SEPSIS NEONATORUM
Disusun Oleh :
1. Hajar Dewi Rizqi (7307005)
JOMBANG
1
BAB I
PENDAHULUAN
Infeksi merupakan salah satu penyebab terpenting morbiditas dan mortalitas pada
bayi baru lahir. Sepsis berhubungan dengan angka kematian 13% - 50% dan
kemungkinan morbiditas yang kuat pada bayi yang bertahan hidup. (Fanaroff & Martin,
1992). Infeksi pada neonatus di negeri kita masih merupakan masalah yang gawat. Di
Jakarta terutama di RSCM, infeksi merupakan 10 – 15% dari morbidilitas perinatal.
Infeksi pada neonatus lebih sering di temukan pada BBLR. Infeksi lebih sering
ditemukan pada bayi yang lahir di rumah sakit dibandingkan dengan bayi yang lahir di
luar rumah sakit. Dalam hal ini tidak termasuk bayi yang lahir di luar rumah sakit dengan
cara septik.
1.2 Tujuan
BAB II
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sepsis adalah sindrome yang di karakteristikan oleh tanda-tanda klinis dan gejala-
gejala infeksi yang parah, yang dapat berkembang ke arah septisemia dan syok septik.
(Marilynn E. Doenges, 1999).
Sepsis adalah bakteri umum pada aliran darah. (Donna L. Wong, 2003).
Sepsis neonatorum atau septikemia neonatal didefinisi sebagai infeksi bakteri pada
aliran darah bayi selama empat minggu pertama kehidupan. (Bobak, 2004).
Sepsis adalah infeksi bakteri generalisata yang biasanya terjadi pada bulan pertama
kehidupan. (Mary E. Muscari, 2005).
Neonatus sangat rentan karena respon imun yang belum sempurna. Angka
mortalitas telah berkurang tapi insidennya tidak. Faktor resiko antara lain, prematuritas,
prosedur invasif, penggunaan steroid untuk masalah paru kronis, dan pajanan nosokomial
terhadap patogen. Antibodi dalam kolostrum sangant efeektif melawan bakteri gram
negatif, oleh sebab itu, menyusui ASI memberi manfaat perlindungan terhadap infeksi.
2.2 Etiologi
Infeksi pada neonatus dapat melalui beberapa cara. Blanc (1961) membaginya
menjadi 3 golongan, yaitu:
1. Infeksi antenatal
Kuman mencapai janin melalui sirkulasi ibu ke plasenta. Di sini kuman itu
melalui batas plasenta dan menyebabkan intervilositis. Selanjutnya infeksi
melalui sirkulasi umbilikus dan masuk ke janin.
2. Infeksi intranatal
3
Infeksi melalui jalan ini lebih sering terjadi dari pada cara lain.
Mikroorganisme dari vagina naik dan masuk ke dalam rongga amnion setelah
ketuban pecah. Ketuban pecah lama (jarak waktu antara pecahnya ketuban dan
lahirnya bayi lebih dari 12 jam) memunyai peranan penting terhadap timbulnya
plasentitis dan amnionitis. Infeksi dapat pula terjadi walaupun ketuban masih
utuh (misalnya ada partus lama dan seringkali dilakukan manipulasi vagina).
3. Infeksi pascanatal
Infeksi ini terjadi sesudah bayi lahir lengkap. Sebagian besar infeksi berakibat
fatal terjadi sesudah lahir sebagai akibat kontaminasi pada saat penggunaan alat
atau akibat perawatan yang tidak steril atau akibat infeksi silang.
Faktor-faktor yang mempengaruhi sepsis pada bayi baru lahir dapat di bagi
menjadi tiga kategori :
• Faktor lingkungan : yang dapat menjadi faktor predisposisi bayi selama sepsis
meliputi, tetapi tidak terbatas pada, buruknya praktik cuci tangan dan teknik
perawatan, kateter umbilikus arteri dan vena, selang sentral, berbagai
pemasangan kateter, selang endootrakea, teknologi invasif, dan pemberian susu
formula.
