuran relatif antara ukuran laring terhadap saluran
udara. Hal ini dinilai sebagai ringan (nilai 1) sampai obstruksi (nilai 4).26

17

Gambar 7 .
Reflux
finding

score26

Thick
endolaryng
eal mucus
Hipertrofi komisura posterior

sering

ditemukan

pada

LPR, yang memiliki tingkatan ringan (nilai 1) penampilan mukosa komisura


posterior tampak seperti kumis kucing, sedang (nilai 2) dimana edema pada
komisura posterior membentuk garis lurus pada dinding posterior laring.
Hipertrofi komisura posterior dinilai parah (3 poin) bila terdapat tonjolan dari
bagian posterior laring ke dalam saluran napas, obstruksi (nilai 4) ketika
sebagian besar jalan napas terututup atau mengalami obliterasi. Butir terakhir
dari RFS yaitu granuloma/jaringan granulasi dan lendir endolaryngeal yang
tebal, dimana pasien mendapatkan nilai 2 jika terdapat temuan di atas dan
nilai 0 jika sebaliknya.26
3. 24-hour ambulatory double probe pH monitoring
Walaupun LPR sering dijumpai, dalam menegakkan diagnosisnya
tidaklah mudah karena gejalanya tidak jelas dan temuan klinis sering tidak
berhubungan dengan beratnya gejala.27 Sampai saat ini, tidak ada pedoman khusus
untuk

menegakkan

diagnosis

LPR

secara

pasti.

Beberapa

penelitian

mempertimbangkan 24-hour ambulatory pH monitoring sebagai standar diagnosis


saat ini.5,7,11,24

18

Dalam pemeriksaan ini multisensor probe dimasukkan transnasal dengan


bagian ujungnya diletakkan 5 cm di atas tepi atas sfingter esofagus bawah.
Dikarenakan monitor pH bagian distal esofagus tidak menggambarkan pH
proksimal esofagus atau hipofaring secara akurat, maka sensor pH harus
diletakkan di luar dari esofagus yaitu 2 cm di atas sfingter esofagus atas atau 15
cm di atas probe pertama agar dapat mendiagnosis LPR secara akurat (gambar
5).28 Multi sensor ini dipertahankan selama 24 jam dan dihubungkan dengan
sebuah mikro komputer kecil yang dipasang di pinggang atau pergelangan tangan
pasien. 4,11,24

Sensor pH hipofaringeal (panah)


diletakkan di atas sfingter esofagus
atas.3

Gambar 8 Simultaneous esophageal and pharyngeal


(double-probe) pH monitoring28

Selama pemeriksaan pasien diinstruksikan untuk tetap melanjutkan


aktivitas sehari-hari dan makan seperti biasa kecuali makanan dan minuman
yang bergas, pedas, dan asam. Penggunaan obat-obatan yang menyebabkan
relaksasi pada sfingter esofagus atas dan menstimulasi atau menghambat
sekresi material lambung dihentikan 1 minggu sebelum pemeriksaan. Pasien
mencatat kapan waktu mulai makan dan berhenti makan, saat menelan air,
tidur, periode posisi terlentang, rasa panas di ulu hati, regurgitasi, dan gejalagejala lain yang ada.28

19

Data yang dianalisa adalah jumlah episode refluks (pH<4) dan


persentase waktu pH < 4 (waktu terpapar asam) pada posisi tegak dan
terlentang. Hasil tes pH dianggap abnormal jika satu episode refluks
terdeteksi pada hipofaring dan esofagus proksimal, total persentase waktu
pada pH < 4 adalah 1% atau lebih. Penurunan nilai pH yang terjadi di sensor
faring dianggap suatu episode LPR jika :
1. Penurunan nilai pH < 4 ;
2. Penurunan nilai pH di faring segera setelah terpapar asam dari
distal esofagus;
3. Tidak ada pengurangan pH selama makan atau menelan ; atau
4. Penurunan pH secara cepat dan tajam dibandingkan penurunan pH
yang terjadi bertahap.5,28
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang invasif namun aman
dilakukan, tetapi karena faktor biaya, ketidaknyamanan pasien dan ketidak
tersediaan alat ini di semua rumah sakit menyebabkan pemeriksaan ini bukan
merupakan modalitas yang umum dipakai sebagai alat diagnostik.
4. Tes penghambat pompa proton (proton pump inhibitors test)
Proton pump inhibitor (PPI) saat ini merupakan obat antirefluks untuk
LPR yang paling efektif. PPI juga dapat menekan produksi asam lambung.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa PPI lebih efektif pada pengobatan
LPR jika dibandingkan dengan H2 reseptor antagonis. Terdapat lima macam
PPI yaitu: omeprazol, esomeprazol, lansoprazol, pantoprazol, dan rabeprazol.
Obat PPI mempunyai efek langsung terhadap H+, K+, ATPase yang
merupakan enzim pompa proton di jalur akhir produksi asam dari sel parietal
yang menyebabkan penghambatan enzim tersebut. PPI mengeliminasi dan
mengurangi produksi asam dengan cara mengurangi aktivitas pepsin dan
mengurangi kadar asam sehingga kerusakan jaringan bisa dicegah.27
Pemilihan tes PPI ini dengan pertimbangan bahwa banyak
ketersediaan obat PPI, mudah dilakukan, biaya yang diperlukan relatif murah,
tidak invasif, serta sensitivitas (78,3%) dan spesifisitas (85,7%) cukup tinggi
dengan tingkat kepercayaan (90%).27 Pasien dilakukan tes PPI dengan cara

