Anda di halaman 1dari 21

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK

SEPSIS NEONATORUM

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Anak Yang Telah


Di Berikan

Disusun Oleh :
1. Hajar Dewi Rizqi (7307005)

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS PESANTREN TINGGI DARUL ’ULUM

JOMBANG

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi merupakan salah satu penyebab terpenting morbiditas dan mortalitas pada
bayi baru lahir. Sepsis berhubungan dengan angka kematian 13% - 50% dan
kemungkinan morbiditas yang kuat pada bayi yang bertahan hidup. (Fanaroff & Martin,
1992). Infeksi pada neonatus di negeri kita masih merupakan masalah yang gawat. Di
Jakarta terutama di RSCM, infeksi merupakan 10 – 15% dari morbidilitas perinatal.

Infeksi pada neonatus lebih sering di temukan pada BBLR. Infeksi lebih sering
ditemukan pada bayi yang lahir di rumah sakit dibandingkan dengan bayi yang lahir di
luar rumah sakit. Dalam hal ini tidak termasuk bayi yang lahir di luar rumah sakit dengan
cara septik.

Sepsis neonatus, sepsis neonatorum, dan septikemia neonatus merupakan istilah


yang telah digunakan untuk menggambarkan respon sistemik terhadap infeksi pada bayi
baru lahir. Ada sedikit kesepakatan pada penggunaan istilah secara tepat, yaitu apakah
harus dibatasi pada infeksi bakteri, biakan darah positif, atau keparahan sakit. Kini, ada
pembahasan yang cukup banyak mengenai definisi sepsis yang tepat dalam kepustakaan
perawatan kritis.

1.2 Tujuan

• Untuk memenuhi tugas keperawatan anak.

• Untuk mengetahui definisi tentang sepsis neonatorum.

• Untuk mengetahui perjalanan penyakit dari sepsis neonatorum sehingga dapat


memunculkan masalah-masalah keperawatan.

• Untuk mempelajari askep sepsis neonatorum.

BAB II
2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Sepsis adalah sindrome yang di karakteristikan oleh tanda-tanda klinis dan gejala-
gejala infeksi yang parah, yang dapat berkembang ke arah septisemia dan syok septik.
(Marilynn E. Doenges, 1999).

Sepsis adalah bakteri umum pada aliran darah. (Donna L. Wong, 2003).

Sepsis neonatorum atau septikemia neonatal didefinisi sebagai infeksi bakteri pada
aliran darah bayi selama empat minggu pertama kehidupan. (Bobak, 2004).

Sepsis adalah infeksi bakteri generalisata yang biasanya terjadi pada bulan pertama
kehidupan. (Mary E. Muscari, 2005).

Neonatus sangat rentan karena respon imun yang belum sempurna. Angka
mortalitas telah berkurang tapi insidennya tidak. Faktor resiko antara lain, prematuritas,
prosedur invasif, penggunaan steroid untuk masalah paru kronis, dan pajanan nosokomial
terhadap patogen. Antibodi dalam kolostrum sangant efeektif melawan bakteri gram
negatif, oleh sebab itu, menyusui ASI memberi manfaat perlindungan terhadap infeksi.

2.2 Etiologi

Infeksi pada neonatus dapat melalui beberapa cara. Blanc (1961) membaginya
menjadi 3 golongan, yaitu:

1. Infeksi antenatal

Kuman mencapai janin melalui sirkulasi ibu ke plasenta. Di sini kuman itu
melalui batas plasenta dan menyebabkan intervilositis. Selanjutnya infeksi
melalui sirkulasi umbilikus dan masuk ke janin.

2. Infeksi intranatal

3
Infeksi melalui jalan ini lebih sering terjadi dari pada cara lain.
Mikroorganisme dari vagina naik dan masuk ke dalam rongga amnion setelah
ketuban pecah. Ketuban pecah lama (jarak waktu antara pecahnya ketuban dan
lahirnya bayi lebih dari 12 jam) memunyai peranan penting terhadap timbulnya
plasentitis dan amnionitis. Infeksi dapat pula terjadi walaupun ketuban masih
utuh (misalnya ada partus lama dan seringkali dilakukan manipulasi vagina).