• Faktor penjamu : jenis kelamin laki-laki, bayi prematur, berat lahir rendah, dan
kerusakan mekanisme pertahanan diri penjamu. (Bobak, 2004)
Bakteri, virus, jamur, dan protozoa (jarang) dapat menyebabkan sepsis neonatus.
Penyebab yang paling sering dari sepsis mulai awal adalah streptokokus group B (SGB)
dan bakteri enterik yang didapat dari saluran kemih ibu. Sepsi mulai akhir disebabkan
oleh SGB, virus herpes simpleks (HSV), entero virus dan E. Coli K1. Pada bayi dengan
berat badan lahir sangat rendah, candida dan stafilokokus koagulase negatif (CONS),
merupakan patogen yang paling umum mulai akhir. (Nelson, hal. 653).
4
2.3 Patofisiologi
Neonatus sangat rentan terhadap infeksi sebagai akibat rendahnya imunitas non
spesifik (inflamasi) dan spesifik (humoral), seperti rendahnya fagositosis, keterlambatan
respon kemotaksis, minimal atau tidak adanya imunoglobulin A dan imunoglobulin M
(IgA dan IgM), dan rendahnya kadar komplemen.
Sepsis pada periode neonatal dapat diperoleh sebelum kelahiran melalui plasenta
dari aliran darah maternal atau selama persalinan karena ingesti atau aspirasi cairan
amnion yang terinfeksi.
Sepsis awal (kurang dari 3 hari) didapat dalam periode perinatal, infeksi dapat
terjadi dari kontak langsung dengan organisme dari saluran gastrointestinal atau
genitourinaria maternal. Organisme yang paling sering menginfeksi adalah streptokokus
group B (GBS) dan escherichia coli, yang terdapat di vagina. GBS muncul sebagai
mikroorganisme yang sangat virulen pada neonatus, dengan angka kematian tinggi
(50%) pada bayi yang terkena Haemophilus influenzae dan stafilokoki koagulasi negatif
juga sering terlihat pada awitan awal sepsis pada bayi BBLSR.
Infeksi pascanatal didapat dari kontaminasi silang dengan bayi lain, personel, atau
benda – benda dilingkungan. Bakteri sering ditemukan dalam sumber air, alat pelembab,
pipa wastafel, mesin penghisap, kebanyakan peralatan respirasi, dan kateter vena dan
arteri terpasang yang digunakan untuk infus, pengambilan sampel darah, pemantauan
tanda vital. (Donna L. Wong, 2009).
Proses patofisiologi sepsis dimulai dengan invasi bakteri dan kontaminasi sistemik.
Pelepasan endotoksin oleh bakteri menyebabkan perubahan fungsi miokardium,
5
perubahan ambilan dan penggunaan oksigen terhambatnya fungsi mitokondria, dan
kekacauan metabolik yang progresif. Pada sepsis yang tiba-tiba dan berat, complemen
cascade menimbulkan banyak kematian dan kerusakan sel. Akibatnya adalah penurunan
perfusi jaringan, asidosis metabolik, dan syok, yang mengakibatkan disseminated
intravaskular coagulation (DIC) dan kematian.( Bobak, 2004).
Syok didefinisikan dengan tekanan sistolik dibawah persentil ke-5 menurut umur
atau didefinisikan dengan ekstremitas dingin. Pengisian kembali kapiler yanng terlambat
(>2 detik) dipandang sebagai indikator yang dapat dipercaya pada penurunan perfusi
perifer. Tekanan vaskuler perifer pada syok septik (panas) tetapi menjadi sangat naik
pada syok yang lebih lanjut (dingin). Pada syok septik pemakaian oksigen jaringan
melebihi pasokan oksigen. Ketidakseimbangan ini diakibatkan oleh vasodilatasi perifer
pada awalnya, vasokonstriksi pada masa lanjut, depresi miokardium, hipotensi,
insufisiensi ventilator, anemia. (Nelson, 1999).
6
dengan perubahan hemodinamik, ketidakseimbangan fungsi seluler, dan kegagalan
sistem multipel. (Marilynn E. Doenges, 1999).
• Umum : panas, hipotermia, tampak tidak sehat, malas minum, letargi, sklerema.