20

pemberian secara empirik PPI (omeprazol) 40 mg, sehari dua kali selama dua
minggu, pasien mengisi kuesioner gejala refluks (reflux symptom index)
sebelum terapi empirik omeprazol, setelah 2 minggu terapi empirik omeprazol
pasien diharuskan mengisi kembali kuesioner gejala refluks. Tes PPI positif
apabila terdapat perbaikan dari gejala tersebut > 50%.27
Diagnosis banding
Laryngopharyngeal reflux merupakan suatu kondisi kronis, yang sering
berulang sebagai akibat paparan dari material lambung. Kondisi lain yang
menyebabkan laringitis kronis harus dimasukkan dalam diagnosis banding yang
tergantung pada tampilan klinis pasien. Jika pasien dengan demam, lesu, dan
onset yang tiba-tiba, gejala, penyebab infeksi harus dipertimbangkan, seperti
infeksi bakteri supraglotik (kelompok A streptokokus, Hemofilus influenza), atau
infeksi virus (parainfluenza, influenza, rhinovirus, adenovirus, herpes simpleks).
Dalam bentuk yang lebih kronis dari laringitis, diferensial harus mencakup alergi,
penyakit granulomatosa, penyakit autoimun, cedera inhalansi, dan terapi radiasi.2
Komplikasi
Jika tidak diobati, LPR dapat mengakibatkan manifestasi pada faring dan
laringotrakea. LPR dapat mengakibatkan obstruksi jalan napas antara lain karena
spasme laring, gangguan pergerakan pita suara, granuloma, stenosis, degenerasi
polipoid, dan bahkan karsinoma laring. Gangguan gerakan pita suara dan spasme
laring sering dapat dikelola dengan terapi agresif antirefluks dikombinasikan
dengan terapi wicara. Lesi laring seperti granuloma dan stenosis subglotik sering
menunjukkan peningkatan yang drastis atau resolusi dengan terapi antirefluks.
Pasien yang memerlukan intervensi bedah seperti degenerasi polipoid, karsinoma
laring, granuloma, dan stenosis, harus dimulai dengan terapi antirefluks preoperasi
dan pemeliharaan paska operasi untuk mencegah tingkat kekambuhan yang
tinggi.2

21

BAB IV
PENATALAKSANAAN LARYNGOPHARYNGEAL REFLUX
4.1

Modifikasi diet dan gaya hidup


Pasien dengan LPR harus menghindari makanan yang mengganggu kerja

otot sfingter esofagus bawah seperti gorengan, makanan berlemak, kopi, alkohol,
cokelat, peppermint, minuman bersoda, buah citrus, saus tomat, kecap, mustard,
dan cuka. Beberapa macam obat yang turut berpengaruh juga harus dihindari,
seperti ibuprofen, teofilin, dan kodein. Porsi makanan tidak boleh terlalu banyak.
Menghindari makan selama 2-3 jam sebelum tidur atau berbaring dan tidak boleh
makan terlalu cepat.2,5,23,29
Pengaturan gaya hidup yang dianjurkan adalah mengurangi berat badan
bila kegemukan, berhenti merokok, menghindari pakaian terlalu ketat dan bagian
kepala tempat tidur ditinggikan 4-6 inchi. Giachi dkk29 menyatakan bahwa
menghindari makan dan minum sebelum tidur dan elevasi bagian kepala tempat
tidur menunjukkan hubungan yang bermakna dengan perbaikan gejala LPR.29
Steward dkk29 mendapati bahwa modifikasi gaya hidup selama 2 bulan dengan
atau tanpa terapi medikamentosa secara signifikan dapat memperbaiki gejalagejala laringitis kronis, walaupun beberapa penelitian lain menyatakan masih
kontroversi.5
4.2

Terapi farmakologik
Dalam pengobatan LPR, ada 4 jenis obat-obatan yang digunakan, yaitu :

proton pump inhibitor (PPI), antagonis reseptor H2, prokinetik, dan obat-obat
proteksi mukosa.5,29 Sama seperti GERD, proton pump inhibitor merupakan terapi