3. Infeksi pascanatal

Infeksi ini terjadi sesudah bayi lahir lengkap. Sebagian besar infeksi berakibat
fatal terjadi sesudah lahir sebagai akibat kontaminasi pada saat penggunaan alat
atau akibat perawatan yang tidak steril atau akibat infeksi silang.

Faktor-faktor yang mempengaruhi sepsis pada bayi baru lahir dapat di bagi
menjadi tiga kategori :

• Faktor maternal : ruptur selaput ketuban yang lama, persalinan prematur,


amnionitis klinis, demam maternal, manipulasi berlebihan selama proses
persalinan, dan persalinan yang lama.

• Faktor lingkungan : yang dapat menjadi faktor predisposisi bayi selama sepsis
meliputi, tetapi tidak terbatas pada, buruknya praktik cuci tangan dan teknik
perawatan, kateter umbilikus arteri dan vena, selang sentral, berbagai
pemasangan kateter, selang endootrakea, teknologi invasif, dan pemberian susu
formula.

• Faktor penjamu : jenis kelamin laki-laki, bayi prematur, berat lahir rendah, dan
kerusakan mekanisme pertahanan diri penjamu. (Bobak, 2004)

Bakteri, virus, jamur, dan protozoa (jarang) dapat menyebabkan sepsis neonatus.
Penyebab yang paling sering dari sepsis mulai awal adalah streptokokus group B (SGB)
dan bakteri enterik yang didapat dari saluran kemih ibu. Sepsi mulai akhir disebabkan
oleh SGB, virus herpes simpleks (HSV), entero virus dan E. Coli K1. Pada bayi dengan
berat badan lahir sangat rendah, candida dan stafilokokus koagulase negatif (CONS),
merupakan patogen yang paling umum mulai akhir. (Nelson, hal. 653).

4
2.3 Patofisiologi

Neonatus sangat rentan terhadap infeksi sebagai akibat rendahnya imunitas non
spesifik (inflamasi) dan spesifik (humoral), seperti rendahnya fagositosis, keterlambatan
respon kemotaksis, minimal atau tidak adanya imunoglobulin A dan imunoglobulin M
(IgA dan IgM), dan rendahnya kadar komplemen.

Sepsis pada periode neonatal dapat diperoleh sebelum kelahiran melalui plasenta
dari aliran darah maternal atau selama persalinan karena ingesti atau aspirasi cairan
amnion yang terinfeksi.

Sepsis awal (kurang dari 3 hari) didapat dalam periode perinatal, infeksi dapat
terjadi dari kontak langsung dengan organisme dari saluran gastrointestinal atau
genitourinaria maternal. Organisme yang paling sering menginfeksi adalah streptokokus
group B (GBS) dan escherichia coli, yang terdapat di vagina. GBS muncul sebagai
mikroorganisme yang sangat virulen pada neonatus, dengan angka kematian tinggi
(50%) pada bayi yang terkena Haemophilus influenzae dan stafilokoki koagulasi negatif
juga sering terlihat pada awitan awal sepsis pada bayi BBLSR.

Sepsis lanjut (1 sampai 3 minggu setelah lahir) utamanya nosokomial, dan


organisme yang menyerang biasanya stafilokoki, klebsiella, enterokoki, dan
pseudomonas. Stafilokokus koagulasi negatif, baiasa ditemukan sebagai penyebab
septikemia pada bayi BBLR dan BBLSR. Invasi bakterial dapat terjadi melalui
tampatseperti puntung tali pusat, kulit, membran mukosa mata, hidung, faring, dan
telinga, dan sistem internal seperti sistem respirasi, saraf, perkemihan, dan
gastrointestinal.

Infeksi pascanatal didapat dari kontaminasi silang dengan bayi lain, personel, atau
benda – benda dilingkungan. Bakteri sering ditemukan dalam sumber air, alat pelembab,
pipa wastafel, mesin penghisap, kebanyakan peralatan respirasi, dan kateter vena dan
arteri terpasang yang digunakan untuk infus, pengambilan sampel darah, pemantauan
tanda vital. (Donna L. Wong, 2009).