• Saluran cerna : distensi abdomen, anoreksia (nafsu makan buruk), muntah, diare,
hepatomegali.
• Saluran nafas : apneu, dispneu, takipneu, retraksi, nafas tidak teratur, merintih,
sianosis.
• Sistem sirkulasi : pucat, sianosis, kulit dingin, hipotensi, edema, denyut jantung
tidak beraturan. (Kapita Selekta, 2000).
BAB III
3.1 Pengkajian
A. Biodata
7
• Umur neonatus (0 – 28 hari)
B. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan utama
• Panas
2. Riwayat Kehamilan
3. Riwayat Persalinan
• Prematuritas/BBLR/BBLSR.
• Jenis kelamin laki-laki (laki-laki 4 kali lebih sering terkena sepsis dari
pada perempuan).
C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
• Lemah, Koma.
2. Inspeksi
• Kulit: ptekie.
3. Palpasi
• Distensi abdomen.
5. Auskultasi
6. Laboratorium
Nilai HDL yang paling penting ialah hitung sel darah putih (SDP). Bayi
yang mengalami sepsis biasanya menunjukkan penurunan nilai SDP,
yakni <5000 mm3.
• Trombosit
• Kultur darah
Jumlah rata-rata leukosit di dalam CSS bayi baru lahir adalah sel/mm3
dan kisaran normal dapat mencapai 20 sel/mm3. Kadar protein CSF pada
9
bayi cukup bulan adalah 90mg/dl dan 120 mg/dl pada bayi kurang bulan.
Pungsi lumbal traumatik dapat memberikan hasil yang tidak dapat
diintepretasikan, karena penggunaan faktor koreksi yang berdasarkan
pada jumlah eritrosit di dalam CSF dan di dalam cairan perifer sering
tidak adekuat untuk menentukan jumlah leukosit dan kadar protein yang
sebenarnya didalam CSS.
• Kultur urin
Urin untuk pemeriksaan aglutinasi lateks dan kultur juga dapat dilakukan.
3.2 Diagnosa
1. Hipertermia b/d efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus, perubahan
pada reagulasi temperatur.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d kondisi yang mempengaruhi masukan
nutrisi.
9. Resiko pemajanan infeksi ke bayi lain b/d penurunan sistem imun dan pemajanan
lingkungan (nosokomial).
10. Ketakutan pada keluarga b/d ketidakberdayaan (ancaman pada kesejahteraan pada diri
anak).
10
3.3 Intervensi
1. Diagnosa : Hipertermia b/d efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus,
perubahan pada reagulasi temperatur.
Kriteria Hasil : Mendemonstrasikan suhu dalam bata normal, bebas dari kedinginan.
Tidak mengalami komplikasi yang berhubungan.
Intervensi Rasional
Mandiri
Pantau suhu pasien (derajat dan pola), Suhu 38,9° - 41,1° C menunjukkan proses
perhatikan menggigil/diaforesis penyakit infeksius akut. Menggigil sering
mendahului puncak suhu.
Kolaborasi
Berikan antipiretik, misalnya ASA (aspirin), Digunakan untuk mengurangi demam dengan
asetaminofen (Tylenol). aksi sentralnya pada hipotalamus, meskipun
demam mungkin dapat berguna dalam
membatasi pertumbuhan organisme, dan
meningkatkan autodestruksi dari sel-sel yang
terinfeksi.
2. Diagnosa : Diare b/d iritasi usus sekunder akibat organisme yang menginfeksi.
Intervensi Rasional
11
Observasi frekuensi defekasi, karakteristik, Diare sering terjadi akibat mikroba yang
dan jumlah. masuk kedalam usus.
Dorong diet tinggi serat dalam batasan diet, Meningkatkan konsistensi feses. Meskipun
dengan masukan cairan sedang sesuai diet cairan perlu untuk fungsi tubuh optimal,
yang dibuat. kelebihan jumlah mempengaruhi diare.
Bantu perawatan peringeal sering, gunakan Iritasi anal, ekskoriasi dan pruritus dapat
salep sesuai indikasi. Berikan rendam pada terjadi karena diare.
pusaran air.