22

awal yang dianjurkan untuk LPR. Namun terapi untuk LPR membutuhkan waktu
dan frekuensi yang lama daripada pasien GERD. Proton pump inhibitor saat ini
merupakan obat antirefluks untuk LPR yang paling efektif. PPI juga dapat
menekan produksi asam lambung. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa PPI
lebih efektif pada pengobatan LPR jika dibandingkan dengan H2 reseptor
antagonis. Obat PPI mempunyai efek langsung terhadap H+, K+, ATPase yang
merupakan enzim pompa proton di jalur akhir produksi asam dari sel parietal yang
menyebabkan penghambatan enzim tersebut. PPI mengeliminasi dan mengurangi
produksi asam dengan cara menaikkan pH lambung di atas 5, kondisi dimana
pepsin menjadi inaktif. Dianjurkan meminum obat 30-60 menit sebelum makan,
bukan sebelum tidur.
Terdapat lima jenis PPI yaitu: omeprazol, esomeprazol, lansoprazol,
pantoprazol, dan rabeprazol. Berdasarkan penelitian tentang respon terapi PPI
didapatkan rabeprazol cara kerjanya cepat, esomeprazol paling poten untuk
menurunkan kadar asam, sementara omeprazol, lansoprazol, dan pantoprazol
mempunyai efektivitas yang sama untuk menurunkan kadar asam. Dosis yang
digunakan biasanya untuk omeprazol 2x20 mg, lansoprazol 2x30 mg, pantoprazol
2x40 mg, rabeprazol 2x20 mg, dan esomeprazol 2x40 mg. Jenis yang biasa
dipakai adalah omeprazol dan lansoprazol. Terapi PPI ini di berikan selama 8-12
minggu (tabel 4) , jika terdapat perbaikan maka dosis di turunkan, namun jika
tidak ada respon terapi dilanjutkan sampai 6 bulan atau dilakukan pemeriksaan
lain seperti monitoring pH, manometri atau pemeriksaan barium (dapat dilihat
pada bagan penilaian dan manajemen RLF).5,28,29 Menurut Federal Drug
Administration, omeprazol dan lansoprazol aman digunakan pada anak-anak
kecuali anak usia di bawah 1 tahun. Omeprazol (0,7-3,5 mg/kgBB/hari) dan
lansoprazol (1,4 mg/kgBB/hari) memiliki keamanan jangka pendek dan panjang,
yaitu 6 bulan untuk lansoprazol dan sampai 2 tahun untuk omeprazol.30
Obat-obatan antagonis reseptor H2 antara lain cimetidine (2x400mg),
ranitidine (2x150 mg), famotidine (2x20 mg), dan nizatidine (2x150 mg). Semua
antagonis reseptor bekerja dengan cara menempati reseptor histamin H 2 pada sel

23

parietal lambung sehingga dapat mencegah efek stimulasi sekresi asam lambung
oleh histamin.
Obat-obatan prokinetik seperti metoclopropamide, domperidon dan
cisaprid. Metoclopropamid dan domperidon berupa antagonis dopamine, dapat
memperbaiki pengosongan lambung, peristaltik esofagus, dan meninggikan
tekanan sfingter esofagus bawah. Metoclopropamid mempunyai efek samping
ekstrapiramidal dan sedatif. Sedangkan cisaprid obat kolinergik pilihan yang
dapat melepaskan acethylcoline dari pleksus myenterik, menghilangkan efek
ekstrapiramidal dan sedatif dari metoclopramid, dapat menekan produksi asam
lambung.29 Namun cisaprid tidak lagi tersedia karena dapat menyebabkan aritmia
yang mengancam jiwa bila dikombinasi dengan beberapa obat. 30 Obat-obat
proteksi mukosa seperti antasida, dan sukralfat dapat menetralisir refluksat asam,
mengurangi kerusakan mukosa dan mencegah aktivitas pepsin, mempunyai efek
samping paling sedikit tetapi memerlukan pemberian dosis berulang.29
Tabel 4. Kesimpulan dari beberapa penelitian yang menilai efek terapi PPI pada
pasien denga gejala-gejala LPR 9

24

Sejumlah besar penelitian

mengangkat isu mengenai peran infeksi

Helicobacter pylori (HP) dalam patofisiologi mekanisme GERD, walaupun


perannya dalam LPR belum begitu banyak diteliti. Berdasarkan penelitian Tarek
dkk di Mesir tahun 2010 terhadap 212 pasien dengan keluhan LPR yang di
evaluasi dengan menggunakan pH monitoring, laringoskopi, dan Helicobacter
pylori stool antigen (HPSA), membandingkan esomeprazol monoterapi dengan
esomeprazol yang digabungkan dengan amoksisilin dan clarithromycin (triple
therapy) pada pasien dengan infeksi HP. Dari hasil penelitian tersebut pasien
dengan tes HPSA positif ditemukan pada 57% populasi. Pasien dengan tes HPSA
negatif diterapi dengan esomeprazol tunggal dengan hasil 96,6% pasien
dilaporkan mengalami perbaikan. Pasien dengan tes HPSA positif dibagi menjadi
2 kelompok, dimana kelompok pertama hanya mendapat terapi esomeprazol
tunggal dengan perbaikan klinis hanya pada 40%, sedangkan kelompok kedua
diterapi dengan esomeprazol ditambah amoksisilin sodium dan clarithromycin
(triple therapy) dan hasilnya menunjukkan 90% populasi memperoleh perbaikan
gejala. Sebagai kesimpulan penggunaan triple therapy (esomeprazole magnesium
40 mg, ditambah amoksisilin sodium 1 g, dan clarithromycin 500 mg) dalam
penatalaksanaan LPR dengan infeksi HP menunjukkan tingkat kesembuhan yang
tinggi.31
4.3 Terapi bedah
Terapi pembedahan kadang-kadang diindikasikan pada pasien LPR yang
tidak respon terhadap modifikasi gaya hidup dan obat-obatan anti refluks, pasien
dengan volume cairan refluks yang tinggi dan inkompeten sfingter esofagus
bawah.5,23 Fundoplikasi baik komplit (Nissen atau Rossetti) atau parsial (Toupet
atau Bore), merupakan prosedur yang paling sering digunakan dengan pendekatan
laparoskopi. Tehnik fundoplikasi dimana fundus lambung (bagian atas) ditarik
dari belakang dan ditempatkan sekitar esofagus bagian distal. Fundus lambung
kemudian dijahit di depan esofagus bagian distal untuk memperkuat fungsi
penutupan sfingter esofagus bagian bawah dan menyempitkan hiatus esofagus
(gambar 9).32