Proses patofisiologi sepsis dimulai dengan invasi bakteri dan kontaminasi sistemik.
Pelepasan endotoksin oleh bakteri menyebabkan perubahan fungsi miokardium,

5
perubahan ambilan dan penggunaan oksigen terhambatnya fungsi mitokondria, dan
kekacauan metabolik yang progresif. Pada sepsis yang tiba-tiba dan berat, complemen
cascade menimbulkan banyak kematian dan kerusakan sel. Akibatnya adalah penurunan
perfusi jaringan, asidosis metabolik, dan syok, yang mengakibatkan disseminated
intravaskular coagulation (DIC) dan kematian.( Bobak, 2004).

Penderita dengan gangguan imun mempunyai peningkatan resiko untuk


mendapatkan sepsis nosokomial yang serius. Manifestasi kardiopulmonal pada sepsis
gram negatif dapat ditiru dengan injeksi endotoksin atau faktor nekrosis tumor (FNT).
Hambatan kerja FNT oleh antibodi monoklonal anti-FNT sangat memperlemah
manifestasi syok septik. Bila komponen dinding sel bakteri dilepaskan dalam aliran
darah, sitokin teraktivasi, dan selanjutnya dapat menyebabkan kekacauan fisiologis lebih
lanjut.

Baik sendirian ataupun dalam kombinasi, produk-produk bakteri dan sitokin


proradang memicu respon fisiologis untuk menghentikan penyerbu (invader) mikroba.
FNT dan mediator radang lain meningkatkan permeabilitas vaskuler, dan terjadinya
ketidakseimbangan tonus vaskuler, dan terjadinya ketidakseimbangan antara perfusi dan
kenaikan kebutuhan metabolik jaringan.

Syok didefinisikan dengan tekanan sistolik dibawah persentil ke-5 menurut umur
atau didefinisikan dengan ekstremitas dingin. Pengisian kembali kapiler yanng terlambat
(>2 detik) dipandang sebagai indikator yang dapat dipercaya pada penurunan perfusi
perifer. Tekanan vaskuler perifer pada syok septik (panas) tetapi menjadi sangat naik
pada syok yang lebih lanjut (dingin). Pada syok septik pemakaian oksigen jaringan
melebihi pasokan oksigen. Ketidakseimbangan ini diakibatkan oleh vasodilatasi perifer
pada awalnya, vasokonstriksi pada masa lanjut, depresi miokardium, hipotensi,
insufisiensi ventilator, anemia. (Nelson, 1999).

Septisemia menunjukkan munculnya infeksi sistemik pada darah yang disebabkan


oleh penggandaan mikroorganisme secara cepat atau zat-zat racunnya, yang dapat
mengakibatkan perubahan psikologis yang sangat besar. Zat-zat patogen dapat berupa
bakteri, jamur, virus, maupun riketsia. Penyebab yang paling umum dari septisemia
adalah organisme gram negatif. Jika perlindungan tubuh tidak efektif dalam mengontrol
invasi mikroorganisme, mungkin dapat terjadi syok septik, yang dikarakteristikkan

6
dengan perubahan hemodinamik, ketidakseimbangan fungsi seluler, dan kegagalan
sistem multipel. (Marilynn E. Doenges, 1999).

2.4 Manifestasi klinis

• Umum : panas, hipotermia, tampak tidak sehat, malas minum, letargi, sklerema.

• Saluran cerna : distensi abdomen, anoreksia (nafsu makan buruk), muntah, diare,
hepatomegali.

• Saluran nafas : apneu, dispneu, takipneu, retraksi, nafas tidak teratur, merintih,
sianosis.

• Sistem kardiovaskuler : pucat, sianosis, kutis marmorata, kulit lembab, hipotensi,


takikardia, bradikardia.

• Sistem saraf pusat : iritabilitas, tremor, kejang, hiporefleksi, aktivitas menurun-


letargi, koma, peningkatan atau penurunan tonus, gerakan mata abnormal, ubun-
ubun membonjol.

• Hematologi : pucat, ptekie, purpura, perdarahan, ikterus.