3. Diagnosa : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d kondisi yang mempengaruhi
masukan nutrisi.
Kriteria Hasil : Menunjukkan penambahan berat badan dan bebas dari tanda
malnutrisi.
Intervensi Rasional
Kaji status nutrisi secara kontinu, selama Memberikan kesempatan untuk mengobservasi
perawatan setiap hari, perhatikan tingkat penyimpangan dari normal/dasar pasien dan
energi, kondisi kulit, kuku, rambut, rongga mempengaruhi pilihan intervensi.
mulut, keinginan untuk makan/anoreksia.
Timbang berat badan setiap hari dan Membuat data dasar, membantu dalam
bandingkan dengan berat badan saat memantau keefektifan aturan terapeutik.
penerimaan.
Kaji fungsi GI dan toleransi pada pemberian Karena pergantian protein dari mukosa GI
makanan enteral, catat bising usus, keluhan terjadi kira-kira setiap 3 hari, saluran GI
12
mual/muntah, ketidaknyamanan abdomen, beresiko tinggi pada disfungsi dini dan atrofi
adanya diare / konstipasi, terjadinya dari penyakit dan malnutrisi.
kelemahan dan takikardia.
4. Diagnosa : Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan b/d reduksi aliran darah.
Intervensi Rasional
Mandiri
Pertahankan tirah baring, bantu dengan Menurunkan beban kerja miokard dan
aktivitas perawatan. konsumsi O2, maksimalkan efektivitas dari
perfusi jaringan.
Pantau frekuensi dan irama jantung. Bila terjadi takikardi, mengacu pada stimulasi
sekunder sistem saraf simpatis untuk
menekankan respon dan untuk menggantikan
kerusakan pada hipovolumia relatif dan
hipertensi.
Perhatikan kualitas/kekuatan dari denyut Pada awal nadi cepat/kuat karena peningkatan
perifer curah jantung. Nadi dapat menjadi
lemah/lambat karena hipotensi terus menerus,
penurunan curah jantung, vasokonstriksi
13
perifer jika terjadi status syok.
Kaji frekuensi pernafasan, kedalaman, dan Peningkatan pernafasan terjadi sebagai respon
kualitas. Perhatikan dispnea berat. terhadap efek-efek langsung dari endotoksin
pada pusat pernafasan di dalam otak, dan juga
perkembangan hipoksia, stres dan demam.
Pernafasan dapat menjadi dangkal bila terjadi
insufisiensi pernafasan, menimbulkan resiko
kegagalan pernafasan akut.
Catat haluaran urin setiap jam dan bertat Penurunan haluara urin dengan peningkatan
jenisnya. berat jenis akan mengindikasikan penurunan
perfungsi ginjal yang dihubungkan dengan
perpindahan cairan dan vasokonstriksi
selektif.
Evaluasi kaki dan tangan bagian bawah untuk Stasis vena dna proses infeksi dapat
pembengkakan jaringan lokal, eritema. menyebabkan perkembangan trombosis.
Catat efek obat-obatan, dan pantau tanda- Dosis antibiotik masif sering dipesankan. Hal
tanda keracunan ini memiliki efek toksik berlebihan bila
perfusi hepar/ ginjal terganggu.
Kolaborasi
5. Diagnosa : Resiko terhadap kerusakan integritas kulit b/d edema dan imobilitas.
14
Intervensi Rasional
Ubah posisi sering di tempat tidur dan kursi. Meningkatkan sirkulasi, tonus otot, dan gerak
Rekomendasikan 10 menit latihan setiap jam tulang sendi.
dan lakukan rentang gerak.
Gunakan jadwal rotasi dalam membalikkan Memberikan waktu lebih lama bebas dari
pasien. tekanan, mencegah gerakan yang
menimbulkan pengelupasan dan robekan
yang dapat merusak jaringan rapuh.
Intervensi Rasional
Mandiri
Catat/ukur pemasukan pengeluaran urin dan Penurunan haluaran urin dan berat jenis akan
berat jenisnya
menyebabkan hipovolemia.