25

Gambar 9. Tehnik fundoplikasi32

Tujuan

pembedahan

adalah

untuk

memperbaiki kemampuan dari sfingter esofagus bawah, dan pada pasien LPR
diharapkan dapat mengurangi episode refluks faringeal. Hasil yang baik pernah
dilaporkan pada 85% - 90% pasien-pasien refluks tetapi hasil pada pasien dengan
LPR

tidak

begitu

memuaskan.

5,11,23

Tabel 5. Algoritma penilaian dan manajemen LPR berdasarkan American


medical association5

26

BAB V
KESIMPULAN
1. Laryngopharyngeal reflux (LPR) adalah suatu keadaan dimana aliran balik
isi lambung masuk ke dalam laring, faring, dan traktus aerodigestif atas.
Keadaan tersebut dapat menimbulkan kerusakan pada mukosa faring dan
laring akibat iritasi bahan-bahan yang terkandung dalam refluks tersebut.

27

2. Sinonim lain dari LPR yang sering digunakan antara lain refluks
supraesofageal,

refluks

ekstraesofageal,

refluks

atipikal,

refluks

gastroesofagofaringeal, laringitis refluks, dan posterior laringitis


3. Gejala yang sering ditemukan pada penderita LPR dapat berupa disfonia,
batuk, excessive throat clearing (mendehem yang berlebihan), sekret di
belakang hidung, disfagia, halitosis, dan globus pharyngeus (perasaan
mengganjal di tenggorokan).
4. Patofisiologi LPR yang utama adalah kelemahan pada sfingter atas
esofagus, disfungsi silier pada epitel pernafasan yang halus di posterior
laring sebagai akibat iritasi langsung material refluks, penurunan karbonat
anhidrase isoenzim III (CA-III) pada laring, refleks vagal, dan adanya
refluks non asam seperti pepsin dan cairan empedu yang dapat merusak
mukosa laring.
5. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dengan menggunakan
skoring dari Belafsky (2002) yaitu Reflux Symptom Index (RSI).
Pemeriksaan laringoskopi dengan menggunakan Reflux Finding Score
(RFS), 24-hour ambulatory double probe pH monitoring, dan tes
penghambat pompa proton (proton pump inhibitor test).
6. Penatalaksanaan pasien dengan LPR yang utama adalah edukasi
modifikasi diet dan gaya hidup. Pemberian obat-obatan seperti
penghambat pompa proton, antagonis reseptor H2, obat-obatan prokinetik,
obat proteksi mukosa dan antibiotik. Jika terapi tersebut tidak berhasil,
maka dilakukan terapi bedah berupa fundoplikasi, dengan harapan dapat
mengurangi episode refluks laringofaringeal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Pham V, Underbrink M. Laryngopharyngeal reflux with an emphasis on
diagnostic and therapeutic consideration. [cited 2011 Des 12]. Available
from : http://www.utmb.edu/otoref/grnds/Laryng-reflux-090825
2. Postma GN, Halum SL. Laryngeal and pharyngeal complication of
gastroesopageal
[cited

2011

reflux

disease.

Des

10].

GI

Motility
Available

http://www.nature.com/gimo/contents/pt1/full/gimo46.html

28

online.
from:

3. Sataloff RT, Gupta R. Laryngopharygeal reflux and voice disorder : an


overview on disease mechanism, treatments and reseach advances. [cited
2011 Des 10]. http://www.discoverymedicine.com/Robert-T-Sataloff/
4. Belafsky PC, Rees CJ. Identyfing and managing laryngopharyngeal reflux.
Hospital physician. [cited 2011 Des 08]. Availabe from www.turnerwhite.com. p. 15-20
5. Ford CN. Evaluation and management of laryngopharingeal reflux.
American Medical Association; 2005;294:1534-1540
6. Handa KK. Laryngopharingeal reflux : current opinion. Indian journal of
otolaryngolgy and head and neck surgery; 2005;57: p. 267-270
7. Gupta SK, Postma GN, Koufman JA. Laryngopharyngeal reflux in Head
and neck surgery Otolaryngology. Fourth Ed. Lippincot Williams &
Wilkins; 2006. p. 833-834
8. Carrau RL, Koufman JA, Khidr A, Gold KF. Validation of a quality-of-life
instrument for laryngopharingeal reflux. Arch Otolaryngol Head and Neck
Surg; 2005; 131; 315-320
9. Reimer C, Bytzer P. Management of laryngopharyngeal reflux with proton
pump inhibitor. Therapeutics and Clinical Risk Management 2008:4(1)
225233
10. Kornel Y, Sarbini Basriyadi S, Madiadipoera T HS. Efektivitas terapi
omeprazole terhadap perbaikan gejala klinis dan patologi laring pada
penderita refluks laringofaring. [cited 2011 Des 03]. Available from
http//www.mkb-online.org/index.php
11. Gupta R, Sataloff RT. Laryngopharyngeal reflux : current concepts and
questions. Current Opinion in otolaryngology & Head and neck surgery;
2009; 17 : 143-148
12. Rusmarjono, Hermani B. Odinofagia. Dalam : Soepardi BA, Iskandar N,
Bashiruddi J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI; 2009. h. 212-216.
13. Eibling DE. The oral cavity, pharynx, and esophagus. In : Lee KJ.
Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery. 9 th ed. Tempat.2008.
P : 530-551.