• Sistem sirkulasi : pucat, sianosis, kulit dingin, hipotensi, edema, denyut jantung
tidak beraturan. (Kapita Selekta, 2000).

BAB III

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian

A. Biodata

7
• Umur neonatus (0 – 28 hari)

• Jenis kelamin laki-laki

B. Riwayat Kesehatan

1. Keluhan utama

• Panas

2. Riwayat Kehamilan

• Demam pada ibu (>37,9°C).

• Riwayat sepsis GBS pada bayi sebelumnya.

• Infeksi pada masa kehamilan.

3. Riwayat Persalinan

• Persalinan yang lama.

• Ruptur selaput ketuban yang lama (>18 jam).

• Persalinan prematur (<37 minggu).

4. Riwayat atau adanya faktor resiko

• Prematuritas/BBLR/BBLSR.

• Skor APGAR 5 menit rendah (<6).

• Jenis kelamin laki-laki (laki-laki 4 kali lebih sering terkena sepsis dari
pada perempuan).

C. Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan Umum

• Lemah, Koma.

2. Inspeksi

• Kepala: ubun-ubun membonjol.


8
• Muka: pucat, sianosis.

• Mata: gerakan mata abnormal.

• Kulit: ptekie.

3. Palpasi

• Distensi abdomen.

• Pemeriksaan ekstremitas: tremor, kejang.

5. Auskultasi

• Sistem pernafasan: nafas tidak teratur, merintih, takipneu.

6. Laboratorium

• Hitung darah lengkap (HDL).

Nilai HDL yang paling penting ialah hitung sel darah putih (SDP). Bayi
yang mengalami sepsis biasanya menunjukkan penurunan nilai SDP,
yakni <5000 mm3.

• Trombosit

Nilai normal 150.000 – 300.000 mm3. Pada sepsis nilai trombosit


menurun.

• Kultur darah

Dilakukan dalam 24 – 48 jam untuk menjelaskan jumlah dan jenis bakteri


yang ada dan kerentanannyaterhadap terapi antibiotika.

• Pungsi lumbal dan sensitivitas cairan serebrospinal (CSS)

Jumlah rata-rata leukosit di dalam CSS bayi baru lahir adalah sel/mm3
dan kisaran normal dapat mencapai 20 sel/mm3. Kadar protein CSF pada

9
bayi cukup bulan adalah 90mg/dl dan 120 mg/dl pada bayi kurang bulan.
Pungsi lumbal traumatik dapat memberikan hasil yang tidak dapat
diintepretasikan, karena penggunaan faktor koreksi yang berdasarkan
pada jumlah eritrosit di dalam CSF dan di dalam cairan perifer sering
tidak adekuat untuk menentukan jumlah leukosit dan kadar protein yang
sebenarnya didalam CSS.

• Kultur urin

Urin untuk pemeriksaan aglutinasi lateks dan kultur juga dapat dilakukan.

• Rontgen dada dilakukan bila ada gejala respirasi.

3.2 Diagnosa

1. Hipertermia b/d efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus, perubahan
pada reagulasi temperatur.

2. Diare b/d iritasi usus sekunder akibat organisme yang menginfeksi.

3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d kondisi yang mempengaruhi masukan
nutrisi.

4. Resiko terhadap perubahan perfusi jaringan b/d reduksi aliran darah.

5. Resiko terhadap kerusakan integritas kulit b/d edema dan imobilitas.

6. Resiko terhadap kekurangan volume cairan b/d peningkatan permeabilitas kapiler.

7. Resiko terhadap gangguan pertukaran gas b/d edema pada paru-paru.

8. Pola nafas tidak efektif b/d perubahan pada suplai O2.

9. Resiko pemajanan infeksi ke bayi lain b/d penurunan sistem imun dan pemajanan
lingkungan (nosokomial).

10. Ketakutan pada keluarga b/d ketidakberdayaan (ancaman pada kesejahteraan pada diri
anak).

10
3.3 Intervensi

1. Diagnosa : Hipertermia b/d efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus,
perubahan pada reagulasi temperatur.