Pantau tekanan darah dan denyut jantung Pengeluaran dalam sirkulasi volume cairn
dapat mengurangi tekanan darah/CVP,
mekanissme kompensasi awal dari takikardia
untuk meningkatkan curah jantung dan
meningkatkan darah sistemik.
Kaji membrane mukosa, turgor kulit dan rasa Hipovolemia/cairan ruang ketiga akan
haus
15
memperkuat tanda-tanda dehidrasi.
Kolaborasi
Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian Sejumlah besar cairan mungkin dibutuhkan
cairan IV
untuk mengatasi hipovolemia relatif
(vasodilatasi perifer), menggantikan
kehilangan dengan meningkatkan
permeabilitas kapiler (misalnya penumpukan
cairan di dalam rongga peritoneal) dan
meningkatkan sumber-sumber tak kasat mata
(misalnya demam dan diaforesis).
7. Diagnosa : Resiko tinggi terhadap ganggun pertukaran gas b/d edema pada paru-paru.
Intervensi Rasional
• Kaji pernafasan setiap jam, catat • Ubah posisi setiap 2 jam untuk
kualitas, irama, pola, kedalaman, dan bergerak dan drainase sekret.
otot penafasan. Tentukan posisi anak dalam posisi
yang benar untuk mengoptimalkan
• Kaji saluran nafas setiap hari.
pernafasan.
• Kaji perubahan perilaku dan orientasi.
• Suction diperlukan untuk
• Monitor ABC dan catat perubahan membersihkan sekrat.
16
8. Diagnosa : Pola nafas tidak efektif b/d perubahan pada suplai O2.
Intervensi Rasional
Auskultasi bunyi nafas. Perhatikan krekels, Kesulitan pernafasan dan munculnya bunyi
mengi, area yang mengalami penurunan / adventisinius merupakan indikator dari
kehilangan ventilasi. kongesti pulmonal/edema interstisial.
Etelektasis.
Selidiki perubahan pada sensorium, agitasi, Fungsi serebral sangat sensitif terhadap
kacau mental, perubahan kepribadian, penurunan oksigenasi.
delirium, koma.
17
9. Diagnosa : Resiko pemajanan infeksi ke bayi lain b/d penurunan sistem imun dan
pemajanan lingkungan (nosokomial).
Intervensi Rasional
Batasi penggunaan alat/prosedur invasif jika Mengurangi jumlah lokasi yang dapat
memunngkinkan. menjadi tempat masuk organisme.
Dapatkan spesimen urine, darah, sputum, Identifikasi terhadap portal entri dan
luka, jalur invasif sesuai petunjuk pewarnaan organisme penyebab septisemia adalah
gram, kultur dan sensitivitas. penting bagi efektivitas pengobatan.
Kriteria Hasil : Keluarga bisa menerima keadaan yang dialami oleh anaknya.
Intervensi Rasional
Berikan penjelasan pada orang tua tentang Untuk mengurangi kecemasan yang dialami
kesehatan anak. oleh orang tua.
Dorong orang tua untuk memberikan Tujuan terapeutik pada anak maksimal.
perhatian yang lebih pada anak.
18
3.4 Implementasi
3.5 Evaluasi
BAB IV
PENUTUP
19
4.1 Kesimpulan
Sepsis neonatorum atau septikemia neonatal didefinisi sebagai infeksi bakteri pada
aliran darah bayi selam empat minggu pertama kehidupan. Penyebabnya dimulai pada
infeksi antenatal, infeksi intranatal, infeksi postnatal.
4.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Jual, Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8. Jakarta: EGC, 2000.
20
FKUI, Ilmu Kesehatan Anak.
Gulanick, Meg. Puzas, Knol Michele. Wilson, R. Cynthia, Nursing Care Plans for Newborns
and Children : acute and critical care. USA : 1992.
Mansjoer, Arif, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Media Aesculapius: FKUI, 2000.
Wilkinson, M. Judith, Buku Saku Diagnosa Keperawatan NIC NOC edisi 7. Jakarta : EGC,
2006.
Wong, L. Donna, Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Vol. 1. Jakarta: EGC, 2009.
21