29

14. Liston SL. Embriologi, anatomi dan fisiologi rongga mulut, faring,
esofagus dan leher. Dalam : Adams GL, Boies LR, Highler PA. Buku ajar
Edisi keenam. Jakarta. Penerbit buku kedokteran EGC,1997:263-267
15. Hermani B, Hutauruk SM. Disfonia. Dalam : Soepardi BA, Iskandar N.
eds Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher.
Edisi keenam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2009. Hal : 231-36
16. Ballenger JJ. Anatomi laring. Dalam : Penyakit telinga, hidung, tenggorok
kepala dan leher Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher. Edisi 13. Jilid 2. Alih bahasa/Editor : Staf ahli
bagian THT RSCM-FKUI Jakarta-Indonesia. Binarupa Aksara,2009. hal :
424-434
17. Shockley WW, Rose AS. Esophageal Disorders. In: Bailey BJ, ed. Head
and Neck Surgery-Otolaryngology. Philadelphia: JB Lippincott Company,
1993: 690-693.
18. Ballenger JJ, MS, MD. Esofagologi. Penyakit telinga hidung tenggorok
kepala dan leher. Edisi 13. Jilid 2. Alih bahasa/Editor : Staf ahli bagian
THT RSCM-FKUI. Jakarta-Indonesia. Binarupa Aksara, 2009. Hal: 645651.
19. Duranceu A, MD, Lafontaine E, MD. Esophagus. Dalam : Sabiston DC, Jr,
MD, eds. Buku ajar bedah. Alih bahasa : Andrianto P, dr, I.S Timan, dr.
Editor : Oswari J, dr. Penerbit buku kedokteran EGC ; 1992 : 460-465.
20. Caparas, Lim, Ejercito, Chiong, Enriques, Jamir. Anatomy of trachea,
bronchus and esophagus. Eds. Basic otolaryngology. Editor : Enriques AE,
MD. Publications committee of the college of medicine, University of the
Philippines.1993 : 194-196.
21. Ahuja V, Yencha MW, Lassen LF. Head and neck manifestations of
gastrofaryngeal

reflux

desease.

[cited

2011

Des

05].

http://www.aafp.org/afp/990901ap/873.html. Access on May 2.


22. Donner MW. Physiology of the esophagus. In : Paparella MM, Shumrick
DA, eds. Otolaryngology. 3rd ed. Philadelphia : WB Saunders Company,
1991 : 383-385.

30

23. Oguz H, Tarhan E, Korkmaz M. Acoustic analysis findings in objective


laryngopharyngeal reflux patients. Journal of voice. 2005; 21(2); p. 203210
24. Khan AM, Hashmi SR, Elahi F, Tariq M, Ingrams DR. Laryngopharyngeal
reflux : a literature review. 2006; 4; p. 221-225
25. Kornel Y, Sarbini Basriyadi S, Madiadipoera T HS. Efektivitas terapi
omeprazole terhadap perbaikan gejala klinis dan patologi laring pada
penderita refluks laringofaring. [cited 2011 Des 05] Available from
http//www.mkb-online.org/index.php
26. Belafsky PC, Pstma GN, Koufman JA. The validity and reliability of the
reflux finding score (RFS).The American laryngologycal, rhinological, and
the otological society, Inc. Philadelphia. 2001; 111; p. 1313-1317.
27. Yunizaf

M.

Penyakit

refluks

gastroesofagus

dengan

manifestasi

otolaringologi. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, eds. Buku Ajar Ilmu


Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta
: Balai Penerbit FKUI, 2007 : 303-310.
28. Muderris T, Gukcan K. The clinical value of pharyngeal pH monitoring
using

double-probe,

triple

sensor

catheter

in

patients

with

laryngopharyngeal reflux. Arch Otolaryngol Head and Neck Surg. 2009;


135 (2); p : 163-167.
29. Lam PKY, manwa, Cheung TK, Wong BYH, Tan VP, Fong DY, et al.
rabenprazole is effective in treating laryngopharyngeal reflux in a
randomized placebo controlled trial. Clinical gastroenterology and
30.

hepatology 2010;8;770776
Stavroulaki P. Diagnostic

and

management

problems

of

laryngopharyngeal reflux disease in children. International journal of


pediatric otorhinolaryngology. 2005; 70; 579-590.
31. Youssef TF, Ahmed MR. Treatment of

clinically

diagnosed

laryngopharyngeal reflux disease. Arch Otolaryngol Head and Neck Surg.