Kriteria Hasil : Mendemonstrasikan suhu dalam bata normal, bebas dari kedinginan.
Tidak mengalami komplikasi yang berhubungan.

Intervensi Rasional

Mandiri

Pantau suhu pasien (derajat dan pola), Suhu 38,9° - 41,1° C menunjukkan proses
perhatikan menggigil/diaforesis penyakit infeksius akut. Menggigil sering
mendahului puncak suhu.

Pantau suhu lingkungan, batasi/tambahkan Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah


linen tempat tidur, sesuai indikasi. untuk mempertahankan suhu mendekati
normal.

Berikan kompres mandi hangat, hindari Dapat membantu mengurangi demam.


penggunaan alkohol.

Kolaborasi

Berikan antipiretik, misalnya ASA (aspirin), Digunakan untuk mengurangi demam dengan
asetaminofen (Tylenol). aksi sentralnya pada hipotalamus, meskipun
demam mungkin dapat berguna dalam
membatasi pertumbuhan organisme, dan
meningkatkan autodestruksi dari sel-sel yang
terinfeksi.

Berikan selimut pendingin Digunakan untuk mengurangi demam


umumnya lebih besar dari 39,5° – 40° C pada
waktu terjadi kerusakan/gangguan pada otak.

2. Diagnosa : Diare b/d iritasi usus sekunder akibat organisme yang menginfeksi.

Kriteria Hasil : Meningkatkan fungsi usus mendekati normal.

Intervensi Rasional

11
Observasi frekuensi defekasi, karakteristik, Diare sering terjadi akibat mikroba yang
dan jumlah. masuk kedalam usus.

Dorong diet tinggi serat dalam batasan diet, Meningkatkan konsistensi feses. Meskipun
dengan masukan cairan sedang sesuai diet cairan perlu untuk fungsi tubuh optimal,
yang dibuat. kelebihan jumlah mempengaruhi diare.

Bantu perawatan peringeal sering, gunakan Iritasi anal, ekskoriasi dan pruritus dapat
salep sesuai indikasi. Berikan rendam pada terjadi karena diare.
pusaran air.

Berikan obat sesuai indikasi. Untuk mengontrol frekuensi defekasi sampai


tubuh mengalami perubahan yang lebih baik.

3. Diagnosa : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d kondisi yang mempengaruhi
masukan nutrisi.

Kriteria Hasil : Menunjukkan penambahan berat badan dan bebas dari tanda
malnutrisi.

Intervensi Rasional

Kaji status nutrisi secara kontinu, selama Memberikan kesempatan untuk mengobservasi
perawatan setiap hari, perhatikan tingkat penyimpangan dari normal/dasar pasien dan
energi, kondisi kulit, kuku, rambut, rongga mempengaruhi pilihan intervensi.
mulut, keinginan untuk makan/anoreksia.

Timbang berat badan setiap hari dan Membuat data dasar, membantu dalam
bandingkan dengan berat badan saat memantau keefektifan aturan terapeutik.
penerimaan.

Kaji fungsi GI dan toleransi pada pemberian Karena pergantian protein dari mukosa GI
makanan enteral, catat bising usus, keluhan terjadi kira-kira setiap 3 hari, saluran GI
12
mual/muntah, ketidaknyamanan abdomen, beresiko tinggi pada disfungsi dini dan atrofi
adanya diare / konstipasi, terjadinya dari penyakit dan malnutrisi.
kelemahan dan takikardia.

4. Diagnosa : Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan b/d reduksi aliran darah.

Kriteria Hasil : Menunjukkan perfusi adekuat yang dibuktikan dengan tanda-tanda


vital stabil, nadi perifer jelas, kulit hangat dan kering, tingkat
kesadaran umum, haluaran urinarius individu yang sesuai dan bising
usus aktif.

Intervensi Rasional

Mandiri

Pertahankan tirah baring, bantu dengan Menurunkan beban kerja miokard dan
aktivitas perawatan. konsumsi O2, maksimalkan efektivitas dari
perfusi jaringan.