2010; E1-E4.
32. Sjamsuhidjat R, Jong Wd. Esofagus dan diafragma. Buku ajar ilmu bedah.
Edisi revisi. Jakarta-Indonesia. Penerbit buku kedokteran EGC, 1997.
Hal : 681-683.

31

Tinjauan Pustaka

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAN


LARYNGOPHARYNGEAL REFLUX

32

Oleh :

Rini Rahma Wulandari

Pembimbing :

dr. Sofjan Effendi, SpTHT-KL

BAGIAN IKTHT-KL FK UNSRI/


DEPARTEMEN IKTHT-KL RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN
PALEMBANG
2011

33.
34.
35.
36. Barry DW, Vaezi MF. Laryngopharyngeal reflux : more questions than
answers. 2010. Cleveland clinic journal of medicine, Vol 77, No 5, p. 32734

33

37. Stavroulaki P. Diagnostic and management problems of laryngopharyngeal


reflux disease in children. 2006. International journal of pediatric
otorhinolaryngology. Vol 70, p. 579-90
38. Rouev P, Chakarski I, Doskov D. Laryngopharyngeal symptoms and
gastropharyngeal reflux disease. 2004. Journal of voice, Vol 19, No 3, p.
476-80

34

35

Walaupun berbagai dugaan dilaporkan, namun patogenesis RLF belum


diketahui secara pasti. Penyebab RLF diduga adalah multifaktorial.

Outcomes (1)
Patients with LPR often take several months to resolve their symptoms and
laryngeal abnormalities once appropriate therapy is initiated. Although many
patients have symptomatic improvement after 2 months of therapy, laryngeal
examination findings continue to improve for up to 6 months after initiation of
antireflux therapy. One study showed that approximately 50% of LPR patients on
twice-daily PPI therapy have symptomatic improvement at 2 months, and an
additional 22% improve from 2 to 4 months after initiating therapy.13 Even
fundoplication surgery does not result in immediate improvement in LPR, and
symptoms and examination findings continue to show improvement from 4 to 14
months after fundoplication.

13. Yunizaf M, Iskandar N. Penyakit refluks gastroesofagus dengan manifestasi


otolaringologi. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, eds. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke-6. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI, 2007 : 303-9.

Gerakan laring dilaksanakan oleh kelompok otot-otot ekstrinsik dan intrinsik.


Otot-otot ekstrinsik terbagi menjadi 2 yaitu suprahioid dan infrahioid. Otot-otot
36

suprahioid ialah m. digastrikus, m. geniohioid, m. stilohioid, dan m. milohioid.


Otot-otot intrinsik terdiri dari m. krikoaritenoid lateral, m. tiroepiglotika, m.
vokalis, m. tiroaritenoid, m. ariepiglotika dan m. krikotiroid yang terletak di
bagian lateral laring, sedangkan di bagian posterior laring terdapat m. aritenoid
transverum, m. aritenoidnoblik, dan m. karikoaritenoid posterior.^,^^,**

Terdiri dari cricopharyngeus, thyropharyngeus, dan esofagus proksimal


serviks, UES menempel pada kartilago tiroid dan krikoid dan membentuk sling C
berbentuk yang membungkus di sekitar kerongkongan serviks dengan persarafan
dari pleksus faring, jaringan saraf terdiri dari kontribusi dari unggul dan berulang
laring saraf, saraf glossopharingeus, dan sympathetics dari ganglion cervicalis
superior.12

esomeprazole magnesium, 40 mg, plus amoxicillin


sodium, 1 g, and clarithromycin, 500 mg) in the
treatment of LPRD with HP infection might result in a
higher cure rate.

Sejumlah besar penelitian mengangkat isu mengenai peran infeksi Helicobacter


pylori (HP) dalam patofisiologi mekanisme GERD, walaupun perannya dalam
LPR belum begitu banyak diteliti. Berdasarkan penelitian Tarek dkk di Mesir
tahun 2010 terhadap 212 pasien dengan keluhan LPR yang di evaluasi dengan
menggunakan

pH monitoring, laringoskopi, dan Helicobacter pylori stool

antigen (HPSA), membandingkan esomeprazol monoterapi dengan esomeprazol


yang digabungkan dengan amoksisilin dan clarithromycin (triple therapy) pada
pasien dengan infeksi HP. Dari hasil penelitian tersebut pasien dengan tes HPSA
positif ditemukan pada 57% populasi. Pasien dengan tes HPSA negatif diterapi
dengan esomeprazol tunggal dengan hasil 96,6% pasien dilaporkan mengalami
perbaikan.

37

Pasien dengan tes HPSA positif dibagi menjadi 2 kelompok, dimana kelompok
pertama hanya mendapat terapi esomeprazol tunggal dengan perbaikan klinis
hanya pada 40%, sedangkan kelompok kedua diterapi dengan esomeprazol
ditambah amoksisilin sodium dan clarithromycin (triple therapy) dan hasilnya
menunjukkan 90% populasi memperoleh perbaikan gejala. Sebagai kesimpulan
penggunaan triple therapy (esomeprazole magnesium 40 mg, ditambah
amoksisilin sodium 1 g, dan clarithromycin 500 mg) dalam penatalaksanaan LPR
dengan infeksi HP menunjukkan tingkat kesembuhan yang tinggi.

The Validity and Reliability of the


Reflux
Finding Score (RFS)
Peter C. Belafsky, MD, PhD; Gregory N. Postma, MD; James A. Koufman, MD.
The Laryngoscope
Lippincott Williams & Wilkins, Inc., Philadelphia
2001 The American Laryngological,
Rhinological and Otological Society, Inc.

Treatment of Clinically
Diagnosed
Laryngopharyngeal
Disease
Tarek Fouad Youssef, MD; Mohamed Rifaat Ahmed, MD

Arch Otolaryngol Head Neck Surg.


Published online September 20, 2010.
doi:10.1001/archoto.2010.165

Esophageal Physiology
Esophageal Body
Esophageal Transport by Gravity

38

Reflux

In the resting condition, the esophageal body has a small amount of tone, but it is
largely quiescent and may contain small amounts of air and reflect intrathoracic
pleural pressures. Upon swallowing a bolus of liquid or barium in the upright
position, the bolus is pumped back by the tongue into the pharynx. The bolus then
travels quickly from the pharynx to the esophagus, and then through the
esophagus into the stomach. The radiologic examination reveals that the head of a
liquid barium bolus normally enters the stomach within a few seconds of initiating
the swallow. This bolus transport through the esophagus is largely due to gravity.
Such a fast movement of the liquid bolus does not occur in the supine posture.
The tail of the bolus, however, is swept down by a progressive peristaltic
contraction. Bolus of solid food also requires peristaltic contraction for its
propulsion into the stomach. It takes approximately 8 to 10 seconds from
initiation of the swallow to entry into the stomach (Figure 6). Thus, the head of
the liquid barium bolus moves much faster than its tail in the upright posture, but
the two move at about the same speed in the recumbent posture. Thus, careful
attention to the movement of the tail of the bolus would be most relevant in
assessing disorders of esophageal peristalsis.
Figure 6: Simultaneous manometry and fluoroscopy of barium swallow in a normal subject.

Fluoroscopy shows that on swallowing, the barium column moves down the
esophagus. Such barium movement occurs largely due to passive forces in the
esophagus and is very marked in the upright position. The tail of the barium
column moves down the esophagus by the peristaltic contraction. Note that the
onset of peristalsis corresponds with the tail of the barium column. Also note that
onset of peristaltic contraction at level 1 occurred at 8.5 sec after a swallow, at
which time the barium column is pushed down to the lower 1 cm of the
esophagus. (Source: Modified from Dodds WJ, Christensen J, Dent J, Arndorfer
RC, Wood JD. Pharmacologic investigation of primary peristalsis in smooth
muscle portion of opossum esophagus. Am J Physiol 1979;237(6):E561E566,
with permission from the American Physiological Association.)
Primary Peristalsis

Primary peristalsis is defined as a reflex esophageal peristaltic contraction wave


associated with swallowing. It involves all phases of the swallowing reflex
including the oral phase, pharyngeal peristalsis, UES relaxation, esophageal
peristalsis, and LES relaxation. A marker of the start of the swallowing activity is
contraction of the mylohyoid muscle, which is called the lead muscle of

39

swallowing reflex. The peristaltic contractions are lumen-occluding contractions


lasting 2 to 7 seconds that begin in the pharynx and move down the esophagus at a
speed of about 4 cm/sec in the esophagus. The overall velocity of peristalsis in the
esophagus is 4 cm/sec and it takes between 10 and 15 seconds to complete a
primary peristaltic activity.
In the same individual and under the same conditions, the characteristics of the
peristaltic wave remain rather constant on serial swallows and appear unaffected
by aging. The esophageal peristalsis can be poor in premature infants. Several
factors influence the amplitude, duration, and propagation velocity of the
contraction wave in the esophagus: esophageal site; posture of the patient;
consistency, size, and temperature of the food bolus; and resistance to the
movement of the bolus.
The contraction amplitude is highest in the lower esophagus [69.5 12.1 mmHg,
mean standard error (SE)] and lowest in the mid-esophagus (35.0 6.4 mmHg).
The area of lower pressure wave corresponds to the region of mixed striated and
smooth muscles. The upper esophagus measures 53.4 9.0 mmHg. The duration of
the contraction waves increases progressively in the distal parts of the esophagus.
The propagation of the wave is fastest in the upper esophagus, and decreases in
the middle and lower esophagus.
The strength of contraction is less when the patient is upright compared to supine,
and a liquid food bolus is associated with longer duration, stronger contraction,
and slower propagation compared to a dry bolus of swallowed air. A larger bolus
of food leads to stronger contractions. Warm boluses of food increase, whereas
cold boluses decrease, the strength of contraction. The osmolality does not appear
to affect the contraction wave. Increased abdominal pressure, as in the Valsalva
maneuver, or strictures leading to outflow obstruction in the esophagus will slow
the propagation of the contraction.
Although normal contraction waves generally sweep all material into the stomach,
weaker contractions (generally less than 30 mmHg in the lower esophagus) may
leave food residue behind. When there is outlet obstruction at the lower
esophagus, or decreased esophageal wall compliance, resistance to the movement
of the bolus (as indicated by increased intrabolus pressures) is increased, and a
liquid bolus may flow back up through the ineffective contraction wave.
Secondary Peristalsis