Pantau kecenderungan pada tekanan darah, Hipotensi akan berkembang bersamaan


mencatat perkembangan hipotensi,dan dengan mikroorganisme menyerang aliran
perubahan pada tekanan denyut. darah, menstimulasi pelepasan, atau aktivasi
dari substansi hormonal maupun kimiawi
yang umumnya menghasilkan vasodilatasi
perifer, penurunan tahapan vaskuler sistemik
dan hipovolemia relatif.

Pantau frekuensi dan irama jantung. Bila terjadi takikardi, mengacu pada stimulasi
sekunder sistem saraf simpatis untuk
menekankan respon dan untuk menggantikan
kerusakan pada hipovolumia relatif dan
hipertensi.

Perhatikan kualitas/kekuatan dari denyut Pada awal nadi cepat/kuat karena peningkatan
perifer curah jantung. Nadi dapat menjadi
lemah/lambat karena hipotensi terus menerus,
penurunan curah jantung, vasokonstriksi

13
perifer jika terjadi status syok.

Kaji frekuensi pernafasan, kedalaman, dan Peningkatan pernafasan terjadi sebagai respon
kualitas. Perhatikan dispnea berat. terhadap efek-efek langsung dari endotoksin
pada pusat pernafasan di dalam otak, dan juga
perkembangan hipoksia, stres dan demam.
Pernafasan dapat menjadi dangkal bila terjadi
insufisiensi pernafasan, menimbulkan resiko
kegagalan pernafasan akut.

Catat haluaran urin setiap jam dan bertat Penurunan haluara urin dengan peningkatan
jenisnya. berat jenis akan mengindikasikan penurunan
perfungsi ginjal yang dihubungkan dengan
perpindahan cairan dan vasokonstriksi
selektif.

Evaluasi kaki dan tangan bagian bawah untuk Stasis vena dna proses infeksi dapat
pembengkakan jaringan lokal, eritema. menyebabkan perkembangan trombosis.

Catat efek obat-obatan, dan pantau tanda- Dosis antibiotik masif sering dipesankan. Hal
tanda keracunan ini memiliki efek toksik berlebihan bila
perfusi hepar/ ginjal terganggu.

Kolaborasi

Berikan cairan parenteral Untuk mempertahankan perfusi jaringan,


sejumlah besar cairan mungkin dibutuhkan
untuk mendukung volume sirkulasi.

Pantau pemeriksaan laboratorium. Perkembangan asidosis respiratorik dan


metabolik merefleksikan kehilangan
mekanisme kompensasi, misalnya penurunan
perfusi ginjal dan akumulasi asam laktat.

5. Diagnosa : Resiko terhadap kerusakan integritas kulit b/d edema dan imobilitas.

Kriteria Hasil : Mempertahankan kulit utuh dan mengidentifikasi faktor-faktor resiko.

14
Intervensi Rasional

Ubah posisi sering di tempat tidur dan kursi. Meningkatkan sirkulasi, tonus otot, dan gerak
Rekomendasikan 10 menit latihan setiap jam tulang sendi.
dan lakukan rentang gerak.

Gunakan jadwal rotasi dalam membalikkan Memberikan waktu lebih lama bebas dari
pasien. tekanan, mencegah gerakan yang
menimbulkan pengelupasan dan robekan
yang dapat merusak jaringan rapuh.

Pertahankan agar sprei dan selimut tetap Mengurangi abrasi kulit.


kering, bersih dan bebas dari kerutan,
serpihan ataupun material lainnya yang dapat
mengiritasi.

Berikan tambahan zat besi dan vitamin C. Membantu dalam penyembuhan/generasi


seluler.

6. Diagnosa : Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan b/d peningkatan


permeabilitas kapiler.

Kriteria Hasil : Mempertahankan volume sirkulasi adekuat yang dibuktikan dengan


tanda-tanda vital dalam batas normal pasien, nadi perifer teraba, dan
haluaran urin adekuat.

Intervensi Rasional

Mandiri

Catat/ukur pemasukan pengeluaran urin dan Penurunan haluaran urin dan berat jenis akan
berat jenisnya
menyebabkan hipovolemia.

Pantau tekanan darah dan denyut jantung Pengeluaran dalam sirkulasi volume cairn
dapat mengurangi tekanan darah/CVP,
mekanissme kompensasi awal dari takikardia
untuk meningkatkan curah jantung dan
meningkatkan darah sistemik.