Residual food in the esophagus, as seen with ineffective peristalsis, may be


cleared by what is called secondary peristalsis. Secondary peristalsis does not
involve full swallowing reflex. Instead it is a reflex that involves esophageal
afferents and peristaltic activity restricted to the esophagus. It is not accompanied
by pharyngeal contraction or UES relaxation. The amplitude and propagation
speed of these contractions resemble those of primary peristalsis. Secondary

40

peristalsis can be elicited experimentally by transiently distending the esophagus


by a balloon in the lumen, or by air and water boluses. However, there are some
differences in the ensuing secondary peristalsis depending on the region of the
esophagus that was distended. The distention can also elicit a primary peristalsis.
In the striated muscle portion of the esophagus in animals, there is no difference
between primary and secondary peristalsis other than association with a
pharyngeal swallow and the method of initiation. Both are dependent on central
vagal pathways. In humans, balloon distention in the esophagus may lead to a
pharyngeal peristaltic wave that progresses from the striated to the smooth muscle
portions of the esophagus.
In the smooth muscle part of the esophagus, secondary peristalsis is a local reflex
elicited by local sensory nerves. It is similar to peristaltic reflex in the intestine.
Distention of the esophagus causes activation of local sensory nerves that elicits
contraction above the distention and relaxation below it. The contraction wave
(secondary peristalsis) then progresses distally, moving the food bolus ahead of it.
Tertiary Contractions or Nonperistaltic Contractions

The term tertiary contraction is no longer used and it is not seen normally. In the
past, it was applied to nonperistaltic contractions, which are contractions that lose
their progressive character and occur simultaneously throughout the esophagus.
On barium swallow, the nonperistaltic contractions may give the appearance of a
corkscrew or a beaded esophagus.
Esophageal Propulsive Force

When the passage of a bolus of solid food is obstructed because of a mechanical


obstruction in the esophagus, a sustained propulsive force that attempts to
overcome this obstruction is exerted on the bolus. In humans, when a balloon is
inflated in the esophageal lumen and anchored so that it is not allowed to migrate,
a traction force of up to 200 g representing the esophageal propulsive force is
generated on the balloon. This force is generated by contractions of the muscles
above the balloon. The propulsive force increases with increasing size of the bolus
and is greater in the lower than in the upper esophagus. While the balloon is
anchored, or the food bolus is impacted, the esophagus distal to the balloon or the
bolus remains relaxed by the distally projecting intramural inhibitory nerves. The
sustained propulsive force is converted into the force of peristaltic contraction
when the bolus is allowed to move or the experimental balloon is deflated. Muscle
contractions producing sustained propulsive force may be responsible for the
sensation of food sticking or dysphagia that may escalate into severe spasm-like
chest pain. The esophageal propulsive force is reflexively mediated and involves
both central and local afferent and efferent pathways.
Deglutitive Inhibition

41

The swallow-evoked peristaltic contraction consists of a wave of inhibition


followed by that of contraction. The wave of inhibition that precedes peristaltic
contraction is called deglutitive inhibition (Figure 7).
Figure 7: Demonstration of deglutitive inhibition in human esophagus.

In these studies intraesophageal pressure was artificially raised by inflating an


intraluminally placed balloon, and esophageal responses to swallows were
studied. In the left panel the balloon is 13 cm above the LES, and in the right
panel the balloon is 8 cm above the LES. Swallows caused a fall in the artificially
elevated esophageal pressures that were followed by peristaltic contraction. Note
that the duration of swallow-induced fall in pressure at 13 cm is shorter than that
at 8 cm. These studies show that the latency period before the onset of the
peristalsis is in fact a period of inhibition, and that there is a gradient of increasing
duration of deglutitive inhibition distally along the esophagus. (Source: Sifrim D,
Janssens , Vantrappen G. A wave of inhibition precedes primary peristaltic
contractions in the human esophagus. Gastroenterology 1992;103(3):876882,
with permission from the American Gastroenterological Association.)
The phenomenon of deglutitive inhibition is essential for drinking of fluids at a
rate faster than one swallow every 10 seconds. This is because the esophageal
contraction in response to a single swallow lasts 8 to 10 seconds, and this will
obstruct the bolus of a second swallow taken less than 8 second afterward.
However, during the usual drinking of water, swallows may be accomplished
every 1 to 2 seconds. This is made possible by the phenomenon of deglutitive
inhibition in which a swallow abruptly inhibits any ongoing contraction in the
esophagus. When multiple swallows are taken in rapid succession, the esophageal
body remains inhibited until the last of the series of swallow, after which there is a
fully conducted peristaltic contraction wave (Figure 8).
Figure 8: Diagramatic representation of manometric tracing demonstrating deglutitive
inhibition.

Note that the subject is making repeated swallows every 1 to 2 seconds. During
the swallows there is no activity in the esophagus. The last swallow was followed
by a peristatic contraction.
42

Refractory Period

Esophageal peristaltic contractions are followed by a period of refractoriness


during which the esophageal muscle is poorly responsive or nonresponsive to
excitatory stimuli. The deglutitive inhibition and refractoriness may inhibit
contractile responses to swallows that are taken at close intervals of less than 10 to
15 seconds apart.

43

Anda mungkin juga menyukai