Kaji membrane mukosa, turgor kulit dan rasa Hipovolemia/cairan ruang ketiga akan
haus
15
memperkuat tanda-tanda dehidrasi.

Amati edema dependen/perifer pada sacrum, Kehilangan cairan dari kompartemen


skurutum, punggung kaki vaskuler kedalam ruang interstitial akan
menyebabkan edema jaringan.

Kolaborasi

Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian Sejumlah besar cairan mungkin dibutuhkan
cairan IV
untuk mengatasi hipovolemia relatif
(vasodilatasi perifer), menggantikan
kehilangan dengan meningkatkan
permeabilitas kapiler (misalnya penumpukan
cairan di dalam rongga peritoneal) dan
meningkatkan sumber-sumber tak kasat mata
(misalnya demam dan diaforesis).

Pantau nilai laboratorium Mengevaluasi perubahan di dalam


hidrasi/viskositas darah. Peningkatan BUN
akan merefleksikan dehidrasi, nilai tinggi dari
BUN/Kr dapat mengindikasikan
disfungsi/kegagalan ginjal.

7. Diagnosa : Resiko tinggi terhadap ganggun pertukaran gas b/d edema pada paru-paru.

Kriteria Hasil : Mengoptimalkan pertukaran gas.

Intervensi Rasional

• Kaji pernafasan setiap jam, catat • Ubah posisi setiap 2 jam untuk
kualitas, irama, pola, kedalaman, dan bergerak dan drainase sekret.
otot penafasan. Tentukan posisi anak dalam posisi
yang benar untuk mengoptimalkan
• Kaji saluran nafas setiap hari.
pernafasan.
• Kaji perubahan perilaku dan orientasi.
• Suction diperlukan untuk
• Monitor ABC dan catat perubahan membersihkan sekrat.

16
8. Diagnosa : Pola nafas tidak efektif b/d perubahan pada suplai O2.

Kriteria Hasil : Tidak mengalami dispnea dan sianosis.

Intervensi Rasional

Pertahankan jalan nafas paten. Tempatkan Meningkatkan ekspansi paru-paru, upaya


pasien pada posisi yang nyaman dengan pernafasan.
kepala tempat tidur tinggi.

Pantau frekuensi dan kedalaman pernafasan. Pernafasan cepat/dangkal terjadi karena


Catat penggunaan otot aksesori/ upaya untuk hipoksemia, stres dan sirkulasi endotoksin.
bernafas. Hipoventilasi dan dispnea merefleksikan
mekanisme kompensasi yang tidak efektif
dan merupakan indikasi bahwa diperlukan
dukungan ventilator.

Auskultasi bunyi nafas. Perhatikan krekels, Kesulitan pernafasan dan munculnya bunyi
mengi, area yang mengalami penurunan / adventisinius merupakan indikator dari
kehilangan ventilasi. kongesti pulmonal/edema interstisial.
Etelektasis.

Catat munculnya sianosis sirkumoral. Menunjukkan oksigen sistemik tidak


adekuat/pengurangan perfusi.

Selidiki perubahan pada sensorium, agitasi, Fungsi serebral sangat sensitif terhadap
kacau mental, perubahan kepribadian, penurunan oksigenasi.
delirium, koma.

Berikan O2 tambahan melalui jalur yang Diperlukan untuk mengoreksi hipoksemia


sesuai, misalnya kanula nasal, masker. dengan menggagalkan upaya/progresi
asidosis respiratorik.

Tinjau sinar X dada. Perubahan menunjukkan perkembangan /


resolusi dari komplikasi pulmonal, misalnya
edema.

17
9. Diagnosa : Resiko pemajanan infeksi ke bayi lain b/d penurunan sistem imun dan
pemajanan lingkungan (nosokomial).

Kriteria Hasil : Bebas dari infeksi nosokomial.

Intervensi Rasional

Berikan isolasi/pantau pengunjung sesuai Dibutuhkan untuk melindungi pasien


indikasi. imunosupresi. Mengurangi resiko infeksi
nosokomial.

Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan Mengurangi kontaminasi silang.


aktivitas walaupun menggunakan sarung
tangan steril.

Batasi penggunaan alat/prosedur invasif jika Mengurangi jumlah lokasi yang dapat
memunngkinkan. menjadi tempat masuk organisme.

Pantau kecenderungan suhu. Demam (38,5 – 40 C) disebabkan oleh efek


dari endotoksin pada hipotalamus.

Dapatkan spesimen urine, darah, sputum, Identifikasi terhadap portal entri dan
luka, jalur invasif sesuai petunjuk pewarnaan organisme penyebab septisemia adalah
gram, kultur dan sensitivitas. penting bagi efektivitas pengobatan.

10. Diagnosa : Ketakutan pada keluarga b/d ketidakberdayaan (ancaman pada


kesejahteraan pada diri anak).

Kriteria Hasil : Keluarga bisa menerima keadaan yang dialami oleh anaknya.

Intervensi Rasional

Berikan penjelasan pada orang tua tentang Untuk mengurangi kecemasan yang dialami
kesehatan anak. oleh orang tua.

Tinjau faktor resiko dan bentuk Menyadari terhadap bagaimanan infeksi


penularan/tempat masuk infeksi. ditularkan akan memberikan informasi untuk
merencanakan/melakukan tindakan protektif.

Dorong orang tua untuk memberikan Tujuan terapeutik pada anak maksimal.
perhatian yang lebih pada anak.

18
3.4 Implementasi

• Mempertahankan tirah baring, membantu aktivitas perawatan.

• Memantau kecenderungan pada tekanan darah, mencatat perkembangan


hipotensi,dan perubahan pada tekanan denyut.

• Memantau frekuensi dan irama jantung.

• Mengkaji frekuensi pernafasan, kedalaman, dan kualitas.

• Memantau suhu anak.

• Mencatat pemasukan dan pengeluaran urin.

• Memantau pemeriksaan laboratorium.

• Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan aktivitas walaupun


menggunakan sarung tangan steril untuk mengurangi terjadinya infeksi
nosokomial.

3.5 Evaluasi

• Suhu kembali normal.

• Berat badan meningkat.

• Perfusi jaringan normal, tidak mengalami dispnea dan sianosis.

• Tidak terjadi infeksi nosokomial.

BAB IV

PENUTUP

19
4.1 Kesimpulan

Sepsis neonatorum atau septikemia neonatal didefinisi sebagai infeksi bakteri pada
aliran darah bayi selam empat minggu pertama kehidupan. Penyebabnya dimulai pada
infeksi antenatal, infeksi intranatal, infeksi postnatal.

Pemeriksaan untuk mendiagnosa adanya sepsis adalah hitung darah lengkap


(HDL), trombosit, kultur darah, pungsi lumbal dan sensitivitas cairan serebrospinal
(CSS), kultur urin, rontgen dada dilakukan bila ada gejala respirasi.

4.2 Saran

• Mencegah lebih baik dari pada mengobati.

• Hindari infeksi nosokomial.

DAFTAR PUSTAKA

Bobak, Keperawatan Maternitas. Jakarta: EGC, 2004.

Carpenito, Lynda Jual, Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8. Jakarta: EGC, 2000.

20
FKUI, Ilmu Kesehatan Anak.

Gulanick, Meg. Puzas, Knol Michele. Wilson, R. Cynthia, Nursing Care Plans for Newborns
and Children : acute and critical care. USA : 1992.

Mansjoer, Arif, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Media Aesculapius: FKUI, 2000.

Muscari E. Mary, Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC, 2005.

Nelson, Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Vol. 1. Jakarta:. EGC, 1999.

Nelson, Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Vol. 2. Jakarta: EGC, 1999.

Wilkinson, M. Judith, Buku Saku Diagnosa Keperawatan NIC NOC edisi 7. Jakarta : EGC,
2006.

William, M. Scwartz, Pedoman Klinis Pediatrik. Jakarta: EGC, 2004.

Wong, L. Donna, Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Vol. 1. Jakarta: EGC, 2009.

21

Anda mungkin juga menyukai